BAB II KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulurepository.ub.ac.id/10194/3/BAB II.pdf · 2018. 5....

28
12 BAB II KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulu Untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah mengapa Jepang melakukan ketidakpatuhan terhadap keputusan ICJ, penulis menggunakan tiga studi terdahulu. Studi terdahulu ini kemudian akan penulis bandingkan dengan penelitian milik penulis sendiri, sehingga terlihat stand position dari penelitian ini. Studi terdahulu yang pertama adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Amy L Catalanic dan Gerald Chan dari Harvard University pada tahun 2005. Jurnal yang berjudul Japan, The West, and the Whaling issue: understanding the Japanese side ini membahas tentang perselisihan penangkapan ikan paus, dengan lebih spesifik dari sisi Jepang. Amy-Gerald terlebih dahulu menguraikan peran International Whaling Commission dalam menerapkan peraturan anti-penangkapan ikan paus, yakni moratorium whaling pada tahun 1982. Kemudian Amy-Gerald menganalisis keberatan Jepang terhadap moratorium tersebut, kepatuhan dan komitmennya, juga faktor-faktor yang mendukung kebijakan whaling Jepang. Disebutkan bahwa Jepang memandang larangan penangkapan paus tersebut sebagai ancaman terhadap keamanan sumber daya dan juga bahaya dalam penghargaan diversitas budaya. 35 Dalam penelitan Amy-Gerald ini, mereka menemukan bahwa pejabat Jepang melihat tujuan preservationis dari mayoritas negara anti-whaling. Terlihat dalam penelokan terus-menerus untuk menerapkan Revised Management Procedure (RMP), 35 Op Cit. Catalinac, Amy L., Gerald Chan, 2005. Japan, the West, and the whaling issue: understanding the Japanese side, hal 133.

Transcript of BAB II KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Studi Terdahulurepository.ub.ac.id/10194/3/BAB II.pdf · 2018. 5....

  • 12

    BAB II

    KERANGKA PEMIKIRAN

    2.1 Studi Terdahulu

    Untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah mengapa Jepang

    melakukan ketidakpatuhan terhadap keputusan ICJ, penulis menggunakan tiga studi

    terdahulu. Studi terdahulu ini kemudian akan penulis bandingkan dengan penelitian

    milik penulis sendiri, sehingga terlihat stand position dari penelitian ini. Studi

    terdahulu yang pertama adalah sebuah jurnal yang ditulis oleh Amy L Catalanic dan

    Gerald Chan dari Harvard University pada tahun 2005. Jurnal yang berjudul Japan,

    The West, and the Whaling issue: understanding the Japanese side ini membahas

    tentang perselisihan penangkapan ikan paus, dengan lebih spesifik dari sisi Jepang.

    Amy-Gerald terlebih dahulu menguraikan peran International Whaling Commission

    dalam menerapkan peraturan anti-penangkapan ikan paus, yakni moratorium whaling

    pada tahun 1982. Kemudian Amy-Gerald menganalisis keberatan Jepang terhadap

    moratorium tersebut, kepatuhan dan komitmennya, juga faktor-faktor yang

    mendukung kebijakan whaling Jepang. Disebutkan bahwa Jepang memandang

    larangan penangkapan paus tersebut sebagai ancaman terhadap keamanan sumber

    daya dan juga bahaya dalam penghargaan diversitas budaya.35

    Dalam penelitan Amy-Gerald ini, mereka menemukan bahwa pejabat Jepang

    melihat tujuan preservationis dari mayoritas negara anti-whaling. Terlihat dalam

    penelokan terus-menerus untuk menerapkan Revised Management Procedure (RMP),

    35

    Op Cit. Catalinac, Amy L., Gerald Chan, 2005. Japan, the West, and the whaling issue: understanding the

    Japanese side, hal 133.

  • 13

    meskipun ada bukti ilmiah kuat dalam penggunaannya untuk memulai komersial

    wahling. Dari sisi internal Jepang, Amy-Gerald menyebutkan bahwa, pandangan yang

    berbeda terhadap alam, dikombinasikan dengan ketergantungan terhadap laut (secara

    tradisional), sehingga kesimpulan dari kebijakan whaling Jepang didasarkan pada

    alasan bahwa paus adalah sumber makanan yang berharga. Sehingga jika dapat

    mempertahankan kembang biak paus dengan baik, maka tidak ada alasan untuk

    melarang pemanfaatan paus dikonsumsi manusia (komersil whaling).36

    Pemerintah Jepang juga mengacu pada ide sustainable development yang

    dicanangkan PBB dalam Eart-Summit, bahwa kehidupan manusia bergantung pada

    pemanfaatan sumber daya lingkungan yang berkelanjutan dan merata. Pemerintah

    harus mempromosikan pembangunan berkelanjutan untuk menjamin penghidupan

    masyarakat mereka. Selain itu kebijakan whaling Jepang juga dipengaruhi oleh

    kekhawatiran akan reputasi internasionalnya. Jepang bisa saja mengundurkan diri

    seperti Iceland atau Norwegia, namun Jepang tidak melakukan hal tersebut. Jepang

    tidak ingin mendapat reputasi sebagai predator lingkungan. Melalui ide pengelolaan

    sumber daya yang berkelanjutan, Jepang ingin mendapatkan reputasi yang baik

    dibalik keinginannya untuk menjaga kebutuhan akan paus tersebut.37

    Penulis menggunakan studi milik Amy-Gerald ini untuk melihat analis

    kebijakan Jepang terdahulu, sehingga dapat membandingkan dengan kebijakan

    terbaru Jepang, NEWREP-A. Perbedaannya terletak pada fokus penelitian, dimana

    penulis melihat bagaimana ketidakpatuhan dalam kebijakan terbarunya pasca

    mendapat vonis dari Mahkamah Internasional bahwa kebijakan Jepang terdahulu

    36

    Ibid hal 136 37

    Ibid hal 153

  • 14

    bersalah dan harus dihetikan. Kemudian penulis juga menggunakan compliance-based

    theory milik Andrew Guzman untuk melihat adaptasi terhadap perubahan dan

    tuntutan-tuntutan yang terjadi.

    Studi terdahulu kedua adalah jurnal yang berjudul Australia v. Japan: Is it

    Possible for Japanese Compliance? Oleh Kari Loomer, dari University of North

    Carolina School of Law yang dipublikasikan pada tahun 2016. Kari membahas

    tentang bagaimana izin penangkapan ikan paus dibawah pasal VIII ICRW menjadi

    sebuah hambatan terbesar bagi para aktor yang berusaha mengakhiri perburuan ikan

    paus. Dalam jurnal ini yang menjadi bahasan utama adalah penilaian Australia

    terhadap kebijakan whaling Jepang. Jurnal ini menguraikan latar belakang dan

    kontroversi terkait isu whaling tersebut, bagaimana peran Jepang, komunitas

    internasional, dan juga Australia. Jurnal ini juga menjelaskan kasus yang dibawa oleh

    Australia terhadap Jepang di Mahkamah Internasional. Kemudian menilai bagaimana

    kepatuhan Jepang di awal pasca keputusan Mahkamah Internasional tersebut. Kari

    juga menganalisis opsi-opsi hukum lain untuk menentang perburuan ikan paus. Dan

    terakhir mempertimbangkan pilihan untuk memaksa kepatuhan Jepang.38

    Dijelaskan bahwa pada tahun 2002-2011 Jepang telah membunuh lebih dari

    11.000 ekor paus, dibawah program JARPA I dan JARPA II. Dengan segala macam

    alasan bahwa scientific whaling Jepang tersebut penting untuk dilaksanakan, Australia

    menjadi salah satu aktor yang secara konsisten memperdebatkan program tersebut.

    Pihak Australia mengatakan bahwa program tersebut sebagai upaya terselubung untuk

    mempertahankan industri komersil ikan paus yang melanggar moratorium. Tujuan

    38

    Loomer, Kari, 2016. “Australia v. Japan : Is it Possible for Japanese Compliance?”. (http://ncilj.org/wp-

    content/uploads/2017/01/Loomer-1.pdf). Diakses pada 17 Oktober 2017. Hal 36.

    http://ncilj.org/wp-content/uploads/2017/01/Loomer-1.pdfhttp://ncilj.org/wp-content/uploads/2017/01/Loomer-1.pdf

  • 15

    awal Australia adalah agar ICJ menyatakan bahwa program Jepang, JARPA II, telah

    melanggar aturan dalam ICRW, yang berarti bahwa Jepang telah melanggar aturan

    hukum internasional. Keputusan Australia yang mendasari untuk membawa tindakan

    Jepang ke ICJ adalah bahwa JARPA II dilakukan di Southern Whale Sanctuary, yang

    mana suaka ini adalah tempat sakral untuk konservasi paus, dan sudah diatur bahwa

    tidak boleh ada penangkapan paus di wilayah ini. Namun, bahkan jika Australia

    terbukti berhasil melawan Jepang, Australia tidak bisa sepenuhnya merubah fakta

    bahwa celah di ICRW, yakni pasal VIII tetap akan berlaku.39

    Australia berfokus terutama pada kewajiban Jepang berdasarkan ICRW dalam

    argumennya kepada ICJ, mengenai “the zero catch quota” yang ada pada paragraf

    10(e) dari Schedule ICRW. Juga kewajiban untuk tidak melakukan penangkapan

    komersial terhadap paus humpback whales dan fin whales di Southern Ocean

    Sanctuary, seperti yang disebutkan dalam paragraf 7(b) dari Schedule ICRW. Dan

    argumen utama Australia, bahwa, Pasal VIII (1) tidak memberikan Contracting

    Government keleluasaan untuk bertindak sepihak dan subyektif dalam pelaksanaan

    scientific whaling-nya. Jadi harus sesuai dengan peraturan yang tertera dalam ICRW,

    tidak seperti Jepang yang seakan “bermain” dengan tujuan ilmiah tersebut.40

    Akhirnya pada bulan Maret 2014, ICJ memutuskan bahwa program perburuan

    paus Jepang di Laut Antartika adalah pelanggaran terhadap konvensi ICRW dan

    berada diluar cakupan dari apa yang dibenarkan dari Pasal VIII ICRW. Dalam

    mencapai keputusannya, ICJ memberikan perhatian khusus pada kesaksian ahli dan

    menentukan bahwa program Jepang tersebut tidak untuk tujuan ilmiah seperti yang

    39

    Ibid Hal 42. 40

    Ibid Hal 43.

  • 16

    dipersyaratkan dalam aturannya. Berdasarkan penilaian ICJ, Jepang harus berusaha

    membuat program baru agar negara-negara IWC yakin bahwa Jepang berkomitmen

    dalam mematuhi putusan tersebut.41

    Segera setelah itu, Jepang mematuhi keputusan ICJ dan setuju untuk tidak

    menangkap paus di Antartika, namun tetap melanjutkan penangkapan di Pasifik

    dengan skala yang lebih kecil. Menteri Luar Negeri Jepang, Fumio Fukuda

    mengatakan bahwa Jepang adalah negara yang sangat mementingkan tatanan hukum

    internasional dan peraturan hukum. Oleh karena itu, Pemerintah Jepang akan

    mematuhi putusan dari ICJ tersebut, dengan sedikit menambahkan bahwa

    sesungguhnya keputusan tersebut cukup mengecewakan pihak Jepang. Namun,

    Jepang malah berperilaku sebaliknya dengan mengeluarkan kebijakan baru pada awal

    Desember 2014 yang mana hal tersebut justru melanggar pernyataan sebelumnya.

    Jepang mengeluarkan kebijakan baru dengan nama NEWREP-A dan bersikeras

    bahwa kebijakan tersebut adalah untuk tujuan ilmiah, bukan untuk kepentingan

    komersil. Penelitian tersebut penting dilakukan untuk memahami bagaimana

    perubahan iklim dan faktor lainnya mempengaruhi ikan paus tersebut.42

    Ketidakpatuhan Jepang tersebut menunjukkan “internal pressure” yang

    dirasakan oleh sebuah negara ketika sebuah keputusan bertentangan dengan beberapa

    aspek dari rezim politik negara. Bagi Jepang United Nation Convention on the Law of

    the Sea (UNCLOS) lah yang dapat menyelesaikan persoalan intenasional semacam

    ini. Karena mereka yang mengelola penggunaan sumber daya laut dunia dan lebih

    merupakan badan yang lebih appropriate untuk menangani tuntutan tersebut.

    41

    Ibid Hal 44. 42

    Ibid Hal 45.

  • 17

    Ketidakpatuhan Jepang terhadap keputusan ICJ ini dapat menyebabkan dampak

    tersendiri bagi Jepang, kemungkinan negara lain untuk tidak memenuhi kewajibannya

    pada Jepang dan bisa jadi sanksi ekonomi yang diberikan.43

    Kari kemudian menjabarkan opsi lain yang dapat dilakukan dalam kasus

    perburuan paus ini. Yang pertama yakni Pasal 94 Piagam PBB, menyatakan bahwa

    anggota PBB wajib untuk mematuhi keputusan Mahkamah Internasional dalam hal

    apapun yang menjadi kewajibannya. Piagam PBB tersebut kemudian menjalaskan

    bahwa tanggung jawab untuk memastikan kepatuhan memang diluar mandat ICJ,

    namun, lebih kepada alasan utama untuk menjaga perdamaian dan kemanan. Segera

    setelah Jepang melaksanakan kembali operasi whaling-nya, Australia berusaha untuk

    meminta pertanggungjawaban Jepang. Beberapa NGO Internasional, seperti Humane

    Society Internasional (HSI) bahkan meminta pemerintah Australia melakukan

    tindakan tegas dengan memutuskan kesepakatan politik dengan Jepang. Australia

    adalah satu-satunya Negara yang dapat meminta Deawan Keamanan PBB untuk

    mengambil tindakan berdasarkan pasal 94 (2) Piagam PBB. Kari menyebutkan bahwa

    langkah ini dapat menjadi strategi yang akan diambil Australia kedepan.44

    Kari memberikan cara bagaimana menjawab permasalah ini, dikatakan bawa

    cara yang paling efektif adalah tekanan kuat dari pihak luar. Termasuk masyarakat

    internasional dan organisasi internasional untuk keterlibatan dan cost yang harus

    dibayar Jepang atas ketidakpatuhannya. Australia menjadi aktor yang memimpin

    dalam upaya membuat Jepang mematuhi keputusan ICJ dan moratorium IWC. Atas

    ketidakpatuhan Jepang ini, Australia berjanji untuk mengirim kapal mereka ke

    43

    Ibid 44

    Ibid Hal 47

  • 18

    Antartika untuk melawan penangkapan paus Jepang. Australia juga bermaksud untuk

    memberikan sanksi ekonomi pada Jepang dengan melibatkan Amerika Serikat dan

    Uni Eropa.45

    Jurnal dari Kari Loomer ini berkontribusi dalam melihat peran aktor lain

    terhadap kasus ketidakpatuhan Jepang. Bagaimana Australia membawa kasus Jepang

    ke Mahkamah Internasional, dengan melihat point-point apa saja yang diangkat oleh

    Australia. Penelitian penulis dengan jurnal milik Kari Loomer ini memiliki persamaan

    bahasan tentang kasus ketidakpatuhan Jepang terkait dengan kebijakan Scientific

    Whaling-nya. Perbedaan terletak pada fokus penelitian dimana penulis lebih

    menekankan faktor apa saja yang mempengaruhi ketidakpatuhan Jepang terhadap ICJ.

    Penulis juga lebih berfokus pada program terbaru Jepang yakni NEWREP-A.

    Studi terdahulu ketiga adalah Research Paper milik Teal E. Crossen pada 2003

    yang berjudul Multilateral Environmental Agreements and the Compliance

    Continuum. Research Paper ini membahas tentang banyaknya Multilateral

    Environmental Agreement (MEA) dalam masyarakat internasional yang mencakup

    beragam masalah seperti, polusi atmosfer, degradasi laut dan deforestasi, dll.

    Disamping itu, banyak komentar yang menyarankan agar kepatuhan terhadap

    kewajiban yang disepakati dalam MEA harus tinggi. Namun disisi lain, ada

    kekhawatiran bahwa keadaan lingkungan terus memburuk hingga pada skala yang

    belum pernah terjadi sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya negara-negara yang

    tidak patuh pada MEA tersebut. Maka dari itu Research Paper ini membahas apakah

    45

    Ibid Hal 50

  • 19

    enforcement yang lebih kuat diperlukan untuk memastikan kepatuhan negara terhadap

    MEA.46

    Untuk mempertimbangkan pertanyaan tersebut, Crossen menggunakan

    beberapa literatur terbaru tentang kepatuhan dalam hukum internasional dan

    penerapannya dalam perjanjian internasional. Compliance-Based Theory adalah salah

    satu teori yang digunakan dalam research paper-nya. Patuh atau tidaknya negara

    dapat dilihat dari sanksi yang diterima dan bagaimana tujuan dari negara tersebut. Hal

    ini didasarkan pada rational self-interest negara bahwa negara akan melanggar hukum

    internasional ketika benefits lebih besar daripada cost. Dijelaskan bahwa dalam

    hukum internasional, sanksi akan mencegah ketidakpatuhan negara. Sanksi adalah

    “all costs associated with such a failure, including punishment or retaliation by other

    states, and reputational costs that affect a state’s ability to make commitments in the

    future.” Bila biaya sanksi lebih besar dari keuntungan yang didapat jika melakukan

    ketidakpatuhan, maka negara akan patuh terhadap hukum internasional tersebut.

    Sebaliknya, jika sanksi termasuk efek reputational loss melanggar norma

    internasional tidak melebihi benefitnya, maka negara akan cenderung tidak patuh.47

    Mengingat kurangnya mekanisme penegakan hukum yang ada dalam MEA,

    reputasi adalah kunci dari teori Andrew Guzman. Karena sesungguhnya reputasi

    sebuah negara memiliki nilai, sebuah reputasi kepatuhan terhadap hukum

    internasional mendorong hubungan kerjasama dengan negara lain. Ini berarti reputasi

    dapat menjadi tolak ukur kepatuhan negara, karena ketika reputational loss yang

    46

    Crossen, E. Teal, Multilateral Environmental Agreements and the Compliance Continuum. University of

    Calgary.

    (https://www.ippc.int/sites/default/files/documents/1182330508307_Compliance_and_theory_MEAs.pdf).

    Diakses pada 17 Oktober 2017. Hal 2. 47

    Ibid hal 22

    https://www.ippc.int/sites/default/files/documents/1182330508307_Compliance_and_theory_MEAs.pdf

  • 20

    diterima negara ternyata kecil, negara tersebut akan tidak patuh terhadap hukum

    internasional karena dia tetap dapat bekerjasama dengan negara lain. Dengan

    demikian, melanggar hukum internasional mengkompromikan reputasi dan akan

    mempengaruhi hubungan di masa depan.48

    Crossen menuliskan, seperti yang sering terjadi, biasanya negara tidak ingin

    memupuk reputasi untuk high compliance. Disinilah peran direct sanction, yakni,

    sebagai mekanisme riil untuk memastikan kepatuhan. Sanksi juga tidak terlepas dari

    isu legitimasi, salah satu yang dicatat oleh Guzman adalah bahwa sanksi (direct) pada

    umumnya dilakukan secara sepihak oleh victim country bukan oleh pihak ketiga yang

    netral. Juga dijelaskan bahwa teori pemenuhan reputasi ini memiliki batasan. Dalam

    isu dimana taruhannya tinggi, seperti keamanan negara, kepatuhan untuk

    mempertahankan reputasi yang baik melemah. Karena hilangnya reputasi tidak akan

    lebih besar dari benefit ketidakpatuhan atas isu kemanan negara tersebut. Sedangkan

    dalam isu perdagangan dan lingkungan, taruhannya lebih kecil, sehingga hukum

    internasional seharusnya dapat memiliki pengaruh yang lebih besar untuk

    menciptakan kepatuhan.49

    Research Paper milik Crossen ini membantu penulis untuk lebih memahami

    definisi dari sanksi yang dipaparkan oleh Andrew Guzman. Penulis menggunakan

    studi terdahulu ketiga ini untuk mendapatkan definisi lebih lanjut terkait dengan

    sanksi, reputasi, dan direct sanction. Persamaan penelitian penulis dengan Research

    Paper milik Crossen ini adalah pada penggunan Compliance-Based Theory milik

    Andrew Guzman. Perbedaannya, Crossen tidak menggunakan teori tersebut untuk

    48

    Ibid hal 23 49

    Ibid hal 24

  • 21

    menganalisis suatu kasus, namun hanya mengkaitkan teori tersebut dengan

    Multilateral Environmental Agreement (MEA).

    2.2 Kajian Teori

    Dalam meneliti suatu fenomena hubungan internasional, teori memiliki peran

    untuk memberikan pemahaman atas perilaku ataupun juga kejadian dari fenomena itu

    sendiri. Mohtar Mas’oed dalam bukunya “Ilmu Hubungan Internasional: disiplin dan

    metodologi” menjelaskan bahwa teori merupakan suatu bentuk pernyataan yang dapat

    digunakan untuk menjawab pertanyaan “mengapa”. Teori berwujud sekumpulan

    generalisasi dan karena di dalam generalisasi tersebut terdapat konsep-konsep, dapat

    diartikan bahwa teori adalah pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep secara

    logis.50

    Teori yang penulis gunakan dalam meneliti tentang fenomena yang diangkat,

    adalah sebagai berikut:

    Compliance-Based Theory

    Dalam menjawab fenomena dalam hubungan internasional, secara garis besar,

    teori ini menggabungkan bahasan traditional legal theory yang menjelaskan tentang

    bagaimana hukum internasional mempengaruhi perilaku negara yang terikat dalam

    hukum tersebut. Juga pendekatan realis yang menyatakan hukum internasional tidak akan

    berdampak pada perilaku negara, karena memang sifat dasar dari negara bahwa dia tidak

    akan patuh pada hukum selain untuk mencapai kepentingannya. Compliance-based

    Theory tetap mengedepankan teori hukum internasional di mana kepatuhan muncul dalam

    pertimbangan rasional dan self-interested negara. Hukum internasional akan membuat

    50

    Mas’oed, Mohtar. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi". Jakarta: LP3ES. (2003).

  • 22

    negara-negara tersebut patuh terhadap aturannya, ketika negara waspada terhadap

    reputational sanction (sanksi reputasi) dan direct sanction (sanksi langsung) yang

    mengikuti pelanggarannya.51

    Lebih lanjut, teori milik Andrew Guzman ini membahas dua fenomena, yakni,

    perilaku negara dalam kepatuhannya terhadap hukum internasional dan juga mengapa

    negara melanggar atau tidak patuh terhadap hukum internasional. Untuk menganalisa

    ketidakpatuhan Jepang terhadap keputusan ICJ, maka penulis menggunakan pendekatan

    penyebab suatu negara tidak patuh atau melakukan pelanggaran teradap hukum

    internasional. Andrew Guzman menjelaskan ketika negara memilih untuk bersikap tidak

    patuh maka negara tersebut sedang berupaya memaksimalkan payoffs dari tindakan

    tersebut.52

    Bisa diartikan juga bahwa negara tersebut akan lebih untung jika melanggar

    hukum internasional yang berlaku, ketimbang harus mematuhinya. Demikian juga

    sebaliknya jika dengan melanggar kerugian malah semakin besar maka opsi untuk patuh

    akan menjadi pilihan utama negara tersebut.

    Compliance-Based Theory menjelaskan bahwa ada Cost yang harus dibayar jika

    negara melakukan suatu pelanggaran. Cost tersebut adalah sanksi yang terdiri dari dua

    macam, yakni, sanksi reputasi dan sanksi langsung. Sanksi tersebut menjadi sebuah

    instrumen yang rasional dalam pelaksanaan hukum internasional. Ketika memang

    terdapat celah berupa sanksi reputasi dan sanksi langsung yang relatif kecil maka wajar

    51

    Andrew Guzman. “A Compliance-Based Theory of International Law”. California Law Review 90, 1823.

    (2002). (http://scholarship.law.berkeley.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1391&context=californialawreview).

    Diakses pada 17 Oktober 2017. 52

    Ibid. Hal 1847

    http://scholarship.law.berkeley.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1391&context=californialawreview

  • 23

    bagi negara untuk tidak patuh. Juga negara akan patuh jika kedua sanksi yang harus

    dibayar tersebut relatif besar.53

    2.2.1 Reputational Sanction

    Reputational Sanction adalah sanksi yang berdampak pada reputasi baik atau

    buruknya suatu negara, dimana Reputational Sanction ini akan berpengaruh pada

    hilangnya reputasi negara (reputational losss). Ukuran reputational loss yang diterima

    bergantung pada pelanggaran negara terkait. Makin besar pelanggaran yang dilakukan,

    diiringi dengan sanksi reputasi yang besar juga, maka akan berdampak pada reputational

    loss negara tersebut.54

    Berikut adalah beberapa indikator untuk menilai seberapa besar

    sanksi reputasi yang didapat negara ketika berperilaku tidak patuh pada aturan, sebagai

    berikut:

    1. Severity of the Violation

    Indikator ini digunakan untuk melihat besarnya pelanggaran yang dilakukan

    negara. Semisal ketika pelanggaran yang dilakukan oleh negara tersebut

    memakan korban, maka reputasi negara tersebut akan buruk dimata dari negara

    lain. Atau bisa juga ketika pelanggaran tersebut sampai mempengaruhi

    substansi internal pihak lain, maka sanksi reputasional yang diterima pun

    makin berat.55

    Andrew Guzman memberikan contoh jika ada kapal suatu

    negara yang memasuki wilayah teritorial negara lain tanpa izin dan hanya

    sekedar masuk, maka sanksi reputational yang diterima negara tersebut relatif

    53

    Ibid. 54

    Ibid. Hal 1850. 55

    Ibid.

  • 24

    kecil dibandingkan jika kapal tersebut masuk tanpa izin lalu menangkap ikan

    disana dan akhirnya mempengaruhi industri perikanan negara tersebut.

    2. Reasons for the Violation

    Alasan juga menjadi salah satu indikator untuk melihat seberapa besar sanksi

    reputasi diterima negara. Jika alasan tersebut masuk akal dan dapat dibuktikan

    kebenarannya, maka negara tersebut tidak akan menerima dampak reputasi

    yang buruk. Dicontohkan ketika suatu negara telah menyetujui perjanjian

    internasional soal HAM, namun tiba-tiba negara tersebut melanggar perjanjian

    karena situasi dan kondisi domestik yang sedang kacau, maka negara lain akan

    memaklumi dan sanksi reputasi yang diterima oleh negara tersebut tidaklah

    besar. Namun, akan berbeda ketika keadaan domestik di negara tersebut sedang

    normal dan negara tersebut tetap melanggar peraturan perjanjian, jelas sanksi

    reputasi besar akan diterima.56

    3. Knowledge of the Violation

    Hilangnya reputasi suatu negara juga dipengaruhi oleh sepengetahuan aktor-

    aktor lain bersangkutan atas pelanggaran yang terjadi. Ketika terjadi

    pelanggaran namun tidak ada atau hanya sedikit negara yang mengetahui

    pelanggaran tersebut maka negara pelanggar tidak akan kehilangan reputasi.

    Semisal kapal Vietnam memancing di laut Indonesia, maka Vietnam

    kehilangan reputasi dari Indonesia saja. Karena hanya Indonesia saja yang

    mengetahui tindakan pelanggaran tersebut, maka reputational loss Vietnam

    relatif kecil. Berbeda jika ternyata tindakan pelanggaran tersebut diketahui oleh

    56

    Ibid. Hal 1862.

  • 25

    seluruh negara Asia Tenggara dan dari tindakan tersebut menyebabkan

    kerugian besar bagi Indonesia, maka reputational loss Vietnam besar.57

    4. Clarity of the International Obligation and its Violation

    Bagaimana artikulasi dari suatu peraturan juga mempengaruhi reputational loss

    negara pelanggar. Jika ternyata aturan yang ada sudah sangat jelas, tidak

    terdapat ambiguitas dalam aturan tersebut, maka negara pelanggar akan

    kehilangan reputasinya. Semisal ada peraturan terkait penangkapan ikan di laut

    pasifik tidak boleh lebih dari sepuluh ekor. Namun ternyata ada negara yang

    melanggar dengan menangkap seratus ekor dan negara tersebut tidak dapat

    menjelaskan alasan mengapa menangkap ikan sebanyak itu, maka sanksi

    reputasi yang didapat negara tersebut akan besar.

    5. Implicit Obligation

    Keputusan negara untuk terikat dengan suatu perjanjian juga mengikat mereka

    pada aturan-aturan implisit yang tidak tertulis dalam perjanjian tersebut.

    Komitmen implisit tersebut juga dapat menyebabkan reputational loss jika

    negara melakukan pelanggaran terhadap aturan implisit terkait isu seputar

    hukum internasional terkait. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud

    sebagai pelanggaran implisit adalah pelanggaran terhadap aturan-atuan yang

    berlaku dalam sistem internasional yang bahkan tidak tertulis dalam konvensi

    yang sudah dianut negara tersebut.58

    Sebagai contoh, Jepang meratifikasi

    UNCLOS, namun Jepang juga mendapat vonis dari Mahkamah Internasional

    bahwa tindakan Jepang telah melanggar UNCLOS dan harus mematuhinya.

    57

    Ibid. Hal 1863. 58

    Ibid. Hal 1864.

  • 26

    Jepang akan tetap kehilangan reputasi sebagai akibat dari ketidakpatuhannya

    atas vonis Mahkamah Internasional tersebut.

    6. Regime Changes

    Ketika suatu negara terkena dampak reputational loss sebagai akibat

    pelanggaran yang dilakukannya, aspek ini kemudian melihat bahwa sanksi

    reputasional yang diterima negara tersebut akan berkurang seiring berjalannya

    waktu, yakni dengan adanya perubahan karakteristik rezim di negara tersebut.

    Sebagai contoh, ketika negara A dipimpin oleh rezim AA, negara tersebut

    sangat tertutup terhadap foreign investment. Sehingga negara tersebut mendapat

    reputational loss. Namun, ketika negara A berganti dimpin oleh rezim BB dan

    terbuka terhadap investasi asing, maka bisa jadi perubahan rezim tersebut

    mengurangi reputational loss yang dulu pernah diterima.59

    2.2.2 Direct Sanction

    Andrew Guzman dalam teori-nya kemudian menjelaskan faktor kedua yang dapat

    mendorong negara untuk patuh atau bahkan melanggar hukum internasional. Faktor

    tersebut adalah Direct Sanction, merupakan sanksi yang diberikan sebagai dampak

    lanjutan dari Reputational Sanction yang dapat terjadi ketika pelanggaran tersebut

    berdampak besar bagi negara bagi victim country. Biasanya, jika Cost yang harus

    dibayarkan oleh negara (yang tidak patuh) tidak sebanding dengan kerugian yang akan

    didapatkan, maka negara akan cenderung untuk tidak melaksanakan sanksi tersebut.

    Namun, bukan berarti direct sanction tidak relevan untuk diterapkan, di beberapa kasus,

    sanksi ini bisa menjadi cara yang optimal agar negara patuh pada hukum internasional

    59

    Ibid. Hal 1866.

  • 27

    yang berlaku. Berikut adalah beberapa faktor yang mempengaruhi parameter direct

    sanction:60

    1. Direct Sanction Severity

    Adalah kerasnya dampak dari suatu sanksi terhadap negara yang melakukan

    ketidakpatuhan. Semakin keras dampak direct sanction yang diterima negara,

    maka akan semakin efektif hukum internasional tersebut untuk membuat

    negara patuh terhadapnya. Pelanggaran sering terjadi ketika sanksi yang akan

    diterima negara dirasa lebih rendah ketimbang keuntungan yang akan didapat

    jika melanggar peraturan tersebut.

    2. Direct Sanction Implementation on Multilatereal Agreement

    Ada beberapa kendala yang menyebabkan kurang optimalnya direct sanction

    didalam penerapannya. Jika dibandingkan, penerapan direct sanction dalam

    perjanjian bilateral akan lebih efektif daripada perjanjian multilateral.

    Banyaknya aktor dalam lingkup multilateral menyebabkan direct sanction

    kurang efektif untuk diterapkan karena ada kecenderungan negara anggota

    lainnya untuk menjadi free rider. Sebaliknya, reputational sanction lebih

    memungkingkan untuk diterapkan. Guzman menyebutkan cara yang lebih

    efektif pada direct sanction ini adalah dengan melakukan arbitrasi ke

    Mahkamah Internasional.61

    3. Direct Sanction for Short-Term or Long-Term Relationship

    Kemudian, tujuan jangka panjang atau jangka pendek negara pada suatu

    perjanjian juga menjadi faktor direct sanction bisa berjalan efektif. Hal ini

    60

    Ibid. 61

    Ibid. Hal 1869.

  • 28

    dikaitkan dengan keberlangsungan hubungan negara tersebut dengan negara

    lainnya. Kepentingan negara menjadi pertimbangan penting dalam hal ini. Jika

    negara hanya memiliki tujuan hubungan jangka pendek, maka direct sanction

    tidak akan optimal. Begitupun sebaliknya, jika hubungan jangka panjang

    dirasa penting bagi negara untuk mencapai tujuannya, maka negara akan

    cenderung takut untuk melanggar perjanjian internasional tersebut. Karena

    jika melakukan pelanggaran, cost yang besar harus dibayar negara, sehingga

    tidak sebanding dengan keuntungan yang didapat.62

    4. Acceptance of Sanctions

    Keberhasilan direct sanction juga dipengaruhi oleh kemauan negara dalam

    menerima sanksi tersebut. Direct sanction optimal diterapkan jika negara yang

    melanggar dengan sukarela menerima direct sanction tersebut. Namun, dalam

    beberapa kasus terjadi retaliatory sanction, yakni, perlawanan dari suatu

    negara yang mendapat sanksi.63

    2.3 Definisi Operasional

    Patuh atau tidaknya suatu negara terhadap hukum internasional dipengaruhi oleh

    seberapa besar cost yang dilihat dari dua sanksi yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk

    selanjutnya kedua variabel dari teori milik Guzman ini penulis coba terapkan untuk

    menganalisis perilaku ketidakpatuhan Jepang terhadap keputusan ICJ. Setelah

    mendapatkan hasil penelitian dari kedua variabel sanksi tersebut, barulah dapat diambil

    62

    Ibid. Hal 1884. 63

    Ibid. Hal 1866.

  • 29

    kesimpulan mengapa negara terkait melakukan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang

    ada.

    2.3.1 Reputational Sanction

    1. Severity of the Violation

    Untuk menemukan jawaban dari indikator kerasnnya pelanggaran yang

    dilakukan Jepang terhadap keputusan ICJ ini, penulis akan melihat pada efek

    yang ditimbulkan ketidakpatuhan Jepang pada victim country, apakah

    menyebabkan dampak substansial atau tidak. Jika berdampak secara meluas

    pada victim country, maka sanksi reputasional yang diterima oleh Jepang pun

    akan semakin berat.

    2. Reasons for the Violation

    Penulis akan melihat pada alasan Jepang dalam melakukan pelanggaran

    terhadap putusan ICJ. Penulis akan melihat kondisi domestik negara Jepang

    kemudian melihat bagaimana kaitannya dengan NEWREP-A dan keputusan

    ICJ. Alasan domestik bagi Jepang adalah adanya ancaman diversitas budaya,

    dimana sejarah Jepang menunjukkan bahwa mereka memiliki budaya yang

    kuat, namun dewasa ini budaya memakan daging paus telah hilang dari

    masyarakat Jepang itu sendiri. Alasan secara eksternal nya adalah, Jepang

    mengklaim perlu untuk mendapatkan sustainable balance antara pemeliharaan

    ekosistem laut Antartika dengan melimpahnya stok ikan paus yang ada, baik

    dengan metode lethal maupun non-lethal. Jepang menganggap bahwa IWC

    tidak mampu untuk menjalankan fungsi konservasi dengan baik apalagi

    mengembangkan industri whaling. Namun, IWC telah mengklaim bahwa

  • 30

    semua informasi yang diperlukan untuk pengelolaan dan konservasi ikan paus

    dapat diperoleh melalui metode yang tidak mematikan.64

    3. Knowledge of the Violation

    Dalam faktor ini, penulis akan melihat apakah ada aktor lain yang sedang

    berada di tempat kejadian ketika Jepang melakukan program whaling-nya dan

    bagaimana reaksi aktor lain tersebut. Penulis akan menganalisa bagaimana

    dampak yang ditimbulkan ketika aktor lain tersebut mempublikasikan ke dunia

    internasional tentang pelanggaran Jepang dengan melihat publikasi resmi dari

    beberapa negara dan juga NGO. Seberapa kuat justifikasi dari para aktor

    tersebut dalam mempengaruhi reputational loss Jepang.

    4. Clarity of the International Obligation and its Violation

    Pada indikator ini penulis akan mengamati beberapa pasal terkait scientific

    whaling dari ICRW yang selama ini menjadi permasalahan dalam kebijakan

    Jepang. Untuk mendapatkan kejelasan dari pasal-pasal tersebut penulis akan

    mengkaitkan dengan hasil putusan Mahkamah Internasional dalam kasus

    kebijakan sebelum NEWREP-A. Sehingga akan ditemukan jawaban apakah

    terdapat unsur ambiguitas dalam pasal yang dapat menyebabkan misinterpretasi

    untuk pelaksanaannya. Jika ternyata pasal-pasal ICRW tersebut sudah jelas dan

    Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Jepang bersalah maka

    reputational loss yang didapat Jepang semakin besar.

    5. Implicit Obligation

    64

    Government of the Netherlands. “Joint Statement on Whaling and Safety at Sea”.

    (https://www.government.nl/documents/media-articles/2016/12/19/joint-statement-on-whaling-and-safety-at-

    sea). Diakses pada 17 Oktober 2017.

    https://www.government.nl/documents/media-articles/2016/12/19/joint-statement-on-whaling-and-safety-at-seahttps://www.government.nl/documents/media-articles/2016/12/19/joint-statement-on-whaling-and-safety-at-sea

  • 31

    Penulis akan melihat pelanggaran implisit lain yang dilakukan Jepang terhadap

    ICRW. Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi ICRW dan belum

    mengundurkan diri dari IWC, Jepang akan terikat secara implisit dengan

    hukum lain terkait pelanggarannya terhadap peraturan ICRW yakni keputusan

    ICJ. Bagaimana aktualisasi tindakan Jepang dalam memenuhi tanggung jawab

    pada keputusan ICJ tersebut menjadi penting mengingat keterikatan secara

    implisit terhadap hukum internasional lain.

    6. Regime Changes

    Jepang terhitung sudah mengeluarkan kebijakan scientific whaling di Antartika

    ini sebanyak tiga kali, dihitung dari JARPA I, JARPA II, dan NEWREP-A.

    Penulis akan melihat apakah ada perubahan kebijakan tentang program

    scientific whaling Jepang pada masing-masing kebijakan tersebut yang

    mempengaruhi reputasi Jepang. Juga, penulis akan melihat track record

    kejadian yang mempengaruhi reputasi Jepang setiap terjadi pergantian

    pemerintahan. Bagaimana perubahan karakteristik rezim yang baru untuk

    menghindari stigma reputasional dari rezim lama.

    2.3.2 Direct Sanction

    1. Direct Sanction Severity

    Penulis akan melihat sanksi yang pernah diberikan baik oleh Institusi

    internasional, kelompok negara, dan negara kepada Jepang atas

    pelanggarannya. Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana mekanisme

    sanksi yang ada dapat berjalan optimal dalam mengatasi masalah pelanggaran

  • 32

    yang terjadi. Kemudian, penulis akan melihat dampak dari Direct Sanction

    tersebut apakah mampu merubah perilaku negara atau tidak.

    2. Direct Sanction Implementation on Multilatereal Agreement

    Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Andrew Guzman, bahwa ada

    kendala yang menyebabkan kurang optimalnya direct sanction didalam

    perjanjian multilateral. Penerapan direct sanction dalam perjanjian bilateral

    akan lebih efektif daripada perjanjian multilateral dengan situasi hanya satu

    negara yang melakukan direct sanction tersebut. Karena ada kecenderungan

    tidak efektifnya penerapa direct sanction pada level multilateral, Guzman

    menyarankan untuk melakukan arbitrase ke Mahkamah Internasional. Maka

    dari itu penulis akan melihat bagaimana mekanisme pemberian sanksi melalui

    lembaga hukum internasional terkait. Penulis akan melihat sanksi yang

    diberikan oleh Mahkamah Internasional apakah benar lebih efektif didalam

    penerapannya, seperti yang disarankan oleh Guzman. Penulis akan melihat

    dampak dari direct sanction baik dari victim country dan juga Mahkamah

    Internasional yang berdampak pada perilaku Jepang.

    3. Direct Sanction for Short-Term or Long-Term Relationship

    Indikator ini akan menganalisis bagaimana Jepang memandang hubungan

    jangka panjang atau jangka pendek didalam pemenuhan tanggung jawab atas

    keputusan ICJ untuk mencapai tujuannya. Direct sanction akan memberikan

    dampak besar pada Jepang jika Jepang menganggap untuk mencapai

    tujuannya dia harus melaksanakan keputusan ICJ tersebut. Jika Jepang

    memberikan sinyal untuk memenuhi janji-janjinya atau menjaga rasa

    kepercayaan yang tinggi, maka Jepang sedang berupaya untuk menjalin

  • 33

    hubungan jangka panjang. Namun, jika Jepang menganggap untuk mencapai

    tujuannya tidak terlalu penting mematuhi keputusan ICJ, maka Jepang akan

    cenderung bersikap tidak patuh, karena baginya meskipun direct sanction

    diberikan hal tersebut tidak akan berdampak apa-apa.

    4. Acceptance of Sanctions

    Seperti yang sudah dijelaskan, keberhasilan direct sanction juga dipengaruhi

    oleh kemauan negara dalam menerima sanksi tersebut. Penulis akan melihat

    reaksi Jepang terhadap sanksi yang diberikan. Direct sanction optimal

    diterapkan jika negara yang melanggar dengan sukarela menerima direct

    sanction tersebut. Namun dalam kasus ini, Jepang melakukan retaliatory

    sanction, yakni, melakukan perlawanan dengan mengeluarkan kebijakan

    NEWREP-A.

    Tabel 2.1 Tabel Operasionalisasi Konsep

    Variabel Indikator Penjelasan Operasionalisasi

    Reputational

    Sanction

    Severity of the

    Violation

    Dampak pelanggaran

    yang dilakukan Jepang

    terhadap victim

    country. Yang menjadi

    indikator adalah

    besarnya kerugian yang

    diderita victim country

    tersebut dengan melihat

    pada ada atau tidaknya

    dampak substansial dan

    meluas akibat dari

    Reputaional Loss yang

    didapatkan oleh

    Jepang kecil apabila

    dampak yang

    ditimbulkan akibat

    ketidakpatuhan-nya,

    tidak menyebabkan

    dampak substansial

    yang memberikan

    dampak signifikan

    terhadap IWC itu

  • 34

    pelanggaran tersebut. sendiri dan negara

    anggota lainnya.

    Reasons for the

    Violation

    Alasan Jepang terkait

    dengan ketidakpatuhan

    yang dilakukannya.

    Dengan melihat kondisi

    dalam negeri Jepang

    dan kaitannya dengan

    keputusan ICJ.

    Reputational Loss yang

    diterima Jepang kecil

    apabila alasan masuk

    akal dan sesuai dengan

    realita atas kondisi

    domestik dan relevan

    untuk tidak patuh pada

    putusan ICJ.

    Knowledge of the

    Violation

    Keberadaan saksi dari

    negara lain dalam

    kasus ketidakpatuhan

    tersebut. Dan juga

    bagaimana negara yang

    melakukan pelanggaran

    dapat meyakinkan pihak

    lain bahwa ia tidak

    benar-benar melakukan

    kesalahan.

    Reputational Loss yang

    diterima Jepang kecil

    apabila keberadaan

    negara saksi yang

    mengetahui

    ketidakpatuhan Jepang

    tersebut sedikit dan

    Jepang dapat

    meyakinkan pihak lain

    bahwa tindakannya

    adalah benar.

    Clarity of the

    International

    Obligation and its

    Violation

    Bagaimana hasil

    putusan ICJ terhadap

    pasal-pasal dalam

    ICRW menjelaskan

    aturan terkait scientific

    whaling. Apakah pasal

    tersebut sudah cukup

    Reputational Loss yang

    diterima Jepang kecil

    apabila hasil putusan

    terhadap pasal-pasal

    dalam ICRW memiliki

    tingkat ambiguitas

    serta interpretasi yang

  • 35

    jelas dalam

    penginterpretasiaannya.

    luas.

    Implicit Obligation Hal-hal implisit yang

    berkaitan dengan

    hukum ICRW dan

    Kewajiban Jepang

    terhadap pemenuhan

    kewajiban tidak

    tertulisnya, yaitu

    keputusan ICJ.

    Reputational Loss yang

    diterima Jepang besar

    ketika Jepang juga

    tidak patuh terhadap

    kewajiban implisitnya.

    Regime Changes Perubahan karakteristik

    rezim Jepang pada

    masa pemerintaan:

    Shinzo Abe periode 1

    (JARPA II)

    Shinzo Abe periode 2

    (NEWREP-A)

    Reputational Loss yang

    diterima Jepang kecil

    apabila terdapat

    perubahan rezim

    domestik Jepang yang

    mampu menangani isu

    whaling dengan lebih

    baik daripada rezim

    lama.

    Direct Sanction

    Direct Sanction

    Severity

    Penetapan sanksi

    langsung oleh IWC atau

    negara anggotanya

    kepada Jepang yang

    mampu membuat

    Jepang jera ketika

    melanggar.

    Direct Sanction yang

    diterima Jepang kecil

    ketika tidak ada

    hukuman yang

    diberikan IWC atau

    negara anggotanya

    kepada Jepang serta

    negara lain yang

    melanggar atau

  • 36

    hukuman yang diterima

    negara tersebut kecil.

    Direct Sanction

    Implementation on

    Multilateral

    Agreement

    Penerapan sanksi yang

    diberikan oleh

    Mahkamah

    Internasional terhadap

    pasal-pasal yang

    dilanggar oleh Jepang.

    Direct Sanction yang

    diterima Jepang besar

    apabila yurisdiksi ICJ

    mengikat Jepang dan

    berdampak pada

    perilaku

    ketidakpatuhan

    Jepang.

    Direct Sanction for

    Short-Term or

    Long-Term

    Relationship

    Bagaimana sikap

    Jepang dalam

    memandang hubungan

    jangka panjang atau

    jangka pendek untuk

    mencapai tujuan

    mereka. Dilihat dari

    itikad baik untuk

    mematuhi nilai-nilai

    keputusan ICJ dan

    menjalin rasa

    kepercayaan.

    Direct Sanction yang

    diterima Jepang besar

    ketika Jepang memiliki

    sikap bahwa untuk

    mencapai tujuannya

    perlu untuk mematuhi

    keputusan ICJ dengan

    cara menjalin

    hubungan baik jangka

    panjang didalam IWC.

    Acceptance of

    Sanctions

    Sikap Jepang dalam

    menerima sanksi yang

    diberikan oleh institusi

    berwenang

    Direct Sanction yang

    diterima Jepang besar

    jika Jepang mau

    menerima sanksi yang

    diberikan oleh ICJ.

  • 37

    2.4 Alur Pemikiran

    Pasca mendapatkan vonis dari ICJ pada tahun 2014 bahwa kebijakan scientific whaling-nya

    dinyatakan melanggar beberapa pasal dalam ICRW, Jepang dilarang untuk mengeluarkan program

    serupa lagi. Namun pada tahun 2015 Jepang mengeluarkan kebijakan terbaru bernama NEWREP-A

    yang secara eksplisit menyatakan ingin memulai kembali komersial whaling dengan mengulang

    beberapa pasal yang telah dilanggar sebelumnya.

    Compliance-Based Theory

    Direct Sanction Reputational Sanction

    Besarnya pelanggaran

    Alasan Pelanggaran

    Aktor lain yang mengetahui pelanggararan

    Kejelasan Hukum Internasional

    Kewajiban Implisit

    Perubahan Rezim

    Kerasnya Direct Sanction

    Penerapan Direct Sanction dalam Multilateral Agreement

    Direct sanction untuk hubungan jangka pendek atau panjang

    Kemauan negara menerima sanksi

    Dampak pelanggaran Jepang terhadap victim country

    Penerimaan argumen Jepang mengenai pelanggaran

    Keberadaan saksi yang mengetahui pelanggaran

    Ambiguitas hukum ICRW

    Kewajiban Jepang terhadap kewajiban implisit mematuhi vonis

    ICJ

    Perubahan rezim domestik Jepang

    Penetapan sanksi langsung oleh IWC

    Mekanisme ICJ terhadapa negara pelanggar

    Kepentingan hubungan Jepang bergabung di IWC

    Tindakan Jepang terhadap sanksi

    yang diberikan

    Mengapa Jepang tidak patuh terhadap keputusan ICJ pada tahun 2014 tentang whaling di Antartika?

    Payoffs

    Sanction

  • 38

    Jepang melanggar keputusan ICJ karena direct

    sanction dan reputational sanction yang diterima

    Jepang relatif kecil sehingga Jepang berusaha

    memaksimalkan payoffs-nya dengan melakukan

    ketidakpatuhan tersebut.

    Reputational loss yang diterima Jepang

    kecil, apabila:

    Pelanggaran yang dilakukan tidak berdampak besar pada victim country

    Alasan pelanggaran masuk akal

    Saksi yang mengetahui pelanggaran sedikit

    Adanya ambiguitas terhadap pasal di ICRW yang telah dibahas ICJ

    Adanya perubahan rezim di Jepang

    Jepang melaksanakan kewajiban

    implisitnya atas vonis ICJ

    Direct Sanction yang diterima Jepang kecil apabila tidak ada sanksi

    yang diberikan secara langsung oleh

    IWC kepada Jepang

    Direct Sanction yang diterima Jepang besar ketika putusan ICJ

    bersifat mengikat dan memiliki

    sanksi tegas dalam menghukum

    negara Jepang

    Direct Sanction yang diterima Jepang besar jika Jepang

    memandang hubungan jangka

    panjang penting untuk mencapai

    tujuannya di IWC

    Direct Sanction Jepang besar atas kemauan Jepang menerima sanksi

  • 39

    2.5 Hipotesis

    Jepang melakukan ketidakpatuhan terhadap keputusan ICJ karena Reputational

    Sanction dan Direct Sanction yang akan diterima Jepang relatif kecil. Sehinga dengan

    melakukan ketidakpatuhan tersebut Jepang dapat memaksimalkan payoffs-nya yaitu

    memulai kembali commercial whaling. Karena, negara akan patuh ketika mekanisme

    sanksi yang ada pada hukum internasional tersebut dapat menimbulkan kerugian besar

    bagi negara yang melakukan pelanggaran. Sebaliknya, jika sanksi yang ada hanya akan

    menimbulkan dampak yang kecil, maka negara akan cenderung untuk melanggar hukum

    internasional tersebut.