BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1...

24
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1 Kajian Teoretis 2.1.1 Hakikat Keterampilan Berbicara 2.1.1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara Menurut Tarigan (2008:3) berbicara adalah ”Suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar mulai dipelajari”. Berbicara adalah merupakan kegiatan menyampaikan pesan kepada orang lain yang diajak berbicara, yang berarti pula harus ada kesepahaman terhadap bahasa yang digunakan. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa berbicara tentu erat hubungannya dengan perkembangan kosa kata yang diperoleh oleh sang anak melalui kegiatan menyimak dan membaca. Kematangan dan perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu kita sadari bahwa keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif banyak persamaannya dengan dibutuhkan bagi komunikasi efektif dalam keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya. Definisi berbicara juga dikemukakan oleh Brown dan Yule dalam Puji Santosa, dkk (2006:34). Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan

Transcript of BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1...

BAB II

KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN

2.1 Kajian Teoretis

2.1.1 Hakikat Keterampilan Berbicara

2.1.1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara

Menurut Tarigan (2008:3) berbicara adalah ”Suatu keterampilan berbahasa

yang berkembang pada kehidupan anak, yang didahului oleh keterampilan menyimak,

dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar mulai dipelajari”.

Berbicara adalah merupakan kegiatan menyampaikan pesan kepada orang lain yang

diajak berbicara, yang berarti pula harus ada kesepahaman terhadap bahasa yang

digunakan.

Selanjutnya dijelaskan pula bahwa berbicara tentu erat hubungannya dengan

perkembangan kosa kata yang diperoleh oleh sang anak melalui kegiatan menyimak

dan membaca. Kematangan dan perkembangan bahasa juga merupakan suatu

keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu kita sadari bahwa

keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif

banyak persamaannya dengan dibutuhkan bagi komunikasi efektif dalam

keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya.

Definisi berbicara juga dikemukakan oleh Brown dan Yule dalam Puji

Santosa, dkk (2006:34). Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi

bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan

secara lisan. Pengertian ini pada intinya mempunyai makna yang sama dengan

pengertian yang disampaikan oleh Tarigan yaitu bahwa berbicara berkaitan dengan

pengucapan kata-kata.

Haryadi dan Zamzani (2000:72) mengemukakan bahwa secara umum berbicara

dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang

kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat

dipahami orang lain. Pengertian ini mempunyai makna yang sama dengan kedua

pendapat yang diuraikan diatas, hanya saja diperjelas dengan tujuan yang lebih jauh

lagi yaitu agar apa yang disampaikan dapat dipahami oleh orang lain.

Sedangkan St. Y. Slamet dan Amir (1996: 64) mengemukakan pengertian

berbicara sebagai keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan sebagai

aktivitas untuk menyampaikan gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai

dengan kebutuhan penyimak. Pengertian ini menjelaskan bahwa berbicara tidak

hanya sekedar mengucapkan kata-kata, tetapi menekankan pada penyampaian

gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak atau

penerima informasi atau gagasan.

Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan

bahwa pengertian berbicara ialah kemampuan mengucapkan kata-kata dalam rangka

menyampaikan atau menyatakan maksud, ide, gagasan, pikiran, serta perasaan yang

disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak agar apa yang

disampaikan dapat dipahami oleh penyimak.

2.1.1.2 Tujuan Pengajaran Keterampilan Berbicara

Menurut Tarigan (2008:49) tujuan berbicara biasanya dapat dibedakan atas

lima golongan yakni:

1) Berbicara untuk Menghibur

Berbicara untuk menghibur para pendengar, pembicara menarik

perhatian pendengar dengan berbagai cara, seperti humor, spontanitas,

kisah-kisah jenaka, dan sebagainya. Menghibur adalah membuat orang

tertawa dengan hal-hal yang dapat menyenangkan hati. Menciptakan

suatu suasana keriangan dengan cara menggembirakan. Sasaran

diarahkan kepada perisiwa-peristiwa kemanusiaan yang penuh kelucuan

dan kegelian yang sederhana. Media yang sering dipakai dalam

berbicara untuk menghibur adalah seni bercerita atau mendongeng ( the

art of story-telling), lebih-lebih cerita yang lucu, jenaka, dan

menggelikan. Pada saat pembicara atau si tukang dongeng beraksi, para

partisipan dapat tertawa bersama-sama dengan penuh kegembiraan dan

kekeluargaan atau persahabatan.

2) Berbicara untuk Menginformasikan

Berbicara untuk tujuan menginformasikan dilaksanakan kalau seseorang

berkeinginan untuk :

1. menerangkan atau menjelaskan sesuatu proses.

2. memberi atau menanamkan pengetahuan.

3. menguraikan, menafsirkan, atau mengiterpretasikan sesuatu

hal,menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antara benda,hal, atau

peristiwa.

3) Berbicara untuk menstimulasi

Bercerita untuk tujuan menstimulasi pendengar jauh lebih kompleks dari

berbicara untuk menghibur atau berbicara untuk menginformasikan,

sebab pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, atau meyakinkan

pendengarnya. Ini dapat tercapai jika pembicara benar-benar mengetahui

kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan, dan cita-cita pendengarnya.

Berdasarkan keadaan itulah pembicara membakar semangat dan emosi

pendengarnya sehingga pada akhirnya pendengar tergerak untuk

mengerjakan apa-apa yang dikehendaki pembicara.

4) Berbicara untuk meyakinkan

Tujuan utama berbicara untuk meyakinkan ialah meyakinkan

pendengarnya akan sesuatu. Melalui pembicaraan yang meyakinkan,

sikap pendengar dapat diubah misalnya dari sikap menolak menjadi

sikap menerima. Misalnya bila seseorang atau sekelompok orang tidak

menyetujui suatu rencana, pendapat atau putusan orang lain, maka orang

atau kelompok tersebut perlu diyakinkan bahwa sikap mereka tidak

benar. Melalui pembicara yang terampil dan disertai dengan bukti ,fakta

contoh, dan ilustrasi yang mengena, sikap itu dapat diubah dari tak

setuju menjadi setuju.

5) Berbicara untuk menggerakkan

Di dalam bercerita atau berpidato menggerakkan massa yaitu pendengar

berbuat, bertindak, atau beraksi seperti yang dikehendaki pembicara

merupakan kelanjutan, pertumbuhan, atau perkembangan berbicara

untuk meyakinkan. Dalam berbicara untuk menggerakkan diperlukan

pembicara yang berwibawa, panutan, atau tokoh idola masyarakat.

Melalui kepintarannya berbicara, kelihatannya membakar emosi,

kecakapan memanfaatkan situasi, ditambah penguasaannya terhadap

ilmu – jiwa massa, pembicara dapat menggerakkan pendengarnya.

Misalnya, bung Tomo dapat membakar semangat dan emosi para

pemuda di Surabaya, sehingga mereka berani mati mempertahankan

tanah air.

Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Komunikasi

merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang

atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Oleh karena itu,

agar dapat menyampaikan pesan secara efektif, pembicara harus

memahami apa yang akan disampaikan atau dikomunikasikan. Tarigan juga

mengemukakan bahwa berbicara mempunyai tiga maksud umum yaitu

untuk memberitahukan dan melaporkan (to inform), menjamu dan

menghibur (to entertain), serta untuk membujuk, mengajak, mendesak dan

meyakinkan (to persuade).

Gorys Keraf dalam St. Y. Slamet dan Amir (1996: 46-47)

mengemukakan tujuan berbicara diantaranya adalah untuk meyakinkan

pendengar, menghendaki tindakan atau reaksi fisik pendengar,

memberitahukan, dan menyenangkan para pendengar. Pendapat ini tidak

hanya menekankan bahwa tujuan berbicara hanya untuk memberitahukan,

meyakinkan, menghibur, namun juga menghendaki reaksi fisik atau

tindakan dari si pendengar atau penyimak.

Sujarwo (2006:84) berpendapat bahwa tujuan berbicara ialah untuk:

(1) memberitahukan sesuatu kepada pendengar, (2) meyakinkan atau

mempengaruhi pendengar, dan (3) menghibur pendengar. Pendapat ini

mempunyai maksud yang sama dengan pendapat-pendapat yang telah

diuraikan di atas.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas,

dapat disimpulkan bahwa tujuan berbicara yang utama ialah untuk

berkomunikasi. Sedangkan tujuan berbicara secara umum ialah untuk

memberitahukan atau melaporkan informasi kepada penerima informasi,

meyakinkan atau mempengaruhi penerima informasi, untuk menghibur,

serta menghendaki reaksi dari pendengar atau penerima informasi.

Keraf (1993:36) menjelasdkan bahwa ”Sebagai salah satu aspek

pengajaran bahasa, tujuan pembelajaran keterampilan berbicara tentu

berkaitan erat dengan tujuan pengajaran bahasa Indonesia. Sesuai dengan

kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, pada dasarnya tujuan pengajaran

bahasa Indonesia adalah siswa agar mampu menggunakan bahasa

Indonesia dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi,

baik secara lisan maupun tulis, serta mempunyai sikap yang positif

terhadap bahasa Indonesia. Pengajaran keterampilan berbicara berkaitan

dengan pembinaan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara

lisan”.

Sesuai dengan tujuan pengajaran bahasa Indonesia tersebut dapatlah

dikemukakan bahwa tujuan pengajaran keterampilan berbicara menurut

Depdiknas, (2006:34) adalah agar para siswa mampu memilih dan menata

gagasan dengan penalaran yang logis dan sistematis, mampu

menuangkannya ke dalam bentuk-bentuk tuturan dalam bahasa Indonesia

yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, mampu mengucapkannya

dengan jelas dan lancar, serta mampu memilih ragam bahasa Indonesia

sesuai dengan konteks komunikasi.

2.1.1.3 Prinsip Pengajaran Keterampilan Berbicara

Pengajaran keterampilan berbicara harus dilaksanakan dengan menciptakan

situasi belajar yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensi

keterampilan berbicaranya semaksimal mungkin. Menurut Listiyanto, Ahmad

( 2010:34) Apapun kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan dalam pengajaran,

harus senantiasa memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berbicara.

Keterampilan berbicara sebagaimana hal ketarampilan-keterampilan lain, hanya dapat

dikuasai dengan baik apabila si pembelajar diberi kesempatan berlatih sebanyak-

banyaknya. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan keterampilan

berbicara adalah: (1) memberikan latihan berbicara sebanyak-banyaknya; (2) latihan

berbicara harus merupakan bagian yang integral dari program pengajaran sehari-hari;

dan (3) menumbuhkan kepercayaan diri.

2.1.1.4 Faktor-Faktor Penunjang Kegiatan Berbicara

Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berkomunikasi, saling berbagi

pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual.

Bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting menurut

Maryati dan Sutupo (2008:78) yakni sebagai bahasa negara dan bahasa nasional.

Mengingat fungsi yang diemban oleh bahasa Indonesia sangat banyak, maka kita

perlu mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap bahasa Indonesia. Tanpa

adanya pembinaan dan pengembanagan tersebut bahasa Indonesia tidak akan dapat

berkembang, sehingga dikhawatirkan bahasa Indonesia tidak dapat mengemban

fungsi-fungsinya. Salah satu cara dalam melaksanakan pembinaan dan

pengembangan bahasa Indonesia itu adalah melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia

di sekolah. Pembinaan dan pengembangan kemampuan dan keterampilan berbahasa

yang diupayakan di sekolah berorientasi pada empat jenis keterampilan berbahasa,

yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan

keterampilan menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut berhubungan erat

satu dengan yang lain.

Berbicara berhubungan erat dengan perkembangan kosa kata yang diperoleh

anak melalui kegiatan menyimak dan membaca. Kebelum matangan dalam

perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan suatu

bahasa. Juga kita sadari bahwa keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi

kegiatan berbicara yang efektif banyak persamaannya dengan yang dibutuhkan bagi

komunikasi efektif dalam keterampilan-keterampilan berbahasa yang lain.

Berbicara atau kegiatan komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam

usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok orang, yang disebut juga

audience atau majelis. Supaya tujuan pembicaraan atau pesan dapat sampai kepada

audience dengan baik, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menunjang

keefektifan berbicara. Kegiatan berbicara juga memerlukan hal-hal di luar

kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan a)

penguasaan bahasa, b) bahasa, c) keberanian dan ketenangan, d) kesanggupan

menyampaikan ide dengan lancar dan teratur.

Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut, menurut

Kridalaksana, Harimurti (1993:45) Faktor kebahasaan, meliputi a) ketepatan ucapan,

b) penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, c) pilihan kata, d)

ketepatan penggunaan kalimat serta tata bahasanya, e) ketepatan sasaran

pembicaraan. Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi, f) sikap yang wajar, tenang

dan tidak kaku, g) pendangan harus diarahkan ke lawan bicara, h) kesediaan

menghargai orang lain, i) gerak-gerik dan mimik yang tepat, j) kenyaringan suara, k)

kelancaran, l) relevansi, penalaran, m) penguasaan topik.

2.1.1.5 Faktor Penghambat Kegiatan Berbicara

Dengan berbicara seseorang berusaha untuk mengungkapkan pikiran dan

perasaannya kepada orang lain secara lisan. Tanpa usaha untuk mengungkapkan

dirinya, orang lain tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakannya.

Ketika kita tanpa bicara, orang tidak akan dapat saling berinteraksi dengan sesamanya

dan seakan terkucilkan dari lingkungannya. Untuk berkomunikasi dengan sesamanya

manusia lebih sering menggunakan bahasa lisan daripada bahasa tulis. Bahasa lisan

dapat mewakili sifat dan perasaan yang sedang dirasakannya. Oleh karena itu,

keterampilan berbicara menjadi salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia.

Ada kalanya proses komunikasi mengalami gangguan yang mengakibatkan

pesan yang diterima oleh pendengar tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh

pembicara. Tiga faktor penyebab gangguan dalam kegiatan berbicara, menurut

Damiati dkk (2003:23) yaitu:

a. Faktor fisik, yaitu faktor yang ada pada partisipan sendiri dan faktor

yang berasal dari luar partisipan.

b. Faktor media, yaitu faktor linguitisk dan faktor nonlinguistik, misalnya

lagu, irama, tekanan, ucapan, isyarat gerak bagian tubuh.

c. Faktor psikologis, kondisi kejiwaan partisipan komunikasi, misalnya

dalam keadaan marah, menangis, dan sakit.

2.1.2 Hakikat Bercerita

2.1.2.1 Pengertian Bercerita

Bercerita dalam kamus bahasa Indonesia berarti menuturkan cerita, merupakan

kegiatan menceritakan atau menuturkan cerita secara lisan baik berdasarkan teks

cerita atau tidak. Seni bercerita sudah ada sejak zaman dahulu, merupakan tradisi

penuturan bahasa secara lisan yang sudah cukup lama dimiliki bangsa Indonesia.

Sejak zaman dahulu para leluhur sudah mempunyai kebiasaan bercerita secara lisan.

Adanya pelipur lara membuktikan bahwa tradisi bercerita sudah ada sejak lama.

Budaya baca tulis yang masuk ke Indonesia bersama-sama dengan masuknya

peradaban modern memang telah menggeser tradisi kelisanan. Meskipun demikian

orang yang mahir bercerita tetap diperlukan.

Kata “cerita” mengacu pada sesuatu yang diungkapakan dalam aktivitas

bercerita. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Takdiroatun 2005), cerita diartikan

dalam beberapa pengertian, yaitu:1) Tuturan yang membentangkan bagaimana

terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian, dan sebagainya; 2) Karangan yang

menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian, dan sebagainya,

baik sungguh-sungguh maupun rekaan belaka; 3) Lakon yang diwujudkan atau

dipertunjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang, dan sebagainya.

Masing-masing pengertian tersebut memiliki bentuk visualisasi yang berbeda-beda.

Pada pengertian yang pertama, cerita diartikan sebagai sesuatu yang dituturkan secara

lisan tentang suatu peristiwa atau kejadian. Pengertian cerita seperti ini dapat dilihat

pada aktivitas bercerita yang dilakukan guru kepada siswanya, atau orang tua kepada

anaknya. Aktivitas bercerita ini secara kental muncul pada tradisi lisan yang

berkembang pada beberapa waktu lalu, yaitu dengan munculnya pawing cerita.

Meskipun tradisi lisan ini sudah banyak berkurang, tetapi pada beberapa kesempatan

masih kita jumpai aktivitas bercerita ini.

Berbeda dengan pengertian yang pertama, pada pengertian yang kedua,

karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian, dan

sebagainya baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan belaka, cerita diartikan

sebagai karya dalam bentuk tulisan, seperti halnya buku cerita atau cerita anak yang

ditulis dalam majalah. Dalam pengertian yang kedua ini dikenal cerita yang sungguh-

sungguh terjadi (nonfiksi) dan cerita rekaan (fiksi). Dalam kategori cerita yang

sungguh-sungguh terjadi, cerita anak dapat diwujudkan dalam bentuk biografi

seorang tokoh dan tulisan pengalaman yang mengesankan. Dalam kategori cerita

rekaan, cerita anak dapat berkembang secara lebih luas sehingga muncul variasi-

variasi tema yang menarik dalam berbagai karya cerita. Dalam praktiknya, unsur

nonfiksi dan fiksi sebenarnya dapat digabung. Hal ini dapat dilakukan pada cerita

yang mengandung sains (ilmu alam).

Berbeda lagi dengan pengertian pertama dan kedua, pada pengertian yang

ketiga, lakon yang diwujudkan atau dipertumjukkan dan digambar hidup seperti

sandiwara, wayang dan sebagainya, maka cerita dapat diartikan sebagai karya dalam

bentuk pementasan. Untuk pengertian yang ketiga ini, secara operasional dibutuhkan

beberapa hal tentang desain panggung dan dekorasi, pemilihan pemain, pemakaian

kostum, acting, sound effect (efek-efek yang dimunculkan dari suara), dan

sebagainya. Pementasan cerita anak dapat diwujudkan dalam bentuk operet,

sandiwara atau drama, ataupun sinetron anak di televisi yang berkembang pada saat

ini.

Ketiga pengertian tentang cerita di atas mengisyaratkan bentuk-bentuk cerita

anak dalam beberapa kategori, yaitu lisan, tulis, dan gerak atau acting. Ketiga bentuk

tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda. Walaupun cenderung mengacu pada

istilah teknis, bercerita juga bisa dikaitkan dengan istilah “cerita” dalam bentuk

tulisan dan pementasan. Sebenarnya esensi dari bercerita itu terletak pada adanya

cerita yang diceritakan, sehingga apa pun bentuknya (lisan, tulis, acting), semuanya

dapat dikategorikan sebagai aktivitas bercerita.

Bercerita bukan hanya untuk mengajarkan anak-anak membaca, namun untuk

membuat anak mencintai buku. Akan sangat menyenangkan bagi seorang anak untuk

merasakan kehadiran kita bersama mereka, mendengarkan suara kita, dan melihat

gambar-gambar ilustrasi dalam buku.

2.1.2.1 Jenis-jenis Bercerita

Dalam menceritakan peristiwa ada berbagai jenis diantaranya, bercerita dengan

alat peraga langsung; dan bercerita dengan alat peraga tak langsung atau benda tiruan

(Maidar, Arsjad, G. dan Mukti. 1991:23).

1. Bercerita dengan Alat Peraga Langsung

Pencerita bercerita dengan menggunakan alat peraga langsung,

misalnya:

a. benda: tas, buku, pensil, baju, tempat makan.

b. binatang: kucing, ayam, bebek, burung, ikan, kupu-kupu.

c. tanaman: bunga melati, bunga mawar, pohon jagung, pohon padi.

2. Pencerita bercerita dengan menggunakan alat peraga tak langsung,

misalnya:

a. bercerita dengan gambar.

b. bercerita dengan kartu.

c. bercerita dengan papan flannel.

d. bercerita dengan buku cerita.

e. bercerita dengan boneka.

f.bercerita sambil menggambar.

Hal yang perlu diperhatikan saat memilih alat peraga, yaitu alat

peraga sesuai dengan tema, ukuran tepat, jumlah memadai, dukungan

teknologi memadai, misalnya: listrik, dan hal yang perlu diperhatikan saat

menggunakan alat peraga, cara memegang atau menunjuk, posisi bercerita.

2.1.2.3 Langkah-langkah dalam Kegiatan Menceritakan Kembali

Model pembelajaran menceritakan kembali merupakan salah satu sub bagian

dari model pembelajaran berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Sub

bagian yang lain dari model pembelajaran berbicara yaitu : ulang ucap, lihat

ucapkan, memerikan, menjawab pertanyaan, bertanya, reka cerita gambar,

melanjutkan cerita, bercerita, parafrase dan bermain peran.

Model pembelajaran menceritakan kembali merupakan kelanjutan dari model

pembelajaran melanjutkan cerita. Maka dikandung pengertian bahwa setelah

peserta didik dan guru menguasai pembelajaran melanjutkan cerita maka akan

meningkat ke model pembelajaran menceritakan kembali. Di dalam model

pembelajaran ini peserta didik sudah mulai belajar mandiri merangkai kata-kata dan

kalimat sendiri meskipun secara sederhana. Bukan tanpa kendala tentunya, karena

mungkin peserta didik akan mengalami (Nurgiyantoro, Burhan. 2005:23):

a) Dihinggapi perasaan malu dan canggung untuk melakukan praktik

menceritakan kembali.

b) Sering terjadi macet di jalan, atau kehabisan kata-kata/kalimat.

c) Sering terjadi pengulangan kata-kata yang sama/itu-itu saja.

Untuk menangani masalah/kendala di atas solusi yang dapat

ditempuh antara lain (Rofi’uddin, Ahmad & Zuhdi, Darmiyati. 1998:23)

1) Pemberian motivasi yang cukup pada para peserta didik.

2) Guru sering memberi umpan di mana dirasa diperlukan saja.

3) Perlu memperluas/menambah perbendaharaan kata dan kalimat para

peserta didik.

4) Tema-tema cerita hendaknya yang menarik, aktual, sesuai dengan minat

dan motivasi peserta didik.

Sebagai salah satu contoh langkah-langkah pembelajarannya,

sebagai berikut (Tarigan, Henry Guntur. 1983:46).

1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran/KD.

2. Guru menceritakan suatu peristiwa sehari-hari secara sederhana dalam

satu paragraf.

3. Guru memberi tugas salah satu peserta didik untuk menceritakan

kembali peristiwa tersebut dengan kata-kata peserta didik sendiri. Hal

ini dilakukan tanpa peserta didik maju ke depan kelas tetapi cukup di

mejanya sendiri.

4. Guru menunjuk peserta didik yang lain untuk melakukan hal yang sama.

5. Guru menceritakan peristiwa yang lain, sedangkan peserta didik tekun

memperhatikan.

6. Kadang dengan cara ditunjuk peserta didik akan enggan, maka guru

dapat membuat kertas gulungan berisi nama-nama peserta didik lalu

dikocok dan diundi, maka yang namanya muncul/keluar harus berani

maju ke depan kelas untuk menceritakan kembali apa yang sudah

diceritakan guru.

7. Demikian seterusnya sampai seluruh siswa maju untuk menceritakan

kembali.

8. Evaluasi.

9. Kesimpulan.

Kemampuan membuat desain pembelajaran merupakan fokus kompetensi yang

harus Bapak/Ibu kuasai sebagai seorang guru. Alasannya, kemampuan mendesain

pembelajaran sangat berkaitan langsung dengan pelaksanaan tugas Bapak/Ibu di

lapangan sebagai pemegang kendali proses pembelajaran yang berlangsung di dalam

kelas.

Tidak ada metode pembelajaran berbicara yang sempurna, maka Guru dituntut

untuk mampu memilah dan memilih serta menentukan media dan metode yang paling

relevan dengan tujuan dan situasi yang dihadapinya di kelas.

2.1.3 Hakikat Model Artikulasi

Model pembelajaran Artikulasi prosesnya seperti pesan berantai, artinya apa

yang telah diberikan guru, seorang siswa wajib meneruskan menjelaskannya pada

siswa lain (pasangan kelompoknya). Di sinilah keunikan model pembelajaran ini.

Siswa dituntut untuk bisa berperan sebagai ‘penerima pesan’ sekaligus berperan

sebagai ‘penyampai pesan.’ (Purwanto, Ari. 2008:67) Senada dengan itu Tarigan,

Henry Guntur(2008:46) mengungkapkan model pembelajaran Artikulasi merupakan

model yang prosesnya seperti pesan berantai, artinya apa yang telah diberikan guru,

seorang siswa wajib meneruskan menjelaskannya pada siswa lain (pasangan

kelompoknya). Di sinilah keunikan model pembelajaran ini. Siswa dituntut untuk bisa

berperan sebagai ‘penerima pesan’ sekaligus berperan sebagai ‘penyampai pesan’.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

artikulasi merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa aktif dalam

pembelajaran dimana siswa dibentuk menjadi kelompok kecil yang masing-masing

siswa dalam kelompok tersebut mempunyai tugas mewawancarai teman

kelompoknya tentang materi yang baru dibahas. Konsep pemahaman sangat

diperlukan dalam model pembelajaran ini.

Langkah-langkah model pembelajaran Artikulasi adalah sebagai

berikut :

1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.

2. Guru menyajikan materi sebagaimana biasa.

3. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan

dua orang.

4. Menugaskan salah satu siswa dari pasangan itu menceritakan materi

yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil

membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga

kelompok lainnya.

5. Menugaskan siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil

wawancaranya dengan teman pasangannya sampai sebagian siswa sudah

menyampaikan hasil wawancaranya.

6. Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum

dipahami siswa.

7. Kesimpulan/penutup.

Model pembelajaran artikulasi ini mempunyai kelemahan dan

kelebihan, antara lain:

A. Kelemahannya:

a. Untuk mata pelajaran tertentu.

b. Waktu yang dibutuhkan banyak.

c. Materi yang didapat sedikit.

d. Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor.

e. Lebih sedikit ide yang muncul.

f. Jika ada perselisihan tidak ada penengah.

B. Kelebihannya:

a. Semua siswa terlibat (mendapat peran).

b. Melatih kesiapan siswa.

c. Melatih daya serap pemahaman dari orang lain.

d. Cocok untuk tugas sederhana.

e. Interaksi lebih mudah.

f. Lebih mudah dan cepat membentuknya.

g. Meningkatkan partisipasi anak.

2.1.4 Kemampuan Siswa Menceritakan Peristiwa yang Pernah Dialami

Menceritakan peristiwa artinya menceritakan suatu kejadian atau peristiwa.

Menceritakan peristiwa yang pernah dialami, dilihat, atau didengar berarti

menceritakan pengalaman yang kamu alami, lihat, atau dengar. Peristiwa atau yag

pernah dialami, misalnya terjatuh ketika belajar naik sepeda. Peritiwa atau kejadian

yang dilihat, misalnya:

a. Melihat sendiri secara langsung, misalnya melihat kecelakaan lalu lintas

di jalan raya.

b. Melihat melalui layar televisi, misalnya berita jatuhnya pesawat terbang,

melihat banjir melanda Kota Gorontalo.

Peristiwa atau kejadian yang didengar bisa berasal dari cerita teman,

cerita orang lain, atau berita dari radio/televisi.Ketika menceritakan

peristiwa, peristiwa itu harus diceritakan secara urut dengan menggunakan

bahasa yang mudah dipahami.

Sewaktu bercerita, ceritakanlah apa peristiwanya, di mana

peristiwanya terjadi, kapan terjadinya, mengapa bisa terjadi, siapa yang

terlibat, dan bagaimana peristiwa itu terjadi.

Contoh:

Hiasan Dinding

Di rumahku banyak sekali terdapat kulit kerang dari laut. Ayah

sering menyelam di laut dan pulangnya selalu membawa kerang-

kerangan.

Ketika guruku menyuruh kami membuat prakarya, aku membuat

hiasan dinding dari kerang-kerangan tersebut. Kerang itu kurangkai

hingga membentuk bunga-bungaan.

Setelah kukumpulkan, ternyata aku mendapat nilai paling tinggi.

Aku mendapat nilai 9. Senang sekali hatiku. Guruku pun kagum akan

hasil karyaku.

2.1.5 Hubungan model artikulasi dalam meningkatkan kemampuan siswa

menceritakan peristiwa.

Dalam proses belajar mengajar sangat dituntut keaktifan siswa untuk

mencapai hasil belajar yang baik terutama pada kemampuan menceritakan peristiwa,

jadi dalam proses interaksi belajar mengajar guru tidak hanya tepaku pada satu model

saja, tetapi harus menggunakan model yang lain dengan tujuan agar proses belajar

mengajar tidak membosankan tetapi menarik perhatian anak didik. guru harus

berusaha menerapkan model-model variatif tertentu untuk membangkitkan semangat

belajar siswa supaya hasil belajarnya lebih baik lagi Oleh sebab itu guru menerapkan

model pembelajaran artikulasi dalam proses belajar mengajar, yang mana model ini

membutuhkan siswa dengan dengan jumlah yang banyak dalam menelaah materi

yang tertera dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman siswa terhadap isi

pelajaran. Menurut Suyatno (2003:23) Artikulasi adalah model pembelajaran yang

berbentuk kelompok berpasangan, dimana bila salah satu siswa menyampaikan

materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di

depan kelas perihal hasil diskusinya dan guru membimbing siswa untuk

menyimpulkan. Model pembelajaran artikulasi memiliki keunggulan dapat membantu

siswa dalam memahami konsep-konsep sulit, pendekatan ini berguna untuk

membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama, berfikir kritis dan

kemampuan dalam membantu teman.

Sebelum peneliti melaksanakan pembelajaran terlebih dahulu peneliti

menyiapkan perangkat pembelajaran seperti Silabus dan Rancangan Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP) untuk kelas materi yang diajarkan. Artikulasi merupakan salah

satu model pembelajaran dengan sintak penyampaian kompetensi, sajian materi,

bentuk kelompok berpasangan sebangkku, salah satu siswa menyampaikan materi

yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan

hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan. Adapun Langkah-

Langkah Metode Pembelajaran Artikulasi ini sebagai

berikut:

1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

2. Guru menyajikan materi sebagaimana mestinya.

3. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan

dua orang.

4. Suruhlah seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru

diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat

catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kepada

kelompok yang lain.

5. Siswa diminta secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil

wawancaranya dengan teman pasangannya, sampai sebagian siswa

sudah menyampaikan hasil wawancaranya.

6. Guru mengulangi/ menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum

dipahami siswa.

7. Guru membuat kesimpulan bersama siswa

2.2 Kajian Penelitian Relevan

Dalam penelitian ini, ada beberapa kajian penelitian relevan, diantaranya

sebagai berikut.

a. Daniar Datau (2012) dalam skripsinya yang berjudul “ Meningkatkan

kemampuan berbicara siswa melalui model Artikulasi di Kelas IV SDN 2

Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo” dalam kesimpulan

penelitiannya menyatakan bahwa model artikulasi dapat meningkatkan

kemampuan berbicara siswa, hasil yang diperoleh dalam penelitian pada

siklus I mencapai 53% meningkat menjad 77.8% pada siklus II.

b. Elga Syarah dalam skripsinya yang berjudul “ Meningkatkan kemampuan

berbahasa melalui model artikulasi pada siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5

Banjarmasin dalam kesimpulan penelitiannya menyatakan bahwa model

artikulasi ternyata dapat meningkatkan kemampuan berbahasa, hal ini

ditunjukkan oleh peningkatan jumlah anak yang mampu berbahasa dengan

baik yakni 80%.

2.3 Hipotesis Tindakan

Dari uraian kerangka teori dan konseptual di atas, maka rumusan hipotesis

tindakan pada penelitian ini adalah ”Jika guru menggunakan model artikulasi,

maka kemampuan menceritakan peristiwa di kelas III SDN 2 Botubilotahu

Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato akan meningkat”.

2.4 Indikator Kinerja

Adapun yang menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah:

1) Apabila 75% dari jumlah siswa sudah menunjukkan kriteri mampu dari 3

aspek yang diamati dalam penilaian kemampuan menceritakan peristiwa.

2) Apabila hasil penilaian kemampuan menceritakan peristiwa siswa

menunjukkan peningkatan 30% dari hasil penilaian awal.