BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf ·...
Transcript of BAB II KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN PADA …repository.radenfatah.ac.id/6494/2/BAB II.pdf ·...
BAB II
KONSEP HUKUM PERJANJIAN PEMBIAYAAN
PADA PERBANKAN SYARIAH
A. Pembiayaan Syariah
1. Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Pembiayaan
Pada dasarnya, produk yang ditawarkan oleh perbankan
syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu, Produk
Penghimpunan Dana (Funding), Produk Penyaluran Dana (Financing),
dan Produk Jasa (Service).1 Pembiayaan merupakan suatu istilah yang
digunakan dalam operasionalisasi perbankan berupa kegiatan yang terkait
dengan penyaluran dana oleh bank kepada nasabah (financing).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, pembiayaan diartikan sebagai
segala sesuatu yang berhubungan dengan biaya yaitu uang yang digunakan
untuk mengadakan (mendirikan, melakukan, dsb.) sesuatu.2 Menurut
Muhammad, pembiayaan selalu identik dengan aktifitas bisnis, sehingga
pengertian pembiayaan itu berhubungan dengan upaya peningkatan nilai
keuntungan baik dalam bidang jasa, perdagangan, dan industri.3 Secara
singkat, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah direncanakan dalam sebuah aktifitas bisnis.4
1 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2007), hlm. 972 Lihat Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 1953 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), hlm.16-174 Ibid. hlm. 17
1
2
Secara khusus, pembiayaan itu jika dikaitkan dengan aktifitas
perbankan, kerap disebut sebagai aktiva produktif. Menurut ketentuan Bank
Indonesia, aktiva produktif pada bank syariah adalah penanaman dana bank
syariah baik dalam rupiah maupun valuta asing dalam bentuk pembiayaan,
piutang, qardh, surat berharga syariah, penempatan, penyertaan modal,
penyertaan modal sementara, komitmen dan kontijensi pada rekening
administratif, serta Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.5
Dalam ketentuan terkini yakni mengacu kepada Undang-
Undang Perbankan Syariah, pembiayaan dimaknai sebagai penyediaan dana
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil
dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa-menyewa
dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bittamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau
diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka
waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil.6
Pada dasarnya, pembiayaan bertujuan secara makro untuk
peningkatan ekonomi umat, tersedianya dana bagi peningkatan usaha,
meningkatkan produktivitas, membuka lapangan kerja baru, dan agar terjadi
5 Lihat Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/7/PBI/2003 tanggal 19 Mei 20036 Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3
distribusi pendapatan.7 Adapun tujuan pembiayaan secara mikro adalah
dalam rangka untuk memaksimalkan laba, meminimalisasi resiko,
pendayagunaan sumber ekonomi, dan penyaluran kelebihan dana.8
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan aktifitas bank syariah,
maka pembiayaan itu bagi bank syariah itu sendiri bertujuan untuk
menjadikan seluruh kegiatan pembiayaan itu sebagai sumber pendapatan.
Sebab dengan banyaknya pembiayaan yang terlaksana, maka peluang
mendapatkan keuntungan baik dari skema bagi hasil, margin keuntungan,
maupun dari skema akad berbasis jasa.
Dalam skala besar maka kegiatan pembiayaan yang dilakukan
oleh perbankan syariah itu memiliki fungsi sebagai sarana peningkatan daya
guna uang, daya guna barang, peredaran uang, menimbulkan gairah usaha,
stabilitas ekonomi, sarana peningkatan pendapatan nasional.9
2. Konsep dan Falsafah Pembiayaan
Aspek penyaluran dana yang dilakukan dalam mekanisme yang
berlaku perbankan syariah, secara spesifik disebut sebagai pembiayaan
bukan perkreditan. Istilah pembiayaan ini ditegaskan dalam Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, misalnya
dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 9.10 Istilah pembiayaan merupakan suatu
7 Lihat Muhamad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 17-188 Ibid. hlm. 189 Ibid. hlm.19-2110 Pasal 1 Angka 7; ”Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. Pasal 1 Angka 9: ”Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”
4
konsep yang digunakan untuk memberikan pengertian lain selain
perkreditan yang identik dengan riba/bunga. Digunakannya istilah
pembiayaan, asumsi transaksi ribawi dapat dihindarkan.
Perlunya pembedaan ini sebab Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
konvensional menggunakan prinsip bunga dalam kegiatannya, sehingga
dengan demikian sesuai Undang-Undang Perbankan Syariah, tidak lagi
dikenal Bank Perkreditan Rakyat Syariah, melainkan dengan sebutan Bank
Pembiayaan Rakyat Syariah. Ini berarti semua peraturan perundangan-
undangan yang menyebut BPR Syariah dengan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah harus dibaca dengan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).11
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam
konteks perbankan konvensional digunakan istilah Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), sementara dalam konteks perbankan syariah digunakan
istilah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
Berdasarkan perbedaan itu, maka hubungan antara bank
syariah dan nasabah adalah hubungan dalam konteks mitra investasi dan
pedagang (pengusaha), sedangkan hubungan bank konvensional dan
nasabah adalah hubungan dalam konteks kreditur dan debitur.12 Hubungan
kemitraan investasi dan usaha yang berlaku dalam pembiayaan bank
syariah ini dengan demikian bersifat menganulir prinsip keuntungan
melalui mekanisme bunga (riba). Itu berarti, nasabah bank syariah tidak
akan terbebani oleh munculnya beban biaya yang tidak rasional hanya
11 Zubairi Hasan, Undang-Undang Perbankan Syariah Titik Temu Hukum Islam dan Hukum Nasional, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 712 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 16
5
lantaran menggunakan atau menerima fasilitas pembiayaan (uang) dari
bank syariah.
Menurut Muhammad, prinsip pembiayaan yang bebas riba
sedemikian itu, lahir dari adanya falsafah pembiayaan yang berlaku di
bank syariah yaitu, 1) falsafah syar’iyyah, yang berarti setiap transaksi
pembiayaan harus berpedoman teguh kepada syariat Islam antara lain tidak
mengandung unsur maisir (judi), gharar (ketidakpastian/penipuan), riba,
dan bidang usaha yang harus halal, 2) falsafah tijariyah, yang berarti
pelaksanaan pembiayaan itu selain berbasis pada pedoman syariah juga
merupakan media perolehan keuntungan ekonomi yang halal, dan bukan
pula sekadar bersifat tabarru’ (kegiatan non komersial).13
3. Prinsip-prinsip Pembiayaan
Penyaluran dana oleh bank syariah kepada nasabah, dilakukan
dalam bentuk pembiayaan. Produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam
empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu14,
1) pembiayaan dengan prinsip jual-beli, meliputi akad murabahah, akad
salam, dan istishna’, 2) pembiayaan dengan prinsip sewa, meliputi ijarah
dan ijarah muntahiyah bittamlik, 3) pembiayaan dengan prinsip bagi hasil,
meliputi akad musyarakah dan akad mudharabah, 4) pembiayaan dengan
prinsip akad pelengkap meliputi akad hiwalah (alih utang-piutang), akad
rahn (gadai), akad qardh (pinjaman uang), akad wakalah, dan akad kafalah
13 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, hlm. 1614 Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqh dan Keuangan, hlm. 97-107. Bandingkan dengan Pasal 3 huruf b Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah
6
(garansi bank). Hal yang sama juga dimuat dalam ketentuan Pasal 1 angka
25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Selain memiliki pedoman atau prinsip berupa aplikasi akad
syariah, pembiayaan pada bank syariah juga menggunakan prinsip
kelayakan pembiayaan yang diterapkan dalam teknis penerimaan
permohonan pembiayaan dari nasabah. Hal ini secara tegas diatur dalam
ketentuan Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah yang
menyebut, bahwa bank syariah dan/atau unit usaha syariah harus
mempunyai keyakinan atas kemauan dan kemampuan calon nasabah
penerima fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya,
sebelum menyalurkan dana kepada nasabah penerima fasilitas. Ayat (2) pun
menegaskan, bahwa untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud
pada Ayat (1), bank syariah dan/atau unit usaha syariah wajib melakukan
penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan
prospek usaha dari calon nasabah penerima fasilitas.
Dengan demikian, prinsip pembiayaan dalam praktik
perbankan syariah berhubungan dengan setidak-tidaknya lima prinsip yaitu
prinsip jual beli, bagi hasil, sewa, pinjaman, dan akad pelengkap. Seluruh
prinsip ini kemudian diaplikasikan dalam mekanisme akad-akad syariah.
Bahkan Undang-Undang Perbankan Syariah tidak menutup peluang
adanya aplikasi akad selain yang sudah disebutkan dalam undang-undang
tersebut, sejauh tidak bertentangan dengan prinsip syariah.15 Di samping
prinsip ini, dalam teknis penyaluran dana, perbankan syariah juga
15 Lihat Pasal 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
7
menggunakan prinsip kelayakan dengan cara menilai kemampuan dan
prospek usaha nasabah secara proporsional.
B. Aplikasi Akad dalam Pembiayaan Syariah
Jika mengacu kepada uraian pada sub bab di atas, maka
aplikasi akad dalam produk pembiayaan perbankan syariah bergulir
setidaknya dalam 12 bentuk akad syariah yaitu murabahah, salam, dan
istishna’, ijarah, ijarah muntahiyah bittamlik, musyarakah, mudharabah,
hiwalah, rahn, qardh, wakalah, dan kafalah.
Meskipun demikian, tidak tertutup peluang adanya pembiayaan
dengan akad lain sejauh sesuai dengan prinsip syariah. Oleh karena prinsip
syariah itu mengacu kepada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia, maka pembahasan mengenai prinsip syariah itu secara mutlak
harus berpedoman pula kepada ketentuan syariah yang termuat dalam
fatwa-fatwa DSN-MUI.
Dalam penelitian ini selanjutnya hanya akan menguraikan tiga
bentuk akad syariah yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian ini
yaitu pembiayaan modal kerja pada PT. Bank Muamalat Indonesia cabang
Palembang.
1. Akad Musyarakah
Musyarakah merupakan akad yang digunakan dalam
pembiayaan syariah dalam pola bagi hasil. Istilah ini berkonotasi lebih
terbatas dari istilah syirkah yang lebih umum digunakan dalam fikih
8
Islam. Secara sederhana, syirkah berarti sharing atau berbagi. Secara
etimologi berarti ikhtilath (percampuran) yaitu percampuran antara
sesuatu dengan yang lainnya sehingga sulit dibedakan. Sedangkan
menurut istilah adalah kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha
tertentu,di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau
amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.16
Mekanisme operasional musyarakah adalah perjanjian
kesepakatan bersama antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan
modal sahamnya pada suatu proyek yang biasanya berjangka panjang.
Landasan hukum kebolehan bentuk akad musyarakah ini
antara lain adalah:
a. Al Quran .
( ¨bb)bb #bbbbbb. b`bbb bb!bbbb=bbb:b# bbbb6bbb9 bbbbbb÷bb/ 4bb?bb bb÷bb/
bbb) bbbb%©!b# (#bbbbb#bb (#bb=bbbbbb bb»bbb=»¢b9b# bbbb
Artinya: “dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain
kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh”. (QS. Shaad:
24)17
b. Hadits.
16 Ibnu Rusyd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al Muqtashid, (Beirut: Dar al Qalam, 1988), jilid II, hlm. 253-25717 Lihat Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra, 2008), h.431
9
قال رسول اللييه صييلى اللييه عليييهقال: عن ابي هريرة ان الله يقول انا ثالث الشريكين ما لم يخن احد وسلم:
صا حبه هماArtinya: "Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya
Allah swt berfirman:”Aku pihak ketiga dari dua orang bersyarikat
selama salah satunya tidak menghianati lainnya”18
Syirkah dalam terminologi fikih Islam terbagi dalam dua
jenis:
a. Syirkah al milk atau syirkah amlak atau syirkah
kepemilikan, yaitu kepemilikan bersama dua pihak atau lebih dari
suatu properti. Musyarakah ini tercipta karena warisan, wasiat atau
kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua
orang atau lebih. Dalam musyarakah ini kepemilikan dua orang atau
lebih berbagi aset nyata dann berbagi pula dari keuntungan yang
dihasilkan aset tersebut.
Musyarakah bentuk ini terbagi dalam dua kategori :
1) Syirkah Ikhtiyar adalah perserikatan yang muncul akibat
tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang yang
bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima
hibah, wasiat atau wakaf dari orang lain dimana mereka
menerima pemberian hibah, wakaf ataupun wasiat tersebut dan
menjadi milik mereka secara berserikat.
18 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Kitab Buyu’, Hadits No. 2936, (Beirut: Al Maktabah al ‘Ashriyah, tt), h. 576
10
2) Syirkah Jabar adalah sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua
orang atau lebih tanpa kehendak, artinya perserikatan itu terjadi
secara paksa, bukan atas keinginan orang yang berserikat,
seperti menerima warisan.
b. Syirkah al ‘aqd atau syirkah al ‘uqud atau syirkah akad
yang berarti kemitraan yang terjadi karena adanya kontrak bersama,
atau usaha komersial bersama.19 Musyarakah akad tercipta dengan
cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap
orang dari mereka memberikan modal musyarakah, mereka sepakat
untuk berbagi keuntungan dan kerugian.
Musyarakah al ‘aqd ini terdiri empat macam:20
1) Syirkah al amwal atau syirkah al ‘inan yaitu usaha
komersial bersama ketika semua mitra usaha ikut andil
menyertakan modal dan kerja yang tidak harus sama porsinya
kedalam perusahaan. Para ulama sepakat membolehkan bentuk
syirkah ini.
2) Syirkah al mufawadhah yaitu usaha komersial
bersama dengan syarat adanya kesamaan pada penyertaan
modal, pembagian keuntungan, pengelolaan, kerja dan orang.
Mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan syirkah ini, sedangkan
mazhab dan Hambali melarangnya karena secara realita sukar19 Ascarya. Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 49-50. Lihat pula Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, cet. IX, hlm. 91
20 Adiwarman A. Karim., Ekonomi Islam; Suatu Kajian Kontemporer. Cet. III. (Jakarta:Gema Insani, 2007), hlm. 81. Lihat pula Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori kePraktek, cet. IX, hlm. 92-93
11
terjadi persamaan pada semua unsurnya dan banyak
mengandung unsur gharar atau ketidakjelasan.
3) Syirkah al a’mal atau syirkah abdan yaitu usaha
komersial bersama ketika semua mitra usaha ambil bagian
dalam memberikan jasa kepada pelanggan. Jumhur ulama yaitu
mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali membolehkan bentuk
syirkah ini, sementara itu mazhab Syafi’i melarangnya karena
mazhab ini hanya membolehkan syirkah modal dan tidak boleh
syirkah kerja.
4) Syirkah al wujuh adalah usaha komersial bersama
ketika mitra tidak mempunyai investasi sama sekali, tetapi
memiliki keahlian dalam bisnis, mereka membeli barang secara
kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara
tunai, mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian
berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh
tiap mitra. Jenis musyarakah ini tidak memerlukan modal karena
pembelian secara kredit berdasar jamainan tersebut, maka
kontrak ini lazim disebut musyarakah piutang.
Mazhab Hambali memasukkan syirkah mudharabah yang
kelima sebagai salah satu bentuk perserikatan, tetapi Jumhur Ulama
(Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, Zahiriyah dan Syiah Imamiya)
12
tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk
perserikatan, karena akad ini merupakan akad yang tersendiri.21
Istilah musyarakah tidak ada dalam fikih Islam, tetapi baru
diperkenalkan belum lama ini oleh mereka yang menulis tentang skim-
skim pembiayaan Syariah yang biasanya terbatas pada jenis syirkah
tertentu yaitu syirkah amwal yang dibolehkan oleh semua ulama.
Proporsi keuntungan dibagi diantara mereka menurut
kesepakatan yang ditentukan sebelumnya dalam akad sesuai porsi modal
yang disertakan (pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i), atau dapat
pula berbeda dari porsi modal yang mereka sertakan (pendapat Imam
Ahmad), sementara itu Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa proporsi
keuntungan dapat berbeda dari proporsi modal pada kondisi normal,
namun demikian mitra yang memutuskan menjadi sleeping partner,
proporsi keuntungannya tidak boleh melebihi proporsi modalnya.22
Adapun ketentuan musyarakah yang diatur di dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 08/DSN-MUI/
IV/2000, tanggal 13 April 2000, tentang PEMBIAYAAN
MUSYARAKAH adalah:23
1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
21 Lihat Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbakan Islam dan Lembaga-Lembaga Terkait BMI dan Takaful di Indonesia, hlm. 36. Lihat pula Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 50 22 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, hlm. 51-52 23 Lihat dalam: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=11&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses tanggal 22 Maret 2017
13
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2. Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan
perwakilan.
b. Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap
mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c. Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam
proses bisnis normal.
d. Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk
mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi
wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan
memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian
dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau
menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3. Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a. Modal
1. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau
yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan,
seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal
14
berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan
disepakati oleh para mitra.
2. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan,
menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah
kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
3. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada
jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan,
LKS dapat meminta jaminan.
b. Kerja
1. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar
pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja
bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan
kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh
menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
2. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas
nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-
masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c. Keuntungan
1. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk
menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi
keuntungan atau penghentian musyarakah.
2. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara
proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah
yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
15
3. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan
melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan
kepadanya.
4. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas
dalam akad.
d. Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional
menurut saham masing-masing dalam modal.
4. Biaya Operasional dan Persengketaan
a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.
Pengaturan tentang syirkah sudah terdapat di Kompilasi
Hukum Ekonomi Syariah (KHES) secara memadai yang dituangkan
dalam dua Bab yaitu Bab VI tentang Syirkah dan Bab VII tentang
Syirkah Milk, yang terdiri Pasal 134 sampai dengan Pasal 230.24
2. Akad Mudharabah
Akad mudharabah yang dalam praktiknya digunakan untuk
bentuk pembiayaan pada bank syariah dengan prinsip bagi hasil sebagai
sistem pendanaan operasional realitas bisnis,25 dimana pemilik modal
atau shahibul maal menyediakan modal 100% kepada pengusaha sebagai
24 Lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: PPHIMM, 2009), hlm. 50-7125 Adiwarman A.Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 114
16
pengelola atau mudharib untuk melakukan aktivitas produktif dengan
syarat bahwa keuntungan yang dihasilkan akan dibagi di antara mereka
sesuai dengan kesepakatan yang disebutkan dalam akad mereka.26 Dan
jika ada mengalami kerugian setelah adanya pengelolaan usaha oleh
mudharib bukan karena kelalaian yang disengaja maka akan ditanggung
oleh investor atau shahibul maal.27
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang artinya memukul
atau berjalan, pengertian memukul atau berjalan lebih tepatnya adalah
proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.28
Di dalam Al-Qur’an secara eksplisit tidak disebutkan secara khusus
mengenai mudharabah, namun secara umum landasan syariah yang
mencerminkan anjuran untuk berusaha dinyatakan dalam QS. Al
Muzammil (73); 20.29
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Al Thabrani
disebutkan bahwa Sayyidina Abbas Ibn Abdul Muthalib jika memberikan
dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar
dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang
berbahaya atau membeli ternak, jika menyalahi peraturan tersebut yang
bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut, disampaikanlah
26 Ascaya Diana Yunita, Bank Syari’ah: Gambaran Umum, (Jakarta: PPSK BI, 2005), hlm. 2127 Abdullah Saed, Menyoal Bank Syariah, hlm. 7728 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah dari Teori Ke Praktek, hlm. 95.
29 QS. Al Muzammil (73); 20:.... ه )٢٠ ... (وآخرون يضربون في األرض يبتغون من فضل الل
17
syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. dan beliau pun
membolehkannya.30
Secara umum, mudharabah dapat dibagi ke dalam dua jenis
akad yaitu:31
1. Mudharabah Muthlaqah, yaitu suatu bentuk kerjasama antara
shahibul maal dengan mudharib tanpa membatasi spesifikasi jenis
usahanya, sepanjang usaha tersebut dianggap baik dan bisa memberi
keuntungan.
2. Mudharabah Muqayyadah, yaitu shahibul maal menentukan syarat
atau pembatasan kepada pengelola dana (mudharib) dalam
menjalankan usaha.
Maka inti mekanisme mudharabah itu sendiri pada dasarnya
terletak pada kerjasama yang baik antara pemberi dana dan pengelola
dana dengan dasar kepercayaan, kerjasama inilah yang merupakan
karakter utama dalam pelaksanaan perjanjian mudharabah di perbankan
syariah.
Dengan metode ini bank bertanggung jawab dalam
penyediaan modal sedangkan nasabah bertanggung jawab dalam
manajemen dan pengelolaan dana. Pola ini merupakan profit sharing
basis, yakni keuntungan dibagi berdasarkan persentase yang telah
disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Apabila terjadi kerugian
karena proses normal dari usaha dan bukan karena kelalaian atau
30 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hlm. 9631 Lihat Adiwarman A. Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan, hlm. 212. Lihat pula Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, hlm. 97
18
kecurangan pengelola, kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik
modal, sedangkan pengelola kehilangan tenaga dan keahlian yang
curahkannya. Namun apabila terjadi kerugian karena kelalaian dan
kecurangan pengelola, maka pengelola bertanggung jawab sepenuhnya.32
Adapun ketentuan akad mudharabah yang diatur dalam
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor
07/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 4 April 2000, tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh), adalah sebagai berikut:33
Pertama; Ketentuan Pembiayaan:
1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh
LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana)
membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan
pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian
keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
(LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama dan sesuai dengan syari'ah; dan LKS tidak ikut
32 Irfan Syauqi Beik, Mudharabah dan Musyarakah, Pola Pembiayaan Bank Islam yang Ideal, hlm. 30
33 Lihat dalam: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=8&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses tanggal 22 Maret 2017
19
serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai
hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan
yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,
namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat
meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini
hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam
akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme
pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan
fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau
melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak
mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua; Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap
hukum.
20
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad),
dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan
tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh
penyedia dana kepada mudharibuntuk tujuan usaha dengan syarat
sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal
diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada
waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan
kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai
dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh
disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui
dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam
bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan.
Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
21
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari
mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian
apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian,
atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan
(muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus
memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur
tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan
pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola
sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan
mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga; Ketentuan lain:
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah kejadian di
masa depan yang belum tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada
dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika
terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka
22
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), akad
mudharabah sudah diatur secara proporsional dalam Bab VIII yang
memuat Pasal 231 sampai dengan 254.34
3. Akad Murabahah
Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang
seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati.35 Dalam
hal ini penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan
menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya, misalnya,
seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan
keuntungan tertentu, berapa besar keuntungan tersebut dapat dinyatakan
dengan nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase dari harga
pembeliannya. Jadi singkatnya murabahah adalah akad jual beli barang
dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang
disepakati oleh penjual dan pembeli, karena definisinya disebut adanya
keuntungan yang disepakati.
Dasar syar’i dari legalitas akad murabahah ini antara lain
adalah:
1. QS. al-Nisa' [4]: 29:
ذين آمنوا التأكلوا أموالكم بينكم بالباطل إال ها ال يآ أي
أن تكون تجارة عن تراض منكم...34 Lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Edisi Revisi, (Jakarta: PPHIMM, 2009), hlm. 71-7635 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, vol. II, hlm. 216
23
Artinya : “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling
memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di
antaramu…”36
2. Hadis Nabi saw.:
ول عن أبي سعيد الخييدري رضييي اللييه عنييه أن رسيي
ييع عن مييا البي م قييال: إن الله صلى الله عليه وآله وسل
تراض، )رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان(
Artinya: “Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW
bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama
suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh
Ibnu Hibban)
Adapun ketentuan akad murabahah yang diatur dalam Fatwa
Dewan Syariah Nasional Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000, tanggal 1 April
2000, tentang Murabahah, adalah sebagai berikut:37
Pertama: Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah:
1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari'ah Islam.
3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang
telah disepakati kualifikasinya.
36 Lihat Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, hlm. 12437 Lihat dalam: http://www.dsnmui.or.id/index.php?mact=News,cntnt01,detail,0&cntnt01articleid=5&cntnt01origid=59&cntnt01detailtemplate=Fatwa&cntnt01returnid=61, diakses tanggal 22 Maret 2017
24
4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank
sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan)
dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan
ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada
nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada
jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad
tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan
nasabah.
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip, menjadi milik bank.
Kedua: Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang
atau aset kepada bank.
2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih
dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan
nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang
25
telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat;
kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk
membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal
pemesanan.
5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil
bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung
oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada
nasabah.
7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang
muka, maka:
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia
tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank
maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat
pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi,
nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga: Jaminan dalam Murabahah:
1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan
pesanannya.
2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang
dapat dipegang.
26
Keempat: Utang dalam Murabahah:
1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi
murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan
nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah
menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian,
ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran
berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap
harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak
boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian
itu diperhitungkan.
Kelima: Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda
penyelesaian utangnya.
2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam: Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya,
bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali,
atau berdasarkan kesepakatan.
27
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES), akad
murabahah (ba’i al murabahah) sudah diatur secara proporsional dalam
bagian ke enam dari Bab V, yang memuat Pasal 116 sampai dengan Pasal
133.38
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang biaya apa saja
yang dapat dibebankan kepada harga jual barang tersebut. Misalnya,
ulama mazhab Malikiyah membolehkan biaya-biaya yang langsung
terkait dengan transaksi jual beli itu dan biaya-biaya yang tidak langsung
terkait dengan transaksi tersebut, namun memberi nilai tambah pada
barang itu.39
Ulama mazhab Syafi’iyah membolehkan membebankan
biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli,
kecuali biaya tenaga kerjanya sendiri karena komponen ini termasuk
dalam keuntungannya. Begitu pula biaya-biaya yang tidak menambah
nilai barang tidak boleh dimasukkan sebagai komponen biaya.40
Ulama mazhab Hanafiyah membolehkan membebankan
biaya-biaya yang secara umum timbul dalam suatu transaksi jual beli,
namun mereka tidak membolehkan biaya-biaya yang memang
semestinya dikerjakan oleh si penjual.41
Ulama mazhab Hanabilah berpendapat bahwa semua biaya
langsung maupun tidak langsung dapat dibebankan pada harga jual
38 Lihat lebih lanjut dalam Tim Penyusun, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, hlm. 48-5039Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, hlm.11440 Ibid. hlm. 11441 Ibid. hlm. 114
28
selama biaya-biaya itu harus dibayarkan kepada pihak ketiga dan akan
menambah harga barang yang akan dijual.42
Dari berbagai pendapat mazhab di atas, maka pada dasarnya
pembebanan biaya pada harga jual itu diukur berdasarkan pada
rasionalitas yang proporsional. Sejauh salah satu atau beberapa
pandangan mazhab itu dianut oleh fatwa DSN-MUI, maka ia berlaku
sebagai prinsip syariah.
C. Perjanjian Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Hukum Perdata Umum
1. Pengertian
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan
mengenai perjanjian pembiayaan menganut kepada ketentuan umum
mengenai hukum perikatan atau verbintenis. Perikatan merupakan suatu
hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana
pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.43
Subekti memberikan penegasan bahwa sumber dari
perikatan adalah perjanjian. Perjanjian itu sendiri merupakan suatu
peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seorang lain, sehingga kedua
orang itu berjanji untuk melakukan suatu hal. Dari peristiwa ini muncullah
hubungan hukum yang disebut sebagai perikatan.44
Selain perikatan itu bersumber dari perjanjian, perikatan juga
dapat lahir dari sesuatu yang lain yang dinamakan undang-undang.
42 Ibid. hlm. 11543 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta; PT. Intermasa, 2010), hlm. 144 Ibid. hlm. 2
29
Dengan demikian, sumber perikatan itu ada dua macam, yaitu perikatan
yang lahir dari perjanjian, dan perikatan yang lahir dari undang-undang.45
Dari pengertian ini, jika dihubungkan kepada praktik
perbankan syariah yang mengeluarkan produk pembiayaan, maka
hubungan hukum atau perikatan yang terjadi adalah perikatan yang
bersumber dari perjanjian, yaitu antara pihak bank dan nasabah.
Mengenai definisi perjanjian disebutkan pula dalam Pasal
1313 KUH Perdata sebagai berikut :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu)
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 (satu) orang lain
atau lebih”
Batasan pengertian tersebut oleh para Sarjana Hukum
Perdata umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat
disebut rumusan perjanjian yang terdapat dalam ketentuan KUH Perdata,
kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas banyak mengandung
kelemahan-kelemahan, sehingga perlu mengemukakan rumusan Rutten
sebagai berikut :
“Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan
formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung
dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang
yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan
salah satu pihak atas beban pihak atau demi kepentingan dan atas
beban masing-masing pihak secara timbal-balik”46
45 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 1-246 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang, Cet. I, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 46-47
30
Dari pengertian tersebut dapat dilihat beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian antara lain, hubungan hukum
(rechtsbettrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang
(person) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban
pada pihak lain tentang suatu prestasi. Dengan demikian, perjanjian
(verbintenis) adalah hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang oleh hukum
itu sendiri diatur dan disahkan cara perhubungannya.47
Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan
suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang dijumpai
dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hukum perjanjian hubungan
hukum tidak dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan itu tercipta oleh
karena adanya tindakan hukum (rechtshandeling). Tindakan/perbuatan
hukum yang dilakukan oleh pihak-pihaklah yang menimbulkan hubungan
hukum perjanjian, sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak lain
untuk memperoleh prestasi, sedangkan pihak yang lain pun menyediakan
diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi. Jadi satu pihak
memperoleh hak (rechts) dan pihak lain memikul kewajiban (plicht).
2. Keabsahan Perjanjian
Secara umum syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
disebutkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya persetujuan-
persetujuan diperlukan 4 (empat) syarat: 1) sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, 2) cakap untuk membuat suatu perikatan, 3) suatu
hal tertentu, 4) suatu sebab yang halal.
47 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet II, hlm. 6
31
Dua syarat yang pertama,dinamakan syarat-syarat subjektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan
perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat
objektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan
hukum yang dilakukan itu.48
Selanjutnya akan dirinci mengenai syarat-syarat perjanjian
tersebut sebagai berikut:
a. Kata sepakat
Kata sepakat di dalam perjanjian pada dasarnya adalah
pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam
perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau
kesepakatannya (toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang
disepakati. Mariam Darus Budrulzaman melukiskan pengertian sepakat
sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemande
wilsverklaring) antar para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan
dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima
penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).49
Syarat adanya kesepakatan ini menunjukkan bahwa
perjanjian tidak akan terbentuk secara sah jika ternyata kata sepakat itu
muncul bukan atas kerelaan. Adapun yang menyebabkan syarat
48 Subekti, Aneka Perjanjian, cet. VIII, hlm. 17 49 Lihat dalam Khairandy Ridwan, Hukum Alih Teknologi, Modul II, (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2004), hlm. 11
32
kesepakatan ini tidak sah ada tiga hal, 1) paksaan (dwang), 2) penipuan
(bedrog), 3) kekhilafan/kekeliruan (dwaling).50
b. Kecakapan untuk mengadakan perikatan (perjanjian)
Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320
KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene
verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi percampuradukan penggunaan
istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat” perikatan dan
perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang
demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang
merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut
dicantumkan sebagai unsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin
tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang.
Menurut J. Satrio, istilah yang tepat untuk menyebut
syaratnya perjanjian yang kedua ini adalah kecakapan untuk membuat
perjanjian.51 Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang
adalah cakap. Kemudian Pasal 1330 menyatakan bahwa ada beberapa
orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni, 1) orang yang
belum dewasa, 2) mereka yang berada di bawah pengampuan, 3) orang-
orang perempuan dalam pernikahan.
Seseorang dikatakan belum dewasa menurut Pasal 330
KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan
dewasa jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun,
50 Subekti, Hukum Perjanjian, hlm. 23-2551 J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2012), hlm. 43
33
tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan
seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua
atau wali sampai umur 18 tahun.
Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor
447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18
tahun, bukan 21 tahun.
Henry R. Cheseemen menjelaskan bahwa di dalam sistem
common law, seseorang dikatakan belum dewasa jika belum berumur
18 tahun (wanita) dan 21 tahun (pria). Dalam perkembangannya,
umumnya negara-negara bagian di Amerika Serikat telah menyepakati
bahwa kedewasaan tersebut ditentukan jika seseorang telah berumur 18
tahun yang berlaku baik bagi wanita maupun pria.52
c. Suatu hal tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu
hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUH Perdata
menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu
benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu
perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah
52 Lihat dalam Khairandy Ridwan, Hukum Alih Teknologi, Modul II, (Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2004), hlm. 23
34
mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa
yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit
dapat ditentukan jenisnya. Istilah barang dimaksud di sini apa yang
dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa
belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti
yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek
perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. J.
Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu
dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut
harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.53
KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud
tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.
Misalnya mengenai perjanjian panen tembakau dari suatu ladang dalam
tahun berikutnya adalah sah. Perjanjian jual beli teh untuk seribu rupiah
tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.
d. Kausa hukum yang halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya
kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata
oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang
menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi
dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjanjian jual beli, isi
53 J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, hlm. 45
35
dan tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak
milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila seseorang
membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka
jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud
membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual
pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli
membeli menbunuh orang dengan pisaunya, disini tidak ada kausa
hukum yang halal.
Menurut Pasal 1335 jo 1337 KUH Perdata bahwa suatu
kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan
dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang
bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan
kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah
kesusilaan ini sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara
daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang
satu dan lainnya.
Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila
bertentangan ketertiban umum, keamanan negara, keresahan dalam
masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah
ketatanegaraan. Di dalam konteks Hukum Perdata International (HPI),
36
ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas
hukum suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim
common law dikenal dengan istilah legality yang dikaitkan dengan
public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak sah (illegal) jika
bertentangan dengan public policy.54
Jika seluruh syarat itu digabungkan maka tergambar sebuah
kronologi sahnya suatu perikatan yang bersumber dari perjanjian. Bahwa
dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua
subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya
sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang
lain yang keduanya memiliki kecakapan hukum. Karena itu persetujuan
(overeenkomst) yang mengisi perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang, kepentingan umum (openbare orde) dan nilai-nilai
kesusilaan (goede zeden). Apa yang menjadi objek atau isi dan tujuan
prestasi yang melahirkan perjanjian harus kausa yang halal.55
Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diuraikan di atas, kini
telah berkembang, tidak hanya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
KUH Perdata, sebab dalam praktik pengadilan, hakim telah menambah
sahnya suatu perjanjian jika perjanjian tersebut memenuhi asas
keseimbangan berkontrak.56
54 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standar), Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 21 55 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, cet II, hlm. 1156 Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Simpanan, Jasa dan Kredit, cet. I, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 19
37
Berkaitan dengan hal ini, Sutan Remi Syahdeini,
megemukakan Putusan Esso Petroleum tahun 1968, dalam perkara
tersebut Pengadilan memutuskan bahwa tidak sah suatu perjanjian yang
menetapkan suatu perusahaan minyak setuju untuk memasok minyak
tanah kepada suatu pengecer dan melarang perusahaan pengecer itu untuk
menerima pemasukan dari tempat lain selama 21 tahun. Pengadilan
berpendapat bahwa pembatasan tersebut merupakan unreasonable in the
interest of publik dan mengakui bahwa dalam kasus ini, para pihak tidak
berada dalam kedudukan yang seimbang.57 Disamping itu terdapat teori
Consumer Ignorance, teori ini didasarkan kepada ketidaktahuan
konsumen sehubungan dengan makin majunya teknologi dan makin
beragamnya barang-barang yang diperdagangkan.58
57 Lihat dalam Ibid, hlm. 20 58 Ibid. hlm. 21