BAB II KISAH DAN SEMANTIK - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1367/5/Bab 2.pdf · yang...
Transcript of BAB II KISAH DAN SEMANTIK - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1367/5/Bab 2.pdf · yang...
15
BAB II
KISAH DAN SEMANTIK
A. Kisah.
1. Definisi Kisah dalam al-Qura>n.
Al-Qura>n merupakan kitab tuntunan bagi umat manusia untuk meraih
kebahagiaan dunia akhirat. Tuntunan dalam al-Qura>n, selain disampaikan dengan
cara langsung yang berupa perintah dan larangan adakalanya disampaikan
melalui kisah-kisah. Tujuannya adalah untuk menjelaskan bantahan terhadap
kepercayaan yang salah dan bantahan terhadap keraguan untuk berbuat ingkar
serta menjelaskan prinsip-prinsip Islamiyah dalam berdakwah1.
Al-Qura>n diturunkan kepada manusia dengan bersifat universal yang
meliputi semua aspek kehidupan, baik dalam konteks kehidupan dunia yang
sementara sampai pada kehidupan yang kekal di akhirat dengan spirit al-Qura>n
sebagai Hudan li al-Na>>s (petunjuk bagi manusia). Dalam konteks Hudan li al-Na>>s
ini al-Qura>n seringkali mengungkapkan sisi petunjuknya dalam bentuk kisah,
agar manusia bisa mengambil pelajaran darinya.
Kata kisah secara etimologis diambil dari bahasa arab al-qas}as} yang
berasal dari kata al-qas}s{u yang berarti mengikuti jejak2. Kata al-qas}as} merupakan
bentuk mas}dar dari kata yang mempunyai arti
1 Rosihun Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2005), 65.
2 Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m al-Qura>n (Surabaya: al-Hidayah, 1983), 305.
16
menggunting, memangkas, mendekati, menceritakan dan mengikuti jejak3,
seperti firman Allah:
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali,
mengikuti jejak mereka semula4
Qas}as} juga dapat berarti berita yang berurutan5. Maksudnya adalah
pemakaian kata qas}as} dalam al-Qura>n digunakan setelah menceritakan berita-
berita atau kisah-kisah yang bertalian, sehingga kata qas}as} dapat diartikan
sebagai berita yang berurutan karena ayat sebelumnya telah menceritakan
rentetan berita-berita yang memiliki keterkaitan satu sama lain. Seperti firman
Allah:
Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar, dan tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) selain Allah; dan sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana6
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al
Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan)nya
adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui7
3 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir (Yokyakarta: t.p. t.th.), 1210.
4 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: SV Asy Syifa’, 1992 ), 454.
5 Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m al-Qura>n, 305.
6 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 85.
7 Ibid., 348.
17
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang
yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan
tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala
sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.8
Menurut Khalid Abd Rahman, al-qas}as} adalah sebutan untuk berita yang
dikisahkan, yang asal kebahasaannya memiliki arti mengikuti. Sedangkan kata
al-qis}s}ah adalah berita tentang peristiwa gaib, yang bentuk jamaknya adalah al-
qis}as}.9 Dalam kamus Bahasa Indonesia, kata al-qaṣaṣ diterjemahkan dengan kisah
yang mempunyai arti kejadian (riwayat, dan sebagainya).10
Secara terminologis yang dimaksud dengan Qaṣaṣ al- Qur’ān adalah:
Pemberitaan mengenai keadaan umat terdahulu, nabi-nabi terdahulu, dan
peristiwa yang pernah terjadi11
Al-Qura>n banyak mengandung penjelasan tentang peristiwa pada masa lalu,
sejarah bangsa-bangsa dan peninggalan atau jejak umat terdahulu, seperti kisah
as}ha>b al-kahfi, kisah Nabi Adam dan kisah-kisah para Nabi lainnya dan cerita
tentang kaum-kaum yang hidup di masa lalu dan umat Muhammad diharapkan
bisa mengambil pelajaran berharga dari kisah tersebut.
8 Ibid., 366.
9 Kha>lid Abd al-Rahma>n, Usu>l al-Tafsi>r wa Qawa>iduhu (Bairu>t: Da>r al-Nafa>is, 1986), 67.
10Purwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), 512.
11 Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith Fi> Ulu>m al-Qura>n, 305.
18
Kisah yang dijelaskan dalam al-Qura>n memiliki unsur sastra, tetapi sastra
yang diungkapkan tidak seperti sastra yang pada umumnya menghasilkan karya-
karya bebas. Gaya bahasa yang disajikan dalam kisah al-Qura>n bersastra exclusif
yang mengusung keindahan, dengan menggunakan tema, teknik pemaparan dan
setting peristiwa yang mengarah dan bertujuan untuk kebaikan, sehingga kisah
yang ada dalam al-Qura>n bisa dijadikan media untuk menyampaikan ajaran-
ajaran agama tanpa mengurangi karakteristik keseniannya.12
Keberadaan kisah sendiri merupakan bagian dari peristiwa gaib dan
peristiwa gaib yang diungkapkan dalam al-Qura>n ada tiga13
, yaitu:
a. Peristiwa gaib masa lampau; al-Qura>n banyak mengisahkan
peristiwa masa lampau dan dari sebagian kisah-kisahnya tidak atau
belum dapat dibuktikan kebenarannya hingga kini, tetapi sebagian
lainnya telah terbukti, antara lain melalui penelitian arkeologi.
Kendati terdapat sekian banyak kisahnya yang belum terbukti,
tidaklah wajar menolak kisah-kisah tersebut hanya dengan alasan
bahwa kisah itu belum terbukti kebenarannya, juga belum terbukti
kekeliruannnya.14 Oleh karena itu merupakan suatu yang
mengherankan apabila ada yang menolak kisah masa lampau al-
Qura>n, karena kisah-kisah tersebut bersumber dari firman Allah
yang kebenaran dari firman itu sendiri tidak terbantahkan. Selain itu
12
Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), 66. 13
Muhammad Abd al-‘Az}i >m al-Zarqa>ni>, Mana>hilal-‘Irfa>n fi> Ulu>m al-Qura>n, J. 2 (Bairut: Da>r al-
Fikr, 1988), 367. 14
M Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran (Bandung: Mizan, 2013), 199.
19
kisah-kisah masa lalu yang disebutkan al-Qura>n adalah untuk
meluruskan kekeliruan kisah yang disebutkan dalam kitab-kitab suci
yang lain dan menjaga terjadiya pendistorsian sejarah15
b. Peristiwa gaib pada masa kini, adalah peristiwa yang terjadi pada
masa Nabi Muhammad yang tidak dihadiri oleh beliau maka
turunlah al-Qura>n guna menjelaskan hakikat yang terjadi.16 Biasanya
perisrtiwa gaib ini berkenaan dengan menyingkap rahasia-rahasia
musuh Allah17 seperti orang Yahudi dan orang Munafik. Selain itu,
juga termasuk katagori ini adalah segala hal yang Rasulullah tidak
bisa melihatnya dengan kasat mata seperti penjelasan tentang
Tuhan, malaikat, jin, surga dan neraka.18
c. Peristiwa gaib pada masa yang akan datang, adalah segala sesuatu
yang disebutkan dalam al-Qura>>n tentang peristiwa yang akan terjadi
di masa yang akan datang baik terdapat ketentuan waktu dalam
terjadinya peristiwa tersebut atau peristiwa tersebut dimutlakkan
tanpa ada ketentuan waktu19
. Contoh dari peristiwa masa depan
yang terdapat ketentuan waktunya adalah firman Allah:
15
S}ubh}i> al-S}a>lih}, Maba>hith fi> Ulu>m al-Qura>n (Bairu>t: Da>r al-Ilm li al-Mala>yi>n, 1988), 41. 16
Must}afa> Muslim, Maba>hith fi> I’ja>z al-Qura>n (Riya>d: Da>r al-Muslim, 1996), 285. 17
Ibid., 286. 18
Muhammad Abd al-‘Az}i >m al-Zarqa>ni>, Mana>hilal-‘Irfa>n, 367. 19
Must}afa> Muslim, Maba>hith fi> I’ja>z al-Qura>n, 293.
20
1. Alif Laam Miim 2. Telah dikalahkan bangsa Rumawi
3. di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan
menang
4. dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan
sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa
Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.20
Kisah al-Qura>n pada umumnya mengandung tiga unsur, yaitu
a. Pelaku: pelaku kisah dalam al-Qura>n terdari dari manusia, malaikat,
jin dan hewan
b. Peristiwa: peristiwa kisah dalam al-Qura>n meliputi tiga bagian,
yaitu; pertama, peristiwa yang berkelanjutan. Contoh dari katagori
ini adalah, seorang Nabi diutus kepada suatu kaum, kemudian
mereka mendustakannya dan meminta bukti yang menunjukkan
kebenaran kerasulannya, dan datanglah bukti yang mereka minta,
tetapi mereka tetap saja mendustakan. Ke dua; peristiwa yang
dianggap luar biasa, yaitu peristiwa-peristiwa yang didatangkan
Allah melalui para Rasul sebagai bukti kebenaran. Ke tiga;
peristiwa yang dianggap biasa, yaitu peristiwa biasa yang dilakukan
manusia, baik Rasul atau bukan sebagai manusia biasa.
c. Dialog, tidak semua kisah dalam al-Qura>n mengandung dialog atau
percakapan, seperti kisah yang bermaksud menakut-nakuti, tetapi
20
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 641.
21
ada pula kisah yang menonjolkan percakapan seperti kisah Nabi
Adam.21
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa kisah-kisah
yang dimuat dalam al-Qura>n adalah cerita yang mengandung kebenaran dan tidak
etis untuk diragukan, karena semua cerita tersebut bersumber dari Tuhan yang
Maha Benar, sekalipun peristawa tersebut saat ini belum terjadi atau belum
ditemukan bukti yang jelas dari kisah masa lalu. Dengan demikian bisa diambil
pemahaman bahwa kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qur>an bukanlah cerita
fiksi, khayal atau dongeng yang tidak bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
2. Macam-Macam Kisah dalam al-Qura>n.
Kisah dalam al-Qura>n memiliki banyak ragam, namun penulis
mencukupkan dalam penyebutan ragam kisah al-Qura>n pada dua katagori saja22
,
yaitu: pertama, ditinjau dari sisi pelaku, yang meliputi tiga macam, yaitu:
a. Kisah para Nabi terdahulu. Kisah ini adalah tentang dakwah
mereka, mukjizat-mukjizat mereka, sikap kaum mereka terhadap
Nabinya, tahapan-tahapan dakwah mereka dan perkembangannya
21
Rosihun Anwar, Ilmu Tafsir, 67-72. 22
Penulis memberikan Pembatasan macam-macam kisah al-Qura>n hanya pada dua katagori ini,
karena penulis menganggap dua katagori ini cukup representatif dalam menggambarkan macam-
macam kisah yang dijelaskan dalam al-Qura>n, sekalipun dalam beberapa literatur disebutkan
berbagai macam pembagian dalam ragam kisah-kisah al-Qura>n.
22
serta akibat-akibat yang diterima oleh yang mempercayai dan yang
mendustakan.
b. Kisah tentang peristiwa-peristiwa masa lalu23
, seperti kisah T{a>lu>t
dan Ja>lu>t, penghuni gua, Dhu> al-Qarnain, Qa>ru>>n, As}}ha>b al-Ukhdu>d,
As}ha>b al-Fi>l, dan lain sebagainya. Kisah-kisah tersebut disebutkan
dalam al-Qura>n agar bisa diambil pelajaran sebagaimana petunjuk
al-Qura>n.
c. Kisah-kisah perjalanan kenabian, yaitu peristiwa yang disebutkan
al-Qura>n terkait dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa
Rasulullah, seperti perang Badar, Uhud, Khandaq, Tabuk, Hijrah,
Isra>’ Mi’ra>j dan lain sebagainya baik berupa kejadian-kejadian
ataupun mu’jizat-mu’jizat.24
Ke dua, dilihat dari panjang pendeknya, yang terbagi dalam tiga bagian,
yaitu:
a. Kisah panjang, seperti kisah Nabi Yusuf dalam surat Yu>suf, yaitu
hampir seluruh ayatnya mengungkapkan kehidupan Nabi Yusuf,
sejak masa kanak-kanak, dewasa dan memiliki kekuasaan. Contoh
lainnya adalah kisah Nabi Musa dalam surat al-Qas}a>s}, kisah Nabi
Nuh dan kaumnya dalam surat Nuh dan lain sebagainya.
23
Kisah tentang peristiwa-peristiwa masa lalu, juga disebut sebagai kisah-kisah Qur’a >ni>, yaitu
kisah-kisah yang berkaitan dengan orang-orang yang tidak dipastikan kenabiaanya (S}afwat Ju>dah
Ahmad, Ma’a al-Qura>n al-Kari>m (Kairo: Maktabah al-S}afa>, 2002), 53.) 24
Mu>sa> Ibra>hi>m, Buh}u>th Minajiah fi> Ulu>m al-Qura>n al-Kari>m (‘Amma>n: Da>r ‘Amma >r, 1996),
185.
23
b. Kisah sedang, seperti kisah Maryam dalam surat Maryam, kisah
Ashab al-Kahfi dalam surat al-Kahfi, kisah Nabi Adam dalam surat
al-Baqarah dan T}a>ha> yang terdiri atas sepuluh atau beberapa belas
ayat saja.
c. Kisah pendek, yaitu kisah yang jumlahnya kurang dari sepuluh ayat,
seperti kisah Nabi Hu>d dan Nabi Lu>t} dalam surat al-A’ra>f, kisah
Nabi S}a>lih dalam surat Hu>d, dan sebagainya.25
3. Hikmah Kisah al-Qura>n.
Al-Qura>n tidak diturunkan kepada umat manusia dalam bentuk hampa
nilai-nilai, melainkan semua yang terkandung di dalam al-Qura>n memiliki tujuan
dan hikmah yang agung untuk kebaikan manusia baik di dunia maupun di
akhirat. Keberadaan kisah-kisah yang dimuat dalam al-Qura>n tidak luput dari
adanya hikmat di dalamnya, dan diantara hikmah-hikmah atau faidah dari kisah-
kisah al-Qura>n, sebagaimana yang disebutkan oleh Manna>’ al-Qat}t}a>n adalah
sebagai berikut:
a. Menjelaskan asas-asas dakwah (mengajak) kepada Allah serta
menjelaskan pokok-pokok syari’at yang dibawa oleh para nabi,
sebagaimana firman Allah:
25
Rosihun Anwar, Ilmu Tafsir, 73.
24
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‚bahwasannya tidak ada
Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan
Aku‛26
b. Meneguhkan hati Rasulullah dan hati umat Muhammad atas agama
Allah, memperkuat kepercayaan orang mukmin tentang menangnya
kebenaran dan para pendukungnya serta hancurnya kebatilan dan
para pembelanya, sebagaimana firman Allah:
Dan semua kisah dari rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, ialah
kisah-kisah yang dengannnya Kami teguhkan hatimu; dan dalam
surat ini telah datang kepadammu kebenaran serta pengajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman.27
c. Membenarkan para Nabi terdahulu dan menghidupkan kenangan
terhadap mereka serta mengabadikan jejak dan peninggalannya,
seperti firman Allah:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa dan Harun
Kitab Taurat dan penerangan serta pengajaran bagi orang-orang
yang bertakwa.28
26
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 498. 27
Ibid., 345. 28
Ibid., 501.
25
d. Menampakkan kebenaran Nabi Muhammad dalam dakwahnya
dengan apa yang diberitakannya perihal orang-orang terdahulu di
sepanjang kurun dan generasi. Dalam hal ini dapat dilihat dari
banyaknya distorsi sejarah yang disebutkan dalam kitab-kitab
terdahulu, seperti firman Allah:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al
Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari
Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang
sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan
kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka
kerjakan.29
e. Membuktikan kekeliruan ahli kitab dengan hujah yang telah
menyembunyikan keterangan dan petunjuk, serta menentang
mereka dengan isi kitab mereka sendiri sebelum kitab itu diubah
dan diganti. Misalnya dalam firman Allah:
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan
yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum
Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada
29
Ibid., 23.
26
makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah
Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar".30
f. Kisah merupakan salah satu bentuk sastra yang dapat menarik
perhatian para pendengar dan memberikan pengajaran yang
terkandung di dalamnya ke dalam jiwa, seperti firman Allah:
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita
yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk
dan rahmat bagi kaum yang beriman.31
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa kisah-kisah yang disebutkan
dalam al-Qura>n adalah bukti dari kebenaran Rasulullah dengan segala yang
disampaikannya sekaligus membuktikan bahwa apa yang ada dalam al-Qura>n,
semuanya bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah, karena tidak
mungkin Rasulullah mengetahui itu semua tanpa menerima dari wahyu Allah.
Masih ada yang meragukan keotentikan sember kisah-kisah al-Qura>n.
Sebagaimana yang dihembuskan oleh orang-orang orientalis bahwa al-Qura>n
merupakan hasil jiplakan dengan argumentasi bahwa pengetahuan Rasulullah
tentang kisah-kisah masa lalu yang selanjutnya dimuat dalam al-Qura>n
bersumber dari seorang pendeta atau beliau menjiplak dari perjanjian lama.
30
Ibid., 91. 31
Ibid., 366.
27
Anggapan orientalis ini dapat dipatahkan dengan beberapa argumen, pertama;
Rasulullah tidak pernah belajar pada siapapun. Pada masa kanak-kanak, beliau
pernah bertemu dengan seorang rahib yang bernama Bukaira ketika pergi ke
Syam, tetapi pertemuan itu tidak berlangsung lama sehingga menjadi tidak logis
apabila Rasulullah bisa memperoleh banyak informasi yang mendetail dan akurat
tentang kisah-kisah masa lalu dalam waktu yang singkat. Selain itu, sebagian
dari orang orientalis mengatakan bahwa Rasulullah belajar kepada Waraqah bin
Naufal. Namun anggapan ini juga bisa ditolak dengan dasar beberapa riwayat
yang menyebutkan bahwa kedatangan Rasulullah menemui Waraqah setelah
beliau menerima wahyu. Disisi lain, Waraqah berpendapat bahwa yang datang
kepada Rasulullah di gua hira adalah malaikat yang pernah datang kepada Nabi
Musa dan Isa. Dia menyatakan bahwa seandainya dia hidup saat Rasulullah
dimusuhi kaumnya, niscaya dia akan membelanya. Dengan demikan menjadi
tidak logis apabila dikatakan Rasulullah belajar kepada Waraqah, apalagi
Waraqah mengakui kenabian Rasulullah.32
Ke dua; tidak tepat bila dikatakan Rasulullah mempelajari kitab Perjanjian
Lama, dengan alasan bahwa Rasulullah adalah orang yang tidak bisa baca tulis,
selain itu banyak informasi yang dikemukakan al-Qura>n tidak terdapat dalam
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, atau sekalipun ada yang sama tetap
terdapat perbedaan-perbedaan.33
32
M Quraish Shihab, Mukjizat al-Quran, 211-212. 33
Ibid., 212.
28
Dua argumentasi ini menegaskan bahwa kisah-kisah al-Qura>n bukanlah
bersumber dari pengetahuan Rasulullah semata yang diperoleh dari proses belajar
kepada ahli kitab melainkan bersumber dari wahyu Allah untuk meluruskan
kekeliruan distorsi sejarah yang dilakukan oleh umat terdahulu.
4. Pengulangan Kisah al-Qura>n
Al-Qura>n tidak menjelaskan peristiwa yang dimuat di dalamnya secara
berurutan (kronologis) dan memaparkan kisah-kisah itu secara panjang lebar,
tetapi terkadang kisah al-Qura>n disebutkan berulang-ulang di berbagai tempat.
Ada pula beberapa kisah yang disebutkan al-Qura>n dalam bentuk yang berbeda.
Di satu tempat ada bagian yang didahulukan dan di tempat lain diakhirkan.
Kadang-kadang pula disajikan secara ringkas dan kadang secara panjang lebar.
Hal tersebut menimbulkan perdebatan di antara kalangan orang yang meyakini
dan orang-orang yang meragukan al-Qura>n. Mereka yang meragukan al-Qura>n
sering mempertanyakan, mengapa kisah-kisah dalam al-Qura>n tidak disusun
secara kronologis dan sistematis sehingga lebih mudah dipahami?. Hal itu,
menurut mereka dipandang tidak efektif dan efisien34
.
Pengulangan kisah al-Qura>n dalam beberapa tempat pada dasarnya tidak
menunjukkan ketidak sistematisan kisah tersebut, karena pengulangan kisah al-
Qura>n dikemukakan dalam berbagai bentuk yang berbeda-beda. Dari setiap
bentuk tersebut akan ditemukan uslu>b yang baru dengan memberikan kemasan
34
Muhammad Chirjin, al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bakti Prima Yasa,
1989), 11.
29
penggambaran yang berbeda dengan kisah yang disebutkan sebelumnya, sehingga
hal itu menggambarkan adanya makna baru dalam kisah tersebut35
. Dengan
demikian pengulangan kisah dalam al-Qura>n mampu memberikan nuansa baru
dalam setiap penggambaran kisahnya yang menandakan bahwa dalam kisah
tersebut ada maksud yang berbeda dari yang sebelumnya. Namun tidak berarti
dari pengulangan kisah al-Qura>n ada kontradiksi muatan kisah dari segi
kronologis kejadiannya atau peristiwanya. Hal ini dikarenakan kebanyakan
pengulangan kisah al-Qura>n terkait dengan konteks pelaku kisah bukan peristiwa
dari kisah tersebut36
. Selain itu pengulangan kisah al-Qura>n tidak dengan satu
bentuk saja. Adakalanya pada satu tempat ada bagian-bagian yang didahulukan,
sedang di tempat lain diakhirkan dan terkadang dikemukakan secara ringkas dan
kadang-kadang secara panjang lebar. Hal itu menunjukkan pengulangan kisah
dalam al-Qura>n bukanlah pengulangan yang meliputi keseluruhan kisah,
melainkan hanya bagian-bagian tertentu saja dengan adanya hikmah yang hendak
disampaikan.
Hikmah-hikmah yang terkandung dari pengulangan kisah-kisah al-Qura>n
menurut Manna>’ al-Qat}t}a>n dalam kitab Maba>hith fi> Ulu>m al-Qura>nnya adalah
sebagaimana berikut:37
a. Menjelaskan ketinggian kualitas bala>ghah al-Qura>n, karena diantara
keistimewaan bala>ghah adalah mengungkapkan sebuah makna
35
S}afwat Ju>dah Ahmad, Ma’a al-Qura>n al-Kari>m, 56. 36
Ibid., 57. 37
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m al-Qura>n, 307-308.
30
dalam berbagai bentuk yang berbeda. Kisah yang berulang ini
dikemukakan di setiap tempat dalam uslu>b (gaya bahasa) yang
berbeda satu dengan yang lain serta dituangkan dalam pola yang
berbeda pula, sehingga tidak membuat orang merasa bosan bahkan
dapat menambah makna-makna baru ke dalam jiwanya yang tidak
didapatkan disaat membacanya di tempat yang lain.
b. Menunjukkan kehebatan i’ja >z al-Qura>n, sebab mengemukakan suatu
makna dalam berbagai bentuk susunan kalimat, dan orang Arab
tidak dapat menandinginya, menunjukkan adanya suatu tantangan
yang kuat dan hal ini menjadi bukti bahwa al-Qura>>n betul-betul
bersumber dari Allah.
c. Menunjukkan perhatian besar terhadap kisah untuk menguatkan
pesan-pesannya dalam jiwa, karena pengulangan merupakan salah
satu cara pengukuhan dan indikasi betapa besarnya perhatian,
misalnya kisah Nabi Mu>sa> dengan Fir’aun. Kisah ini
menggambarkan secara sempurna pertentangan antara kebenaran
dengan kebatilan. Sekalipun kisah ini sering diulang,
pengulangannya tidak pernah terjadi dalam satu surah.
d. Menunjukkan adanya perbedaan tujuan dari ungkapan setiap kisah
yang diulang-ulang. Sebagian dari makna-maknanya diterangkan di
satu tempat, karena hanya itulah yang diperlukan, sedang makna-
31
makna lainnya dikemukakan di tempat yang lain sesuai dengan
tuntutan keadaan.38
Berikut ini contoh-contoh pengulangan kisah al-Qura>n yang dikutip oleh
Rosihon Anwar dari penelitian yang dilakukan oleh Sukmadjaja Asyrie dan Rosy
dalam buku Indeks al-Quran, yaitu sebagai berikut:
a. Kisah iblis yang tidak mau tunduk kepada Nabi Adam: surat al-
Baqarah (2) ayat 34, surat al-A’ra>f (7) ayat 11, surat al-Hijr (15)
ayat 31, surat al-Isra>’ (17) ayat 61, surat al-Kahfi (18) ayat 50, surat
T{a>ha> (20) ayat 116 dan surat S{a>d (38) ayat 75.
b. Kisah kaum Nabi Lu>>t} yang melakukan perbuatan homoseks: surat
al-A’ra>>f (7) ayat 80-81, surat Hu>d (11) ayat 78, surat al-Naml (27)
ayat 54-55 dan surat al-Ankabu>t (29) ayat 29.
c. Kisah istri Nabi Lu>t} yang dibinasakan: surat al-A’ra>>f (7) ayat 83,
surat al-Hu>d (11) ayat 81, surat al-Hijr (15) ayat 60, surat al-
Shu’ara>’ (26) ayat 171 dan surat al-Naml (27) ayat 57.
d. Kisah Nabi Mu>sa> dan tongkatnya: surat al-Baqarah (2) ayat 60,
surat al-A’ra>>f (7) ayat 107 dan 117, surat T{a>ha> (20) ayat 18, 20 dan
22, surat al-Shu’ara>’ (26) ayat 63, surat al-Naml (27) ayat 10 dan
surat al-Qas}as} (28) ayat 31.
e. Kisah percakapan Nabi Mu>sa> dengan Fir’aun: surat al-A’ra>>f (7) ayat
104-106 dan surat T{a>ha> (20) ayat 49-53 dan 57-58.
38
Manna>’ al-Qat}t}a>n, Maba>hith fi> Ulu>m al-Qura>n, 307-308.
32
f. Kisah malaikat yang bertamu ke rumah Nabi Ibra>hi>>m: surat al-Hu>d
(11) ayat 69-76, surat al-Hijr (15) ayat 51-58 dan surat al-Dha>riya>t
(51) ayat 24-29.
g. Kisah percakapan Nabi Ibra>hi>>m dengan bapaknya: surat al-An’a>m
(6) ayat 74, surat Marya>m (19) ayat 42-43 dan 45-48, surat al-
Anbiya>’ (21) ayat 62, surat al-Shu’ara>’ (26) ayat 70-82 dan surat al-
S}a>ffa>t (37) ayat 85.
h. Kisah Nabi Ibra>hi>m menerima kelahiran Nabi Isha>q: surat al-Hu>d
(11) ayat 71, surat al-S}a>ffa>t (37) ayat 112-113 dan surat al-Dha>riya>t
(51) ayat 28.
i. Kisah Nabi Sulaima>n dapat menundukkan angin: surat al-Anbiya>’
(21) ayat 81, surat S}a>d (38) ayat 36 dan surat Saba>’ (34) ayat 12.
j. Kisah orang Yahudi yang menyembah sapi: surat al-Baqarah (2)
ayat 51 dan 92-93, surat al-Nisa>’ (4) ayat 153, surat al-A’ra>>f (7)
ayat 148 dan surat T{a>ha> (20) ayat 88.
k. Kisah Ya’ju>j dan Ma’ju>j: surat al-Kahfi (18) ayat 94 dan surat al-
Anbiya>’ (21) ayat 96. 39
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa kisah-kisah al-Qura>n
dengan segala macam ragamnya dan bentuknya memiliki kekuatan tersendiri
untuk bisa menggambarkan keagungan al-Qura>n yang sarat dengan nilai-nilai.
Menurut hemat penulis, kisah al-Qura>n tidak hanya mengisyaratkan nilai-nilai
39
Rosihun Anwar, Ilmu Tafsir, 81-82.
33
atau pelajaran yang bisa diambil darinya, namun juga mengungkapkan sisi
realitas kisah tersebut yang harus diyakini kebenarannya. Dengan kata lain,
Realitas kisah al-Qura>n adalah nyata keberadaannya dan tidak boleh diasumsikan
sebagai simbol saja dengan menganggap kebenaran realitas kisah tersebut bukan
merupakan sesuatu yang penting untuk dibahas dan diyakini, karena meragukan
realitas kisah al-Qura>n bisa mengarah pada pemahaman bahwa ada sebuah
kebohongan publik dan pengajaran mengandai-andai dalam al-Qura>n. Ini
merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada al-Qura>n yang diyakini sebagai
firman Tuhan yang mengajarkan suri tauladan dan kebenaran.
B. Semantik
1. Pengertian Semantik.
Al-Qura>n merupakan kitab suci yang menyimpan banyak pengetahuan
dalam berbagai bidang walaupun al-Qura>n sendiri tidak bisa dikatakan sebagai
kitab ilmu pengetahuan. Pengetahuan yang terdapat dalam al-Qura>n dapat
dipahami oleh manusia melalui sebuah konsep pengetahuan tersendiri yang
selanjutnya disebut dengan tafsir. Tafsir sendiri adalah ilmu yang membahas
tentang al-Qura>n dari segi dila>lahnya terhadap maksud yang diinginkan oleh
Allah SWT sebagaimana kemampuan manusia40
. Tafsir al-Qura>n mengalami
perkembangan yang signifikan seiring berjalanya waktu sehingga bermunculan
40
Muhammad Abd al-‘Az}i>m al-Zarqa>ni>, Mana>hilal-‘Irfa>n, 3.
34
metode dan aliran dan pendekatan tafsir. Hal ini menunjukkan bahwa al-Qura>n
dapat dipahami dan didekati dengan berbagai macam cara.
Salah satu pendekatan yang ditawarkan dalam tafsir al-Qura>n adalah
semantik al-Qura>n. Semantik secara etemologis diambil dari bahasa Inggris
semantics (kata benda) atau semantic (kata sifat). Kata semantics dan semantic
berasal dari akar kata bahasa Yunani sema yang berarti tanda41
. Dari kata sema
maka semantik dapat dipahami sebagai tanda yang memiliki acuan tertentu dan
menerangkan tentang asal kata itu disebutkan pertama kali. Hal ini senada
dengan yang disampaikan oleh Pateda yang menyetarakan kata semantics dalam
bahasa Inggris dengan kata semantique dalam bahasa Prancis dan kedua kata
tersebut lebih banyak menjelaskan dengan kesejarahan kata42
.
Secara terminologis semantik memiliki beberapa varian definisi
sebagaimana yang disebutkan oleh Yayan Rahtikwati seperti berikut:
a. Menurut Toshihiko Izutsu, semantik adalah kajian analitis terhadap
istilah-istilah kunci suatu bahasa dengan suatu pandangan yang
akhirnya sampai pada pengertian konseptual weltanschauung
(pandangan dunia) masyarakat yang menggunakan bahasa itu. Ia
bukan hanya sebagai alat bicara dan berpikir, melainkan yang lebih
penting lagi pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.
41
Yayan Rahtikwati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran (Bandung: CV Pustaka
Setia, 2013), 210. 42
Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta. 2010), 3.
35
b. Aminudin dan Parera mendefinisikan semantik sebagai study of
meaning (studi tentang makna).
c. Mansoer Pateda mendefinisikan semantik sebagai studi hubungan
antara suatu pembeda linguistik dengan hubungan proses mental
atau simbolisme dalam aktifitas bicara.
d. Tarigan mendefinisikan semantik sebagai telaah makna, lambang-
lambang atau tanda-tanda yang menyatakan makna, hubungan
makna yang satu dengan yang lain serta pengaruhnya terhadap
manusia dan masyarakat, karena semantik meliputi makna-makna
kata, perkembangan dan perubahannya.
e. A.S. Hornby mengartikan semantik sebagai hubungan makna dalam
suatu bahasa.
f. Menurut Harimurti Kridalksana, semantik adalah bagian dari
stuktur bahasa yang berhubungan dengan makna dan ungkapan serta
dengan stuktur makna suatu wacana atau sistem dan penyelidikan
makna serta arti dalam suatu bahasa atau bahasa pada umumnya.
g. Abdul Chaer menyebutkan bahwa semantik merupakan istilah yang
digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan atau
tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Dengan
kata lain, semantik adalah ilmu tentang makna atau tentang arti.43
43
Yayan Rahtikwati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran, 211-212.
36
Dari beberapa pengertian di atas, dapat dipahami bahwa semantik
merupakan bagian dari struktur ilmu kebahasaan yang membicarakan tentang
makna sebuah ungkapan atau kata dalam sebuah bahasa. Makna yang
dimaksudkan disini, bukan hanya makna tekstual (leksikal dan gramatikal) tetapi
juga makna kontekstual (konteks teks dan konteks sosial), karena sebuah kata
memiliki keterikatan dengan orang yang mengungkapkan kata tersebut. Dengan
kata lain, makna sebuah kata bergantung pada orang yang mengucapkannya.
Sebagai contoh kata cekkel dalam bahasa Jawa memiliki makna memegang
tetapi dalam bahasa Madura kata cekkel bermakna mencekik. Dari contoh ini
dapat diketahui bahwa sebuah kata memiliki makna yang beragam bergantung
pada siapa yang mengucapkannya. Dengan demikian untuk memahami sebuah
makna kata dan terhindar dari kekeliruan, diharuskan mengetahui orang yang
mengucapkan kata tersebut, sehingga ada persamaan persepsi dalam memahami
makna kata tersebut. Oleh karena itu semantik memiliki ranah yang luas karena
melibatkan unsur-unsur stuktur dan fungsi bahasa yang sangat erat dengan ilmu-
ilmu lain, seperti sosiologi, antropologi, filsafat dan psikologi.
Semantik terkait dengan sosiologi, karena kenyataannya penggunaan kata-
kata tertentu untuk mengatakan suatu makna dapat menandai identitas
komunitas tertentu. Semantik terkait dengan antropologi, karena analisis makna
sebuah bahasa dapat menjanjikan klasifikasi praktis tentang kehidupan budaya
pemakainya. Semantik terkait dengan filsafat, karena persoalan makna terkait
dengan proses kreatif (imajinasi) seseorang. Semantik terkait dengan psikologi,
37
karena kegiatan pemaknaan berkaitan dengan proses mental44
. Dengan demikian,
semantik dalam menganalisa sebuah makna tidak berdiri sendiri melainkan
mempunyai ketergantungan kepada pendekatan disiplin ilmu yang lain, karena
sifat makna dari sebuah bahasa memiliki cakupan yang luas.
Pendekatan semantik dalam mencari makna sebuah teks memberikan
sebuah pemahaman bahwa semantik merupakan kajian dalam mencari makna
dengan cakupan yang sangat luas, karena yang diinginkan kajian ini lebih
mendalam dan tidak terbatas pada teks itu saja melainkan juga mencari alasan-
alasan weltanschauung (pandangan dunia) atas sebuah makna.
Menurut Ferdinand de Saussure, muara akhir dari semantik adalah
semiotik45
, karena linguistik sebagai induk semantik pun hanya merupakan
bagian dari semiotik46
. Oleh karena itu, Charles Morris memberikan gambaran
tentang posisi semantik dalam semiotik yaitu semiotik terbagi dalam tiga
macam:
a. Sintaksis (mempelajari relasi atar kata, frasa dan kalimat).
44
Ibid., 213. 45
Semiotik berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda, dan semiotik baru
berkembang menjadi sebuah cabang ilmu pengetahuan sekitar tahun 1900-an, selanjutnya
semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji fenomena tanda sebagai bagian dari
kehidupan sosial. Oleh karena itu kajian semoitik bergantung pada aturan yang berlaku pada
masyarakat dan semiotik membimbing seseorang pada pemahaman atas sebuah tanda berdasarkan
konsensus masyarakat, karena suatu tanda/kode tentu dapat dipahami bermakna tertentu apabila
terdapat kesepakatan dalam masyarakat terhadap makna yang dimaksudkan tersebut.
Dalam Islam, semiotik identik dengan sebutan ‘Ilm al-Isha>ra>t atau ‘Ilm al-Hikmah dengan
persamaan sebagai berikut:
1. Menempatkan al-Qura>n sebagai kumpulan ‚tanda‛ (a>ya>t, signs)
2. Mengurai dan memakai ‚tanda‛ tersebut melalui tahapan kajian sistematis tertentu,
yaitu penguraian tekstual dan dilanjutkan dengan penguraiaan kontekstual.
3. Dimaksudkan untuk menggali makna terdalam atau hikmah. (Yayan Rahtikwati dan
Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran, 329-330.) 46
Ibid., 212.
38
b. Semantik (mempelajari makna)
c. Pragmatik (mempelajari relasi makna dan pemakainya)47
Pendapat Saussure di atas menunjukkan bahwa semantik memiliki
hubungan yang erat dengan sistem tanda yaitu semantik yang mengkaji tentang
makna adalah bagian dari bahasa dan bahasa sendiri merupakan bentuk dari
sistem tanda. Oleh karena itu Saussure mengatakan bahwa bahasa sebagai sistem
tanda dapat diindikatori oleh adanya hubungan yang erat antara:
a. Signifiant: yaitu gambaran tatanan bunyi secara abstrak dalam
kesadaran batin para pemakainya.
b. Signifie: yakni gambaran makna secara abstrak sehubungan dengan
adanya kemungkinan hubungan antara abstraksi bunyi dengan dunia
luar.
c. Form: yakni kaidah abstrak yang mengatur hubungan antara butir-
butir abstraksi bunyi sehingga memungkinkan digunakan untuk
berekspresi.
d. Substance: yakni perwujudan bunyi ujaran khas manusia.48
Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa semantik dapat membantu agar
bisa memahami maksud dari sebuah kata dan bagaimana cara kata diungkapkan,
dan dengan begitu semantik tidak saja mengkaji makna eksplisit tetapi juga
mengkaji makna implisit serta alasan pemilihan kata.
47
Jos Daniel Parera, Teori Semantik (Jakarta: Erlangga, 1990), 26. 48
Aminuddin, Semantik; Pengantar Studi Tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Aldgensindo,
2011), 77.
39
2. Tipe-tipe Semantik.
Analisis semantik dikelompokkan ke dalam dua tipe, yaitu: pertama, tipe
semantik berdasarkan waktu penelusuran makna, dan ke dua tipe semantik
berdasarkan dominan objek kajian. Dua tipe semantik ini dikatagorikan secara
artifisial, karena banyak tulisan dan hasil penelitian semantik yang tidak
tergolong dalam dua katagori ini. Selebihnya dua tipe semantik ini masih
diperdebatkan karena memiliki batasan-batasan yang tidak terlalu jelas49
.
Penjelasan dari dua tipe semantik ini adalah sebagai berikut:
a. Tipe semantik berdasarkan waktu penelusuran makna
Jenis semantik yang masuk tipe ini adalah semantik sinkronis dan
semantik diakronis. Dua jenis ini digunakan untuk membagi hasil kajian
semantik dari upaya penelusuran makna dari sudut pajang waktu. Jika
kurun waktunya hanya satu zaman (horizontal), disebut semantik
sinkronis. Jika kurun waktunya tidak terbatas (vertikal dan horizontal),
disebut semantik diakronis. Dengan diasosiasikan terhadap hal tersebut,
penelitian makna dapat ditempuh secara sinkronis ataupun diakronis.50
Dengan demikian, penelitian sinkronis berarti penelitian makna
berdasarkan relasi, korelasional dan resiprokal dengan makna-makna
dari kata dan kalimat pada kurun tertentu, sedangkan penelitian
diakronis berarti penelitian sejarah makna dari masa ke masa.
49
Yayan Rahtikwati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran, 231. 50
Ibid., 231.
40
Dalam mengkaji al-Qura>n jenis semantik yang biasa dipakai dalam
konteks penelusuran makna adalah semantik diakronis, yaitu dengan
melakukan penelusuran makna secara vertikal atau rentang waktu yang
tidak terbatas. Misalnya ketika mencari makna leksikal dengan merujuk
pada kamus-kamus seperti Lisa>n al-‘Ara>b, al-Munjid dan al-Munawwir.
Demikian juga kajian al-Qura>n dengan menggunakan tafsir-tafsir yang
ditulis pada masa pertengahan dan modern, juga merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan hasil kajian al-Qura>n tersebut cenderung pada
semantik diakronis.51
b. Tipe berdasarkan dominan objek kajian
Jenis semantik yang masuk tipe berdasarkan dominan objek kajian
adalah semantik leksikal dan semantik gramatikal52
. Semantik
gramatikal adalah studi semantik yang mengkaji makna yang terdapat
dalam satuan kalimat sedangkan semantik leksikal adalah kajian
semantik yang pembahasannya mengenai sistem makna yang terdapat
dalam kata.
51
Ibid., 232. 52
Ibid., 232.
41
3. Semantik al-Qura>n.
Al-Qura>n merupakan wahyu53
Allah kepada Nabi Muhammad untuk
disampaikan kepada umatnya. Ia merupakan alat komunikasi Tuhan dengan
manusia yang memiliki dimensi kemukjizatan nilai-nilai estetika dan
kesusastraan bahasanya yang agung. Salah satu sebabnya adalah keberadaan
kaum saat al-Qura>n diturunkan begitu membanggakan nilai estetika dan
kesusastraan bahasanya, syair dan prosanya, dan dalam konteks kapasitas al-
Qura>n sebagai mukjizat tentunya mengungguli mereka54
.
Al-Qura>n sebagai alat komunikasi tentunya tidak bisa lepas dari bahasa
yang digunakan, yaitu bahasa Arab yang memiliki peranan penting dalam
penyampaian wahyu dan ajaran agama. Oleh karena itu untuk memahami al-
Qura>>n tentunya harus bisa memahami bahasa55
yang dipakai oleh al-Qura>n
dengan mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya. Apalagi bahasa
dalam keberadaannya bisa berkembang dan berubah. Bahasa yang dipakai seratus
tahun yang lalu bisa jadi saat ini tidak dipakai lagi. Terkait dengan ini, al-Qura>n
53
Wahyu secara bahasa mempunyai banyak arti, kata wahyu sendiri berasal dari fi’il ma>d}i> wah}a>
yang bermakna penyampaian pengetahuan secara samar pada orang lain dan orang tersebut
memahami materi yang disampaikan padanya. Dengan demikian makna sentral dari wahyu adalah
pemberian informasi secara tersembunyi (Aksin Wijaya, Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan.
(Sleman: Magnum Pustaka Utama, 2011), 23-24.) 54
Syauqi Abu Khalil, Islam Menjawab Tuduhan, Terj, Nasaruddin Ibnu Atha’ (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2006), 8. 55
Bahasa adalah sistem lambang arbitrer yang dipergunakan suatu masyarakat untuk bekerja
sama, berinteraksi dan mengidentifikasi diri (Aminuddin, Semantik, 28.). Bahasa sebagai salah
satu alat berinteraksi, dibutuhkan pemahaman terhadap bahasa tersebut sehinnga fungsi bahasa
sebagai alat berinteraksi bisa berjalan dengan baik, dan untuk itu makna yang terkandung dibalik
bahasa harus bisa dipahami dengan baik, maka dibutuhkanlah sebuah metode yang bisa
mengungkap makna yang terdapat dalam bahasa atau kata-kata sehingga dapat dihasilkan sebuah
pemahaman yang menyeluruh terhadap rangkaian kata dan bahasa yang terdapat di dalam sebuah
ucapan maupun tulisan.
42
yang diturunkan dengan bahasa 14 abad yang lalu, tidak dapat dipahami oleh
seseorang jika tidak mengerti makna dan pengetahuan yang terdapat dalam al-
Qura>n. Apabila tidak mengetahui bahasa yang digunakan pada saat ia diturunkan,
dan dalam konteks inilah menurut penulis kajian semantik memiliki peranan
yang signifikan.
Kesadaran kajian semantik dalam penafsiran al-Qura>n pada dasarnya sudah
dimulai sejak zaman Muqa>til Ibn Sulaima>>n (w. 150/767) dan karya Ibn Sulaima>n
yang menjadi fokus ulasan sebagai babak awal dari kesadaran semantik adalah al-
Ashba>h wa al-Naz}a>ir fi al-Qura>n al-Kari>m dan Tafsi>r Muqa>til Ibn Sulaima>n.56
Menurut Muqa>til Ibn Sulaima>>n, setiap kata dalam al-Qura>n, disamping
memiliki arti definitif, juga memiliki beberapa makna alternatif. Muqa>til
menegaskan bahwa seseorang belum bisa dikatakan menguasai al-Qura>n sebelum
ia menyadari dan mengenal pelbagai dimensi yang dimiliki al-Qura>n. Salah satu
contoh dari asumsi yang sampaikan oleh Muqa>til adalah kata ‚mawt‛ yang
memiliki arti dasar mati. Menurut Muqa>til, kata tersebut memiliki empat makna
alternatif yaitu:
a. Tetes yang belum dihidupkan
b. Manusia yang salah beriman
c. Tanah gersang dan tandus
d. Ruh yang hilang57
56
M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005),
169-170. 57
Ibid., 170.
43
Selain Muqa>til terdapat ulama-ulama lain yang menggunakan kesadaran
semantik dalam penafsiran al-Qura>n yang juga bisa dikatakan sebagai penerus
Muqa>til. Mereka antara lain adalah: Ha>ru>n Ibn Mu>sa> (w. 170/686), Yahya> Ibn
Salam (w. 200/815), al-Ja>hiz (w. 255/868), Ibn Qutaibah (w. 276/898) dan Abd
al-Qa>dir al-Jurja>ni> (w. 471/1079)58
. Mereka adalah ulama-ulama yang menjadi
cikal bakal penggunaan kajian semantik dalam al-Qura>n dengan mengemukakan
adanya makna alternaif selain makna definitif dan menekankan pentingnya
pemahaman berbagai dimensi al-Qura>n seperti pemaknaan konteks dalam
memahami ayat-ayat al-Qura>n.
Kajian semantik dalam al-Qura>n yang dipelopori oleh beberapa tokoh di
atas kemudian menginspirasi tokoh-tokoh pada masa sekarang (kontenporer)
untuk melahirkan sejumlah karya mengenai semantik. Salah satunya Ami>n al-
Khu>li> dengan karyanya Mana>hij Tajdi>d fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r
wa al-Ada>b (1965) dan ‘A<ishah Abd al-Rahma>n Bint Sha>t}i’ dengan karyanya al-
Tafsi>r al-Baya>ni> Li al-Qura>n al-Kari>m.59
Dalam metode penafsiran Ami>n al-Khu>li memberikan langkah-langkah
sebagai berikut:
a. Dira>sah Ma> Hawl al-Nas}.
b. Dirasa>h Ma> fi> al-Nas}}.
Dira>sah Ma> Hawl al-Nas} secara umum akan berhadapan dengan tugas-tugas
berikut:
58
Ibid., 171-172. 59
Yayan Rahtikwati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran, 239.
44
a. Mengidentifikasi teks al-Qura>n dan menjelaskan aspek historis
kronologisnya.
b. Menggali informasi mengenai situasi dan latar belakang saat al-
Qura>n diturunkan.60
Sedangkan pada Dirasa>h Ma> fi> al-Nas}, Ami>n al-Khu>li> memulai dengan tes
dan penelitian lafal-lafal al-Qura>n. Seorang mufassir harus memahami evolusi
makna setiap istilah dan kalimat dalam al-Qura>n serta implikasi dari sisi
kebahasaanya. Hal ini tentu saja menuntut seorang penafsir untuk menguasai
aspek kebahasaan al-Qura>n. Untuk memahami arti kata dalam rangkaian redaksi
suatu ayat, terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung
oleh kata tersebut kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah
memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat.
Untuk mencapai pemahaman yang akurat tentang suatu lafad, maka harus
melalui beberapa langkah, yaitu:
a. Seorang mufassir harus melakukan uji leksikografi pada setiap lafal
yang hendak ditafsirkannya, untuk menemukan kemungkinan
adanya definisi dari suatu kosa kata dan untuk mengetahui apakah
kata tersebut kosa kata asli bahasa Arab atau bukan. Jika ternyata
suatu kata bukan dari bahasa Arab, penafsir harus mengetahui
makna asal dan makna penggunaannya. Setelah itu, al-Khu>li>
mengharuskan seorang penafsir untuk kembali pada al-Qura>n itu
60
Ami>n al-Khu>>li. Mana>hij Tajdi>d Fi> al-Nahw wa al-Bala>ghah wa al-Tafsi>r wa al-Ada>b. (Cairo:
Da>r al-Ma’rifah.1961) 310.
45
sendiri tentang pemaknaan dan pemakaian kata yang sama di ayat
lain dalam al-Qura>n.
b. Seorang mufassir harus melakukan uji gramatikal (Nahwu) pada
setiap susunan kalimat dalam ayat al-Qura>n. Studi ini
membutuhkan perangkat ilmu tafsir seperti nahwu, balaghah dan
lain-lain. Tapi ilmu-ilmu ini digunakan hanya untuk tujuan
memahami dan menentukan makna kalimat-kalimat ataupun
ungkapan-ungkapan dalam konteksnya dan bukan sebagai standar
untuk semua penggunaan61
.
Setelah kaidah dan langkah-langkah ini dilakukan, menurut al-Khu>li> ada
dua aspek yang harus dipertimbangkan oleh seorang mufassir, yaitu:
a. Aspek psikologis dari ungkapan-ungkapan al-Qura>n, karena adanya
hubungan yang kuat antara ucapan, pikiran dan kejiwaan manusia.
b. Aspek sosiologis, karena al-Qura>n diturunkan untuk memberikan
petunjuk bagi umat manusia, memperbaiki dan memberikan
syari’at.62
Berdasarkan metode yang ditawarkan oleh al-Khu>li>, dapat dipahami bahwa
pemaknaan al-Qura>n harus melakukan kajian kebahasaan yang mendalam
khususnya terikat dengan historisitas kata dalam nas}. Dengan demikian
penggunaan kajian semantik merupakan salah satu metode yang tepat dalam
melacak serta menjelaskan makna dan perubahannya yang berkembang pada
61
Ibid., 312-314. 62
Ibid., 315-316.
46
sebuah kata, sehingga dapat diperoleh sebuah makna yang sesuai dengan maksud
yang diinginkan oleh Tuhan.
Sedangkan Bint al-Sha>t}i’ dalam al-Tafsi>r al-Baya>ni> Li al-Qura>n al-
Kari>mnya, berupaya menerapkan metode yang dibangun oleh al-Khu>li> yang
merupakan suami dari Bint al-Sha>t}i’. Metode yang dibangun oleh suaminya itu
dikembangkan menjadi metode baru yang mencakup empat langkah. yaitu:
a. Basis metodologinya adalah kajian tematis yaitu untuk
memperlakukan apa yang ingin dipahami dari al-Qura>n secara
objektif dan hal ini harus dimulai dengan pengumpulan semua surat
dan ayat mengenai tema-tema yang ingin dipelajari.
b. Untuk memahami Ma> Hawl al-Nas} dan untuk dapat memahami
gagasan tertentu dalam al-Qura>n menurut konteksnya, yaitu
mengurutkan ayat-ayat setema sesuai dengan tartib kronologisnya
hingga dapat diketahui keterangan mengenai waktu dan tempat
pewahyuannya. Namun Asba>b al-Nuzu>l di sini tidak dipandang
sebagai penyebab turunnya ayat melainkan hanya sebagai
keterangan kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu
ayat. Yang harus diperhatikan di sini adalah generalitas kata yang
digunakan bukan kekhususan peristiwa pewahyuannya (al-’Ibrah bi
‘Umu>m al-Lafz la> bi Khusu>s al-Sabab). Oleh karena itu, tidak ada
alasan untuk mengatakan bahwa hasil metode ini akan dikacaukan
oleh perdebatan ulama tentang Asba>b al-Nuzu>l. Pentingnya
47
pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang digunakan,
bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya.
c. Untuk memahami petunjuk lafad, karena al-Qura>n menggunakan
bahasa Arab, maka harus dicari petunjuk dalam bahasa aslinya yang
memberikan rasa kebahasaan bagi lafad-lafad yang digunakan
secara berbeda, kemudian disimpulkan petunjuknya dengan meneliti
segala bentuk lafad yang ada di dalamnya, dan dengan dicarikan
konteksnya yang khusus dan umum dalam ayat al-Qura>n secara
keseluruhan. Dengan kata lain di sini menggunakan analisa bahasa
atau semantik.
d. Untuk memahami rahasia di balik pernyataan-pernyataan atau al-
Ta’bi>r. Dalam hal ini harus berpegang pada makna nas} dan ruhnya
atau semangatnya (Maqa>sid al-Shari’) kemudian dikonfrontasikan
dengan pendapat mufassir yang sejalan dengan maksud teks yang
bisa diterima sedangkan penafsiran yang berbau Israiliyyat dan
sektarian bisa dijauhkan.63
Selain dua tokoh kontemporer di atas, nama Toshihiko Izutsu merupakan
salah satu tokoh yang secara konsisten menerapkan analisis semantik dalam al-
Qura>n. Ia terkenal karena trilogi monumentalnya dalam bidang al-Qura>n yang
secara konsisten berisi analisis semantik, yaitu: Ethico Religious Concepts in
The Qur’an (1960), God and Man in the Koran: Semantics of The Koranic
63
‘A<ishah Abd al-Rahma>n Bint Sha>t}i’, al-Tafsi>r al-Baya>ni> Li al-Qura>n al-Kari>m (t.t.: Da>r al-
Ma’a>rif, t.th), 10-11.
48
Wentanschauung (1969) dan The Concept of Bilief in Islamic Theology: a
Semantical Analysis of Iman and Islam (1969).64
Dalam pandangan Izutsu, semantik merupakan kajian analitik atas istilah-
istilah kunci suatu bahasa dengan pandangan yang akhirnya sampai pada
pengertian konseptual weltanschauung (pandangan dunia) masyarakat yang
menggunakan suatu bahasa yang tidak hanya sebagai alat bicara dan berpikir,
tetapi yang lebih penting adalah pengkonsepan dan penafsiran dunia yang
melingkupinya. Hubungannya dengan al-Qura>n, analisis semantik bertujuan
untuk memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamis dari al-Qura>n dengan
penelaahan analisis dan metodologis terhadap konsep-konsep pokok, yaitu
konsep-konsep yang memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi
Qura>ni terhadap alam semesta. Dengan analisis semantik, capaian makna yang
hendak dicari adalah tidak hanya terkait dengan elemen-elemen suatu kalimat,
korelasi antar kalimat atau berkaitan dengan figuratif dalam bentuk gramatikal
dan style teks al-Qura>n tetapi menyangkut gagasan dan pandangan dunia al-
Qura>n yang bisa diperoleh dengan membongkar signifikansi yang implisit dalam
teks65
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa semantik al-Qura>n bertujuan
untuk memberikan pemahaman yang berkaitan dengan gagasan al-Qura>n kepada
manusia dengan tidak hanya memperhatikan makna eksplisit tetapi juga
menekankan pentingnya makna implisit sebuah teks. Dalam konteks inilah
64
Yayan Rahtikwati dan Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Quran, 241. 65
Ibid., 243-244.
49
semantik berperan sebagai metode untuk mengungkap makna, konsep dan pesan-
pesan yang terkandung di dalam al-Qura>n dengan mendalam sehingga dengan itu
peran al-Qura>n sebagai Hudan li al-Na>s bisa dirasakan dengan jelas.