BAB II KERANGKA TEORI A. Deskripsi Teoretisrepository.unj.ac.id/3293/10/10) BAB II.pdf8 BAB II...

27
8 BAB II KERANGKA TEORI A. Deskripsi Teoretis Mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini yakni karakteristik khusus seperti apakah yang dapat membedakan masing-masing gaya bahasa analogi (perbandingan) yang terdiri dari: metafora, personifikasi dan alegori dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle Bauldour karya Victor Hugo, maka dalam bab ini akan dikemukakan teori-teori untuk mendukung penelitian tersebut. Beberapa teori tersebut diantaranya: roman, gaya bahasa dan gaya bahasa analogi (metafora, personifikasi dan alegori). A.1. Roman Dalam kesastraan Indonesia dikenal juga istilah roman. Menurut Frye dalam Nurgiyantoro (2013: 18-19), sebenarnya roman itu sendiri lebih tua daripada novel. Menurutnya, roman tidak berusaha menggambarkan tokoh secara nyata, secara lebih realistis. Ia lebih merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang lebih bersifat introver dan subjektif. Di pihak lain, novel lebih mencerminkan gambaran tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Istilah roman, novel, cerpen dan fiksi memang bukan asli Indonesia, sehingga tidak ada pengertian yang khas Indonesia. Selain roman, terdapat genre-genre sastra lainnya yang terbagi dalam beberapa klasifikasi. Aristoteles dalam Ratna (2011: 169) membedakan genre

Transcript of BAB II KERANGKA TEORI A. Deskripsi Teoretisrepository.unj.ac.id/3293/10/10) BAB II.pdf8 BAB II...

  • 8

    BAB II

    KERANGKA TEORI

    A. Deskripsi Teoretis

    Mengacu pada rumusan masalah dalam penelitian ini yakni karakteristik

    khusus seperti apakah yang dapat membedakan masing-masing gaya bahasa

    analogi (perbandingan) yang terdiri dari: metafora, personifikasi dan alegori

    dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle Bauldour karya Victor

    Hugo, maka dalam bab ini akan dikemukakan teori-teori untuk mendukung

    penelitian tersebut. Beberapa teori tersebut diantaranya: roman, gaya bahasa dan

    gaya bahasa analogi (metafora, personifikasi dan alegori).

    A.1. Roman

    Dalam kesastraan Indonesia dikenal juga istilah roman. Menurut Frye dalam

    Nurgiyantoro (2013: 18-19), sebenarnya roman itu sendiri lebih tua daripada

    novel. Menurutnya, roman tidak berusaha menggambarkan tokoh secara nyata,

    secara lebih realistis. Ia lebih merupakan gambaran angan, dengan tokoh yang

    lebih bersifat introver dan subjektif. Di pihak lain, novel lebih mencerminkan

    gambaran tokoh nyata, tokoh yang berangkat dari realitas sosial. Istilah roman,

    novel, cerpen dan fiksi memang bukan asli Indonesia, sehingga tidak ada

    pengertian yang khas Indonesia.

    Selain roman, terdapat genre-genre sastra lainnya yang terbagi dalam

    beberapa klasifikasi. Aristoteles dalam Ratna (2011: 169) membedakan genre

  • 9

    sastra menjadi tiga klasifikasi, yaitu: a) klasifikasi menurut sarana perwujudan

    (media of representation) yang terdiri atas prosa dan puisi, b) klasifikasi menurut

    objek perwujudan (objects of representation) yang terdiri atas tragedi, komedi,

    dan roman, dan c) klasifikasi menurut ragam perwujudan (manner of poetic

    representation) yang terdiri atas epik, lirik, dan dramatik. Melalui klasifikasi yang

    diutarakan oleh Aristoteles kita dapat mengetahui beberapa jenis karya sastra

    diantaranya, prosa, puisi, tragedi, komedi, roman, epik, lirik, dan dramatik. Pada

    penelitian kali ini, akan dibahas secara mendalam salah satu genre sastra yaitu

    roman.

    Clara Reeve dalam Wellek dan Warren (2013: 260) secara singkat membagi

    dua ragam fiksi naratif yang utama, yaitu romance (romansa) dan novel. Ia

    menjabarkan perbedaan kedua ragam tersebut. Novel adalah gambaran dari

    kehidupan dan perilaku yang nyata, dari zaman pada saat novel itu ditulis.

    Romansa, ditulis dalam bahasa yang agung dan diperindah, menggambarkan apa

    yang tidak pernah terjadi dan tidak mungkin terjadi. Dari pendapat tersebut dapat

    diketahui bahwa ada persamaan antara novel dan roman (romansa) jika dilihat dari

    segi isinya. Kedua ragam tersebut sama-sama bersifat naratif, namun keduanya

    juga memiliki perbedaan, jika novel ditulis berdasarkan perilaku yang nyata

    dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan zamannya, roman lebih bersifat fiktif

    atau hanya rekaan yang tidak mungkin terjadi. Bahasa yang digunakannya pun

    sulit untuk dipahami karena pengarang banyak menggunakan gaya bahasa.

    Lebih lanjut lagi jika melihat bentuknya, roman memiliki cerita yang

    panjang seperti sebuah prosa yang mengisahkan cerita beberapa tokoh. Hal

  • 10

    tersebut seperti diungkapkan Villani dalam jurnal Elaheh Salehi Rizi yang

    diunduh melalui http://revel.unice.fr/symposia/actel/index.html?id=364 pada hari

    Senin, 5 Oktober 2015 pukul 22.12, le roman se définit comme une œuvre en

    prose d’une certaine longueur où l’on distingue une histoire fictive entre des

    personnages, eux-mêmes plus ou moins inventés. Roman didefinisikan sebagai

    sebuah karya berbentuk prosa dengan panjang cerita tertentu dimana terlihat cerita

    fiksi antara tokoh-tokoh rekaan (tokoh ciptaan pengarang) atau tokoh yang

    mungkin nyata dan ada dalam kehidupan pengarang. Roman selalu bercerita

    mengenai kehidupan para tokoh di dalamnya. Tokoh yang ada di dalamnya

    biasanya merupakan imajinasi pengarang roman tersebut dengan karakter yang

    dibuat sendiri sesuai kebutuhan atau bisa jadi tokoh tersebut bukan rekaan dan

    benar-benar ada serta memiliki karakter yang mirip dengan seseorang di sekitar

    pengarang tersebut.

    Tokoh yang diceritakan dikondisikan sebagai individu yang miskin dengan

    pengalaman. Oleh sebab itu, roman selalu menyajikan kisah tokoh yang berambisi

    untuk mencari dan memenuhi pengalaman hidupnya seperti yang dikemukakan

    Hillen (2007: 127):

    Le roman parle de l'homme contemporain comme d'un être dont

    l'expérience est appauvrie ; le seul sujet narratif qui lui reste, vu sa

    détermination par des conditions sociales et économiques devenues

    irréversibles et trop complexes, est sa vie personnelle.

    Roman bercerita mengenai manusia sebagai makhluk yang miskin dengan

    pengalaman. Roman hanya menceritakan satu-satunya subjek narasi yang tersisa,

    http://revel.unice.fr/symposia/actel/index.html?id=364

  • 11

    maksudnya adalah roman hanya mengangkat sebuah tema dalam kehidupan

    tokohnya. Melihat tekad yang digambarkan pada tokoh tersebut dari kondisi sosial

    dan ekonominya, cerita yang disajikan biasanya memperlihatkan hal-hal rumit

    dalam kehidupan pribadinya. Melalui pernyataan Hillen tersebut dapat

    disimpulkan bahwa roman mengisahkan kisah-kisah rumit pada kehidupan pribadi

    tokohnya dalam mencari pengalaman hidup.

    Sementara menurut Tjahjono (1988: 159), secara konvensional roman

    dikatakan sebagai cerita yang mengisahkan liku-liku kehidupan manusia, suka dan

    dukanya, perjuangan batinnya, sejak kecil sampai meninggal dunia, yang diikuti

    oleh perubahan nasib tokoh-tokohnya. Berdasarkan definisi tersebut dapat

    disimpulkan bahwa walaupun roman merupakan cerita fiksi atau prosa rekaan,

    akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila cerita yang tersaji di dalamnya

    terinspirasi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi di kehidupan manusia atau

    kehidupan pengarang itu sendiri. Roman juga menampilkan serangkaian peristiwa

    yang diikuti perubahan nasib para tokoh dalam cerita tersebut.

    Dilihat dari fungsinya, tidak hanya digunakan sebagai alat hiburan, akan

    tetapi roman juga dianggap sebagai karya sastra yang mempelajari dan meneliti

    nilai-nilai dalam kehidupan. Seperti yang dijelaskan oleh Roger (1970: 594-595),

    le roman constituait ainsi toute une problématique de la vie morale. Un autre

    thème habituel au roman est le récit d’une éducation. Roman menyajikan

    keseluruhan masalah dalam kehidupan moral. Tema lain yang biasanya disajikan

    pula dalam roman adalah cerita yang memberikan pembelajaran atau bersifat

    mendidik. Maksudnya, cerita dalam roman biasanya mengandung amanat atau

  • 12

    pesan berkaitan dengan nilai-nilai moral dalam kehidupan. Oleh sebab itu, roman

    bukan hanya media yang disediakan untuk memberikan hiburan atau kesenangan

    bagi pembacanya, melainkan juga bersifat edukatif, dapat memberikan ilmu-ilmu

    positif dan bermanfaat kepada pembaca.

    Dari beberapa penjelasan tokoh-tokoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa

    roman merupakan salah satu karya sastra yang bersifat naratif dan fiktif,

    mengisahkan tentang kejadian-kejadian yang terjadi pada kehidupan tokohnya

    hingga tokoh tersebut mengalami perubahan nasib. Walaupun cerita yang

    disajikan merupakan hasil rekaan dari pengarang, seringkali cerita atau tokoh

    dalam roman sebenarnya bisa jadi diambil berdasarkan pengalaman dari

    pengarang itu sendiri, hanya saja biasanya cerita tersebut terkadang dibuat tidak

    masuk akal agar lebih menarik dan bahasa yang digunakan sulit dipahami karena

    pengarang menggunakan berbagai macam gaya bahasa untuk nilai estetis. Namun

    cerita yang disampaikan banyak mengandung pesan atau amanat mengenai nilai-

    nilai kehidupan yang mampu mendidik para pembacanya.

    A. 1. 1. Unsur-unsur Intrinsik Roman

    Roman sebagai karya sastra seringkali menjadi objek analisis di kalangan

    peneliti, tujuannya adalah untuk dapat memahami makna secara lebih baik

    terhadap karya yang bersangkutan. Salah satunya, analisis dapat ditujukan

    terhadap unsur intrinsik yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur yang

    dimaksud menurut Nurgiyantoro (2013: 30) misalnya, tema, plot, penokohan,

    latar, sudut pandang, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain.

  • 13

    a. Tema

    Tema (Nurgiyantoro, 2013: 115-116) adalah gagasan (makna) dasar umum

    yang menopang sebuah karya sastra sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak

    yang secara berulang-ulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya

    dilakukan secara implisit. Untuk menemukan tema sebuah karya fiksi, ia haruslah

    disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian

    tertentu cerita.

    b. Plot

    Stanton dalam Nurgiyantoro (2013: 167) mengemukakan bahwa plot adalah

    cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan

    secara sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya

    peristiwa yang lain. Menurut Sumardjo dalam Rokhmansyah (2014: 37), inti sari

    dari plot atau alur adalah konflik. Maka dari itu plot sering dikupas menjadi

    elemen-elemen berikut: pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak,

    klimaks, dan pemecahan soal.

    c. Penokohan

    Jones dalam Nurgiyantoro (2013: 247) berpendapat bahwa penokohan

    adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam

    sebuah cerita. Penyebutan nama tokoh tertentu, tidak jarang langsung

    mengisyaratkan kepada kita perwatakan yang dimilikinya. Menurut Siswanto

    (2008: 143), tokoh dalam karya rekaan selalu mempunyai sifat, sikap, tingkah

    laku, atau watak-watak tertentu. Pemberian watak pada tokoh suatu karya oleh

    sastrawan disebut perwatakan.

  • 14

    d. Latar

    Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 302-303), latar atau setting

    yang disebut juga sebagai landas tumpu, menunjuk pada pengertian tempat,

    hubungan waktu sejarah, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-

    peristiwa yang diceritakan. Fungsinya dijelaskan bahwa latar memberikan pijakan

    cerita secara konkret dan jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan realistis

    kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh-

    sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa difasilitasi dan

    dipermudah untuk “mengoperasikan” daya imajinasinya, disamping

    dimungkinkan untuk berperan serta secara kritis sehubungan dengan

    pengetahuannya tentang latar. Unsur latar menurut Nurgiyantoro (2013: 314)

    dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-

    budaya.

    e. Sudut Pandang

    Baldic dalam Nurgiyantoro (2013: 338) menjelaskan bahwa sudut pandang

    adalah posisi atau sudut mana yang menguntungkan untuk menyampaikan kepada

    pembaca terhadap peristiwa dan cerita yang diamati dan dikisahkan. Menurut

    Nurgiyantoro (2013: 339), sudut pandang cerita itu sendiri secara garis besar

    dapat dibedakan ke dalam dua macam: persona pertama, first-person, gaya “aku”,

    dan persona ketiga, third-person, gaya “dia”.

    f. Gaya Bahasa

    Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2013: 369) stile (gaya bahasa),

    adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang

  • 15

    mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan. Stile ditandai oleh ciri-ciri

    formal kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa

    figuratif, penggunaan kohesi, dan lain-lain.

    A. 1. 2. Unsur-unsur Ekstrinsik Roman

    Nurgiyantoro (2013: 30-31) menjelaskan unsur ekstrinsik adalah unsur-

    unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung

    memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus

    ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah

    karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya.

    Wellek dan Warren, (2013: 79-153) menyebutkan bahwa unsur ekstrinsik

    juga terdiri dari sejumlah unsur antara lain adalah keadaan subjektivitas individu

    pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang

    kesemuanya itu akan memengaruhi karya yang ditulisnya. Unsur ekstrinsik

    berikutnya adalah psikologi, baik psikologi pengarang, psikologi pembaca,

    maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan

    pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap

    karya sastra.

    Dari struktur roman yang unsur-unsurnya telah dijelaskan pada paparan

    tersebut, peneliti memilih kajian gaya bahasa sebagai masalah dalam penelitian

    ini. Keindahan sebuah karya sastra sangat tergantung dari kemampuan pengarang

    dalam mengungkapkan setiap kalimat pada tulisannya dan kemampuan pembaca

    dalam memahami tulisan tersebut. Penggunaan gaya bahasa sangat berkaitan erat

  • 16

    dengan keindahan suatu karya sastra. Untuk memahami lebih lanjut mengenai

    gaya bahasa yang sarat dengan arti dan makna dalam sebuah karya sastra, akan

    dijelaskan secara lebih mendalam melalui teori-teori gaya bahasa sebagai berikut.

    A.2. Gaya Bahasa

    Bahasa dengan gaya bahasa, adalah dua bentuk yang sama dengan muatan

    yang berbeda. ‘Bunga mawar di rumahku sudah layu’ dapat disebut sebagai

    bahasa sekaligus gaya bahasa. Sebagai bahasa kalimat tersebut mengindikasikan

    bunga mawar yang benar-benar layu, mungkin karena tidak disiram atau akarnya

    mengalami pembusukan. Tetapi sebagai gaya bahasa seperti di atas yang

    dimaksudkan dengan bunga mawar adalah gadis, sedangkan sudah layu berarti

    sudah tidak perawan, sudah ternoda. Secara tradisonal disebutkan sebagai makna

    denotatif dan konotatif (Ratna, 2013: 179).

    Sama halnya dengan Minderop (2010: 223) dalam bukunya yang berjudul

    Psikologi Sastra mengatakan, pada umumnya gaya bahasa adalah semacam

    bahasa bermula dari bahasa yang biasa digunakan dalam gaya tradisional dan

    literal untuk menjelaskan orang atau objek. Dengan menggunakan gaya bahasa

    pemaparan imajinatif menjadi lebih segar dan berkesan. Melalui pendapat tersebut

    kita dapat melihat bahwa sesungguhnya gaya bahasa terjadi tergantung pada

    persepsi dari pembaca itu sendiri. Dari sebuah kata, dapat dikatakan jika itu

    merupakan gaya bahasa jika pembaca menafsirkannya lewat makna konotasi

    (bukan makna sebenarnya dari kata tersebut).

  • 17

    Menurut Dale dalam Tarigan (1985: 5) gaya bahasa adalah bahasa indah

    yang dipergunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan serta

    memperbandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain yang

    lebih umum. Pendek kata penggunaan gaya bahasa tertentu dapat mengubah serta

    menimbulkan konotasi tertentu. Selanjutnya HB. Jassin dalam Tjahjono (1988:

    201) menjelaskan, gaya bahasa adalah perihal memilih dan mempergunakan kata

    sesuai dengan isi yang mau disampaikan. Gaya bahasa juga menyangkut masalah

    bagaimana menyusun kalimat secara efektif, secara estetis, dan mampu

    memberikan gambaran konkret pada benak membaca. Melalui penggunaan gaya

    bahasa, para pengarang dapat berekspresi menuangkan tulisan indahnya yang

    penuh dengan makna dalam sebuah karya. Singkatnya, gaya bahasa dapat

    mencerminkan keindahan suatu karya sastra.

    Gaya bahasa atau dalam kata lain dikenal juga dengan sebutan majas. Lebih

    lanjut lagi Ratna (2013: 164) berpendapat, majas (figure of speech) adalah pilihan

    kata tertentu sesuai dengan maksud penulis atau pembicara dalam rangka

    memperoleh aspek keindahan. Pada umumnya majas dibedakan menjadi empat

    macam, yaitu: a) majas penegasan, b) perbandingan, c) pertentangan, dan d) majas

    sindiran. Beberapa jenis majas dibedakan lagi menjadi subjenis lain sesuai dengan

    cirinya masing-masing. Secara tradisional bentuk-bentuk inilah yang disebut

    sebagai gaya bahasa. Dengan kalimat lain, majas disamakan dengan gaya bahasa.

    Fromilhague (2005: 56) juga mengungkapkan dengan sebutan majas dalam

    bukunya yang berjudul Les Figures de Style:

  • 18

    Les tropes sont plus communément appelés figures de sens; on les

    définit en effet classiquement comme des détournements de sens. Dans

    le trope, il y a, dit-on généralement, transfert du sens propre au sens

    figuré. Les trois tropes principaux sont la synecdoque, la métonymie

    et la métaphore.

    Majas lebih dikenal dengan sebutan gaya bahasa yang digunakan sebagai

    unsur keindahan dari rangkaian tulisan yang disusun oleh penulis karya sastra agar

    karyanya memiliki nilai estetika yang dapat menunjukkan ciri khas pada karya

    tersebut. Secara klasik, majas didefinisikan sebagai pembelokkan makna. Secara

    umum, pada majas terjadi perubahan dari makna sebenarnya menjadi makna

    kiasan. Tiga majas yang paling utama adalah sinekdok, metonimia, dan metafora,

    hal ini juga dikemukakan Starets (2008: 132), les expressions figurées sont,

    essentiellement la métaphore, la métonymie, la synecdoque. Dari penjelasan

    Fromilhague tersebut kita dapat mengetahui bahwa gaya bahasa erat kaitannya

    dengan perubahan makna. Perubahan makna yang terjadi secara umum adalah

    perubahan dari makna sebenarnya (denotasi) menjadi makna bukan sebenarnya

    atau makna kiasan (konotasi).

    Jika Fromilhague dan Starets membagi majas menjadi tiga yang paling

    utama, Luxemburg, dkk. dalam Ratna (2013: 225-226) membedakan majas

    menjadi empat macam, yaitu: pertentangan, identitas (analogi), kedekatan

    (kontiguitas), dan simbolik. Majas atau gaya bahasa metafora pada umumnya

    sama dengan gaya bahasa analogi. Kebanyakan orang menyebut hanya dengan

    metafora saja untuk mencerminkan sebuah analogi. Pada penelitian kali ini akan

  • 19

    dibahas lebih jauh mengenai gaya bahasa analogi atau secara umum sering disebut

    juga sebagai gaya bahasa perbandingan.

    Dari beberapa penjelasan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa

    pada dasarnya gaya bahasa dapat kita sebut juga sebagai majas. Dalam

    penggunaannya, gaya bahasa berfungsi untuk menjelaskan atau menggambarkan

    sesuatu dengan menggunakan kalimat tertentu yang mengandung makna kiasan

    (bukan makna sebenarnya). Hal tersebut terjadi karena adanya perubahan makna

    dari sebelumnya merupakan makna sesungguhnya, namun pengarang

    mengisyaratkan atau menganalogikannya sehingga terlihat sebagai makna

    konotasi (kiasan). Ketika pengarang tersebut melukiskan suatu gambaran atau

    keadaan dengan gaya bahasa akan menimbulkan efek imajinatif serta memberikan

    pesan dan kesan estetis di benak pembaca sehingga membuat tulisan tersebut jauh

    lebih berkualitas.

    A.3. Gaya Bahasa Analogi

    Keraf (2007: 136-137) menggunakan istilah gaya bahasa kiasan untuk

    menunjukkan gaya bahasa yang dibentuk berdasarkan perbandingan atau

    persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti

    mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal

    tersebut. Pada mulanya bahasa kiasan berkembang dari analogi. Kata analogi

    dipergunakan baik dengan pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam

    pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi identitas

    antara dua pasangan istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Sedangkan

    dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara

  • 20

    dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas ini, analogi lalu berkembang

    menjadi kiasan.

    Jika analogi berkembang menjadi bahasa kiasan, itu berarti hubungan

    analogi tersebut dapat membentuk sebuah metafora. Seperti yang diungkapkan

    oleh Fromilhague (2005: 56-59), la métaphore est fondée sur une relation

    d’analogie: « un lion » pour « un homme courageux ». On crée une relation

    d’analogie entre des référents distincts. Metafora dibentuk melalui sebuah

    hubungan analogi, sebagai contoh misalnya: un lion untuk menggambarkan un

    homme courageux, lelaki pemberani diibaratkan sebagai seekor singa. Hubungan

    analogi diciptakan dengan melihat acuan yang berbeda, pada dasarnya seekor

    singa dan seorang manusia adalah dua sosok yang berbeda, namun dengan

    menggunakan gaya bahasa analogi ini kita berusaha untuk mencari persamaan

    dari kedua hal yang berbeda. Singa adalah hewan buas yang kita kenal sebagai

    ‘raja hutan’, raja dari seluruh hewan, oleh karena itu kita dapat menganalogikan

    lelaki pemberani seperti ‘seekor singa’.

    Menurut Tjahjono (1988: 201), sesuai dengan namanya gaya bahasa jenis

    ini berarti gaya bahasa yang berusaha membuat ungkapan dengan cara

    memperbandingkan suatu hal atau keadaan dengan hal atau keadaan yang lain.

    Berdasarkan pernyataan dari beberapa tokoh tersebut, terlihat bahwa gaya bahasa

    analogi merupakan gaya bahasa kiasan, atau kita dapat menyebutkan bahwa

    payung utama dari gaya bahasa ini adalah metafora. Gaya bahasa analogi

    mencoba untuk menghubungkan kedua hal yang berbeda dengan berusaha

    mencari persamaan diantara kedua hal tersebut.

  • 21

    Meskipun gaya bahasa analogi seringkali hanya disebut sebagai metafora,

    dalam perkembangannya gaya bahasa jenis ini dibagi lagi ke dalam beberapa

    ragam bentuk. Menurut Satoto (2012: 155), pengklasifikasian, pengkategorian

    atau pengelompokan gaya bahasa tidak ada aturan standardnya. Tiap-tiap penulis

    berbeda antara yang satu dengan yang lain, sesuai dengan dasar atau sudut mana

    mereka memandangnya.

    Di antara berbagai macam gaya bahasa yang memiliki kemiripan fungsi

    yaitu menganalogikan antara dua hal, peneliti akan membatasi dengan hanya

    mengambil tiga gaya bahasa, diantaranya adalah metafora itu sendiri sebagai yang

    utama, personifikasi (metafora yang diberikan sifat insani karena pebanding yang

    merupakan benda mati dibuat seolah-olah dapat mengerjakan suatu hal layaknya

    manusia) dan alegori (metafora yang diperluas karena kata yang bersifat alegori

    mengandung makna yang luas yaitu dapat bermakna konotasi dan juga dapat

    bermakna literal). Untuk mengetahui perbedaan dari metafora, personifikasi dan

    alegori, akan diuraikan dalam pembahasan sebagai berikut:

    A.3.1. Metafora

    Suatu gaya bahasa kerapkali pula menambahkan kekuatan pada suatu

    kalimat. Metafora misalnya, dapat menolong seorang pembicara atau penulis

    melukiskan suatu gambaran yang jelas melalui komparasi atau kontras. Metafora

    berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti ‘memindahkan‘; dari meta ‘di

    atas; melebihi’ + pherein ‘membawa’. Metafora membuat perbandingan antara

    dua hal atau benda untuk menciptakan suatu kesan mental yang hidup walaupun

    tidak dinyatakan secara explisit dengan penggunaan kata-kata seperti, ibarat, bak,

  • 22

    sebagai, umpama, laksana, penaka, serupa seperti pada perumpamaan, ungkap

    Dale dalam Tarigan (1985: 15).

    Metafor (Minderop, 2010: 85) adalah suatu gaya bahasa yang

    membandingkan satu benda dengan benda lainnya secara langsung yang dalam

    bahasa Inggris menggunakan to be. Dalam bahasa Indonesia tidak ada to be dan

    bisa digunakan secara langsung, contoh: ‘kehidupan ini binatang lapar’. Binatang

    lapar merupakan metafor kehidupan artinya kehidupan yang rakus dan ganas.

    Sama halnya dengan Dale, definisi menurut Minderop ini memperlihatkan bahwa

    metafora adalah salah satu jenis gaya bahasa analogi yang berusaha

    membandingkan kedua hal secara langsung tanpa menggunakan kata perangkai

    bagai, seperti, ibarat, laksana, bak, dan lain sebagainya seperti pada gaya bahasa

    simile.

    Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat,

    padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan: yang satu adalah suatu

    kenyataan, sesuatu yang dipikirkan, yang menjadi obyek; dan yang satu lagi

    merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang

    belakangan itu menjadi yang terdahulu tadi (Tarigan, 1985: 15). Maksudnya

    adalah metafora dengan jelas membuat perbandingan secara singkat, kemudian

    kedua ide atau gagasan (hal yang dibandingkan dengan pembandingnya)

    diperlihatkan secara tersusun rapi dalam sebuah kalimat tersebut.

    Menurut Tjahjono (1988: 202), metafora adalah gaya bahasa yang

    memperbandingkan sesuatu hal atau keadaan dengan hal atau keadaan lain yang

  • 23

    memiliki sifat yang sama. Metafora (Ratna, 2013: 183) dengan demikian seolah-

    olah tidak berstruktur, dua kata, dua konsep secara langsung disandingkan. Lebih

    lanjut menurut Scholes dengan mengadopsi pendapat Jakobson, semua bentuk

    kiasan pada dasarnya dapat disebutkan sebagai metafora. Sama halnya seperti

    yang dijelaskan Poerwadarminta dalam Tarigan (1985: 15), metafora adalah

    pemakaian kata-kata bukan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang

    berdasarkan persamaan atau perbandingan. Beberapa pengertian dari tokoh-tokoh

    tersebut menyebutkan bahwa metafora sebenarnya adalah kiasan, yang artinya

    metafora memiliki makna konotatif (bukan arti sesungguhnya).

    Aristoteles menjelaskan dalam Ratna (2013: 182) kualitas metaforis karya

    seorang pengarang tergantung dari persepsi-persepsi intuitif dalam menemukan

    persamaan di antara ketidaksamaan. Persamaan yang dimaksudkan bukan semata-

    mata persamaan eksplisit, yang pada umumnya dengan menggunakan kata-kata

    penghubung, sebagai simile, tetapi membandingkannya secara langsung sebagai

    kata sanding. Hal ini berarti menunjukkan jika sebenarnya membuat perbandingan

    dalam metafora ini tergantung dari bagaimana masing-masing pengarang

    menganalogikan kedua gagasan. Dalam membuat kalimat metaforis, pengarang

    harus menemukan sebuah persamaan dari kedua hal yang dianalogikan tersebut.

    Menyambung penjelasan yang dikemukakan Aristoteles bahwa metafora

    berusaha menemukan persamaan di antara ketidaksamaan, Ullmann dalam Starets

    (2008: 132) pun membuat sebuah kesimpulan serupa dengan menyatakan hal

    sebagai berikut, on conjugue les deux notions en vertu de ce qu’elles ont en

    commun et on fait abstraction des différences. Dua konsep digabungkan dengan

  • 24

    melihat persamaan yang dimilikinya dan mengabaikan perbedaan yang ada. Ini

    membuktikan bahwa prinsip utama dalam metafora adalah mencari persamaan

    antara dua hal yang dapat dijadikan sebuah analogi.

    Luxemburg, dkk. dalam Ratna (2013: 191) menggunakan empat istilah;

    yaitu: pembanding, pebanding (memiliki ekuivalensi dengan penanda dan

    petanda), motif, dan kata perangkai. Dalam kalimat ‘Anak itu bodoh seperti

    kerbau’, ‘anak itu’ adalah pebanding, ‘kerbau’ adalah pembanding, ‘bodoh’

    merupakan motif, sedangkan ‘seperti’ dianggap sebagai perangkai. Berbeda

    dengan perumpamaan, seringkali motif tidak disebutkan sehingga kalimat

    berbunyi ‘Anak itu kerbau’. Apabila pebandingnya merupakan benda mati,

    sedangkan pembandingnya benda hidup, maka disebut majas personifikasi. Ia

    juga menambahkan bahwa metafora dapat diciptakan melalui kata benda, kata

    kerja, kata sifat, dan kata-kata lain, metafora juga tercipta melalui metafora-

    metafora itu sendiri.

    Begitu pula Fromilhague (2005: 73-75) menyebutkan metafora sebagai

    perbandingan yang terdiri dari pebanding (un comparé), pembanding (un

    comparant), dan motif (un motif):

    La métaphore et la comparaison canoniques sont formées d’un

    comparé (Cé = le thème), d’un comparant (Ca = le référent virtuel),

    et d’un motif (Mot.), dont le signifié comporte des sèmes attribués au

    Cé et au Ca (propriétés logiques communes aux deux). Le motif n’est

    pas toujors exprimé. Dans la métaphore, le Ca a toujours un sens

    figuré. Avec la métaphore, la représentation du Cé s’enrichit de la

    présence du Ca.

  • 25

    Metafora dan perbandingan pada umumnya dibentuk dari pebanding (Cé:

    tema), pembanding (Ca: acuan yang tidak nyata), dan sebab (Mot.), yang arti atau

    maknanya secara logika mengacu pada Cé dan Ca. Sama halnya dengan

    Luxemburg, dkk. Fromilhague juga mengemukakan bahwa metafora terdiri dari

    pebanding (hal yang dibandingkan), pembanding (hal yang menjadi pembanding

    dari yang dibandingkan selalu bersifat konotatif), dan motif (sebab/alasan). Di

    dalam sebuah metafora, Motif tidak selalu diungkapkan, Ca selalu bermakna

    kiasan dan kehadiran Ca berfungsi untuk memperkaya kualitas Cé. Keseluruhan

    unsur pembangun metafora ini kemudian akan membangun sebuah analogi.

    Analogi yang diciptakan dalam metafora tergantung dari presepsi masing-

    masing pembaca, seperti yang diungkapkan Hurley (2010: 25):

    Quant à la métaphore, une figure omniprésente en littérature, Paul

    Ricoeur, qui l’étudie, décrit aussi la série de décisions que le lecteur

    doit prendre pour que se produise l’effet métaphorique. Cette série

    d’opérations intellectuelles fait appel non seulement aux capacités

    cognitives du lecteur (auditeur) mais également à ses sentiments et à

    son imagination.

    Metafora, merupakan sebuah kiasan yang selalu ada dalam karya sastra,

    Paul Ricoeur yang mempelajarinya pun menggambarkan bahwa pembaca harus

    mengambil serangkaian keputusan agar dapat menciptakan efek metaforis.

    Rangkaian proses yang melibatkan kecerdasan intelektual ini tidak hanya

    menuntut kemampuan kognitif pembaca (pendengar), tetapi juga membutuhkan

    perasaan dan imajinasi.

  • 26

    Maksud dari pendapat yang dikemukakan Hurley ini adalah bahwa untuk

    membangun analogi pada metafora diperlukan kemampuan intelektual dari

    pembaca itu sendiri untuk menginterpretasikan gaya bahasa metafora. Pembaca

    diharuskan menggunakan kecerdasan, perasaan dan juga imajinasinya agar dapat

    membawa konteks dalam cerita menghasilkan efek metaforis. Oleh karena itu,

    efek metaforis yang ditimbulkan sangat bergantung dari presepsi dari masing-

    masing pembaca.

    Selain itu, dalam artikel yang ditulis oleh Maribel González Rey yang

    berjudul Le rôle de la métaphore dans la formation des expressions idiomatiques

    diunduh melalui http://cvc.cervantes.es/lengua/paremia/pdf/004/009_gonzalez.pdf

    pada tanggal 5 Januari 2016, pukul 10.10, Lafleur mengungkapkan bahwa unsur

    metaforis terkandung dalam sebuah ungkapan atau idiom. Les EI (expressions

    idiomatiques) sont des métaphores. Salah satu ciri dari expression idiomatique

    adalah memiliki nilai metaforis, oleh karena itu ungkapan/idiom dapat disebut

    juga sebagai metafora.

    Dari pernyataan-pernyataan yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan

    bahwa metafora merupakan bahasa kiasan, yang menganalogikan suatu hal

    dengan hal lainnya yang berbeda. Secara langsung kedua hal tersebut

    disandingkan tanpa menggunakan kata perangkai (simile tersembunyi), dan ketika

    kita melihat keduanya dapat ditemukan kesamaan makna sebagai akibat dari

    perbandingan tersebut. Metafora biasanya terbentuk dari pebanding dan

    pembanding, pebanding adalah hal yang akan dibandingkan, sedangkan

    pembanding adalah hal yang bermakna kiasan yang merupakan analogi dari

    http://cvc.cervantes.es/lengua/paremia/pdf/004/009_gonzalez.pdf

  • 27

    pebanding. Kemampuan kognitif pembaca sangat berpengaruh untuk memutuskan

    apakah dalam karya sastra tersebut menggunakan analogi metafora atau tidak.

    Selain itu tidak lupa pula bahwa imajinasi sangat diperlukan sehingga masing-

    masing pembaca dapat menciptakan sendiri efek metaforis dalam karya sastra

    tersebut.

    A.3.2. Personifikasi

    Seperti yang kita ketahui sebelumnya bahwa gaya bahasa analogi

    sebenarnya berawal dari metafora, namun mengacu pada penjelasan luxemburg,

    dkk. dalam Ratna (2013: 191), bahwa apabila yang menjadi pebanding adalah

    benda mati dan pembanding adalah benda hidup maka metafora ini disebut

    sebagai personifikasi. Personifikasi berasal dari bahasa Latin persona (orang,

    pelaku, aktor, atau topeng yang dipakai dalam drama) + fic (membuat). Karena

    itulah maka apabila kita mempergunakan gaya bahasa personifikasi, kita

    memberikan ciri-ciri atau kualitas, yaitu kualitas pribadi orang kepada benda-

    benda yang tidak bernyawa ataupun kepada gagasan-gagasan, Dale dalam Tarigan

    (1985: 17).

    Selanjutnya, Dodson (2008: 30) mengungkapkan pula hal serupa seperti

    Dale mengenai pengertian personifikasi. Secara sederhana, personifikasi

    didefinisikan sebagai pemberian karakteristik manusia pada berbagai benda tidak

    bernyawa atau konsep abstrak. Kedua definisi tentang gaya bahasa personifikasi

    tersebut secara tidak langsung menjelaskan maksud dari Luxemburg, dkk. bahwa

    metafora yang apabila pembandingnya diberikan sifat-sifat insani atau dapat

  • 28

    bertindak layaknya makhluk hidup maka metafora tersebut disebut sebagai

    personifikasi.

    Menurut Keraf (2007: 140-141), personifikasi atau prosopopoeia adalah

    semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati atau

    barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.

    Personifikasi (penginsanan) merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang

    mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia.

    Seperti halnya dengan simile dan metafora, personifikasi mengandung suatu

    unsur persamaan. Kalau metafora (sebagai istilah umum) membuat perbandingan

    dengan suatu hal yang lain, maka dalam penginsanan hal yang lain itu adalah

    benda-benda mati yang bertindak dan berbuat seperti manusia, atau perwatakan

    manusia. Pokok yang dibandingkan itu seolah-olah berwujud manusia, baik dalam

    tindak-tanduk, perasaan, dan perwatakan manusia lainnya. Definisi dari Keraf

    secara jelas menyebutkan bahwa personifikasi pada awalnya adalah metafora,

    namun metafora tersebut memiliki ciri khusus yaitu membuat benda-benda mati

    dapat berprilaku, berperasaan dan bertindak bagai manusia.

    Menurut Lausberg dalam Dodson (2008: 30), la personnification consiste à

    attribuer à une chose inanimée les sentiments, le langage, etc. d’une personne.

    Maksudnya adalah, personifikasi memberikan kepada sesuatu yang tidak

    bernyawa berbagai perasaan, bahasa, dan lain-lain yang dimiliki seseorang

    (manusia). Jadi, bukan hanya tindakan, melainkan perasaan dan sebuah ucapan

  • 29

    yang biasa dilakukan manusia pun jika diberikan kepada suatu benda mati maka

    konsep personifikasi berarti telah dituangkan ke dalam kalimat tersebut.

    Lebih lanjut lagi Tjahjono (1988: 202) menjelaskan, personifikasi adalah

    gaya bahasa yang menganggap benda-benda tak bernyawa mempunyai kegiatan,

    maksud, dan nafsu seperti dimiliki oleh manusia. Dengan perkataan lain,

    penginsanan atau personifikasi, ialah jenis gaya bahasa yang melekatkan sifat-

    sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak, jelas

    Tarigan (1985: 17). Minderop (2010: 88) mengungkapkan bahwa personifikasi

    adalah suatu proses penggunaan karakteristik manusia untuk benda-benda non-

    manusia, termasuk abstraksi atau gagasan.

    Jadi, dapat disimpulkan suatu pemahaman bahwa personifikasi merupakan

    metafora yang diberikan sifat-sifat insani. Personifikasi memiliki ciri khas utama

    yaitu suatu benda mati atau ide yang abstrak digambarkan seperti memiliki sifat

    manusia, atau dianalogikan seperti dapat melakukan suatu kegiatan atau tindakan

    layaknya manusia.

    A.3.3. Alegori

    Sama halnya dengan personifikasi, gaya bahasa alegori merupakan

    perluasan dari metafora. Seperti yang diungkapkan Dodson (2008: 35), alegori

    dapat didefinisikan sebagai metafora yang diperluas dalam keseluruhan kalimat.

    Menurut Tjahjono (1988: 206), alegori adalah gaya bahasa yang dipakai dalam

    rangkaian tuturan secara keseluruhan. Artinya hampir semua kalimat dalam

    tuturan itu memakai gaya bahasa secara utuh dan padu. Maksudnya adalah alegori

  • 30

    ini secara keseluruhan dalam kalimat mengandung suatu makna atau pesan moral

    yang ingin disampaikan. Hanya saja penyampaian makna atau pesan tersebut

    menggunakan sebuah analogi yang panjang, oleh karena itu disebut sebagai

    metafora yang diperluas.

    Tarigan (1985: 24) menjelaskan alegori berasal dari bahasa Yunani

    allegorein yang berarti berbicara secara kias; diturunkan dari allos ‘yang lain’ +

    agoreuein ‘berbicara’. Alegori adalah cerita yang dikisahkan dalam lambang-

    lambang; merupakan metafora yang diperluas dan berkesinambungan, tempat atau

    wadah obyek-obyek atau gagasan-gagasan yang diperlambangkan.

    Jika Tarigan mengatakan alegori sebagai objek atau gagasan yang

    diperlambangkan, maka Minderop menggunakan istilah simbol. Simbol adalah

    sesuatu semacam tanda (lukisan, perkataan, lencana, dan sebagainya) yang

    menyatakan sesuatu hal yang mengandung maksud tertentu. Misalnya: matahari

    lambang pria, bulan lambang perempuan, mawar merah lambang gadis cantik, dan

    lain-lain, Minderop (2010: 246).

    Fromilhague (2005: 119) menjelaskan bagaimana bentuk gaya bahasa

    alegori. Le récit ou la description allégorique ont une forme concrète, dont seule

    une réinterprétation analogique permet de saisir la portée symbolique. Narasi

    atau deskripsi alegoris memiliki bentuk konkret yang hanya dapat

    diinterpretasikan kembali secara analogi dengan mempergunakan simbol.

    Maksudnya adalah gaya bahasa alegori biasa direpresentasikan dalam bentuk

  • 31

    simbol. Sama halnya dengan metafora namun alegori digambarkan dengan

    lambang-lambang yang sudah diketahui secara umum.

    Seringkali kita menemui kesulitan dalam membedakan antara metafora dan

    alegori. Fontanier dalam Ricœur (1975: 81-82) mengungkapkan perbedaan antara

    keduanya jika dilihat berdasarkan maksud penyampaiannya. La métaphore, même

    continuée (qu'il appelle allégorisme), n'offre qu'un seul vrai sens, le sens figuré,

    tandis que l'allégorie « consiste dans une proposition à double sens, à sens littéral

    et à sens spirituel tout ensemble ». Pernyataan tersebut dapat diinterpretasikan

    bahwa jika metafora hanya memberikan sebuah makna, yakni makna kiasan.

    Maka alegori memiliki dua makna, alegori dapat bermakna harfiah (arti

    sebenarnya) dan juga bermakna spiritual (mengandung pesan moral) secara

    bersamaan.

    Wellek dan Warren (2013: 220) juga menjelaskan perbedaan antara

    metafora dan simbol, yang pertama harus dicatat adalah simbol selalu secara

    terus-menerus menampilkan dirinya. Suatu citra dapat dibangkitkan melalui

    metafora. Tetapi jika citra itu terus-menerus muncul sebagai suatu perwujudan

    yang mewakili sesuatu, citra itu pun menjadi simbol dan bahkan dapat menjadi

    bagian dari sistem yang simbolis, sistem yang mengandung mitos.

    Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan sebelumnya, dapat

    disimpulkan bahwa alegori pada prinsipnya merupakan gaya bahasa turunan dari

    metafora yang membuat perbandingan atau analogi suatu hal, ide, atau gagasan

    dengan menggunakan simbol-simbol umum yang sudah kita ketahui. Oleh sebab

  • 32

    itu alegori disebut juga sebagai metafora yang diperluas karena perbandingan atau

    analogi yang digunakan adalah berupa sebuah lambang atau simbol yang sudah

    dikenal secara luas maknanya.

    B. Penelitian yang Relevan

    Penelitian yang relevan dengan penelitian gaya bahasa analogi ini, adalah

    penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati (2005), Jurusan Bahasa Prancis

    Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta, dengan judul penelitian

    “Gaya Bahasa Analogi pada Teks Iklan Majalah Elle”. Metode yang digunakan

    pada penelitian tersebut adalah deskriptif kualitatif melalui studi kepustakaan.

    Data-data penelitian berupa teks pada iklan media cetak yang diperoleh dari

    majalah Prancis Elle edisi tahun 2004 sebagai sumber data. Fokus masalah dalam

    penelitian ini yaitu gaya bahasa analogi, dengan tiga jenis gaya bahasa analogi

    sebagai subfokus antara lain gaya bahasa perbandingan, metafora, dan

    personifikasi. Kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan

    teori Pierre Guiraud. Hasil penelitian menunjukkan dari 20 iklan yang diteliti

    terdapat 16 kalimat dan 9 frase yang mengandung gaya bahasa analogi.

    Penelitian ini dengan penelitian yang ditulis oleh Rachmawati memiliki

    keterkaitan karena sama-sama membahas mengenai gaya bahasa analogi. Namun,

    perbedaan penelitian yang dibuat oleh Rachmawati dengan penelitian ini adalah

    gaya bahasa analogi yang diteliti pada penelitian ini terdiri dari metafora,

    personifikasi, dan alegori. Selanjutnya pada penelitian ini, peneliti mengupas dan

    menganalisis karakteristik khusus yang dapat membedakan ketiga jenis gaya

    bahasa tersebut dengan mengacu pada teori Fromilhague dan Lausberg. Sumber

  • 33

    data yang digunakan pada penelitian ini merupakan sebuah roman karya Victor

    Hugo yang berjudul Légende du beau Pécopin et de la belle Bauldour.

    C. Kerangka Berpikir

    Untuk dapat menjawab rumusan masalah yang dikemukakan dalam

    penelitian yaitu adakah karakterstik khusus seperti apakah yang dapat

    membedakan gaya bahasa analogi yang terdiri dari metafora, personifikasi dan

    alegori dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle Bauldour karya

    Victor Hugo, peneliti akan membuat rancangan kerangka berpikir untuk

    memudahkan proses penelitian agar lebih terstruktur secara jelas.

    Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa metafora, personifikasi dan

    alegori merupakan jenis gaya bahasa yang memiliki kemiripan karena ketiganya

    masuk dalam satu kategori fungsi, yaitu analogi. Artinya tiga gaya bahasa tersebut

    mempunyai fungsi yang sama, menganalogikan atau membandingkan satu hal

    dengan hal lainnya, berarti ketiganya memiliki pebanding (sesuatu yang akan

    dibandingkan) dan pembanding (hal yang menjadi pembanding dari yang

    dibandingkan). Akan tetapi jika dilihat secara lebih mendalam, tentu saja ada hal

    yang menjadi pembeda di antara ketiga gaya bahasa tersebut. Berikut adalah hasil

    sintesis mengenai ciri-ciri atau karakteristik gaya bahasa analogi (metafora,

    personifikasi dan alegori) berdasarkan teori dari beberapa ahli (Fromilhague dan

    Lausberg):

  • 34

    Bagan 1

    Konsep Kerangka Berpikir

    Melalui bagan tersebut, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa analogi

    walaupun memiliki persamaan yaitu terdiri atas pebanding (comparé) dan

    pembanding (comparant), namun di antara ketiganya terdapat ciri khas yang dapat

    membedakan satu dengan lainnya. Perbedaan tersebut akan dikupas melalui

    kutipan dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle Bauldour. Kutipan

    pada roman yang digunakan dalam penelitian ini akan mendeskripsikan

    karakteristik yang membedakan antara metafora, personifikasi dan alegori

    berdasarkan teori utama.

    Kutipan dalam roman Légende du beau Pécopin et de la belle

    Bauldour karya Victor Hugo yang mengandung unsur analogi

    (metafora, personifikasi dan alegori)

    Metafora

    - Perbandingan langsung tanpa kata perangkai

    - Membandingkan dua hal yang memiliki sifat

    serupa

    - Selalu bermakna kiasan - Dapat berupa ungkapan /

    idiom.

    Personifikasi

    - Pebanding: benda mati, ide abstrak, gagasan atau

    konsep

    - Pembanding: manusia - Benda mati, ide abstrak,

    gagasan atau konsep

    digambarkan seolah-

    olah seperti manusia.

    Alegori

    - Membuat analogi dalam bentuk lambang atau

    simbol

    - Menggambarkan ide

    abstrak dalam bentuk

    sebuah benda konkret.