BAB II KAJIAN PUSTAKA - UKSW...BAB II KAJIAN PUSTAKA Karya ilmiah disusun secara logis, sistematis,...

21
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA Karya ilmiah disusun secara logis, sistematis, dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Oleh sebab itu untuk melaksanakan suatu penelitian perlu mengkaji pendapat-pendapat para ahli mengenai masalah atau hal yang perlu diteliti. Dengan pendapat-pendapat tersebut penulis mempunyai pedoman untuk menentukan langkah selanjutnya dan berikut kita akan mengkaji pendapat para ahli mengenai hasil belajar siswa, dan model pembelajaran matematika realistik. 2.1. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan. Tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003). Belajar menurut pandangan B. F. Skinner dalam Sagala (2011) adalah suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresisif. Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut Robert M. Gagne dalam Sagala (2011) belajar merupakan kegiatan yang kompleks, dan hasil belajar merupakan kapabilitas, timbulnya kapabilitas

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - UKSW...BAB II KAJIAN PUSTAKA Karya ilmiah disusun secara logis, sistematis,...

10

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Karya ilmiah disusun secara logis, sistematis, dan dapat dipertanggung

jawabkan kebenarannya. Oleh sebab itu untuk melaksanakan suatu penelitian perlu

mengkaji pendapat-pendapat para ahli mengenai masalah atau hal yang perlu diteliti.

Dengan pendapat-pendapat tersebut penulis mempunyai pedoman untuk menentukan

langkah selanjutnya dan berikut kita akan mengkaji pendapat para ahli mengenai

hasil belajar siswa, dan model pembelajaran matematika realistik.

2.1. Pengertian Belajar

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh suatu perubahan. Tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya

(Slameto, 2003).

Belajar menurut pandangan B. F. Skinner dalam Sagala (2011) adalah

suatu proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara

progresisif.

Belajar adalah suatu proses yang kompleks, sejalan dengan itu menurut

Robert M. Gagne dalam Sagala (2011) belajar merupakan kegiatan yang

kompleks, dan hasil belajar merupakan kapabilitas, timbulnya kapabilitas

11

disebabkan (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif

yang dilakukan oleh pelajar.

Dari pengertian-pengertian belajar di atas dapat disimpulkan bahwa

belajar adalah suatu kegiatan yang dapat menghasilkan perubahan tingkah laku,

perubahan-perubahan tersebut terjadi karena usaha sadar yang dilakukan oleh

individu yang sedang belajar.

2.2. Faktor faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Agar guru dapat membelajarkan siswa maka guru perlu mengetahui

faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Dimyati dan Mudjiono (2002)

mengemukakan ada dua faktor yang mempengaruhi belajar siswa, adapun faktor-

faktor tersebut, yaitu:

1. Faktor Intern

Faktor intern, yaitu faktor yang berasal dari diri siswa itu sendiri yang

meliputi:

a. Sikap terhadap belajar, sikap merupakan kemampuan memberikan

penilaian tentang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian.

Adanya penilaian tentang sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap

menerima, menolak, atau mengabaikan.

b. Motivasi belajar, motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang

mendorong terjadinya proses belajar. Motivasi belajar pada diri siswa dapat

12

menjadi lemah, untuk itu agar motivasi belajar bisa menjadi kuat, maka

guru perlu menciptakan suasana belajar yang menggembirakan.

c. Konsentrasi belajar, konsentarsi belajar merupakan kemampuan

memusatkan perhatian pada pelajaran. Untuk memperkuat perhatian pada

pembelajaran guru perlu menggunakan bermacammacam strategi belajar

mengajar.

d. Mengolah bahan belajar, mengolah bahan belajar merupakan kemampuan

siswa untuk menerima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi

bermakna bagi siswa. Agar pembelajaran menjadi bermakna guru perlu

menggunakan penedekatanpendekatan keterampilan proses, discovery,

ataupun laboratory.

e. Menyimpan perolehan hasil belajar, menyimpan perolehan hasil belajar

merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara perolehan pesan.

f. Menggali hasil belajar yang tersimpan, menggali hasil belajar merupakan

proses mengaktifkan pesan yang telah diterima.

g. Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar, kemampuan berprestasi

atau unjuk hasil belajar merupakan suatu puncak proses belajar. Pada tahap

ini siswa membuktikan keberhasilan belajar.

h. Rasa percaya diri siswa, rasa percaya diri siswa timbul dari keinginan

mewujudkan diri bertindak dan berhasil.

13

i. Intelegensi, intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman

kecakapan untuk dapat bertindak secara efisien. Kecakapan tersebut bisa

menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau

kehidupan sehari-hari.

j. Kebiasaan belajar, dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan

belajar yang kurang baik, untuk itu guru perlu mengurangi kebiasaan-

kebiasaan belajar yang kurang baik.

k. Cita-cita, pada umumnya setiap anak memiliki cita-cita dalam hidupnya.

Cita-cita merupakan motivasi intrinsik.

2. Faktor Ekstern

Faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari luar diri siswa yang meliputi:

a. Guru, guru adalah pengajar yang mendidik. Guru tidak hanya mengajar

mata pelajaran yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi

pendidik generasi muda bangsanya.

b. Prasarana dan sarana pembelajaran, prasarana pembelajaran meliputi

gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang ibadah, ruang

kesenian, dan peralatan olah raga. Sarana pembelajaran meliputi buku

pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah dan berbagai

media pengajaran yang lain. Lengkapnya prasarana dan sarana

pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik.

14

c. Kebijakan penilaian, dari segi proses belajar, keputusan tentang hasil

belajar berpengaruh pada tindak siswa dan guru. Oleh karena itu, sekolah

dan guru diminta berlaku arif dan bijak dalam menyampaikan keputusan

hasil belajar siswa.

d. Lingkungan sosial siswa di sekolah, siswa-siswa di sekolah membentuk

suatu lingkungan pergaulan, yang dikenal sebagai lingkungan sosial siswa.

Dalam lingkungan sosial tersebut ditemukan adanya kedudukan dan

peranan tertentu.

e. Kurikulum sekolah, program pembelajaran di sekolah mendasarkan diri

pada suatu kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah

kurikukulum nasional yang disahkan pemerintah, atau suatu kurikulum

yang disahkan suatu yayasan pendidikan. Hal ini berarti bahwa program

pembelajaran di sekolah sesuai dengan pendidikan nasional.

2.3. Hasil Belajar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) hasil belajar adalah suatu

yang diadakan ( dibuat, dijadikan ) oleh usaha. Menurut Sagala (2011) Belajar

dikatakan berhasil manakala seseorang mampu mengulangi materi yang telah

dipelajarinya. Sedangkan menurut Catharina Tri Anni (2002) hasil belajar

merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami

aktivitas belajar. Seseorang dapat dikatakan telah belajar sesuatu apabila dalam

15

dirinya telah terjadi suatu perubahan, akan tetapi tidak semua perubahan yang

terjadi. Jadi hasil belajar merupakan pencapaian tujuan belajar dan hasil belajar

sebagai produk dari proses belajar, maka didapat hasil belajar.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Hasil

belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa melalui usaha (pengalaman dan

latihan) dalam mempelajari pokok bahasan tertentu yang dialami atau dirancang.

Keberhasilan pembelajaran dapat dilihat dari sejauh mana siswa dapat

mengulangi kembali materi yang telah dipelajari. Dan proses belajar yang

optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal.

Proses belajar yang dialami siswa pada dasarnya menghasilkan perubahan-

perubahan. Perubahan-perubahan itu meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai

dan sikap. Perubahan-perubahan yang didapat siswa melalui proses belajar

tersebut biasa dikatakan sebagai hasil belajar atau prestasi belajar.

2.4. Matematika Sekolah Dasar

Menurut Depdiknas (2006) dalam (Pujiyanti, 2010) Matematika sebagai

salah satu ilmu dasar dewasa ini telah berkembang sangat pesat, baik materi

maupun kegunaannya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan Matematika Sekolah

Dasar merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun

melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh

16

sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga

keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas.

Matematika Sekolah Dasar terdiri atas bagian-bagian kemampuan dan

membentuk pribadi siswa serta berpandu pada perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Ini berarti bahwa Matematika Sekolah Dasar tidak dapat

dipisahkan sama sekali dengan ciri-ciri yang dimiliki Matematika. Dua ciri

penting dari Matematika adalah memiliki objek kejadian yang abstrak dan

berpola pikir deduktif dan konsisten.

2.5. Model Pembelajaran Matematika Realistik

2.5.1. Pengertian Pendidikan Matematika Realistik

Freudental menyatakan bahwa “matematika suatu bentuk aktivitas

manusia” Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan

dalam pembelajaran matematika di Belanda. Penggunaan kata “realistic”

sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti

“untuk dibayangkan” atau “to imagine” Van den Heu-Panhuizen dalam

Wijaya, (2012). Menurut Van den Heu-Panhuizen, penggunaan kata

“realistic” tersebut tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi

dengan dunia nyata (real-word) tetapi lebih mengacu pada fokus

Pendidikan Matematika Realistik dalam penekanan penggunaan suatu

situasi yang biasa dibayangkan (imagineable) oleh siswa.

17

Suatu masalah realistik tidak harus selalau berupa maslah yang ada

di dunia nyata (real-word problem) dan biasa ditemukan dalam kehidupan

sehari-hari siswa. Suatu masalah disebut “realistik” jika masalah tersebut

dapat dibayangkan (imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa.

Suatu cerita rekaan, permainan atau bahkan bentuk formal matematika

biasa digunakan sebagai masalah realistik. (Sering juga disebut konteks

problem) dalam Wijaya (2012) Konstektual yang dimaksud adalah

lingkungan siswa yang nyata. Menurut Ismail dkk (2007) di dalam

matematika hal itu tidak selalu diartikan “konkret”, tetapi dapat juga yang

telah dipahami siswa atau dapat dibayangkan.

Hal di atas sejalan dengan pandangan Masigit (2010) yang

berpendapat bahwa matematika realistik menekankan kepada konstruksi

dari konteks benda-benda konkrit sebagai titik awal bagi siswa guna

memperoleh konsep matematika. Benda-benda konkret dan obyek-obyek

lingkungan sekitar dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran

matematika dalam membangun keterkaitan matematika melalui interaksi

sosial. Benda-benda konkrit dimanipulasi oleh siswa dalam kerangka

menunjang usaha siswa dalam proses matematisasi konkret ke abstrak.

Siswa perlu diberi kesempatan agar dapat mengkontruksi dan

menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri.

Diperlukan kegiatan refleksi terhadap aktivitas sosial sehingga dapat

18

terjadi pemaduan dan penguatan hubungan antar pokok bahasan dalam

struktur pemahaman matematika.

2.5.2. Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Realistik

Dalam pembelajaran matematika realistik ada tiga prinsip kunci

yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran (dalam Ismail

dkk, 2008).

a. 1) Guided Re-invention “menemukan kembali secara terbimbing”

prinsip ini menekankan “penemuan kembali” secara terbimbing.

Melalui topik-topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan

sama untuk membangun dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-

konsep matematika. Setiap siswa diberi kesempatan yang sama untuk

merasakan situasi dan mengalami masalah kontekstual yang memiliki

berbagai kemungkinan solusi. Apabila diperlukan dapat diberikan

bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali dengan

“sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan

contoh-contohnya serta “penerapanya” tetapi justru dimulai dengan

masalah kontekstual atau real/nyata meski dengan hanya

membayangkannya, dan selnjutnya diharapkan dapat menemukan

kembali sifat, definisi dan yang lainya itu.

19

b. 2) Progresive mathematization atau matematisasi progesif

Bagian ke-2 dari prinsip pertama ini Prinsip ini menekankan

“matematisasi” atau “pematematikaan” yang dapat diartikan sebagai

“upaya untuk mengarahkan kepada pemikiran matematika”. Dikatakan

progresif karena terdapat dua langkah matematisasi. Yaitu (1)

horizontal dan (2) vertikal yang berawal dari masalah kontekstual yang

diberikan dan akan berakhir pada matematika formal.

c. Didactial Phenomenology atau fenomenologi didaktik Prinsip ini

menekankan pada fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik dan

menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk mengenalkan

topik-topik matematika kepada siswa. masalah kontekstual dipilih

dengan mempertimbangkan (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus

diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) kecocokan dengan proses re-

invention yang berarti bahwa aturan/cara, atau konsep atau sifat

termasuk model matematika tidak tersedia atau diajarkan oleh guru

tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk menemukan atau

membangun sendiri dengan berpangkal dari masalha kontekstual yang

diberikan. Hal ini akan menimbulkan “lerning trajectory” atau lintasan

belajar yang akan mencapai tujuan yang di terapkan.

20

d. Self developed model atau membangaun sendiri model

Prinsip ketiga ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa

model. Oleh karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan

menuju matematika formal serta adanya kebebasan anak maka tidaklah

mustahil siswa akan mengembangkan model sendiri. Model itu

mungkin masih sederhana dan masih mirip dengan masalah

kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan sifatnya masih bisa

disebut “matematika formal”. Selanjutnya mungkin melalui

generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang

mengarahkan ke matematika formal, model ini dapat disebut “model

for”. Hal tersebut sesuai dengan matematisasi horizontal dan

matematisasi vertikal, yang memungkinkan siswa dapat menyelesaikan

masalah tersebut dengan caranya tersendiri.

2.5.3. Karakterisik Pembelajaran Matematika Realistik

Treffers (1987) dalam Wijaya (2012) merumuskan lima

krakteristik Pembelajarn Matematika Realistik, yaitu:

a. Penggunaan konteks

Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik

awal pembelajaran matematika. Konteks tidak harus berupa masalah

dunia nyata namun bisa dalam bentuk permaianan, penggunaan alat

21

peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakana dan bisa

dibayangkan dalam pikiran siswa.

Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatakan secara aktif

untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi

tidak hanya bertujuan untuk mmenemukan jawaban akhir dari

permasalahan yang diberikan, tetapi juga diarahkan untuk

mengembangkanan berbagai strategi penyelesaian masalah yang

digunakan.

b. Penggunaan model matematisasi progresif

Dalam Pendidikan Matematika Realistik, model digunakan

dalam melakukan matematisasi secara progresif. Penggunaan model

berfungsi sebagai jembatan (bridge) dari pengetahuan matematika

tingkat kongkrit menuju tingkat formal.

Hal yang perlu dipahami dari kata model adalah bahwa model

tidak merujuk pada alat peraga model merupakan alat vertical dalam

matematika yang tidak bisa dilepaskan dari proses matematisasi (yaitu

matematisai horizontal dan matematisasi vertikal) karena model

merupakan tahapan transisi level informasi menuju level matematika

formal.

22

c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa

Mengacu pada pendapat Freudental bahwa matematika tidak

diberikan kepada siswa sebagai suatu produk yang siap pakai tetapi

sebagai suatu konsep yang dibangun oleh siswa maka dalam

pendidikan matematika realistik sebagai sumber subjek belajar.

Siswa memiliki kebebasan untuk membangun strategi

pemecahan masalah sehingga diharapkan akan memperoleh strategi

yang bervariasi. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya

digunakan untuk landasan pengembangan konsep matematika.

Karakteristik ketiga dari Pendidikan Matemtika Realistik ini

tidak hanya bermanfaat dalam membantu siswa memahami konsep

matematika, tetapi juga sekaligus mengembangkan aktivitas dan

kreativitas siswa.

d. Interaktivitas

Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu

melainkan juga secara bersamaan merupakan suatu proses sosial.

Proses belajar siswa akan menjadi lebih singkat dan bermakna ketika

siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan mereka.

Pemanfaatan interaksi dalam pembelajaran matematika

bermanfaat dalam mengembangkan kemampuan kognitif dan afektif

siswa secara simultan. Kata “pendidikan” memiliki implikasi bahwa

23

proses yang berlangsung tidak hanya mengajarkan pengetahuan yang

bersifat kognitif, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai untuk

mengembangkan potensi alamiah afektif siswa.

e. Keterkaitan

Konsep-konsep dalam matematika tidak bersifat parsial, namun

banyak konsep matematika yang memiliki keterkaitan. Oleh karena

itu, konsep-konsep matematika tidak dikenalkan secara terpisah atau

terisolasi satu sama lain. Pendidkan Matematika Realistik

menempatkan keterkaitan (ineterwinemen) antara konsep matematika

sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.

Melalui keterkaitan ini, suatu pembelajaraan matematika diharapkan

bisa mengenalkan dan membangaun lebih dari satu konsep matematika

secara bersamaan (walau ada konsep yang dominan).

2.5.4. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Matematika

Realistik

1. Kelebihan Model Pembelajaran Matematika Realistik

a. Karena membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak

pernah lupa.

b. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena

menggunakan realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat

bosan untuk belajar matematika.

24

c. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena sikap belajar

siswa ada nilainya.

d. Memupuk kerjasama dalam kelompok.

e. Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan

jawabannya.

f. Melatih siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan

pendapat.

g. Mendidik budi pekerti.

2. Kelemahan Model Pembelajaran Matematika Realistik

a. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa

masih kesulitan dalam menentukan sendiri jawabannya

b. Membutuhkan waktu yang lama.

c. Siswa yang pandai kadang tidak sabar menanti jawabannya

terhadap teman yang belum selesai

d. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi

pembelajaran saat itu

e. Belum ada pedoman penilaian sehingga guru merasa kesal dalam

evaluasi atau memberi nilai (Anonim, www. google. RME. co. id).

25

2.5.5. Implementasi Model Pembelajaran Matematika Realistik di SD

Menurut Ismail, dkk (2008 ) secara umum dapat dikemukakan

langkah-langkah pembelajaran matematika dengan Model Pembelajaran

Matematika Realistik di bawah ini.

1. Mempersiapkan Kelas

a. Persiapkan sarana dan prasarana pembelajaran yang diperlukan,

misalnya buku siswa, LKS, alat peraga.

b. Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai dengan rencana).

c. Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai

serta cara belajar yang akan dipakai hari itu.

2. Kegiatan Pembelajaran

a. Berikan masalah kontektual atau mungkin berupa soal cerita. (serta

lisan atau tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa.

b. Berikan penjelasan singkat dan seperlunya saja jika siswa yang

belum memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan.

Mungkin secara individual ataupun secara kelompok. (jangan

menunjukkan penyelesaian, boleh mengajukan pertanyaan

pancingan)

c. Mintalah siswa secara kelompok ataupun secara individual, untuk

mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan

26

dengan caranya sendiri. Berikan waktu yang cukup kepada siswa

untuk mengerjakannya.

d. Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satupun

yang menemukan cara pemecahan, berilah guide atau petunjuk

seperlunya atau berilah pertanyaan yang menantang. Petunjuk itu

dapat berupa LKS ataupun bentuk lain.

e. Mintalah seorang siswa atau wakil dari kelompok siswa untuk

menyampaikan hasil kerjanya atau hasil pemikirannya (bisa lebih

dari satu orang).

f. Tawarkan pada seluruh kelas untuk mengemukakakan pendapatnya

atau tanggapannya tentang berbagai penyelesaian yang disajikan

temannya di depan kelas. Bila ada penyelesaiannya lebih dari satu

ungkaplah semua.

g. Buatlah kesepakatan kelas penyelesaian manakah yang dianggap

paling tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada

penyelesaian yang dipilih atau benar.

h. Apabila masih tidak ada penyelesaian yang benar, mintalah siswa

memikirkan cara lain.

27

3. Penutup

a. Tekankanlah apa yang telah dipelajari atau dibangun sendiri atau

ditemukan sendiri oleh siswa. jika perlu diakhiri dengan membuat

rangkumannya sendiri.

b. Berikanlah arahan untuk pertemuan yang akan datang.

2.6. Kajian Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan Janah, Miftakhul (2010) UKSW “ Upaya

Meningkatkan Hasil Belajar Siswa melalui PMR dalam Menyelesaikan soal

Matematika cerita pada pokok bahasan satuan panjang siswa kelas IV SD

Negeri Gejayan ” hasil analisis memperlihatkan hasil belajar meningkat. siklus

pertama menunjukkan ketuntasan belajar sklus I mencapai 54%. Sedangkan

siklus II mencapai 82%.

Ika Puji Astuti ( 2010 ) “ Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar

Matematika tentang Masalah yang Melibatkan Uang melalui pendekatan

Matematika Realistik di kelas III SD N 1 Pesodongan, Kaliworo, Wonosobo

Semester II 2009/2010 ”. Penggunaan PMR dalam pembelajaran matematika

dapat meningkatkan prestasi siswa. Sebelum dilakukan tindakan siswa yang

memenuhi KKM 31%, pada siklus I naik menjadi 79%, dan pada siklus II

mencapai 100%.

28

Peneliti menyimpulkan dari kedua hasil tindakan penelitian di atas bahwa

dengan Model Pembelajaran Matematika Realistik dapat meningkatkan hasil

belajar siswa.

2.7. Kerangka Pikir

Alur kerangka pikir yang ditujukan untuk mengarahkan jalannya

penelitian agar tidak menyimpang dari pokok-pokok permasalahan, maka

kerangka pikir dilukiskan dalam sebuah gambar skema agar penelitian

mempunyai gambaran yang jelas dalam melakukan penelitian. Adapun skema itu

adalah sebagai berikut :

29

Gambar 1. Skema Kerangka Pikir.

Tindakan

Kondisi awal Guru : Guru kelas belum

menerapkan model

pembelajaran matematika

realistik tetapi masih

menggunakan model

pembelajaran

konvensional

Nilai pada mata pelajaran

Matematika rendah.

Siklus I: Melalui tiga kali

pertemuan guru menerapkan

model pembelajaran matematika

realistik pada kompetensi dasar

Mengidentifikasi sifat-sifat

bangun datar

Guru: Melakukan

refleksi dengan

menugaskan siswa

mengerjakan lima

soal uraian untuk

mengetahui hasil

belajar siswa pada

siklus I

Hasil

Tindakan

Siklus II: Guru melakukan

perbaikan proses kegiatan

pembelajaran, melalui tiga

kali pertemuan guru

menerapkan model

pembelajaran matematika

realistik

pada kompetensi dasar ke

dua yaitu Mengidentifikasi

sifat-sifat bangun datar

Guru: Melakukan

refleksi dengan

menugaskan siswa

mengerjakan lima

soal uraian untuk

mengetahui

peningkatan hasil

belajar siswa pada

siklus II

Dengan Menerapkan model

pembelajaran matematika realistik

dapat meningkatkan hasil belajar

siswa

30

2.8. Hipotesis

Sesuai dengan rumusan masalah pada bab yang telah dipaparkan diatas,

maka dibuat hipotesis tindakan sebagai berikut : Dengan menerapkan model

pembelajaran matematika realistik dalam mata pelajaran Matematika dapat

meningkatkan hasil belajar siswa kelas V di SD Kutowinangun 12 tahun

pelajaran 2011/2012.