BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ......dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2...
Transcript of BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ......dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2...
22
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. Kerangka Teori
1. TUGAS DAN WEWENANG POLRI MENURUT UU NO 2 TAHUN
2002
Ketentuan-ketentuan tentang pelanggaran lalu lintas secara tegas
diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-
Undang No 2 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang No
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan
Pemerintah No 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penindakan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan. Seperti dalam Tindak pidana pelanggaran lalu lintas
dalam kasus STNK terlambat membayar pajak dan Surat Izin Mengemudi
(SIM) yang sudah tidak berlaku, Bahwa berdasarkan Pasal 106 ayat (5)
UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Jo, Pasal
265 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, SIM
dan STNK merupakan hal yang diperiksa Polisi lalu lintas dalam hal
pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Menurut Pasal 288 UU No 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa :
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di
Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan
Bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5)
23
huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua)
bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu
rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang
tidak dapat menunjukkan Surat Izin Mengemudi yang sah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf b dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) bulan dan/atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(3) Setiap orang yang mengemudikan mobil penumpang umum, mobil bus,
mobil barang, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang tidak
dilengkapi dengan surat keterangan uji berkala dan tanda lulus uji
berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf c
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda
paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Dalam Pasal PP No 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penindakan
Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat terlaksana sesuai prosedur
hukum, jika ada kesadaran kewenangan juga tanggung jawab bagi Pihak-pihak
yang berwajib dengan masyarakat, disini penulis coba menuliskan pengertian dari
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) adalah Kepolisian Nasional di
Indonesia, yang bertanggung jawab langsung di bawah Presiden. Polri
mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia yaitu memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, yang tercantum
dalam PP No 80 Tahun 2012, pada Pasal 12 PP No 80 Tahun 2012 menyebutkan
24
Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dapat dilakukan secara berkala setiap 6
(enam) bulan atau insidental sesuai dengan kebutuhan. Artinya pemeriksaan
dilakukan dilakukan secara berkala yakni per enam bulan sekali atau sesuai
kebutuhan, yakni kapan saja dilakukan disaat memang harus dilakukan karena
pertimbangan tertentu dilakukan oleh Kepolisian dan Penyidik Pehawai Negeri
Sipil di Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan hal ini termaktub pada Pasal 13
ayat (1) PP No 80 Tahun 2012, berdasarkan Pasal 281 PP No 80 Tahun 2012
tentang Tata Cara Penindakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan
bahwa :
“Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak
memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan
atau denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) “.
Pertimbangan tersebut didasari pada Pasal 13 ayat (2) dan (3), dalam ayat (3) PP
No 80 Tahun 2012 pertimbangannya meliputi :
1. Angka pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas di jalan;
2. Angka kejahatan yang menyangkut Kendaraan Bermotor;
3. Jumlah Kendaraan Bermotor yang tidak memenuhi persyaratan
teknis dan persyaratan laik jalan; ketidaktaatan pemilik
dan/atau pengusaha angkutan untuk melakukan pengujian
Kendaraan Bermotor pada waktunya;
4. Pelanggaran perizinan angkutan umum; dan/atau pelanggaran
kelebihan muatan angkutan barang.
25
Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebelum undang-undang ini
berlaku adalah UU No 28 Tahun 1997 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (LN.1997 No 8, dan TLN. No 3710) sebagaimana
penyempurnaan dari UU No 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan
pokok Kepolisian Negara (LN.1961 No 245, dan TLN. No 2289). Petugas
Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil
di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang melakukan Pemeriksaan
Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala atau insidental atas dasar
Operasi Kepolisian dan/atau penanggulangan kejahatan wajib dilengkapi
dengan surat perintah tugas, yang dikeluarkan oleh:
1. Atasan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia bagi
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
2. Atasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil di
bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Di dalam Bab III UU No 2 Tahun 2002 disebutkan tugas dan
wewenang Kepolisian Negara. Tugas pokok kepolisian Negara selanjutnya
diatur dalam Pasal 13, secara garis besar disebutkan:
b. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
c. Menegakkan hukum; dan
d. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat.
26
Selanjutnya tugas pokok kepolisian Negara diatur dalam Pasal 14, Dalam
pasal tersebut disebutkan tugas pokok Kepolisian Negara yang berkaitan
dengan tindak pidana adalah:
e. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak
pidana sesuai dengan hokum acara pidana dan peraturan
perundang-undangan lainnya (Pasal 14 ayat (1) huruf g UU No 2
Tahun 2002).
Lebih lanjut dalam tugas umum Kepolisian Negara diatur dalam Pasal
15, Dalam pasal tersebut disebutkan tugas umum Kepolisian Negara yang
berkaitan dengan tindak pidana adalah menerima laporan dan/atau
pengaduan (Pasal 15 ayat (1) huruf a). Sedangkan Kepolisian Negara
dalam proses pidana berwenang:
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
27
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan perhentian penyidikan;
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi
yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan
mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang
yang disangka melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) serta menerima hasil penyidikan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk diserahkan kepada
penuntut umum; dan
l. Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang bertanggung
jawab. 1
Pasal 1 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002, pada hakikatnya tugas kepolisian dapat
dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Tugas Preventif (mencegah), yaitu melaksanakan segala usaha, pekerjaan,
dan kegiatan dalam rangka menyelenggarakan, melindungi Negara dan
badan hukumnya, kesejahteraan, kesentosaan, keamanan, dan ketertiban
umum, orang-orang dan harta bendanya terhadap serangan dan bahaya
dengan jalan mencegah terjadinya tindak pidana dan perbuatan-perbuatan
lain yang walaupun tidak diancam dengan pidana, akan tetapi walaupun
1 Denny Kailimang, Sanggahan Atas Masalah Praperadilan Antara Harapan dan Kenyataan, Jakarta, Tahun 1987, hal 17.
28
tidak diancam pidana, akan tetapi dapat mengakibatkan terganggunya
keamanan dan ketertiban umum.
b. Tugas Refresif (memberantas), ialah kewajiban melakukan segala usaha,
pekerjaan, dan kegiatan untuk membantu tugas kehakiman guna
memberantas perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana yang telah
dilakukan, secara penyidikan, menangkap, dan menahan yang berbuat
salah, memeriksa, menggeledah, dan membuat berita acara pemeriksaan
pendahuluan serta mengajukan kepada jaksa untuk dituntut pidana di
muka hakim.
2. Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan dan penyidikan dahulu kedua-duanya dikenal dengan
nama pengusutan (opsporing). Setelah diundangkannya UU No 13
Tahun 1961 istilah pengusutan diganti penyidikan. Definisi opsporing
(pengusutan/penyidikan) menurut de Pinto (R.Tresna) adalah
pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk
oleh undang-undang segera setelah itu ditunjuk oleh undang-undang
segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang
sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.
Menurut KUHAP Pasal 1 butir (5) pengertian penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. Sedangkan yang dimaksud penyidikan menurut
Pasal 1 butir (2) KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam
29
hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulakn bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidan yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.
Menurut Pasal 1 butir (4) KUHAP yang dimaksud penyelidik
adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini untuk penyelidikan. Wewenang dan kewajiban
penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP yang berbunyi :
1. Karena kewajibannya mempunyai wewenang :
2. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
3. Mencari keterangan dan barang bukti;
4. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan
menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
5. Mengadakan tindakan lain menurut hokum yang
bertanggung jawab.
Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
a. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat,
penggeledahan dan penyitaan;
b. Pemeriksaan dan penyitaan;
c. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
30
Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 butir 1 KUHAP). Selanjutnya yang
dimaksud penyidik tersebut diatur dalam Pasal 6 KUHAP yang berbunyi sebagai
berikut :
Penyidik merupakan :
a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang.
3. Pengertian Penyitaan
Pengertian penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaanya benda bergerak
atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan
pembuktian dalam penyidikan penuntutan dan peradilan (Pasal 1 butir (16)
KUHAP).
1. Objek Penyitaan
Jika pengertian di atas dihubungkan dengan Pasal 39 ayat (1) KUHAP,
maka objek penyitaan adalah :
(1) Benda bergerak dan tidak bergerak;
(2) Benda berwujud dan tidak berwujud;
(3) Benda yang dalam sitaan karena perkara perdata atau
karena pailit.
Sepanjang benda tersebut di atas memenuhi kriteria seperti di bawah ini :
31
a. Benda atau tagihan tersangka diduga diperoleh dari tindak pidana atau
sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Dari ketentuan yang telah kami sampaikan di atas, dapat dilihat bahwa
benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda-benda yang berkaitan
langsung maupun tidak langsung dengan terjadinya suatu tindak pidana, maka
jika ada benda yang sempat diambil oleh penyidik, namun ternyata tidak
berhubungan dengan tindak pidana, maka benda tersebut akan segera
dikembalikan kepada orang yang berhak.
Menurut ketentuan Pasal 44 KUHAP disebutkan:
(1) Benda sitaan disimpan dalam rumah penyimpanan benda sitaan negara.
(2) Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan
tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang
untuk dipergunakan oleh siapa pun juga.
Ketentuan di atas senada dengan Pasal 8 Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan
32
Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Republik Indonesia (“PERKAP
Nomor 10 Tahun 2010”), yang menyatakan sebagai berikut:
(1) Barang bukti temuan yang telah disita penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (2) paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
wajib diserahkan kepada PPBB.
(2) PPBB yang menerima penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib melakukan pencatatan ke dalam buku register dan disimpan pada
tempat penyimpanan barang bukti.
(3) Dalam hal barang bukti temuan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak
atau membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan, dapat
diambil tindakan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana.
(4) Dalam hal barang bukti temuan berupa narkotika jenis tanaman, dalam
waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam wajib dimusnahkan sejak
saat ditemukan, setelah sebagian disisihkan untuk kepentingan penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Dalam hal penanganan benda sitaan dapat dilihat dari Pasal 270 PP No 80 Tahun
2012 tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan jalan
dijelaskan bahwa :
(1) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan
penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga
berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
(2) Benda sitaan disimpan di rumah penyimpanan benda sitaan negara.
33
(3) Dalam hal belum ada rumah penyimpanan benda sitaan negara di tempat yang
bersangkutan, penyimpanan benda sitaan dapat dilakukan di kantor
Kepolisian Negara Republik Indonesia, di kantor kejaksaan negeri, di kantor
pengadilan negeri, dan dalam keadaan memaksa di tempat penyimpanan lain,
atau tetap di tempat semula benda itu disita.
(4) Tata cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
4. Tata Cara Penyitaan
Penyitaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap benda hak milik
tersangka/terdakwa berkaitan dengan hak asasi manusia. Oleh karena itu,
suatu penyitaan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang,
melainkan harus sesuai dengan persyaratan dan mekanisme sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun bentuk dan tata cara penyitaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penyitaan biasa
“Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin Ketua
Pengadilan Negeri setempat. Penyidik dalam melakukan penyitaan terlebih
dahulu menunjukkan tanda pengenalnya kepada orang dari mana benda itu
disita. Penyidik memperlihatkan benda yang akan disita kepada orang yang
memiliki benda yang akan disita atau keluarganya dan dapat minta
keterangan tentang benda yang akan disita dengan disaksikan oleh Kepala
34
Desa atau Ketua Lingkungan dengan dua orang saksi. Kemudian penyidik
membuat berita acara penyitaan.
2. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak
Dalam keadaan perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera
bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu,
maka penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan
untuk itu wajib segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat
guna memperoleh persetujuannya. (lihat Pasal 38 ayat (2) KUHAP)
3. Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan
Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan diatur dalam Pasal 40 dan Pasal
41 KUHAP sebagai berikut:
Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang
ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak
pidana atau suatu benda lain yang dipakai sebagai barang bukti.Selanjutnya
dalam keadaan tertangkap tangan, penyidik berwenang menyita paket atau
surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh
Kantor Pos dan Telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau
pengangkutan, sepanjang hal tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau
berasal daripadanya, dan atas tindakan itu kepada tersangka dan atau pejabat
Kantor Pos dan Telekomunikasi dan lain-lain harus diberikan surat tanda
penerimaan
4. Penyitaan terhadap surat atau tulisan lain
35
Penyitaan terhadap surat atau tulisan lain diatur dalam Pasal 43
KUHAP. Menurut ketentuan ini bahwa penyitaan terhadap surat atau
tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk
merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya
dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau izin khusus Ketua
Pengadilan Negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain.
Kemudian, mengenai penyitaan kendaraan bermotor, hal tersebut dapat
dilakukan jika Pasal 32 ayat (6) PP 80/2012):
a. Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor
Kendaraan yang sah pada waktu dilakukan Pemeriksaan Kendaraan
Bermotor di Jalan;
b. Pengemudi tidak memiliki Surat Izin Mengemudi;
c. Terjadi pelanggaran atas persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan
Kendaraan Bermotor;
d. Kendaraan Bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau
digunakan untuk melakukan tindak pidana; atau
e. Kendaraan Bermotor terlibat kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
meninggalnya orang atau luka berat.
1. Pengertian Praperadilan Menurut KUHAP Dan Prosesnya
Praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus,
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan,
36
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Mengenai praperadilan
ini diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang
KUHAP.
Dalam istilah hukum Indonesia, adalah wewenang Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan memutus tentang:
(a). Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atau permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka;
(b). Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
(c). Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke
pengadilan.2
Praperadilan telah diatur dalam KUHAP dan hal tersebut merupakan hak
setiap Tersangka, keluarga, kuasa hukum atau pihak ketiga guna menjamin suatu
kepastian hukum terhadap proses hukum yang sedang atau telah berjalan. Setiap
penyidik ataupun atasan penyidik seolah antipati dengan pra peradilan. Ada suatu
anggapan bahwa seorang penyidik yang pernah di praperadilankan dipandang
mempunyai suatu cacat, sehingga dianggap tidak cakap atau tidak mampu
melakukan penyidikan. Praperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu
ditakuti sepanjang proses penyidikan atau upaya paksa yang dilakukan didasarkan
kepada aturan dalam KUHAP. Tidak semua putusan pra peradilan dimenangkan
oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Di dalam proses sidang pemeriksaan
2 Hadari Djanawi tahir, Drs. S.H. Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP . Allumni, Bandung, 1981
37
pra peradilan tentunya akan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupun
fakta materiil. Apabila dalam KUHAP tentunya pra peradilan tersebut
dimenangkan juga telah diatur dalam KUHAP.
Adapun ruang lingkup Praperadilan yaitu, Di Dalam Bab X Bagian Kesatu mulai
pasal 79 sampai pasal 83 KUHAP, pihak – pihak yang dapat mengajukan pra
peradilan adalah sebagai berikut :
(1) Tersangka, keluarganya melalui kuasa hukum yang mengajukan
gugatan praperadilan terhadap kepolisian atau kejaksaan di pengadilan
atas dasar sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan dan
penggeledahan.
(2). Penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah lam
atau tidaknya penghentian penyidikan.
(3). Penyidik atau pihak ketiga yang berkepentingan atas dasar sah atau
tidaknya penghentian penuntutan.
(4). Tersangka atau pihak ketiga yang bekepentingan menuntut ganti rugi
tentang sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan (pasal 81
KUHAP).
(5). Tersangka, ahli waris atau kuasanya tentang tuntutan ganti rugi atas
alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, penggeledahan atau
penyitaan tanpa alasan yang sah atau karena kekeliruan orang atau
hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang
pengadilan (pasal 95 ayat (2) KUHAP).
38
Secara jelas proses pemeriksaan (hukum acara) dalam Pasal 79 KUHAP
disebutkan bahwa hak tersangka adalah “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga
atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya”.3
Yang kemudian akan dilanjutkan Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan
negeri dengan menyebutkan alasannya ( Pasal 80 KUHAP ), Maka Mekanisme
Praperadilan disebutkan dalam Pasal 78 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa “
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera “. Acara pemeriksaan praperadilan
dijelaskan dalam pasal 82 ayat (1) KUHAP yaitu sebagai berikut:
a. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang.
b. Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan
atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak
sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk
alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau
pemohon maupun dan pejabat yang berwenang.
c. Pemeriksaan tersebut dilakukan cara cepat dan selambat-lambatnya tujuh
hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
3 KUHAP Pasal 79.
39
d. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur.
e. Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan
untuk mengadakan pemeriksaan praperadilan lagi pada tingkat
pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan
baru.
Pemeriksaan sah atau tidaknya Surat Penghentian Penyidikan Perkara atau
SP3 merupakan salah satu lingkup wewenang praperadilan. Pihak penyidik atau
pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
(praperadilan) tentang sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan.
Permintaan tersebut diajukan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya (pasal 1 angka 10 huruf b jo. pasal 78 KUHAP).
B. HASIL PENELITIAN
Permohonan praperadilan Advokat Lembaga Bantuan Hukum
“SOLIDARITAS” yang berkantor di Jln. Soekarno Hatta Km. 31
Harjosari Bawen, Kabupaten Semarang, sebagai Pemohon. LBH
SOLIDARITAS mengajukan surat permohonan pra pradilan pada tanggal
11 Februari 2014 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
SALATIGA Pada tanggal 12 Februari 2014 dan terdaftar di bawah No
01/Pra.Pid/2014/PN.Sal telah mengajukan permohonan Pra Peradilan
terhadap Termohon, Bahwa LBH “SOLIDARITAS” merupakan pihak
ketiga yang berkepentingan pada hari rabu tanggal 5 Februari 2014 yang
menugaskan staff bernama Harno ke kota Boyolali untuk mendaftarkan
40
gugatan Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC STNK An.
Endar Susilo warna hitam dengan Nomor rangka
MHKV3BA3J9K006402 Nomor Mesin DE52914. Pada waktu itu jam
11.30 Wib ada razia di jalan baru (jlang lingkar Salatiga) terjadi
pemeriksaan oleh SATLANTAS POLRESTA SALATIGA. Dalam hal
gugatan yang diajukan pemohon Advokat Lembaga Bantuan Hukum “
SOLIDARITAS” mengajukan keberatan terhadap Pihak Termohon
karena melakukan penyitaan terhadap mobil dan surat-surat tanpa
memberikan bukti dan tidak menelaah Pasal 39 ayat (1) sebagai
pertimbangan yang didalam pasal tersebut menyebutkan unsur-unsur
penyitaan kendaraan dan Satuan Lalu Lintas Resort Kota Salatiga
melanggar Pasal 38 ayat (1) yang menyatakan “ Penyitaan hanya dapat
dilakukan oleh Penyidik dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri
setempat”.
Bahwa dengan demikian semestinya tidak dilakukan penyitaan
oleh Oknum Satlantas Resort Kota Salatiga terhadap Armada
GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC STNK An. Endar Susilo Warna
Hitam dengan Nomor Rangka MHKV3BA3J9K006402 Nomor Mesin
DB52914, dengan peristiwa penyitaan yang dialami Harno selaku staff
dari Lembaga Bantuan Hukum “SOLIDARITAS” ditawarkan negosiasi
dengan salah satu anggota dan diperlihatkan brosur nominal yang dapat
dibayarkan dengan pilihan :
(a). Rp. 1.500.000,-
(b). Rp. 750.000,-
41
(c) Rp. 250.000,-
Setelah bernegosiasi dengan salah satu anggota SATLANTAS
POLRESTA SALATIGA beserta staff LBH SOLIDARITAS tidak terjadi
kesepakatan diantara kedua belah pihak, sehingga staff LBH SOLIDARITAS
melakukan tindakan yaitu, menghubungi Komisaris LBH “SOLIDARITAS” yang
bernama H. Endar Susilo, SH, MH dan selanjutnya Komisaris menyuruh untuk
meminta surat tilang kepada anggota SATLANTAS POLRESTA SALATIGA
yang berdinas pada saat itu. Beberapa saat kemudian Tim dan Komisaris LBH
“SOLIDARITAS” pada tempat kejadian perkara dan mendengarkan duduk
perkara dari IPTU. HARJAN WIDODO bersama dengan anggotanya tetap
menyita Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC STNK An. Endar
Susilo warna hitam dengan nomor rangka MHKV3BA3J9K006402 Nomor mesin
DE52914 dan meminta Komisaris LBH “SOLIDARITAS” menandatangani surat
tilang yang diajukan salah satu anggota SATLANTAS POLRESTA SALATIGA,
akan tetapi ditolak oleh Komisaris LBH”SOLIDARITAS” karena bertentangan
dengan prosedur yang ada.
Dalam Pokok perkara ini Tim LBH “SOLIDARITAS” mengalami
kerugian dikarenakan pada saat itu dalam perjalanan sidang perkara menuju
persidangan perkara yang ditangani oleh Pengadilan Negeri Semarang menjadi
terlambat hadir dalam sidang dan tidak bisa melakukan agenda yang telah
dipersiapkan oleh Tim LBH “SOLIDARITAS”, sehingga membuat kerugian klien
baik bersifat materiil dan kerugian bersifat formil. Objek Permohonan
Pemeriksaan Pra Peradilan ini terkait adanya penyitaan Armada GRANDMAX
Nomor Polisi H 8412 VC STNK An, Endar Susilo warna hitam dengan nomor
42
rangka MHKV3BA3J9K006402 Nomor Mesin DE52914, agar segera ditetapkan
melalui Ketua Pengadilan Negeri Salatiga Oleh Ketua Majelis Pemeriksa perkara
Permohonan Pra Peradilan menyerahkan armada tanpa syarat.
Akibat kejadian tersebut Tim LBH “SOLIDARITAS” pada hari yang
sama yaitu, hari kamis tanggal 6 Februari 2014 melaporkan pada Dit. Provisi dan
pengamatan (Dit. PROPAM) POLDA JATENG, dikarenakan pemohon tidak
setuju dengan tindakan termohon Pra Peradilan yang tidak sesuai prosedur
menyita Armada GRANDMAX oNomor Polisi H 8412 VC STNK An. Endar
Susilo warna hitam dengan nomor Rangka MHKKV3BA3J9K006402 Nomor
mesin DE52914 dengan tanpa syarat, secara jelas dapat ditelaah dalam Pasal 82
ayat (1) huruf b KUHAP yang menyebutkan syah dan tidaknya penyitaan barang
bukti yang berbunyi “ Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti
atau ternyata tidak merupakan tindak pidana”.
Pada kesempatan yang dianjurkan dan diusahakan kepada kedua belah
pihak agar tentang permohonan Pra Peradilan ini diselesaikan secara damai, akan
tetapi tidak ada kata sepakat diantara kedua belah pihak, kemudian persidangan
dialnjutkan dengan membacakan permohonan Pra Peradilan pemohon yang isinya
tetap dipertahankan oleh pemohon, selanjutnya terhadap permohonan Pra
Peradilan yang diajukan Pemohon diatas mendapat tanggapan dari Termohon
dengan menyampaikan bantahannya secara lisan dipersidangan tanggal 17
Februari 2014, pada tanggal 5 Februari 2014 sekitar pukul 10.30 Wib sekitar 15
anggota Satlantas Polresta Salatiga berdasarkan surat tugas melaksanakan operasi
lalu lintas di JLS (jalan lingkar selatan) dengan penanggung jawab operasi yaitu
KBO Satlantas Polres Salatiga IPTU HARJAN WIDODO, SH.
43
Pada saat operasi lalu lintas yang diadakan Satlantas Polresta Salatiga dari
arah Semarang ada sebuah kendaraan berupa Armada GRANDMAX Nomor
Polisi H 8412 VC yang kemudian dihentikan oleh Petugas Satlantas Polresta
Salatiga untuk dilakukan kelengkapan surat-surat kendaraan, dari hasil
pemeriksaan tersebut diketahui STNK Mobil GRANDMAX Nomor Polisi H 8412
VC, atas nama Endar Susilo tersebut ternyata sudah tidak membayar
pajak/terlambat membayar pajak sejak Thaun 2011 dan kemudian SIM dari
Pengemudi Armada GRANDMAX tersebut atas nama Suharno setelah diperiksa
sudah tidak berlaku/habis masa berlakunya pada Tahun 2013.
Kemudian Petugas Satlantas Polresta Salatiga berkonsultasi dengan KBO
Satlantas Polresta Salatiga (Iptu Harjan Widodo, SH), selaku penanggung jawab
Operasi dan memutuskan menindak lanjuti dengan cara membuat Surat Tilang
dan menyita Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC. Pengemudi
Armada GRANDMAX yang bernama Suharno tidak bersedia menandatangani
surat tilang tersebut dan Suharno menelepon temannya. Setelah selang waktu
teman-teman Suharno (Pengemudi Grandmax Nomor Polisi H 8412 VC) meminta
mobil tersebut tidak disita dan mengancam akan mempraperadilan semua petugas
yang beroperasi pada saat itu.
Setelah dilakukan pembicaraan bersama Petugas Satlantas Polresta
Salatiga dan Pemilik Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC yang
bernama Endar Susilo, tidak terjadi kesepakatan diantar kedua belah pihak dan
saudara Endar Susilo meremas surat tilang selanjutnya kertas tilang tersebut
dibuang dan oleh kemudian Petugas Satlantas diambil dan dijadikan satu barang
bukti yang diamankan oleh Petugas Satlantas Polresta Salatiga. Sehubung dengan
44
adanya jawaban Termohon tersebut, atas kesempatan yang diberikan Pemohon
telah menyampaikan tanggapan/Repliknya secara lisan di persidangan yaitu pada
tanggal 17 Februari 2014 yang pokoknya menyatakan bertetap pada dalil-dalil
permohonannya, dengan adanya Replik dari Pemohon tersebut, atas kesempatan
yang sama, Pika Termohon telah mengajukan Duplik secara lisan dalam
persidangan secara lisan, dengan tanggal yang sama yaitu 17 Februari 2014 pada
pokoknya menyatakan dalil-dalil jawabannya.
Untuk mendukung dalil-dalil permohonannya tersebut, Pemohon telah
mengajukan surat-surat bukti ke persidanga, yaitu sebagai berikut :
1. Bukti P.1, yaitu berupa foto copy Akta pendirian Associate Law Firm
Advocates Dan Legal Consultans “Solidaritas”, tanggal 6 Februari 2013;
2. Bukti P.2, yaitu berupa foto copy Buku Pemilik Kendaraan
Bermotor/BPKB tertanggal 4 November 2009;
3. Bukti P.3 yaitu, berupa foto copy Kartu Tanda Penduduk atas nama H.
Endar Susilo, SH, MH, tertanggal 10 Desember 2013;
4. Bukti P.4 yaitu, berupa foto copy Kartu Advokat dan Kartu Lembaga
Bantuan Hukum “Solidaritas” atas nama H. Endar Susilo SH,MH;
Surat-surat bukti tersebut diatas telah diteliti dan dicocokkan kebenarannya,
selain bukyi-bukti yang disebutkan diatas pihak Pemohon juga telah mengajukan
2 (dua) orang saksi guna didengar keterangannya, Saksi yang bernam SUHARNO
berumur 36 Tahun telah bersumpah memberikan keterangan yang pada pokoknya
bahwa, saksi bekerj Ssebagai sopir di LBH Solidaritas dan Bahwa awalnya pada
hari rabu tanggal 15 Februari 2014, saksi ditugaskan oleh Komisaris LBH
45
Solidaritas untuk ke Pengadilan Negeri Boyolali dan setelah saksi berangkat dari
Bawen dengan menggunakan 1 unit mobil GRANDMAX No. H 8412 VC
sesampainya di JLS Salatiga sekitar pukul 11.00 Wib kurang, saksi dihentikan
oleh petugas Satlantas Polres Saltiga dan diperiksa surat-surat kendaraanya.
Dikarenakan saksi tidak pernah mengontrol. Ternyata saat pemeriksaan
SIM saksi sudah mati sejak Bulan Maret 2013 dan STNK mobil juga terlambat
membayar pajaknya dan kemudian saksi meminta kepada anggota Satlantas
Polres Salatiga memeriksa surat-surat kendaraan tersebut dan oleh Petugas
Satlantas Polres Salatiga disodori daftar denda tilang yang sudah mencantumkan
nominal dendanya dan karena saksi tidak membawa uang, kemudia saksi meminta
uang sebesar RP 250.000,- kepada saksi yang bernama Endang yang pada saat itu
berada bersama saksi Suharno, dikarena saksi Endang tidak memiliki uang untuk
membayar tilang dan mengatakan kepada Petugas Satlantas Polres Salatiga
dikenakan tilang saja, Kemudian dibuatkan surat tilang oleh Petugas, akan tetapi
setelah dijelaskan yang disita adalah 1 unit mobil GRANDMAX yang
dikemudikan oleh saksi dan kunci kendaraan tersebut sudah ditangan Petugas
Satlantas Polres Salatiga.
Saksi tidak berkenan menandatangani surat tilang yang diberikan oleh Petugas
Satlantas Polres Salatiga dan berusaha menghubungi Komisaris LBH
“Solidaritas” kemudian memberitahukan bahwa saksi yang bernama Suharno kena
tilang dan mobilnya disita oleh Petugas, tidak lama kemudian Komisaris LBH
“Solidaritas” yaitu H. Endar Susilo menemui anggota Satlantas sedangkan saksi
langsung masuk kedalam mobil. Dari keterangan H.Endar Susilo kepada anggota
Satlantas memberitahukan bahwa ketika mendaftar kerja saksi yaitu, Suharno
46
memiliki SIM yang masih berlaku. Pada saat terjadi pemerikasaan yang dilakukan
saksi yaitu Suharno hanya membawa uang sebesar RP 100.000,- dan Nominal
uang yang dibawa oleh Suharno tidak cukup dengan denda tilang yang disodorkan
oleh petugas Satlantas. Pada saat itu yang surat tilang yang diberikan kepada
Suharno berwarna merah muda dan saksi hanya melihat sepintas terdapat jumlah
nominal dalam kertas tersebut, dan nominal itu tekah tercetak rapi dan bukan dari
tulisan tangan.
Saksi kedua (2) yang bernama, Endang Sri Lestari berumur 38 Tahun dan
bekerja di LBH “Solidaritas”. Pada saat kejadian hari rabu tanggal 15 Februari
2014 sekitar pukul 11.00 Wib, saksi berada didalam mobil bersama dengan
suharno saksi pertama (1) dari Pemohon, saksi mengakui bahwa Mobil yang
dikemudiakan oleh rekannya yaitu suharno adalah Mobil GRANDMAX berwarna
hitam Nopol H 8412 VC milik H. Endar Susilo selaku Komisaris LBH
“Solidaritas” dimana tempat saksi bekerja. Bahwa saat itu saksi mengetahui ada
pemeriksaan yang dilakukan Oleh Petugas Satlantas Polres Salatiga, akan tetapi
saksi tidak mengetahui jika saksi yaitu Suharno mengeluarkan surat-surat
kendaraan yang diminta oleh Petugas Satlantas, dikarena saksi Endang berada
didalam mobil, yang saksi ketahui adalah pada saat itu juga Suharno menghampiri
saksi kedalam mobil dan meminjam uang sebesar RP 250.000,- akan tetapi saksi
tidak memiliki pada saat itu dan saksi menyarankan kepada Suharno untuk
ditilang saja. Kemudian setelah berbicara dengan Petugas Satlantas Suharno
mendatangi saksi dan berkata sudah ditilang dan mobil akan disita, kemudian
saksi menyarankan kepada Suharno untuk tidak menandatangani surat tilang
tersebut dan selanjutnya saksi menghubungi Pak Endar Susilo dan menceritakan
47
kejadian pada saat itu, saksi tidak mengetahui apa yang dibicarakan oleh Pak
Endar Susilo dan Petugas Satlantas karena saksi masih tetap berada didalam
mobil.
Bahwa sebaliknya Pihak Termohon untuk mendukung Dalil-dalil tersebut
telah mengajukan surat-surat buktinya ke persidangan yaitu sebagai berikut :
1. Bukti T.1, yaitu berupa foto copy Surat perintah Nomor :
Sprin/122/I/2014/Lantas, tertanggal 31 Januari 2014;
2. Bukti T.2, yaitu berupa foto copy Surat Tanda Nomor Kendaraan
Bermotor/STNK atas nama pemilik Endar Susilo;
3. Bukti T.3, yaitu berupa foto copy Surat Izin Mengemudi (SIM) atas nama
Suharno, tertanggal 14 Maret 2013;
4. Bukti T.4, yaitu berupa foto copy Bukti Pelanggaran Lalu Lintas Jalan
Tertentu atas SUHARNO;
Surat-surat bukti mana telah teliti dan dicocokkan kebenarannya dengan
surat aslinya dan ternyata cocok, Bahwa selain bukti seperti tersebut di atas,
Pihak Termohon juga telah mengajukan 1 (satu) orang saksinya guna di
dengar keterangan persidangan yaitu, Saksi yang bernama Singgih Karya
Kumara berumur 28 Tahu merupakan Anggota Satlantas Polres Salatiga,
Bahwa saksi bersama bersama 12 personil Satlantas Polres Salatiga di bawah
penanggung jawab operasi Iptu. Harjan Widodo sebagai KBO Satlantas
Salatiga, berdasarkan Sprint dari Kapolres, pada hari Rabu tanggal 15 Februari
2014 melakukan razia rutin di Jalan Lingkar Salatiga di depan Rumah Makan
Bale Raos dari pukul 10.00 Wib sampai dengan pukul 12.00 Wib ada kejadian
48
tersebut, kemudian saksi menghentikan mobil GRANDMAX warna hitam H
8412 VC, saat terjadi pemeriksaan oleh anggota Satlantas ternyata STNK
mobil tersebut sudah terlambat membayar pajak dan SIM penggemudi mobil
tersebut sudah mati karena habis masa berlakunya pada bulan Maret 2013.
Kemudian saksi menilang mobil tersebut dan memberitahukan kepada
penggemudi mobil GRANDMAX warna hitam Nomor Polisi H 8412 VC
tersebut disita, bahwa setelah diberitahaukan mobil akan disita penggemudi
tersebut yang bernama Suharno tidak berkenan menandatangani surat tilang
tersebut dan kembali menuju mobil yang dikendarainya dan berbicara dengan
rekannya yang berada dimobil tersebut, kemudian rekan yang ada dimobil
tersebut memberikan saran untuk tidak menandatangani surat tilang tersebut.
Kemudian Suharno memberitahukan kepada saksi yang menandatangani
adalah atasan saya dan saksi berusaha menjelaskan kepada Suharno bahwa
yang bersangkutan melanggar aturan Lalu lintas, akan tetapi Suharno tetap
bersikeras tidak menandatangani surat tilang tersebut.
Pemilik kendaraan yang bernama H. Endar Susilo datang sambil
mengeluarkan perkataan yang membentak dan marah-marah kemudian
mengatakan “petugas arogan, yang berhak menyita adalah Pengadilan Negeri”
serta mengancam akan mempraperadilankan semua petugas Satlantas pada
saat itu. Pada saat itu saksi membuatkan surat tilang dan pelanggar juga
menanyakan berapa dendanya, yang oleh saksi kemudian ditunjukkan daftar
denda sesuai dengan UU No 22 tahun 2009 dan saat itu pelanggar saksi
menyuruh untuk membaca sendiri besaran denda yang harus dibayarkan oleh
pelanggar. Kemudian mobil itu disita dan kunci mobil diambil setelah pemilik
49
kendaraan yang bernama H. Endar Susilo Datang. Sejak awal surat tilang
diberikan kepada pelanggar akan tetapi pelanggar tidak terima dan Pada saat
Pak H. Endar Susilo bersama teman-temannya menggunakan mobil yang lain,
Saksi memberikan surat tilang tersebut kepada pemilik kendaraan sambil
berlari dan meletakkan didalam mobil akan tetapi Pak H. Endar Susilo
mengatakan “jangan mau” dan kemudian surat tilang tersebut dibuang keluar
mobil.
Bahwa surat tilang tersebut berwarna merah muda, berisikan nama
pelanggar, pasal yang dilanggar, tanggal pelanggaran, kolom barang bukti
yang disita dan hari tanggal sidang, pada saat melakukan Operasi saksi tidak
menunjukkan surat Perintah Operasi dan pada saat memeriksa kelengkapan
surat-surat mobil, STNK GRANDMAX tersebut ada tetapi sudah telat
membayar pajaknya, bahwa menurut saksi mobil GRANDMAX tersebut
disita karena pajak mobil tersebut tidak dibayar dan SIM dari penggemudinya
sudah mati sehingga telah melanggar Pasal 281 dan Pasal 288 UU No 22
Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan penggemudi tidak berhak mengendarai
mobil tersebut jadi bukan karena kecurigaan terhadap masalah kepemilikan
kendaraan tersebut.
Dalam Pasal 281 menyatakan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), seperti hal yang terjadi pada pengemudi
Suharno SIM mati dan STNK terlambat membayar pajak mengakibatkan mati,
50
terlihat tidak ada kewenangan Suharno dan Endar Susilo elaku Pemilik
kendaraan sekaligus Komisaris LBH “SOLIDARITAS”, ada keringanan
hukuman yang ditawarkan Petugas Satlantas Polres Salatiga pada saat
Suharno tidak melengkapi surat-surat kendaraan bermotor, dengan kata lain
juga pengemudi kurang cermat dan melanggar aturan Lalu lintas dan angkutan
jalan. Pasal 288 menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mengemudikan
Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak dilengkapi dengan Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor atau Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor
yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah), Dalam hal penjelasan dalam ketentuan-ketentuan ini terlihat
tindak lanjut yang diberikan Kepolisian, khususnya yang mengatur terciptanya
keamaanan dan ketertiban lalu lintas dan juga memberikan efek jera bagi
pelaku pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.
1. Pertimbangan Majelis Hakim Pra Pradilan Dalam Putusan No
01/Pra.Pid/2014/PN.Sal
Putusan Majelis pada Tingkat I yang terkait dengan Penyitaan Kendaraan
antara LBH “SOLIDARITAS” dengan Petugas Satlantas Polres Salatiga yang
dimuat dalam diktum dalam pokok perkara sebagaimana dicantum pada diktum
pertama dan kedua sebagai berikut :
a. Menyatakan menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya
51
b. Menyatakan membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya
perkara yang hingga kini ditasir sebesar : NIHIL
Berdasarkan hal-hal yang disebutkan diatas Pemohon meminta agar dalam
Putusan Pertimbangan Hakim sebagai berikut :
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan penyitaan barang tanpa ada berita acara yang ditanda tangani oleh
Pemilik Armada atau yang membawa oleh Penyidik atau Anggota Satuan Lalu
Lintas Resort Salatiga telah melakukan pelanggaran hukum dan main hakim
sendiri secara tidak sah sesuai aturan hukum;
3. Memerintahkan Termohon untuk mengembalikan unit Armada GRANDMAX
Nomor Polisi H 8412 VC An. Endar Susilo warna hitam dengan Nomor
Rangka MHKV3BA3J9K006402 Nomor Mesin DE52914;
4. Menyatakan menurut hukum IPTU. HARJAN WIDODO tidak berwenang
menyita Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC STNK An. Endar
Susilo warna hitam dengan Nomor Rangka MHKV3BA3J9K006402 Nomor
Mesin DE52914 tanpa perintah penyitaan oleh Ketua Pengadilan Negeri
setempat, bahkan melakukan pelanggaran hukum pidana adanya perampasan
barang atau obyek sengketa;
5. Menyatakan menurut hukum sah dan berharga institusi KEPOLISIAN
REPUBLIK INDONESIA Cq. KEPOLISIAN DAERAH JAWA TENGAH Cq.
KESATUAN LALU LINTAS RESORT SALATIGA untuk mendapat sanksi
denda secara moril kerugian setara pendirian LBH “SOLIDARITAS” sebesar
52
Rp.1.000.000,- (saru milyar rupiah). Denda secara materiel Unit GRANDMAX
tahun 2010 senilai Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta) dibayar sesuai tunai
didepan petugas yang mendapat kekuatan hukum tetap (INCRACT);
Berdasarkan Pasal 260 ayat 1 huruf (d) UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan yang menyebutkan bahwa “ melakukan penyitaan
terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor, muatan, Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau
tanda lulus uji sebagai barang bukti”, ini merupakan kewenangan dari Polisi untuk
menyita surat-surat kendaraan bermotor yang tidak sesuai dengan prosedur
Hukum khususnya pada lalu lintas dan angkutan jalana, pada kejadian ini Petugas
Satlantas Polres Salatiga telah menjalankan kewenangannya kepada pengemudi 1
(satu) unit Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC, An Endar Susilo
warna hitam dengan nomor rangka MHKKV3BA3J9K006402 Nomor mesin
DE52914 dengan melakukan penyitaan kendaraan bermotor, Berhubungan dengan
itu Diatur juga dalam Pasal 32 ayat (6) Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2012
tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan bermotor Di Jalan Dan Penindakan
Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa “Penyitaan
atas Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf (f) dilakukan
jika” :
a. Kendaraan bermotor tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor
Kendaraan yang sah pada waktu dilakukan pemeriksaan Kendaraan
Bermotor di Jalan.
b. Pengemudi tidak memiliki surat izin pengemudi
53
c. Terjadi pelanggaran atas pesyaratan teknis dan persyaratan laik jalan
Kendaraan Bermotor.
d. Kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau
digunakan untuk melakukan pidana.
e. Kendaraan bermotor terlibat kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
meninggalnya orang atau luka berat.
Pengaturan tersebut diatas, semakin menguatkan Petugas Satlantas Polres
Salatiga untuk menyita kendaraan bermotor yang dimiliki Endar Susilo,
dikarenakan setiap kelengkapan surat-surat tidak sesuai ketentuan-ketentuan
Hukum Lalu lintas da Tata cara dalam pengoperasian kendaraan bermotor.
Dalam mempertimbangkan pendapat, Majelis Hakim sudah tepat bahwa
Permohonan Pemohon Ditolak, dikarenakan bahwa Surat Izin Mengemudi (SIM)
dan Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) yang ditujukkan saat
pemeriksaan sudah mati dan terlambat pembayaran pajaknya, didasarkan atas
pelanggaran terhadap Undang-Undang RI No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, namun saksi beranggapan bahwa Penyitaan kendaraan 1
(satu) Unit Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC tersebut yang
dilakukan Petugas Satlantas Polres Salatiga tidak sesuai prosedur Hukum. Karena
padaa terjadi tilang, saksi yaitu Suharno tidak bersedia menandatangani surat
tilang tersebut.
C. ANALISIS
1. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Pra Pradilan dengan Tata Cara
Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
54
Penulis Sependapat dengan Pertimbangan Hakim Tingkat I,
mengenai Pemeriksaan Oleh Petugas Satlantas Polres Salatiga yang
melakukan Razia setelah ditelaah sudah sesuai dengan Prosedur Hukum
yaitu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 80 Tahun 2012
Tentang Tata Cara Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan
Jalan, Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan. Dalam hal pembelaan yang disampaikan Pemohon dalam
persidangan menunjuk saksi yaitu, Suharno sebagai Penggemudi 1 (satu)
Unit Armada GRANDMAX Warna hitam Nomor Polisi H 8412 VC
Pemilik Kendaraan Endar Susilo yang juga sebagai Komisaris LBH
“SOLIDARITAS”. Pada saat dilakukan operasi razia, saksi tidak bersedia
menandatangani surat tilang tersebut, Dalam hal tersebut yang harus
dilakukan Petugas Satlantas Polres Salatiga yaitu, Pada Pasal 27 ayat (4)
PP No 80 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penindakan Pelanggran Lalu
Lintas Dan Angkutan Jalan menyebutkan bahwa “ Dalam Hal pelanggar
tidak bersedia menandatangani surat tilang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Petugas harus memberikan catatan. Karena menurut hemat
penulis surat tilang harus ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa dan
pelanggar PP No 80 Tahun 2012 Tentang Tata Cara Penindakan
Pelanggaran Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Pasal 27 ayat (1), dijelaskan
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan
penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan yang diduga
berhubungan dengan tindak pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Tata
cara penyitaan, penyimpanan, dan penitipan benda sitaan dilakukan
55
menurut ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 270
ayat (4) UU No 22 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa tata penyitaan
kendaraan umum berdasarkan Kitab Hukum Undang-undang Pidana.
Menurut KUHAP, penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik
dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat. Dalam keadaan yang
sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan
tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, maka setelah
itu penyidik wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri
setempat guna memperoleh persetujuannya (Pasal 38 KUHAP).
Adapun Yang dapat dikenakan penyitaan menurut pasal 39 KUHAP
adalah:
1. benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dan
tindak pidana;
2. benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
3. benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan
tindak pidana;
4. benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
5. benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak
pidana yang dilakukan.
56
Setiap Penindakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dilaksanakan
berdasarkan tata cara pemeriksaan cepat yang digolongan menjadi dua
bagian yaitu :
a. Tata Cara pemeriksaan terhadap tindak pidana ringan; dan
b. Tata Cara pemeriksaan perkara terhadap tindak pidana
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan tertentu.
Tata cara pemeriksaan yang disebutkan diatas dilakukan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan penertiban angkutan jalan
dilaksanakan dengan penerbitan surat tilang. Terlihat jelas proses
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Petugas Satlantas Polres Salatiga sudah
mengikuti ketentuan-ketentuan perundang-undangan. Akan tetapi kesalahan
terjadi pada Penggemudi yaitu Suharno yang tidak memperhatikan surat-surat
kelengkapan kendaraannya dan Endar Susilo sebagai pemilik kendaraan yang
tidak membayar pajak STNK tersebut. Kemudian mengenai penyitaan
kendaraan bermotor oleh petugas polisi lalu lintas, hal ini terkait dengan
kewenangan polisi lalu lintas.
Kewenangan petugas polisi lalu lintas tersebut diatur dalam Pasal 260 UULLAJ:
(1) Dalam hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana, Penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan berwenang:
57
a. Memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan menyita
sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga melanggar peraturan
berlalu lintas atau merupakan alat dan/atau hasil kejahatan;
b. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan
Penyidikan tindak pidana di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. Meminta keterangan dari Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau
Perusahaan Angkutan Umum;
d. Melakukan penyitaan terhadap Surat Izin Mengemudi, Kendaraan Bermotor,
muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat Tanda Coba
Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai barang bukti;
Kemudian, mengenai penyitaan kendaraan bermotor, hal tersebut dapat
dilakukan jika Pasal 32 ayat (6) PP 80/2012):
a. Kendaraan Bermotor tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor
Kendaraan yang sah pada waktu dilakukan Pemeriksaan Kendaraan
Bermotor di Jalan;
b. Pengemudi tidak memiliki Surat Izin Mengemudi;
c. Terjadi pelanggaran atas persyaratan teknis dan persyaratan laik jalan
Kendaraan Bermotor;
d. Kendaraan Bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau
digunakan untuk melakukan tindak pidana; atau
e. Kendaraan Bermotor terlibat kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan
meninggalnya orang atau luka berat.
58
Polisi memiliki kewenangan dalam menjaga ketertiban, keamanan lalu lintas
dan angkutan jalan. Polisi mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni
sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan
paksaan agar yang diperintah menjalankan badan tidak melakukan larangan-
larangan perintah. Tugas, Fungsi, kewenangan dijalankan atas kewajiban untuk
mengadakan pengawasan dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan
cara melaksanakan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan memaksa
yang diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa perantara
pengadilan.4 Pada Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Polisi Fungsi kepolisian yang dimaksud adalah tugas dan wewenang Kepolisian
secara umum, artinya segala kegiatan pekerjaan yang dilaksanakan oleh polisi
meliputi kegiatan pencegahan (preventif) dan penegakan hukum (represif).
Perumusan fungsi ini didasarkan pada tipe kepolisian yang tiap-tiap negara
berbeda-beda, ada tipe kepolisian yang ditari dari kondisi sosial yang
menempatkan polisi sebagai tugas yang bersama-sama dengan rakyat dan polisi
yang hanya menjaga status quo dan menjalankan hukum saja.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan tindak lanjut dan amanat ketetapan MPR RI No.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian
Negara Republik Indonesia, khususnya pasal 3 ayat (2). Oleh karena itu, Undang-
4 Momo Kelana, 1984. Hukum Kepolisian. Perkembangan di Indonesia Suatu studi Histories
Komperatif Jakarta: PTIK, hlm. 18
59
undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
secara kelembagaan diantaranya meliputi eksistensi, fungsi, tugas dan
wewenangmaupun bantuan, hubungan dan kerjasama kepolisian. Di dalam
undang-undang dimaksud, fungsi kepolisian diartikan sebagai tugas dan
wewenang, sehingga fungsi kepolisian yang dimaksud dalam Pasal 2 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
yang menyebutkan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Petugas yang melakukan pemeriksaan atau razia kendaraan bermotor di
jalan harus dilengkapi surat penugasan yang dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas Polisi
Negara Republik Indonesia dan menteri untuk pemeriksaan yang dilakukan oleh
pemeriksa Pegawai Negeri Sipil. Dalam surat perintah tugas tersebut,
sebagaimana yang termuat dalam Pasal 14, harus pula memuat beberapa hal
sebagai berikut:
a. Alasan dan jenis pemeriksaan.
b. Waktu pemeriksaan.
c. Tempat pemeriksaan.
d. Penanggung jawab dalam pemeriksaan.
e. Daftar petugas pemeriksa.
60
f. Daftar pejabat penyidik yang ditugaskan selama dalam
pemeriksaan.
Dalam hal memiliki kendaraan bermotor seorang pribadi ataupun badan wajib
memperhatikan kelengkapan kendaraan umum yang dimiki. Pasal 106 ayat (5) jo
Pasal 265 UULLAJ, SIM dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) memang
merupakan hal yang diperiksa oleh Petugas Polisi Lalu Lintas dalam hal
pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. STNK dan SIM memiliki fungsi yang
berbeda, STNK berfungsi sebagai tanda bahwa kendaraan bermotor telah
diregistrasi (Pasal 65 UU LLAJ), sedangkan SIM berfungsi sebagai tanda bukti
legitimasi kompetensi, alat kontrol, dan data forensik kepolisian bagi seseorang
yang telah lulus uji pengetahuan, kemampuan, dan ketrampilan untuk
mengemudikan kendaraan bermotor di jalan sesuai dengan persyaratan yang
ditentukan berdasarkan UULLAJ (Pasal 1 angka 4 Perkapolri No 9 Tahun 2012
tentang Surat Izin Mengemudi), Akan tetapi dalam hal ini juga dijelaskan Dalam
Pasal 70 ayat (2) UU No 22 Tahun 2009 tentang LLAJ, disebutkan “ Surat Tanda
Nomor Kendaraan Bermotor dan Tanda Nomor Kendaraan Bermotor berlaku
selama 5 (lima) tahun, yang harus dimintakan pengesahan setiap tahun”5, penulis
berpendapat bahwa operasi tilang yang dilakukan oleh Petugas Satlantas Polres
Salatiga pada tanggal 5 Februari 2014 telah sesuai dengan prosedur Hukum,
karena masa berlaku surat tanda nomor bermotor dan tanda nomor (STNK)
berlaku secara jelas disebutkan diatas selama 5 Tahun, akan tetapi yang
melanggar lalu lintas ada Pajak kendaraan yang sudah tidak berlaku lagi, sehingga
Pihak Petugas Satlantas Polres Salatiga memutuskan untuk menilang Suharno
5 UU No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan.
61
sebagai Pengemudi dan menyita kendaraan sesuai dengan ketentuan pada
Lampiran 10, Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No : M.14-
PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, dielaskan bahwa “ Penyitaan benda dalam keadaan
tertangkap tangan, tidak perlu mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri, akan
tetapi setelah penyitaan dilakukan wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) karena keadaan tertangkap
tangan disamakan pengertiannya dengan keadaan yang sangat perlu dan
mendesak, Jik pwnyitaan tersebut dilakukan dalam suatu razia, tidak diperlukan
izin dari Ketua Pengadilan dikarenakan bahwa tindakan polisi dalam mengadakan
razia itu adalah merupakan tindakan preventif yang berada di luar jangkaun
KUHAP.
2. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Pra Pradilan dengan Tata Cara
Penyitaan
Penulis sependapat dengan apa yang telah di Pertimbangkan Hakim
Tingkat I, mengenai hal permohonan pemohon telah mengemukakan bahwa
tindakan Termohon dalam melakukan penyitaan terhadap 1 (satu) Unit Armada
GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC, STNK atas nama Endar Susilo warna
hitam dengan nomor rangka MHKV3BA3J9K006402 nomor mesin DE52914
adalah tanpa prosedur hukum dan memohon agar benda yang telah disita harus
diserahkan kembali kepada Pemohon. Untuk menguatkan dalil-dalil
permohonannya tersebut Pemohon telah mengajukan bukti surat, yaitu Bukti P1
sampai dengan P4 dan 2 orang saksinya yaitu Suharno dan Endang Sri Lestari,
akan tetapi atas dalil permohonan yang disampaikan Pemohon tersebut pihak
62
Termohon dalam jawabannya telah membantahnya dengan menyatakan bahwa
penyitaan terhadap 1 (satu) unit Armada GRANDMAX Nomor Polisi H 8412 VC,
STNK atas nama Endar Susilo warna hitam dengan nomor rangka
MHKV3BA3J9K006402 nomor mesin DE52914 adalah sah dan berdasarkan
hukum karena dilakukan sesuai dengan kewenangan Termohon, Untuk
menguatkan dalil-dalil bantahannya tersebut Termohon mengajukan Bukti Surat,
yaitu Bukti T.1 sampai dengan T.4 dan 1 orang saksi yaitu, Singgih Karya
Kumara. Dengan Adanya Pasal 32 ayat (6) Peraturan Pemerintah No 80 Tahun
2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Di Jalan dan
Penindakan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Petugas Kepolisian juga dapat
melakukan Penyitaan atas kendaraan bermotor jika :
1. Kendaraan bermotor tidak dilengkapi dengan Surat Tanda Nomor
Kendaraan yang sah pada waktu dilakukan pemeriksaan kendaraan
dijalan;
2. Penggemudi tidak memiliki Surat Izin Mengemudi
3. Terjadi pelanggaran atas persyaratan teknis dan dan persyaratan laik
jalan kendaraan bermotor;
4. Kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana atau
digunakan untuk melakukan tindak pidana, atau;
5. Kendaraan bermotor terlibat kecelakaan lalu lintas yang
mengakibatkan meninggalnya orang atau luka berat;
Penulis juga sependapat dengan terhadap Pertimbangan Hakim yang
menyatakan bahwa Penyitaan yang dilakukan oleh Petugas Satlantas Polres
Salatiga sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) dalam Lampiran angka 10,
63
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.14-PW.07.03
Tahun 1983 Tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Menurut Hemat Penulis bahwa penyitaan yang dilakukan
oleh Petugas Satlantas Polres Salatiga sesuai dengan prosedur hukum, jika
penyitaan tersebut dilakukan dalam suatu razia, tidak diperlukan izin dari Ketua
Pengadilan. Hal tersebut didasarkan alasan bahwa tindakan Polisi dalam
mengadakan Operasi Razia itu adalah merupakan tindakan preventif yang berada
di luar jangkauan KUHAP. KUHAP hanya mengatur keadaan pada saat setelah
tindak pidana terjadi (Represif) dan sejak awal Pemohon sudah tidak menaati
ketentuan-ketentuan Hukum, dengan tidak menandatangani Surat Tilang yang
telah dibuat oleh Petugas Satlantas Polres Salatiga. Berbanding terbalik dengan
Pasal 38 ayat (1) KUHAP yang menyatakan “ Penyitaan hanya dapat dilakukan
oleh Penyidik dengan surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat “, Serta
melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf a sampai dengan e yaitu :
1. Benda atau Tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dan tindak pidana atau sebagai hasil dari
tindak pidana.
2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau mempersiapkannya.
3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana.
4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana.
64
5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
yang dilakukan.
Dalam kedua ketentuan peraturan perundang-undangan yang disebutkan
penulis diatas mengatur kedua hal yang berbeda, sehingga menurut Hemat penulis
yang harus digunakan adalah asas yang menyebutkan “ Lex Posterior Derogat
Legi Priori” yang artinya Hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang
lama. Dalam hal mengendarai kendaraan bermotor seharusnya penggemudi
memperhatikan kelengkapan surat-surat kendaraan tersebut, dikarenakan itu
menyangkut keamanan, ketertiban Lalu lintas, akan tetapi menurut Hemat penulis
saksi Suharno dari Pemohon tidak memperhatikan hal tersebut, sehingga
mengakibatkan kerugian materiel dan moril terhadap LBH “SOLIDARITAS”
yang mengalami tidak terlaksana Persidangan perkara yang ditangani oleh
Pengadilan Negeri Semarang menjadi terlambat dan tidak bisa melaksanakan
agenda sidang sehingga merugikan kepentingan klien LBH “SOLIDARITAS”.
Setiap Penyitaan kendaraan bermotor oleh Petugas Polisi Lalu Lintas juga terkait
dengan kewenangan Polisi Lalu Lintas yang diatur dalam Pasal 260 ayat (1) huruf
(d) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan :
(1) Dalam Hal penindakan pelanggaran dan penyidikan tindak pidana,
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia selain yang diatur di
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan berwenang :
a. Memberhentikan, melarang, atau menunda pengoperasian dan
menyita sementara Kendaraan Bermotor yang patut diduga
65
melanggar peraturan berlalu lintas atau merupakan alat dan atau/hasil
kehatan;
b. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkaitan dengan
penyidikan tindak Pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. Meminta keterangan dari Penggemudi, pemilik Kendaraan Bermotor,
dan/atau Perusahaan Angkutan Umum.
d. Melakukan Penyitaan terhadap Surat izin Mengemudi, Kendaraan
Bermotor, muatan, Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor, Surat
Tanda Coba Kendaraan Bermotor, dan/atau tanda lulus uji sebagai
barang bukti;
e. Melakukan penindakan terhadap tindak pidana pelanggaran atau
kejahatan lalu lintas menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan;
f. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
g. Menghentikan penyidikan jika tidak cukup bukti;
h. Melakukan Penahanan yang Berkaitan dengan Tindak Pidana
kejahatan lalu lintas dan/atau;
i. Melakukan Tindakan Lain Menurut hukum secara bertanggung
Jawab;