BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pola...

22
5 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pola Asuh Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang memiliki kepribadian yang baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang baik pula. Orang tua adalah pembentuk kepribadian anak yang pertama kali, karena orang tua merupakan teladan bagi anak-anaknya. Menurut Zakiyah Daradjat kepribadian orang tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung akan masuk kedalam pribadi anak mereka yang sedang tumbuh. (Zakiyah Daradjat, 2003:56). Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (stuktur) yang tetap. (kamus besar bahasa indonesia, 2000:54). Sedangkan kata asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing, dan memimpin satu badan atau lembaga. Menurut Danny I. Yatim-Irwanto, pola asuh adalah pendidikan, sedangkan pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap jasmani dan rohani anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Jadi, pola asuh orang tua adalah suatu interaksi antara orang tua dan anak, dimana orang tua bermaksud untuk memberikan rangsangan kepada anaknya dengan tujuan untuk mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang di anggap 5

Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pola...

5

BAB II

KAJIAN TEORITIS

2.1 Pengertian Pola Asuh

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang memiliki

kepribadian yang baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang baik pula. Orang

tua adalah pembentuk kepribadian anak yang pertama kali, karena orang tua

merupakan teladan bagi anak-anaknya. Menurut Zakiyah Daradjat kepribadian orang

tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak

langsung akan masuk kedalam pribadi anak mereka yang sedang tumbuh. (Zakiyah

Daradjat, 2003:56).

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (stuktur) yang

tetap. (kamus besar bahasa indonesia, 2000:54). Sedangkan kata asuh adalah menjaga

(merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing, dan memimpin satu badan atau

lembaga. Menurut Danny I. Yatim-Irwanto, pola asuh adalah pendidikan, sedangkan

pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap jasmani dan rohani

anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Jadi, pola asuh orang tua adalah suatu interaksi antara orang tua dan anak,

dimana orang tua bermaksud untuk memberikan rangsangan kepada anaknya dengan

tujuan untuk mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang di anggap

5

6

tepat oleh orang tua agar anak menjadi mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat

dan optimal.

2.2 Hakikat Pola Asuh Permisif

2.2.1 Pengertian Pola Asuh Permisif

Permisif adalah suatu bentuk pola asuh orang tua dimana didalamnya terdapat

aspek-aspek kontrol yang sangat longgar terhadap anak, hukuman dan hadiah tidak

pernah diberikan, semua keputusan diserahkan kepada anak, orang tua bersikap masa

bodoh dan pendidikan bersifat bebas (Hurlock 1993:125).

Pola asuh permisif dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam

berinteraksi dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin

dilakukan tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan

yang ketat bahkan bimbinganpun kuran gdiberikan, sehingga tidak ada pengendalian

atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Kebebasan diberikan penuh dan anak

diijinkan untuk memberikan keputusan untuk dirinya sendiri, tanpa pertimbangan

orang tua dan berperilaku menurut apa yang diinginkannya tanpa ada kontrol dari

orang tua.

Karena kurang adanya arahan, baik yang berlaku dalam lingkungan keluarga

maupun di lingkungan sosial, meskipun sengaja melanggar peraturan, tidak

diberlakukan hukuman dan juga tidak ada hadiah bagi yang berperilaku sosial dengan

baik. Jadi orang tua membiarkan anak berbuat dengan sesuka hati dengan sedikit

kekangan, memanjakan dan memenuhi kehendaknya agar mereka senang. Remaja

7

dengan orang tua permisif cenderung seenaknya sendiri, kurang bertanggung jawab,

manja dan kurang berfikir dalam bertindak karena remaja tidak diberi bimbingan dan

arahan oleh orang tua untuk berperilaku yang baik.

Dalam pola asuh ini orangtua bersifat permisif (serba membolehkan), tidak

mengendalikan, kurang menuntut. Mereka tidak terorganisasi dengan baik atau tidak

efektif dalam menjalankan rumah tangga, lemah dalam mendisiplinkan dan mengajar

anak-anak, hanya menuntut sedikit dewasa dan hanya member sedikit perhatian

dalam melatih kemandirian dan kepercayaan diri. Orang tua dengan pola asuh

permisif dibiarkan mengatur tingkah laku mereka sendiri dan membuat keputusan

sendiri.

Hurlock (1999:94) pola asuh permisif tidak menggunakan aturan-aturan ketat

bahkan bimbinganpun jarang sekali di berikan sehingga tidak ada pengendalian dan

pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Kebebasan diberikan penuh dan anak

diijinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri tanpa pertimbangan orang tua dan

boleh berperilaku menurut apa yang diinginkan tanpa ada kontrol dari orangtua.

2.2.2 Aspek-Aspek Pola Asuh Permisif

Menurut Baumrind (mussen 2004:399), secara garis besar pola asuh orang tua

terdiri dari empat aspek, antara lain :

a. Kontrol

b. Hukuman dan Hadiah

c. Dominasi

8

d. Komunikasi

Empat aspek tersebut terdap dalam semua jenis pola asuh, termasuk dalam

pola asuh permisif hanya saja kadarnya yang berbeda. Proboningrum (2001:23)

bahwa aspek-aspek dari salah satu jenis pola asuh, yaitu pola asuh permisif orangtua,

antara lain :

a. Orang tua bersifat toleren terhadap anak

Orang tua tidak peduli dengan tindakan anak yaitu dengan tidak ada batasan atau

peraturan-peraturan tertentu dalam keluarga.

b. Hukuman atau hadiah tidak pernah diberikan

Tidak ada tindakan dari orang tua terhadap sikap anak baik yang bersifat positif

maupun negative, yang berupa hadiah atau hukuman.

c. Komunikasi hampir tidak ada

Orang tua dan anak jarang sekali terjalin komunikasi yang melibatkan kedua

belah pihak yang aktif.

d. Semua keputusan di serahkan kepada anak

Kebebasan di berikan kepada anak sepenuhnya dalma pengambilan keputusan

tanpa memperhatikan kebutuhannya.

e. Kontrol terhadap anak longgar

Tindakan orang tua yang tidak peduli dengan semua tindakan anak atau sikap

anak.

9

2.2.3 Bentuk-Bentuk Pola Asuh

Menurut Baumrind (dalam Atfimas, 2012:Online) berdasarkan teorinya

mengemukakan bahwa ada tiga macam bentuk pola asuh antara lain:

a. Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat

bagi anak-anak mereka. Santrock (2003:80) menggambarkan 2 jenis orang tua

yang permisif antara lain:

1. Orang tua permisif lunak atau memanjakan

Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola dimana orang tua sangat

terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan

mereka. Orang tua dengan tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi

bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi perkembangan

psikologis.

2. Orang tua yang lepas tangan atau tidak peduli

Gaya pengasuhan permisif tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua

sangat tidak ikut campai dalam kehidupan anak (Santrock, 2003:186). Jadi

pola asuh permisif secara keseluruhan ditandai dengan keadaan orang tua

yang tidak mengendalikan anak, tidak memberikan hukuman pada kesalahan

anak dan tidak memberikan perhatian dalam melatih kemandirian dan

kepercayaan diri anak.

10

b. Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan

batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal

timbal balik bisa berlangsung dengan bebar, dan orang tua bersikap hangat dan

bersikap membesarkan hati remaja. Orang tua yang bisa diandalkan

menyeimbangkan kasih sayang dan dukungan emosional dengan struktur dan

bimbingan dalam membesarkan anak-anak mereka. Dan orang tua dengan tipe

ini mereka membiarkan anak-anak mereka menentukan kepuasan sendiri dan

mendorong mereka untuk membangung kepribadian dan juga minat mereka

sendiri (Edwards, 2006:73). Intinya pola asuh ini memberikan banyak tanggung

jawab. Jadi, pola asuh demokratis mendorong anak untuk bebas tetapi tetap

memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan anak.

c. Pola Asuh Otoriter

Edwards (2006:80) menambahkan bahwa pola asuh otoriter adalah gaya yang

membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti

petunjuk orang tua. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan

kendali yang tegas terhadap anak dan hanya melakukan sedikit komunikasi

verbal. Pola asuh otoriter cenderung untuk menentukan peraturan tanpa

berdiskusi dengan anak-anak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak

mempertimbangkan harapan-harapan dan kehendak hati anak-anak mereka.

Orang tua otoriter menuntut keteraturan, sikap yang sesuai dengan ketentuan

masyarakat dan menekankan kepatuhan kepada otoritas. Orang tua otoriter tidak

11

selalu bersikap dingin dan tidak responsif, tetapi mereka lebih banyak menuntut

dan bersikap penuh amarah serta kurang bersikap positif dan kurang bisa

memperlihatkan sikap mencintai anak-anak mereka.

2.2.4 Dampak Pengaruh Pola Asuh terhadap Anak

Dalam pembinaan atau pola asuh terhadap anak mempunyai pengaruh

terhadap kepribadian perkembangan anak baik dari pola pikir ataupun perilaku dalam

kehidupan sehari-hari. Menurut Dwi Purwa (2013:Online) dampak dari pola asuh

terhadap anak yaitu:

1. Pengaruh Pola Asuh Permisif

Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,

agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang matang

secara sosial dan kurang percaya diri.

2. Pengaruh Pola Asuh Demokratis

Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri,

dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman-temannya,

mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, dan

kooperatif terhadap orang lain.

3. Pengaruh Pola Asuh Otoriter

Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam,

tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma-norma,

12

berkepribadian lemah, cemas dan terkesan menarik diri.

http://dwipurwa.blogspot.com/2013/01/kti-pengaruh-pola-asuh-orang-tua.html

2.3 Hakikat Pembentukan Karakter Anak

2.3.1 Pengertian Karakter

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan perilaku yang khas tiap individu

untuk hidup dan kerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan

negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat

keputusan dan setiap pertaggungjawabkan setiap akibat dari keputusanya. Karakter

dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan

Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang

terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan

norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.

Samani (2011:42) dapat menjelaskan bahwa “Karakter merupakan nilai dasar

perilaku yang menjadi acuan tata tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal

berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar:

kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan

(freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati

(humility), kasih sayang (love), tanggug jawab (responsibility),kesederhanaan

(simplicity), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan(unity)”.

Scerenko (dalam Samani, 2011:42) mengemukakan bahwa “Karakter

merupakan atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri

13

etis, dan kompleksitas mental dari seseorang suatu kelompok atau bangsa. Sementara

itu, The Free Dictionary dalam situs onlinenya, yang dapat diunduh secara bebas

mendefinisikan karakter sebagai suatu kombinasi kualitas atau ciri-ciri yang

membedakan seseorang atau kelompok atau suatu benda dengan yang lain. Karakter,

juga didefinisikan sebagai suatu deskripsi dari atribut, ciri-ciri, atau kemampuan

seseorang”.

Disamping itu, Amin (2011:3) Mengemukakan bahwa “Karakter/budi pekerti

menunjukan etika yang baik dan sangat ogen bagi diri seseorang agar dirinya eksis

pada waktu berhubungan dengan orang lain. Karakter/budi pekerti adalah nilai-nilai

yang khas, yang baik berbuat baik dalam kehidupan yang berdampak positif atau baik

bagi lingkungan tempat tinggalnya. Karakter/budi pekerrti yang memancar dari olah

pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, individu, kelompok, maupun masyarakat”.

Tafsir (2011:12) juga dapat mengemukakan bahwa “Karakter adalah watak,

sifat, atau hal-hal yang memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-

hal yang sangat abstrak yang ada pada diri seseorang, sering orang menyebutnya

dengan tabiat atau perangai. Dengan mengetahui adanya karakter, seorang dapat

memperkirakan reaksi-reaksi dirinya, terhadap berbagai fenomena yang muncul

dalam diri ataupun hubunganya dengan orang lain, dalam berbagai ke adaan, serta

sebagaimana mengendalikanya”.

Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut, maka karakter merupakan sebuah

gambaran kepribadian yang dimiliki oleh seseorang yang diakibatkan oleh

lingkungan dalam kehidupannya sehari-hari.

14

2.3.2 Proses Pembentukan Karakter

Menurut Buku Pedoman Penanaman Nilai-nilai Karakter Kebangsaan pada

Program Pendidikan Anak Usia Dini (2010). Ada 12 nilai karakter yang dapat

dibentuk pada anak sejak usia dini. Yaitu:

1. Membentuk nilai sopan santun. Penanaman nilai ini, anak ditumbuhkan cara

bersikap dan menghargai orang lain, misalnya: Anak terbiasa mengucapkan kata-

kata santun seperti terima kasih, maaf, tolong, anak menghormati orang tua dan

orang lain yang lebih tua.

2. Membentuk nilai tanggung jawab. Penanaman nilai ini bertujuan agar anak

memahami kewajibannya untuk melakukan sesuatu sepenuh hati tanpa merasa

terpaksa atau terbebani, seperti: anak mengembalikan barang pada tempatnya

semula setelah menggunakannya, anak mengakui tindakannya ketika berbuat

kesalahan, anak menyelesaikan tugas hingga tuntas.

3. Membentuk nilai kejujuran. Penanaman nilai ini bertujuan untuk membiasakan

anak agar bersikap jujur. Misalnya anak dapat atau mau mengatakan suatu

kejadian yang sebenarnya (tidak bohong dan tidak berbuat curang).

4. Membentuk sikap disiplin. Hal ini bertujuan agar anak bisa membiasakan

melalukan sesuatu misalnya: mau mengantri, mau meletakkan sesuatu pada

tempatnya atau mengikuti aturan yang ditetapkan.

5. Membentuk nilai cintah dan kasih sayang dalam lingkup ini, anak ditanamkan

nilai untuk mencintai orang lain. Penanaman nilai ini mendidik anak untuk

15

berbagi dengan orang lain, anak bermain bersama dengan temannya dan anak

mau membantu kesulitan orang lain.

6. Membentuk nilai kepedulian. Penanaman nilai ini ke anak bertujuan untuk tidak

mementingkan diri sendiri dan mau memperhatikan orang lain. Misalnya; anak

gembira bila mendengar berita tentang temannya yang menyenangkan, dan

bersedih bila mendengar berita yang menyedihkan, anak bersedia membantu

orang lain, anak senang berbagi dengan orang lain.

7. Membentuk nilai keberanian. Melalui penanaman nilai ini, anak memiliki

kepercayaan diri untuk berbuat hal yang baik, seperti: anak berani menyatakan

pendapatnya, bertanya, menjawab pertanyaan, melakukan tantangan dan pantang

menyerah.

8. Membentuk nilai kemandirian. Penanaman nilai ini bertujuan agar anak terbiasa

melakukan keperluan dirinya, misalnya: anak terbiasa memakai sepatu sendiri,

memakai pakaian sendiri, makan sendiri, menemukan mainan sendiri.

9. Kerja Keras. Anak dibiasakan melakukan sesuatu dengan tekun sungguh-

sungguh dalam melakukan kegiatan. Misalnya menyelesaikan permainannya

sampai tuntas, tidak cepat merengek minta bantuan orang lain.

10. Membentuk nilai gotong-royong. Anak ditanamkan nilai bekerja untuk

kepentingan bersama, seperti: anak melibatkan diri dalam kebersihan, anak

merapikan tempat bermain secara bersama-sama, membuat gagasan main

bersama dan mengerjakannya bersama-sama.

16

11. Membentuk nilai keadilan. Penanaman nilai ini mendidik anak untuk tidak

membeda-bedakan temannya, memilih teman atau mengolok-olok teman yang

tidak disenanginya.

12. Membentuk nilai pengendalian diri. Anak didik untuk mengekang dan menahan

keinginannya, misalnya: anak bersedia berpisak dengan orang tuanya ketika di

TPA, anak dapat menegur temannya yang berbuat salah dengan cara yang sopan,

anak dengan sabar menunggu giliran ketika makan, memilih mainan, ke toilet

dan lainnya.

Selanjutnya Otib Satibi Hidayat (2008:1.31) menambahkan bahwa

pembentukkan karakter pada anak akan memberikan dampak yang sangat besar

dalam pembentukan dirinya sendiri. Oleh sebab itu anak diajari iklim kerja kerja

keras dan tanggung jawab akan cenderung menunjukkan prestasi yang tinggi.

Lainnya halnya dengan yang dikemukakan Narwanti (2011:6) bahwa

“Sekolah adalah lembaga pendidikan yang paling depan dalam mengembangkan

pendidikan karakter melalui sekolah, proses-proses pembentukan dan pengembangan

karakter siswa mudah dilihat dan ukur. Peran sekolah adalah memperkuat proses

otonomi siswa. Karakter dibangun secara konseptual dan pembiasaan dengan

menggunakan pilar moral, dan hendaknya memenuhi kaidah-kaidah tertentu”.

Sedangkan dalam pembentukan karakter muslim menyebutkan beberapa

kaidah pembentukan karakter sebagai berikut:

17

1. Kaidah kebertahapan

Proses pembentukan dan pengembangan karakter harus dilakukan secara

bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah sesuai yang diinginkan secara

tiba-tiba dan instant. Namun ada tahap-tahap yang harus dilalui dengan sabar dan

tidak terburu-buru. Orientasi kegiatan ini adalah pada proses, bukan pada akhir.

Proses pendidikan adalah lama namun hasilnya paten.

2. Kaidah kesinambungan

Seberapapun kecilnya porsi latihan yang terpenting adalah kesinambunganya.

Proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan

warnah berpikir seseorang yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan

seterusnya menjadi karakter pribadinya yang khas.

3. Kaidah momentum

Penggunaan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan.

Misalnya bulan ramadhan untuk mengembangkan sifat sabar kemauan yang kuat

, dermawan dan sebagainya.

4. Kaidah motivasi instrinsik

Karakter yang kuat akan terbentuk sempurnah jika dorongan yang menyertainya

benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi, proses merasakan sendiri,

melakukan sendiri, adalah pentig. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa

mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya antara yang dilakukan sendiri dengan

yang hanya dilihat atau diperdengarkan saja. Pendidikan harus menamakan

motivasi/keinginan yang kuat dan lurus serta melibatkan aksi fisik yang nyata.

18

5. Kaidah pembimbingan

Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru/pembimbing.

Kedudukan seorang guru/pembimbing ini adalah untuk memantau dan

mengevaluasi perkembangan seorang. Guru/pembimbing juga berfungsi sebagai

unsur perekat, tempat curhat dan sarana tukar pikiran bagi muridnya.

2.3.3 Pola Asuh Orang Tua Yang Baik Dalam Pembentukkan Karakter Anak

Menurut Amin (dalam Laoode Munier, 2012:Online) mengemukakan bahwa

“Keluarga adalah lingkunganyang paling utama untuk menentukan masadepan anak.

Demikian pula karakter/budi pekerti anak yang baik dimulai dari dalam keluarga.

Dalam hal ini ibu merupakan peran utama, karena ibu yang melahirkan, sangat dekat

dengan anak, paling sayang dengan anak.”

Sebelum anak masuk sekolah, (pendidikan formal) pendidikan yang pertama

kali yang diberikan kepada anak adalah pendidikan dalam keluarga. Walaupun

sebelum itu anak dimasukan kedalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), namun

peran pendidikan dalam keluarga sangat menentukan karekter/budi pekerti anak.

Muhamad Suwaid (dalam Amin, 2011:46) beberapa kebiasaan yang perlu

diberikan kepada anak antara lain:

a. Orang tua mengajak anak mengikuti pertemuan dengan orang dewasa, di

mesjid, pertemuan-pertemuan yang direncanakan tempatnya.

b. Menyuruh melaksanakan tugas rumah, melatih mandiri, menghargai waktu dan

keuangan.

19

c. Membiasakan mengucapkan salam. (setiap salam adalah sunat terutama umat

Muslim)

d. Menjenguk anak yang sakit.

e. Memilih teman yang baik, yang penting teman yang berkelakuan baik.

f. Melatih berdagang, jika anak ingin mandiri nantiny.

g. Menghadiri acara yang disyaratkan . melatih anak agar semakin bermasyarakat.

Orang tua yang menjalani kehidupan dengan anak-anak di rumah dalam

waktu 24 jam sehari semalam. Waktu 24 jam itulebih dari cukup untuk mendidik

anak-anak, membiasakan karakter yang baik kepada anak-anak membentuk budi

pekerti/akhlak mulia kepada anak-anak. Pendidikan semacam ini merupakan

tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Disekolah anak-anak hanya mendapatkan

pelajaran agama hanya 2 jam pelajaran (2 x 45 menit = 90 menit) saja. Lebih banyak

menekankan pada pelajaran agama ketimbang pendidikan agama. Kebiasaan

kebiasaan yang sejatinya diberikan kepada orang tua, kepada anak-anaknya dalam

rangka pendidikan karakter/budi pekerti adalah:

a. Kebiasaan mengenal tuhan dalam sebutan sederhana dalam keseharian seperti

Allah, Allahu Akbar.

b. Kebiasaan sholat (sembahyang) berjamaah dengan orang tua , selesai sholat

bersalaman mencium tangan orang tua.

c. Kebiasaan sopan santun kepada orang tua, guru, anggota keluarga yang lebih

tua, kepada saudara dalam rumah, dan kepada tetangga.

20

d. Kebiasaan meminta ijin bila hendak keluar rumah, pergi kerumah teman untuk

belajar, pergi kesekolah, pergi mengaji ke surau, ke mesjid, kerumah guru

mengaji.

e. Kebiasaan mencium tangan orang tua bila hendak kepergian.

f. Kebiasaan menyayangi orang tua dan orang tua menyayangi anak, itulah sifat

Allah.

g. Kebiasaan berjalan menunduk di hadapan orang tua, guru, orang yang lebih tua,

dan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama.

h. Kebiasaan menyapa orang yang lebih tua dengan sapaan yang menunjukan rasa

hormat.

i. Kebiasaan mendidik anak supaya jujur. Disuruh belanja supaya jujur, bila ada

uang kembali harus dikembalikan.

j. Kebiasaan mendidik anak supaya amanah. Disuruh menyampaikan pesan atau

barang kepada tetangga supaya sampai ketujuanya.

k. Kebiasaan membantu pekerjaan orang tua dirumah terutama anak perempuan.

l. Kebiasaan kepada anak supaya tidak iri hati kepada saudara sendiri.

Tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak karena dalam linkungan

keluargalah karakter/budi pekerti anak tumbuh lebih lebih awal. Beberapa alasan

dibawah ini cukup rasional bahwa pendidikan karakter/budi pekerti adalah

tanggung jawab orang tua.

21

Schulman dan Mekler (dalam Samani, 2011:141-143) bahwa ada tiga fondasi

pengembangan karakter, yaitu:

a. Penghayatan atau internalisasi terhadap standar dari orang tua tentang yang

benar dan yang salah.

b. Pengembangan sikap dan reaksi empati.

c. Pengembangan dan pemerolehan standar moral sendiri.

Terkait dengan fondasi pertama, apakah internalisasi standar dari orang tua

tentang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk dapat dihayati oleh

anak, sepenuhnya bergantung pada sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan,

sebagai uswatun hasanah. Orang tua, termasuk guru, harus benar-benar dapat

menjadi contoh bagi anak, karena ia konsisten,istiqamah, dan menjalankan apa-apa

yang baikdan tidak menjalani apa-apa yang buruk. Hal yang paling penting disini

adalah orang tua yang hangat dan akrab (loving parents) jauh lebih efektif sebagai

teladan daripada orang tua yang ingin dan kurang perhatian pada anak.

Fondasi kedua adalah pengembangan rasa empati terhadap anak. Anak pada

fitrahnya sudah memiliki rasa empati sejak dia lahir. Pembiasaan dan penciptaan

lingkungan oleh orang tua-lah yang kemudian akan menimbulkan rasa empati itu.

Fondasi ketiga adalah pengembangan dan pemerolehan standar moral bagi

anak itu sendiri. Paling akhir selayaknya kepekaan seseorang tentang apa-apa yang

baik dan apa-apa yang salah harus bersemayam dalam diri anak dan menjadi milik

anak itu sendiri. Ia harus memiliki standar tentang bagaimana seharusnya seseorang

memperlakukan orang lain dan menjadi orang seperti apa mereka nantinya. Dalam

22

kaitan ini maka tugas orang tua termasuk guru adalah memupuk rasa percaya diri

anak agar selalu memegang teguh serta mengembangkan standar tentang yang baik

dan yang buruk tersebut, sehingga dihayatinya sebagai perilakunya sehari-hari.

Kemudian diwujudkan dalam tindakan saat perinteraksi dengan sesama manusia,

berkomunikasi dengan tuhanya, dan interaksi dengan alam lingkungan disekitarnya.

http://laodemunir.blogspot.com/2012/12/blog-post.html

2.3.4 Pola Asuh Orang Tua Dalam Pembentukkan Karakter Tanggung Jawab

Menurut Charles (dalam Yodi, 2011:Online) ada beberapa cara yang dapat

diterapkan untuk mendidik anak sejak usia dini agar menjadi anak yang bertanggung

jawab, prinsip-prinsip penting yang harus dilakukan untuk membantu anak

bertanggung jawab.

1. Memberi Teladan Yang Baik

Dalam mengajarkan tanggung jawab pada anak, akan berhasil dengan memberi

suatu teladan yang baik. Cara ini mengajarkan kepada anak bukan saja apa yang

harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, akan tetapi juga bagaimana

orang tua melakukan tugas semacam itu.

2. Tetap dalam Pendirian dan Teguh dalam Prinsip

Dalam hal melakukan pekerjaan, orangtua harus melihat apakah anak

melakukannya dengan segenap hati dan tekun. Sangat penting bagi orangtua

untuk memberikan suatu perhatian pada tugas yang tengah dilakukan oleh si

anak. Janganlah sekali-kali kita menunjukkan secara langsung tentang kesalahan-

23

kesalahan anak, tetapi nyatakanlah bagaimana cara memperbaiki kesalahan

tersebut. Dengan demikian orantua tetap dalam pendirian, dan teguh dalam

prinsip untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anaknya.

3. Memberi anjuran atau Perintah Hendaknya Jelas dan Terperinci

Orangtua dalam memberi perintah ataupun anjuran, hendaklah diucapkan atau

disampaikan dengan cukup jelas dan terperinci agar anak mengerti dalam

melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.

4. Memberi Ganjaran atas Kesalahan

Orangtua hendaknya tetap memberi perhatian kepada setiap pekerjaan anak yang

telah dilakukannya sesuai dengan kemampuannya. Tidak patut mencela

pekerjaan anak yang tidak diselesaikannya. Kalau ternyata anak belum dapat

menyelesaikan pekerjaannya saat itu, anjurkanlah untuk dapat melakukan atau

melanjutkannya besok hari. Dengan memberikan suatu pujian atau penghargaan,

akan membuat anak tetap berkeinginan menyelesaikan pekerjaan itu. Seringkali

orangtua senang menjatuhkan suatu hukuman kepada anak yang tidak berhasil

menyelesaikan tugasnya. Andaikan memungkinkan lebih baik memberikan

ganjaran atas kesalahan dan tidak semata-mata mempermasalahkannya.

5. Jangan terlalu Banyak Menuntut

Orangtua selayaknya tidak patut terlalu banyak menuntut dari anak, sehingga

dengan sewenang-wenang memberi tanggung jawab yang tidak sesuai dengan

kemampuannya. Berikanlah tanggung jawab itu setahap demi setahap, agar si

anak dapat menyanggupi dan menyenangi pekerjaan itu.

24

2.3.5 Dampak Pola Asuh Permisif Terhadap Pembentukan Karakter

Tanggungjawab Pada Anak

Menurut Hurlock (1993:125) mengemukakan bahwa pola asuh permisif dapat

diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang

membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa

mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat bahkan

bimbingan pun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau pengontrolan

serta tuntuan kepada anak. Berdasar hal tersebut menyebabkan pengaruh terhadap

pembentukan karakter anak khususnya tanggung jawab.

Weniveryanti (2012) menambahkan dampak pola asuh permisif terhadap

pembentukan karakter tanggung jawab pada anak yakni:

a. Anak tidak memahami kewajibannya untuk melakukan sesuatu sepenuh

hati tanpa merasa terpaksa atau terbebani.

b. Anak tidak mengembalikan barang pada tempatnya semula setelah

menggunakannya.

c. Anak tidak mengakui tindakannya ketika berbuat kesalahan.

d. Anak tidak menyelesaikan tugas hingga tuntas.

Perilaku tersebut yang dilakukan oleh anak, dipengaruhi oleh dampak pola

asuh orang tua yang tidak peduli dengan pola pengembangan anak dalam berperilaku

sehari-hari, sehingga menyebabkan anak seenaknya untuk bertindak sesuai dengan

keinginannya sendiri.

25

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak dari pola

asuh permisif terhadap pembentukan karakter tanggung jawab pada anak menjadikan

anak tidak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini terjadi

karena anak tidak ada rasa peduli terhadap aturan yang telah ditetapkan.

2.4 Kajian Penelitian Yang Relevan

Peran orang tua merupakan sebuah aspek penunjang dalam pembentukan

karakter anak baik itu dalam diri anak ataupun di luar diri anak. Oleh karena itu

berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendeskripsikan peran orang tua dalam

pola asuh anak. Penelitian-penelitin tersebut antara lain penelitian yang dilakukan

oleh Irawaty Japar dengan judul Peran Serta Orang Tua Terhadap Pembentukan

Karakter Anak Usia Dini Di Desa Sukamakmur Kecamatan Tolangohula. Penelitian

tersebut bertujuan untuk mengetahui peran serta orang tua dalam pembentukan

karakter anak usia dini. Dengan demikian peran serta orang tua merupakan penunjang

dalam membina dan membentuk karakter pada anak.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti

sebelumnya tentang peranan guru dalam pembentukan karakter, tetapi terdapat

perbedaan lain yang terletak pada subyek dan fokus penelitian diantaranya pola asuh

permisif dan subyek penelitian ini adalah anak kelompok B di PAUD Cempaka Desa

Tolinggula Ulu Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara. Pemilihan ini

judul penelitian ini didasarkan pada hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa anak

Kelompok B di PAUD Cempaka Desa Tolinggula Ulu Kecamatan Tolinggula

26

Kabupaten Gorontalo Utara belum pernah diadakan penelitian tentang pola asuh

permisif dalam pembentukan karakter anak kelompok B di PAUD Cempaka Desa

Tolinggula Ulu Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara.