BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN 2.1...
BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN HIPOTESIS TINDAKAN
2.1 Kajian Teoretis
2.1.1 Hakikat Keterampilan Berbicara
2.1.1.1 Pengertian Keterampilan Berbicara
Menurut Tarigan (2008:3) berbicara adalah ”Suatu keterampilan berbahasa
yang berkembang pada kehidupan anak, yang didahului oleh keterampilan menyimak,
dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar mulai dipelajari”.
Berbicara adalah merupakan kegiatan menyampaikan pesan kepada orang lain yang
diajak berbicara, yang berarti pula harus ada kesepahaman terhadap bahasa yang
digunakan.
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa berbicara tentu erat hubungannya dengan
perkembangan kosa kata yang diperoleh oleh sang anak melalui kegiatan menyimak
dan membaca. Kematangan dan perkembangan bahasa juga merupakan suatu
keterlambatan dalam kegiatan-kegiatan berbahasa. Juga perlu kita sadari bahwa
keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi kegiatan berbicara yang efektif
banyak persamaannya dengan dibutuhkan bagi komunikasi efektif dalam
keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya.
Definisi berbicara juga dikemukakan oleh Brown dan Yule dalam Puji
Santosa, dkk (2006:34). Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi
bahasa untuk mengekspresikan atau menyampaikan pikiran, gagasan atau perasaan
secara lisan. Pengertian ini pada intinya mempunyai makna yang sama dengan
pengertian yang disampaikan oleh Tarigan yaitu bahwa berbicara berkaitan dengan
pengucapan kata-kata.
Haryadi dan Zamzani (2000:72) mengemukakan bahwa secara umum berbicara
dapat diartikan sebagai suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang
kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat
dipahami orang lain. Pengertian ini mempunyai makna yang sama dengan kedua
pendapat yang diuraikan diatas, hanya saja diperjelas dengan tujuan yang lebih jauh
lagi yaitu agar apa yang disampaikan dapat dipahami oleh orang lain.
Sedangkan St. Y. Slamet dan Amir (1996: 64) mengemukakan pengertian
berbicara sebagai keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan sebagai
aktivitas untuk menyampaikan gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan penyimak. Pengertian ini menjelaskan bahwa berbicara tidak
hanya sekedar mengucapkan kata-kata, tetapi menekankan pada penyampaian
gagasan yang disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak atau
penerima informasi atau gagasan.
Berdasarkan pendapat-pendapat yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan
bahwa pengertian berbicara ialah kemampuan mengucapkan kata-kata dalam rangka
menyampaikan atau menyatakan maksud, ide, gagasan, pikiran, serta perasaan yang
disusun dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan penyimak agar apa yang
disampaikan dapat dipahami oleh penyimak.
2.1.1.2 Tujuan Pengajaran Keterampilan Berbicara
Menurut Tarigan (2008:49) tujuan berbicara biasanya dapat dibedakan atas
lima golongan yakni:
1) Berbicara untuk Menghibur
Berbicara untuk menghibur para pendengar, pembicara menarik
perhatian pendengar dengan berbagai cara, seperti humor, spontanitas,
kisah-kisah jenaka, dan sebagainya. Menghibur adalah membuat orang
tertawa dengan hal-hal yang dapat menyenangkan hati. Menciptakan
suatu suasana keriangan dengan cara menggembirakan. Sasaran
diarahkan kepada perisiwa-peristiwa kemanusiaan yang penuh kelucuan
dan kegelian yang sederhana. Media yang sering dipakai dalam
berbicara untuk menghibur adalah seni bercerita atau mendongeng ( the
art of story-telling), lebih-lebih cerita yang lucu, jenaka, dan
menggelikan. Pada saat pembicara atau si tukang dongeng beraksi, para
partisipan dapat tertawa bersama-sama dengan penuh kegembiraan dan
kekeluargaan atau persahabatan.
2) Berbicara untuk Menginformasikan
Berbicara untuk tujuan menginformasikan dilaksanakan kalau seseorang
berkeinginan untuk :
1. menerangkan atau menjelaskan sesuatu proses.
2. memberi atau menanamkan pengetahuan.
3. menguraikan, menafsirkan, atau mengiterpretasikan sesuatu
hal,menjelaskan kaitan, hubungan, relasi antara benda,hal, atau
peristiwa.
3) Berbicara untuk menstimulasi
Bercerita untuk tujuan menstimulasi pendengar jauh lebih kompleks dari
berbicara untuk menghibur atau berbicara untuk menginformasikan,
sebab pembicara harus pintar merayu, mempengaruhi, atau meyakinkan
pendengarnya. Ini dapat tercapai jika pembicara benar-benar mengetahui
kemauan, minat, inspirasi, kebutuhan, dan cita-cita pendengarnya.
Berdasarkan keadaan itulah pembicara membakar semangat dan emosi
pendengarnya sehingga pada akhirnya pendengar tergerak untuk
mengerjakan apa-apa yang dikehendaki pembicara.
4) Berbicara untuk meyakinkan
Tujuan utama berbicara untuk meyakinkan ialah meyakinkan
pendengarnya akan sesuatu. Melalui pembicaraan yang meyakinkan,
sikap pendengar dapat diubah misalnya dari sikap menolak menjadi
sikap menerima. Misalnya bila seseorang atau sekelompok orang tidak
menyetujui suatu rencana, pendapat atau putusan orang lain, maka orang
atau kelompok tersebut perlu diyakinkan bahwa sikap mereka tidak
benar. Melalui pembicara yang terampil dan disertai dengan bukti ,fakta
contoh, dan ilustrasi yang mengena, sikap itu dapat diubah dari tak
setuju menjadi setuju.
5) Berbicara untuk menggerakkan
Di dalam bercerita atau berpidato menggerakkan massa yaitu pendengar
berbuat, bertindak, atau beraksi seperti yang dikehendaki pembicara
merupakan kelanjutan, pertumbuhan, atau perkembangan berbicara
untuk meyakinkan. Dalam berbicara untuk menggerakkan diperlukan
pembicara yang berwibawa, panutan, atau tokoh idola masyarakat.
Melalui kepintarannya berbicara, kelihatannya membakar emosi,
kecakapan memanfaatkan situasi, ditambah penguasaannya terhadap
ilmu – jiwa massa, pembicara dapat menggerakkan pendengarnya.
Misalnya, bung Tomo dapat membakar semangat dan emosi para
pemuda di Surabaya, sehingga mereka berani mati mempertahankan
tanah air.
Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Komunikasi
merupakan pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang
atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Oleh karena itu,
agar dapat menyampaikan pesan secara efektif, pembicara harus
memahami apa yang akan disampaikan atau dikomunikasikan. Tarigan juga
mengemukakan bahwa berbicara mempunyai tiga maksud umum yaitu
untuk memberitahukan dan melaporkan (to inform), menjamu dan
menghibur (to entertain), serta untuk membujuk, mengajak, mendesak dan
meyakinkan (to persuade).
Gorys Keraf dalam St. Y. Slamet dan Amir (1996: 46-47)
mengemukakan tujuan berbicara diantaranya adalah untuk meyakinkan
pendengar, menghendaki tindakan atau reaksi fisik pendengar,
memberitahukan, dan menyenangkan para pendengar. Pendapat ini tidak
hanya menekankan bahwa tujuan berbicara hanya untuk memberitahukan,
meyakinkan, menghibur, namun juga menghendaki reaksi fisik atau
tindakan dari si pendengar atau penyimak.
Sujarwo (2006:84) berpendapat bahwa tujuan berbicara ialah untuk:
(1) memberitahukan sesuatu kepada pendengar, (2) meyakinkan atau
mempengaruhi pendengar, dan (3) menghibur pendengar. Pendapat ini
mempunyai maksud yang sama dengan pendapat-pendapat yang telah
diuraikan di atas.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa tujuan berbicara yang utama ialah untuk
berkomunikasi. Sedangkan tujuan berbicara secara umum ialah untuk
memberitahukan atau melaporkan informasi kepada penerima informasi,
meyakinkan atau mempengaruhi penerima informasi, untuk menghibur,
serta menghendaki reaksi dari pendengar atau penerima informasi.
Keraf (1993:36) menjelasdkan bahwa ”Sebagai salah satu aspek
pengajaran bahasa, tujuan pembelajaran keterampilan berbicara tentu
berkaitan erat dengan tujuan pengajaran bahasa Indonesia. Sesuai dengan
kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, pada dasarnya tujuan pengajaran
bahasa Indonesia adalah siswa agar mampu menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar dalam berbagai peristiwa komunikasi,
baik secara lisan maupun tulis, serta mempunyai sikap yang positif
terhadap bahasa Indonesia. Pengajaran keterampilan berbicara berkaitan
dengan pembinaan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia secara
lisan”.
Sesuai dengan tujuan pengajaran bahasa Indonesia tersebut dapatlah
dikemukakan bahwa tujuan pengajaran keterampilan berbicara menurut
Depdiknas, (2006:34) adalah agar para siswa mampu memilih dan menata
gagasan dengan penalaran yang logis dan sistematis, mampu
menuangkannya ke dalam bentuk-bentuk tuturan dalam bahasa Indonesia
yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, mampu mengucapkannya
dengan jelas dan lancar, serta mampu memilih ragam bahasa Indonesia
sesuai dengan konteks komunikasi.
2.1.1.3 Prinsip Pengajaran Keterampilan Berbicara
Pengajaran keterampilan berbicara harus dilaksanakan dengan menciptakan
situasi belajar yang memungkinkan siswa dapat mengembangkan potensi
keterampilan berbicaranya semaksimal mungkin. Menurut Listiyanto, Ahmad
( 2010:34) Apapun kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan dalam pengajaran,
harus senantiasa memberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih berbicara.
Keterampilan berbicara sebagaimana hal ketarampilan-keterampilan lain, hanya dapat
dikuasai dengan baik apabila si pembelajar diberi kesempatan berlatih sebanyak-
banyaknya. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan keterampilan
berbicara adalah: (1) memberikan latihan berbicara sebanyak-banyaknya; (2) latihan
berbicara harus merupakan bagian yang integral dari program pengajaran sehari-hari;
dan (3) menumbuhkan kepercayaan diri.
2.1.1.4 Faktor-Faktor Penunjang Kegiatan Berbicara
Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berkomunikasi, saling berbagi
pengalaman, saling belajar dari yang lain, dan meningkatkan kemampuan intelektual.
Bahasa Indonesia memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat penting menurut
Maryati dan Sutupo (2008:78) yakni sebagai bahasa negara dan bahasa nasional.
Mengingat fungsi yang diemban oleh bahasa Indonesia sangat banyak, maka kita
perlu mengadakan pembinaan dan pengembangan terhadap bahasa Indonesia. Tanpa
adanya pembinaan dan pengembanagan tersebut bahasa Indonesia tidak akan dapat
berkembang, sehingga dikhawatirkan bahasa Indonesia tidak dapat mengemban
fungsi-fungsinya. Salah satu cara dalam melaksanakan pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia itu adalah melalui mata pelajaran Bahasa Indonesia
di sekolah. Pembinaan dan pengembangan kemampuan dan keterampilan berbahasa
yang diupayakan di sekolah berorientasi pada empat jenis keterampilan berbahasa,
yaitu keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan
keterampilan menulis. Keempat keterampilan berbahasa tersebut berhubungan erat
satu dengan yang lain.
Berbicara berhubungan erat dengan perkembangan kosa kata yang diperoleh
anak melalui kegiatan menyimak dan membaca. Kebelum matangan dalam
perkembangan bahasa juga merupakan suatu keterlambatan dalam kegiatan suatu
bahasa. Juga kita sadari bahwa keterampilan-keterampilan yang diperlukan bagi
kegiatan berbicara yang efektif banyak persamaannya dengan yang dibutuhkan bagi
komunikasi efektif dalam keterampilan-keterampilan berbahasa yang lain.
Berbicara atau kegiatan komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam
usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada sekelompok orang, yang disebut juga
audience atau majelis. Supaya tujuan pembicaraan atau pesan dapat sampai kepada
audience dengan baik, perlu diperhatikan beberapa faktor yang dapat menunjang
keefektifan berbicara. Kegiatan berbicara juga memerlukan hal-hal di luar
kemampuan berbahasa dan ilmu pengetahuan. Pada saat berbicara diperlukan a)
penguasaan bahasa, b) bahasa, c) keberanian dan ketenangan, d) kesanggupan
menyampaikan ide dengan lancar dan teratur.
Faktor penunjang pada kegiatan berbicara sebagai berikut, menurut
Kridalaksana, Harimurti (1993:45) Faktor kebahasaan, meliputi a) ketepatan ucapan,
b) penempatan tekanan nada, sendi atau durasi yang sesuai, c) pilihan kata, d)
ketepatan penggunaan kalimat serta tata bahasanya, e) ketepatan sasaran
pembicaraan. Sedangkan faktor nonkebahasaan, meliputi, f) sikap yang wajar, tenang
dan tidak kaku, g) pendangan harus diarahkan ke lawan bicara, h) kesediaan
menghargai orang lain, i) gerak-gerik dan mimik yang tepat, j) kenyaringan suara, k)
kelancaran, l) relevansi, penalaran, m) penguasaan topik.
2.1.1.5 Faktor Penghambat Kegiatan Berbicara
Dengan berbicara seseorang berusaha untuk mengungkapkan pikiran dan
perasaannya kepada orang lain secara lisan. Tanpa usaha untuk mengungkapkan
dirinya, orang lain tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan dan dirasakannya.
Ketika kita tanpa bicara, orang tidak akan dapat saling berinteraksi dengan sesamanya
dan seakan terkucilkan dari lingkungannya. Untuk berkomunikasi dengan sesamanya
manusia lebih sering menggunakan bahasa lisan daripada bahasa tulis. Bahasa lisan
dapat mewakili sifat dan perasaan yang sedang dirasakannya. Oleh karena itu,
keterampilan berbicara menjadi salah satu hal terpenting dalam kehidupan manusia.
Ada kalanya proses komunikasi mengalami gangguan yang mengakibatkan
pesan yang diterima oleh pendengar tidak sama dengan apa yang dimaksudkan oleh
pembicara. Tiga faktor penyebab gangguan dalam kegiatan berbicara, menurut
Damiati dkk (2003:23) yaitu:
a. Faktor fisik, yaitu faktor yang ada pada partisipan sendiri dan faktor
yang berasal dari luar partisipan.
b. Faktor media, yaitu faktor linguitisk dan faktor nonlinguistik, misalnya
lagu, irama, tekanan, ucapan, isyarat gerak bagian tubuh.
c. Faktor psikologis, kondisi kejiwaan partisipan komunikasi, misalnya
dalam keadaan marah, menangis, dan sakit.
2.1.2 Hakikat Bercerita
2.1.2.1 Pengertian Bercerita
Bercerita dalam kamus bahasa Indonesia berarti menuturkan cerita, merupakan
kegiatan menceritakan atau menuturkan cerita secara lisan baik berdasarkan teks
cerita atau tidak. Seni bercerita sudah ada sejak zaman dahulu, merupakan tradisi
penuturan bahasa secara lisan yang sudah cukup lama dimiliki bangsa Indonesia.
Sejak zaman dahulu para leluhur sudah mempunyai kebiasaan bercerita secara lisan.
Adanya pelipur lara membuktikan bahwa tradisi bercerita sudah ada sejak lama.
Budaya baca tulis yang masuk ke Indonesia bersama-sama dengan masuknya
peradaban modern memang telah menggeser tradisi kelisanan. Meskipun demikian
orang yang mahir bercerita tetap diperlukan.
Kata “cerita” mengacu pada sesuatu yang diungkapakan dalam aktivitas
bercerita. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (Takdiroatun 2005), cerita diartikan
dalam beberapa pengertian, yaitu:1) Tuturan yang membentangkan bagaimana
terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian, dan sebagainya; 2) Karangan yang
menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian, dan sebagainya,
baik sungguh-sungguh maupun rekaan belaka; 3) Lakon yang diwujudkan atau
dipertunjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang, dan sebagainya.
Masing-masing pengertian tersebut memiliki bentuk visualisasi yang berbeda-beda.
Pada pengertian yang pertama, cerita diartikan sebagai sesuatu yang dituturkan secara
lisan tentang suatu peristiwa atau kejadian. Pengertian cerita seperti ini dapat dilihat
pada aktivitas bercerita yang dilakukan guru kepada siswanya, atau orang tua kepada
anaknya. Aktivitas bercerita ini secara kental muncul pada tradisi lisan yang
berkembang pada beberapa waktu lalu, yaitu dengan munculnya pawing cerita.
Meskipun tradisi lisan ini sudah banyak berkurang, tetapi pada beberapa kesempatan
masih kita jumpai aktivitas bercerita ini.
Berbeda dengan pengertian yang pertama, pada pengertian yang kedua,
karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan orang, kejadian, dan
sebagainya baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan belaka, cerita diartikan
sebagai karya dalam bentuk tulisan, seperti halnya buku cerita atau cerita anak yang
ditulis dalam majalah. Dalam pengertian yang kedua ini dikenal cerita yang sungguh-
sungguh terjadi (nonfiksi) dan cerita rekaan (fiksi). Dalam kategori cerita yang
sungguh-sungguh terjadi, cerita anak dapat diwujudkan dalam bentuk biografi
seorang tokoh dan tulisan pengalaman yang mengesankan. Dalam kategori cerita
rekaan, cerita anak dapat berkembang secara lebih luas sehingga muncul variasi-
variasi tema yang menarik dalam berbagai karya cerita. Dalam praktiknya, unsur
nonfiksi dan fiksi sebenarnya dapat digabung. Hal ini dapat dilakukan pada cerita
yang mengandung sains (ilmu alam).
Berbeda lagi dengan pengertian pertama dan kedua, pada pengertian yang
ketiga, lakon yang diwujudkan atau dipertumjukkan dan digambar hidup seperti
sandiwara, wayang dan sebagainya, maka cerita dapat diartikan sebagai karya dalam
bentuk pementasan. Untuk pengertian yang ketiga ini, secara operasional dibutuhkan
beberapa hal tentang desain panggung dan dekorasi, pemilihan pemain, pemakaian
kostum, acting, sound effect (efek-efek yang dimunculkan dari suara), dan
sebagainya. Pementasan cerita anak dapat diwujudkan dalam bentuk operet,
sandiwara atau drama, ataupun sinetron anak di televisi yang berkembang pada saat
ini.
Ketiga pengertian tentang cerita di atas mengisyaratkan bentuk-bentuk cerita
anak dalam beberapa kategori, yaitu lisan, tulis, dan gerak atau acting. Ketiga bentuk
tersebut memiliki konsekuensi yang berbeda. Walaupun cenderung mengacu pada
istilah teknis, bercerita juga bisa dikaitkan dengan istilah “cerita” dalam bentuk
tulisan dan pementasan. Sebenarnya esensi dari bercerita itu terletak pada adanya
cerita yang diceritakan, sehingga apa pun bentuknya (lisan, tulis, acting), semuanya
dapat dikategorikan sebagai aktivitas bercerita.
Bercerita bukan hanya untuk mengajarkan anak-anak membaca, namun untuk
membuat anak mencintai buku. Akan sangat menyenangkan bagi seorang anak untuk
merasakan kehadiran kita bersama mereka, mendengarkan suara kita, dan melihat
gambar-gambar ilustrasi dalam buku.
2.1.2.1 Jenis-jenis Bercerita
Dalam menceritakan peristiwa ada berbagai jenis diantaranya, bercerita dengan
alat peraga langsung; dan bercerita dengan alat peraga tak langsung atau benda tiruan
(Maidar, Arsjad, G. dan Mukti. 1991:23).
1. Bercerita dengan Alat Peraga Langsung
Pencerita bercerita dengan menggunakan alat peraga langsung,
misalnya:
a. benda: tas, buku, pensil, baju, tempat makan.
b. binatang: kucing, ayam, bebek, burung, ikan, kupu-kupu.
c. tanaman: bunga melati, bunga mawar, pohon jagung, pohon padi.
2. Pencerita bercerita dengan menggunakan alat peraga tak langsung,
misalnya:
a. bercerita dengan gambar.
b. bercerita dengan kartu.
c. bercerita dengan papan flannel.
d. bercerita dengan buku cerita.
e. bercerita dengan boneka.
f.bercerita sambil menggambar.
Hal yang perlu diperhatikan saat memilih alat peraga, yaitu alat
peraga sesuai dengan tema, ukuran tepat, jumlah memadai, dukungan
teknologi memadai, misalnya: listrik, dan hal yang perlu diperhatikan saat
menggunakan alat peraga, cara memegang atau menunjuk, posisi bercerita.
2.1.2.3 Langkah-langkah dalam Kegiatan Menceritakan Kembali
Model pembelajaran menceritakan kembali merupakan salah satu sub bagian
dari model pembelajaran berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Sub
bagian yang lain dari model pembelajaran berbicara yaitu : ulang ucap, lihat
ucapkan, memerikan, menjawab pertanyaan, bertanya, reka cerita gambar,
melanjutkan cerita, bercerita, parafrase dan bermain peran.
Model pembelajaran menceritakan kembali merupakan kelanjutan dari model
pembelajaran melanjutkan cerita. Maka dikandung pengertian bahwa setelah
peserta didik dan guru menguasai pembelajaran melanjutkan cerita maka akan
meningkat ke model pembelajaran menceritakan kembali. Di dalam model
pembelajaran ini peserta didik sudah mulai belajar mandiri merangkai kata-kata dan
kalimat sendiri meskipun secara sederhana. Bukan tanpa kendala tentunya, karena
mungkin peserta didik akan mengalami (Nurgiyantoro, Burhan. 2005:23):
a) Dihinggapi perasaan malu dan canggung untuk melakukan praktik
menceritakan kembali.
b) Sering terjadi macet di jalan, atau kehabisan kata-kata/kalimat.
c) Sering terjadi pengulangan kata-kata yang sama/itu-itu saja.
Untuk menangani masalah/kendala di atas solusi yang dapat
ditempuh antara lain (Rofi’uddin, Ahmad & Zuhdi, Darmiyati. 1998:23)
1) Pemberian motivasi yang cukup pada para peserta didik.
2) Guru sering memberi umpan di mana dirasa diperlukan saja.
3) Perlu memperluas/menambah perbendaharaan kata dan kalimat para
peserta didik.
4) Tema-tema cerita hendaknya yang menarik, aktual, sesuai dengan minat
dan motivasi peserta didik.
Sebagai salah satu contoh langkah-langkah pembelajarannya,
sebagai berikut (Tarigan, Henry Guntur. 1983:46).
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran/KD.
2. Guru menceritakan suatu peristiwa sehari-hari secara sederhana dalam
satu paragraf.
3. Guru memberi tugas salah satu peserta didik untuk menceritakan
kembali peristiwa tersebut dengan kata-kata peserta didik sendiri. Hal
ini dilakukan tanpa peserta didik maju ke depan kelas tetapi cukup di
mejanya sendiri.
4. Guru menunjuk peserta didik yang lain untuk melakukan hal yang sama.
5. Guru menceritakan peristiwa yang lain, sedangkan peserta didik tekun
memperhatikan.
6. Kadang dengan cara ditunjuk peserta didik akan enggan, maka guru
dapat membuat kertas gulungan berisi nama-nama peserta didik lalu
dikocok dan diundi, maka yang namanya muncul/keluar harus berani
maju ke depan kelas untuk menceritakan kembali apa yang sudah
diceritakan guru.
7. Demikian seterusnya sampai seluruh siswa maju untuk menceritakan
kembali.
8. Evaluasi.
9. Kesimpulan.
Kemampuan membuat desain pembelajaran merupakan fokus kompetensi yang
harus Bapak/Ibu kuasai sebagai seorang guru. Alasannya, kemampuan mendesain
pembelajaran sangat berkaitan langsung dengan pelaksanaan tugas Bapak/Ibu di
lapangan sebagai pemegang kendali proses pembelajaran yang berlangsung di dalam
kelas.
Tidak ada metode pembelajaran berbicara yang sempurna, maka Guru dituntut
untuk mampu memilah dan memilih serta menentukan media dan metode yang paling
relevan dengan tujuan dan situasi yang dihadapinya di kelas.
2.1.3 Hakikat Model Artikulasi
Model pembelajaran Artikulasi prosesnya seperti pesan berantai, artinya apa
yang telah diberikan guru, seorang siswa wajib meneruskan menjelaskannya pada
siswa lain (pasangan kelompoknya). Di sinilah keunikan model pembelajaran ini.
Siswa dituntut untuk bisa berperan sebagai ‘penerima pesan’ sekaligus berperan
sebagai ‘penyampai pesan.’ (Purwanto, Ari. 2008:67) Senada dengan itu Tarigan,
Henry Guntur(2008:46) mengungkapkan model pembelajaran Artikulasi merupakan
model yang prosesnya seperti pesan berantai, artinya apa yang telah diberikan guru,
seorang siswa wajib meneruskan menjelaskannya pada siswa lain (pasangan
kelompoknya). Di sinilah keunikan model pembelajaran ini. Siswa dituntut untuk bisa
berperan sebagai ‘penerima pesan’ sekaligus berperan sebagai ‘penyampai pesan’.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
artikulasi merupakan model pembelajaran yang menuntut siswa aktif dalam
pembelajaran dimana siswa dibentuk menjadi kelompok kecil yang masing-masing
siswa dalam kelompok tersebut mempunyai tugas mewawancarai teman
kelompoknya tentang materi yang baru dibahas. Konsep pemahaman sangat
diperlukan dalam model pembelajaran ini.
Langkah-langkah model pembelajaran Artikulasi adalah sebagai
berikut :
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Guru menyajikan materi sebagaimana biasa.
3. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan
dua orang.
4. Menugaskan salah satu siswa dari pasangan itu menceritakan materi
yang baru diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil
membuat catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga
kelompok lainnya.
5. Menugaskan siswa secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil
wawancaranya dengan teman pasangannya sampai sebagian siswa sudah
menyampaikan hasil wawancaranya.
6. Guru mengulangi/menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum
dipahami siswa.
7. Kesimpulan/penutup.
Model pembelajaran artikulasi ini mempunyai kelemahan dan
kelebihan, antara lain:
A. Kelemahannya:
a. Untuk mata pelajaran tertentu.
b. Waktu yang dibutuhkan banyak.
c. Materi yang didapat sedikit.
d. Banyak kelompok yang melapor dan perlu dimonitor.
e. Lebih sedikit ide yang muncul.
f. Jika ada perselisihan tidak ada penengah.
B. Kelebihannya:
a. Semua siswa terlibat (mendapat peran).
b. Melatih kesiapan siswa.
c. Melatih daya serap pemahaman dari orang lain.
d. Cocok untuk tugas sederhana.
e. Interaksi lebih mudah.
f. Lebih mudah dan cepat membentuknya.
g. Meningkatkan partisipasi anak.
2.1.4 Kemampuan Siswa Menceritakan Peristiwa yang Pernah Dialami
Menceritakan peristiwa artinya menceritakan suatu kejadian atau peristiwa.
Menceritakan peristiwa yang pernah dialami, dilihat, atau didengar berarti
menceritakan pengalaman yang kamu alami, lihat, atau dengar. Peristiwa atau yag
pernah dialami, misalnya terjatuh ketika belajar naik sepeda. Peritiwa atau kejadian
yang dilihat, misalnya:
a. Melihat sendiri secara langsung, misalnya melihat kecelakaan lalu lintas
di jalan raya.
b. Melihat melalui layar televisi, misalnya berita jatuhnya pesawat terbang,
melihat banjir melanda Kota Gorontalo.
Peristiwa atau kejadian yang didengar bisa berasal dari cerita teman,
cerita orang lain, atau berita dari radio/televisi.Ketika menceritakan
peristiwa, peristiwa itu harus diceritakan secara urut dengan menggunakan
bahasa yang mudah dipahami.
Sewaktu bercerita, ceritakanlah apa peristiwanya, di mana
peristiwanya terjadi, kapan terjadinya, mengapa bisa terjadi, siapa yang
terlibat, dan bagaimana peristiwa itu terjadi.
Contoh:
Hiasan Dinding
Di rumahku banyak sekali terdapat kulit kerang dari laut. Ayah
sering menyelam di laut dan pulangnya selalu membawa kerang-
kerangan.
Ketika guruku menyuruh kami membuat prakarya, aku membuat
hiasan dinding dari kerang-kerangan tersebut. Kerang itu kurangkai
hingga membentuk bunga-bungaan.
Setelah kukumpulkan, ternyata aku mendapat nilai paling tinggi.
Aku mendapat nilai 9. Senang sekali hatiku. Guruku pun kagum akan
hasil karyaku.
2.1.5 Hubungan model artikulasi dalam meningkatkan kemampuan siswa
menceritakan peristiwa.
Dalam proses belajar mengajar sangat dituntut keaktifan siswa untuk
mencapai hasil belajar yang baik terutama pada kemampuan menceritakan peristiwa,
jadi dalam proses interaksi belajar mengajar guru tidak hanya tepaku pada satu model
saja, tetapi harus menggunakan model yang lain dengan tujuan agar proses belajar
mengajar tidak membosankan tetapi menarik perhatian anak didik. guru harus
berusaha menerapkan model-model variatif tertentu untuk membangkitkan semangat
belajar siswa supaya hasil belajarnya lebih baik lagi Oleh sebab itu guru menerapkan
model pembelajaran artikulasi dalam proses belajar mengajar, yang mana model ini
membutuhkan siswa dengan dengan jumlah yang banyak dalam menelaah materi
yang tertera dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman siswa terhadap isi
pelajaran. Menurut Suyatno (2003:23) Artikulasi adalah model pembelajaran yang
berbentuk kelompok berpasangan, dimana bila salah satu siswa menyampaikan
materi yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di
depan kelas perihal hasil diskusinya dan guru membimbing siswa untuk
menyimpulkan. Model pembelajaran artikulasi memiliki keunggulan dapat membantu
siswa dalam memahami konsep-konsep sulit, pendekatan ini berguna untuk
membantu siswa menumbuhkan kemampuan kerja sama, berfikir kritis dan
kemampuan dalam membantu teman.
Sebelum peneliti melaksanakan pembelajaran terlebih dahulu peneliti
menyiapkan perangkat pembelajaran seperti Silabus dan Rancangan Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) untuk kelas materi yang diajarkan. Artikulasi merupakan salah
satu model pembelajaran dengan sintak penyampaian kompetensi, sajian materi,
bentuk kelompok berpasangan sebangkku, salah satu siswa menyampaikan materi
yang baru diterima kepada pasangannya kemudian bergantian, presentasi di depan
hasil diskusinya, guru membimbing siswa untuk menyimpulkan. Adapun Langkah-
Langkah Metode Pembelajaran Artikulasi ini sebagai
berikut:
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.
2. Guru menyajikan materi sebagaimana mestinya.
3. Untuk mengetahui daya serap siswa, bentuklah kelompok berpasangan
dua orang.
4. Suruhlah seorang dari pasangan itu menceritakan materi yang baru
diterima dari guru dan pasangannya mendengar sambil membuat
catatan-catatan kecil, kemudian berganti peran. Begitu juga kepada
kelompok yang lain.
5. Siswa diminta secara bergiliran/diacak menyampaikan hasil
wawancaranya dengan teman pasangannya, sampai sebagian siswa
sudah menyampaikan hasil wawancaranya.
6. Guru mengulangi/ menjelaskan kembali materi yang sekiranya belum
dipahami siswa.
7. Guru membuat kesimpulan bersama siswa
2.2 Kajian Penelitian Relevan
Dalam penelitian ini, ada beberapa kajian penelitian relevan, diantaranya
sebagai berikut.
a. Daniar Datau (2012) dalam skripsinya yang berjudul “ Meningkatkan
kemampuan berbicara siswa melalui model Artikulasi di Kelas IV SDN 2
Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo” dalam kesimpulan
penelitiannya menyatakan bahwa model artikulasi dapat meningkatkan
kemampuan berbicara siswa, hasil yang diperoleh dalam penelitian pada
siklus I mencapai 53% meningkat menjad 77.8% pada siklus II.
b. Elga Syarah dalam skripsinya yang berjudul “ Meningkatkan kemampuan
berbahasa melalui model artikulasi pada siswa kelas V SDN Kuin Selatan 5
Banjarmasin dalam kesimpulan penelitiannya menyatakan bahwa model
artikulasi ternyata dapat meningkatkan kemampuan berbahasa, hal ini
ditunjukkan oleh peningkatan jumlah anak yang mampu berbahasa dengan
baik yakni 80%.
2.3 Hipotesis Tindakan
Dari uraian kerangka teori dan konseptual di atas, maka rumusan hipotesis
tindakan pada penelitian ini adalah ”Jika guru menggunakan model artikulasi,
maka kemampuan menceritakan peristiwa di kelas III SDN 2 Botubilotahu
Kecamatan Marisa Kabupaten Pohuwato akan meningkat”.
2.4 Indikator Kinerja
Adapun yang menjadi indikator kinerja dalam penelitian ini adalah:
1) Apabila 75% dari jumlah siswa sudah menunjukkan kriteri mampu dari 3
aspek yang diamati dalam penilaian kemampuan menceritakan peristiwa.
2) Apabila hasil penilaian kemampuan menceritakan peristiwa siswa
menunjukkan peningkatan 30% dari hasil penilaian awal.