BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfUntuk seorang pemula jarak lari cukup 20-25 meter...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdfUntuk seorang pemula jarak lari cukup 20-25 meter...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lompat Jauh
Lompat jauh merupakan bagian dari nomor lompat yang bertujuan untuk
berusaha memindahkan titik berat tubuh sejauh-jauhnya ke arah mendatar
(horisontal ). Dalam hal ini atlet berusaha sedapat mungkin menempatkan kakinya
sejauh-jauhnya ke depan tanpa jatuh ke belakang saat mendarat (Hay, 2009).
Selain itu, lompat jauh menurut Azmi (2000) adalah suatu yang diawali dengan
berlari untuk mengambil awalan (lari awalan), dilanjutkan dengan menolak
memakai satu kaki tumpu (tolakan), melayang di udara dan mendarat dengan dua
kaki secara bersamaan (mendarat). Sedangkan gerakan dalam nomor lompat jauh
dikemukakan oleh Bernhard (2009) terdiri dari: lari awalan (ancang-ancang), fase
tolakan atau persiapan lompat (tinggal landas), fase melayang dan fase
pendaratan.
Ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dari atlet lompat jauh
diantaranya kondisi fisik terutama kecepatan dan tenaga lompat, dan faktor teknik
yang menyangkut persiapan tinggal landas, saat melayang, dan pendaratan
(Bernhard, 2009). Menurut Jarver (1999), keberhasilan nomor lompat jauh
dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya; ancang-ancang (run-up), tinggal
landas (take-off), saat melayang (flight), dan pendaratan (landing). Pada
prinsipnya pendapat kedua tokoh di atas tidak berbeda karena ancang ancang pada
tokoh kedua merupakan faktor kondisi fisik yang menyangkut kecepatan dan
7
8
tenaga lompatan seperti tokoh pertama. Menurut Mackenzie (2005), untuk
mendapatkan jarak maksimal dalam cabang atletik lompat jauh harus mempunyai
tiga komponen yaitu kecepatan, teknik dan kekuatan.
2.2 Gerakan pada Lompat Jauh
2.2.1 Ancang –ancang (Lari Awalan)
Tujuan dari ancang-ancang dalam lompat jauh adalah mengambil posisi
optimal untuk tinggal landas dengan kecepatan penuh dan dapat mengontrol
bagian-bagian dari gerak lompat (Hay, 2009). Menurut Jarver (1999) tujuan
ancang-ancang adalah untuk meningkatkan kecepatan horisontal secara maksimal
tanpa menimbulkan hambatan sewaktu tinggal landas. Dengan demikian ancang-
ancang dalam lompat jauh sangat dibutuhkan untuk mencapai lompatan yang
maksimal tanpa menimbulkan hambatan sewaktu tinggal landas dan dapat
mengontrol bagian-bagian dari gerakan lompat.
Faktor yang mempengaruhi ancang-ancang adalah kecepatan. Kecepatan
adalah kemampuan seseorang untuk melakukan gerakan berkesinambungan
dengan bentuk yang sama dalam waktu sesingkat-singkatnya atau kemampuan
untuk melakukan gerakan atau pergeseran dalam selang waktu tertentu baik ke
arah horisontal, vertikal maupun berbentuk sudut (Sajoto, 2010).
Kecepatan yang dimaksudkan di sini adalah kecepatan lari. Menurut
Bernhard (2009), kecepatan lari merupakan salah satu syarat terpenting dalam
mencapai prestasi puncak lompat jauh dan tetap berada dalam pengawasan yang
arahnya telah diubah oleh dorongan tenaga yang diarahkan ke atas. Selama
beberapa tahun terakhir lompat jauh telah menjadi nomor yang sering diikuti oleh
9
pelari jarak pendek (sprinter) sebagai variasi dari sprint. Car Lewi’s adalah
sprinter jarak 100 meter pemecah rekor dunia yang juga berhasil dalam lompat
jauh. Sekarang atlet mengkhususkan diri dalam lompat jauh walaupun masih
merupakan hal yang umum bagi sprinter untuk menjadi pelompat yang baik (Carr,
2007).
Panjang ancang-ancang yang diambil oleh atlet tergantung pada persentase
kecepatan maksimal yang dapat dikontrol pada saat tinggal landas dan
kemampuannya mempertahankan dari langkah satu ke langkah berikutnya (Hay,
2009). Juga menyarankan bila atlet mampu mempertahankan atau mengontrol
sampai 100% kecepatan maksimal maka diperlukan ancang-ancang yang sama
panjangnya dengan sprint enam detik yaitu 45-55 meter yang tergantung dari
kecepatannya. Jika hanya mampu menjangkau 95 % dari kecepatan maksimalnya,
maka ancang-ancang cukup 30 meter. Menurut Bernhard (2009) jarak ancang-
ancang untuk pemula cukup 20 meter. Perpanjangan ancang-ancang 10-20 meter
terhadap 60 orang remaja pada akhir pubertas tidak menunjukkan perbedaan yang
bermakna. Oleh karena atlet tidak ada yang memakai start jongkok maka perlu
ditambah 3-5 langkah disaat atlet menyiapkan diri secara fisik dan mental untuk
tinggal landas (Gambar 2.1). Tetapi kenyataanya dalam praktek 6-9 meter lebih
sedikit dari teori yaitu bila mampu mengontrol 100% kecepatan maksimal, maka
ancang-ancang yang dipakai 40-46 meter atau 17-23 langkah. Menurut Jarver
(1999) jarak lari harus cukup jauh untuk memungkinkan peningkatan kecepatan
sampai maksimal pada menjelang tinggal landas. Dengan demikian dapat
dilakukan tinggal landas yang efektif. Gerakan lari harus dilakukan secara
10
konsisten dan seragam sehingga tinggal landas dapat dilakukan secara tepat.
Untuk seorang pemula jarak lari cukup 20-25 meter saja, sedangkan untuk yang
sudah berpengalaman dapat ditingkatkan sampai 30-45 meter, tergantung dari
yang bersangkutan mampu dalam menambah kecepatannya (Nigel dan Lewis,
2005).
Menurut Graham-Smith dan John Moores dalam Mackenzie’s (2005)
mengidentifikasikan secara algoritma jarak ancang-ancang dari atlet dunia yang
diharapkan dapat meningkatkan hasil lompatan. Percobaan ini dibuat berdasarkan
pada kecepatan awal dan jarak ancang-ancang selama 10 tahun kejuaraan junior
dan senior. Kecepatan ideal untuk laki-laki 0,95 meter perdetik (m/dt) dan wanita
0,99 m/dt. Kecepatan dalam meter perdetik dihitung dari jarak 11 meter sampai
satu meter dari papan tumpuan. Jumlah langkah dari ancang-ancang yang efektif
tergantung dari umur. Makin tinggi umur seseorang jarak ancang-ancang yang
dibutuhkan untuk mencapai lompatan maksimal semakin panjang, begitu pula
sebaliknya makin rendah umurnya ancang-ancang semakin pendek. Pada umur 11
tahun ancang-ancang yang diperlukan sebanyak 11 langkah, umur 13 tahun
sebanyak 13 langkah, umur 15 tahun sebanyak 15 langkah, di bawah umur 17
tahun sebanyak 17 langkah, dan di atas umur 17 tahun membutuhkan jarak
ancang-ancang 21 langkah.
11
Gambar 2.1. Cara melakukan persiapan dan ancang-ancang (Carr, 2007)
Ada lima cara bagi pemula untuk menentukan ancang-ancang dengan
sembilan langkah (Carr, 2007) yaitu:
1. Pelompat berdiri dengan kaki yang tidak melompat (tidak dominan)
diletakkan dibelakang pinggir batas jarak ancang-ancang.
2. Pelompat mulai berlari menuju ancang-ancang dimulai dengan kaki yang
dominan dengan kecepatan maksimum.
3. Pelompat menghitung setiap langkah dengan kaki yang dominan dengan
urutan 1, 3, 5, 7, dan 9. Ini akan lebih mudah dan tidak membingungkan
dari pada menghitung setiap langkah.
4. Beri tanda langkah terakhir yang menjadi titik akhir ancang-ancang. Atlet
meletakkan kaki yang tidak dominan pada tanda tersebut dan mengambil
satu langkah ke arah bak pasir dengan kaki yang dominan.
5. Tanda yang diberikan boleh seperti pada langkah ke satu atau ke lima dari
ancang-ancang untuk menambah kecepatan.
Akan tetapi atlet yang sudah berpengalaman akan menggunakan ancang-
ancang sembilan langkah atau lebih. Untuk sembilan langkah ini atlet
12
memberikan tanda seperti pada pemula dengan hitungan pada tiga langkah
terakhir pendek-panjang-pendek seperti gambar 2.2
Gambar 2.2. Cara mengukur langkah pada ancang-ancang (Carr, 2007)
Dalam cabang olahraga lompat jauh ada beberapa kesalahan yang sering
dilakukan dalam ancang-ancang dan bagaimana cara penanggulangannya agar
kesalahan tersebut dapat ditekan seminimal mungkin (Carr, 2007). Kesalahan
tersebut antara lain:
1. Atlet terlihat tegang dan tidak berlari dalam garis lurus, yang disebabkan
karena posisi kepala dan garis pandangan tidak benar karena atlet
memejamkan mata atau melihat ke bawah sepanjang ancang-ancang dan atlet
menggunakan percepatan dan teknik sprin yang buruk. Bisa ditekan dengan
cara menyeragamkan percepatan serta gerakan kepala dan tangan benar.
2. Atlet melangkah ragu-ragu dan melakukan tinggal landas dengan kaki yang
salah, terdapat ketidak teraturan berulang-ulang pada ancang-ancang yang
disebabkan karena posisi start dan panjang langkah bervariasi sehingga atlet
menjadi tegang ketika mengantisipasi tinggal landas. Hal ini dapat diperbaiki
dengan mengukur dan memeriksa kembali ketepatan ancang-ancang dan juga
tanda jarak. Atlet diharapkan untuk melatih sprint dan percepatan pada
13
lintasan dengan menekankan pada percepatan yang terkontrol dan atlet harus
memulai ancang-ancang dengan cara yang sama setiap saat.
3. Atlet melihat ke papan tumpuan atau daerah tumpuan pada saat tinggal landas
yang disebabkan karena atlet merasa tidak pasti dengan ancang-ancang dan
tinggal landas, dan merasa tegang sebelum dan saat tinggal landas. Ini dapat
diperbaiki dengan melatih ancang-ancang berulang-ulang, menggunakan tanda
jarak pada ancang-ancang dan menjaga pandangan tetap horizontal.
4. Pelompat menghasilkan lompatan yang terlalu tinggi akan tetapi tidak jauh,
yang disebabkan karena menggunakan panjang langkah yang salah pada
langkah terakhir. Hal ini dapat diperbaiki dengan melatih ancang-ancang
dengan langkah sebelum langkah terakhir pada papan tumpuan, yang
memaksa atlet untuk memperkirakan panjang langkah yang benar. Tanda
ancang-ancang sebelum tinggal landas juga mempunyai fungsi yang sama.
2.2.2 Tinggal Landas (Tolakan)
Tinggal landas dalam lompat jauh adalah mengubah gerakan lari menjadi
suatu lompatan, dengan melakukan lompatan tegak lurus sambil mempertahankan
kecepatan horisontal semaksimal mungkin (Jarver, 1999). Menurut Hay (2009),
tinggal landas adalah kecepatan gerak vertikal atau mengangkat tubuh pada saat
kaki menyokong tubuh yang besarnya menyamai kecepatan horizontal. Dengan
demikian tinggal landas adalah mengubah gerakan lari (arah horisontal) menjadi
suatu lompatan (arah vertikal) yang besarnya menyamai kecepatan lari sambil
mempertahankan kecepatan horizontal semaksimal mungkin. Gambar saat tinggal
landas diperlihatkan seperti gambar 2.3.
14
Gambar 2.3. Posisi tungkai atlet saat tinggal landas (Jarver, 1999)
Menurut Jarver (1999), untuk mendapatkan lompatan maksimal perlu
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Perubahan dari kecepatan horisontal menjadi gerakan bersudut didapat dengan
cara memberikan tenaga maksimal pada kaki yang akan tinggal landas.
2. Pusat gravitasi tubuh atlet harus langsung jatuh di atas papan tumpuan begitu
kaki yang akan tinggal landas menyentuhnya.
3. Kaki yang akan tinggal landas diletakkan tepat di atas papan tumpuan dengan
lutut sedikit ditekuk untuk mendapatkan kekuatan.
4. Gerakan ke atas dan kedepan dilakukan dengan sekuat tenaga dibantu oleh
lutut dari kaki yang memimpin dan lengan yang berlawanan dengan kaki yang
digunakan tinggal landas. Tujuannya adalah untuk memperkuat daya lompat.
5. Paling baik kalau sudut tinggal landas berkisar antara 30, tergantung dari
kemampuan atlet mengkombinasikan kecepatan horizontal dan gerakan
membuat sudut tadi.
6. Lompatan yang lebih jauh dapat diperoleh apabila atlet menurunkan
panggulnya sejak dua langkah sampai pada saat tinggal landas.
15
Untuk mengembangkan kecepatan arah vertikal menurut Sanders (2003),
ada empat faktor yang mempengaruhi diantaranya:
1. Mekanisme sistem tuas, yang menggambarkan putaran arah maju dan naik
dari tubuh atlet disekitar sumbu vertikal melalui pergelangan kaki.
2. Mekanisme konsentrik, yang menggambarkan aksi-aksi dari semua otot
ekstensor pada saat tungkai melompat yang memendek tanpa pemanjangan.
3. Mekanisme eksentrik-konsentrik, yang menggambarkan aksi-aksi dari semua
otot pada saat tungkai melompat yang mula-mula meregang dan kemudian
memendek.
4. Mekanisme keleluasaan anggota gerak, yang menggambarkan gerakan-
gerakan berayun arah naik dari lengan dan keleluasaan tungkai.
2.2.3 Fase Melayang
Tujuan utama dari fase melayang adalah persiapan pendaratan dengan cara
yang baik dengan tanpa kehilangan keseimbangan (Bernhard, 2009). Pada saat
berada di udara tertuju pada bagaimana posisi tubuh mendarat dengan sempurna
dengan menghilangkan rotasi ke depan yang hampir didapat setiap tinggal landas.
Rotasi ke depan akan membawa kakinya di bawah gaya gravitasi sehingga lebih
cepat mendarat. Jadi masalah utama atlet adalah berusaha untuk mengurangi efek
dari rotasi ke depan. Ada tiga teknik melayang yang digunakan oleh para atlet
lompat jauh yaitu; teknik terbang, menggantung, dan menendang (Hay, 2009).
Teknik-teknik ini merupakan pola gerakan yang digunakan oleh atlet lompat jauh.
Jika teknik menggantung atau menendang tidak digunakan maka kaki akan
16
menyentuh pasir lebih dulu dan menghasilkan jarak lompatan lebih pendek (Carr,
2007).
1. Teknik Terbang
Menurut Hay (2009), karena kesederhananya teknik ini, sangat banyak
digunakan oleh atlet pemula walaupun kelemahannya sangat besar. Kelemahan
dari teknik ini adalah pada saat menempatkan titik berat tubuh mendekati sumbu
peralihan. Jadi hal ini memberikan kemungkinan rotasi kedepan sehingga atlet
jatuh kebelakang pada saat mendarat jarang terjadi, tetapi mengakibatkan kaki
terlalu dini mendarat. Cara melakukannya adalah atlet membawa kedua
tungkainya ke depan setelah tinggal landas seperti pada posisi duduk dengan lutut
sedikit bengkok kira-kira membentuk siku seperti gambar 2.4.
Gambar 2.4 Cara melakukan teknik terbang (Hay, 2009)
2. Teknik Menggantung
Setelah ancang-ancang dengan kecepatan maksimal, atlet melakukan
tinggal landas dengan kuat, meluruskan tungkai yang memimpin dan menariknya
ke belakang untuk bergantung bersamaan dengan tungkai yang mengikuti. Kedua
lengan bergerak memutar ke bawah, ke belakang dan kemudian ke depan searah
dengan putaran jarum jam, dan sementara atlet tergantung di udara. Lutut
ditekukkan dan digerakkan ke belakang, dan saat tungkai diluruskan untuk
17
mendarat, tangan menggapai ke depan dan berputar kembali ke belakang pada
bahu. Segera setelah menyentuh pasir, lutut ditekuk dan badan bergerak ke depan
diatas kaki (Carr, 2007) seperti gambar 2.5.
Gambar 2.5 Cara melakukan teknik menggantung (Carr, 2007)
3. Teknik Menendang
Kebanyakan dari pelompat jauh kelas dunia memilih teknik menendang,
karena teknik terbang dan menggantung tidak dapat mencapai prestasi maksimal
(Bernhard, 2009). Cara melakukan teknik ini adalah; setelah melakukan ancang-
ancang dengan kecepatan maksimal, atlet melakukan tinggal landas dengan kuat.
Lutut dari tungkai yang memimpin ditekuk saat tinggal landas, kemudian
diluruskan sehingga atlet menirukan sikap melangkah saat di udara. Tungkai
yang memimpin diputar ke belakang dalam keadaan lurus dan kedua lutut ditekuk
dan digerakkan ke depan untuk mendarat. Lengan diputar ke depan searah jarum
jam mengimbangi gerakan tungkai. Atlet meluruskan kedua tungkai untuk
mendarat, saat lengan diputar ke depan dan ke belakang. Setelah menyentuh pasir
lutut ditekuk dan badan bergerak mendahului tungkai (Gambar 2.6).
18
Gambar 2.6 Cara melakukan teknik menendang (Carr, 2007)
2.2.4 Fase Pendaratan
Ancang-ancang, tinggal landas, fase melayang, dan pendaratan adalah
fase-fase yang menonjol dalam lompat jauh dan berhubungan satu dengan yang
lainnya. Suatu pendaratan yang baik yang telah disiapkan dan ditentukan dalam
fase melayang memungkinkan untuk atlet tetap tegak selama mungkin. Dalam hal
ini dibutuhkan tenaga otot perut yang tinggi (Bernhard, 2009). Tujuan dari
pendaratan adalah untuk mendapatkan suatu posisi dengan kedua kaki menyentuh
pasir sejauh mungkin di depan pusat gravitasi tubuh dan untuk menjaga jangan
sampai jatuh ke belakang (Jarver, 1999).
Dari kedua faktor ini yang terpenting adalah posisi tubuh condong ke
depan terhadap punggung (Gambar 2.7). Jika atlet memutuskan untuk condong
ke depan selama akhir gerakan melayang maka kakinya diangkat dalam reaksinya
untuk menunda pendaratan. Peningkatan waktu selama berada di udara
memungkinkan untuk mendarat lebih jauh sepanjang lintasan parabola.
Mencondongkan panggul ke depan mengurangi jarak pendaratan (supaya atlet
tidak jatuh ke belakang) dengan memindahkan titik berat lebih dekat ke kakinya
kemudian dapat mempertahankan posisi tubuh. Jika atlet mempertahankan posisi
19
tubuh tegak atau sedikit ke belakang akan mempengaruhi waktu melayang
sehingga waktu pendaratannya meningkat, dan jika atlet condong ke depan
sebelum mendarat maka sudut kakinya terhadap horisontal akan berkurang.
Dibawah keadaan demikian besar dan arah dari gaya reaksi yang ditimbulkan dari
landasan menyebabkan lebih sulit atlet mengindari terduduk ke belakang (Hay,
2009).
Gambar 2.7. Cara melakukan pendaratan (Jarver, 1999)
Untuk mendapatkan pendaratan yang baik atlet harus memperhatikan hal-
hal sebagai berikut (Jarver, 1999):
1. Posisi pendaratan yang terbaik hendaknya merupakan lanjutan dari pola
melayang pusat gravitasi tubuh. Tentunya harus terletak sejauh mungkin,
yaitu pada jarak horisontal terbesar antara tumit dan pusat gravitasi tubuh.
2. Tubuh bagian atas harus setegak mungkin dengan tungkai terjulur lurus ke
depan.
3. Lengan yang terletak di belakang tubuh sebelum pendaratan harus segera
dilemparkan ke depan, begitu kaki menyentuh pasir. Gerakan lengan ini akan
membantu tubuh untuk bertumpu di atas kaki. Menurut Hay (2009) ketika
tumit telah menyentuh pasir, atlet harus memutar lututnya untuk mengindari
20
benturan dan pada saat mulai memutar ke depan atlet mengangkat kepala dan
bahunya untuk memberikan doronngan rotasi ke depan. Jika pada saat
pendaratan lengan atlet sudah berada satu garis atau di belakang panggul,
gerakan-gerakan ini diberikan dengan ayunan lengan ke depan dan ke atas
yaitu gerakan untuk mengindari reaksi dari sisa berat tubuh dan kemudian
membantu rotasi atlet ke depan melewati kakinya. Posisi pendaratan yang
efisien tergantung pada teknik yang digunakan pada waktu melayang, yaitu
dalam mengurangi atau memperlambat munculnya rotasi sewaktu tinggal
landas.
2.3 Pelatihan
Pelatihan adalah suatu usaha untuk memperbaiki sistem, organ atau alat
tubuh dan fungsinya yang bertujuan untuk mengoptimalkan penampilan dan
kinerja. Pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis dari pelatihan atau
bekerja dengan berulang-ulang dengan penambahan beban pelatihan dan
pekerjaannya secara progresif (Harsono, 2010). Menurut Bompa (2010), pelatihan
merupakan suatu aktifitas komplek, suatu kinerja dari atlet yang dilakukan secara
sistematis dalam durasi yang panjang, progresif dan berjenjang.
Jadi pelatihan adalah aktivitas tubuh yang dilakukan secara sistematis,
berulang-ulang dalam waktu tertentu dengan tujuan meningkatkan kemampuan
fisik, salah satu kegiatan yang harus dilakukan adalah memberikan beban pada
otot dan gerakan berulang-ulang untuk meningkatkan kekuatan (Nossek, 1982).
21
Secara garis besarnya, ada 4 aspek besar pelatihan yang diperlukan dalam
meningkatkan penampilan seseorang. Pelatihan itu menyangkut; pelatihan fisik,
pelatihan teknik, pelatihan taktik, dan pelatihan mental.
a. Pelatihan Fisik
Pelatihan fisik dilakukan secara teratur, sistematis dan
berkesinambungan yang dituangkan dalam program pelatihan akan
meningkatkan kemampuan fisik secara nyata akan tetapi tidak tampak bila
dilakukan secara tidak teratur (Fox dkk, 2008). Sebelum melakukan pelatihan
perlu diadakan pemanasan, yang merupakan syarat umum dan harus
menjadikan bagian dari pelatihan. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan
fisik dan mental untuk mencapai tujuan pelatihan berikutnya (Bompa, 2010).
Caranya adalah dengan kalistenik, peregangan dan pelemasan gerakan tubuh
secara umum yang berubungan dengan aktifitas saraf otot untuk
mengantisipasi gerakan berikutnya. Perkembangan kondisi fisik sangatlah
penting untuk dapat mengikuti pelatihan dan perlombaan dengan sempurna.
Ada beberapa kondisi fisik yang perlu dikembangkan: daya tahan
kardiovaskuler, daya tahan otot, kekuatan, kelentukan, kecepantan,
kelincahan, daya ledak, ketepatan, keseimbangan, waktu reaksi, dan
koordinasi (Sajoto, 2010).
b. Pelatihan Teknik
Pelatihan teknik adalah gerakan yang diperlukan untuk mempermahir
teknik gerakan untuk dapat melaksanakan cabang olahraga tertentu. Pelatihan
teknik merupakan pelatihan yang khusus untuk membentuk dan
22
mengembangkan kebiasaan-kebiasaan motorik atau perkembangan
neuromuscular. Kesempurnaan teknik dasar dari setiap gerakan sangat penting
oleh karena akan menentukan gerak keseluruhan. Sehingga setiap gerakan-
gerakan dasar dari bentuk teknik yang diperlukan dari caban olahraga yang
bersangkutan harus dapat dilatih dan dikuasai secara sempurna.
c. Pelatihan Taktik.
Pelatihan taktik atau siasat adalah cara-cara yang diperlukan untuk
memenagkan suatu pertandingan secara sportif sesuai dengan peraturan yang
berlaku (Suharno, 2008). Tujuan pelatihan taktik adalah untuk
mengembangkan kemampuan interpretasi atau daya tafsir pada atlet. Teknik
gerakan yang sudah dikuasai dengan baik harus dituangkan dan diorganisir
dalam setiap tahap pelatihan.
d. Pelatihan Mental
Pelatihan mental atlit juga sangat penting diperhatikan dibandingkan
dengan pelatihan lainnya dan harus dilakukan pelatihan, karena betapapun
sempurnanya perkembangan fisik, teknik dan taktik apabila mentalnya tidak
turut dikembangkan, prestasi maksimal tidak mungkin akan tercapai. Pelatihan
mental menekan pada perkembangan kedewasaan atlet serta penekanan emosi
serta implusif, misalnya: semangat bertanding, sikap pantang menyerah,
keseimbangan emosi walaupun berada pada keadaan tertekan. Sportifitas,
percaya diri dan kejujuran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan pelatihan adalah gerakan fisik atau
aktivitas mental yang dilakukan secara sistematis dan berulang-ulang dalam
23
jangka waktu lama, dengan pembebanan yang meningkat secara progresif dan
individual yang bertujuan untuk memperbaiki system serta fungsi fisiologis dan
psikologis tubuh agar pada saat melakukan aktifitas olahraga dapat mencapai
penampilan yang optimal (Nala, 2011).
2.4 Prinsip-prinsip Pelatihan
Prinsip-prinsip dasar pelatihan diuraikan oleh Nala (2011), terdiri dari 7
prinsip yaitu :
1. Prinsip Aktif dan bersungguh-sungguh
Prinsip ini bertujuan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam suatu
pelatihan sehingga atlet dituntut untuk selalu bertindak aktif dan mengikuti
pelatihan dengan bersungguh-sungguh tanpa ada paksaan.
2. Prinsip pengembangan multilateral
Sebelum pelatihan mengarah kepada spesifikasi hendaknya dibekali
terlebih dahulu pelatihan dasar-dasar kebugaran badan dan komponen
biomotorik. Selain itu dikembangkan pula seluruh organ dan sistema yang
ada dalam tubuh, baik yang menyangkut proses fisiologis maupun
psikologisnya (Nala, 2011).
3. Pinsip spesialisasi dalam pelatihan.
Setelah pelatihan pengembangan multilateral dilatih, dilanjutkan dengan
pengembangan khusus atau spesialisasi sesuai dengan cabang olahraga
yang dilatih. Pelatihan spesialisasi baru dimulai setelah disesuaikan
dengan umur yang cocok untuk cabang olahraga yang dipilih oleh anak
atau atlet bersangkutan. Menurut Graham-Smith dan John Moores dalam
24
Mackenzie’s (2005), untuk melatih cabang olahraga atletik, spesialisasi
umur yang dilatih antara 13-14 tahun.
4. Prinsip pelatihan individualisasi
Setiap orang mempunyai kemampuan, potensi, karakter belajar dan
spesifikasi dalam olahraga, yang berbeda satu sama lainnya, sehinggga
cara pelatihannyapun akan berbeda.
5. Prinsip variasi atau keserbaragaman
Pelatihan yang bersifat monoton dan dilakukan secara terus menerus akan
cukup membosankan. Untuk menghindari hal tersebut maka dalam
pelaksanaan pelatihan perlu dibuatkan variasi pelatihan, tentunya
mempunyai tujuan yang sama yaitu tetap mengacu pada tujuan pelatihan
dan tidak keluar dari program pelatihan yang ditetapkan, sehingga atlet
tetap bergairah dan semangat dalam berlatih (Nala, 2011).
6. Prinsip mempergunakan model proses pelatihan
Model yang dimaksud dalam prinsip ini adalah imitiasi, suatu simulasi
dari kenyataan yang dibuat dari elemen atau unsur spesifik dari fenomena
yang diamati yang mendekati keadaan sebenarnya .
7. Prinsip peningkatan beban progresif
Beban pelatihan dimulai dengan beban awal yang ringan, kemudian
ditingkatkan secara bertahap disesuaikan dengan kemampuan atlet
bersangkutan, makin lama semakin berat atau dapat diawali dengan
gerakan sederhana kemudian ditingkatkan menjadi gerakan yang semakin
rumit.
25
2.5 Prosedur Pelatihan Fisik
2.5.1 Pemanasan
Suatu aktivitas fisik, baik kerja atau olahraga sangat perlu dilakukan
pemanasan yang cukup memadai, karena ketika beristirahat sistema tubuh berada
dalam keadaan tidak aktif. Untuk itu perlu diadakan adaptasi selama beberapa
menit, baik fisik maupun fsikologis dari sikap pasif ke sikap aktif. Akibat
dilakukan pemanasan ini suhu tubuh meningkat terutama otot lurik meningkat
dengan cepat. Jumlah darah yang mengangkut oksigen ke otot lurik meningkat
pula yang akan mengaktifkan sumber energi di dalam otot dan merangsang
keluarnya hormon serta meningkatkan kerja enzim (Nala, 2011 ). Pemanasan
dapat dilakukan secara aktif maupun pasif.
Pemanasan aktif adalah pemanasan yang dilakuan dengan menggunakan
aktivitas pisik sedangkan pemanasan pasif adalah pemanasan yang tidak
melibatkan aktivitas pisik (Fox, 2008).
Menurut Bompa (1993), mengatakan pemanasan pasif adalah cara
pemanasan yang bertujuan semata-mata untuk meningkatkan suhu tubuh seperti :
mandi dengan air panas, menggunakan selimut panas, sinar infra merah atau pijat.
Ternyata efeknya terhadap sistema organ tubuh amat terbatas, tidak setinggi
apabila dilakuan pemanasan secara aktif (kontraksi otot).
Pemanasan merupakan syarat yang umum dan harus menjadi bagian dari
pelatihan. Fisik dan mental atlet perlu dipersiapkan untuk mengikuti pelatihan
berikutnya. Lamanya pemanasan untuk mengerahkan seluruh otot tubuh berkisar
antara 20-30 menit atau 10-20 menit (Bompa, 2010). Ada pula dengan memakai
26
patokan frekuensi denyut nadi, yaitu bila frekuensi denyut nadi telah meningkat
20-40 denyut di atas denyut nadi istirahat (Powers dan Howley, 2007).
Tipe pemanasan yang dilakukan selama pemanasan tergantung dari cabang
olahraga yang dilakukan, tipe pemanasan ada tiga antara lain 1) peregangan yang
merupakan aktivitas otot pertama kali dilakukan dalam pemanasan; 2) kalistenik
dengan cara menggerakkan sekelompok otot yang secara aktif berulang-ulang
dengan tujuan untuk meningkatkan suhu dan aliran darah pada otot yang
bersangkutan; 3) aktivitas spesifik yaitu aktivitas yang disesuaikan dengan jenis
olahraga yang dilatih (Nala, 2011).
2.5.2 Pelatihan Inti
Metode pelatihan inti yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah lari
lompat rintangan dengan tinggi rintangan 50 centimeter. Metode lari lompat
rintangan dimana subjek berlari secepat-cepatnya kemudian melompati rintangan
setingi 50 centimeter diulang sebanyak lima kali (lima repetisi) dan dilakukan
sebanyak tiga set dengan istirahat antar set adalah lima menit. Sedangkan
Metode lari lompat rintangan dimana subjek berlari secepat-cepatnya kemudian
melompati rintangan setingi 30 centimeter diulang sebanyak lima kali (lima
repetisi) dan dilakukan sebanyak tiga set dengan istirahat antar set adalah lima
menit. Pelatihan ini berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali
seminggu (Senin, Rabu, Jumat). Pelatihan yang berlangsung selama 6-8 minggu
dikatakan oleh Pate (2007) akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet
yang akan mengalami penigkatan 10%-20%. Selanjutnya Fox (2008), menyatakan
27
pelatihan dengan frekuensi tiga kali seminggu adalah sesuai untuk pemula dan
akan menghasilkan peningkatan yang berarti.
2.5.3 Pendinginan
Pendinginan dilakukan untuk mengembalikan kondisi tubuh ke keadaan
semula. Tujuan utama dari pendinginan adalah menarik kembali secepatnya darah
yang terkumpul di otot skeletal yang telah aktif sebelumnya ke peredaran sentral.
Selain itu berfungsi pula untuk membersihkan darah dari sisa hasil metabolisme
berupa tumpukan asam laktat yang berada di dalam otot dan darah (Nala, 2011).
Bentuk pelatihan pendinginan yang biasa dianjurkan adalah dengan
istirahat aktif. Karena asam laktat cepat di metabolisme secara aerobik sehingga
menghasilkan CO2 + H2O yang menyebabkan asam laktat cepat berkurang. Begitu
selesai melakukan aktivitas atau pelatihan tidak langsung duduk tetapi melakukan
gerakan-gerakan ringan seperti jalan-jalan atau mengerak-gerakkan anggota tubuh
mulai dari anggota gerak atas dan dilanjutkan anggota gerak bawah secara ringan
(Nala, 2011). Lamanya pendinginan berkisar antara 10 – 15 menit (Powers dan
Howley, 1990).
Pelatihan pendinginan yang dalam penelitian ini dilakukan selama 15
menit yang diawali dengan gerakan-gerakan lambat dimulai dari kepala, leher,
bahu, lengan, pinggang, dan anggota gerak bawah dengan hitungan delapan kali
pada masing-masing gerakan. Selanjutnya dilakukan peregangan mulai dari leher,
lengan, bahu, pinggang dan anggota gerak bawah sebanyak delapan kali
hitungan pada masing-masing serta menarik nafas panjang secara perlahan dan
menghebuskan nafas juga secara perlahan (Powers dan Howley, 2007).
28
2.6 Daya Ledak Otot
Daya ledak adalah terjemahan dari kata power yang merupakan salah satu
komponen Biomotorik yang diidentikan dengan kekuatan eksplosif (explosive
sterngth). Daya ledak otot merupakan unsur penting dalam hampir semua cabang
olahraga yang memerlukan kekuatan dan kecepatan (Nala, 2011). Sedangkan Fox
(2008), menyatakan daya ledak adalah kemampuan seseorang untuk menampilkan
kerja maksimum per satuan waktu (menit). Selanjutnya Harsono (2010)
menyatakan daya ledak adalah kemapuan otot untuk mengatasi tahanan dengan
kontraksi yang sangat cepat untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba dan sangat
penting untuk cabang-cabang olahraga yang eksplosif seperti: sprint, lari gawang,
nomor-nomor lempar dan nomor-nomor lompat dalam atletik.Juga dikatakan
bahwa power adalah hasil dari force x velocity, dimana force adalah sepadan
(equivalen) dengan strength dan velocity).
Daya ledak adalah kemampuan untuk melakukan aktivitas secara tiba-tiba
dan cepat dangan menggunakan seluruh kekuatan dalam waktu yang singkat.
(Nala, 2011).Daya ledak ini sering pula disebut kekuatan ekplosif, ditandai
adanya gerakan atau perubahan yang tiba-tiba yang cepat dimana tubuh terdorong
keatas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun
meloncat ( dua kaki menapak, melompat tinggi) atau tedorong ke depan
(horisontal,lari cepat, lompat jauh) dengan menggerakan kekuatan olahraga
maksimal. Dalam daya ledak ini termasuk pula gerakan tiba-tiba dan cepat dari
gerakan lari ke lompat. Terdapat pertalian yang kuat antara kekuatan maksimum,
kekuatan kecepatan dan kualitas kecepatan. Kekuatan kecepatan tergantung secara
29
langsung pada perlawanan yang hendaknya ditanggulangi (berat badan dalam
lompatan dan lari, berat lemparan peralatan, dan sebagainya) dan jumlah
kontraksi-kontraksi gerakan tunggal pada lari dan lompat dan kontraksi yang
berulang-ulang dalam olahraga lari (Nossek, 1982).
Ditinjau dari beban yang dihadapi daya ledak diklasifikasikan menjadi dua
yaitu daya ledak asiklik dan daya ledak siklik. Daya ledak asiklik adalah daya
ledak yang dihasilkan dari suatu gerakan tertentu dalam waktu yang singkat,
seperti gerakan melempar, melompat, senam, lompat indah dan olahraga yang
menerapkan kinerja lompatan atau lompatan (Bompa, 2010). Sedangkan daya
ledak siklik adalah daya ledak yang dihasilkan oleh kinerja gerakan berturut-turut
yang sama atau berulang-ulang yang dilakukan dalam waktu tertentu, contohnya
lari cepat, berenang, mengayuh sepeda atau olahraga yang berkaitan kecepatan.
Sedangkan Berger (2008) mengklasifikasikan daya ledak menjadi dua yaitu daya
ledak absolut dan relatif. Daya ledak absolut, berarti kekuatan untuk mengatasi
suatu beban eksternal yang maksimum, sedangkan daya ledak relatif adalah
kekuatan yang digunakan untuk mengatasi beban yang berupa berat badan sendiri.
Selanjutnya Nala (2011) mengatakan pembagian daya ledak sesuai dengan
spesifikasinya terdiri atas : daya ledak eksplosif (eksplosif power), daya ledak
cepat (speed power), daya ledak kuat (strength power) dan daya ledak tahan lama
(endurance power).
Daya ledak dipengaruhi oleh kekuatan dan kecepatan yang berupa kekuatan
kontraksi otot dan kecepatan rangsangan syaraf. Usaha untuk meningkatkan daya
ledak dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan kekuatan tanpa mengabaikan
30
kecepatan atau titik beratnya pada kekuatan, meningkatkan kecepatan tanpa
mengabaikan kekuatan atau titik beratnya pada kecepatan, serta meningkatkan
keduanya sekaligus, kekuatan dan kecepatan dilatih secara simultan.
2.7 Pelatihan Pliometrik
Pelatihan pliometrik termasuk salah satu bentuk pelatihan fisik untuk
mengembangkan sistem neuro-muskular (Bompa, 2010). Pliometrik adalah model
pelatihan daya ledak otot tungkai yang diartikan sebagai menambah ukuran daya
ledak otot (Nala, 2011).
Pelatihan pliometrik merupakan suatu pelatihan yang mempunyai ciri
khusus, yaitu kontraksi otot yang kuat dan yang merupakan respons dari
pembebanan dinamik atau regangan yang cepat dari otot terkait. Istilah lainnya ;
reflek regangan atau reflek pilihan otot Pelatihan pliometrik ditujukan pada tiga
kelompok otot besar dalam tubuh, yaitu : kelompok otot tungkai dan pinggul,
kelompok otot bagian tengah tubuh (otot perut dan punggung), dan kelompok otot
dada, bahu serta lengan (Radcliffe dan Farentinos, 2005).
Pliometrik adalah suatu metode pelatihan yang diperuntukan meningkatkan
muscle explosive power. Tekanan pelatihan pliometrik terhadap otot tungkai dan
pinggul (Bompa, 2010) dengan cara :
a. Skips adalah melompat dan melangkah bergantian, dengan tujuan baik tinggi
lompatan maupun jauhnya jarak lompatan horisontal.
b. Bouds adalah lompatan dengan kedua tapak kaki bertumpu pada lantai,
melambung maksimum ke atas agar tercapai lompatan horisontal sejauh-
jauhnya.
31
c. Hops adalah lompatan (dua tapak kaki) vertikal maksimum dengan didahului
menekukkan tungkai pada lutut, dimana yang dipentingkan adalah luasnya
gerakan sendi lutut.
d. Jumps adalah melompat (dua telapak kaki) setinggi mungkin tanpa
menghiraukan berapa jauhnya lompatan horisontal ke depan.
e. Leaps adalah melompat vertikal dan horisontal semaksimal mungkin, dengan
satu (lompat) atau dua (loncat) tungkai.
f. Ricochets adalah melompat-lompat (dua tapak kaki) dengan cepat, dimana
tinggi dan jauhnya lompatan seminimal mungkin.
Dasar fisiologis dari pelatihan pliometrik diawali dengan fase kontraksi
yang menimbulkan peregangan dari tendon, ligamen, elemen elastis dan elemen
kontraksi otot. Peregangan yang terjadi akan memacu aktivitas sistem saraf
sensoris dan motoris otot. Peningkatan aktivitas sistem saraf akan
membangkitkan kontraksi otot dan peregangan yang terjadi akan memacu
aktivitas sistem saraf sensoris dan motoris otot. Selanjutnya peningkatan aktivitas
sistem saraf akan membangkitkan kontraksi kosentrik yang lebih kuat dan cepat
(eksplosif). Gerakan yang berulang-ulang akan menambah kepekaan dari sistem
neuromousculer. Pelatihan pliometrik berhubungan langsung dengan kekuatan
dan kecepatan kontraksi otot, maka secara langsung juga akan mempengaruhi
daya ledak otot (Nala, 2011).
Pelatihan pliometrik ini bersifat anaerobik. Energi yang dipakai untuk
menunjang aktivitas berasal dari sistem energi asam laktat (adenosin tri fosfat-
kreatin fosfat) dan asam laktat. Maksimal tenaga anaerobik ini akan habis dalam
32
waktu 34 detik (Suharno, 2008). Karena bersifat anaerobik proses pemulihan
memerlukan waktu yang berkisar 3-5 menit. Ada dua kelompok besar dari aspek
benturan terhadap bidang tumpuan kaitannya dengan pelatihan pliometrik yaitu ;
kelompok low impact exercises dan high impact exercises (Bompa, 2010).
Aktivitas yang termasuk benturan tinggi antara lain lompat jauh dengan awalan.
Aktivitas seperti skipping, rope, lompat langkah pendek dan rendah termasuk
pelatihan pliometik benturan rendah.
Peningkatan daya ledak otot bergantung pada pemakaian takaran
pelatihan. Takarannya meliputi tipe aktivitas, jangka waktu pelatihan dan fase
pelatihan yaitu pemanasan, peregangan dan pendinginan. Takaran pelatihan
pliometrik biasa dimulai dari intensitas rendah, dengan volume (6-10 repetisi,
tiga set, dan istirahat antar set dua menit) dan frekuensi latihan 3-4 kali seminggu
(Nala, 2011).
Secara bertahap tubuh akan mengadaptasi beban pelatihan. Selama jangka
waktu pelatihan akan terjadi perubahan pada kapasitas fungsi tubuh seperti fungsi
sistem vaskuler, sistem neuro-muskular dan sistem penyediaan energi. Besarnya
perubahan ditentukan oleh kapasitas fungsi organ dalam mengantisipasi beban-
beban pelatihan seperti peningkatan kekuatan, kecepatan fungsional organ
(Clarke, 2005).
Intensitas pelatihan adalah kualitas beban pelatihan terdiri dari ; repetisi,
volume, interval isitrahat (Harsono, 2010). Tingkatan-tingkatan intensitas beban
pelatihan adalah sebagai berikut :
1. Intensitas rendah 30 – 50 % dari kemampuan maksimal
33
2. Intensitas ringan 51 – 60 % dari kemampuan maksimal
3. Intensitas sedang 61 – 75 % dari kemampuan maksimal
4. Intansitas sub maksimal 76 – 85 % dari kemampuan maksimal
5. Intensitas maksimal 86 – 100 % dari kemampuan maksimal
6. Intensitas super maksimal 101 – 105 %
Jumlah ulangan gerakan pada waktu melakukan pelatihan disebut repitisi.
Repitisi maksimum adalah jumlah ulangan maksimum yang mampu dilakukan
seseorang. Dalam kaitannya dengan beban pelatihan maka maksimum repitisi
ditentukan berdasarkan tingkatan beban pelatihan. Pada pelatihan pliometrik
kualitas intensitas pelatihan berbanding langsung dengan tinggi rintangan serta
jauhnya jarak lompatan. Volume pelatihan berhubungan dengan kualitas beban
pelatihan yang dapat dinyatakan dengan jumlah lompatan (berapa kali), jarak
(meter), waktu (menit), dan set (jumlah giliran). Interval istrahat dibebankan
antara set yang satu dengan set yang berikutnya. Lama pelatihan yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kapasitas fungsi tubuh adalah 6 – 8 minggu.
2.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Jarak Lompatan
Faktor- faktor yang mempengaruhi jarak lompatan menurut Bernhard
(2009) antara lain :
a. Faktor-faktor kondisi fisik : kecepatan, tenaga lompat dan tujuan yang
diarahkan pada ketrampilan.
b. Faktor-faktor teknik : ancang-ancang, persiapan lompat dan perpidahan, fase
melayang dan pendaratan.
34
Menurut Bernhard (2009), kecepatan lari merupakan salah satu syarat
terpenting dalam mencapai prestasi puncak lompat jauh dan tetap berada dalam
pengawasan yang arahnya telah diubah oleh dorongan tenaga yang diarahkan ke
atas. Tenaga lompat dari pelompat jauh muncul terutama dari dorongan tenaga
yang ditujukan saat melompat. Oleh karena itu kecepatan ancang-ancang diubah
pada satu saat dalam ketinggian (mencapai sudut perbatasan yang maksimal), dan
selanjutnya perpidahan kaki akan dapat mengurangi kecepatan. Hal ini akan
menyebabkan bertambahnya tenaga lompat, yang akhirnya akan meningkatkan
hasil lompatan. Kecepatan ancang-ancang dan tenaga lompat harus selalu dalam
perbandingan yang tepat satu sama lainnya.
Selain faktor- faktor di atas, faktor- faktor lain yang dapat mempengaruhi
hasil lompatan adalah faktor internal dan faktor eksternal.
2.8.1 Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh atlet sendiri
diantaranya; umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, indek masa tubuh,
teknik, mental, motivasi, dan disiplin.
1. Umur, menunjukkan tingkat kematangan yang dikaitkan dengan
pengalaman. Kekuatan lebih rendah pada anak-anak dan meningkat di usia
remaja serta mencapai puncaknya pada umur 20-30 tahun. Puncak prestasi
atletik dapat dicapai antara umur 18-23 tahun (Nala, 2011).
2. Jenis kelamin, Secara biologis laki-laki dan wanita akan berbeda kekuatan
dan kecepatan karena adanya hormon testoteron pada laki-laki dan wanita
35
tidak. Pada umur 18 tahun ke atas laki-laki mempunyai kekuatan 2 kali
lebih besar dari wanita (Bompa, 2010).
3. Berat badan, akan secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap hasil
lompatan. Berat badan merupakan salah satu faktor yang menentukan
pusat grafitasi yang nantinya akan menentukan keseimbangan statik
maupun keseimbangan dinamik. Keseimbangan akan menentukan
besarnya daya ledak saat terjadi gerakan melompat (take off) saat di udara
dan mendarat (Nala, 2011).
4. Tinggi badan, secara biomekanika menjelaskan semakin tinggi titik tempat
melompat maka semakin tinggi kemungkinan proyektil mencapai titik
maksimum menyebabkan semakin jauh hasil lompatan (Nala, 2011).
5. Kebugaran fisik, sangat diperlukan oleh setiap individu sehingga aktivitas
dapat dilakukan dengan baik (Hairy, 2009). Kebugaran fisik berhubungan
erat dengan kapasitas aerobik seseorang. Semakin baik kapasitas aerobik
seseorang makin baik pula kebugaran fisiknya (Sukarman, 2006).
Kebugaran fisik dapat diukur dengan berlari secepat-cepatnya sejauh 2,4
km yang dinyatakan dalam waktu tempuh, satuan menit, ketelitian 0,01
menit. Penilaian kebugaran fisik untuk putra dan putri berdasarkan umur
terlihat pada Tabel 2.1 (Ananto dkk, 2000).
6. Teknik. Teknik sangat menentukan hasil lompatan. Tanpa penguasaan
teknik yang memadai sulit untuk memperoleh prestasi yang diharapkan.
Teknik tersebut mulai dari ancang-ancang, tingal landas, fase melayang,
dan pendaratan. Dalam penelitian ini semua sampel dianggap mempunyai
36
teknik yang sama karena semua sampel sebelumnya belum pernah
diajarkan pelatihan teknik. Dan sebelum pengambilan data diajarkan
teknik dasar dengan volume, waktu dan teknik yang sama dan telah dicoba
dengan kesempatan yang sama setiap sampel (Nala, 2011).
Tabel 2.1 Penilaian tes lari 2,4 km Cooper. Dikutip dari : Ananto dkk, 2000.
Kesegaran Jasmani dan Kesehatan Mental
Kategori Pa/Pi 13-19
Tahun
20-29
Tahun
30-39
Tahun
40-49
Tahun
50-59
Tahun > 60 th
Jelek
sekali
Pa
Pi
>15:31
>18:31
> 16:01
> 19:01
> 16;31
> 19:31
> 17:31
> 20:01
> 19:01
> 20:31
> 20:01
> 21:01
Jelek Pa
Pi
12:11-
15:30
16:55-
18:30
14:01-
16:00
18:31-
19:00
14:44-
16:20
19:01-
19:30
15:36-
17:30
19:31-
20:00
17:01-
19:00
20:01-
20:30
19:01-
20:00
21:00-
21:31
Sedang Pa
Pi
10:49-
12:10
14:31-
16:54
12:01-
14:00
15:55-
18:30
12:31-
14:45
16:31-
19:00
13:01-
15:35
17:31-
19:30
14:31-
17:00
19:01-
20:00
16:16-
19:10
19:31-
20:30
Baik Pa
Pi
09:41-
10:48
12:30-
14:30
10:46-
12:00
13:31-
15:54
11:01-
12:30
14:31-
16:30
11:31-
13:00
15:56-
17:30
12:31-
14:30
16:31-
19:00
14:00-
15:25
17:31-
19:30
Baik
sekali
Pa
Pi
08:37-
0940
11:50-
12:29
09:45-
10:45
12:30-
13:30
10:00-
11:00
13:00-
14:30
10:30-
11:30
13:45-
15:55
11:00-
12:30
14:30-
16:30
11:15-
13:59
16:31-
17:30
Luar biasa Pa
Pi
< 08:37
< 11:50
< 0945
< 12:30
< 10:00
< 13:00
< 10:30
< 13:45
< 11:00
< 14:30
< 11:30
< 16:30
7. Genetik, bersifat pembawaan yang sering kal;i ikut berperan dalam
penampilan fisik seperti proporsi tubuh, karakter, psikologis, otot putih
dan otot merah dan suku (Baley, 2006). Pengaruh genetik terhadap
kecepatan, kekuatan dan daya tahan pada umumnya berhubungan dengan
komposisi serabut otot yang terdiri dari serabut otot putih dan serabut otot
merah. Atlet yang memiliki lebih banyak serabut otot putih, lebih mampu
37
untuk melakukan kegiatan yang bersifat anaerobik, sedangkan atlet yang
lebih banyak memiliki serabut otot merah lebih tepat untuk melakukan
kegiatan yang bersifat aerobik. Dengan demikian faktor genetik juga
berpengaruh terhadap hasil lompatan.
2.8.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal sangat mempengaruhi penampilan fisik atlet. Faktor
tersebut menyangkut; suhu dan kelembaban lingkungan, arah dan kecepatan
angin, dan ketinggian tempat.
1. Suhu dan kelembaban relatif udara. Suhu lingkungan yang terlalu ekstrim
(dingin atau panas) akan mempengaruhi aktivitas kerja otot . Pelatihan
yang dilakukan pada suhu yang sangat panas dapat menyebabkan atlet
mengalami dehidrasi, jika tidak dimbangi dengan pemberian cairan akan
berpengaruh terhadap konsentrasi cairan tubuh yang akan berdampak pada
kelelahan. Sebaliknya pelatihan yang dilakukan pada suhu yang sangat
dingin akan menyebabkan atlet sulit mempertahankan panas sehingga
dapat mengalami cramps. Pada umumnya orang Indonesia beraklimatisasi
pada suhu tropis 29-30ºC dengan kelembaban relatif bervariasi antara 85-
95%. Bila atlet biasa berlatih pada suhu kering sebesar 29ºC kemudian
akan bertanding pada tempat panas dengan temperatur lebih tinggi, maka
harus menyesuaikan diri terhadap lingkungan selama 12-14 hari dan bila
temperatur tempat bertanding lebih kecil dibandingkan tempat latihan
penyesuaian hanya beberapa hari saja. Penyesuaian ini dilakukan dengan
cara berlatih di tempat bertanding dalam waktu tertentu atau membuat
38
ruangan tempat berlatih yang suhunya sama dengan tempat bertanding
(Berger, 2008). Penurunan atau peningkatan temperatur kering udara
secara langsung akan mempengaruhi kelembaban relatif udara dengan
perbandingan berbanding terbalik (Kanginan, 2000). Perubahan ini akan
mempengaruhi penampilan fisik atlet bila berada diluar batas kenyamanan.
Menurut Manuaba (2003) batas kenyamanan bagi orang Indonesia berkisar
antara 70-80%. Oleh karena itu penelitian sebaiknya dilakukan pada
tempat yang nyaman dengan mempertimbangkan tempat dan waktu
penelitian.
2. Kecepatan angin. Kecepatan angin yang terlalu tinggi dari arah yang
berlawanan akan dapat menghambat aktivitas sehingga akan
mempengaruhi hasil lompatan. Dalam Penelitian ini arah dan kecepatan
angin dalam batas toleransi, diharapkan pengaruhnya dapat ditekan
sekecil-kecilnya (Nala, 2011).
3. Ketinggian tempat. Ketinggian suatu tempat akan mempengaruhi kinerja
atlet. Semakin tinggi suatu tempat makan akan semakin rendah kadar
oksigennya. Kondisi ini akan membutuhkan adaptasi yang lebih baik dari
atlet yang sedang berlatih (Pate dkk, 2007).
2.9 Pelatihan Lari Lompat Rintangan (Kardus)
Takaran pelatihan untuk meningkatkan otot dalam upaya meningkatkan
komponen daya ledak menurut Nala (2002) antara lain : repitisi (ulangan) 1 – 5
kali, set terdiri dari 3 - 5 set bagi pemula atau 5 - 8 set bagi atlet terlatih dengan
istirahat antar set 2 - 5 menit, dan frekuensi pelatihan tiga kali seminggu.
39
Pelatihan berlangsung selama enam minggu dengan frekuensi tiga kali seminggu
(Senin, Rabu, Jumat). Menurut Pate dkk. (2007), pelatihan yang berlangsung
selama 6 – 8 minggu akan memberikan efek yang cukup berarti bagi atlet yaitu
mengalami peningkatan 10 – 20%, maka sebaiknya evaluasi dilaksanakan setelah
6 – 8 minggu pelatihan.
Model pelatihan yang dipilih dalam suatu program pelatihan hendaknya
disesuaikan dengan tujuan, metode dan isi simulasi serta sejalan dengan apa yang
akan dihadapi dalam pertandingan (Nala, 2002). Selanjutnya Bernhard (1993)
mengemukakan persiapan lompatan merupakan fase yang terpenting untuk
mendapatkan hasil yang baik yang diperoleh dari kecepatan horizontal dan
kekuatan.
Komponen biomotorik yang dominan pada nomor lompat jauh ini adalah
daya ledak. Daya ledak adalah perpaduan kekuatan dan kecepatan. Untuk
mendapatkan daya ledak yang baik maka kekuatan dan kecepatan harus baik.
Daya ledak sering pula disebut kekuatan eksplosif, ditandai dengan
adanya gerakan atau perubahan tiba-tiba yang cepat, dimana tubuh terdorong ke
atas atau vertikal baik dengan cara melompat (satu kaki menapak) ataupun
meloncat (dua kaki menapak), atau terdorong ke depan horizontal dengan
mengerahkan otot maksimal (Nala, 2011). Sedangkan pada nomor lompat jauh
memerlukan daya ledak dimana tubuh terdorong ke depan horizontal.
2.10 Sistem Energi
Dasar dalam penyusunan program pelatihan adalah mengetahui sistem
energi yang utama digunakan yang dikenal dengan istilah sistem energi
40
predominan. Pengetahuan ini perlu untuk menentukan model pelatihan yang dapat
berpengaruh terhadap sistem energi yang dibutuhkan. Sistem energi dalam tubuh
manusia dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu: Sistem ATP – PC (phospat
creatin), Sistem Asam Laktat dan Sistem Aerobik (Fox dkk, 2008).
Energi dapat dibedakan menjadi dua yaitu energi kinetik dan energi
potensial. Energi kinetik adalah energi yang berhubungan dengan obyek karena
menghasilkan gerakan. Sedangkan energi potensial adalah yang berhubungan
dengan subjek, karena struktur dan potensinya. Makanan yang dikomsumsi tidak
dapat langsung digunakan untuk kontraksi otot. Oleh karena itu harus diubah
menjadi energi kimia yang berbentuk ATP.
Selain digunakan untuk kontraksi otot, ATP juga digunakan untuk proses-
proses lain yang vital bagi kehidupan manusia seperti sintesis protein, transport
aktif dan aktivitas metabolisme. Apabila ATP pecah menjadi ADP dan Pi, maka
sejumlah energi akan dikeluarkan, energi ini merupakan sumber tenaga yang
dapat digunakan untuk kontraksi. Apabila salah satu senyawa dilepaskan dari
ATP maka akan keluar energi sebesar 7 – 12 Kcal (Fox dkk, 2008).
Pengklasifikasian pemakaian energi berdasarkan aktivitas olahraga
dikemukakan oleh Fox (2008) sebagai berikut :
1. Pemakaian energi lebih kecil dari 30 detik, menggunakan sistem ATP-KP
(Sistem Phospagen).
2. Pemakaian energi antara 30 – 90 detik, menggunakan sistem ATP-KP dan
asam laktat.
41
3. Pemakaian energi antara 90 – 180 detik, menggunakan sistem asam laktat dan
oksigen.
4. Pemakaian energi lebih besar dari 180 detik, menggunakan sistem oksigen.
Penampilan seorang atlet dikatakan oleh Carr (2007) sangat tergantung
dari penampilannya menggunakan energi yang dihasilkan melalui proses
metabolisme energi.