BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1...
7
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoritis
2.1.1 Kemampuan Komunikasi Matematika
Seseorang dikatakan mampu apabila ia bisa atau sanggup melakukan
sesuatu yang harus ia lakukan. Kemampuan adalah kesanggupan, kecakapan,
kekuatan (Depdikbud dalam Meylasari, 2012). Poerwadarminta (dalam Pauweni,
2012:8) berpendapat bahwa kemampuan bermakna kesanggupan atau kecakapan
atau kekuatan, juga bermakna kekayaan.
Kemampuan merupakan ketika seseorang sanggup atau bisa melakukan
sesuatu dengan mengandalkan diri sendiri baik itu dari segi perbuatan fisik
maupun pikiran. Seperti pendapat yang dikemukakan oleh Chaplin (dalam Ian,
2010) ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan)
merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Ada pula
pendapat lain menurut Akhmat Sudrajat (dalam Ian, 2010) menghubungkan
kemampuan dengan kata kecakapan. Setiap orang memiliki kecakapan yang
berbeda-beda dalam melakukan suatu perbuatan. Kecakapan ini mempengaruhi
potensi yang ada dalam diri seseorang tersebut. Pada saat kegiatan belajar
mengajar, proses pembelajarannya yang mengharuskan siswa mengoptimalkan
segala kecakapan yang dimiliki.
Kemudian kaitannya dengan kemampuan komunikasi matematika,
menurut Arifin (dalam Pauweni, 2012:8) mengemukakan bahwa komunikasi
merupakan kata dari perkataan inggris “communication” yang bersumber dari
bahasa latin communicatio yang artinya pemberitahuan, pemberian bagian (dalam
8
sesuatu), pertukaran dimana si pembaca mengharapkan pertimbangan atau
jawaban dari pendengarnya atau ikut mengambil bagian.
Pauweni (2012:8) berpendapat bahwa komunikasi merupakan suatu upaya
dari seseorang atau bersama orang lain untuk membangun kebersamaan dengan
orang lain dengan membentuk hubungan dalam berbagi atau menggunakan
informasi secara bersama.
Sedangkan Sardiman (dalam Abdullah, 2010:12) mengemukakan
komunikasi (konseptual) yaitu memberitahukan (dan menyebarkan) berita,
pengetahuan, pikiran-pikiran dan nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah
partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan menjadi milik bersama. Komunikasi
yang terjadi dalam proses pembelajaran merupakan proses berbagi informasi
antara guru dan peserta didik untuk menncapai pengertian timbal balik.
Secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan saling
menyampaikan informasi dari komunikator kepada komunikan dalam suatu
komunitas.
Collins, dkk (Abadi, 2011) mengatakan “salah satu tujuan pembelajaran
matematika yang ingin dicapai adalah memberikan kesempatan seluas-luasanya
kepada para siswa untuk mengembangkan keterampilan berkomunikasi melalui
modeling, speaking, writing, talking and drawing serta mempresentasikan apa
yang dipelajari”.
Menurut NCTM dalam Abdullah (2010:14) bahwa komunikasi
matematika merupakan bagian yang esensial dari pembelajaran matematika.
Sedangkan menurut Peressini dan Bassett (dalam Weti, 2010) berpendapat bahwa
9
tanpa komunikasi dalam matematika kita akan memiliki sedikit keterangan, data,
dan fakta tentang pemahaman siswa dalam melakukan proses dan aplikasi
matematika.
Dalam matematika, berkomunikasi mencakup ketrampilan/kemampuan
untuk membaca, menulis, menelaah dan merespon suatu informasi. Dalam
komunikasi matematika, siswa dilibatkan secara aktif untuk berbagi ide dengan
siswa lain dalam mengerjakan soal-soal matematika. Hulukati (2005:15)
mengemukakan bahwa komunikasi dalam matematika dapat diartikan sebagai
suatu peristiwa saling berhubungan/dialog yang terjadi dalam suatu lingkungan
kelas, dimana terjadi pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi
matematika yang dipelajari di kelas. Pihak yang terlibat dalam peristiwa
komunikasi di lingkungan kelas adalah guru dan siswa. Sedangkan cara
pengalihan pesan dapat dilakukan secara tertulis dan lisan.
Komunikasi matematika merupakan suatu kegiatan menyampaikan
pendapat atau informasi dari seseorang kepada orang lain tentang pemahaman
seseorang terhadap matematika. Tanpa komunikasi juga, baik lisan maupun
tulisan dalam matematika, seorang guru/pendidik akan mendapatkan sedikit
keterangan, data dan informasi untuk mengukur pemahaman peserta didik tentang
konsep, rumus atau materi yang telah diberikan.
Dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi matematika dibutuhkan
kecakapan atau kemampuan. Selanjutnya Helmaheri (dalam Abdullah, 2010:15)
menerangkan kemampuan komunikasi matematika merupakan kompetensi hasil
belajar matematika yang merupakan bagian dari kemampuan berpikir matematis
10
tingkat tinggi. Kemampuan komunikasi matematika yang dimaksud merupakan
kemampuan untuk menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika baik secara
lisan, tertulis dan mendemonstrasikan. Menurut Within (dalam Abdullah,
2010:16) bahwa komunikasi baik secara lisan maupun tertulis, demonstrasi
maupun representasi dapat membawa peserta didik pada pemahaman yang
mendalam tentang matematika.
Menurut Sumarmo (dalam Andriani, 2008) kemampuan komunikasi
matematika merupakan kemampuan yang dapat menyertakan dan memuat
berbagai kesempatan untuk berkomunikasi dalam bentuk: (a) Merefleksikan
benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide matematika, (b) Membuat
model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan, tertulis, konkrit, grafik
dan aljabar, (c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
matematika, (d) Mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika, (e)
Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis, (f) Membuat
konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi, (g)
Menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah dipelajari.
Lebih lanjut Greenes dan Schulman (dalam Pauweni, 2012:10) menyatakan
bahwa kemampuan komunikasi matematika meliputi kecakapan dalam (1)
Mengekspresikan ide-ide dengan berbicara, menulis, mendemonstrasikan dan
melukiskannya secara visual dengan berbagai cara yang berbeda, (2) Memahami,
menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide yang dikemukakannya dalam
bentuk tulisan atau bentuk visual lainnya, (3) Mengkonstruksikan,
menginterpretasikan dan menghubungkan berbagai representasi dari ide-ide dan
11
hubungan-hubungannya, (4) Mengamati, membuat konjektur, mengajukan
pertanyaan, mengumpulkan dan mengevaluasi informasi, (5) Menghasilkan dan
menghadirkan argumen yang jelas.
Kemampuan komunikasi dalam matematika bukan hanya kemampuan
siswa dalam hal menghitung serta menyelesaikan soal-soal yang menggunakan
rumus, tetapi juga kemampuan siswa berpartisipasi dalam berdiskusi pada
kelompok-kelompok kecil selama proses pembelajaran berlangsung.
Menurut Bansu Irianto Ansari (dalam Andriani, 2008), kemampuan
komunikasi matematika terdiri dari dua aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan
komunikasi tulisan (writing). Komunikasi lisan diungkap melalui intensitas
keterlibatan siswa dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Sementara yang dimaksud dengan komunikasi tulisan adalah
kemampuan dan keterampilan siswa menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi
dan struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta
memahaminya dalam memecahkan masalah. Hal senada juga dikatakan Sullivan
& Mousley (dalam Andriani, 2008), komunikasi matematik bukan hanya sekedar
menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa
dalam hal bercakap, menjelaskan, menggambarkan, mendengar, menanyakan,
bekerja sama (sharing), menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang telah
dipelajari.
Kemudian kemampuan komunikasi matematika menurut Jacob (dalam
Andri, 2008) yaitu meliputi: (1) Merepresentasi, (2) Mendengar, (3) Membaca, (4)
Berdiskusi, dan (5) Menulis. Sedangkan kemampuan komunikasi model Cai, Lane
12
dan Jakabcin (dalam Pauweni, 2012:11) meliputi: (1) Menulis matematika, (2)
Menggambar matematik, dan (3) Ekspresi matematik.
1) Menulis matematika. Pada kemampuan ini siswa dituntut dapat
menuliskan penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematik,
masuk akal, dan jelas serta tersusun secara logis dan sistematis;
2) Menggambar matematik. Pada kemampuan ini siswa mampu melukiskan
gambar, diagram dan tabel secara lengkap dan benar;
3) Ekspresi matematik. Pada kemampuan ini siswa mampu memodelkan
matematika dengan benar, kemudian melakukan perhitungan atau
mendapatkan solusi secara lengkap dan benar.
Kemampuan komunikasi matematika dapat diartikan sebagai suatu
kemampuan siswa dalam menyampaikan sesuatu yang diketahuinya melalui
percakapan atau dialog yang terjadi di lingkungan kelas, dimana terjadi
pengalihan pesan. Pesan yang dialihkan berisi tentang materi matematika yang
dipelajari siswa, misalnya berupa konsep, rumus atau strategi penyelesaian suatu
masalah. Pihak yang terlibat dalam peristiwa komunikasi di dalam kelas adalah
guru dan siswa. Cara pengalihan pesannya dapat secara lisan maupun tertulis.
Dari beberapa uraian tentang komunikasi matematika siswa di atas,
khususnya kemampuan komunikasi matematika secara tertulis adalah bentuk
kemampuan yang dimiliki siswa dalam menulis, menggambar, serta ekspresi
matematika. Kemampuan komunikasi matematika siswa dapat dikembangkan jika
siswa mampu menghubungkan benda nyata, gambar, diagram dan peristiwa
kehidupan sehari-hari kedalam ide dan simbol matematika. Dengan
13
berkembangnya kemampuan komunikasi matematika tersebut, siswa diharapkan
dapat lebih menghargai dan memaknai matematika. Matematika tidak hanya
dianggap sebagai pelajaran yang terkenal dengan kesukarannya dan juga sebagai
bahasa simbol tanpa makna, melainkan dapat berguna untuk membantu
memudahkan permasalahan yang dihadapi baik dalam dunia sekolah atau
kehidupan sehari-hari siswa.
Selanjutnya untuk melihat kemampuan komunikasi matematika siswa
dalam pembelajaran matematika, dapat dilihat dari indikator-indikator
kemampuan komunikasi dalam matematika. Banyak pendapat yang
mengemukakan tentang indikator-indikator komunikasi matematika. Misalnya,
indikator kemampuan komunikasi matematika yang diungkapkan oleh Sumarmo
(dalam Weti, 2010) komunikasi matematika meliputi kemampuan siswa: (1)
menghubungkan benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam idea matematika;
(2) menjelaskan idea, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan
benda nyata, gambar, grafik, dan aljabar; (3) menyatakan peristiwa sehari-hari
dalam bahasa atau simbol matematika; (4) mendengarkan, berdiskusi, dan menulis
tentang matematika; (5) membaca dengan pemahaman atau presentasi matematika
tertulis; (6) membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan
generalisasi; (7) menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang
telah dipelajari.
Sedangkan indikator komunikasi matematis menurut NCTM (Herdian,
2010) antara lain: (a) kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui
lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual;
14
(b) kemampuan memahami, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide
matematis baik secara lisan, tulisan maupun dalam bentuk visual lainnya; (c)
kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan
struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-
hubungan dengan model-model situasi.
Dalam indikator kemampuan komunikasi matematika ini, penulis mengacu
pada kemampuan komunikasi matematika model Cai, Lane dan Jakabcin seperti
yang telah disebutkan sebelumnya yakni meliputi: kemampuan (1) Menulis
matematika; (2) Menggambar matematika; dan (3) Ekspresi matematika.
Kaitan antara komunikasi dan pemecahan masalah dalam pembelajaran
matematika menurut Scheidear dan Saunders (Hulukati, 2005:18) adalah
komunikasi dalam pembelajaran matematika bertujuan untuk membantu siswa
dalam memahami soal cerita dan mengkomunikasikan hasilnya. Komunikasi
matematika sangat berperan penting dalam pemecahan masalah.
Sedangkan menurut Riedesel (Hulukati, 2005:22-23) komunikasi
matematika berkaitan erat dengan kemampuan pemecahan masalah, sebab dalam
mengungkapkan suatu masalah dapat dilakukan dengan jawaban terbuka, masalah
dinyatakan dengan cara lisan, menggunakan diagram, grafik dan gambar,
mengangkat masalah yang tidak menggunakan analogi dan menggunakan
perumusan masalah siswa. Sejalan dengan tujuan aktivitas pemecahan masalah
sebagaimana pendapat Feinberg (Hulukati, 2005) yaitu bahwa guru dapat
menggunakan aktivitas pemecahan masalah untuk tujuan ganda seperti
15
mengembangkan keterampilan berpikir kritis, keterampilan pengorganisasian data
dan keterampilan komunikasi.
Berdasarkan pendapat di atas, maka penulis menggunakan metode
pemecahan masalah sebagai aktivitas pembelajaran untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi matematika siswa.
2.1.2 Metode Pembelajaran Pemecahan Masalah
a. Pengertian
Metode pembelajaran pemecahan masalah atau belajar memecahkan
masalah dijelaskan oleh Cooney et al (dalam Shadiq, 2009:4) bahwa
pembelajaran pemecahan masalah adalah suatu tindakan yang dilakukan guru
agar para siswanya termotivasi untuk menerima tantangan yang ada pada
pertanyaan (soal) dan mengarahkan para siswa dalam proses pemecahannya.
Pemecahan masalah didefinisikan oleh Polya (dalam Herdian, 2010)
sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan
yang tidak dengan segera dapat dicapai. Tim PPPG Matematika (dalam Hafizh,
2012) menegaskan pemecahan masalah adalah merupakan proses menerapkan
pengetahuan yang telah diperoleh ke dalam situasi baru yang belum dikenal.
Karena itu pemecahan masalah merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual
yang tinggi.
Istilah pemecahan masalah sering digunakan dalam berbagai bidang ilmu
dan memiliki pengertian yang berbeda-beda pula. Tetapi pemecahan masalah
dalam matematika memiliki kekhasan tersendiri. Secara garis besar Branca
(dalam Machmud, 2010:34) menjelaskan bahwa terdapat tiga macam interpretasi
16
istilah pemecahan masalah dalam pembelajaran matematika, yaitu: (1)
Pemecahan masalah sebagai tujuan, (2) Pemecahan masalah sebagai proses dan,
(3) Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar.
1. Pemecahan masalah sebagai tujuan.
Para pendidik, khususnya dalam bidang matematika seringkali
menetapkan pemecahan masalah sebagai salah satu tujuan pembelajaran
matematika. Yang terpenting adalah belajar bagaimana menyelesaikan
masalah merupakan alasan utama untuk belajar matematika.
2. Pemecahan masalah sebagai proses.
Dalam aspek ini, pemecahan masalah dapat diartikan sebagai proses
mengaplikasikan segala pengetahuan yang dimiliki pada situasi yang baru dan
tidak biasa. Yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah metode, prosedur
dan strategi yang digunakan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah.
3. Pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar.
Terakhir, pemecahan masalah sebagai keterampilan dasar. Ada
beberapa keterampilan dasar dalam matematika, antara lain ketrampilan
berhitung, ketrampilan aritmetika, ketrampilan logika, dan lainnya.
Dari beberapa pandangan tentang pemecahan masalah di atas dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa pemecahan masalah sebagai tujuan inti dan
utama dalam kurikulum matematika berarti dalam pembelajaran matematika
lebih mengutamakan proses siswa menyelesaikan masalah dari pada sekedar
hasil, sehingga kemampuan pemecahan masalah dijadikan sebagai keterampilan
dasar yang harus dimiliki siswa dalam belajar matematika.
17
b. Karakteristik Pemecahan Masalah
Menurut Taplin (dalam Sumardyono, 2011), karakteristik khusus dalam
metode pemecahan masalah, yaitu (1) Adanya interaksi antar siswa dan interaksi
guru dan siswa, (2) Adanya dialog matematis antar siswa, (3) Guru menyediakan
informasi yang cukup mengenai masalah, dan siswa mengklarifikasi,
menginterpretasi, dan mencoba mengkonstruksi penyelesaiannya, (4) Guru
menerima jawaban ya-tidak bukan untuk mengevaluasi; (5) Guru membimbing,
melatih dan menanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan berwawasan dan
berbagi dalam proses pemecahan masalah; (6) Sebaiknya guru mengetahui
kapan campur tangan dan kapan mundur membiarkan siswa menggunakan
caranya sendiri; dan (7) Karakteristik lanjutan adalah bahwa pendekatan
pemecahan masalah dapat menggiatkan siswa untuk melakukan generalisasi
aturan dan konsep, sebuah proses sentral dalam matematika.
Konsep dasar dan karakteristik metode pemecahan masalah diartikan
sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan pada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah. Menurut Sanjaya (2010:214-
215) terdapat tiga ciri utama dari metode pemecahan masalah yaitu: pertama,
merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran artinya dalam implementasinya ada
sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa, kedua aktivitas pembelajaran
diarahkan untuk menyelesaikan masalah, yang menempatkan masalah sebagai
kunci dari proses belajar, ketiga, pemecahan masalah dilakukan dengan
menggunakan pendekatan berfikir secara ilmiah.
18
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik pemecahan
masalah yaitu adanya komunikasi matematis dan interaksi antar siswa dan antar
guru dan siswa serta aktivitas pembelajaran yang diarahkan untuk
menyelesaikan masalah.
c. Metode Pemecahan Masalah
Dalam rangka memecahkan persoalan-persoalan atau masalah-masalah
apabila diamati akan terdapat adanya perbedaan dalam langkah-langkah yang
diambil dari individu satu dengan individu yang lain. Ada yang segera
mengambil langkah begitu perintah telah dimengerti dan mencoba-coba hingga
sampai pada cara yang benar, namun ada juga yang tidak mengambil tindakan
tetapi memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang ada berkaitan dengan
pemecahan masalahnya sebelum mengambil tindakan secara kongkrit.
Ketika sedang menyelesaikan/memecahkan masalah, ada cara atau
metode yang sering digunakan. Cara atau metode inilah yang disebut dengan
strategi pemecahan masalah. Kebenaran, ketepatan, keuletan dan kecepatan
adalah suatu hal yang diperlukan dalam penyelesaian masalah. Keterampilan
siswa dalam menyusun suatu strategi adalah suatu kemampuan yang harus
dilihat oleh guru. Jawaban yang benar bukan standar ukur mutlak, namun proses
yang lebih penting dari mana siswa dapat menyelesaikan jawaban tersebut
(Machmud, 2010:36).
Sanjaya (2010:215) mengemukakan metode pemecahan masalah dapat
diterapkan manakala:
19
1) Guru mengharapkan agar siswa tidak hanya sekedar dapat mengingat
materi pelajaran, tetapi menguasai dan memahami secara penuh.
2) Guru bermaksud untuk mengembangkan keterampilan berfikir rasional
siswa, yaitu kemampuan menganalisis situasi, menerapkan pengetahuan
yang mereka miliki dalam situasi baru, mengenal adanya perbedaan antara
fakta dan pendapat, serta mengembangkan kemampuan dalam membuat
pendapat secara objektif.
3) Guru menginginkan kemampuan siswa untuk memecahkan masalah serta
membuat tantangan intelektual siswa.
4) Guru ingin mendorong siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam
belajarnya.
5) Guru ingin agar siswa memahami hubungan antara apa yang dipelajari
dengan kenyataan dalam kehidupannya (hubungan antara teori dengan
kenyataan).
Menurut Hudojo (dalam Herdian, 2010), syarat suatu soal dapat dijadikan
sarana pemecahan masalah bagi peserta didik antara lain:
1) Pertanyaan yang dihadapkan kepada peserta didik harus dapat dimengerti
oleh peserta didik tersebut.
2) Merupakan tantangan baginya untuk menjawab.
3) Tidak dapat dijawab dengan prosedur rutin yang telah diketahui si peserta
didik, dengan kata lain peserta didik akan mampu menangkap pengetahuan
baru untuk menyelesaikan masalah jika peserta didik itu benar-benar
menghetahui prinsip-prinsip yang dipelajari sebelumnya, dan
4) Peserta didik mengorganisasi kembali pengalaman-pengalaman yang lalu
untuk menyelesaikan masalah sehingga peserta didik mampu memilih
pengalaman-pengalaman yang lalu yang relevan dengan masalah yang
dihadapi itu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa dalam proses
menyelesaikan masalah diperlukan cara atau strategi yakni berupa kebenaran,
ketepatan, keuletan dan kecepatan. Untuk memperoleh kemampuan dalam
20
pemecahan masalah seseorang harus memiliki banyak pengalaman dalam
memecahkan berbagai masalah.
d. Indikator Pemecahan Masalah
Menurut Suyitno (Herdian, 2010), indikator pemecahan masalah adalah:
(1) Memahami masalah; (2) Mengorganisasi data dan memilih informasi yang
relevan; (3) Menyajikan masalah secara matematis; (4) Memilih metode
pemecahan masalah; (5) Mengembangkan strategi pemecahan masalah; (6)
Menafsirkan model matematika dari suatu masalah; dan (7) Menyelesaikan
masalah. Sedangkan menurut Sumarmo (dalam Dewi, 2010) indikator
pemecahan masalah matematika antara lain: (1) Mengidentifikasi unsur-unsur
yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang diperlukan; (2)
Merumuskan masalah matematika atau menyusun model matematika; (3)
Menetapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan
masalah baru) dalam atau luar matematika; dan (4) Menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil permasalahan menggunakan matematika secara
bermakna.
Sedangkan indikator pemecahan masalah menurut Shadiq (2009:14)
antara lain adalah: (a) Menunjukkan pemahaman masalah; (b) Mengorganisasi
data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah; (c)
Menyajikan masalah secara matematika dalam berbagai bentuk; (d) Memilih
pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat; (e) Mengembangkan
strategi pemecahan masalah; (f) Membuat dan menafsirkan model matematika
dari suatu masalah; dan (g) Menyelesaikan masalah yang tidak rutin.
21
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa indikator pemecahan
masalah terdiri dari: (1) Memahami masalah, (2) Merumuskan masalah atau
menyusun model matematika, (3) Menetapkan strategi untuk menyelesaikan
masalah, (4) Menyelesaikan masalah, (5) Menyajikan masalah secara sistematis.
e. Langkah-langkah
Adapun langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah ini
diantaranya menurut Shadiq (2004:11) menjelaskan ada empat langkah penting
yang harus dilakukan, yaitu: (1) Memahami masalahnya; (2) Merencanakan cara
penyelesaian; (3) Melaksanakan rencana; (4) Menafsirkan hasilnya.
Sedangkan menurut Polya (Herdian, 2010) langkah dalam pemecahan
masalah, yaitu sebagai berikut:
1) Memahami masalah, langkah-langkah ini meliputi:
a. Apakah yang tidak diketahui, keterangan apa yang diberikan, atau
bagaimana keterangan soal;
b. Apakah keterangan yang diberikan cukup untuk mencari apa yang
ditanyakan;
c. Apakah keterangan tersebut tidak cukup, atau keterangan itu
berlebihan; serta
d. Membuat gambar atau tulisan notasi yang sesuai.
2) Merencanakan penyelesaian, langkah-langkah ini meliputi:
a. Pernahkah anda menemukan soal seperti ini sebelumnya, pernahkah ada
soal yang serupa dalam bentuk lain;
b. Rumus mana yang akan digunakan dalam masalah ini;
22
c. Perhatikan apa yang ditanyakan; serta
d. Dapatkah hasil dan metode yang lalu digunakan disini.
3) Melaksanakan perhitungan, langkah ini menekankan ada pelaksanaan
rencana penyelesaian yaitu meliputi:
a. Memeriksa setiap langkah apakah sudah benar atau belum;
b. Bagaimana membuktikan bahwa langkah yang dipilih sudah benar; dan
c. Melaksanakan perhitungan sesuai dengan rencana yang dibuat.
4) Memeriksa kembali proses dan hasil.
Menurut Schoenfeld (Daud, 2009:29) penerapan metode pemecahan
masalah di kelas meliputi dua cara, yaitu bentuk diskusi dan pendekatan
kelompok kecil. Bentuk diskusi yang diterapkan guru pada kelas untuk
mendorong peserta didik dengan cara guru melakonkan dirinya sebagai si pemberi
pengaruh dalam kegiatan proses pemecahan masalah yang dilakukan peserta
didiknya. Guru memberi arahan. Setelah diskusi kelas, dilakukanlah diskusi
kelompok kecil, dimana peserta didik yang telah dibagi menjadi kelompok-
kelompok kecil diberikan soal untuk dikerjakan, kemudian guru berkeliling
memberikan bantuan kepada kelompok tertentu bila diperlukan. Setelah
kelompok-kelompok itu menganalisis atau bahkan telah memecahkannya, guru
kembali menyuruh peserta didik untuk melakukan diskusi kelas yang dipimpin
oleh guru seperti format kelas langkah pertama tadi.
Sesuai dengan pendapat di atas, maka langkah-langkah metode
pembelajaran pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Guru
mengadakan diskusi kelas dengan cara mengajukan permasalahan dan peserta
23
didik diberi kesempatan untuk menanggapainya sebagai kegiatan proses
pemecahan masalah; (2) Guru memberi arahan dan menjelaskan sedikit tentang
materi pembelajaran; (3) Guru membagi siswa ke dalam beberapa kelompok kecil
dan diberikan soal/LKS untuk dikerjakan; (4) Guru memantau jalannya diskusi
kelompok kecil dan memberikan bantuan kepada kelompok belajar bila
diperlukan; (5) Setelah kelompok-kelompok menganalisis atau bahkan telah
memecahkannya kemudian mempresentasikannya dan kembali melakukan diskusi
kelas yang dipimpin oleh guru seperti langkah pertama.
2.1.3 Tinjauan Materi
1. Menemukan Teorema Phytagoras
Sukino dan Simangunsong (2006:174)
untuk membuktikan teorema Pythagoras adalah
dengan menempatkan persegi di setiap sisi segitiga
siku-siku. Seperti pada Gambar 2.1 di samping.
Gambar di samping menunjukkan sebuah segitiga
yang memiliki persegi pada setiap sisinya. Ukuran
segitiga tersebut adalah:
• Panjang sisi miring = AC = 5 satuan.
• Tinggi = BC = 3 satuan.
• Panjang sisi alas = AB = 4 satuan.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa luas persegi pada sisi miring
sama dengan luas persegi pada sisi alas ditambah luas persegi pada tinggi segitiga.
Pernyataan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut.
Gambar 2.1 segitiga siku-siku dengan persegi di setiap sisinya.
A B
C
24
Luas persegi pada sisi miring = luas persegi pada sisi alas + luas persegi pada
tinggi
25 = 16 + 9
(5)2 = (4)
2 + (3)
2
AC2 = AB
2 + BC
2
Jadi dapat disimpulkan bahwa kuadrat panjang sisi miring suatu
segitiga siku-siku adalah sama dengan jumlah kuadrat panjang sisi-sisi yang lain.
2. Penggunaan Teorema Phytagoras
Tripel Phytagoras
Pada sebuah segitiga siku-siku, kadang-kadang kita dapat
menemukan tiga bilangan asli yang tepat memenuhi Teorema Phytagoras
untuk panjang sisi miring dan dua sisi lainnya. Ketiga bilangan asli yang
memenuhi itu disebut Triple Phytagoras (Sukino dan Simangunsong,
2006:194).
Berikut diberikan kelompok tiga bilangan.
a.) 3, 5, 6 b.) 6, 8, 10 c.) 4, 5, 6
Misalkan bilangan-bilangan di atas merupakan panjang sisi-sisi suatu
segitiga, apakah kita bisa menentukan manakah yang termasuk jenis segitiga
siku-siku?
a. 3, 5, 6
62 = 36
32 + 5
2 = 9 + 25 = 34
Karena 62
> 32 + 5
2, maka segitiga ini bukan termasuk segitiga siku-siku
atau bukan termasuk triple phytagoras.
b. 6, 8, 10
102 = 100
62 + 8
2 = 36 + 64 = 100
Karena 102
= 62 + 8
2, maka segitiga ini termasuk segitiga siku-siku atau
disebut triple phytagoras.
25
c. 4, 5, 6
62 = 36
42 + 5
2 = 16 + 25 = 41
Karena 62
< 42 + 5
2, maka segitiga ini bukan termasuk segitiga siku-siku
atau bukan triple phytagoras.
Perbandingan sisi segitiga siku-siku dengan sudut istimewa
1. Sudut 30o dan 60
o
Segitiga ABC di samping adalah segitiga sama sisi
dengan AB = BC = AC = 2x cm dan A = B = C
= 60o. Karena CD tegak lurus AB, maka CD
merupakan garis tinggi sekaligus garis bagi C,
sehingga ACD = BCD = 30o. Diketahui ADC =
BDC = 90o.
Titik D adalah titik tengah AB, di mana AB = 2x cm, sehingga panjang BD =
x cm.
Kita lihat ' CBD.
Dengan menggunakan teorema Pythagoras diperoleh:
CD2 = BC
2 – BD
2
CD = –
CD = –
CD = –
CD = = x
Dengan demikian dapat diperoleh perbandingan:
BD : CD : BC = x : x : 2x
= 1 : : 2
(Sukino dan Simangunsong, 2006:181)
Gambar 2.2
60o
30o 30
o
A B
C
D
2x cm
26
2. Sudut 45o
Segitiga ABC pada gambar 2.3 adalah segitiga siku-siku
sama kaki. Sudut B siku-siku dengan panjang AB = BC
= x cm dan A = C = 45o
Dengan menggunakan teorema phytagoras diperoleh:
AC2 = AB
2 + BC
2
AC =
AC =
AC = = x
Dengan demikian diperoleh perbandingan:
AB : BC : AC = x : x : x
= 1 : 1 :
(Sukino dan Simangunsong, 2006:184)
2.2 Hipotesis Tindakan
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah ”melalui
metode pembelajaran pemecahan masalah pada materi Teorema Phytagoras, maka
kemampuan komunikasi matematika siswa kelas VIII MTs. Muh. Sidomulyo akan
meningkat”.
2.3 Kriteria Keberhasilan
Penelitian ini memilki kriteria keberhasilan yaitu:
Apabila kemampuan komunikasi matematika siswa dalam proses
pembelajaran matematika tentang phytagoras menggunakan metode
pemecahan masalah mencapai persentase > 70% dengan kategori nilai 70
ke atas, maka proses pembelajaran dianggap berhasil.
Gambar 2.3
A
B C 45o
45o
x cm
=
27
Apabila aktivitas siswa selama proses pembelajaran matematika
menggunakan metode pemecahan masalah yang mengacu pada deskriptor
pengamatan aktivitas siswa telah mencapai persentase > 70% dalam
kategori baik dan sangat baik, maka proses pembelajaran dianggap
berhasil.
Apabila kegiatan guru selama proses pembelajaran matematika
menggunakan metode pemecahan masalah yang mengacu pada deskriptor
pengamatan kegiatan guru telah mencapai persentase > 70% dalam
kategori baik dan sangat baik, maka proses pembelajaran dianggap
berhasil.