BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A ... · Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana...

50
18 BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. KERANGKA TEORI 1. Pengertian Tindak Pidana Kehutanan Tindak Pidana Kehutanan adalah meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan berpotensi merusak hutan. 1 Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana kehutanan adalah suatu rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.Pengertian tindak pidana kehutanan secara umum adalah penebangan kayu yang dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Menurut LSM Indonesia Telapak Tahun 2002, Pengertian tindak pidana kehutanan adalah operasi atau kegiatan yang belum mendapat izin dan yang merusak. 2 Menurut Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, Pengertian tindak pidana kehutanan adalah semua kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan dan pengelolaan, serta perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum 1 Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 h. 13. 2 Ibid.

Transcript of BAB II KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A ... · Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana...

  • 18

    BAB II

    KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

    A. KERANGKA TEORI

    1. Pengertian Tindak Pidana Kehutanan

    Tindak Pidana Kehutanan adalah meliputi serangkaian pelanggaran

    peraturan yang mengakibatkan exploitasi sumber daya hutan yang berlebihan.

    Rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan

    pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang

    berlaku dan berpotensi merusak hutan.1

    Menurut Haba (2003: 1), Tindak pidana kehutanan adalah “suatu

    rangkaian kegiatan yang saling terkait, mulai dari produsen kayu illegal yang

    melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke pengguna atau konsumen

    bahan baku kayu. Kayu tersebut kemudian melalui proses penyaringan yang

    illegal, pengangkutan illegal dan melalui proses penjualan yang illegal.”

    Pengertian tindak pidana kehutanan secara umum adalah penebangan kayu

    yang dilakukan, yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum.

    Menurut LSM Indonesia Telapak Tahun 2002, Pengertian tindak pidana

    kehutanan adalah operasi atau kegiatan yang belum mendapat izin dan yang

    merusak.2

    Menurut Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch,

    Pengertian tindak pidana kehutanan adalah semua kegiatan

    kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan dan pengelolaan,

    serta perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum

    1Teguh Prasetyo et.al., Korupsi dan Illegal Logging, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008 h.

    13. 2 Ibid.

  • 19

    Indonesia. Lebih lanjut Global Forest Watch mengemukakan

    bahwa tindakan pidana kehutanan terbagi atas dua, yang pertama

    dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan-

    ketentuan dalam izin yang dimilikinya dan yang kedua

    melibatkan pencuri kayu, pohon ditebang oleh orang yang sama

    sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.3

    Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan

    bahwa pengertian tindak pidana kehutanan adalah rangkaian

    kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ke tempat

    pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu yang tidak mempunyai

    izin dari pihak yang berwenang, sehingga tidak sah atau

    bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan dipandang

    sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan.4

    Berikut ini akan dideskripsikan ketentuan pidana dari perundang-

    undangan yang menjadi dasar hukum dalam penegakan hukum pidana di bidang

    kehutanan yaitu antara lain:

    a. Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

    UU Dibidang Kehutanan Yang Terkait dengan Tindak Pidana di

    Bidang Kehutanan:

    1) UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

    Rumusan definisi Tindak Pidana Kehutanan secara eksplisit tidak

    ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,

    namun pidana di bidang kehutanan bisa diidentikkan dengan tindakan atau

    perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai perusakan

    hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU. No. 41 Th. 1999.

    Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan

    Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah

    terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan

    3 Ibid., h 14.

    4 Ibid., h 15.

  • 20

    hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

    fungsinya.”

    Rumusan definisi Tindak Pidana bidang kehutanan secara eksplisit

    tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan, namun tindak pidana bidang kehutanan bisa diidentikkan

    dengan tindakan atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu

    mengenai perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam pasal 50 ayat (2) UU.

    No. 41 Th. 1999.

    Perusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan

    Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah

    terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan

    hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan

    fungsinya.”

    Tindak pidana di bidang kehutanan menurut Undang-undang No.

    41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirumuskan dalam Pasal 50 dan

    ketentuan pidana diatur dalam Pasal 78. Yang menjadi dasar adanya

    perbuatan pidana kehutanan adalah karena adanya kerusakan hutan. Dapat

    disimpulkan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk

    penegakan hukum pidana terhadap kejahatan bidang kehutanan yaitu

    sebagai berikut :

    (1) Setiap orang pribadi maupun badan hukum dan atau badan usaha;

    (2) Melakukan perbuatan yang dilarang baik karena sengaja maupun

    karena kealpaannya;

    (3) Menimbulkan kerusakan hutan, dengan cara-cara yakni :

  • 21

    (a) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan

    (b) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak

    hutan.

    (c) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang

    ditentukan Undang-undang.

    (d) Menebang pohon tanpa izin.

    (e) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima

    titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau

    patut diduga sebagai hasil hutan illegal.

    (f) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH.

    (g) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan

    tanpa izin.

    Disamping ketentuan pidana sebagaimana disebutkan dalam

    rumusan pasal 78, kepada pelaku dikenakan pula pidana tambahan berupa

    ganti rugi dan sanksi administratif berdasarkan pasal 80 ; Melihat dari

    ancaman pidananya maka pemberian sanksi ini termasuk kategori berat,

    dimana terhadap pelaku dikenakan pidana pokok berupa 1). Pidana

    penjara. 2) denda dan pidana tambahan perampasan barang semua hasil

    hutan dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya. Berdasarkan penjelasan

    umum paragraf ke-8 UU No. 41 Tahun 1999 maksud dan tujuan dari

    pemberian sanksi pidana yang berat sebagaimana rumusan pasal 78 UU

    No. 41 Th. 1999 adalah terhadap setiap orang yang melanggar hukum di

    bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi

    pelanggar hukum di bidang kehutanan itu. Efek jera yang dimaksud bukan

  • 22

    hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan

    tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang

    kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena

    sanksi pidananya berat.

    2) UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

    dan Ekosistemnya

    Undang-undang No. 5 Tahun 1990 ini, mengatur dua macam

    perbuatan pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran, sedangkan sanksi

    pidana ada tiga macam yaitu pidana penjara, pidana kurungan dan

    pidana denda. Sanksi pidana terhadap kejahatan diatur dalam Pasal 40

    ayat (1) dan (2) dan sanksi pidana terhadap pelanggaran diatur dalam

    Pasal 40 ayat (3) dan (4) No.5 Tahun 1990, sedangkan unsur-unsur

    perbuatan pidananya diatur dalam Pasal 19, 21 dan Pasal 33 ; Melihat

    dari rumusan ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut maka

    dapat dipahami bahwa pasal-pasalnya hanya secara khusus terhadap

    kejahatan dan pelanggaran terhadap kawasan hutan tertentu dan jenis

    tumbuhan tertentu, sehingga untuk diterapkan terhadap kejahatan

    kehutanan hanya sebagai instrumen pelengkap yang hanya dapat

    berfungsi jika unsur-usur tersebut terpenuhi.

    3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004

    Terkait dengan ketentuan sanksi pidana terkait pengrusakan

    dibidang Kehutanan, terdapat dalam BAB V Sanksi Pidana. Terdapat

  • 23

    dalam Pasal 42 Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

    dimaksud pada Pasal 12 ayat (2), diancamdengan pidana penjara

    paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.

    10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) sebagaimana dimaksud

    pada Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan.

    Pasal 43 ; Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

    dimaksud pada Pasal 14 ayat (2), diancamdengan pidana penjara

    paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.

    5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) sebagaimana dimaksud pada

    Pasal 78 ayat (2) Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

    Kehutanan.

    Pasal 44 ; (1) Semua hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-

    sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan sebagaimana

    dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) dirampas untuk Negara. (2) Alat-alat

    termasuk alat angkut yang dipergunakan untuk melakukan tindak

    pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 Undang-Undang Nomor

    41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dirampas untuk negara.

    b. Ketentuan Pidana Diluar Bidang Kehutanan Yang Terkait Dengan

    Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

    Tindak pidana terhadap kehutanan adalah tindak pidana khusus yang

    diatur dengan ketentuan pidana. Ada dua kriteria yang dapat menunjukan

  • 24

    hukum pidana khusus itu, yaitu pertama, orang-orangnya atau subjeknya yang

    khusus, dan kedua perbuatannya yang khusus (bijzonder lijk feiten)5. Hukum

    pidana khusus yang subjeknya khusus maksudnya adalah subjek atau

    pelakunya yang khusus seperti hukum pidana militer yang hanya untuk

    golongan militer. Dan kedua hukum pidana yang perbuatannya yang khusus

    maksudnya adalah perbuatan pidana yang dilakukan khusus dalam bidang

    tertentu seperti hukum fiskal yang hanya untuk delik-delik fiskal. Kejahatan

    kehutanan merupakan tindak pidana khusus yang dalam kategori hukum

    pidana yang perbuatannya khusus, yaitu untuk delik-delik kehutanan yang

    menyangkut pengelolaan hasil hutan kayu.

    Pada dasarnya kejahatan kehutanan, secara umum kaitannya dengan

    unsur-unsur tindak pidana umum dalam KUHP, dapat dikelompokan ke dalam

    beberapa bentuk kejahatan secara umum yaitu:

    1) Pengrusakan (Pasal 406 sampai dengan pasal 412)

    Unsur pengrusakan terhadap hutan dalam kejahatan kehutanan

    berangkat dari pemikiran tentang konsep perizinan dalam sistem

    pengeloalaan hutan yang mengandung fungsi pengendalian dan

    pengawasan terhadap hutan untuk tetap menjamin kelestarian fungsi

    hutan. Tindak pidana bidang kehutanan pada hakekatnya merupakan

    kegiatan yang menyalahi ketentuan perizinan yang ada baik tidak memiliki

    izin secara resmi maupun yang memiliki izin namun melanggar dari

    ketentuan yang ada dalam perizinan itu seperti over atau penebangan

    diluar areal konsesi yang dimiliki.

    5 Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakara, 2003, hal. 19.

  • 25

    2) Pencurian (pasal 362 KUHP)

    Kegiatan penebangan kayu dilakukan dengan sengaja dan tujuan

    dari kegiatan itu adalah untuk mengambil manfaat dari hasil hutan berupa

    kayu tersebut (untuk dimiliki). Akan tetapi ada ketentuan hukum yang

    mangatur tentang hak dan kewajiban dalam pemanfaatan hasil hutan

    berupa kayu, sehingga kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan itu

    berarti kegiatan yang melawan hukum. Artinya menebang kayu di dalam

    areal hutan yang bukan menjadi haknya menurut hukum.

    3) Penyelundupan

    Hingga saat ini, belum ada peraturan perundang-undangan yang

    secara khusus mengatur tentang penyelundupan kayu, bahkan dalam

    KUHP yang merupakan ketentuan umum terhadap tindak pidana pun

    belum mengatur tentang penyelundupan. Selama ini kegiatan

    penyelundupan sering hanya dipersamakan dengan delik pencurian oleh

    karena memiliki persamaan unsur yaitu tanpa hak mengambil barang milik

    orang lain. Berdasarkan pemahaman tersebut, kegiatan penyelundupan

    kayu (peredaran kayu secara illegal) menjadi bagian dari kejahatan illegal

    logging dan merupakan perbuatan yang dapat dipidana.

    Namun demikian, Pasal 50 (3) huruf f dan h UU No. 41 Tahun

    1999, yang mengatur tentang membeli, menjual dan atau mengangkut

    hasil hutan yang dipungut secara tidak sah dapat diinterpretasikan sebagai

    suatu perbuatan penyelundupan kayu. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak

    jelas mengatur siapa pelaku kejahatan tersebut. Apakah

    pengangkut/sopir/nahkoda kapal atau pemilik kayu. Untuk tidak

  • 26

    menimbulkan kontra interpretasi maka unsur-unsur tentang penyelundupan

    ini perlu diatur tersendiri dalam perundang-undangan tentang ketentuan

    pidana kehutanan.

    4) Pemalsuan (pasal 261-276 KUHP)

    Pemalsuan surat atau pembuatan surat palsu menurut penjelasan

    Pasal 263 KUHP adalah membuat surat yang isinya bukan semestinya atau

    membuat surat sedemikian rupa, sehingga menunjukkan seperti aslinya.

    Surat dalam hal ini adalah yang dapat menerbitkan : suatu hal, suatu

    perjanjian, pembebasan utang dan surat yang dapat dipakai sebagai suatu

    eterangan perbuatan atau peristiwa. Ancaman pidana terhadap pemalsuan

    surat menurut pasal 263 KUHP ini adalah penjara paling lama 6 tahun, dan

    Pasal 264 paling lama 8 tahun. Dalam praktik-praktik kejahatan

    kehutanan, salah satu modus operandi yang sering digunakan oleh pelaku

    dalan melakukan kegiatannya adalah pemalsuan Surat Keterangan Sahnya

    Hasil Hutan (SKSHH), pemalsuan tanda tangan, pembuatan stempel palsu,

    dan keterangan Palsu dalam SKSHH. Modus operandi ini belum diatur

    secara tegas dalam undang-undang kehutanan.

    5) Penggelapan (pasal 372 - 377KUHP)

    Kejahatan bidang kehutanan antara lain : seperti over cutting yaitu

    penebangan di luar areal konsesi yang dimiliki, penebangan yang melebihi

    target kuota yang ada (over capsity), dan melakukan penebangan sistem

    terbang habis sedangkan ijin yang dimiliki adalah sistem terbang pilih,

  • 27

    mencantuman data jumlah kayu dalam SKSH yang lebih kecil dari jumlah

    yang sebenarnya.

    6) Penadahan (pasal 480 KUHP)

    Dalam KUHP penadahan yang kata dasarnya tadah adalah sebutan

    lain dari perbuatan persengkokolan atau sengkongkol atau pertolongan

    jahat. Penadahan dalam bahasa asingnya “heling” (Penjelasan Pasal 480

    KUHP). Lebih lanjut dijelaskan oleh R. Soesilo6 bahwa: “perbuatan itu

    dibagi menjadi, perbuatan membeli atau menyewa barang yang dietahui

    atau patut diduga hasil dari kejahatan, dan perbuatan menjual, menukar

    atau menggadaikan barang yang diketahui atau patut diduga dari hasil

    kejahatan”. Ancaman pidana dalam Pasal 480 itu adalah paling lama 4

    tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900 (sembilan ratus rupiah).

    Modus ini banyak dilakukan dalam transaksi perdagangan kayu illegal

    baik di dalam maupun diluar negeri, bahkan terdapat kayu-kayu hasil

    kejahatan kehutanan yang nyata-nyata diketahui oleh pelaku baik penjual

    maupun pembeli. Modus inipun telah diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf

    f UU No. 41 Tahun 1999.

    2. Teori Penegakan Hukum

    a. Pengertian Penegakan Hukum

    Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

    keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

    penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

    6 Ibid., h 260.

  • 28

    Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep

    konsep hukum yang diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan

    hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.7

    Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum adalah “kegiatan

    menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-

    kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak

    sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,

    memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”

    Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-

    kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya

    menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara

    konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,

    dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung

    jawab.

    Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:8

    a. Ditinjau dari sudut subyeknya: Dalam arti luas, proses penegakkan hukum

    melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan

    hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normative

    atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu

    dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang

    berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan

    hukum.

    Dalam arti sempit, penegakkan hukum hanya

    diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum

    tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu

    aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

    b. Ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu dari segi

    hukumnya:

    Dalam arti luas, penegakkan hukum yang

    mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya

    terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

    7 Dellyana Shant, Konsep Penegakan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 32

    8Ibid h. 34.

  • 29

    keadilan yang ada dalam bermasyarakat. Dalam arti

    sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut

    penegakkan peraturan yang formal dan tertulis.

    Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide

    keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi

    penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide.

    Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

    berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

    dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

    bermasyarakat dan bernegara.9

    Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum

    pidana menjadi 3 bagian yaitu:10

    a. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh

    hukum pidana substantif (subtantive law of crime).

    Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin

    dilakukan sebab para penegak hukum dibatasi secara

    ketat oleh hukum acara pidana yang antara lain

    mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan,

    penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan

    pendahuluan. Disamping itu mungkin terjadi hukum

    pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan.

    Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai

    syarat penuntutan pada delik-delik aduan (klacht

    delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut

    sebagai area of no enforcement.

    b. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi

    area of no enforcement dalam penegakan hukum ini

    para penegak hukum diharapkan penegakan hukum

    secara maksimal.

    c. Actual enforcement, menurut Joseph Goldsein full enforcement ini dianggap not a realistic expectation,

    sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk

    waktu, personil, alat-lat investigasi, dana dan

    sebagainy, yang kesemuanya mengakibatkan keharusan

    9 Ibid., h. 37

    10Ibid., h. 39

  • 30

    dilakukannya discretion dan sisanya inilah yang disebut

    dengan actual enforcement.

    Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka

    penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai

    penerapan hukum pidana (criminal law application) yang

    melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat

    kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan.

    Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat

    hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah

    dipandang dari 3 dimensi:

    a. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan

    hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang

    didukung oleh sanksi pidana.

    b. Penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative system) yang mencakup

    interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum yang

    merupakan sub sistem peradilan diatas.

    c. Penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti bahwa dalam

    mendefinisikan tindak pidana harus pula

    diperhitungkan pelbagai perspektif pemikiran yang ada

    dalam lapisan masyarakat.

    b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

    Faktor faktor yang mempengaruhi penegakan hukum menurut

    Soerjono Soekanto adalah:11

    1) Faktor Hukum Praktik penyelenggaraan hukum di lapangan

    ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian

    hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

    konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang

    bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum

    merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan

    secara normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau

    tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum

    merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang

    kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan

    dengan hukum. Maka pada hakikatnya

    penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law

    enforcement, namun juga peace maintenance, karena

    penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan

    11

    Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali

    Pers, Jakarta, 2013, h. 8-9.

  • 31

    proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola

    perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai

    kedamaian.

    2) Faktor Penegak Hukum Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian

    petugas penegak hukum memainkan peranan

    penting, kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas

    petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu,

    salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan

    hukum adalah mentalitas atau kepribadian penegak

    hokum.

    3) Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung Faktor sarana atau fasilitas pendukung

    mencakup perangkat lunak dan perangkat keras,

    salah satu contoh perangkat lunak adalah

    pendidikan. Pendidikan yang diterima oleh Polisi

    dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis

    konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi

    mengalami hambatan di dalam tujuannya,

    diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan

    computer, dalam tindak pidana khusus yang selama

    ini masih diberikan wewenang kepada jaksa, hal

    tersebut karena secara teknis yuridis polisi dianggap

    belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari

    pula bahwa tugas yang harus diemban oleh polisi

    begitu luas dan banyak.

    4) Faktor Masyarakat Penegak hukum berasal dari masyarakat dan

    bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam

    masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

    sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,

    persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan

    hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,

    atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum

    masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu

    indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.

    5) Faktor Kebudayaan Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari,

    orang begitu sering membicarakan soal kebudayaan.

    Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto,

    mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia

    dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat

    mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat,

    dan menentukan sikapnya kalau mereka

    berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian,

    kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang

    perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai

    apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

  • 32

    3. Tugas Pokok Kepolisian

    Adapun tugas pokok Kepolisian Republik Indonesia adalah sebagai

    berikut:12

    a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

    b. menegakkan hukum; dan

    c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

    masyarakat.

    Mendasari peranan Polri tersebut di atas, bila diperhatikan justru lebih

    banyak melakukan perannya dalam bidang-bidang non represif dari pada

    melakukan tindakan yang represif seperti memberikan perlindungan,

    pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, karena bagaimanapun

    penegakan hukum melalui pendekatan represif jika dibandingkan dengan non

    represif jauh lebih berhasil.

    Terkait dengan peranan Polri dalam penangangan konflik, dalam hal

    ini Polri berangkat dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan melalui pre-

    emtif, preventif, dan represif. Sebelum melakukan tindakan-tindakan yang

    bersifat pre-emtif. Polri selalu melakukan upaya mengindetifikasi dengan

    menggunakan teori gunung es yaitu diusahakan mencari akar permasalahan

    yang mendalam dari pada setiap timbulnya konflik sosial. Pekerjaan ini

    bukanlah mudah, karena permasalahan yang ada di dalam masyarakat sebagai

    sumber terjadinya konflik sosial relatif cukup heteronom dan sekaligus

    memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan budaya, adat istiadat,

    pendididikan , dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam mencari dan mengetahui

    12

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia, Pasal 13.

  • 33

    secara mendalam akar persamalahan timbulnya konflik sosial yang ada, harus

    dilakukan secara konprehensif dan terintegasi antara berbagai fungsi yang

    terkait/terpadu di dalamnya (tokoh masyarakat, pemerintah daerah/pusat,

    berbagai departemen, Polri, dan TNI), lembaga-lembaga peneliti (lembaga

    formal maupun informal) . Tujuannya untuk mensinergikan secara sistematis

    sesuai dengan Tupoksi masing-masing.

    Realisasi langkah-langkah peran Polri dalam menyelesaiakan konflik

    sosial dapat dilakukan pada tahap prakonflik, saat konflik dan pasca konflik.

    Pertama, pada tataran pra konflik. Tataran ini merupakan kondisi sebelum

    terjadinya konflik terbuka namun sudah ada potensi konflik dalam

    masyarakat. Bentuk tindakan kepolisian adalah pre-emtif dan preventif yang

    bertujuan untuk mengelola potensi konflik yang ada agar tidak berkembang

    menjadi konflik sosial secara terbuka. Kedua, pada saat kondisi konflik sosial

    terjadi. Tindakan kepolisian yang dilakukan berbentuk repressif baik bersifat

    yusticial maupun nonjusticial. Tindakan yusticial dilakukan merupa

    penyidikan tindak pidana yang telah mencul dalam konflik terbuka secara

    selektif. Sedangkan tindakan represif non yusticial dapat dilakukan untuk

    tujuan untuk menghentikan konflik sosial terbuka walaupun sifatnya

    sementara yaitu melalui tindakan melokalisasi areal konflik, membubarkan

    kerumunan massa, melakukan razia, dan lain-lain.

    Ketiga, pada kondisi pasca konflik sosial. Dilaksanakan setelah selesai

    konflik sosial terbuka. Tindakan kepolisian dalam situasi ini dilakukan dengan

    tujuan menciptakan kembali kondisi setelah konflik terbuka terjadi. Tujuannya

    adalah untuk menciptakan kembali kondisi sosial yang aman/kondusif,

  • 34

    mewujudkan rasa keadilan dari masyarakat yang berkonflik. Tindakan

    kepolisian yang dilakukan mulai dari tahap pre-emptif, preventif dan represif

    dalam penyelesaian konflik sosial pada dasarnya merupakan fluktuasi

    tindakan yang mengarah pada penciptaan ketertiban umum. Dikatakan sebagai

    fluktuasi tindakan, karena Polri dalam melakukan tidanakan pre-emtif dan

    preventif berawal dari adanya kondisi sosial dalam masyarakat yang

    menyimpan potensi konflik, namun belum muncul dalam bentuk konflik

    terbuka. Pada kondisi ini masyarakat masih dapat melakukan aktivitas sosial

    sehari-hari, kemudian ketika terjadi konflik terbuka, kondisi sosial tersebut

    menjadi terganggu dan memunculkan tindak pidana.

    Oleh karena itu, diperlukan tindakan represif yang diharapkan dapat

    mengembalikan kondisi sosial masyarakat menjadi kondusif. Kondisi pasca

    konflik sosial yang menjadi sasaran upaya polri adalah kembalinya aktivitas

    sosial secara normal serta terujudnya ketertiban umum melalui upaya

    pembinaan ketertiban masyarakat.13

    4. Restorative Justice (Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan)

    Restorative Justice mengandung pengertian yaitu: "suatu pemulihan

    hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak

    pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)

    (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar

    permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut

    dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan

    13

    http://gabebhara.blogspot.co.id/2011/08/peranan-kepolisian-negara-republik.html,

    diakses 3 Maret 2016, jam 17.11.

    http://gabebhara.blogspot.co.id/2011/08/peranan-kepolisian-negara-republik.html

  • 35

    kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice pada prinsipnya

    merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam proses perdamaian di luar

    peradilan dengan menggunakan cara mediasi atau musywarah dalam mencapai

    suatu keadilan yang diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum

    pidana tersebut yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak

    pidana (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan

    disepakati para pihak.14

    Restorative justice dikatakan sebagai falsafah (pedoman dasar) dalam

    mencapai keadilan yang dilakukan oleh para pihak diluar peradilan karena

    merupakan dasar proses perdamaian dari pelaku tindak pidana (keluarganya)

    dan korban (keluarganya) akibat timbulnya korban/kerugian dari perbuatan

    pidana tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Restorative Justice

    mengandung prinsip-prinsip dasar meliputi:15

    a. Mengupayakan perdamaian di luar pengadilan oleh pelaku tindak pidana

    (keluarganya) terhadap korban tindak pidana (keluarganya).

    b. Memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana (keluarganya) untuk

    bertanggung jawab menebus kesalahannya dengan cara mengganti

    kerugian akibat tindak pidana yang dilakukannya.

    c. Menyelesaikan permasalahan hukum pidana yang terjadi diantara pelaku

    tindak pidana dan korban tindak pidana tersebut apabila tercapai

    persetujuan dan kesepakatan diantara para

    14

    http://edwinnotaris.blogspot.co.id/2013/09/restorative-justice-pengertian-prinsip.html,

    diakses 3 Maret 2016, jam 17.45. 15

    Ibid.

    http://edwinnotaris.blogspot.co.id/2013/09/restorative-justice-pengertian-prinsip.html

  • 36

    B. HASIL PENELITIAN

    1. Deskripsi Umum

    Mengingat maraknya tindak pidana di bidang kehutanan di Indonesia yang

    secara umum menarik kembali bahwa kesadaran akan ketaatan terhadap hukum

    dan kesadaran akan kelestarian alam yang dilakukan masyarakat Indonesia masih

    sangat rendah. Dilihat dari prosentase dari tahun ketahun tindak pidana di bidang

    kehutanan di Indonesia mengalami peningkatan yang siknifikan. Seperti yang

    terjadi di Kabupaten Wonogiri yang sebagian besar wilayahnya adalah kawasan

    Hutan lindung menjadi marak terjadinya tindak pidana bidang kehutanan.

    Menurut Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah Tahun 2013 bahwa luas

    wilayah Kabupaten Wonogiri ialah 1.822,37 km2, sedangkan luas kawasan hutan

    yang membentang luas di daerah Kabupaten Wonogiri ialah 20,094.56 ha,

    sebagian besar berupa hutan pinus dan hutan jati.16

    Sedangkan jenis hutan di wilayah Wonogiri tergolong dalam jenis Hutan

    Lindung mengingat fungsi dan kegunaanya. Dan untuk di Wilayah Wonogiri

    terdapat 4 PTP yang tersebar dianaranya ; 1. PTP Kota Wonogiri, 2. PTP

    Jatisrono, 3. PTP Baturetno, 4. PTP Purwantoro. Bisa dilihat bahwa hampir

    seluruh wilayah Kabupaten Wonogiri ialah kawasan hutan, tidak menutup

    kemungkinan bahwa daerah yang sebagian besar adalah kawasan hutan sangat

    marak terjadi tindak pidana di bidang kehutanan.

    16

    Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Tengah, Tahun 2013,Lembar ke 3.

  • 37

    2. Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam Melakukan Penegakan

    Terhadap Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan di Wilayah Hutan

    Wonogiri

    a. Penegakan Secara Represif

    Upaya Kepolisian Resor Wonogiri dalam upaya melakukan penegakan

    dan pencegahan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan bisa dilihat dari

    Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 SAT RESKRIM POLRES

    WONOGIRI, bahwa jenis kasus tindak pidana di bidang kehutanan ada 3 kasus

    yang sudah diproses dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri

    Wonogiri. Dari ketiga kasus yang ditemukan dianataranya sebagai berikut ;

    1) Kasus Pertama

    a) Kasus Posisi

    Menurut Laporan Polisi Nomor:17

    LP/B/02/VI/2013/Sek. Jatipurno,

    tanggal 13 Juni 2013, Terjadi di Hutan Pinus Seper Balepanjang Jatipurno

    Petak 44 milik Perhutani Plarar BKPH Lawu Selatan Jatisrono Kabupaten

    Wonogiri. Bahwa tersangka Tarno als Bege dan sdr Slamet als Gamok

    Pada hari Kamis 13 Juni 2013, Pukul 12.00 WIB telah terjadi pencurian

    Kayu Pinus. Para Pelaku Menebang Pohon Pinus sebanyak 3 (tiga) pohon

    senilai Rp.3000.000,00 dengan menggunakan gergaji, dan keesokan

    harinya Jumat 14 Juni 2013 sekitar Pukul 04.30 WIB Para pelaku

    mengangkutnya dengan menggunakan KBM Truk ke arah Jeporo

    Kemudian para pelaku ditangkap oleh dua anggota Polsek Jatipurno karena

    mendapat laporan dari pihak korban. Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e

    17

    Berita Acara Pendapat, KASAT RESKRIM Polres Wonogiri.

  • 38

    Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41 Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004

    tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1

    Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999

    Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

    b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

    Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor:

    1208/0.3.335/Euh.1/07/2013, tanggal 10 Juli 2013, sesuai kronologis

    peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum memberikan

    dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar ketentuan Pasal 50

    ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-undang RI No. 41 Tahun

    1999 tentang kehutanan:

    “Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki

    hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan

    sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan sengaja melanggar

    ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h,

    diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda

    paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

    c) Amar Putusan

    Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar putusannya

    pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan Tinggi Semarang

    yang mengadili perkara tersebut dalam amar putusannya memutuskan:

    (1) Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut

  • 39

    (2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 10 Agustus

    2013, No. 104/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan banding

    tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan sebagai berikut:

    (a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

    selama 2 (dua) tahun;

    (b) Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

    pidana yang dijatuhkan;

    (c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara

    dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding sebesar

    Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);

    2) Kasus Kedua

    a) Kasus Posisi

    Menurut Laporan Polisi Nomor:18

    LP/B/01/I/2013/Sek.Eromoko, tanggal 15 Januari 2013, Terjadi di

    Petak 50 A RPH Eromoko Dusun Sindukarto, Kecamatan

    Eromoko,Kabupaten Wonogiri. Pada hari Minggu 13 Januari 2013

    sekitar jam 17.00 WIB tersangka Paiman als Gendut, bersama-sama

    dengan Srianto als Celeng, Sakim als Kemprot dan seorang lagi belum

    tertangkap/DPO, telah menebang, memanen atau memungut hasil

    hutan berupa 14 potong kayu kayu mahoni yang ditaksir sekitar

    Rp.7.208.000,00 dihutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang.

    Melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf e Jo Pasal 78 ayat (5) UU No.41

    18

    Berita Acara Pendapat, KASAT RESKRIM Polres Wonogiri.

  • 40

    Tahun 1999 Jo UU No.19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan

    Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2004 tentang

    Perubahan atas Undang-Undang No.41 Tahun 1999 Tentang

    Kehutanan menjadi Undang-Undang Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

    b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

    Berdasarkan Surat dari Kejaksaan Negeri Wonogiri Nomor:

    29/0.3.35/Euh.1/10/2013, tanggal 11 Oktober 2013, sesuai kronologis

    peristiwa tersebut oleh negara melalui Jaksa Penuntut Umum

    memberikan dakwaan terhadap terdakwa yang diduga melanggar

    ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf h jo Pasal 78 ayat (7) Undang-

    undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan :

    “Setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki

    hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

    keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH).” Barang siapa dengan

    sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50

    ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

    tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar

    rupiah).

    c) Amar Putusan

    Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dalam amar

    putusannya pengadilan tingkat banding dalam hal ini Pengadilan

    Tinggi Semarang yang mengadili perkara tersebut dalam amar

    putusannya memutuskan:

    (1) Menerima permintaan banding dari Terdakwa tersebut

  • 41

    (2) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Wonogiri tanggal 25

    November 2013, No. 128/Pid.B.2013/PN.Wng, yang dimohonkan

    banding tersebut kecuali mengenai pidana yang dijatuhkan Sebagai

    berikut:

    (a) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara

    selama 2 (dua) tahun;

    (b) Menyatakan penahanan Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari

    pidana yang dijatuhkan;

    (c) Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya

    perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat

    banding sebesar Rp. 2.500.-(dua ribu lima ratus rupiah);

    3) Kasus Ketiga

    Terjadi di Petak 50A RPH Eromoko di Dusun Sindukarto,

    Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri.19

    Kasus yang ketiga ini

    kepolisian hanya menemukan barang bukti berupa batang pohon bekas

    potongan yang diduga telah terjadi penebangan, memanen atau memungut

    hasil hutan tanpa ijin dari pihak yang berwenang. Dari data yang diuraikan

    diatas dapat dilihat tindakan penegakan secara Represif yang telah

    dilakukan Kepolisian Resor Wonogiri dalam hal ini SATRESKRIM Polres

    Wonogiri.

    Namun dalam kenyataan dilapangan kasus tindak pidana

    Kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri periode Tahun 2013-2014 dari

    19

    Berita Acara Penyerahan Tersangka Dan Barang Bukti, KASAT RESKRIM

    KEPOLISIAN RESOR WONOGIRI 2013.

  • 42

    data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8 kasus yang ditemukan di

    lapangan, tetapi dengan ringannya barang bukti yang ditemukan

    (mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran kecil yang

    sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik Perhutani), dan

    tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan maka secara

    langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi Hutan yang pada

    saat itu bertugas melakukan penindakan berupa peringatan, teguran dan

    diberikan informasi mengenai larangan menebang, memanen dalam

    bentuk apapun di kawasan hutan lindung.20

    Lihat data tabel di bawah ini

    Tabel 2.1

    Data Jumlah Pelanggaran Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Ringan

    POLHUT Polres Wonogiri Tahun 2013-2014

    NO Nama

    Pelaku

    Waktu

    Kejadian

    Barang Bukti,

    Kerugian

    TKP Ket

    1. Agus

    Alias

    Cungkring

    4 Februari

    2013

    5 Batang kayu

    pinus kering ,

    diameter 5

    Cm. Panjang 1

    m, Kerugian ±

    Rp 25.000,00

    Petak 10 A,

    Desa.

    Sindukarto,

    Kec. Eromoko,

    Kab.

    Wonogiri.

    Damai

    2. Supriyanto 15 April

    2013

    10 Batang

    Ranting pinus,

    diameter 5

    Cm. Panjang 1

    m, Kerugian ±

    Rp 50.000,00

    Petak 5 A,

    Desa Baran,

    Kec. Eromoko,

    Kab.

    Wonogiri.

    Damai

    3. Jumikem 10 Mei 2013 1 Ikat Ranting

    Kayu pinus

    yang terdiri

    dari 40 batang

    ranting pinus,

    diameter 10

    Cm. Kerugian

    Petak 50 A,

    Desa.

    Sindukarto,

    Kec. Eromoko,

    Kab.

    Wonogiri.

    Damai

    20

    Wawancara dengan KASAT POLHUT POLRES Wonogiri, Wonogiri, 14 Juli 2015.

  • 43

    ± Rp70.000,00

    4. Parimin,

    Sumarjo

    5 Oktober

    2013

    1 botol ukuran

    ½ liter Getah

    Pinus.

    Kerugian ± Rp

    7.500,00

    Hutan Seper

    Balepanjang,

    Jatipurno,

    Jatisrono, Kab

    Wonogiri.

    Damai

    5. Manto,

    Yadi

    25 Januari

    2014

    1 botol ukuran

    1 liter getah

    pinus.

    Kerugian ± Rp

    15.000,00

    Hutan Pinus,

    Desa.

    Gumewang,

    Kec.

    Wuryantoro,

    Kab.

    Wonogiri.

    Damai

    6. Molyadi 10 Maret

    2014

    5 batang

    tunggak pinus,

    diameter 30

    Cm. Kerugian

    ± Rp

    60.000,00

    Hutan Pinus

    Desa Pasekan,

    Petak 3 A,

    Kec. Eromoko,

    Kab.

    Wonogiri.

    Damai

    7. Sarimin 18 Juli 2014 3 ikat Ranting

    kayu pinus

    masing-masing

    terdiri 30

    batang ranting.

    Kerugian ± Rp

    95.000,00

    Hutan Pinus

    Gunung Belah,

    Betal, Batu

    Retno, Kab.

    Wonogiri

    Damai

    8. Katijo 25 Desember

    2014

    3 batang pohon

    pinus

    berdiameter 6

    Cm. Kerugian

    ± Rp

    55.000,00

    Petak 30 B

    Sindukarto,

    Eromoko, Kab

    Wonogiri.

    Damai

    Sumber: Unit POLHUT Polres Wonogiri, Tanggal ( 31 Juli 2015)

    b. Penyelesaian Masalah Pidana di Luar Pengadilan (Tanpa

    Melibatkan Aparat Kepolisian)

    Tidak hanya berupa peringatan dan teguran saja Polisi Hutan yang

    mendapati adanya pelanggaran di wilayah hutan Wonogiri yang sudah

    dikemukakan diatas, dalam hal ini kasus yang tidak diproses ke pengadilan

  • 44

    yang berjumlah 8 seperti data tabel tersebut diatas tidak begitu saja

    didiamkan tanpa di proses selanjutnya. Polisi Hutan Polres Wonogiri

    bekerjasama dengan SATBINMAS Polres Wonogiri, yang telah membentuk

    POLMAS Kawasan Hutan yang merupakan perwakilan dari masyarakat

    skitar hutan akan melakukan musyawarah dengan pelaku, aparat

    desa(RT,RW) petugas perhutani, maupun dengan Polisi Hutan, melakukan

    musyawarah penyelsaian dengan membuat surat pernyataan yang isinya

    tidak akan mengulangi tindakannya lagi, yang kemudian akan di

    tandatangani pelaku bersama dengan, Polisi Hutan yang bertugas pada saat

    itu, aparat desa, dan petugas perhutani. Dengan adanya musyawarah yang

    dilakukan petugas perhutani, Polisi Hutan, dan aparat desa setempat dengan

    mendatangkan perwakilan masyarakat setempat, tindakan pelanggaran

    terhadap tindak Pidana Kehutanan yang terjadi di Hutan Wonogiri selesai

    dengan tidak melibatkan aparat penegak hukum dan bahkan perkara tidak

    sampai pengadilan.21

    Dengan adanya 8 kasus yang tidak di proses ke Pengadilan ini juga

    sudah menjadi tugas SATBINMAS Polres Wonogiri untuk melakukan

    tindakan terhadap pelaku, kemudian secara berkala akan diminta untuk

    hadir mendapatkan pembinaan, penyuluhan yang diadakan SATBINMAS

    Polres Wonogiri sebulan sekali sesuai dengan KPH dimana kasus tersebut

    ditemukan. Dari penindakan kasus tindak Pidana Kehutanan yang sifatnya

    ringan ini diharapkan akan memutus mata rantai kasus tindak pidana bidang

    kehutanan yang ada di wilayah Wonogiri, jadi dari pembrantasan kasus

    21

    Wawancara dengan KASAT POLHUT Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015.

  • 45

    pidana kehutanan yang sifatnya ringan ini akan berpengaruh pada kasus

    yang sifatnya berat yang sudah sampai kepengadilan.22

    Dalam rangka melaukan penindakan terhadap tindak pidana bidang

    kehutanan yang terjadi di wilayah hutan Wonogiri SATRESKRIM Polres

    Wonogiri bersama POLHUT Polres Wonogiri secara rutin setiap harinya

    melakukan Patroli langsung di Kekuasaan Wilayah Hutan (KPH) yang

    tersebar di wilayah hutan Wonogiri. Di Wilayah Wonogiri sendiri terdapat

    empat KPH yang tersebar, dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek

    yang menaungi adalah Polsek Wonokarto, b) KPH Jatisrono, Polsek yang

    menaungi adalah Polsek Jatisrono, c) KPH Baturetno, Polsek yang

    menaungi adalah Polsek Baturetno, d) KPH Purwantoro, Polsek yang

    menaungi adalah Polsek Purwantoro. Dengan KPH yang tersebar dan

    bersama Kapolsek yang menaungi, dipimpin POLHUT Polres Wonogiri

    melakukan Patroli langsung ke hutan-hutan yan tersebar di wilayah

    Wonogiri dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi hutan,

    meminimalisir terjadinya kegiata kejahatan kehutanan, melakukan

    penindakan langsung bila terjadi tindakan kejahatan kehutanan. Untuk

    jumlah personil POLHUT setiap melakukan Patrolipaling sedikit ada 4

    anggota POLHUT yang bertugas setaiap harinya di PTP yang tersebar di

    wilayah hutan Wonogiri.23

    22

    Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015. 23

    Wawancara dengan KANIT POLHUT Polres Wonogiri, Wonogiri 14 Juli 2015.

  • 46

    c. Penegakan Secara Preventif

    Tidak berhenti pada penindakan secara represif saja, untuk benar-

    benar membrantas habis seluruh tindak pidana di bidang kehutanan

    khususnya di Wilayah Kabupaten Wonogiri, Kepolisian Resor Wonogiri

    dalam hal ini SATBIMNAS juga berupaya melakukan pencegahan sebelum

    terjadinya tindakan tersebut Preventif. Bentuk pencegahannya berupa: 24

    1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini

    dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan

    sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang,

    dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c)

    KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di lakukan

    BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak Peruskan

    Huatan, akibat tindak pidana kehutanan, bahaya terorisme, karena tidak

    menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis untuk pelatihan

    terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya memberikan informasi

    tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi termasuk tanaman yang

    berbahaya.

    2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang

    ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilaukan pembinaan

    secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum

    kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan

    Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah

    24

    Wawancara dengan KANIT BINPOLMAS Polres Wonogiri, Wonogiri 31 Juli 2015.

  • 47

    tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang

    dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.

    d. Hambatan Dalam Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan

    di Wilayah Hutan Wonogiri

    Namun dari penegakan yang dilakukan Polres Wonogiri dalam

    menangani tindak pidana bidang kehutanan ada beberapa hambatan-

    hambatan yang tentunya mempengaruhi jumlah pelaporan maupun jumlah

    kasus yang dapat ditindak secara hukum. Dari hambatan tersebut dapat kita

    lihat: 25

    1) Minimnya laporan dari masyarakat tentang adanya tindak pidana bidang

    kehutanan yang terjadi, karena biasanya yang melakukan tindak pidana

    kehutanan ini adalah oknum dilingkungan sekitar hutan itu sendiri dan

    masyarakat cinderung menutup-nutupi adanya oknum yang melakukan

    tindakan tersebut. Alasan yang paling sering ditemui ialah sungkan,

    tidak mungkin masyarakat disekitar hutan mau dan berani melaporkan

    tetangganya sendiri yang melakukan tindakan tersebut.

    2) Polisi dalam melakukan penindakan tindak pidana kehutanan yang

    terjadi di Wilayah Wonogiri hanya terpaku pada pelaporan dari petugas

    KPH, Polisi Hutan, maupun dari Petugas Kepolisan yang sedang

    melakukan patroli di wilayah hutan kemudian menemukan tindak pidana

    tersebut. Hal ini menyebabkan penanganan dan penindakan terhadap

    25

    Wawancara dengan KASAT RESKRIM POLRES Wonogiri, Wonogiri, 14 Juli 2015.

  • 48

    tindak pidana bidang kehutanan di Wilayah Wonogiri menjadi kurang

    maksimal.

    Namun penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang dilakukan

    di Wilayah Kabupaten Wonogiri diklaim dapat berkurang dari periode

    Tahun 2013-2014 tidak lepas dari pencegahan yang dilakukan

    SATRESKRIM, SATBIMNAS dan POLHUT Polres Wonogiri yang secara

    berkala melakukan pembinaan dan melakukan kerjasama yang dibangun

    antar instansi masyarakat yang terkait langsung dengan hutan. Yang

    semuanya bertujuan untuk memberantas habis segala yang berkaitan dengan

    tindak Pidana bidang kehutanan yang terjadi di Wilayah Hutan Wonogiri.

    Dan yang paling utama untuk mencegah banjir, tanah longsor, dan

    pendangkalan Waduk Gajah Mungkur.

    C. ANALISIS

    1. Bentuk Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Di Bidang

    Kehutanan oleh Polres Wonogiri

    a. Penegakan Tindak Pidana Di Bidang Kehutanan Secara Represif,

    Preventif yang Dilakukan Polres Wonogiri

    Semakin maraknya kejahatan kehutanan pada akhir-akhir ini

    membuat masyarakat semakin resah dan khawatir akan kelestarian hutan

    yang berdampak pada generasi yang akan datang. Lebih spesifik dalam hal

    ini tindak pidana bidang kehutanan yang semakin marak terjadi yang

    dilakukan oknum yang tidak bertanggung jawab akan kelestarian hutan

  • 49

    terhadap generasi yang akan datang membuat aparat penegak hukum

    seperti TNI, POLRI, Jaksa, Hakim harus bekerja keras demi keadilan yang

    nantinya berpengaruh pada pengurangan tingkat tindak pidana bidang

    kehutanan sampai ketingkat daerah seperti yang dilakukan Polres

    Wonogiri dalam melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana di

    bidang kehutanan.

    Menurut Soerjono Soekanto, Penegakan hukum adalah “kegiatan

    menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-

    kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak

    sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan

    memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.”

    Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

    berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

    dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat

    dan bernegara.

    Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-

    kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan

    hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara

    konvensional , tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian,

    dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung

    jawab. Seperti yang dilakukan Polres Wonogiri dalam menangani tindak

    pidana bidang kehutanan yang terjadi di wilayah Kabupaten Wonogiri,

    berpegangan pada kaidah dan aturan hukum yang ada dalam hal ini

    Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 yang mengatur secara langsung

  • 50

    mengenai praktek kejahatan kehutanan tepatnya dalam Pasal 50 Ayat (3) ;

    Setiap orang dilarang: huruf e ; menebang pohon atau memanen atau

    memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari

    pejabat yang berwenang. Dan Junto Pasal 78 Ayat (5) ; Barang siapa

    dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling

    lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00

    (lima milyar rupiah). Dengan berpegangan kaidah yang sudah ada Polres

    Wonogiri melakukan tindakan penegakan hukum terhadap tindak pidana

    bidang kehutanan yang terjadi pada periode Tahun 2013-2014. Terbukti

    dari data Anev Tindak Pidana Bulan Tahun 2013-2014 dari SAT

    RESKRIM POLRES Wonogiri ada 3 kasus tindak pidana bidang

    kehutanan yang terjadi, dan 2 diantaranya sudah dilimpahkan ke

    Kejaksaan Negeri Wonogiri untuk di proses hukum lebih lanjut. Dari data

    yang ditemukan bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana di

    bidang kehutanan yang dilakukan oleh Polres Wonogiri menunjukan

    bahwa bentuk penegakan bersifat Represif yaitu penindakan hukum

    setelah terjadi pelanggaran.

    Tidak bertumpu pada penegakan secara Represif saja, untuk benar-

    benar membrantas habis segala tindak pidana di bidang kehutanan yang

    ada diwilayah Kabupaten Wonogiri, Polres Wonogiri melakukan

    penegakan yang bersifat Preventif yaitu tindakan pencegahan sebelum

    terjadinya tindakan yang dilakukan masyarakat dalam kaitannya dengan

    tindak pidana bidang kehutanan. Berangkat dari tugas pokok Kepolisian

  • 51

    yang terdapat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2002

    Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tepatnya terdapat dalam

    Pasal 13 yang berbunyi ; Tugas pokok Kepolisian Negara Republik

    Indonesia adalah: a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; b.

    menegakkan hukum; dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan

    pelayanan kepada masyarakat. Poin yang c menyebutkan bahwa Polri

    harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

    masyarakat utamanya pada saat penegakan hukum tidak saja melakukan

    penegakan tetapi Polri juga harus memberikan pengayoman pencegahan

    yang diberikan pada masyarakat bilamana masyarakat yang akan

    melakukan tindakan pelanggaran hukum dapat dicegah dengan adanya

    tindakan yang di lakukan Kepolisiaan tersebut.

    Dilihat secara langsung dilapangan bentuk penegakan secara

    Preventif yang dilakukan Polres Wonogiri dalam mencegah terjadinya

    tindak pidana bidang kehutanan dianatanya:

    1) Melakukan pembinaan terhadap Petugas Perhutani, kegiatan ini

    dilakukan oleh KOMPOLHUT UNIT BINPOLMAS yang diadakan

    sebulan sekali. Di Wilayah Wonogiri tersebar beberapa KPH yang,

    dianataranya : a) KPH Kota Wonogiri, Polsek, b) KPH Jatisrono, c)

    KPH Baturetno, d) KPH Purwantoro. Materi pembinaan yang di

    lakukan BINPOLMAS tentunya yang utama adalah maslah dampak

    Peruskan Huatan, akibat kejahatan kehutanan, bahaya terorisme,

    karena tidak menutup kemungkinan kawasan hutan sangat strategis

    untuk pelatihan terorisme, dan narkoba termasuk didalamnya

  • 52

    memberikan informasi tentang jenis-jenis tanaman yang terindikasi

    termasuk tanaman yang berbahaya. Berkaitan dengan Teori penegakan

    hukum menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor mempengaruhi

    penegakan hukum salah satunya adalah faktor penegak hukum itu

    sendiri dalam hal ini personil Kepolisian Polres Wonogiri yang secara

    berkala turun langsung ke lapangan untuk melakukan pembinaan

    kepada personil lainnya diantara Petugas Perhutani, dan stake holder

    lainnya yang terkait langsung pada pembrantasan tindak pidana bidang

    kehutanan di wilayah Kabupaten Wonogiri.

    2) Membentuk POLMAS Kawasan yang dalam hal ini masyarakat yang

    ada disekitar wilayah hutan dikumpulkan untuk dilakukan pembinaan

    secara rutin. Tujuannya adalah untuk menjembadani adanya forum

    kemitraan polisi dengan masyarakat, bila terjadi masalah yang ringan

    Polmas Kawasan yang dibentuk ini juga bisa menyelesaikan masalah

    tersebut tanpa harus diproses pidana. Karena Polmas kawasan yang

    dibentuk ini tujuannnya menyelesaikan masalah yang bersifat ringan.

    Masyarakat juga berperan penting dalam proses pembrantasan tindak

    pidana illegal logging ini, hal ini penting karena dapat dilihat dari teori

    penegakan hukum manurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang

    mempengaruhi penegakan hukum faktor masyarakat juga penting

    karena “Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk

    mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat

    atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum.”26

    26

    Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali

    Pers, Jakarta, 2013, h. 47.

  • 53

    Untuk penyelesaian masalah tindak pidana di bidang

    kehutanan yang sifatnya ringan dalam prakteknya yang dilakukan

    Polres Wonogiri dalam hal ini SATBINMAS membentuk Polmas

    Kawasan yang bertujuan untuk penyelesaian bila terjadi pelanggaran

    yang ada di lapangan tanpa harus sampai di proses lebih lanjut oleh

    Kepolisian dapat dikatakan ini bersifat kekeluargaan dan bersifat

    peringatan.

    Proses diatas erat hubungan dengan Teori Restortive Justive

    yang dalam pengertianya adalah "suatu pemulihan hubungan dan

    penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana

    (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya)

    (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan

    agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan

    pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya

    persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak". Restorative Justice

    pada prinsipnya merupakan suatu falsafah (pedoman dasar) dalam

    proses perdamaian di luar peradilan dengan menggunakan cara

    mediasi atau musyawarah dalam mencapai suatu keadilan yang

    diharapkan oleh para pihak yang terlibat dalam hukum pidana tersebut

    yaitu pelaku tindak pidana (keluarganya) dan korban tindak pidana

    (keluarganya) untuk mencari solusi terbaik yang disetujui dan

    disepakati para pihak.

    Dengan adanya pencegahan secara Preventif yang dilakukan

    Polres Wonogiri terkait dengan hal ini adalah bagian SATBINMAS

  • 54

    Polres Wonogiri telah mampu mengurangi tingkat tindak pidana

    bidang kehutanan di Wilayah Kabupaten Wonogiri terlihat pada

    ANEV TINDAK PIDANA BULAN TAHUN 2013-2014 yang di

    keluarkan oleh SAT RESKRIM POLRES WONOGIRI, untuk kasus

    tindak pidana illegal logging pada periode Tahun 2014 di Wilayah

    Wonogiri sndiri menurun drastis dapat dikatakan tidak ada kasus yang

    berkaitan dengan tindak pidana bidang kehutanan di wilayah

    Kabupaten Wonogiri.

    b. Penyelesaian Konflik di Luar Pengadilan (Restorative Justice)

    Melihat fakta dilapangan mengenai tindak pidana bidang

    kehutanan yang terjadi di hutan Wonogiri ada beberapa teknik

    penyelesaian yang dapat dipakai dalam kaitannya menangani kasus pidana

    kehutanan yang terjadi. Penyelesaian tindak pidana bidang kehutanan

    tidak selalu menggunakan penindakan aparat Kepolisian maupun

    Pengadilan sebagai jalur yang ditempuh untuk benar-benar memberantas

    habis dan memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana bidang

    kehutanan yang ada di Wonogiri.

    Salah satu teori penyelesaian yang dapat diterapkan dan

    disesuaikan dengan kondisi dilapangan pada saat penamuan korban

    maupun barang bukti yaitu dengan teori penyelesai konflik di luar

    pengadilan atau sering disebut Restorative Justice. Teori penyesaian

    konflik ini disesuaikan dengan porsi masalah yang terjadi, bila ringannya

    barang bukti yang ditemukan, dan adanya unsur ketidaksengajaan pada

  • 55

    saat melakukan tindakan kejahatan kehutanan maka teori penyelesaian ini

    dapat di gunakan.

    Seperti penanganan tindak pidana bidang kehutanan di Wonogiri

    periode Tahun 2013-2014 dari data Polisi Hutan Polres Wonogiri ada 8

    kasus yang ditemukan di lapangan, dengan ringannya barang bukti yang

    ditemukan (mengambil ranting pohon, mengambil pohon dengan ukuran

    kecil yang sudah kering atau mati di kawasan hutan lindung milik

    Perhutani), dan tidak adanya unsur sengaja dalam kasus yang ditemukan

    maka secara langsung Petugas Perhutani, berkerjasama dengan Polisi

    Hutan melakukan penindakan dengan melakukan musyawarah bersama.

    Dalam musyawarah tersebut pihak perhutani dan pihak dari Polisi Hutan

    hanya bersifat memfasilitasi adanya musyawarah tersebut. Dalam

    musyawarah tersebut juga mendatangkan Polmas Kawasan Hutan yang

    sudah di bentuk sebelumnya oleh SATBINMAS Polres Wonogiri yang

    beranggotakan perwakilan masyarakat sekitar hutan, dan mendatangkan

    pula aparat desa setempat seperti RT, RW untuk bermusyawarah dalam

    rangka penyelesaian masalah tindak pidana bidang kehutanan yang

    sifatnya ringan ini. Musyawarah tersebut selain bertujuan menyelesaikan

    masalah tanpa diproses lebih lanjut di pengadilan , musyawarah ini juga

    nantinya akan memberikan efek jera bagi pelaku tindakan tersebut, dengan

    menanda tangani surat pernyataan yang intinya dalam surat tersebut bahwa

    tidak akan mengulangi lagi. Dan dalam musyawarah yang di lakukan ini

    dapat mengahasilkan kata damai anatara pelaku dengan korban yang

    dalam hal ini yang menjadi korban ialah pihak dari Perhutani.

  • 56

    Ternyata setelah melihat langsung di lapangan mengenai

    penindakan tindak pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah

    Wonogiri, dengan mengakaitkan teori restorative justice 8 kasus sesuai

    data dari Polhut Polres Wonogiri yang ditemukan dilapangan dapat di

    selesaiakan dengan kata damai dan selesai tanpa harus melibatkan aparat

    penegak hukum dan pengadilan dalam memputus perkara menganai tindak

    pidana bidang kehutanan tersebut. Sekaligus memberikan efek jera bagi

    pelaku tindak pidana di bidang kehutanan yang nantinya juga dapat

    mengurangi bahkan memberantas habis segala tindak pidana bidang

    kehutanan yang ada di Wilayah Kabupaten Wonogiri.

    2. Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum Terhadap Tindak

    Pidana Di Bidang Kehutanan

    Dalam rangka penegakan hukum di bidang kehutanan diharuskan

    untuk memperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan

    hukum itu sendiri. Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono Soekanto yakni

    hukum itu sendiri, faktor penegak hukum dan faktor sarana dan prasarana

    yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan kebudayaan.27

    a. Faktor Hukum

    Dalam praktik penyelenggaraan hukum di lapangan ada kalanya terjadi

    pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal ini disebabkan oleh

    konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan

    kepastian hukum merupakan suatu prosedur yang telah ditentukan secara

    27

    Ibid., h. 5-9.

  • 57

    normatif. Justru itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya

    berdasar hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan sepanjang

    kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum. Maka pada

    hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup low enforcement

    saja, namun juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum

    sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai kaedah dan pola

    perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian,

    tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan dengan

    hukum yang tertulis, karena tidak mungkin ada peraturan perundang-

    undangan yang dapat mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya

    jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan

    untuk menerapkan peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

    Berkaitan dengan penegakan terhadap tindak pidana di bidang

    kehutanan, hukum sangat menjadi hal utama untuk tegaknya keadilan bagi

    pelaku tindak pidana bidang kehutanan tersebut. Dan berkenaan dengan proses

    menjadikan warga negara taat dengan hukum, hukum juga harus memberikan

    efek jere bagi pelaku tindak pidana di bidang kehutanan. Hukum juga harus

    ditegakkan bagi semua warga negara tidak pandang bulu, bagi setiap pelaku

    harus dijerat dengan hukum sesuai dengan tingkat pelanggarannya. Dengan

    adanya hukum yang ditegakkan sesuai yang semestinya akan berimplementasi

    pada berkurangnya ataupun membrantas habis segala kejahatan kehutanana.

    Dilihat hukuman yang di jatuhkan dari 2 kasus tindak pidana bidang

    kehutanan yang terjadi di Wonogiri bisa dilihat bersama bahwa hukum yang

    ada sekarang ini yang kaitannya dengan tindak pidana bidang kehutanan sudah

  • 58

    memberikan efek jera bagi pelaku khususnya yang ada di wilayah Wonogiri,

    terbukti dengan adanya penurunan tingkat tindak pidana bidang kehutanan

    dari Tahun 2013-2014, bahkan untuk tindak pidana bidang kehutanan yang

    berat di Tahun 2014 bisa diakatakan nihil atau tidak ada kasus mengenai

    tindak pidana bidang kehutanan. Untuk itu hukum menjadi sangat penting

    untuk melakukan penindakan terhadap tindak pidana bidang kehutanan yang

    ada di Wonogiri.

    b. Faktor Penegakan Hukum

    Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas

    penegak hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,

    tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu

    kunci keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau

    kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J. E. Sahetapy yang

    mengatakan : “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan

    hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan.

    Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam

    kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum (inklusif

    manusianya) keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan

    terlihat, harus diaktualisasikan”. Di dalam konteks di atas yang menyangkut

    kepribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada

    kecenderungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum

    sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan

    tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum.

  • 59

    Berkaitan dengan faktor penegak hukum juga sangat berpengaruh pada

    penegakan tindak pidana bidang kehutanan itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri

    adanya hukum yang baik tanpa disertai penegak hukum dalam hal ini Polri,

    TNI, Jaksa, Hakim yang baik maka proses menuju keadilan yang sebenarnya

    tidak akan terwujud maksimal. Penegak hukum dalam memproses adanya

    tindak pidana bidang kehutanan juga harus sesuai dengan prosedur

    penanganan, tegas, dan harus bersih tanpa adanya unsur KKN di dalam

    melakukan penegakan tindak pidana bidang kehutanan. Agar keadilan bisa

    tercapai dengan maksimal dan pemberian efek jera bagi pelaku kejahatan

    kehutanan bisa terpenuhi. Dan akan berrpengaruh pada berkurangnya tindakan

    yang mengacu pada pidana kehutanan.

    Seperti halnya yang ada di Wilayah Wonogiri dengan penanganan dan

    penindakan yang dilakukan penegak hukum Kepolisian Resor Wonogiri dalam

    melakukan penegakan terhadap tindak pidana kehutanan dapat dikatakan

    sudah baik, terbukti dengan adanya data dilapangan yang terjadi selama

    periode Tahun 2013-2014 hanya terjadi 3 kasus yang berkaitan dengan tindak

    pidana bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri. Terbukti dengan

    adanya penegak hukum yang baik akan berpengaruh pada berkurangnya

    tindak pidana dalam hal ini tindak pidana bidang kehutanan yang ada di

    Wilayah Kabupaten Wonogiri.

    c. Faktor Sarana atau Fasilitas Pendukung

    Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup perangkat lunak dan

    perangkat keras, salah satu contoh perangkat lunak adalah pendidikan.

  • 60

    Pendidikan yang diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang

    praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal polisi mengalami hambatan

    di dalam tujuannya, diantaranya adalah pengetahuan tentang kejahatan

    computer, dalam tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan

    wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi

    dianggap belum mampu dan belum siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas

    yang harus diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

    Faktor ini juga bisa berpengaruh terhadap penegakan hukum terhadap

    tindak pidana bidang kehutanan. Tanpa adanya sarana dan alat pendukung

    dalam proses penegakan hukum, hukum juga akan sulit dan dirasa akan tidak

    mampu ditegakkan secara maksimal. Dalam memberantas praktek kejahatan

    kehutanan, faktor kelengkapan sarana dan prasarana dalam kegiatan

    pemberantasan kejahatan terhadap hutan melalui operasi merupakan faktor

    yang sangat menentukan efektifitas penegakan hukum. Banyak realita di

    lapangan, kendala obyektif yang dihadapi Polisi Kehutanan terkait dengan

    sarana dan prasarana adalah minimnya sarana dan prasarana yang mendukung

    operasi, seperti tidak tersedianya alat berat dan alat angkut untuk mengangkut

    dan menyimpan barang bukti dari lokasi penemuan/penyitaan ke tempat

    penampungan. Jangan sampai fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki oleh

    para pelaku lebih canggih di bandingkan dengan sarana dan prasarana yang

    dimiliki oleh para penegak hukum, terutama daerah-daerah yang justru

    memiliki hutan yang sangat luas dan rawan terjadi tindak pidana bidang

    kehutanan.

  • 61

    Dilihat dari kesigapan petugas patroli yang melakukan pengamanan

    sekaligus pengawasan di hutan Wonogiri bisa dikatakan sudah mumpuni dan

    memadahi dalam melakukan pengawasan maupun pengamanan. Terbukti

    dengan cepat sigap Kepolisian Resor Wonogiri menemukan pelaku tindak

    pidana bidang kehutanan, bukan hanya pelaku saja tetapi bisa melacak adanya

    barang bukti berupa kayu sebagai contoh kasus yang terjadi di Hutan Pinus

    Seper Balaipanjang Jatipurno Petak 44 pada saat melakukan penangkapan

    barang bukti sudah dilarikan di luar daerah diamana dilakukan penangkapan,

    tetapi dengan adanya sarana dan prasarana yang mumpuni tidak membutuhkan

    waktu lama kurang dari 24 jam barang bukti sudah bisa di temukan dan

    amankan. Inilah yang mempengaruhi penindakan terhadap tindak pidana di

    bidang kehutanan di Wonogiri bisa berjalan baik.

    d. Faktor Masyarakat

    Penegak hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai

    kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

    sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum, persoalan yang timbul

    adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang,

    atau kurang. Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum,

    merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. Sikap

    masyarakat yang kurang menyadari tugas polisi, tidak mendukung, dan

    malahan kebanyakan bersikap apatis serta menganggap tugas penegakan

    hukum semata-mata urusan polisi, serta keengganan terlibat sebagai saksi dan

  • 62

    sebagainya. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat dalam penegakan

    hukum.

    Pola penegakan hukum dipengaruhi oleh tingkat perkembangan

    masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau dibekukan. Dalam

    masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui

    prosedur dan mekanisme yang sederhana pula, namun dalam masyarakat

    modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat Spesialisasi dan

    diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya

    menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Semakin modern suatu

    masyarakat, maka akan semakin birokratis proses penegakan hukumnya.

    Akibatnya yang memegang peranan penting dalam proses penegakan hukum

    bukan hanya manusia yang menjadi aparat penegak hukum, namun juga

    organisiasi yang mengatur dan pengelola operasionalisasi proses penegakan

    hukum.

    Faktor masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, jika

    mayoritas berada dalam kondisi ekonomi yang termasuk dalam kelompok

    yang berada di bawah garis kemiskinan, juga menjadi salah satu faktor

    meningkatnya tindakan kejahatan kehutanan. Hal ini disebabkan penduduk

    yang ada disekitar hutan dalam melakukan praktek kejahatan kehutanan sering

    berpindah-pindah dan praktek pidana kehutanan merupakan salah satu mata

    pencaharian bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan. Masyarakat yang

    hidup di dalam dan atau disekitar hutan yang melakukan praktek perusakan

    hutan sangat berdampak pada meningkatnya laju kerusakan hutan. Hal ini

    diakibatkan masyarakat belum memahami betapa pentingnya menjaga hutan.

  • 63

    Selain itu, faktor rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya lapangan kerja,

    menyebabkan praktek tindak pidana bidang kehutanan makin meningkat.

    Bisa dilihat data dari Polhut Polres Wonogiri yang terjadi dilapangan

    selama periode 2013-2014 bahwa untuk tindak pidana bidang kehutanan di

    Wonogiri yang tergolong ringan berjumlah 8 kasus. Dari 8 kasus tersebut

    kebanyakan dari pelaku tidak mengetahui bahwa yang mereka ambil bukan

    merupakan hak atau bagian wilayah dari kekuasaan mereka. Dari ketidak

    tahuan masyarakat ini bisa dilihat faktor masyarakat juga berdampak pada

    meningkatnya tindak pidan bidang kehutanan yang ada di Wilayah Wonogiri.

    e. Faktor Kebudayaan

    Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

    kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi

    yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia

    dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan

    sikapnya kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan demikian,

    kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan

    peraturan mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

    Berkaitan dengan kebudayaan berarti erat hubungan dengan kebiasaan

    yang sering dilakukan oleh masyarakat. Masyarakat dalam hal ini masyarakat

    sekitar hutan di Wonogiri yang masih tergolong primitif ini dari jaman nenek

    moyang sudah sering mencari segala bentuk sumber daya makanan untuk

    hidup di hutan, jadi diterapkan pada masa sekarang yang padahal sebagian

    besar hutan sudah di kuasai oleh pihak perhutani, jadi segala macam bentuk

    tindakan yang mangarah pada pemanenan, mengambil, merusak tanpa

  • 64

    dilengkapai surat ijin itu sudah termasuk dalam tindak pidana terhadap

    kehutanan, jadi banyak masyarakat yang melakukan kebiasaan tersebut

    sampai sekarang, dan sulit dihilangkan kebiasaan tersebut.

    Kelima komponen penegakan hukum di atas sesungguhnya tidak dapat

    dipisahkan dari sistem hukum itu sendiri, yaitu struktur hukum, substansi

    hukum dan budaya hukum yang satu dengan yang lainnya merupakan satu

    kesatuan. Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan sistem hukum ini,

    demikian pula keberhasilan penegakan hukum yang meminta

    pertanggungjawaban pelaku kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan

    pemegang HPH sangat tergantung pada eksistensi, artikulasi, “performance”

    dan “iner capasity” dari masing-masing komponen, namun demikian sangat

    perlu mendapat penegasan bahwa dalam rangka mencapai tujuannya tersebut

    sama sekali tidak boleh ada fragmentasi dari masing-masing komponen dalam

    penegakan hukum, sehingga tercapai adanya kepastian hukum.28

    Erat kaitannya dengan permasalahan tentang penerapan prinsip-prinsip

    tanggung jawab terhadap pengusaha hutan atau pemegang HPH dalam

    kaitannya dengan praktik pidana kehutanan, hal ini merupakan salah satu

    agenda reformasi hukum yang penting dan mendesak (crucial) untuk

    dilaksanakan, yakni reformasi dalam penegakan hukumnya sendiri, khususnya

    yang berkaitan dengan kasus pidana bidang kehutanan. Apabila diperhatikan

    pelaksanaan penegakan hukum dewasa ini masih jauh dari yang diharapkan,

    hal ini dikarenakan banyak faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan

    penegakan hukum tersebut. Penegakan hukum atau yang dalam bahasa

    28

    Ujang Chandra, IIIegal Logging & Penegakan Hukumnya, Bandung, Bungo Abadi, 2005,

    hal. 11.

  • 65

    populernya sering disebut dengan istilah law enforcement, merupakan ujung

    tombak agar terciptaya tatanan hukum yang baik dalam masyarakat.

    Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa, “Penegakan hukum adalah

    kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-

    kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai

    rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan

    mempertahankan kedamaian pergaulan hidup”.29

    Dalam berbagai kajian

    sistematis penegakan hukum dan keadilan, secara teoritis menyatakan bahwa

    efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar hukum

    berjalan dengan baik, termasuk pula dalam penegakan terhadap kasus pidana

    kehutanan. Lima pilar hukum itu adalah instrumen hukumnya, aparat

    penegakan hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan birokrasinya. Walter

    C. Reckless, menyatakan bahwa, penegakan hukum harus dilihat bagaimana

    sistem dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana

    sistem peradilannya dan bagaimana birokrasinya.30

    Berdasarkan berbagai kajian kesisteman tersebut dapat dikatakan

    bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori maupun praktik problematika

    yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik (political will) dari pengambil

    keputusan merupakan faktor yang menentukan hukum dapat tegak dan

    ambruk, atau setengah-tengahnya. Masalah penegakan hukum pada dasarnya

    merupakan kesenjangan antara hukum secar normatif (das sollen) dan hukum

    secara sosiologis (das sein) atau kesenjangan antara perilaku hukum

    29

    Op.cit, hal. 5. 30

    Walter C. Reckless dalam Bambang Sutiyoso, Aktualita Hukum dalam Era Reformasi

    (Paparan Aktual Berbagai Permasalahan Hukum dan sebagainya, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

    2004, hal. 58.

  • 66

    masyarakat yang seharusnya dengan perilaku hukum masyarakat yang

    senyatanya. Secara konsepsional, inti dan arti penegakan hukum terletak pada

    kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-

    kaidah yang mantap dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap

    akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian

    pergaulan hidup. Hukum sebagai suatu kaidah di dalamnya merupakan

    seperangkat norma-norma yang memuat anjuran, larangan dan sanksi yang

    salah satu fungsi pokoknya sebagai sarana kontrol sosial, dengan tujuan

    menjaga ketertiban, keseimbangan social dan kepentingan masyarakat. Oleh

    karena itu, norma-norma hukum yang berisi anjuran, dan sanksi perlu adanya

    konkritisasi dan operasionalisasi dengan ditegakkannya hukum secara

    sungguh-sungguh terutama oleh aparat penegak hukumnya.

    Kondisi penegakan hukum dalam kaitannya dengan penegakan kasus

    praktik pidana bidang kehutanan dalam masyarakat bukan hanya ditentukan

    oleh faktor tunggal, melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang

    memberikan kontribusi secara bersama-sama terhadap kondisi tersebut, namun

    faktor mana yang paling dominan mempunyai pengaruh tergantung pada

    konteks sosial dan tantangan-tantangan yang dihadapi masyarakat

    bersangkutan. Secara umum, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan

    hukum dalam praktik pidana bidang kehutanan dapat dibedakan dalam dua

    hal, yakni faktor-faktor yang terdapat dalam sistem hukum dan faktor-faktor

    di luar sistem hukum. Adapun faktor-faktor dalam sistem hukum meliputi

    faktor hukumnya (undang-undang), factor penegak hukum, dan faktor sarana

    dan prasarana, sedangkan faktor-faktor di luar sistem hukum yang

  • 67

    memberikan pengaruh adalah faktor kesadaran hukum masyarakat,

    perkembangan masyarakat, kebudayaan, dan faktor politik atau penguasa

    negara.