BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1 ...repository.ump.ac.id/4521/3/BAB II.pdfA....
Transcript of BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Konseptual 1 ...repository.ump.ac.id/4521/3/BAB II.pdfA....
8
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Deskripsi Konseptual
1. Kemampuan Berpikir Analitik
Menurut Amalia (2016), analitik adalah kemampuan yang dimiliki
oleh siswa untuk memilah, mengenal ataupun menguraikan suatu masalah
menjadi bagian-bagian sehingga menjadi jelas dan dapat dipahamai
hubungannya. Sedangkan Winarti (2015) menyatakan menganalitik
merupakan proses yang melibatkan proses memecah-mecah materi
menjadi bagian-bagian kecil dan menentukan bagaimana hubungan
antara bagian dan antara setiap bagian dan struktur keseluruhannya.
Sejalan dengan hal tersebut Ihsan (2010) berpendapat menganalitik berarti
membagi-bagi objek yang “complex” menjadi unsur-unsur yang “simplex”.
Pembagian tersebut dapat dilakukan dengan cara “experimental (sesuai
realitas)” dan “rasional (secara teoritis)”.Menganalitik berarti seseorang
harus berjalan dari akibat ke sebab-sebabnya, dari hal-hal yang khusus ke
hal-hal yang umum.
Kemampuan analitik sendiri termasuk dalam Taksonomi Bloom
yang selama ini dipegang sebagai pedoman dalam menyusun tingkat
kerumitan pembelajaran di berbagai tingkat dan untuk berbagai pelajaran.
Tindakan menganalitik dimengertikan sebagai tindakan memecah-mecah
suatu gugus data menjadi beberapa bagian, kemudian mengaitkan bagian-
bagian itu dalam suatu hubungan yang bermakna dan bermanfaat untuk
8
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
9
memecahkan masalah. Kemampuan analitik membuat seorang siswa
mampu memecah-mecah suatu soal cerita menjadi faktor-faktor yang
harus dirangkaikan (ditambahkan, dikurangi atau dibagi) untuk sampai
pada jawaban final. Dalam menganalitik, perlu dilatih kemampuan
memecah informasi menjadi beberapa bagian yang kemudian dirangkai
dalam satu ikatan bermakna dan fungsional serta diperlukan juga
kemampuan membandingkan dan mengorganisir (Djiwandono, 2010).
DePorter (2000) mengungkapkan bahwa berpikir analitik merupakan
suatu proses memecahkan masalah atau gagasan menjadi bagian-bagian,
menguji setiap bagian untuk melihat bagaimana bagian tersebut saling
cocok satu sama lain, dan mengeksplorasi bagaimana bagian-bagian ini
dapat dikombinasikan kembali dengan cara-cara baru. Menurut Montaku
(2012) berpikir analitik adalah suatu pemikiran pemisahan menjadi bagian-
bagian terpisah berdasarkan alasan, prinsip-prinsip, usaha atau kondisi
kontekstual, termasuk kemampuan untuk mengatur kelompok berkaitan
dengan bagian yang berbeda, untuk menempatkan bagian ke dalam urutan
yang penting.
Menurut Rose dkk (2002) berpikir analitik adalah menundukan satu
situasi, masalah subjek atau keputusan pada pemeriksaan yang ketat dan
langkah demi langkah yang logis. Menguji pernyataan atau bukti atau
proposal di depan standar-standar objektif. Menukik ke bawah permukaan
hingga kepada akar permasalahan. Menimbang dan memutuskan atas dasar
logika dan menjejaki bias yang mungkin muncul. Penggunaan pemikiran
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
10
analitik adalah dalam mengambil keputusan, memecahkan masalah,
menganalisis serta menilai situasi.
Dalam kemampuan analitik ini juga termasuk kemampuan
menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, menentukan hubungan,
membuktikan dan mengomentari bukti, dan merumuskan serta
menunjukkan benarnya generalisasi, tetapi baru dalam tahap analisik
belum dapat menyusun. Hal ini juga diperkuat oleh Bloom (1956), yang
menyatakan bahwa kemampuan berpikir analitik menekankan pada
pemecahan materi ke dalam bagian-bagian yang lebih khusus atau kecil
dan mendeteksi hubungan-hubungan dan bagian-bagian tersebut dan
bagian-bagian itu diorganisir. Sejalan dengan itu Amer (2005),
berpendapat berpikir analitik sangat berguna untuk memahami bagian-
bagian dari situasi, kemampuan untuk meneliti dan merinci fakta dan
berpikir pada kekuatan dan kelemahannya, sebagaimana dikemukakannya
bahwa:
“Analythical thinking is a powerful thinking tool-for understanding
the parts of situation, is the ability to scrutinize and break down facts
and thoughts into their strengths and weaknesses”.
Mayer (2002), menyatakan bahwa menganalitik melibatkan proses
memecah-mecah materi menjadi bagian-bagiann penyusunnya dan
menentukan bagaimana hubungan-hubungan antara bagian-bagian tersebut
dan keseluruhan struktur atau tujuan. Indikator untuk mengukur
kemampuan berpikir analitik yaitu:
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
11
a. Differentiating (membedakan) berarti membedakan bagian yang
tidak relevan dan yang relevan atau dari bagian yang penting ke
bagian yang tidak penting dari suatu materi yang diberikan.
b. Organizing (mengorganisasikan) berarti menentukan bagaimana
suatu bagian elemen tersebut cocok dan dapat berfungsi bersama-
sama didalam suatu struktur.
c. Attributing (menghubungkan) berarti menentukan inti atau
menggaris bawahi suatu materi yang diberikan.
Contoh :
Azizah mempunyai sapu tangan berbentuk persegi, sedangkan sapu
tangan Fitri berbentuk persegi panjang. Salah satu sisi dari sapu tangan
Azizah berukuran 𝑥 𝑐𝑚, dan sapu tangan Fitri mempunyai sisi-sisi yang
berukuran(𝑥 + 4)𝑐𝑚 dan(𝑥 − 3)𝑐𝑚. Jika luas sapu tangan Azizah =
luas sapu tangan Fitri, maka berapakah luas sapu tangan tersebut ?
Tahapan berpikir analitik
(Membedakan)
Sapu tangan Azizah dan sapu tangan Fitri dapat digambarkan sebagai
berikut:
Sapu tangan Azizah Sapu tangan Fitri
x– 3 cm
x+ 4cm x cm
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
12
Luas persegi = 𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑥 𝑠𝑖𝑠𝑖
= 𝑥 𝑐𝑚 × 𝑥 𝑐𝑚
Luas persegi panjang = 𝑝 𝑥 𝑙
= (𝑥 + 4)𝑐𝑚 × (𝑥 − 3)𝑐𝑚
(Pada tahap ini, siswa membedakan bentuk bangun datar yaitu persegi
dan persegi panjang, serta rumus yang digunakan untuk mencari luas
persegi dan persegi panjang)
(Mengorganisasikan)
luas sapu tangan Azizah sama dengan luas sapu tangan Fitri maka
didapat persamaan :
Luas persegi = Luas persegi panjang
𝑥. 𝑥 = (𝑥 + 4). (𝑥 − 3)
𝑥2 = 𝑥2 − 3𝑥 + 4𝑥 − 12
𝑥2 = 𝑥2 + 𝑥 − 12
𝑥2 − 𝑥2 = 𝑥2 − 𝑥2 + 𝑥 − 12
0 = 𝑥 − 12
12 = 𝑥 − 12 + 12
12 = 𝑥
diperoleh nilai 𝑥 = 12 𝑐𝑚
Kemudian masukkan nilai 𝑥 untuk mencari luas sapu tangan.
Luas persegi = 𝑥 × 𝑥
( 𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘𝑘𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑥 = 12 𝑐𝑚)
= 12 𝑐𝑚 × 12 𝑐𝑚 = 144 𝑐𝑚2
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
13
Luas Persegi Panjang = 𝑝 × 𝑙
= (𝑥 + 4)𝑐𝑚 . (𝑥 − 3)𝑐𝑚
(𝑚𝑎𝑠𝑢𝑘𝑘𝑎𝑛 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑥 = 12 𝑐𝑚)
= (12 + 4)𝑐𝑚 . (12 − 3)𝑐𝑚
= 16 𝑐𝑚 × 9 𝑐𝑚
= 144 𝑐𝑚2
(Pada tahap mengorganisasikan, siswa membuat persamaan antara luas
persegi dan persegi panjang untuk mencari nilai x. Setelah didapat nilai
x siswa dapat mencari luas sapu tangan)
(Menghubungkan)
Jadi, diperoleh luas sapu tangan yaitu 144 𝑐𝑚2
(Pada tahap menghubungkan, siswa menarik kesimpulan dari inti
permasalahan pada proses pengorganisasian yaitu luas sapu tangan)
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
kemamapuan berpikir analitik matematis merupakan kemampuan
menguraikan masalah matematika menjadi unsur-unsur pokok,
membedakan unsur-unsur yang relevan dan tidak relevan dengan masalah,
mencari keterkaitan untuk menyusun unsur-unsur serta mengenali tujuan
bagaimana setiap unsur dalam masalah matematika saling terkait untuk
menggaris bawahi suatu materi. Adapun indikator kemampuan berpikir
analitik matematis dalam penelitian ini adalah :
a. Membedakan, terjadi ketika siswa dapat menentukan potongan-
potongan informasi yang relevan dan penting.
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
14
b. Mengorganisasikan, terjadi ketika siswa dapat menyusun dan
menentukan cara bagaimana potongan-potongan informasi
menjadi satu kesatuan.
c. Menghubungkan, terjadi ketika siswa dapat menghubungkan
potongan-potongan informasi dari proses pengorganisasian
dengan tujuan di balik informasi tersebut sehingga didapat inti
atau menggaris bawahi suatu materi yang diberikan.
2. Adversity Quotient
Stoltz (2000) mengungkapkan bahwa Adversity Quotient mempunyai
tiga bentuk, pertama adalah Adversity Quotient merupakan suatu kerangka
kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua
segi kesuksesan. Selanjutnya Adversity Quotient adalah suatu ukuran
untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan. Definisi terakhir
dari Stoltz, Adversity Quotient adalah serangkaian peralatan yang memiliki
dasar ilmiah untuk memperbaiki respon anda terhadap kesulitan.
Ketiga bentuk definisi Adversity Quotient dapat disimpulkan bahwa
Adversity Quotient adalah suatu kerangka kerja konseptual yang dapat
digunakan untuk mengukur respon seseorang terhadap kesulitan untuk
memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Seseorang dengan
Adversity Quotient yang tinggi, jika dihadapkan pada suatu permasalahan
yang sulit, ia akan berusaha untuk bertanggung jawab menyelesaikan
permasalahan tersebut, tidak mudah mengeluh dan putus asa walaupun
dalam keadaan yang sulit. Adversity Quotient merupakan terobosan
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
15
penting dalam pemahaman tentang apa yang dibutuhkan untuk mencapai
kesuksesan dan kecerdasan untuk mengatasi kesulitan.
Stoltz (2000) mengelompokan Adversity Quotient ke dalam 3
kategori, yaitu :
a. Climbers ( Adversity Quotient tinggi)
Climbers dikenal sebagai para pendaki. Climbers secara umum
merupakan kelompok orang yang memilih utuk terus bertahan untuk
berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang,
baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal-hal lain
yang terus didapat setiap harinya. Siswa yang memiliki kemampuan
Adversity Quotient pada tingkatan Climbers tidak cepat puas dengan
apa yang mereka peroleh, mereka akan tetap berjuang sampai tujuan
yang mereka inginkan tercapai. Contohnya ketika siswa mendapatkan
tugas dari guru, siswa dengan tingkatan Climbers akan menganggap
tugas sebagai tantangan yang harus mereka selesaikan tidak peduli
akan hambatan apa saja yang ada didepannya merekatidak putus asa,
mereka berusaha tidak hanya menggugurkan kewajiban atau karena
takut dengan guru tapi karena rasa ingin tahu yang besar dari seorang
Climbers.
b. Campers (Adversity Quotient sedang)
Campers dikenal sebagai mereka yang berkemah. Campers
merupakan kelomok orang yang sudah memiliki kemauan untuk
berusaha menghadapi masalah dan tantangan yang ada namun mereka
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
16
berhenti karena mersa sudah tidak mampu lagi. Siswa yang
merupakan Campers ketika memiliki tugas dari guru akan berusaha
menyelesaikan tugas namun hal itu hanya untuk mencari rasa aman
sehingga tidak dihukum oleh guru serta mereka akan mudah merasa
nyaman dengan usaha yang mereka lakukan. Siswa lebih memilih
untuk mempertahankan hasil jawabannya tanpa berusaha mengecek
karena Campers mudah merasa puas dengan hasil kerjanya.
c. Quitters (Adversity Quotient rendah)
Quitters dikenal sebagai mereka yang berhenti. Quitters
merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk
menerima tantangan dalam hidupnya. Siswa yang memiliki tingkat
Adversity Quotient Quittersakan mudah dibayang – bayangi kegagalan
sebelum mereka mencoba menyelesaikan, seperti berpikir bahwa
mereka tidak akan lulus saat ujian atau akan mendapat nilai jelek pada
saat ulangan. Siswa akan menghindari tugas yang diberikan oleh guru
saat di kelas maupun tugas rumah.
Adversity Quotient Stoltz (2000) dibagi menjadi empat dimensi
yaitu :
a. Kendali / Control (C)
Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu
mengendalikan kesulitan – kesulitan yang dihadapinya dan sejauh
mana individu merasakan bahwa kendali itu ikut berperan dalam
peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
17
dimiliki semakin besar juga kemungkinan seseorang untuk dapat
bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet
dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin
rendah kendali akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya
menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.
b. Daya Tahan / Endurance (E)
Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan
lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat
menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk.
Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki
harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan
yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh
individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam
memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara
dan orang yang mempunyai Adversity Quotient rendah akan
menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu
yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.
c. Jangkauan / Reach (R)
Jangkauan merupakan bagian dari Adversity Quotient yang
mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian
lain dari individu. Jangkauan juga berarti sejauh mana kesulitan yang
ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang.
Jangkauan atau Reach menunjukan kemampuan dalam melakukan
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
18
penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan tekanan. Semakin
tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinannya dalam
merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas.
Semakin efektif dalam menahan atau membatasi kesulitan, maka
seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang
mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada,
sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang dia tidak harus
merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu
tersebut.
d. Kepemilikan / Origin and Ownership (O2)
Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal-usul
dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang
menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seseorang individu
menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab
asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-usul) rendah akan
cenderung berfikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang
datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya
sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya.
B. Penelitian Relevan
Marini (2014), menunjukkan bahwa persentase rata-rata dua siswa yang
dikategorikan memiliki kemampuan berpikir analitis dengan gaya belajar tipe
investigatif adalah 87,5% termasuk pada kategori sangat tinggi, dan siswa
tipe investigatif dominan tidak memenuhi 1 indikator yaitu tidak mengetahui
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
19
akibat dan dampak dalam menyelesaikan soal. Persamaan dengan penelitian
ini adalah sama-sama meneliti tentang kemampuan berpikir analitik siswa.
Perbedaannya dengan penelitian ini bukan didasarkan pada Gaya Belajar Tipe
Investigatif dalam Pemecahan Masalah Matematika, tetapi ditinjau dari
Adversity Quotient.
Masfingatin (2013) menyimpulkan bahwa proses berpikir siswa
Sekolah Menengah Pertama dalam memecahkan masalah matematika ditinjau
dari Adversity Quotient, mempengaruhi proses berpikir siswa dalam
memecahkan masalah matematika, sehingga dalam pembelajaran Adversity
Quotient siswa perlu diperhatikan. Proses berpikir siswa dalam memecahkan
masalah matematika berbeda-beda menurut tingkat Adversity Quotient,
sehingga dalam pembelajaran pemecahan masalah perlu ditekankan pada
pendekatan secara individual berdasarkan tingkat Adversity Quotient siswa.
Persamaan dengan penelitian ini adalah sama-sama didasarkan pada Adversity
Quotient, perbedaannya adalah penelitian ini mendeskripsikan proses berpikir
siswa dalam memecahkan masalah matematika.
Berdasarkan beberapa penelitian yang relevan di atas, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian guna mendeskripsikan kemampuan berpikir
analitik matematis siswa ditinjau dari Adversity Quotient.
C. Kerangka Pikir
Salah satu kemampuan penting dalam pembelajaran matematika adalah
kemampuan berpikir analitik matematis. Untuk dapat menguasai kemampuan
berpikir analitik matematis, tahapan yang harus ditempuh siswa adalah
membedakan, mengorganisasikan, dan menghubungkan. Pada dasarnya setiap
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017
20
siswa memiliki karakteristik yang berbeda dalam pembelajaran. Karakteristik
inilah yang mungkin memunculkan perbedaan kemampuan berpikir analitik
matematis siswa. Perbedaan karakteristik setiap siswa salah satunya
dipengaruhi oleh kepribadian. Kepribadian merupakan seperangkat asumsi
tentang kualitas yang mencerminkan sesuatu yang khas pada diri seseorang.
Stoltz (2000) mengelompokan orang dalam tiga kategori Adversity
Quotient, pengelompokan ini dilihat dari bagaimana sikap individu tersebut
dalam menghadapi setiap masalah atau tantangan. Kategori individu tersebut
yaitu Climbers, Campers, dan Quitters. Pada tingkat Climbers siswa akan
mampu untuk terus bertahan dan berjuang menghadapi berbagai kondisi yang
harus dihadapi, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal-
hal lain yang terus akan dihadapi setiap harinya. Pada tingkat Campers siswa
akan berusaha untuk dapat menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru.
Mereka mengerjakan tugas namun hal itu hanya untuk mencari rasa aman
sehingga tidak dihukum oleh guru serta mereka akan mudah merasa nyaman
dengan usaha yang mereka lakukan. Siswa lebih memilih untuk
mempertahankan hasil jawabannya tanpa berusaha mengecek karena
Campers mudah merasa puas dengan hasil kerjanya. Pada tingkat Quitters
siswa tidak berusaha untuk menyelesaikan tugas dari guru, mereka
mempunyai tingkat pesismis yang tinggi sebelum mengerjakan ujian atau
ulangan harian. Perbedaan kategori Adversity Quotient yang dimiliki oleh
masing-masing siswa itulah yang akan mempengaruhi proses berpikir analitik
siswa.
Deskripsi Kemampuan Berpikir..., Mohamad Rofiih, FKIP, UMP, 2017