BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pola...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Pengertian Pola...
5
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Pengertian Pola Asuh
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi orang yang memiliki
kepribadian yang baik, sikap mental yang sehat serta akhlak yang baik pula. Orang
tua adalah pembentuk kepribadian anak yang pertama kali, karena orang tua
merupakan teladan bagi anak-anaknya. Menurut Zakiyah Daradjat kepribadian orang
tua, sikap dan cara hidup merupakan unsur-unsur pendidikan yang secara tidak
langsung akan masuk kedalam pribadi anak mereka yang sedang tumbuh. (Zakiyah
Daradjat, 2003:56).
Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (stuktur) yang
tetap. (kamus besar bahasa indonesia, 2000:54). Sedangkan kata asuh adalah menjaga
(merawat dan mendidik) anak kecil, membimbing, dan memimpin satu badan atau
lembaga. Menurut Danny I. Yatim-Irwanto, pola asuh adalah pendidikan, sedangkan
pendidikan adalah bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap jasmani dan rohani
anak didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Jadi, pola asuh orang tua adalah suatu interaksi antara orang tua dan anak,
dimana orang tua bermaksud untuk memberikan rangsangan kepada anaknya dengan
tujuan untuk mengubah tingkah laku, pengetahuan serta nilai-nilai yang di anggap
5
6
tepat oleh orang tua agar anak menjadi mandiri, tumbuh dan berkembang secara sehat
dan optimal.
2.2 Hakikat Pola Asuh Permisif
2.2.1 Pengertian Pola Asuh Permisif
Permisif adalah suatu bentuk pola asuh orang tua dimana didalamnya terdapat
aspek-aspek kontrol yang sangat longgar terhadap anak, hukuman dan hadiah tidak
pernah diberikan, semua keputusan diserahkan kepada anak, orang tua bersikap masa
bodoh dan pendidikan bersifat bebas (Hurlock 1993:125).
Pola asuh permisif dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam
berinteraksi dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin
dilakukan tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan
yang ketat bahkan bimbinganpun kuran gdiberikan, sehingga tidak ada pengendalian
atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Kebebasan diberikan penuh dan anak
diijinkan untuk memberikan keputusan untuk dirinya sendiri, tanpa pertimbangan
orang tua dan berperilaku menurut apa yang diinginkannya tanpa ada kontrol dari
orang tua.
Karena kurang adanya arahan, baik yang berlaku dalam lingkungan keluarga
maupun di lingkungan sosial, meskipun sengaja melanggar peraturan, tidak
diberlakukan hukuman dan juga tidak ada hadiah bagi yang berperilaku sosial dengan
baik. Jadi orang tua membiarkan anak berbuat dengan sesuka hati dengan sedikit
kekangan, memanjakan dan memenuhi kehendaknya agar mereka senang. Remaja
7
dengan orang tua permisif cenderung seenaknya sendiri, kurang bertanggung jawab,
manja dan kurang berfikir dalam bertindak karena remaja tidak diberi bimbingan dan
arahan oleh orang tua untuk berperilaku yang baik.
Dalam pola asuh ini orangtua bersifat permisif (serba membolehkan), tidak
mengendalikan, kurang menuntut. Mereka tidak terorganisasi dengan baik atau tidak
efektif dalam menjalankan rumah tangga, lemah dalam mendisiplinkan dan mengajar
anak-anak, hanya menuntut sedikit dewasa dan hanya member sedikit perhatian
dalam melatih kemandirian dan kepercayaan diri. Orang tua dengan pola asuh
permisif dibiarkan mengatur tingkah laku mereka sendiri dan membuat keputusan
sendiri.
Hurlock (1999:94) pola asuh permisif tidak menggunakan aturan-aturan ketat
bahkan bimbinganpun jarang sekali di berikan sehingga tidak ada pengendalian dan
pengontrolan serta tuntutan kepada anak. Kebebasan diberikan penuh dan anak
diijinkan membuat keputusan untuk dirinya sendiri tanpa pertimbangan orang tua dan
boleh berperilaku menurut apa yang diinginkan tanpa ada kontrol dari orangtua.
2.2.2 Aspek-Aspek Pola Asuh Permisif
Menurut Baumrind (mussen 2004:399), secara garis besar pola asuh orang tua
terdiri dari empat aspek, antara lain :
a. Kontrol
b. Hukuman dan Hadiah
c. Dominasi
8
d. Komunikasi
Empat aspek tersebut terdap dalam semua jenis pola asuh, termasuk dalam
pola asuh permisif hanya saja kadarnya yang berbeda. Proboningrum (2001:23)
bahwa aspek-aspek dari salah satu jenis pola asuh, yaitu pola asuh permisif orangtua,
antara lain :
a. Orang tua bersifat toleren terhadap anak
Orang tua tidak peduli dengan tindakan anak yaitu dengan tidak ada batasan atau
peraturan-peraturan tertentu dalam keluarga.
b. Hukuman atau hadiah tidak pernah diberikan
Tidak ada tindakan dari orang tua terhadap sikap anak baik yang bersifat positif
maupun negative, yang berupa hadiah atau hukuman.
c. Komunikasi hampir tidak ada
Orang tua dan anak jarang sekali terjalin komunikasi yang melibatkan kedua
belah pihak yang aktif.
d. Semua keputusan di serahkan kepada anak
Kebebasan di berikan kepada anak sepenuhnya dalma pengambilan keputusan
tanpa memperhatikan kebutuhannya.
e. Kontrol terhadap anak longgar
Tindakan orang tua yang tidak peduli dengan semua tindakan anak atau sikap
anak.
9
2.2.3 Bentuk-Bentuk Pola Asuh
Menurut Baumrind (dalam Atfimas, 2012:Online) berdasarkan teorinya
mengemukakan bahwa ada tiga macam bentuk pola asuh antara lain:
a. Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif tidak memberikan struktur dan batasan-batasan yang tepat
bagi anak-anak mereka. Santrock (2003:80) menggambarkan 2 jenis orang tua
yang permisif antara lain:
1. Orang tua permisif lunak atau memanjakan
Pola asuh permisif memanjakan adalah suatu pola dimana orang tua sangat
terlibat dengan anak tetapi sedikit sekali menuntut atau mengendalikan
mereka. Orang tua dengan tipe ini cenderung mempercayai bahwa ekspresi
bebas dari keinginan hati dan harapan sangatlah penting bagi perkembangan
psikologis.
2. Orang tua yang lepas tangan atau tidak peduli
Gaya pengasuhan permisif tidak peduli adalah suatu pola dimana orang tua
sangat tidak ikut campai dalam kehidupan anak (Santrock, 2003:186). Jadi
pola asuh permisif secara keseluruhan ditandai dengan keadaan orang tua
yang tidak mengendalikan anak, tidak memberikan hukuman pada kesalahan
anak dan tidak memberikan perhatian dalam melatih kemandirian dan
kepercayaan diri anak.
10
b. Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis mendorong anak untuk bebas tetapi tetap memberikan
batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan mereka. Komunikasi verbal
timbal balik bisa berlangsung dengan bebar, dan orang tua bersikap hangat dan
bersikap membesarkan hati remaja. Orang tua yang bisa diandalkan
menyeimbangkan kasih sayang dan dukungan emosional dengan struktur dan
bimbingan dalam membesarkan anak-anak mereka. Dan orang tua dengan tipe
ini mereka membiarkan anak-anak mereka menentukan kepuasan sendiri dan
mendorong mereka untuk membangung kepribadian dan juga minat mereka
sendiri (Edwards, 2006:73). Intinya pola asuh ini memberikan banyak tanggung
jawab. Jadi, pola asuh demokratis mendorong anak untuk bebas tetapi tetap
memberikan batasan dan mengendalikan tindakan-tindakan anak.
c. Pola Asuh Otoriter
Edwards (2006:80) menambahkan bahwa pola asuh otoriter adalah gaya yang
membatasi dan bersifat menghukum yang mendesak anak untuk mengikuti
petunjuk orang tua. Orang tua yang bersifat autoritarian membuat batasan dan
kendali yang tegas terhadap anak dan hanya melakukan sedikit komunikasi
verbal. Pola asuh otoriter cenderung untuk menentukan peraturan tanpa
berdiskusi dengan anak-anak mereka terlebih dahulu. Mereka tidak
mempertimbangkan harapan-harapan dan kehendak hati anak-anak mereka.
Orang tua otoriter menuntut keteraturan, sikap yang sesuai dengan ketentuan
masyarakat dan menekankan kepatuhan kepada otoritas. Orang tua otoriter tidak
11
selalu bersikap dingin dan tidak responsif, tetapi mereka lebih banyak menuntut
dan bersikap penuh amarah serta kurang bersikap positif dan kurang bisa
memperlihatkan sikap mencintai anak-anak mereka.
2.2.4 Dampak Pengaruh Pola Asuh terhadap Anak
Dalam pembinaan atau pola asuh terhadap anak mempunyai pengaruh
terhadap kepribadian perkembangan anak baik dari pola pikir ataupun perilaku dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut Dwi Purwa (2013:Online) dampak dari pola asuh
terhadap anak yaitu:
1. Pengaruh Pola Asuh Permisif
Pola asuh permisif akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang impulsif,
agresif, tidak patuh, manja, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang matang
secara sosial dan kurang percaya diri.
2. Pengaruh Pola Asuh Demokratis
Pola asuh demokratis akan menghasilkan karakteristik anak-anak yang mandiri,
dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman-temannya,
mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, dan
kooperatif terhadap orang lain.
3. Pengaruh Pola Asuh Otoriter
Pola asuh otoriter akan menghasilkan karakteristik anak yang penakut, pendiam,
tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma-norma,
12
berkepribadian lemah, cemas dan terkesan menarik diri.
http://dwipurwa.blogspot.com/2013/01/kti-pengaruh-pola-asuh-orang-tua.html
2.3 Hakikat Pembentukan Karakter Anak
2.3.1 Pengertian Karakter
Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan perilaku yang khas tiap individu
untuk hidup dan kerjasama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat
keputusan dan setiap pertaggungjawabkan setiap akibat dari keputusanya. Karakter
dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, adat istiadat, dan estetika.
Samani (2011:42) dapat menjelaskan bahwa “Karakter merupakan nilai dasar
perilaku yang menjadi acuan tata tata nilai interaksi antar manusia. Secara universal
berbagai karakter dirumuskan sebagai nilai hidup bersama berdasarkan atas pilar:
kedamaian (peace), menghargai (respect), kerja sama (cooperation), kebebasan
(freedom), kebahagiaan (happiness), kejujuran (honesty), kerendahan hati
(humility), kasih sayang (love), tanggug jawab (responsibility),kesederhanaan
(simplicity), kesederhanaan (simplicity), toleransi (tolerance), dan persatuan(unity)”.
Scerenko (dalam Samani, 2011:42) mengemukakan bahwa “Karakter
merupakan atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri
13
etis, dan kompleksitas mental dari seseorang suatu kelompok atau bangsa. Sementara
itu, The Free Dictionary dalam situs onlinenya, yang dapat diunduh secara bebas
mendefinisikan karakter sebagai suatu kombinasi kualitas atau ciri-ciri yang
membedakan seseorang atau kelompok atau suatu benda dengan yang lain. Karakter,
juga didefinisikan sebagai suatu deskripsi dari atribut, ciri-ciri, atau kemampuan
seseorang”.
Disamping itu, Amin (2011:3) Mengemukakan bahwa “Karakter/budi pekerti
menunjukan etika yang baik dan sangat ogen bagi diri seseorang agar dirinya eksis
pada waktu berhubungan dengan orang lain. Karakter/budi pekerti adalah nilai-nilai
yang khas, yang baik berbuat baik dalam kehidupan yang berdampak positif atau baik
bagi lingkungan tempat tinggalnya. Karakter/budi pekerrti yang memancar dari olah
pikir, olah hati, olah raga, olah rasa, individu, kelompok, maupun masyarakat”.
Tafsir (2011:12) juga dapat mengemukakan bahwa “Karakter adalah watak,
sifat, atau hal-hal yang memang sangat mendasar yang ada pada diri seseorang. Hal-
hal yang sangat abstrak yang ada pada diri seseorang, sering orang menyebutnya
dengan tabiat atau perangai. Dengan mengetahui adanya karakter, seorang dapat
memperkirakan reaksi-reaksi dirinya, terhadap berbagai fenomena yang muncul
dalam diri ataupun hubunganya dengan orang lain, dalam berbagai ke adaan, serta
sebagaimana mengendalikanya”.
Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut, maka karakter merupakan sebuah
gambaran kepribadian yang dimiliki oleh seseorang yang diakibatkan oleh
lingkungan dalam kehidupannya sehari-hari.
14
2.3.2 Proses Pembentukan Karakter
Menurut Buku Pedoman Penanaman Nilai-nilai Karakter Kebangsaan pada
Program Pendidikan Anak Usia Dini (2010). Ada 12 nilai karakter yang dapat
dibentuk pada anak sejak usia dini. Yaitu:
1. Membentuk nilai sopan santun. Penanaman nilai ini, anak ditumbuhkan cara
bersikap dan menghargai orang lain, misalnya: Anak terbiasa mengucapkan kata-
kata santun seperti terima kasih, maaf, tolong, anak menghormati orang tua dan
orang lain yang lebih tua.
2. Membentuk nilai tanggung jawab. Penanaman nilai ini bertujuan agar anak
memahami kewajibannya untuk melakukan sesuatu sepenuh hati tanpa merasa
terpaksa atau terbebani, seperti: anak mengembalikan barang pada tempatnya
semula setelah menggunakannya, anak mengakui tindakannya ketika berbuat
kesalahan, anak menyelesaikan tugas hingga tuntas.
3. Membentuk nilai kejujuran. Penanaman nilai ini bertujuan untuk membiasakan
anak agar bersikap jujur. Misalnya anak dapat atau mau mengatakan suatu
kejadian yang sebenarnya (tidak bohong dan tidak berbuat curang).
4. Membentuk sikap disiplin. Hal ini bertujuan agar anak bisa membiasakan
melalukan sesuatu misalnya: mau mengantri, mau meletakkan sesuatu pada
tempatnya atau mengikuti aturan yang ditetapkan.
5. Membentuk nilai cintah dan kasih sayang dalam lingkup ini, anak ditanamkan
nilai untuk mencintai orang lain. Penanaman nilai ini mendidik anak untuk
15
berbagi dengan orang lain, anak bermain bersama dengan temannya dan anak
mau membantu kesulitan orang lain.
6. Membentuk nilai kepedulian. Penanaman nilai ini ke anak bertujuan untuk tidak
mementingkan diri sendiri dan mau memperhatikan orang lain. Misalnya; anak
gembira bila mendengar berita tentang temannya yang menyenangkan, dan
bersedih bila mendengar berita yang menyedihkan, anak bersedia membantu
orang lain, anak senang berbagi dengan orang lain.
7. Membentuk nilai keberanian. Melalui penanaman nilai ini, anak memiliki
kepercayaan diri untuk berbuat hal yang baik, seperti: anak berani menyatakan
pendapatnya, bertanya, menjawab pertanyaan, melakukan tantangan dan pantang
menyerah.
8. Membentuk nilai kemandirian. Penanaman nilai ini bertujuan agar anak terbiasa
melakukan keperluan dirinya, misalnya: anak terbiasa memakai sepatu sendiri,
memakai pakaian sendiri, makan sendiri, menemukan mainan sendiri.
9. Kerja Keras. Anak dibiasakan melakukan sesuatu dengan tekun sungguh-
sungguh dalam melakukan kegiatan. Misalnya menyelesaikan permainannya
sampai tuntas, tidak cepat merengek minta bantuan orang lain.
10. Membentuk nilai gotong-royong. Anak ditanamkan nilai bekerja untuk
kepentingan bersama, seperti: anak melibatkan diri dalam kebersihan, anak
merapikan tempat bermain secara bersama-sama, membuat gagasan main
bersama dan mengerjakannya bersama-sama.
16
11. Membentuk nilai keadilan. Penanaman nilai ini mendidik anak untuk tidak
membeda-bedakan temannya, memilih teman atau mengolok-olok teman yang
tidak disenanginya.
12. Membentuk nilai pengendalian diri. Anak didik untuk mengekang dan menahan
keinginannya, misalnya: anak bersedia berpisak dengan orang tuanya ketika di
TPA, anak dapat menegur temannya yang berbuat salah dengan cara yang sopan,
anak dengan sabar menunggu giliran ketika makan, memilih mainan, ke toilet
dan lainnya.
Selanjutnya Otib Satibi Hidayat (2008:1.31) menambahkan bahwa
pembentukkan karakter pada anak akan memberikan dampak yang sangat besar
dalam pembentukan dirinya sendiri. Oleh sebab itu anak diajari iklim kerja kerja
keras dan tanggung jawab akan cenderung menunjukkan prestasi yang tinggi.
Lainnya halnya dengan yang dikemukakan Narwanti (2011:6) bahwa
“Sekolah adalah lembaga pendidikan yang paling depan dalam mengembangkan
pendidikan karakter melalui sekolah, proses-proses pembentukan dan pengembangan
karakter siswa mudah dilihat dan ukur. Peran sekolah adalah memperkuat proses
otonomi siswa. Karakter dibangun secara konseptual dan pembiasaan dengan
menggunakan pilar moral, dan hendaknya memenuhi kaidah-kaidah tertentu”.
Sedangkan dalam pembentukan karakter muslim menyebutkan beberapa
kaidah pembentukan karakter sebagai berikut:
17
1. Kaidah kebertahapan
Proses pembentukan dan pengembangan karakter harus dilakukan secara
bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah sesuai yang diinginkan secara
tiba-tiba dan instant. Namun ada tahap-tahap yang harus dilalui dengan sabar dan
tidak terburu-buru. Orientasi kegiatan ini adalah pada proses, bukan pada akhir.
Proses pendidikan adalah lama namun hasilnya paten.
2. Kaidah kesinambungan
Seberapapun kecilnya porsi latihan yang terpenting adalah kesinambunganya.
Proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan
warnah berpikir seseorang yang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan
seterusnya menjadi karakter pribadinya yang khas.
3. Kaidah momentum
Penggunaan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan latihan.
Misalnya bulan ramadhan untuk mengembangkan sifat sabar kemauan yang kuat
, dermawan dan sebagainya.
4. Kaidah motivasi instrinsik
Karakter yang kuat akan terbentuk sempurnah jika dorongan yang menyertainya
benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi, proses merasakan sendiri,
melakukan sendiri, adalah pentig. Hal ini sesuai dengan kaidah umum bahwa
mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya antara yang dilakukan sendiri dengan
yang hanya dilihat atau diperdengarkan saja. Pendidikan harus menamakan
motivasi/keinginan yang kuat dan lurus serta melibatkan aksi fisik yang nyata.
18
5. Kaidah pembimbingan
Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru/pembimbing.
Kedudukan seorang guru/pembimbing ini adalah untuk memantau dan
mengevaluasi perkembangan seorang. Guru/pembimbing juga berfungsi sebagai
unsur perekat, tempat curhat dan sarana tukar pikiran bagi muridnya.
2.3.3 Pola Asuh Orang Tua Yang Baik Dalam Pembentukkan Karakter Anak
Menurut Amin (dalam Laoode Munier, 2012:Online) mengemukakan bahwa
“Keluarga adalah lingkunganyang paling utama untuk menentukan masadepan anak.
Demikian pula karakter/budi pekerti anak yang baik dimulai dari dalam keluarga.
Dalam hal ini ibu merupakan peran utama, karena ibu yang melahirkan, sangat dekat
dengan anak, paling sayang dengan anak.”
Sebelum anak masuk sekolah, (pendidikan formal) pendidikan yang pertama
kali yang diberikan kepada anak adalah pendidikan dalam keluarga. Walaupun
sebelum itu anak dimasukan kedalam Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), namun
peran pendidikan dalam keluarga sangat menentukan karekter/budi pekerti anak.
Muhamad Suwaid (dalam Amin, 2011:46) beberapa kebiasaan yang perlu
diberikan kepada anak antara lain:
a. Orang tua mengajak anak mengikuti pertemuan dengan orang dewasa, di
mesjid, pertemuan-pertemuan yang direncanakan tempatnya.
b. Menyuruh melaksanakan tugas rumah, melatih mandiri, menghargai waktu dan
keuangan.
19
c. Membiasakan mengucapkan salam. (setiap salam adalah sunat terutama umat
Muslim)
d. Menjenguk anak yang sakit.
e. Memilih teman yang baik, yang penting teman yang berkelakuan baik.
f. Melatih berdagang, jika anak ingin mandiri nantiny.
g. Menghadiri acara yang disyaratkan . melatih anak agar semakin bermasyarakat.
Orang tua yang menjalani kehidupan dengan anak-anak di rumah dalam
waktu 24 jam sehari semalam. Waktu 24 jam itulebih dari cukup untuk mendidik
anak-anak, membiasakan karakter yang baik kepada anak-anak membentuk budi
pekerti/akhlak mulia kepada anak-anak. Pendidikan semacam ini merupakan
tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Disekolah anak-anak hanya mendapatkan
pelajaran agama hanya 2 jam pelajaran (2 x 45 menit = 90 menit) saja. Lebih banyak
menekankan pada pelajaran agama ketimbang pendidikan agama. Kebiasaan
kebiasaan yang sejatinya diberikan kepada orang tua, kepada anak-anaknya dalam
rangka pendidikan karakter/budi pekerti adalah:
a. Kebiasaan mengenal tuhan dalam sebutan sederhana dalam keseharian seperti
Allah, Allahu Akbar.
b. Kebiasaan sholat (sembahyang) berjamaah dengan orang tua , selesai sholat
bersalaman mencium tangan orang tua.
c. Kebiasaan sopan santun kepada orang tua, guru, anggota keluarga yang lebih
tua, kepada saudara dalam rumah, dan kepada tetangga.
20
d. Kebiasaan meminta ijin bila hendak keluar rumah, pergi kerumah teman untuk
belajar, pergi kesekolah, pergi mengaji ke surau, ke mesjid, kerumah guru
mengaji.
e. Kebiasaan mencium tangan orang tua bila hendak kepergian.
f. Kebiasaan menyayangi orang tua dan orang tua menyayangi anak, itulah sifat
Allah.
g. Kebiasaan berjalan menunduk di hadapan orang tua, guru, orang yang lebih tua,
dan tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama.
h. Kebiasaan menyapa orang yang lebih tua dengan sapaan yang menunjukan rasa
hormat.
i. Kebiasaan mendidik anak supaya jujur. Disuruh belanja supaya jujur, bila ada
uang kembali harus dikembalikan.
j. Kebiasaan mendidik anak supaya amanah. Disuruh menyampaikan pesan atau
barang kepada tetangga supaya sampai ketujuanya.
k. Kebiasaan membantu pekerjaan orang tua dirumah terutama anak perempuan.
l. Kebiasaan kepada anak supaya tidak iri hati kepada saudara sendiri.
Tanggung jawab keluarga dalam mendidik anak karena dalam linkungan
keluargalah karakter/budi pekerti anak tumbuh lebih lebih awal. Beberapa alasan
dibawah ini cukup rasional bahwa pendidikan karakter/budi pekerti adalah
tanggung jawab orang tua.
21
Schulman dan Mekler (dalam Samani, 2011:141-143) bahwa ada tiga fondasi
pengembangan karakter, yaitu:
a. Penghayatan atau internalisasi terhadap standar dari orang tua tentang yang
benar dan yang salah.
b. Pengembangan sikap dan reaksi empati.
c. Pengembangan dan pemerolehan standar moral sendiri.
Terkait dengan fondasi pertama, apakah internalisasi standar dari orang tua
tentang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk dapat dihayati oleh
anak, sepenuhnya bergantung pada sikap dan perilaku orang tua sebagai teladan,
sebagai uswatun hasanah. Orang tua, termasuk guru, harus benar-benar dapat
menjadi contoh bagi anak, karena ia konsisten,istiqamah, dan menjalankan apa-apa
yang baikdan tidak menjalani apa-apa yang buruk. Hal yang paling penting disini
adalah orang tua yang hangat dan akrab (loving parents) jauh lebih efektif sebagai
teladan daripada orang tua yang ingin dan kurang perhatian pada anak.
Fondasi kedua adalah pengembangan rasa empati terhadap anak. Anak pada
fitrahnya sudah memiliki rasa empati sejak dia lahir. Pembiasaan dan penciptaan
lingkungan oleh orang tua-lah yang kemudian akan menimbulkan rasa empati itu.
Fondasi ketiga adalah pengembangan dan pemerolehan standar moral bagi
anak itu sendiri. Paling akhir selayaknya kepekaan seseorang tentang apa-apa yang
baik dan apa-apa yang salah harus bersemayam dalam diri anak dan menjadi milik
anak itu sendiri. Ia harus memiliki standar tentang bagaimana seharusnya seseorang
memperlakukan orang lain dan menjadi orang seperti apa mereka nantinya. Dalam
22
kaitan ini maka tugas orang tua termasuk guru adalah memupuk rasa percaya diri
anak agar selalu memegang teguh serta mengembangkan standar tentang yang baik
dan yang buruk tersebut, sehingga dihayatinya sebagai perilakunya sehari-hari.
Kemudian diwujudkan dalam tindakan saat perinteraksi dengan sesama manusia,
berkomunikasi dengan tuhanya, dan interaksi dengan alam lingkungan disekitarnya.
http://laodemunir.blogspot.com/2012/12/blog-post.html
2.3.4 Pola Asuh Orang Tua Dalam Pembentukkan Karakter Tanggung Jawab
Menurut Charles (dalam Yodi, 2011:Online) ada beberapa cara yang dapat
diterapkan untuk mendidik anak sejak usia dini agar menjadi anak yang bertanggung
jawab, prinsip-prinsip penting yang harus dilakukan untuk membantu anak
bertanggung jawab.
1. Memberi Teladan Yang Baik
Dalam mengajarkan tanggung jawab pada anak, akan berhasil dengan memberi
suatu teladan yang baik. Cara ini mengajarkan kepada anak bukan saja apa yang
harus dilakukan dan bagaimana cara melakukannya, akan tetapi juga bagaimana
orang tua melakukan tugas semacam itu.
2. Tetap dalam Pendirian dan Teguh dalam Prinsip
Dalam hal melakukan pekerjaan, orangtua harus melihat apakah anak
melakukannya dengan segenap hati dan tekun. Sangat penting bagi orangtua
untuk memberikan suatu perhatian pada tugas yang tengah dilakukan oleh si
anak. Janganlah sekali-kali kita menunjukkan secara langsung tentang kesalahan-
23
kesalahan anak, tetapi nyatakanlah bagaimana cara memperbaiki kesalahan
tersebut. Dengan demikian orantua tetap dalam pendirian, dan teguh dalam
prinsip untuk menanamkan rasa tanggung jawab kepada anaknya.
3. Memberi anjuran atau Perintah Hendaknya Jelas dan Terperinci
Orangtua dalam memberi perintah ataupun anjuran, hendaklah diucapkan atau
disampaikan dengan cukup jelas dan terperinci agar anak mengerti dalam
melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.
4. Memberi Ganjaran atas Kesalahan
Orangtua hendaknya tetap memberi perhatian kepada setiap pekerjaan anak yang
telah dilakukannya sesuai dengan kemampuannya. Tidak patut mencela
pekerjaan anak yang tidak diselesaikannya. Kalau ternyata anak belum dapat
menyelesaikan pekerjaannya saat itu, anjurkanlah untuk dapat melakukan atau
melanjutkannya besok hari. Dengan memberikan suatu pujian atau penghargaan,
akan membuat anak tetap berkeinginan menyelesaikan pekerjaan itu. Seringkali
orangtua senang menjatuhkan suatu hukuman kepada anak yang tidak berhasil
menyelesaikan tugasnya. Andaikan memungkinkan lebih baik memberikan
ganjaran atas kesalahan dan tidak semata-mata mempermasalahkannya.
5. Jangan terlalu Banyak Menuntut
Orangtua selayaknya tidak patut terlalu banyak menuntut dari anak, sehingga
dengan sewenang-wenang memberi tanggung jawab yang tidak sesuai dengan
kemampuannya. Berikanlah tanggung jawab itu setahap demi setahap, agar si
anak dapat menyanggupi dan menyenangi pekerjaan itu.
24
2.3.5 Dampak Pola Asuh Permisif Terhadap Pembentukan Karakter
Tanggungjawab Pada Anak
Menurut Hurlock (1993:125) mengemukakan bahwa pola asuh permisif dapat
diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang
membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa
mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat bahkan
bimbingan pun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau pengontrolan
serta tuntuan kepada anak. Berdasar hal tersebut menyebabkan pengaruh terhadap
pembentukan karakter anak khususnya tanggung jawab.
Weniveryanti (2012) menambahkan dampak pola asuh permisif terhadap
pembentukan karakter tanggung jawab pada anak yakni:
a. Anak tidak memahami kewajibannya untuk melakukan sesuatu sepenuh
hati tanpa merasa terpaksa atau terbebani.
b. Anak tidak mengembalikan barang pada tempatnya semula setelah
menggunakannya.
c. Anak tidak mengakui tindakannya ketika berbuat kesalahan.
d. Anak tidak menyelesaikan tugas hingga tuntas.
Perilaku tersebut yang dilakukan oleh anak, dipengaruhi oleh dampak pola
asuh orang tua yang tidak peduli dengan pola pengembangan anak dalam berperilaku
sehari-hari, sehingga menyebabkan anak seenaknya untuk bertindak sesuai dengan
keinginannya sendiri.
25
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dampak dari pola
asuh permisif terhadap pembentukan karakter tanggung jawab pada anak menjadikan
anak tidak melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal ini terjadi
karena anak tidak ada rasa peduli terhadap aturan yang telah ditetapkan.
2.4 Kajian Penelitian Yang Relevan
Peran orang tua merupakan sebuah aspek penunjang dalam pembentukan
karakter anak baik itu dalam diri anak ataupun di luar diri anak. Oleh karena itu
berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendeskripsikan peran orang tua dalam
pola asuh anak. Penelitian-penelitin tersebut antara lain penelitian yang dilakukan
oleh Irawaty Japar dengan judul Peran Serta Orang Tua Terhadap Pembentukan
Karakter Anak Usia Dini Di Desa Sukamakmur Kecamatan Tolangohula. Penelitian
tersebut bertujuan untuk mengetahui peran serta orang tua dalam pembentukan
karakter anak usia dini. Dengan demikian peran serta orang tua merupakan penunjang
dalam membina dan membentuk karakter pada anak.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang dilakukan oleh peneliti-peneliti
sebelumnya tentang peranan guru dalam pembentukan karakter, tetapi terdapat
perbedaan lain yang terletak pada subyek dan fokus penelitian diantaranya pola asuh
permisif dan subyek penelitian ini adalah anak kelompok B di PAUD Cempaka Desa
Tolinggula Ulu Kecamatan Tolinggula Kabupaten Gorontalo Utara. Pemilihan ini
judul penelitian ini didasarkan pada hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa anak
Kelompok B di PAUD Cempaka Desa Tolinggula Ulu Kecamatan Tolinggula