BAB II KAJIAN TEORI -...

17
8 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Komunikasi Komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin : communis yang berarti ‘sama’, communico, communication atau communicate yang berarti membuat sama (make to common). Komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (Mulyana, 2007: 46). Pada umumnya komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak (komunikator dan komunikan), apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu, cara seperti itu disebut dengan komunikasi non-verbal (Mulyana, 2007: 46). Definisi komunikasi menurut John Fiske (1990) dua mazhab utama yang tercermin dalam model komunikasi. Pertama mazhab proses yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Dalam mazhab ini mereka tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran dan media komunikasi. Mazhab ini cenderung membahas kegagalan komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan tersebut terjadi. Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Hal ini berkenaan dengan bagaimana pesan berinteraksi dengan orang-orang dalam menghasilkan makna. Model komunikasi yang dikemukakan John Fiske mempunyai sifat dan fungsi untuk menjelaskan suatu fenomena yang diamati. Terkadang ada beberapa model yang tampak bertentangan, misalnya model S-R (stimulus-respons) dan model interaksional. Kondisi ini disebabkan karena adanya paradigma yang berbeda itu, sehingga ilmuwan sosial yang berpandangan objektif/positivistik menganggap

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI -...

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

8

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Komunikasi

Komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin : communis yang

berarti ‘sama’, communico, communication atau communicate yang berarti

membuat sama (make to common). Komunikasi dapat terjadi apabila ada

kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab

itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu

dengan yang lainnya (Mulyana, 2007: 46).

Pada umumnya komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang dapat

dimengerti oleh kedua belah pihak (komunikator dan komunikan), apabila tidak

ada bahasa verbal yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat

dilakukan dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukan sikap tertentu,

misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu, cara seperti itu

disebut dengan komunikasi non-verbal (Mulyana, 2007: 46).

Definisi komunikasi menurut John Fiske (1990) dua mazhab utama yang

tercermin dalam model komunikasi. Pertama mazhab proses yang melihat

komunikasi sebagai transmisi pesan. Dalam mazhab ini mereka tertarik dengan

bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan

menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan

saluran dan media komunikasi. Mazhab ini cenderung membahas kegagalan

komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui di

mana kegagalan tersebut terjadi. Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai

produksi dan pertukaran makna. Hal ini berkenaan dengan bagaimana pesan

berinteraksi dengan orang-orang dalam menghasilkan makna.

Model komunikasi yang dikemukakan John Fiske mempunyai sifat dan fungsi

untuk menjelaskan suatu fenomena yang diamati. Terkadang ada beberapa model

yang tampak bertentangan, misalnya model S-R (stimulus-respons) dan model

interaksional. Kondisi ini disebabkan karena adanya paradigma yang berbeda itu,

sehingga ilmuwan sosial yang berpandangan objektif/positivistik menganggap

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

9

bahwa ada keteraturan dalam perilaku manusia (manusia cenderung dianggap

pasif), seperti perilaku alam, tidak jarang menggunakan model matematik,

misalnya dalam bentuk hipotesis yang harus diuji melalui perhitungan statistik.

Pengertian lain dari komunikasi juga merupakan simbol karena dalam

komunikasi manusia, simbol merupakan ekspresi yang mewakili atau

menandakan sesuatu hal lain. Salah satu karakteristik simbol yang harus diingat

bahwa simbol itu tidak mempunyai hubungan langsung dengan apa yang

diwakilinya, sehingga dapat berubah-ubah. Simbol dapat berupa bentuk suara

tanda pada kertas, gerakan, dan lain-lain yang digunakan dalam berbagai fakta

dengan definisi kelompok lain (Samovar dkk, 2010: 22-23).

Manusia menggunakan simbol bukan hanya dalam berinteraksi, penyimbolan

memungkinkan suatu budaya disampaikan dari generasi ke generasi melalui

media tradisional. Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui makna pesan

Tari Dolalak Versi Mlaranan, dimana tarian sebagai Media Tradisional dan

terdapat simbol dan makna yang terkandung didalam pementasan Tari Dolalak

Versi Mlaranan.

2.2 Media Komunikasi Tradisional

Media tradisional dikenal juga sebagai media rakyat. Sering juga disebut

sebagai kesenian rakyat. Dalam hal ini seni ditafsirkan sebagai media komunikasi

untuk berekspresi, untuk menyampaikan pesan, kesan, dan tanggapam manusia

terhadap stimulasi dari lingkungannya. Menurut Coseteng dan Nemenzo

(Fernandez 1982), mendefinisikan media tradisional sebagai bentuk-bentuk

verbal, gerakan, lisan, dan visual yang dikenal atau diakrabi rakyat, diterima oleh

rakyat, dan diperdengarkan atau dipertunjukan oleh dan atau untuk mereka

dengan maksud menghibur, memaklumkan, menjelaskan, mengajar, dan

mendidik.

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

10

Media tradisional, seperti halnya media massa lainnya, pada dasarnya tidak

dapat banyak diharapkan mampu mengubah sikap dan tingkah laku komunikan

secara langsung. Variabel-variabel yang terlibat dalam proses pengambilan

keputusan untuk menerima dan mempraktikan suatu ide baru tidak hanya

ditentukan oleh individu yang bersangkutan. Pengaruh dari pihak ketiga seperti

keluarga terdekat, kerabat, pemuka masyarakat, dan lingkungan budaya sering

kali ikut menentukan.

Media tradisional memiliki kespesifikan tanda-tanda informasi yang

dilontarkan dalam pertunjukan-pertunjukan tradisional seperti kesenian daerah

yang berupa tarian daerah. Dalam kespesifikan tanda menjadi suatu kesulitan

dalam memahami tanda-tanda non-verbal yang umumnya tidak disadari.

2.3 Tanda Dalam Komunikasi

Hartoki dan Rahmanto dalam Alex Sobur (2009: 155) menjelaskan bahwa

secara etimologis simbol berasal dari bahasa Yunani, “sym-ballein” yang artinya

melemparkan suatu benda atau perbuatan dan dikaitkan dengan ide. Simbol

disebabkan oleh adanya metonimi, yaitu nama untuk benda lain yang

diasosiasikan menjadi atributnya atau metafora. Contoh, si topi merah untuk

seseorang yang menggunakan topi berwarna merah, untuk metafora contohnya

adalah ibukota, merujuk pada suatu kota yang dijadikan pusat pemerintajan dari

suatu Negara. Simbol melibatkan tiga unsure, yaitu simbol itu sendiri, rujukan,

serta hubungan antara simbol dengan rujukan.

Simbol mengkomunikasikan sesuatu secara tersirat, namun proses

pemaknaannya lebih mendalam dibanding tanda dan dapat memiliki beberapa

makna. Spesifikasi pemaknaan simbol terletak pada cakupan khalayak yang dapat

mencernanya. Simbol hanya dapat diartikam oleh manusia yang memiliki akal

dan pikiran untuk menalaah suatu hal. Contoh, balon misalnya, makna dan sebuah

simbol yang menyertakan balon di dalamnya dapat diartikan sebagai kebebasan

dan keceriaan, namun dapat juga diartikan sebagai sifat kekanaan.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

11

Jika dikaitkan dengan unsur-unsur yang terkandung dalam sebuah simbol,

maka rujukan dalam simbol balon adalah balon terdiri atas berbagai macam warna

dan biasanya merupakan warna-warna cerah, selain itu ditinjau dari bentuknya

yang bulat/lonjong menyiratkan bahwa balon memiliki sifat yang fleksibel dan

tidak kaku, dan yang terakhir, balon biasanya diberi tali pengikat dan pemberat

seperti batu untuk menjaga agar tidak lepas saat dipegang, selain itu sifat nyata

balon yang mudah terbang karena berisi gas helium diartikan sebagai simbol

kebebasan.

Budiono Herusantoto (Sobur 2009: 160) membuat table perbedaan antara

isyarat, tanda dan simbol/ lambang. Secara garis besar tanda diartikan sebagai

sesuatu yang memiliki arti, dan beliau menyebutkan bahwa tanda hanya memiliki

dua arti, atau dengan kata lain memiliki makna yang lebih sempit jika

dibandingkan dengan simbol yang memiliki makna lebih mendalam. Keterbatasan

pemaknaan yang dimiliki oleh tanda menyebabkan tanda dapat dimaknai bukan

hanya oleh manusia, namun juga oleh binatang setelah diajarkan berulang-ulang.

Simbol dan tanda keduannya sama-sama berusaha menjembatani komunikasi.

Tersampaikannya pesan secara tepat dari komunikator kepada komunikan

merupakan tujuan utama dari komunikasi. Oleh sebab itu, demi tercapainya tujuan

tersebut, keberadaan simbol dan tanda dalam kehidupan kita sehari-hari perlu

dimaknai secara sama oleh berbagai lapisan masyarakat.

2.4 Semiotika

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sederetan luar objek-objek,

peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kualitatif (data tidak berupa angka-angka)1. Secara

etimologis, istilah semiotik berasal dari kata Yunani : semeion yang berarti

“tanda” tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi

sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang

mempelajari sederet luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan

1 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung PT. Remaja Rosdakarya, 2005) H:

6

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

12

sebagai tanda2. Secara singkat kita dapat menyatakan bahwa analisis semiotik

merupakan cara atau metode untuk menganalisis dan memberikan makna-makna

terhadap lambang-lambang yang terdapat suatu paket lambang-lambang pesan

atau teks3.

Apabila studi ini menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan acuannya dan

dengan interpretasi yang dihasilkannya, itu adalah kerja semantic, semiotic.

Apabila studi tentang tanda ini mementingkan hubungan antara tanda dengan

pengirim dan penerimanya, itu adalah kerja pragmatik semiotik. Sebaliknya, studi

semiotika dengan fenomena apapun dimulai dengan penjelasan sintaksis,

kemudian dilanjutkan penelitian dari segi semantik dan pragmatic (Sudjiman dan

Van Zoest, 1996: 6).

Semiotika didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda yang pada dasarnya

merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu system apapun yang

memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau

sebagai sesuatu yang bermakna. Menurut Charles S. Pierce (1986: 4) maka

semiotik tidak lain daripada sebuah nama lain bagi logika, yakni doktrin tentang

tanda-tanda. Sementara bagi Ferdinand De Saussure (1996: 16) semiologi sebuah

ilmu umum tentang tanda, suatu ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda di

dalam masyarakat (Budiman, 2004: 4).

Istilah semiotika maupun semiologi dapat digunakan untuk merujuk kepada

ilmu tentang tanda-tanda adanya perbedaan pengertian yang terlalu tajam. Satu-

satunya perbedaan diantara keduanya, menurut Hawkes (1978: 124), adalah

bahwa istilaj semiologi lebih banyak dikenal di Eropa yang mewarisi tradisi

lingustik Saussuren, sementara istilah semiotika cenderung dipakai oleh para

penutur bahasa Inggris atau mereka yang mewarisi tradisi Peircian (Budiman

2004: 4).

2 Alex Sobur, Analisis Teks Media (Bandung PT. Rosdakarya, 2006) H: 95 3 Pawito Ph. D, Penelitian Komunikasi Kualitatif (Yogyakarta: L.KiS Pelangi Aksara, 2007) Hal: 155

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

13

Dalam semiotika Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari

bagaimana kemanusiaan (humanity) memakan hal-hal (things), Memaknai (to

signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan

(to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusikan system terstruktur dari tanda. Tanda menandakan sesuatu

selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antarsuatu objek atau

ide dari suatu tanda.

Konsep dasar mengenai semiotika mengikat bersama seperangkat teori yang

amat luas berurusan dengan siimbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk

nonverbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan

maknanya dan begaimana tanda disusun. Secara umum studi tentang tanda

merujuk pada semiotika (Sobur, 2004: 15-16). Pesan – pesan yang disampaikan

dan diterima sama seperti perkacapan, berikut beberapa rangkuman dari

pembahasan tentang semiotika menurut Pines (Berger, 2000: 14):

a. Semiotika menaruh perhatian pada bagaimana makna diciptakan dan

disampaikan melalui teks dan khususnya melalui narasi (atau cerita),

b. Focus perhatian semiotika dari semiotika adalah tanda yang ditemukan

dalam teks, tanda-tanda dapat dipahami sebagai kombinasi dari penanda

dan petanda,

c. Bahasa dalam semiotika adalah sebuah institusi sosial yang menjelaskan

bagaimana kata-kata digunakan, percakapan adalah aksi individual yang

berdasar pada bahasa,

d. Teks dapat dilihat melalui kesamaannya dengan percakapan dan

mengimplikasikan tata bahasa (grammar) atau bahasa yang akhirnya

membuat teks menjadi bermakna. Terdapat kode-kode pembicaraan yang

membuat tanda-tanda pada narasi dapat dimengerti dan juga membentuk

tindakan-tindakan.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

14

2.4.1 Semiotika Roland Barthes

Teori semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes sebagai salah

satu pemikir strukturalis yang mempraktikan model lingustik dan semiologi

Saussuren. Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda. Tanda-tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai wujud memahami

kehidupan. Menusia melalui kemampuan akalnya berupaya berinteraksi dengan

menggunakan tanda sebagai alat untuk berbagai tujuan, salah satu tujuan tersebut

adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain sebagai bentuk adaptasi dengan

lingkungan.

Semiologi Barthes pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things), memaknai (to signify) dalam

hai ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan (to

sommunicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa

informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusi system terstruktur dari tanda (Sobur, 2003: 15).

Dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi dua

tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,

menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat

pertandaan yang menjelaskan hubungan penannda dan petanda yang didalamnya

beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Pemikiran Barthes tentang mitos nampaknya masih melanjutkan apa yang

diandaikan Saussure tentang hubungan bahasa dan makna atau antara penanda dan

petanda. Tetapi yang dilakukan Barthes sesungguhnya melampaui apa yang

dilakukan Saussure. Bagi Barthes mitos bermain pada wilayah pertandaan kedua

atau pada tingkat konotasi bahasa. Jika Saussure mengatakan bahwa makna

adalah apa yang didenotasikan oleh tanda, Barthes menambah pengertian ini

menjadi makna pada tingkat konotasi. Konotasi bagi Barthes justru

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

15

mendenotasikan sesuatu hal yang Ia nyatakan sebagai mitos, dan mitos ini

mempunyai konotasi terhadap ideologi tertentu.

Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juba

mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya.

Tambahan ini merupakan sumbangan barthes yang amat berharga atas

penyempurnaan terhadap semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada

penandaan pada lapis pertama atau pada tataran denotatif semata.

Dengan membuka wilayah pemaknaan konotatif ini, ‘pembaca’ teks dapat

memahami penggunaan gaya bahasa kiasan dan metafora yang itu tidak mungkin

dapat dilakukan pada level denotatif. Lebih dari itu, disamping gagasannya dapat

dimanfaatkan untuk menganalisis media, semiotika konotasi ala Barthesian ini

memungkinkan penggunaannya untuk wilayah-wilayah lain seperti pembacaan

terhadap karya sastra dan fenomena budaya kontemporer atau budaya pop.

Dalam pandangan Ritzer, Barthes adalah pengembang utama ide-ide

Saussure pada semua aspek kehidupan sosial. Bagi Barthes, semiologi bertujuan

untuk memahami system tanda, apapun substansi dan limitnya, sehingga seluruh

fenomena sosial yang ada dapat ditafsirkan sebagai ‘tanda’ alias layak dianggap

sebagai sebuah lingkaran lingustik. Penanda-penanda konotasi, yang dapat disebut

sebagai konotator, terbentuk dari kata-kata (kesatuan penanda dan petanda) dari

system yang bersangkutan. Beberapa tanda dapat terjadi secara berkelompok

membentuk sebuah konotator tunggal. Dalam Sobur (2009: 63) bahasa

merupakan system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu

masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Dalam studinya tentang tanda, Barthes

menambahkan pesan pembaca (the reader). Penambahan area ini dikarenakan,

meskipun konotasi merupakan sifat asli dari tanda, agar tanda tersebut dapat aktif

dan berfungsi maka dibutuhkan peran pembaca.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

16

Peta Tanda Roland Barthes

Mitologi Roland Barthes

1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda)

3. Denotative Sign

(Tanda Denotatif)

4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif)

5. Connotative Signified (Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Tabel 1 Sumber: Sobur, Semiotika Komunikasi, 2009

Peta Tanda Roland Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotative (3) terdiri

atas penanda (1) dan petanda (2), namun pada saat yang bersamaan, tanda

denotative adalah juga penanda konotatif (4). Hanya jika kita mengenal tanda

“tikus” barulah konotasi seperti licik dan suka memanfaatkan dapat dimengerti.

Dalam penelitian ini, peta tanda Barthes berfungsi sebagai acuan dan

batasan bagi peneliti dalam melakukan penelitian. Pertama, mengidentifikasikan

penanda dan petanda dalam Pementasan Tari Dolalak Versi Mlaranan, kemudian

memaknai tanda-tanda tersebut di level pemaknaan denotatif dan selanjutnya

memaknai ke tingkatan yang lebih dalam lagi yaitu pemaknaan konotatif, yang

akhirnya akan menghasilkan sebuah mitos yang berkembang di masyarakat.

A. Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotasi)

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan

signifies di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal, dan dalam semiotika

Barthes, ia menyebutkannya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda.

Maka dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna

tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotative yang

M

I

T

O

S

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

17

melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotaso diasosiasikan dengan

ketertutupan makna (Sobur, 2009: 70).

Menurut Lyons (dalam Sobur, 2009: 263), denotasi adalah hubungan yang

digunakan dalam tingkat pertama pada kata secara bebas memegang peranan

penting di dalam ujaran. Denotasi dimaknai secara nyata. Nyata diartikam sebagai

makna harfiah, makna yang sesungguhnya atau terkadang dirancukan dengan

referensi atau acuan. Proses signifikasi denotasi biasanya mengacu pada

penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Misalnya,

ketika seseorang mengucapkan kata “anjing” maka yang dimaksudkan dari

pengucapan kata “anjing” tersebut adalah konsep tentang keanjingan, seperti

berkaki empat, mamalia, ekornya selalu bergoyang, menggigit dan suka

menggonggong. Dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan sistem

signifikasi tingkat pertama, yang kemudia dilanjutkan oleh system signifikasi

konotasi yang berada di tingkat kedua.

B. Sistem Pemaknaan Tingkat Kedua (Konotasi)

Istilah konotasi digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap

kedua, kata “konotasi” sendiri berasal dari bahasa Latin, “connotate” yang

memiliki arti “menjadi tanda” serta mengarah pada makna-makna cultural yang

terpisah dengan kata atau bentuk-bentuk komunikasi lainnya. Makna konotatif

adalah gabungan antara makna denotatif dengan segala gambar, ingatan dan

perasaan yang muncul ketika indera kita bersinggungan dengan petanda. Sehingga

akan terjadi interaksi saat petanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari

pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya, Contohnya ketika kita

menyebutkan kata “vespa”, makna denotasi “vespa” menurut KBBI adalah skuter,

kendaraan bermotor beroda dua yang rodanya lebih kecil daripada sepeda motor.

Namun secara konotatif kata “vespa” akan dimaknai sebagai sesuatu yang

membuat bahagia, mengingatkan akan perjalanan ke suatu tempat dan identik

dengan seseorang yang terlibat dalam ingatan akan kata “vespa” tersebut.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

18

Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebut sebagai mitos serta

berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai

dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada

makna yang menepel pada suatu kata karena sejarah pemakainya, oleh karena itu

dapat dimaknai secara berbeda oleh setiap individu. Jika denotasi sebuah kata

dianggap sebagai objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata dianggap

sebagai makna subjektif atau emosionalnya. Dalam Sobur (2009; 263) Arthur Asa

Berger menyatakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis, dan hal-

hal yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif

dalam pengertian bahwa terdapat pergeseran dari makna umum (denotatif) karena

sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Jika makna denotatif hamper bisa

dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka

yang jumlahnya lebih kecil.

C. Mitos

Dalam Alex Sobur (2009: 71) Budiman mengatakan pada kerangka

Barthes, konotasi identik dengan operasi ideology yang disebutnya sebagai mitos

dan memiliki fungsi untuk memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang

berlaku pada periode tertentu. Selain itu, dalam mitos juga terdapat pola tiga

dimensi penanda, petanda, dan tanda.

Mitos biasanya dianggap sama dengan dongeng, dan dianggap sebagai

cerita yang aneh serta sulit dipahami maknanya kalau diterima kebenarannya

karena kisahnya irasional (tidak masuk akal). Mitos meneliti teks-teks kuno dan

berbagai mitos yang telah mereka kumpulkan dari berbagai tempat dan berbagai

suku bangsa di dunia.

2.5 Diakronik

Kata Diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui dan

khronas yang berarti waktu masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan

linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan

suatu bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

19

menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia. Linguistik diakronis adalah semua

yang memiliki ciri evolusi.

Diakronis hanya hadir dalam parole karena segala perubahan pertama kali

dilontarkan individu sebelum masuk dalam kelaziman. Misalnya, bahasa Jerman

memiliki: ich war, wir waren, sedangkan bahasa Jerman kuno sampai abad XVI

menafsirkannya: ich was, wir waren dan dalam bahasa Inggris: I was, we were.

Nah, bagaimana terjadinya substitusi dari war ke was? Saussure. Linguistik

diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang

berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu

menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka.

2.6 Teori Makna

Konsep makna telah menarik disiplin ilmu komunikasi, psikologi, sosiologi,

antropologi, dan lingustik. Beberapa pakar komunikasi sering menyebut kata

makna ketika mereka mendefinisikan komunikasi. Stewart L. Tubbs dan Sylvia

Moss menyatakan, “komunikasi adalah proses pembentukan makna diantara dua

orang atau lebih” (Sobur, 2001: 255). Para ahli mengakui istilah makna (meaning)

memang merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Dalam bukunya The

Meaning Of Meaning, Ogden dan Richards (1972, 186-187) telah mengumpulkan

tidak kurang dari 22 batasan mengenai makna. Bentuk makna diperhitungkan

sebagai istilah, sebab bentuk ini mempunyai konsep dalam bidang tertentu, yakni

dalam bidang linguistik (Sobur, 2001: 255).

Pada sistem budaya, semakin banyak orang berkomunikasi semakin banyak

pemahaman suatu makna yang kita peroleh. Penafsiran akan sesuatu makna pada

dasarnya dinilai bersifat pribadi setiap orang. Sejak Olato, John Locke, Witt

Geinstein, dan BrodBeck (1963), makna dimaknakan dengan uraian yang sering

membingungkan daripada menjelaskan. Dalam hal ini Brodbeck membagi makna

pada tiga corak, sebagai berikut:

1. Makna inferensial, yaitu makna satu kata (lambang) adalah objek,

pikiran, gagasan, konsep yang dirujuk oleh kata tersebut, dalam uraian

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

20

2. Ogden dan Richards (1946), proses pemberian makna (reference

process) terjadi ketika kita menghubungkan lambang dengan yang

ditunjukan lambang (disebut rujukan atau referent).

3. Makna yang menunjukan arti (significance) yaitu suatu istilah sejauh

dihubungkan dengan konsep-konsep yang lain, contoh: benda bernyala

karena ada phlogistion, kini setelah ditemukan oksigen phlogistion

tidak berarti lagi.

4. Makna intesional, yaitu makna yang dimaksud oleh seorang pemakai

lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau dicarikan

rujukan. Makna ini tidak terdapat pada pikiran orang yang dimiliki

dirinya saja (Sobur, 2004: 262).

Pada dasarnya makna sebenarnya ada pada kepala kita, bukan terletak pada

suatu lambang. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata itu

mempunyai makna, yang dimaksudkan sebenarnya kata-kata itu mendorong orang

untuk memberi makna (yang telah disetujui bersama) terhadap kata-kata itu.

Makna dapat digolongkan kedalam makna denotatif dan konotatif. Makna

denotatif adalah makna yang sebenarnya (factual), seperti yang kita temukan

dalam kamus. Makna denotatif bersifat public, terdapat sejumlah kata yang

bermakna denotatif namun ada juga bermakna konotatif, lebih bersifat pribadi

yakni makna diluar rujukan objektifnya. Dengan kata lain makna konotatif lebih

bersifat subyektif daripada makna denotatif (Sobur, 2003: 263)

2.7 Simbol

Simbol atau sering disebut juga lambang secara etimologis berasal dari kata

Yunani “sym-ballaein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda,

perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko & Rahmanto, 1998: 133). Namun,

adapula yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau cirri yang

memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang (Herusatoto, 2000: 10). Simbol

terjadi berdasarkan metomini, yakni nama untuk benda lain yang berasosiasi atau

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

21

yang menjadi atributnya dan metafora, yaitu pemaknaan kata atau ungkapan lain

untuk objek atau konsep lain berdasarkan kias atau persamaan.

Penggunaan simbol dalam wujud budayanya, ternyata dilaksanakan dengan

penuh kesadaran, pemahaman dan penghayatan yang tinggi, dan dianut dari

generasi ke generasi berikutnya. Sebuah simbol adalah sesuatu yang secara

sengaja digunakan untuk menunjukkan sebuah benda lainnya. Benda ditunjukan

oleh simbol itu terhadap apa yang dimaksudkan kelompok sosial itu sendiri.

Kluckholn, menawarkan konsep kebudayaan yang sifatnya interpretatif,

sebuah konsep semiotik, dimana ia melihat kebudayaan sebagai suatu teks yang

perlu diinterpretasikan maknanya daripada sebagai suatu pola perilaku yang

sifatnya kongkrit (Geertz; 1992, 5). Dalam usahanya untuk memahami

kebudayaan, ia melihat kebudayaan sebagai teks sehingga perlu dilakukan

penafsiran untuk menangkap makna yang terkandung dalam kebudayaan tersebut.

Kebudayaan dilihatnya sebagai jaringan makna simbol yang dalam penafsirannya

perlu dilakukan suatu pendeskripsian yang sifatnya mendalam (thick description).

Simbol merupakan representasi dari realitas empiris, maka jika realitas

empiris berubah, simbol-simbol budaya itu pun akan mengalami perubahan.

Kebudayaan sebagai proses bukanlah suatu akhir tetapi selalu berkembang.

Dengan demikian kebudayaan adalah sesuatu yang gelisah, yang terus- menerus

bergerak secara dinamis dan pendek. Sifat diaklektis mengisyaratkan adanya suatu

“continuum”, suatu kesinambungan sejarah (Sobur, 2003: 180).

2.8 Perbandingan dengan skripsi terdahulu

Sebagai perbandingan terhadap orisinalitas penelitian yang dilakukan peneliti

mengenai Perubahan Simbol Dan Pergeseran Makna Pementasan Tari Dolalak

Versi Mlaranan , adapun sebelumnya terdapat dua penelitian yang telah

melakukan penelitian mengenai Tarian Dolalak dan satu penelitian mengenai

pergeseran makna dan fungsi Reog Banjarharjo.

1. Penelitian sebelumnya Hidayat (2015, Universitas Jendral Soedirman)

meneliti mengenai “Eksistensi Tari Dolalak Di Desa Brenggong

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

22

Kecamatan Purworejo Kabupaten Purworejo”, fokus penelitian tersebut

ada pada eksistensi Tari Dolalak yang ada pada Sanggar Arum Sari

dengan memodifikasi seni gerak, seni rupa, dan seni musik. Metode yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode

pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam, observasi,

serta dokumentasi. Data penelitian kemudian dianalisis interaktif, melalui

tiga komponen analisis yaitu pengumpulan data, penyajian data , reduksi

data danb verifikasi. Validitas data yang digunakan adalah trianggulasi

data sumber. Lokasi penelitian yang diambil oleh peneliti adalah Desa

Brenggong Kecamatan Purworejo. Sasaran utama dalam penelitian ini

adalah ketua dan anggota sanggar tari Arum Sari.

2. Penelitian mengenai Perubahan Orientasi Pada Pesan Verbal Tembang

Dalam Seni Tradisional Angguk Dan Dolalak (Isbandi, FISIP UPN),

penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus terhadap Seni

Tradisional Angguk Dan Dolalak, dalam penelitian ini fokus kepada

perubahan tembang (verbal) yang dahulunya bersifat religi sekarang

lagunya lebih popular, teori komunikasi yang digunakan adalah Teori

Budaya Organisasi (Pacanowsky dan O’ Donnel Trujillo).

3. Penelitian mengenai Peran Tari Dolalak Dalam Penyebaran Islam Di

Desa Kaliharjo Kecamatan Kaligesing Kabupaten Purworejo (1936-2007)

oleh Salimah; Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta;

2007. Dalam Penelitian ini membahas tentang sejarah kesenian Islam

khususnya tari Dolalak dan berupaya memberikan sumbangan dalam

rangka melestarikan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia dan budaya

daerah.

4. Penelitian oleh Andri Fitrianto (Universitas Negeri Semarang, 2003),

Jurusan Sosiologi dan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial, mengenai:

Perubahan Makna Dan Fungsi Reog Banjarharjo Dalam Kehidupan

Masyarakat (Studi Kasus Desa Banjarharjo, Kecamatan Banjarharjo,

Kabupaten Brebes). Metode penelitian yang digunakan adalah metode

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

23

penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan fenomenologi.

Penelitian tersebut dianalisa menggunakan teori Strukturasi Giddens

bahwa peubahan makna yang terjadi pada Reog Banjarharjo baik

perubahan pada makna dan fungsinya disebabkan oleh agen dan struktur.

Dari ketiga penelitian tentang tari Dolalak, yang menjadi pembeda antara

skripsi terdahulu dengan skripsi yang akan peneliti lakukan adalah pada

jenis pendekatannya,. Peneliti menggunakan analisis semiotika Roland

Barthes. Sedangkan perbedaan penelitian tentang pergeseran makna juga

terlihat pada skripsi mengenai Reog Banjarharjo , dalam penelitian

tersebut penggunakan pendekatan fenomenologi.

Penelitian oleh Rifiana Trifena Pangila (Universitas Kristen Satya

Wacana 2009), Fakultas Komunikasi Ilmu Sosial Dan Komunikasi.

Dalam penelitian yang dilakukan Oleh Rifiana memiliki judul penelitian :

Strategi Komunikasi “Kesenian Tari Dolalak” Di Kabupaten Purworejo

Dalam Mempertahankan Eksistensi. Metode Penelitian yang digunakan

adalah metode kualitatif. Teori Strategi Komunikasi, Strategi Bertahan

menurut Talcott Parsons (AGIL) dimana sesuai dengan judul skripsinya

yang membahas mengenai eksistensi Tarian Dolalak.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu penelitian

berjudul “Pergeseran Makna Bentuk Sajian Tarian Dolalak Versi

Mlaranan periode 1980 – 2015”, dengan metodologi penelitian kualitatif,

dengan jenis penelitian deskriptif eksplanatif untuk menjelaskan

pergeseran yang terjadi dalam tarian Dolalak dan menggunakan teori

semiotika Roland Barthes.

Page 17: BAB II KAJIAN TEORI - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11710/2/T1_362012014_BAB II...komunikasi dan melihat ke tahap-tahap dalam proses tersebut guna mengetahui

24

2.9 Kerangka Berpikir

Gambar 4

Kerangka Berpikir

Semiotika Roland Barthes

Teori Makna

Menjelaskan Pergeseran

Makna Tari Dolak Dolalak

Versi Mlaranan Periode 1980-

2015 (Diakronik)

Makna Pesan

Makna (Denotasi, Konotasi, Dan

Mitos) Dan Fungsi

Bentuk Sajian Pementasan Tarian

Dolalak Versi Mlaranan