BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk ......10 BAB II KAJIAN TEORITIS 2.1 Katekisasi...
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Katekisasi Sebagai Bentuk Pendidikan Agama Kristen di Gereja
Pendidikan Agama Kristen memiliki tiga setting pelaksanaan, yaitu keluarga,
sekolah dan gereja. Di gereja secara khusus, salah satu pelayanan pendidikan agama
Kristen yang paling tua dan yang ada di hampir seluruh Gereja-Gereja di Indonesia ialah
pelayanan katekisasi. Walaupun demikian, gereja-gereja di Indonesia bahkan mungkin di
seluruh dunia belum mempunyai pendapat yang sama tentang apa itu katekisasi.
Beberapa gereja menganggap katekisasi sama dengan pengajaran agama yang dilakukan
di sekolah-sekolah, sedangkan beberapa gereja menganggapnya lebih dari itu. Katekisasi
dapat dikategorikan sebagai pendidikan agama Kristen sebab tujuannya yang untuk
mengajarkan pengajaran-pengajaran Kristiani kepada para pengikutnya.
2.1.1 Perkembangan Katekisasi
Pengajaran yang dilakukan di gereja-gereja Kristen telah ada sejak lama dan
berasal dari Israel. Dalam Perjanjian Lama (Ul 6:20-25; Mzm 78:1-7; dan lain-lain)
dikatakan bahwa kepada orang tua ditugaskan untuk memberikan pengajaran
tentang “perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” Pengajaran pada saat itu masih
bersifat lisan, di mana orang tua meneruskan kepada anak-anak mereka apa yang
mereka telah dengar. Sekitar permulaan abad pertama mulai diadakan ”sekolah-
sekolah” yang didirikan oleh Jemaat-Jemaat Yahudi, di mana anak-anak kecil
mendapat pengajaran dari guru Torah. Maksud pengajaran ini bukan untuk
memberikan pengetahuan umum kepada anak-anak, tetapi pengetahuan tentang
Torah.16 Jadi, pengajaran yang dilakukan di dalam perjanjian lama awalnya tidak
seperti pengajaran dalam gereja saat ini. Pada saat itu, anak-anak mendapat
16 J. L. Ch. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru (Jakarta: Gunung Mulia, 2010), 1-3.
11
pengajaran bukan sebagai syarat untuk diteguhkan menjadi anggota jemaat dewasa
tetapi untuk mempertahankan dan meneruskan Torah dari satu generasi ke generasi
yang lain.
Banyak istilah yang digunakan untuk pengajaran tersebut. Ada istilah
“Paideuein” yang berararti memberikan bimbingan kepada anak-anak supaya
mereka, dalam dunia orang dewasa dapat menempati tempat mereka.
“Manthanein” yang mengindikasikan suatu proses rohani, di mana orang
mencapai sesuatu bagi dirinya untuk perkembangan kepribadiannya. “Ginoskein”
dimana dalam dunia pemikiran Yunani istilah ini bersifat intelektualistis dan dapat
berarti “mengetahui” sesuatu: mengetahui berdasarkan pengalaman. “Didaskein”
yang sering digunakan untuk pekerjaan menyampaikan pengetahuan dengan
maksud supaya orang yang diajar dapat bertindak dengan terampil. “Katekhein”
yang berarti: memberitakan, memberitahukan, mengajar, memberi pengajaran.
Katekhein memiliki rupa-rupa arti: mengatakan, menjelaskan, memberitakan,
memberitahukan, mengajar. 17 Dari berbagai macam arti tersebut, mengajar adalah
yang paling sering dipakai dan yang kemudian digunakan dalam gereja-gereja di
Indonesia.
Di Yerusalem, pengajaran yang sebenarnya sejak abad keempat dimulai
dengan pengakuan iman di mana pemimpin mengucapkan kata-kata pengakuan
iman yang sampai saat itu belum boleh diketahui dan dipelajari oleh para
ketekumen, diikuti oleh suatu penjelasan. Pada waktu yang telah ditentukan para
calon baptisan harus dapat menghafal kata-kata dari pengakuan iman yang mereka
wajib ucapkan pada waktu mereka dibaptis. Untuk maksud itu, disediakan daftar
tanya jawab. Selain dari pengakuan iman, di beberapa tempat diberitahukan juga
17 Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 5-21.
12
kata-kata dari doa Bapa Kami. Pemberitahuan ini kemudian disusul oleh pelayanan
baptisan. Tetapi, pengajaran baptisan belum berakhir di situ karena sakramen-
sakramen harus dijelaskan terlebih dahulu dahulu. Hal ini dikarenakan Gereja
kuatir jika kesucian sakramen itu akan dinodai. Lamanya pengajaran sesudah
baptisan biasanya satu minggu. Yang diajarkan ialah selain daripada penjelasan
tentang sakramen-sakramen, juga ulangan dari kewajiban-kewajiban yang para
calon baptisan terima sebagai anggota-anggota baru dari gereja.18
Metode pengajaran katekisasi awal mulanya adalah berupa penghafalan dan
metode itu adalah metode umum yang digunakan dalam proses pengajaran. Orang-
orang belum terlalu memedulikan apakah anak-anak dapat memahami dan
menerima pengajaran tersebut. Keberhasilan dari katekisai dilihat dari apakah
anak-anak mampu menghafal dan mengucapkan kembali apa yang telah mereka
hafalkan. Katekisasi pada saat itu masih dilakukan dengan cara yang sangat kaku
sehingga pengajarannya hanya bersifat satu arah. Materi yang diberikan oleh guru-
guru pada saat itu bukan sesuatu yang bisa ditawar tetapi sesuatu yang harus
diterima apabila ingin menjadi bagian dari komunitas agama tersebut.
Dalam akhir abad-abad pertama, katekisasi gereja semakin mendangkal. Hal
ini terutama disebabkan oleh pembaptisan anak-anak yang telah dipraktekkan di
mana-mana pada waktu itu. Oleh praktik ini, pengajaran katekisasi tidak diberikan
lagi kepada anak-anak dari keluarga Kristen. Menurut tradisi yang diikuti pada
waktu itu, katekisasi hanya diuntukkan bagi orang-orang yang berpindah dari
agama kafir ke agama Kristen sebagai persiapan untuk menjadi anggota Gereja.
Karena itu pengajaran katekisasi harus diberikan sebelum baptisan dan sesudah itu
18 Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 31-33.
13
tidak diperlukan lagi. Jikalau ada pengajaran yang diberikan kepada orang-orang
yang telah dibaptis, pengajaran itu tidak dianggap sebagai katekisasi.19
Dalam abad kedelapan dan kesembilan, ketika Berita Injil disampaikan
kepada bangsa-bangsa German, katekisasi Gereja mengalami suatu pembaharuan.
Pada waktu itu dituntut lagi bahwa orang-orang yang mau menerima baptisan,
harus dipersiapkan dahulu dengan baik. Pembaharuan ini dipengaruhi oleh Karel
Agung yang tidak henti-hentinya memperingatkan supaya orang-orang German
jangan ditobatkan dengan kekerasan. Dengan sangat ia meminta kepada Kaisar
supaya mengutus penginjil-penginjil kepada bangsa-bangsa yang telah ditaklukkan
dengan tugas untuk perlahan-lahan mengajar dan mendidik mereka. Ia mengatakan
bahwa baptisan baru boleh dilayani jika orang-orang yang akan dibaptis itu telah
mendapat pengajaran katekisasi.20
Pembaharuan tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Sesudah Eropa
selesai mengalami Kristenisasi, pengajaran Katekisasi merosot lagi seperti dahulu
dan hanya terdiri dari penghafalan pengakuan iman dan doa (Bapa Kami, dan
kemudian Ave Maria), pengenalan akan sakramen-sakramen dan upacara-
upacaranya, dan pengetahuan akan daftar-daftar dosa di samping dasa firman dan
juga ketujuh mazmur pengakuan dosa. Sejalan dengan itu, kemerosotan katekisasi
gereja juga semakin bertambah besar, sehingga akhirnya dalam abad kelimabelas
katekisasi sama sekali tidak berarti lagi. Katekisasi menjadi semacam “kursi
pengadilan” rohani yang dengan keputusan-keputusan dan hukum-hukumnya
mencakup seluruh hidup anggota jemaat. 21
Kemerosotan yang terjadi pada abad sebelumnya berubah di masa reformasi.
Alkitab kembali menjadi pusat dalam teologia dan dalam praktik gereja. Hal ini
19
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 33-34. 20
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 35-36. 21
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 36-37.
14
kemudian membawa perubahan besar di bidang katekisasi, tetapi bukan dalam arti
bahwa bahan-bahan tradisional seperti pengakuan iman, doa, dasafirman dan
sakramen-sakramen dibuang atau diganti dengan bahan-bahan lain. Bahan-bahan
itu terus dipakai tetapi sebagai rangkuman dari ajaran Alkitab. Hal ini bisa dilihat
dalam katekismus-katekismus yang tulis oleh para reformator seperti oleh Luther
(Katekismus Besar dan Katekismus Kecil), Calvin (rangkuman dari Institutio dan
Katekismus dari Geneva), Malanchton (Katekismus dalam bahasa Latin dan dalam
bahasa Jerman), Zwingli (yang menyimpang dari kebiasaan itu dengan tidak
membahas dasa firman dan sakramen-sakramen dalam Katekismusnya), Bullinger
(Katekismus Besar), dan lain-lain.22
Perubahan yang dibawa oleh reformasi berlangsung di tiga bidang. Bidang
pertama yaitu isi katekisasi, di mana katekismus-katekismus yang ditulis pada
waktu itu jika dibandingkan dengan buku-buku katekisasi dari abad-abad
pertengahan jelas terlihat bahwa isi katekismus-katekismus jauh lebih baik. Bidang
yang kedua adalah ruang cakup katekisasi, di mana jika dalam abad-abad
pertengahan katekisasi hanya dibatasi pada orang-orang yang berpindah dari agama
kafir ke agama Kristen, pada waktu reformasi katekisasi diperuntukan bagi semua
orang. Bidang yang ketiga adalah cara mempelajari bahan katekisasi. Jika pada
abad-abad pertengahan katekisasi umumnya terdiri dari menghafal bahan-bahan
katekisasi tanpa mengetahui artinya, pada masa reformasi hal ini berubah. Para
reformator tidak setuju dengan hanya menghafal pertanyaan-pertanyaan dan
jawaban-jawaban dalam katekismus.23
Kebiasaan yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Eropa dalam bidang katekisasi
kemudian dibawa masuk oleh pendeta-pendeta zending ke Indonesia dan dipakai
22
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 38-39. 23
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 39-46.
15
juga dalam Jemaat-Jemaat di sini. Awal katekisasi masuk di Indonesia, ia memiliki
hubungan yang erat dengan pengajaran agama di sekolah. Dalam Sidang Raya
Agung yang diselenggarakan pada tanggal 6 agustus – 2 Oktober 1624 di Betawi
ditetapkan bahwa “anak-anak Belanda dan anak-anak yang bukan Belanda harus
dididik secara Kristen di sekolah-sekolah dan untuk mengajaran agama selanjutnya
anak-anak harus mengunjungi pengajaran katekisasi Gereja”. Pengajaran lanjutan
yang dilakukan di gereja yang diberikan oleh pendeta-pendeta.24
Dalam masa sekarang, katekisasi di Gereja-Gereja berbeda dengan katekisasi
dalam Gereja-gereja pada waktu zending. Perbedaan ini terdapat di berbagai bidang
penting, di antaranya pada bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan
dalam pengajaran katekisasi. Tenaga-tenaga pengajar katekisasi dalam Gereja-
Gereja Indonesia saat ini biasanya merupakan orang-orang yang memperoleh
pendidikan di bidang Pendidikan Agama Kristen (Sarjana PAK). Buku-buku yang
digunakan pun tidak lagi sama dengan yang digunakan pada waktu zending.
Walaupun demikian, masih ada gereja yang tetap menggunakan buku-buku
katekisasi jaman zending seperti katekismus Heidelberg, Katekismus kecil dari
Luther, dan lain-lain.25
Dengan demikian, sejak awal kemunculannya hingga sekarang, ada tiga jenis
katekisasi yang dikenal yaitu katekisasi keluarga, katekisasi sekolah dan katekisasi
gereja atau yang saat ini lebih dikenal dengan katekisasi sidi. Katekisasi keluarga
adalah bentuk purba dari pelayanan katekisasi, di manan pengajaran itu
berlangsung secara lisan dalam keluarga-keluarga Israel. Yang berikutnya adalah
24
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 48-50. 25
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 54-55.
16
katekisasi sekolah, di mana katekisasi ini dimulai sejak jemaat-jemaat Yahudi
mulai mendapat pengajaran dari guru-guru Torah. Pada jaman sekarang, orang
sering mengaitkan katekisasi sekolah dengan pendidikan agama di Sekolah.
Sedangkan yang terakhir, yang akan menjadi pembahasan penulis adalah katekisasi
gereja atau katekisasi sidi.
2.1.2 Katekisasi Sidi
Dalam Gereja-Gereja Kristen saat ini, ada hubungan yang erat antara
baptisan anak dengan katekisasi dan peneguhan sidi. Peneguhan sidi dilaksanakan
sebagai lanjutan dari baptisan anak untuk menyempurnakannya. Baptisan
merupakan tanda dan bukti bahwa anak-anak telah masuk ke dalam persekutuan
dengan Kristus; mereka sudah menjadi anggota dari tubuh Kristus. Di dalam
katekisasi sidi ini, pesertanya merupakan orang-orang muda jemaat yang berada
dalam fase perkembangan yang paling penting, di mana dalam usia ini mereka
mudah dipengaruhi sehingga kesan-kesan yang diterima oleh mereka pada masa ini
turut menentukan sikap hidup mereka di kemudian hari.26 Katekisasi yang diakhiri
dengan peneguhan sidi seringkali dianggap sebagai penyempurnaan atau lanjutan
dari baptisan. Ketika dibaptis, anak-anak yang masih sangat kecil belum mampu
untuk mempertanggung jawabkan iman mereka. Ketika diteguhkan menjadi
anggota sidi, anak-anak tersebut dianggap sudah mampu untuk mempertanggung
jawabkan pengakuan iman mereka di hadapan Tuhan dan Jemaat.
Katekisasi adalah pelayanan Gereja, di mana bukan saja dalam arti bahwa
Gereja yang menyelenggarakannya tetapi juga bahwa Gereja yang bertanggung
jawab atas perencanaan dan pelaksanaannya. Tujuan katekisasi ialah bukan
pertama-tama supaya anak-anak diteguhkan menjadi anggota sidi dan dengan itu
26
E.G. Homrighausen, I.H. Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1984), 124-125.
17
menjadi anggota penuh dari Gereja. Tujuan katekisasi sesungguhnya ialah supaya
anak-anak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka
dan dengan itu mendapat persekutuan dengan Dia. Selain itu katekisasi juga
bertujuan untuk membina anggota jemaat untuk menyadari tugas mereka di dalam
Gereja dan kemudian mempertanggujawabkan iman mereka di dalam dunia.27
Katekisasi adalah pelayanan jemaat sehingga yang pertama-tama
bertanggungjawab atas pelayanan ini adalah Majelis Jemaat. Yang memiliki
kerlibatan langsung dalam pelayanan katekisasi adalah pemimpin-pemimpin
katekisasi, di mana mereka adalah orang-orang yang setiap minggu memimpin
pelayanan itu. Biasanya pemimpin-pemimpin katekisasi adalah pendeta-pendeta
Jemaat. Menurut Abineno, hal ini tidak selalu menguntungkan karena sebagai
pendeta Jemaat mereka sangat sibuk dalam pekerjaan mereka. Selain itu, sebagai
pendeta, mereka umumnya cukup mempunyai pengetahuan teologis. Tetapi untuk
pelayanan katekisasi mereka membutuhkan lebih banyak daripada hanya
pengetahuan teologis saja. Mereka membutuhkan juga pengetahuan-pengetahuan
lain seperti dalam bidang paedagogis, didaktik, psikologis dan lain-lain. Justru
dalam bidang-bidang ini lah mereka seringkali tidak mempunyai cukup
pengetahuan. Selain pendeta, banyak gereja juga menggunakan tenaga dari jurusan
PAK.28
Tugas dari pemimpin katekisasi menurut Abineno adalah: (1) menyusun
rencana katekisasi tahunan yang ditugaskan oleh Majelis Jemaat kepadanya.
Rencana katekisasi ini dapat memuat banyak hal: bukan saja bahan-bahan
pengajaran untuk satu tahun, tetapi juga buku-buku katekisasi yang digunakan,
metode atau cara yang dipakai, waktu yang dibutuhkan, tujuan yang mau dicapai
27
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 99-100. 28
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 104-105.
18
dan lain-lain.29 Unsur-unsur yang terkandung dalam rencana katekisasi yang
dimaksud oleh Abineno dapat dikategorikan sebagai kurikulum katekisasi. Di
beberapa sinode, penyusunan kurikulum menjadi tugas dan tanggung jawab sinode
tetapi setiap gereja berhak untuk menyusun kurikulum sendiri menyesuaikan
keadaan jemaatnya. (2) mempersiapkan katekisasi (bahan yang mau diajarkan
dengan pengikut-pengikutnya) dengan baik. (3) menilai atau mengevaluasi setiap
mengajaran yang diberikan. (4) mengadakan percakapan dengan pengikut-pengikut
katekisasi, khususnya tentang hal-hal yang tidak dapat mereka cerna atau sulit
pahami. (5) mengadakan pertemuan dengan para orang tua dan Majelis Jemaat
untuk membicarakan tugas mereka bersama. (6) mengadakan kunjungan ke rumah
para orang tua untuk membicarakan keadaan anak-anak mereka yang sedang
mengikuti katekisasi.30
Sebagian besar gereja-gereja di Indonesia memberi batas usia minimal bagi
katekumen ialah mulai dari usia 16 tahun hingga dewasa. Menurut Fowler, Ketika
berada dalam usia remaja, seseorang berada dalam tahap kepercayaan sintetis-
konvensional.31
Dalam tahap ini terjadi perombakan baru dalam struktur pengertian
remaja. Muncul berbagai macam kemampuan kognitif yang membuat remaja
terpaksa meninjau kembali pandangan hidupnya. Dalam konteks baru tersebut
remaja dapat menyusun gambaran diri yang baru pula. Gambaran ini dibangun
dalam ketergantungannya pada orang-orang lain yang berarti baginya. Banyaknya
pribadi lain yang memengaruhi penyusunan gambar diri ini terkadang bertentangan
satu sama lain. Hal ini yang kemudian memunculkan pertanyaan dalam diri remaja
29
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106. 30
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 106-18. 31
Fowler membagi tahap perkembangan kepercayaan manusia ke dalam 7 tahapan. Tahapan-tahapan ini dibagi berdasarkan batas-batas usia tertentu. Ketujuh tahapan kepercayaan tersebut adalah: Tahap kepercayaan awal dan Elementer (0-2 tahun), tahap intuitif-proyektif (2-6 tahun), tahap mistis-harfiah (6-11 tahun), tahap sintetis-konvensional (12 sampai dewasa), tahap individuatif-reflektif (18 tahun dan seterusnya), tahap konjungtif (30-40 tahun) dan yang terakhir tahap kepercayaan yang mengacu pada universalitas. Lihat Agus Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, (Jogjakarta: Kanisius, 1995), 95-218.
19
tentang siapakah dia? Gambaran diri yang manakah yang sesuai dengan dirinya
yang sebenarnya? dan pertanyaan mengenai jati diri mulai menghantui pikiran
mereka.32
Selain itu, dalam usia remaja memiliki kondisi dan kebutuhan yang
berbeda dari orang dewasa, antara lain:33
1. Masa remaja adalah masa transisi: mada masa ini anak berada dalam masa
pubertas di mana ia m engalami perubahan, baik secara fisik maupun psikis.
Selama masa ini terjadi banyak gejolak dalam berbagai bentuk. Pada masa ini,
seorang anak mencoba meninggalkan hal-hal yang kekanak-kanakan dalam
usahanya untuk menjadi seseprang dengan identitas yang unik.
2. Masa remaja adalah masa bertanya: pada masa ini umumnya remaja mulai
mempertanyakan banyak hal yang sudah diajarkan kepada mereka. Banyak
mitos masa kanak-kanak yang diragukan pada waktu mereka menemukan
cara-cara baru dalam memandang realitas. Mereka tidak lagi percaya pada apa
yang dikatakan atau diajarkan hingga mereka mendapatkan kepastian bahwa
nilai-nilai serta kepercayaan tadi mempunyai validitas bagi kehidupan mereka
yang mulai memasuki kedewasaan.
3. Masa remaja adalah masa keterbukaan: Bagi kebanyakan remaja, usaha
mencari/mendapatkan identitas baru merupakan suatu proses yang penuh
dengan coba-coba, yang menyebabkan karakteristik mereka sukar ditebak.
Mereka akan menerima suatu hal pada suatu kesempatan, tetapi pada
kesempatan lain mereka menolaknya sama sekali.
4. Masa remaja adalah masa mengambil keputusan: remaja sering membuat
sejumlah keputusan dan komitmen. Beberapa diantaranya mungkin bertahan
lama. Namun, apabila keputusan mereka akan menjadi sesuatu yang berarti,
32
Cremers, Tahap-Tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, 134-135. 33
Daniel Nuhamara, PAK Remaja (Bandung: Jurnal Info Media, 2008), 10-14.
20
keputusan tersebut haruslah merupakan akibat dari proses pemahaman dan
pengujiannya sendiri. Mereka membuat sejumlah besar keputusan yang tidak
dewasa, namun dengan melakukan hal itu mereka merasa puas atau memenuhi
diri sendiri. Upaya mereka untuk mencari kebebasan menyebabkan mereka
membuat sebanyak mungkin keputusan yang dapat membimbing kehidupan
mereka.
Menurut Abineno, ada banyak perbedaan yang dapat dijumpai dalam diri
mereka, di antaranya: (1) perbedaan motivasi: yang seorang datang mengikuti
katekisasi karena diharuskan oleh orang tuanya, yang lain datang karena
kemauannya. (2) perbedaan umur: dalam katekisasi sidi biasanya terdapat anak-
anak muda yang berumur tujuh belas tahun keatas. (3) perbedaan pendidikan:
perbedaan ini biasanya lebih menonjol. Dalam katekisasi sidi terdapat anak-anak
muda yang hanya berpendidikan rendah, ada pula yang menengah maupun yang
tinggi. (3) perbedaan maksud dan tujuan: ada yang datang mengikuti katekisasi
karena ia mau memperdalam pengetahuannya tentang “soal-soal rohani”, dan ada
pula yang datang karena ia mau mengetahui lebih banyak tentang agama Kristen.34
Perkembangan remaja dan perbedaan-perbedaan dalam diri remaja ini tentu saja
memengaruhi proses pengajaran katekisasi, sehingga para pengajar dituntut untuk
mampu menyesuaikan bentuk pengajarannya agar dapat diterima oleh semua
kelompok usia, pendidikan maupun perbedaan latar belakang lainnya.
2.2 Kurikulum Pendidikan Agama Kristen
Berbicara mengenai pendidikan, hal ini tidak terlepas dari apa yang disebut
dengan kurikulum. Pengertian kurikulum sendiri di antara para ahli tidak pernah sama.
Mereka memiliki pandangan dan pengertian yang berbeda-beda mengenai kurikulum.
34
Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi, 110-111.
21
Beberapa ahli mengartikannya secara sempit (terbatas pada rancangan/daftar materi
pelajaran) dan ada pula yang mengartikannya secara luas (mencakup seluruh proses
pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas). Salah satu definisi kurikulum yang
Peneliti gunakan dalam penulisan ini adalah definisi kurikulum oleh Hilda Taba seperti
yang dikutip dalam Rakhmat Hidayat. Ia memilih untuk mendefinisikan kurikulum
dengan mengambil jalan tengah, yaitu tidak secara sempit dan tidak pula terlampau luas.
Taba mengatakan bahwa kurikulum adalah pernyataan tentang tujuan-tujuan pendidikan
yang bersifat umum dan khusus, dan materinya dipilih dan diorgnanisasikan berdasarkan
suatu pola tertentu untuk kepentingan proses belajar-mengajar. Biasanya dalam suatu
kurikulum sudah termasuk dengan program penilaian hasilnya.35 Taba seperti yang
dikutip dalam Nasution juga menambahkan bahwa pada hakikatnya tiap kurikulum
merupakan suatu cara untuk mempersiapkan anak agar berpartisipasi sebagai anggota
yang produktif dalam masyarakatnya.36
Pengertian Kurikulum lainnya, menurut UU. No. 20 Tahun 2003 adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta
cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional.37
Dalam menyikapi perbedaan definisi ini, harus
disadari bahwa kurikulum merupakan pilihan, di mana hal ini bergantung pada pendirian
atau sikap seseorang tentang pendidikan. Pada umumnya dapat dibedakan dua pendirian
utama, yakni yang tradisional dan yang progresif. Kurikulum tradisional sifatnya ingin
mengawetkan yang lama. Hal ini tidak selamanya buruk dan merugikan jika yang
diawetkan adalah hal-hal yang baik seperti nilai-nilai, dan sebagainya. Namun dalam
masa perubahan yang serba dinamis ini menutup mata bagi perubahan akan merugikan
35
Rakhmat Hidayat, Pengantar sosiologi kurikulum (Jakarta: Rajawali pers, 2011), 9 36
S. Nasution, Asas-asas kurikulum (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), 7 37
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, BAB I: Pasal 1.
22
diri sendiri. Sebaliknya kurikulum progresif juga tidak dengan sendirinya baik dan luput
dari berbagai kekurangan. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi.38
Di dalam Pendidikan Agama Kristen secara khusus, terciptanya keputusan-keputusan
secara langsung dapat memengaruhi praktek pendidikan secara aktual. Keputusan-
keputusan ini secara khusus berkaitan dalam perencanaan, implementasi dan evaluasi
sebuah kurikulum. Para pendidik Kristen bisa mengeksplorasi hal-hal mendasar dari
kurikulum degan berfokus pada realitas yang konkrit dan kepedulian untuk
mengembangkan panduan praktis bagi pengajaran.39
Pengambilan keputusan mengenai
kurikulum bersifat krusial karena melalui kurikulum, nilai-nilai pendidikan dan
komitmen mengambil bentuknya dan secara nyata diwujudkan dalam praktek
pendidikan. Kurikulum adalah saranan atau medium yang melaluinya visi pendidikan
mampu berakar.40
Ketika mengambil keputusan untuk menggunakan kurikulum yang sudah ada, ada
beberapa area penting yang harus dieksplorasi. Pertama, apakah teologi yang digunakan
penyusun kurikulum sesuai dengan teologi yang dianut gereja? apakah konsep teologi
yang ada dalam kurikulum tersebut sesuai bagi peserta didik dari berbagai tingkat usia
dan komprehensif dalam penyampaiannya? Kedua, apakah kurikulum tersebut
menyatakan Alkitab sebagai otoritas tertinggi yang dijunjung oleh gereja atau komunitas
yang dilayani? Apakah aktivitas pembelajaran bervariasi dan relevan dengan situasi
hidup mereka? Apakah peserta didi secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dan
ditantang untuk menjawab pertanyaan tentang iman Kristen yang tepat? Apakah rencan
pembelajaran memberikan kesempatan untuk mengadaptasi materi supaya bisa
disesuaikan dengan batasan waktu, sumber daya yang tersedia, ukuran kelas, dan
berbagai kemampuan peserta didi yang berbeda? Apakah materi yang disampaikan
38
Nasution, Asas- asas kurikulum, 15. 39
Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 321. 40
Pazmino, Fondasi pendidikan kristen, 325.
23
sesuai dengan kebutuhan dan ketertarikan dan fokus dari peserta didik? Dan yang
terakhir apakah tampilan, warnha dan kualitas materi yang disampaikan menarik dan
membuat orang memperhatikannya?41
2.2.1 Konsep Kurikulum
Keberadaan kurikulum dalam suatu proses pendidikan dapat membantu
dalam mengarahkan proses pendidikan menuju pada tujuan yang ingin dicapai.
Selain memiliki beberapa definisi, kurikulum juga memiliki beberapa konsep,
antara lain:42
1. Kurikulum ideal (ideal curriculum), yaitu kurikulum yang berisi sesuatu yang
baik, yang diharapkan atau dicita-citakan, sebagaimana dimuat dalam buku
kurikulum.
2. Kurikulum nyata (real curriculum), yaitu kegiatan-kegiatan nyata yang
dilakakukan dalam proses pembelajaran atau yang menjadi kenyataan dari
kurikulum yang direncanakan, sebagaimana dimuat dalam buku kurikulum.
Kurikulum ini seyogianya sama dengan kurikulum ideal, atau sekurang-
kurangnya mendekati kurikulum ideal, meskipun tak mungkin sama dalam
kenyataannya.
3. Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum), yaitu kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan oleh pengajar baik disengaja maupun tidak yang dapat memberikan
dampak dalam proses pendidikan.
4. Kurikulum dan pembelajaran, yaitu kurikulum bukan sekedar apa yang
dirancangkan di awal, tetapi mencakup apa yang dilaksanakan di lapangan
(termasuk metode pengajaran yang digunakan, tenaga pengajar, peserta didik
hingga tujuan yang ingin dicapai).
41 Pazmino, Fondasi pendidikan kristen,328-329 42
Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum (Bandung: Rosda, 2012), 7-8.
24
2.2.2 Komponen Kurikulum
Ralph W. Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and
Instruction (1949) mengajukan 4 pertanyaan pokok, yakni:43
1) Tujuan apa yang harus dicapai dalam proses pendidikan?
2) Bagaimanakah memilih bahan pengajaran guna mencapai tujuan itu?
3) Bagaimana bahan disajikan agar efektif diajarkan?
4) Bagaimana efektivitas belajar dapat dinilai?
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka diperoleh keempat
komponen kurikulum yakni, (1) tujuan, (2) bahan pelajaran, (3) proses belajar-
mengajar, (4) evaluasi atau penilaian.44
1) Komponen Tujuan
Komponen kurikulum mempunyai peranan yang sangat penting dan
strategis, karena akan mengarahkan dan memengaruhi komponen-komponen
kurikulum lainnya. Setiap rumusan tujuan pendidikan harus bersifat
komprehensif, yaitu mengandung bidang pengetahuan, keterampilan, sikap
dan nilai. Dalam penyusunan kurikulum, perumusan tujuan ditetapkan terlebih
dahulu sebelum menetapkan komponen yang lain.
2) Komponen Isi/ Materi
Isi/materi kurikulum pada hakikatnya adalah semua kegiatan dan
pengalaman yang dikembangkan dan disusun dalam rangka mencapai tujuan
pendidikan. pemilihan isi kurikulum dapat mempertimbangkan kriteria sebagai
berikut: (a) sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, (b) sesuai dengan tingkat
perkembangan peserta didik, (c) bermanfaat bagi peserta didik, masyarakat,
dunia kerja, bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun masa yang
43
Nasution, Asas- asas kurikulum, 17. 44
Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, 82-94.
25
akan datang, dan (d) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3) Komponen Proses
Proses pelaksanaan kurikulum harus menunjukkan adanya kegiatan
pembelajaran, yaitu upaya guru untuk membelajarkan peserta didik, baik di
sekolah melalui kegiatan tatap muka, maupun di luar sekolah melalui kegiatan
terstruktur dan mandiri. Dalam konteks ini, guru di dituntut untuk
menggunakan berbagai strategi pembelajaran, metode mengajar, media
pembelajaran, dan sumber-sumber belajar. Pemilihan strategi pembelajaran
harus disesuaikan dengan tujuan kurikulum.
4) Komponen Evaluasi
Evaluasi kurikulum merupakan usaha yang sulit dan kompleks, karena
banyak aspek yang harus dievaluasi, banyak orang yang terlibat, dan luasnya
kurikulum yang harus diperhatikan. Ada beberapa model evaluasi kurikulum,
antara lain model measurement (Thorndike dan Ebel), model congruence
(Ralph W. Tyler), model CIPP (Daniel L. Stufflebeam), model illuminative
(Malcolm Parlett), dan model formative dan sumative (Scriven).
Keempat komponen tersebut saling berhubungan. Komponen Tujuan
menentukan materi apa yang akan dipelajari, bagaimana proses belajarnya, apa
atau bagaimana harus dinilai. Demikian pula penilaian dapat memengaruhi
komponen lainnya. Misalnya saja, pada saat pendidik memilih evaluasi dalam
bentuk ujian, maka timbul kecenderungan untuk menjadikan bahan ujian sebagai
tujuan kurikulum. Evaluasi seperti ini yang menyebabkan proses belajar mengajar
cenderung mengutamakan latihan dan hafalan.
26
Dalam menyusun keempat komponen kurikulum tersebut, pengajar
terlebih dahulu melakukan Need Assesment. Need Assesment sendiri merupakan
proses dimana pengajar melihat kebutuhan dari peserta didik dan memutuskan apa
prioritas mereka atau apa yang hendak dicapai dalam proses pendidikan tersebut.45
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Asas kurikulum, Need Assesment dan
komponen kurikulum memiliki kaitan yang erat satu dengan yang lain, di mana
dalam penyusunan komponen kurikulum, dibutuhkan need assesment yang
didasarkan pada asas-asas kurikulum.
2.3 Latar Belakang Munculnya Pedagogi Pembebasan Paulo Freire
Kata Pedagogi berasal dari bahasa Yunani paidaegoge. Secara harafiah pedagogi
berarti “memimpin anak”. Dalam bahasa Yunani Kuno, umumnya kata pedagogi
bermakna seorang budak yang mengawasi pengajaran putra majikannya. Ketika itu, anak
perempuan tidak umum diberikan pengajaran khusus. Kata pedagogi ini diturunkan dari
bahasa Latin yang bermakna: mengajari anak. Dalam makna modern, istilah pedagogy
dalam bahasa Inggris merujuk kepada seluruh konteks dan sumber daya operasi
pengajaran dan pembelajaran yang secara nyata terlibat di dalamnya. Pedagogy dalam
bahasa Inggris merujuk kepada teori pengajaran, dimana guru berusaha memahami
bahan ajar, mengenali siswa, dan menentukan cara mengajarnya.46 Walaupun secara
harafiah pengertian pedagogi dalam bahasa Yunani Kuno dan dalam bahasa Inggris
memiliki perbedaan, tetapi keduanya sama-sama berkaitan dengan pendidikan dan
pengajaran.
Pedagogi Pembebasan muncul sebagai reaksi atas keprihatinan Freire terhadap
kondisi masyarakat Brasil pada masa penjajahan. Pada masa itu, Brasil berada di bawah
45
John D. McNeil, Contemporary Curriculum: In thought and Action (Los Angels: University of California, 2014), 91-92.
46 Sudarwan Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi (Bandung: Alfabeta. 2010), 47-48.
27
kekuasaan Portugal. Salah satu ciri yang menonjol dari masyarakat Brasil pada saat itu
adalah tidak adanya pengalaman demokrasi. Hampir semua penganalisis sejarah dan
kebudayaan Brasil mencatat tentang tidak adanya prasyarat-prasyarat bagi
berkembangnya tindakan partisipasi, yang memungkinkan terbentuknya masyarakat
“dengan tangan sendiri”. Brasil berkembang dalam kondisi-kondisi yang menghalangi
bertambahnya pengalaman demokrasi, kondisi kepala tertunduk, ketakutan terhadap
mahkota, tiadanya pers, tanpa hubungan luar negeri, tanpa sekolah, dan tanpa memiliki
suara sendiri. 47
Kolonialisasi yang terjadi sangat keji dan didasari oleh eksploitasi ekonomi aras
pemilikan tanah yang luas dan tenaga budak. Kolonisasi semacam ini tidak dapat
menciptakan kondisi-kondisi yang layak untuk berkembangnya mentalitas yang dapat
ditembus dan fleksibel, yang menjadi ciri kebudayaan demokratis. Sejak semula,
kolonisasi di Brasil hanya mementingkan usaha komersial. Portugal tidak berniat
menciptakan peradaban di tanah jajahan yang baru, ia hanya berusaha untuk memperoleh
keuntungan.48
Kolonisasi di Brasil juga berkembang atas dasar pemilikan tanah yang luas dalam
bentuk perkebunan dan pabrik gula. Areal tanah yang sangat luas ini diberikan kepada
pribadi-pribadi, yang kemudian menguasai baik tanah maupun orang-orang yang hidup
dan bekerja atas tanah itu. Karena pemilikan tanah yang luas dan terpisah-pisah ini,
penduduk tidak punya pilihan lain selain menjadi anak buah dari para tuan tanah yang
berkuasa. Pada akhirnya, perkebunan yang sangat luas, langkanya penduduk karena
negara induk menghambat usaha pemukiman, semangat dagang para perantai,
mengakibatkan terciptanya lembaga perbudakan. Kenyataan ini menciptakan serangkaian
47
Paulo Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan. Terj. Alois A. Nugroho (Jakarta: Gramedia. 1984), 21. 48
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22.
28
hambatan dalam pembentukan mentalitas demokrasi, dan pembentukan kesadaran yang
terbuka.49
Pada masa penjajahan, Portugal memperlakukan Brasil menjadi hampir terisolasi
total. Pembatasan-pembatasan drastis dikenakan tidak hanya untuk hubungan-hubungan
luar negeri, tetapi juga untuk hubungan-hubungan antar daerah sendiri. Selain itu, di
Brasil hampir tidak terdapat cita-cita demokrasi. Yang ada ialah kepatuhan yang telah
diciptakan oleh metropolit Portugal. Mereka yang memerintah sesudah masa
kemerdekaan hanya menirukan cara penjajah pemerintah. Selain itu, kabinet dan senat
kolonial memberikan kesempatan untuk pengalaman demokrasi, tetapi rakyat tidak dapat
berpartisipasi dalam lembaga-lembaga ini. kelas yang mempunyai hak-hak istimewa
yang dapat memerintah dewan kota, yang namanya tercantum dalam buku orang-orang
terhormat. Mereka merupakan wakil-wakil dari para bangsawan gula, para tuan tanah,
para nigrat, dan juga para orang kaya baru yakni mereka yang telah berhasil dalam
perdagangan dan diangkat menjadi bangsawan. Orang-orang biasa tidak diikutsertakan
dalam proses pemilihan dan tidak diperbolehkan menentukan nasib masyarakatnya
sendiri.50
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa munculnya pedagogi pembebasan
terjadi ketika Brasil berada dalam masa kolonisasi. Di mana hal ini membuat masyarakat
biasa tidak mendapat hak untuk menentukan pilihan. Pada masa ini, tidak ada demokrasi
sehingga keputusan-keputusan yang diambil merupakan wewenang dari kaum-kaum
penguasa. Masyarakat biasa menerima nasib mereka yang ditentukan oleh penguasa dan
mereka menjadi budak di negara sendiri. Kaum-kaum elit menjalankan pemerintahan
dengan kepentingan pribadi guna memperoleh keuntungan.
2.3.1 Awal Kemunculan Pedagogi Pembebasan Paulo Freire
49
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 22 – 23. 50
Freire, Pendidikan sebagai praktik pembebasan, 25-26.
29
Paulo Freire lahir dan dibesarkan dalam kalangan kelas menengah Brasil.
Sekalipun latar belakang yang ia miliki menjaminnya untuk hidup terjamin, tetapi
Freire mengalami langsung kemiskinan dan kelaparan pada masa Depresi Besar
1929. Pengalaman ini yang kemudian membentuk keprihatinannya terhadap kaum
miskin dan ikut membangun dunia pendidikannya yang menembus batas-batas
yang ada. Seperti simbol kelas menengah yang lain, keluarga Freire juga selalu
mengenakan dasi dan memiliki piano buatan Jerman di rumah mereka,
menunjukkan warisan keluarga kelas menengah mereka tapi berdiri berbeda
dengan kondisi sebenarnya mereka yang sebenarnya berada dalam kemiskinan.
Merefleksikan situasi mereka, Freire mencatat, “Kami berbagi rasa lapar tapi tidak
kelas”. Pengalaman hidup dan keprihatinan ini yang melatarbelakangi penolakan
radikal Freire terhadap masyarakat berbasis kelas.51
Adanya pembagian kelas di
Brasil membuat hak-hak dari masyarakat biasa menjadi hilang. Mereka menjadi
masyarakat yang tunduk dan patuh pada kekuasaan yang ada. Hak untuk memilih,
menentukan, merasakan pendidikan, mendapatkan hidup layak hanya menjadi
milik dari kaum bangsawan, tuan tanah dan masyarakat ekonomi menengah keatas
lainnya.
Pedagogi Pembebesan yang diperkenalkan oleh Freire muncul sebagai reaksi
atas situasi Brasil yang mulai bergejolak sehingga menimbulkan banyak gerakan
reformasi di awal tahun 1960an. Dari 34,5 juta penduduk, hanya 15,5 juta orang
yang dapat berpartisipasi dalam memberikan suara. Hal ini dikarenakan banyak
masyarakat pedesaan yang miskin dan buta aksara. Harapan akan perubahan ini
yang membawa Freire menjadi kepala Cultural Extention Service yang pertama di
Universitas Recife, yang membawa program melek hurufnya yang terkenal sebagai
51
Paulo Freire, Pedagogy Of The Oppressed. Terj. Myra Bergman Ramos (New York: Continuum. 2000), 13.
30
metode Freire kepada petani di Timur Laut. Mulai Juni 1963 sampai maret 1964,
Tim Freire bekerja di seluruh negeri. Mereka menyatakan diri berhasil dalam
menarik minat orang dewasa yang buta huruf untuk belajar membaca dan menulis
hanya dalam waktu 45 hari.52
Metode yang diperkenalkan Freire ini menjadi sangat berhasil karena proses
penyadaran yang digunakan Freire untuk menggambarkan pendidikan yang otentik.
Kepasifan dan fatalisme para petani dengan segera menyusut saat kemampuan baca
tulis dapat diraih dan dihargai. Namun karena metode ini dianggap mempolitisir
dan sangat radikal di mata militer Brasil dan para pemilik tanah, Freire dimasukkan
ke dalam penjara selama 70 hari. Di dalam penjara inilah Freire mulai menuliskan
karya kependidikannya yang pertama Educacao como Practicia da Liberdade
(Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan) yang berisi analisis atas kegagalannya
memengaruhi perubahan di Brasil harus diselesaikan di Chili, tempat ia dibuang.53
Kritik dari Freire menyajikan suatu pandangan filosofis tentang kemungkinan
dari para lelaki dan perempuan untuk mentransformasikan sejarah dan menjadi
subjek-subjek melalui suatu refleksi yang kritis. Freire beranggapan bahwa mereka
dapat menemukan diri mereka sendiri. Setiap orang datang untuk melihat dunia
bukan sebagai realitas statis tetapi sebagai realitas dalam proses transformasi.
Freire membandingkan kemungkinan ontologis setiap orang untuk menjadi subjek
dengan suatu masyarakat tertutup yang terjajah, di mana kekuasaan dijalankan oleh
mereka yang mengeksploitasi Brasil hanya untuk dikembalikan kepada portugal.
Kritik ini membawa Freire pada upaya untuk membebaskan masyarakat biasa dari
penindasan yang tidak hanya terjadi dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya
tetapi juga dalam bidang pendidikan.
52 Denis Collin, Paulo Freire: kehidupan, karya dan pemikirannya (Jogjakarta: Pustaka Pelajar. 1999), 9-11. 53
Collin, Paulo Freire: kehidupan..., 11-14.
31
Melalui refleksi dan analisisnya, Freire menemukan bahwa pendidikan
haruslah berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri
yang bersifat objektif dan subjektif dalam arti kesadaran subjektif dan kemampuan
objektif adalah suatu fungsi dialektis yang konstan dalam diri manusia dalam
hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya.
Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur dalam hubungan
dialektisnya yang konstan yaitu pengajar dan pelajar sebagai subjek yang sadar dan
realitas dunia sebagai objek yang tersadari atau disadari.54
Dengan proses semacam
inilah, Freire mengharapkan agar masyarakat tidak lagi menerima keadaan mereka
sebagai sebuah nasib yang harus diterima dan tidak dapat diperbaiki. Ia mencoba
mengajak masyarakat biasa untuk melihat realita yang ada melalui sudut pandang
dan refleksi kritis mereka sendiri.
Sistem pendidikan seharusnya menjadi kekuatan penyadar dan pembebas umat
manusia. Sistem pendidikan yang mapan selama ini telah menjadikan anak didik
sebagai manusia-manusia terasing dan terpisah dari realitas dirinya sendiri dan
realitas dunia sekitarnya, karena ia telah mendidik mereka menjadi seperti orang
lain, bukan menjadi dirinya sendiri. Pola pendidikan seperti itu paling jauh hanya
akan mampu merubah “penafsiran” seseorang terhadap situasi yang dihadapinya,
namun tidak akan mampu merubah “realitas” dirinya sendiri. Manusia menjadi
penonton dan peniru, bukan pencipta. Akhirnya Freire sampai pada formulasi
filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakan sebagai “pendidikan kaum
tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama
dengan, dan bukan diperuntukkan bagi kaum tertindas. Untuk itu, Freire kemudian
menciptakan suatu sistem pendidikan pembaharuan di mana bagi Freire,
54 Freire, Politik pendidikan, ix-x.
32
pendidikan ditujukan untuk pembebasan dan bukan untuk penguasaan. Pendidikan
harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial budaya.55
Sambil menjalani hidup bersama dengan penduduk tani Brasil, Freire
melakukan redefinisi dan melihat konsep pemberantasan buta huruf dari kacamata
politik, Freire mengembangkan analisa kritis yang sama di mana dia menegaskan
bahwa bentuk pendidikan tradisional pada dasarnya berfungsi untuk
menyingkirkan kaum tertindas. Lebih dari itu, dia juga mengeksplorasi secara
mendalam karakteristik budaya yang mendominasi, dan melakukan analisa secara
sistematis bagaimana budaya tersebut hidup dengan adanya praktik-praktik sosial
dan buku-buku tertentu yang bertujuan menciptakan dan menjaga keberlangsungan
budaya bisu masyarakat Brasil.56
Meskipun Freire tidak menggunakan istilah kurikulum maupun hidden
curriculum dalam wacananya, tetapi ia menggunakan pendekatan pedagogis
sehingga peserta didik dapat mengetahui bahwa pendidikan dengan materi
pelajaranya mengandung muatan ideologis yang bentuk, isi dan pengurangan
materi pelajaran yang dilakukan secara selektif membutakan orang akan adanya
logika dominasi dan tertindas. Kemudian Freire menjelaskan hubungan antara
seleksi, diskusi dan evaluasi materi pelajaran di sekolah dengan proses pedagogis
yang melengkapi fenomena pendidikan saat ini. Dalam pandangannya, tidak
mungkin memisahkan antara satu dengan yang lainnya, karena penyelenggaraan
pendidikan pasti berkaitan erat dengan pengetahuan dan gerakan sosial yang
radikal.57
2.3.2 Kritik Terhadap Model Pendidikan Gaya Bank Yang Menindas
55
Freire, Politik pendidikan, xii - xiii. 56 Freire, Politik pendidikan, 10-11. 57 Freire, Politik pendidikan, 11.
33
Sekalipun Brasil telah terlepas dari penjajahan Portugal, sistem
pemerintahan yang berlangsung pada masa itu masih banyak dipengaruhi oleh
sistem kolonialisme Portugal. Sistem ini membuat para penguasa menjadi subjek-
subjek aktif yang berhak mengatur dan menentukan, sedangkan masyarakat biasa
menjadi sekedar objek-objek yang wajib menerima pandangan dan keputusan dari
pengusa. Hal ini juga terjadi dalam sistem pendidikan yang ada dan berlangsung
pada saat itu. Freire melihat bahwa pada masa itu, model pendidikan yang
berlangsung masih bersifat naratif dengan ciri utamanya adalah guru sebagai
subyek bercerita dan murid-murid sebagai obyek yang patuh dan mendengarkan.
Isi pelajaran yang diceritakan, baik yang menyangkut nilai-nilai maupun segi-segi
empiris dari realitas, dalam proses cerita cenderung menjadi kaku dan tidak hidup.
Guru menceritakan sebuah topik yang asing bagi pengalaman eksistensial para
murid. Tugasnya dalah “mengisi” para murid dengan segala bahan yang dituturkan,
bahan-bahan yang lepas dari realitas, terpisah dari totalitas yang melahirkan dan
dapat memberinya arti. Murid mencatat, menghafal dan mengulangi apa yang
diceritakan oleh guru tanpa memahami apa arti sesungguhnya.58
Freire melihat bahwa sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan selama
ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) di
mana pelajar diberi ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil
dengan lipat ganda. Jadi, anak didik adalah obyek investasi dan sumber deposito
potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditas ekonomis lainnya yang lazim
dikenal. Depositor atau investornya adalah para guru yang mewakili lembaga-
lembaga kemasyarakatan yang mapan dan berkuasa, sementara depositornya
adalah berupa ilmu pengetahuan yang diajarkan kepada anak didik. Anak didik pun
58
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52.
34
lantas diperlakukan sebagai “bejana kosong” yang akan diisi, sebagai sarana
tabungan atau penanaman “modal ilmu pengetahuan” yang akan dipetik hasilnya
kelak.59
Jadi guru adalah subyek aktif, sedangkan anak didik adalah obyek pasif
yang penurut. Pendidikan akhirnya bersifat negatif di mana guru memberi
informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihafalkan.
Pembicaraan guru tentang suatu realitas itu seolah-olah bergerak, statis,
terkotak dan dapat diprediksi. Substansi yang disampaikan guru bagaikan alur
cerita sinetron yang mudah dibaca dan membosankan. Seandainyapun guru
berusaha memperluas sesuatu yang sepenuhnya asing bagi pengalaman eksistensial
murid, hal itu tetap kurang menyentuh realitas. Tugas guru seakan-akan hanya
untuk “mengisi” murid dengan isi narasi versi guru yang terlepas dari realitas,
terputus dari totalitas pemaknaan yang sesungguhnya dikehendaki atau bermanfaat
bagi murid. Apa yang guru ajarkan hanya kisaran format: lima kali lima adalah dua
puluh lima; Ibukota Indonesia adalah Jakarta dan sebagainya. Murid hanya
mencatat, menghafal, dan mengulangi ungkapan-ungkapan guru tanpa memahami
apa esensi “lima” atau apa esensi “ibu kota”.60
Pendidikan bercerita dengan guru sebagai pencerita akan mengarahkan
murid untuk menghafal secara mekanis isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk
lagi, murid diubah menjadi “bejana-bejana” atau wadah-wadah kosong untuk diisi
oleh guru. Semakin penuh guru mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula ia
sebagai seorang guru. Semakin patuh wadah-wadah itu untuk diisi semakin baik
pula mereka sebagai murid. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan
menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya.
Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-
59
Freire, Politik pendidikan, x-xi. 60
Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, 77-78.
35
pernyataan dan “mengisi tabungan” yang diterima, dihafal dan diulangi dengan
patuh oleh para murid.61
Hal ini yang dimaksud oleh Freire sebagai konsep
pendidikan “gaya bank”, di mana ruang gerak yang disediakan bagi kegiatan para
murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Padahal menurut
Freire, tanpa usaha mencari, tanpa praksis, manusia tidak akan menjadi benar-
benar manusiawi.
Dalam konsep “pendidikan gaya bank”, pengetahuan adalah hadiah yang
diberikan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan atas orang-orang
yang mereka anggap tidak tahu apa-apa. Inilah karakteristik dari ideologi
penindasan, meniadakan pendidikan dan pengetahuan sebagai proses penyelidikan,
pemecahan masalah atau pencarian dan penemuan. Pekerjaan murid tidak lebih
dari menyimpan deposito yang dipercayakan kepada mereka. Murid kurang
mengembangkan kesadaran kritis akan hasil dari intervensi mereka di dunia
sebagai transformator dari dunia itu. Semakin benar-benar mereka menerima peran
pasif yang dikenakan pada mereka, semakin mereka cenderung hanya beradaptasi
dengan dunia seperti apa adanya.62
Secara sederhana, Freire menggambarkan keadaan dalam pendidikan gaya
bank seperti demikian:63
1. Guru mengajar, murid diajar
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa
3. Guru berpikir, murid menyadap pikiran guru
4. Guru bercerita, murid patuh mendengarkan
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui
61
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 52. 62
Danim, Pedagogi, Andragogi, dan Heutagogi, 79-80. 63
Freire, Pendidikan kaum tertindas., 53-54.
36
7. Guru bertindak, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan
gurunya
8. Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan
pelajaran itu
9. Guru mencampuradukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan kewenangan
jabatannya, yang dia lakukan untuk menghalangi kebebasan murid
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka
Tidak mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang
manusia sebagai makluk yang dapat disamakan dengan sebuah benda dan gampang
diatur. Semakin banyak murid menyimpan tabungan yang dititipkan kepada
merekam semakin mereka kurang dalam mengembangkan kesadaran kritis yang
dapat mereka peroleh dari keterlibatan di dunia sebagai pengubah dunia tersebut.
Semakin penuh mereka menerima peran pasif yang disodorkan kepada dirinya,
mereka semakin cenderung menyesuaikan diri dengan dunia menurut apa adanya
serta pandangan terhadap realitas yang terpotong-potong sebagaimana yang
ditanamkan kepada diri mereka.64
2.3.3 Mengganti Model Pendidikan Gaya Bank (Banking Style of Education)
Dengan Pendidikan Hadap Masalah (Problem posing Education)
Dalam pengamatan freire, praktek pendidikan selalu mencakup: subjek atau
pelaku (orang yang mengajar dan memberitahu); orang yang belajar, tetapi turut
serta “memberi pelajaran”; objek yang harus diajarkan atau diberitahu; metode
yang digunakan oleh orang yang mengajar untuk menyampaikan isi pengajaran.65
Bagi Freire, hanya melalui komunikasi manusia dapat menemukan hidup yang
bermakna. Guru tidak dapat berpikir untuk murid-muridnya, atau tidak dapat
64
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 54-55. 65
Paulo Freire, Pedagogy of hope. Terj. Robert R. Barr (New York: Bloomsbury Revelations. 2014), 108.
37
memaksakan pikirannya pada mereka. Model pendidikan gaya bank akan selalu
berusaha mengendalikan pikiran dan tindakan, mengarahkan manusia agar
menyesuaikan diri terhadap dunia dan menghalangi kemampuan kreatif mereka.
Untuk itu Freire menawarkan suatu konsep pendidikan yang membebaskan yang
disebutnya sebagai pendidikan hadap masalah. Model pendidikan hadap masalah
ini pertama-tama menuntut adanya pemecahan masalah kontradiksi antara guru dan
murid. Hubungan dialogis yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk
bersama-sama mengamati obyek yang sama.66
Pendidikan hadap masalah ini menolak pola hubungan vertikal dalam
pendidikan gaya bank. Melalui dialog, guru tidak lagi menjadi orang yang
mengajar, tetapi orang yang mengajar dirinya melalui dialogi dengan para murid,
yang pada akhirnya di samping diajar mereka juga mengajar. Mereka semua
bertanggung jawab terhadap suatu proses tempat mereka tumbuh dan berkembang.
Metode ini tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat dipahami sebagai
milik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid serta dirinya sendiri.
Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus menerus memperbaharui
refleksinya di dalam refleksi para murid. Murid yang bukan lagi pendengar yang
penurut telah menjadi rekan pengkaji yang kritis melalui dialogi dengan guru. Guru
menyajikan pelajaran kepada murid sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji
kembali pemikirannya yang terdahulu ketika murid mengemukakan hasil
pemikiran sendiri.67
Pendidikan gaya bank berusaha mempertahankan penenggelaman
kesadaran, sementara pendidikan hadap masalah berjuang bagi kebangkitan
kesadaran dan keterlibatan kritis dalam realitas. Melalui pendidikan hadap masalah
66
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 64. 67
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 65-66.
38
ini juga, murid yang semakin banyak dihadapkan pada masalah-masalah yang
berhubungan dengan kehadiran mereka di dalam bersama dengan dunia, akan
merasa semakin ditantang dan berkewajiban untuk menjawab tantangan ini.68
Jawaban mereka terhadap tantangan itu menimbulkan tantangan-tantangan baru,
kemudian disusul dengan pemahaman-pemahaman baru pula. Pada akhirnya secara
bertahap mereka akan merasa memiliki keterlibatan.
Dalam pendidikan hadap masalah, manusia mengembangkan kemampuannya
untuk memahami secara kritis relitas mereka di dalam dunia dan bagaimana
mereka menemukan diri sendiri. Mereka akan memandang dunia bukan sebagai
realitas yang statis, tetapi sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak
perubahan. Konsep dan praktik pendidikan hadapa masalah dan pendidikan gaya
bank terlihat saling bertentangan. Konsep pendidikan gaya bank menolak dialog;
sementara pendidikan hadap masalahh menganggap dialog sebagai prasyarat bagi
laku pemahaman untuk menguak realitas.
Pendidikan gaya bank memperlakukan murid sebagai obyek yang harus
ditolong; sementara pendidikan hadap masalah menjadikan mereka pemikir yang
kritis. Pendidikan gaya bank menghalang-halangi kreativitas dan menjinakkan
intensionalisas kesadaran dengan cara mengisolasi kesadaran itu dari dunia, yang
dengan demikian menolak fitrah ontologis dan kesejarahan manusia untuk menjadi
manusia seutuhnya. Pendidikan hadap masalah mendasari dirinya atas kreativitas
serta mendorong refleksi dan tindakan yang benar atas realitas (praksis), dan
68
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 66.
39
dengan cara itu menyambut fitrah manusia yang akan menjadi makluk sejati hanya
jika terlibat dalam pencarian dan perubahan kreatif.69
2.3.4 Konsientisasi Sebagai Tujuan Pendidikan Pembebasan
Freire, dengan programnya di perkampungan kumuh Brasil, memulainya
dengan mengkonseptualisasikan sebuah proses penyadaran yang mengarah pada
konsep pembebasan yang dinamis dan pada apa yang disebutnya sebagai
“kemanusiaan yang lebih utuh”. Hasil dari proses ini dinamakannya
conscientizacao, atau tingkat kesadaran di mana setiap individu mampu melihat
sistem sosial secara kritis. Mereka dapat memahami akibat-akibat yang saling
kontradiktif dalam kehidupan mereka sendiri, dapat menggenaralisasikan
kontradiksi-kontradiksi tersebut pada lingkungan lain di sekelilingnya dan dapat
mentransformasikan masyarakat secara kreatif dan bersama-sama.70 Freire
mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia
yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase:
kesadaran magis, naif dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek
berdasarkan tanggapan-tanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut:
apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian?
(penamaan); apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut?
(berpikir); dan apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah
tersebut? (aksi).71
Orang-orang dalam fase kesadaran magis menyesuaikan dengan
kehidupan di mana mereka tinggal. Mereka mendefinisikan masalah dengan
mengaitkannya pada persoalan-persoalan cara bertahan hidup dan merasa bahwa
69
Freire, Pendidikan kaum tertindas, 69-70. 70
Willam A. Smith, Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihartoro (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 3.
71 Smith, Conscientizacao, 54.
40
masalah-masalah ini disebabkan oleh kekuasaan-kekuasaan yang di luar jangkauan
mereka. Tingkat kesadaran naif, di mana individu tertindas ingin memperbaharui
sistem yang telah dirusak oleh orang-orang jahat yang melanggar norma dan
aturan, bisa dibagi menjadi dua sub kesadaran: menyalahkan diri sendiri dan
menyalahkan individu lain yang dianggap menindas dan merugikan. Individu-
individu yang berkesadaran kritis menganggap sistem ini perlu ditransformasi.72
Perkembangan individu ini tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan kemudian
menjadi kesadaran magis, bukan dari kesadaran magis langsung ke kesadaran
kritis, juga bukan secara acak. Perkembangan adalah kemajuan dari kesadaran naif
ke kesadaran kritis; perkembangan ini muncul seiring dengan bergulirnya roda
dunia.73
Proses penyadaran tersebut merupakan proses inti atau hakikat dari proses
pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang tidak boleh berhenti, ia
senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap
berikutnya, dari tingat “kesadaran naif” sampai ke tingkat “kesadaran kritis”,
sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni
“kesadaran-nya kesadaran” (the consice of the consciousness). Jika seseorang
sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, orang itu pun
mulai masuk ke dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal semata-
mata. Orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, karena ia menyatakan
diri atau sesuatu berdasarkan suatu “sistem kesadaran”, sedangkan orang yang
menghafal hanya menyatakan diri atau sesuatu secara mekanis tanpa (perlu) sadar
72
Smith, Conscientizacao, 101-102. 73
Smith, Conscientizacao, 107.
41
apa yang dikatakannya, dari mana ia tlah menerima hafalan yang dinyatakan itu,
dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat itu.74
Penyadaran pada umumnya, dan conscientizacao pada khususnya,
memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antarmanusia yang akan
memperbaiki penyelewengan manusia. Conscientizacao bukanlah teknik untuk
mentransfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi
merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-
sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientizacao
mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma,
aturan, prosedur dan kebijakan baru.75
Pesan yang ingin disampaikan Freire dari konsep pendidikannya relatif
cukup jelas. Jika pendidik yang radikal mengetahui makna kebebasan, mereka
pertama-tama harus menyadari bentuk-bentuk dominasi, di mana dominasi itu
tumbuh subur, dan masalah apa yang dihadapi mereka yang ditindas oleh dominasi
itu secara subjektif maupun objektif. Akan tetapi proyek ini tidak akan mungkin
terlaksana jika mereka tidak mengetahui karakteristik sejarah dan kebudayaan yang
spesifik, bentuk-bentu kehidupang sosial, siapa kelompok penindas dan siapa yang
tertindas, sebagai titik awal melakukan analisa.76
Bagi Freire, pendidikan bukanlah pengorganisasian fakta yang sudah
diketahui sedemikian rupa sehingga orang bodoh melihatnya sebagai sesuatu yang
baru. Conscientizacao adalah sebuah pencarian jawaban-jawab secara kooperatif
atas masalah-masalah yang tak terpecahkan yang dihadapi oleh sekelompok orang.
Dengan demikian, tidak ada “ahli” yang mengetahui jawaban-jawaban tersebut dan
yang pekerjaannya mentransfer jawaban-jawaban tadi. Setiap individu memiliki
74
Freire, Politik pendidikan, xvii-xviii. 75
Freire, Politik pendidikan, 4. 76
Freire, Politik pendidikan, 18-19.
42
kebenaran yang sama, tetapi berbeda dalam hal cara melihat persoalan yang harus
didefinisikan dan cara mencari jawabannya yang harus diformulasikan. Partisipasi
bukanlah sebuah alat pendidikan yang tepat, tetapi merupakan inti dari proses
pendidikan.77
Pada dasarnya, tujuan dari model pendidikan yang diusulkan Freire
agar pendidikan dapat membawa individu bersentuhan dengan dunia secara kritis.
Dengan kata lain, tugas dari pendidikan adalah menghadirkan pertanyaan-
pertanyaan, bukan menyediakan jawaban-jawaban. Pendidikan yang harapkan
Freire adalah yang bersifat dialogis dan mendorong tumbuhnya hubungan-
hubungan horisontal antar individu ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut.
2.3.5 Pendidikan dan Teologi Pembebasan
Pedaogogi pembebasan yang usung oleh Freire memiliki kaitan yang erat
dengan teologi pembebasan. Teologi pembebasan sendiri pertama kali muncul di
Amerika Latin pada tahun 1970-an. Motivasi berteologi pembebasan pertama-
tama bukan untuk menciptakan ideologi yang membenarkan suatu status quo.
Bukan pula sebagai obat penenang pada saat iman mendapat tantangan dari
sekularisme dan konsumerisme. Tetapi motivasi terdalam berteologi adalah untuk
membiarkan diri kita dinilai oleh sabda Allah.78
Gebrakan baru dalam berteologi
ini tidak terletak pada kajian dan isi pengajaran melainkan pada metode dan cara
berteologinya. Cara berteologi pembebasan adalah transformatif, bertolak dari
praksis atau iman yang dialami dalam sejarah tertentu.79
Menurut Gutierrez, teologi
77
Smith, Conscientizacao, 4-5. 78 Gustavo Gutierrez, A Theology of Liberation (USA: Ninth Printing, 1981), ix –x. 79
Juan Luis Segundo, Liberation of Theology (Dublin: Gill and MacMillan, 1977), 19.
43
bukan merupakan kebijaksanaan dan bukan juga pengetahuan rasional, melainkan
refleksi kritis atas praksis yang diterangi oleh sabda Injil.80
Praksis yang dimaksud adalah praksis untuk pembebasan manusia. Bukan saja
pembebasan dari kendala sosial, ekonomi dan politik di dunia, melainkan
pembebasan yang utuh dan menyeluruh sebagaimana manusia dicintai Allah untuk
berpartisipasi dalam citra-Nya. Menurut Gutierrez dalam Nitiprawiro, pembebasan
bukan saja sebuah proses, melainkan juga sebuah matrik berbagai tataran arti yang
saling bertautan: (1) pembebasan ekonomi, sosial, dan politik; (2) pembebasan
manusiawi, yang menciptakan manusia baru dalam masyarakat solidaritas yang
baru; (3) pembebasan dari dosa dan masuk dalam persekutuan dengan Tuhan
Allah dan semua manusia.81
Menurut Freire, gereja-gereja tradisional telah bersekutu dengan kelompok
penguasa, baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu, peranan yang dapat
dimainkan oleh gereja dalam bidang pendidikan tergantung pada cara pandang
mereka terhadap dunia, agama manusia dan takdir. Dalam gereja tradisional ini,
seolah kaum tertindas menemukan semacam obat penyembuh atas keletihan
hidupnya. Pada akhirnya, semakin banyak masyarakat yang tenggelam dalam
budaya bisu mereka, dengan segala kekerasan yang dilakukan oleh kaum penindas,
maka akan semakin banyak masyarakat yang berduyun-duyun datang ke gereja
untuk menawarkan ajaran religius. Karena tenggelam dalam budaya bisu ini, di
mana satu-satunya yang boleh bersuara adalah penguasa, mereka memandang
80
Gustavo Gutierrez adalah salah satu tokoh pencetus teologi pembebasan. Karya yang ia terbitkan dan menjadi acuan dalam berteologi pembebasan di berbagai negara adalah Teologia de la liberacion, Perspectivas yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Gutierrez, A Theology of Liberation, 15
81 Gutierrez, A Theology of Liberation, 235.
44
gereja ini sebagai semacam rahim di mana mereka dapat bersembunyi dari struktur
sosial yang opresif.82
Orang Kristen di Amerika Latin kemudian menemukan pendidikan dan model
berteologi yang baru dan harus menentukan sikap: apakah mengubah pandangan
naif mereka menjadi lebih kooperatif dan dengan sadar bergabung dengan ideologi
yang dominan, atau bergabung dengan kaum tertindas dan dengan penuh dedikasi
bersama mereka mencari kebebasan yang sesungguhnya. Jika mereka
meninggalkan kepatuhan mereka kepada kelompok yang dominan, metode belajar
mereka yang baru beserta masyarakat sebagai peserta didik akan menimbulkan
tantangan tersendiri di mana dalam usaha ini mereka berhadapan dengan resiko
yang sebelumnya tidak mereka ketahui.83
Melalui metode belajar yang baru ini
masyarakat mulai menemukan bahwa kesucian yang mereka pertahankan selama
ini, tidak sedikitpun merupakan bentuk kejujuran. Namun, banyak orang yang
merasa takut untuk mengakuinya; mereka kehilangan keberanian menghadapi
resiko yang pasti ada, ketika mereka patuh kepada suatu komitmen historis.
Akhirnya mereka kembali pada ilusi idealistik, tetapi dalam kapasitasnya sebagai
anggota kelompok yang lebih kooperatif.
Dalam membicarakan teologi pembebasan, analisa Freire yang tampak utopis
menjadi konkret karena semangat pembebasan dan “rangsangannya”, serta menjadi
starting point yang bersifat kolektif di dalam berbagai macam keadaan sejarah,
khususnya tatkala terjadi penindasan. Analisanya dikatakan utopis karena menolak
untuk menghindar dari resiko dan bahaya yang mengancamnya sebab dia
menantang struktur kekuasaan yang dominan. Visi politiknya dikatakan profetis
karena seharusnya manusia meyakini Kekuasaan Tuhan sehingga memiliki
82
Freire, Politik Pendidikan, 220-221. 83
Freire, Politik pendidikan, 209.
45
kesadaran dan semangat untuk selalu menumpas kebatilan. Kesadaran yang
dimasud Freire di sini muncul karena penderitaan kaum tertindas. Bahwa
penderitaan ini tidak boleh berlanjut dan visi profetik ini merupakan proses yang
terus berkelanjutan di mana hal ini merupakan aspek yang sangat penting dalam
kehidupan manusia. Pendeknya, dengan melakukan kritik dan menciptakan
kemungkinan yang lebih baik, berarti Freire memadukan sejarah dan teologi untuk
membuat dasar teoritis bagi sistem pendidikan radikal yang mencakup tumbuhnya
harapan, refleksi kritis dan perjuangan bersama.84
Di sini sebenarnya Freire mengkritik dan sekaligus menyelamatkan ajaran
Krisen yang revolusioner. Freire melancarkan kritik terhadap Gereja karena sikap
revolusionernya. Dia meyakini Tuhan dan menaruh harapan pada-Nya yang telah
menciptakan sejarah dan “membiarkan” hamba-hamba-Nya menjadi tertindas,
tetapi ajaran-ajaran-Nya justru tidak mampu mengubah sejarah. Dalam bahasa
Freire, melihat kondisi yang seperti ini seharusnya cinta-kasih Kristiani menaruh
perhatian terhadap kasus-kasus eksploitasi manusia.85
Dalam melaksanakan pendidikan maupun teologi yang membebaskan, yang
perlu diingat ialah sekalipun teologi termasuk dalam daftar ilmu pengetahuan,
teologi lebih merupakan kegiatan refleksi daripada pembuktian empiris.86
Demikian pula halnya dengan pendidikan agama Kristen. Dalam melaksanakan
pendidikan agama Kristen, murid dan guru secara bersama-sama mengadakan
proses berteologi. Guru bukan yang paling tahu, karena ini bukan soal
pengetahuan, dan murid juga tidak dianggap dan menganggap diri sebagai bejana
mati yang siap menampung dan menghafal apa yang dipompakan oleh sang guru.
84
Freire, Politik pendidikan, 13-14. 85
Freire, Politik pendidikan, 13. 86 Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis dan Isinya (Jogjakarta: Masa Media,
1985), 133.
46
Berteologi adalah persoalan hidup, di mana dalam hidup tidak ada yang paling
tahu. Yang ada adalag orang yang lebih banyak pengalaman, dan yang masih harus
mengkaji pengalamannya dengan pengalaman yang lain. Oleh karenanya, Freire
mengajukan alternatif kegiatan belajar mengajar menurut gaya hadap masalah
(guru dan murid secara bersama mengkaji masalah hidup sehari-hari) untuk
menggantikan model belajar gaya bank.87
Dengan demikian, pendidikan
pembebasan dan teologi pembebasan memiliki pandangan dan tujuan yang sama
yaitu untuk mencapai kesadaran manusia melalui praksis. Keduanya menekankan
pada perubahan metode pengajaran yang selama ini dianggap menindas.
87
Nitiprawiro, Teologi Pembebasan, 134.