BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · memenuhi segala kebutuhan bank guna menunjang...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA - sinta.unud.ac.id II.pdf · memenuhi segala kebutuhan bank guna menunjang...
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Profitabilitas
Tujuan utama sebuah perusahaan merupakan menghasilkan laba yang
maksimum, sehingga sangat penting untuk perusahaan menghitung besarnya laba yang
diperoleh. Besarnya laba yang diperoleh akan mencerminkan apakah perusahaan
tersebut sudah bekerja secara efesien. Efesiensi dapat di ukur dengan membandingkan
laba yang diperoleh dengan besarnya modal yang digunakan untuk memperoleh laba
tersebut.
Pengertian rentabilitas atau profitabilitas, Riyanto dalam bukunya Dasar-dasar
Pembelanjaan Perusahaan (1996: 35) mengemukakan bahwa:
“Rentabilitas menunjukkan perbandingan antara laba dengan aktiva atau modal yang
menghasilkan laba tesebut atau dengan kata lain profitabiltas dapat diartikan sebagai
kemampuan suatu perusahaan untuk menghasilkan laba selama periode tertentu”.
Demikian pula dijelaskan oleh Wasis dalam bukunya Perbankan Pendekatan
Manajerial (1993: 117) sebagai berikut:
“Profitability atau profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam hal ini adalah
bank, untuk memperoleh laba”.
12
Pada penelitian ini Return on Asset (ROA) digunakan sebagai proksi menghitung
profitabilitas. ROA berfungsi untuk mengukur efektivitas perusahaan dalam
menghasilkan laba dengan memanfaatkan efektivitas perusahaan dalam menghasilkan
laba melalui pengoperasian aktiva yang dimiliki. Semakin besar ROA yang dimiliki
oleh sebuah perusahaan maka semakin efisien penggunaan aktiva sehingga akan
memperbesar laba.
Mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei
2004 dimana ROA didefinisikan sebagai berikut:
𝑅𝑂𝐴 =Laba Sebelum Pajak
Total Asset 𝑥 100
Total assets merupakan komponen yang terdiri dari kas, giro pada BI,
penempatan pada bank lain, surat-surat berharga, kredit yang diberikan, pendapatan
yang masih akan diterima, biaya dibayar dimuka, uang muka pajak, aktiva tetap dan
penyusutan aktiva tetap lain-lain. Bank dengan total asset relatif besar akan
mempunyai kinerja yang lebih baik karena mempunyai total revenue yang relatif besar
sebagai akibat penjualan produk yang meningkat. Dengan meningkatnya total revenue
tersebut maka akan meningkatkan laba perusahaan sehingga kinerja keuangan akan
lebih baik (Mawardi, 2005).
ROA merupakan rasio keuangan untuk mengukur kemampuan manajemen
bank dalam memperoleh keuntungan (laba) secara keseluruhan. Semakin besar ROA
suatu bank, semakin besar pula tingkat keuntungan yang dicapai bank tersebut dan
semakin lebih baik pula posisi bank terebut dari segi penggunaan asset (Dendawijaya,
13
2001:120). Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia ROA bank ditetapkan minimal
1,25% dan juga merupakan indikator kepercayaan masyarakat kepada perbankan
terhadap pengelolaan aset bank (Mintarti, 2009).
2.1.2 Capital Adequacy Ratio (CAR)
Modal merupakan salah satu faktor penting dalam rangka pengembanga usaha
bisnis dan menampung risiko kerugian. Besarnya modal suatu bank akan berpengaruh
pada mampu atau tidaknya suatu bank secara efesien menjalankan kegiatannya, dan
dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat (khususnya untuk masyarakat
peminjam) terhadap kinerja bank. Penggunaan modal bank juga dimaksudkan untuk
memenuhi segala kebutuhan bank guna menunjang kegiatan operasi bank, dan sebagai
alat untuk ekspansi usaha. Kepercayaan masyarakat akan terlihat dari besarnya dana
giro,deposito, dan tabungan yang melebihi jumlah setoran modal dari para pemegang
sahamnya. Unsur kepercayaan ini merupakan masalah penting dan merupkan faktor
keberhasilan pengelolaan suatu bank (Sinungan,2000).
Pemodalan (Capital Adequacy) menunjukkan kemampuan bank dalam
mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam
mengidentifikasi, mengawasi dan mengontrol risiko-risiko yang timbul dan dapat
berpengaruh terhadap besarnya modal bank (Prastiyaningtyas, 2010).Capital
Adequacy Ratio (CAR) merupakan rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan
bank dalam menyediakan dana untuk keperluan pengembangan usaha dan
menampung risiko kerugian dana yang diakibatkan oleh kegiatan operasi bank. CAR
14
menunjukkan sejauh mana penurunan Asset Bank masih dapat ditutup oleh Equity
bank yang tersedia, semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah bank (Tarmidzi
Achmad, 2003).
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No. 9/13/PBI/2007 tentang “Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum Bank Umum dengan Memperhitungkan Risiko Pasar”,
bank wajib memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum dengan
memperhitungkan baik risiko pasar maupun risiko kredit adalah minimal sebesar 8%.
Mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004,
secara matematis CAR dapat dirumuskan sebagai berikut:
𝐶𝐴𝑅 =Modal Bank
Aktiva Tertimbang menurut Risiko 𝑥 100
2.1.3 BOPO
Rasio Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) sering
disebut rasio efisiensi yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank
dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional (Siamat,
2005). Peter Drucker, dalam Hanafi (1999), menyatakan bahwa efisiensi adalah
kemampuan menggunakan sumber daya yang tidak perlu. Efisiensi akan lebih jelas jika
dikaitkan dengan konsep perbandingan output-input. Output merupakan hasil suatu
organisasi, dan input merupakan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan
output tersebut. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang
15
dikeluarkan bank yang bersangkutan (Almilia dan Herdiningtyas, 2005). Studi Empiris
Guru et al. (2002) menyimpulkan bahwa biaya operasional yang tinggi akan
mengakibatkan menurunnya tingkat profitabilitas bank. Keberhasilan bank didasarkan
pada penilaian kuantitatif terhadap rentabilitas bank dapat diukur dengan menggunakan
rasio BOPO (Kuncoro dan Suhardjono,2002). Hal ini disebabkan setiap peningkatan
operasi akan berakibat pada menurunnya laba sebelum pajak dan akhirnya akan
menurunkan laba atau profitabilitas (ROA) bank yang bersangkutan. Perusahaan yang
bergerak dibidang perbankan, melakukan efisiensi operasi, yaitu untuk mengetahui
apakah bank dalam opersinya yang berhubungan dengan usaha pokok bank, dilakukan
dengan benar dalam arti sesuai yang diharapkan manajemen dan pemegang saham
(Hanley, 1997).
BOPO adalah rasio perbandingan antara biaya operasional dan pendapatan
operasional. Rasio biaya operasi digunakan untuk mengukur tingkat dan distribusi
biaya bank dalam melakukan kegiatan operasinya. Karena kegiatan utama bank pada
prinsipnya adalah bertindak sebagai perantara yaitu menghimpun dana dan
menyalurkan dana, maka biaya dan pendapatan operasional didominasi oleh biaya
bunga dan hasil bunga. Semakin rendah BOPO berarti semakin efisien bank tersebut
dalam mengendalikan biaya operasionalnya, dengan adanya efisiensi biaya maka
keuntungan yang diperoleh bank akan semakin besar (Adyani, 2011). “A lower value
indicates greater efficiency” (Gup dan Kolari, 2005).
16
Rasio BOPO bertujuan untuk mengukur kemampuan pendapatan operasional
dalam menutup biaya operasional. Jika rasio BOPO semakin meningkat mencerminkan
kurangnya bank dalam mengelola usahanya (SE,Intern BI,2004). Bank Indonesia
menetapkan rasio BOPO adalah dibawah 90%, karena jika rasio BOPO melebihi 90%
hingga mendekati 100%, maka bank tersebut dapat dikategorikan tidak efesien dalam
menjalankan kegiatan operasionalnya.
𝐵𝑂𝑃𝑂 =Biaya Operasional
Pendapatan Operasional x 100%
2.1.4 Non Performing Loan (NPL)
Menurut peraturan bank Indonesia nomer 5 tahun 2003, risiko adalah potensi
terjadinya peristiwa (event) yang dapat menimbulkan kerugian. Oleh karena situasi
lingkungan eksternal dan internal perbankan mengalami perkembangan pesat peraturan
Bank Indonesia tersebut, salah satu risiko usaha bank adalah risiko kredit, yang
didefinisikan : risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi
kewajiban. Menurut Ayuningrum (2011), credit risk adalah risiko yang diahadapi bank
karena menyalurkan dananya dalam bentuk pinjaman terhadap masyarakat. Adanya
berbagai sebab, membuat debitur mungkin saja menjadi tidak memenuhi kewajibannya
kepada bank seperti pembayaran pokok pinjaman, pembayaran bunga dan lain-lain.
Tidak terpenuhinya kewajiban nasabah kepada bank menyebabkan kerugian dengan
tidak diterimanya penerimaan yang sebelumnya sudah diperkirakan.
17
Pada penelitian ini rasio keuangan yang digunakan sebagai proksi terhadap nilai
suatu risiko kredit adalah rasio Non Performing Loan (NPL). Rasio ini menunjukan
bahwa kemampuan manajemen bank dalam mengelola kredit bermasalah yang
diberikan oleh bank (Herdiningtyas,2005). Sehingga semakin tinggi rasio ini akan
semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah
semakin besar, maka kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin
besar.
Agar nilai bank terhadap rasio ini baik Bank Indonesia menetapkan kriteria rasio
NPL net dibawah 5%. Semakin kecil NPL semakin kecil pula risiko kredit yang
ditanggung bank. Bank dengan NPL yang tinggi akan memperbesar biaya baik
pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya,sehingga berpotensi terhadap
kerugian bank (Mawardi,2005).Secara sistematis NPL dapat dirumuskan sebagai
berikut (Surat Edaran BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004) :
𝑁𝑃𝐿 =Kredit Bermasalah
Tot𝑎𝑙 𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡 x100%
2.1.5 Loan to Deposit Ratio (LDR)
Pengelolaan likuiditas merupakan salah satu masalah yang kompleks dalam
kegiatan operasional bank, hal tersebut dikarenakan dana yang dikelola bank sebagian
besar adalah dana dari masyarakat yang sifatnya jangka pendek dan dapat ditarik
18
sewaktu-waktu. Likuiditas suatu bank berarti bahwa bank tersebut memiliki sumber
dana yang cukup tersedia untuk memenuhi semua kewajiban (Siamat, 2005).
Pada umumnya aktivitas suatu bank diarahkan pada usaha untuk meningkatkan
pendapatan dengan meminimalkan risiko. Secara konvensional banyak bank
mengutamakan aktivitas perkreditan sebagai sarana mencapai tujuan tersebut, namun
ternyata banyak bank yang mengalami kepailitan karenanya. Aktivitas perkreditan
dapat mendominasi penggunaan dana suatu bank karena perkreditan mempengaruhi
aktivitas bank, penilaian atas tingkat kesehatan bank, tingkat kepercayaan nasabah
serta tingkat pencapaian laba. Permasalahan yang sering timbul dalam penanaman dana
di bidang perkreditan akan menyangkut : besarnya dana yang dapat digunakan
(sensitive atau tidak), pengaturan komposisi jenis kredit (pihak luar, pihak dalam,
dijamin atau tidak), komposisi berdasarkan jatuh temponya (pendek, menengah atau
panjang), penyiapan sumber dana manusia dalam Assets Liability Management
Commitee (ALCO) yang menampung kebersamaan proses manajemen untuk mencapai
level tinggi serta pola yang stabil dalam pertumbuhan NIM, ROA,ROE, ROI (Imam
R.1999 dalam Januarti, 2002).
Menurut Dendawijaya, Lukman (2001) Loan to Deposit Ratio (LDR)
menyatakan seberapa jauh kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana
yang dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
likuiditasnya. Dengan kata lain, seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah, kredit
dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan yang
ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk memberikan
19
kredit. Rasio ini juga merupakan indikator kerawanan dan kemampuan dari suatu bank.
Bank Indonesia menetapkan batas toleransi LDR berkisar antara 70% sampai 110% .
Perhitunga LDR adalah sebagai berikut :
𝐿𝐷𝑅 =𝐾𝑟𝑒𝑑𝑖𝑡
Dana Pihak Ketiga 𝑥 100 %
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Capital Adequacy Ratio terhadap Profitabilitas
Capital Adequacy Ratio (CAR) juga biasa disebut sebagai rasio kecukupan
modal, yang berarti jumlah modal sendiri yang diperlukan untuk menutup risiko
kerugian yang timbul dari penanaman aktiva-aktiva yang mengandung risiko serta
membiayai seluruh benda tetap dan inventaris bank. Seluruh bank yang ada di
Indonesia diwajibkan untuk menyediakan modal minimum sebesar 8% dari ATMR.
Semakin besar CAR maka keuntungan bank juga semakin besar. Dengan kata lain,
semakin kecil risiko suatu bank maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank
(Kuncoro dan Suharjono,2002).
Dendawijaya (2001), CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa jauh
seluruh aktiva bank yang mengandung risiko (kredit, penyertaan surat berharga,
tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari dana modal sendiri bank disamping
memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank, seperti dana masyarakat,
20
pinjaman (utang), dan lain-lain. . CAR menunjukkan sejauh mana penurunan asset
bank yang masih dapat ditutup oleh equity bank yang tersedia, semakin tinggi CAR
maka semakin baik kondisi bank (Tarmidzi, 2003). Dengan kata lain, CAR adalah
rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk
menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang
diberikan
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Werdaningtyas (2002) , Mawardi (2005)
dan Merkusiwati (2007) menunjukkan hasil bahwa CAR berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Return On Asset (ROA).Kemudian menurut Zimmerman (2000);
capital/modal merupakan salah satu variabel yang dapat digunakan sebagai dasar
pengukuran kinerja bank, yang tercermin dalam komponen CAMEL rating (Capital,
Asset, Management, Earning, Liquidity). Oleh karena itu besarnya modal suatu bank
akan mempengaruhi jumlah aktiva produktif, sehingga semakin tinggi asset utilization
(Koch, 2000) maka modal harus bertambah besar. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
semakin besar CAR, maka ROA juga akan semakin besar, dalam hal ini kinerja
keuangan bank menjadi semakin meningkat atau membaik.
Dari beberapa argumentasi diatas, secara umum dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut :
H1 : Capital Adequacy Ratio (CAR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Return On Asset (ROA)
2.2.2 Pengaruh BOPO terhadap Profitabilitas
21
Biaya operasional digunakan untuk mengukur tingkat efisien dan kemampuan
bank dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Biaya operasional merupakan biaya
yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha pokoknya
(seperti biaya bunga, biaya tenaga kerja, biaya pemasaran dan biaya operasi
lainnya).pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank, yaitu
pendapatan bunga yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan
pendapatan operasi lainnya.
Bank yang efisien dalam menekan biaya operasionalnya dapat mengurangi
kerugian akibat ketidakefisienan bank dalam mengelola usahanya sehingga laba yang
diperoleh juga akan meningkat. Semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien
bank dalam menjalankan aktivitas usahanya sehingga semakin sehat bank tersebu
(Herdiningtyas, 2005).
Menurut Bank Indonesia, efisiensi operasi diukur dengan membandingkan
total biaya operasi dengan total pendapatan operasi atau yang sering disebut BOPO.
Rasio BOPO ini bertujuan untuk mengukur kemampuan pendapatan operasional
dalam menutup biaya operasional. Rasio yang semakin meningkat mencerminkan
kurangnya kemampuan bank dalam menekan biaya operasional dan meningkatkan
pendapatan operasionalnya yang dapat menimbulkan kerugian karena bank kurang
efisien dalam mengelola usahanya(SE. Intern BI, 2004). Bank Indonesia menetapkan
angka terbaik untuk rasio BOPO adalah dibawah 90%, karen jika rasio BOPO
melebihi 90% hingga mendekati angka 100% maka bank tersebut dapat
dikategorikan tidak efisien dalam menjalankan operasinya.
22
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mawardi (2005) dan Mintarti (2007)
menunjukkan hasil bahwa BOPO berpengaruh negatif terhadap Return On Asset
(ROA).
H2: Rasio BOPO berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Return On Asset
(ROA)
2.2.3 Pengaruh Net Performing Loan (NPL) terhadap Profitabilitas
Risiko, menurut Peraturan Bank Indonesia nomor 5 tahun 2003 adalah
potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank.
Risiko akan selalu melekat pada dunia perbankan, hal ini disebabkan karena faktor
situasi lingkungan eksternal dan internal perkembangan kegiatan usaha perbankan
yang semakin pesat. Salah satu risiko usaha bank menurut Peraturan Bank Indonesia
adalah risiko kredit, yang didefinisikan : risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan
counterparty memenuhi kewajiban. Sementara menurut Susilo, et al.(1999), risiko
kredit merupakan risiko yang dihadapi bank karena menyalurkan dananya dalam
bentuk pinjaman kepada masyarakat. Karena berbagai hal, debitur mungkin saja
menjadi tidak memenuhi kewajibannya kepada bank seperti pembayaran pokok
pinjaman, pembayaran bunga dan lain-lain. Tidak terpenuhinya kewajiban nasabah
kepada bank menyebabkan bank menderita kerugian dengan tidak diterimanya
penerimaan yang sebelumnya sudah diperkirakan. Manajemen piutang merupakan
hal yang sangat penting bagi perusahaan yang operasinya memberikan kredit, karena
23
makin besar piutang akan semakin besar resikonya (Riyanto, 1997). Penelitian yang
dilakukan oleh Usman (2003) menunujukan pengaruh negatif Non Performing Loan
(NPL) terhadap perubahan laba, semakin tinggi NPL maka semakin besar risiko
yang disalurkan bank sehingga semakin rendah pendapatan sehingga laba yang
diproksikan dengan Return On Asset (ROA) menurun.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mawardi, (2005),
menyimpulkan bahwa NPL secara signifikan berpengaruh negatif terhadap ROA.
Sehingga jika semakin besar NPL, akan mengakibatkan menurunnya ROA, yang
juga berarti kinerja keuangan bank yang menurun. Begitu pula sebaliknya, jika NPL
turun, maka ROA akan semakin meningkat, sehingga kinerja keuangan bank dapat
dikatakan semakin baik.
Dari beberapa argumentasi diatas, secara umum dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut :
H3 : Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
Return On Asset (ROA)
2.2.4 Pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR) terhadap Profitabilitas
Loan to Deposit Ratio (LDR) yaitu menunjukkan kemampuan suatu bank di
dalam menyediakan dana kepada debiturnya dengan modal yang dimiliki oleh bank
maupun dana yang dapat dikumpulkan oleh masyarakat (Kusuno, 2003). LDR
mencerminkan kemampuan bank dalam membayar kembali penarikan dana yang
dilakukan deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan sebagai sumber
24
likuiditasnya, dengan kata lain seberapa jauh pemberian kredit kepada nasabah kredit
dapat mengimbangi kewajiban bank untuk segera memenuhi permintaan deposan
yang ingin menarik kembali uangnya yang telah digunakan oleh bank untuk
memberikan kredit yang diberikan dengan total dana pihak ketiga.
Semakin tinggi nilai rasio LDR menunjukkan semakin rendahnya kemampuan
likuiditas bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi
bermasalah akan semakin besar (Adyani, 2011), sebaliknya semakin rendah rasio
LDR menunjukkan kurangnya efektifitas bank dalam menyalurkan kredit sehingga
hilangnya kesempatan bank untuk memperoleh laba. Jika rasio berada pada standar
yang ditetapkan bank Indonesia, maka laba akan meningkat (dengan asumsi bank
tersebut menyalurkan kreditnya dengan efektif). Meningkatnya laba, maka Return On
Asset (ROA) juga akan meningkat, karena laba merupakan komponen yang
membentuk ROA.
Penelitian yang dilakukan oleh Suyono, (2005), yang menyatakan bahwa LDR
berpengaruh signifikan positif terhadap ROA. Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Usman, (2003), dimana LDR berpengaruh positif terhadap laba bank.
Karena laba merupakan komponen yang membentuk ROA, maka dapat disimpulkan
bahwa secara tidak langsung LDR juga berpengaruh positif terhadap ROA. Kemudian
Haryati, (2001), menyatakan bahwa tingkat likuiditas bank mempunyai pengaruh
terhadap kinerja keuangan yang diproksikan dengan ROA. Penelitian yang dilakukan
oleh Deyoung & Nolle (1996), dengan menggunakan studi deskriptif diperoleh hasil
25
bahwa Loan berpengaruh positif terhadap ROA dan ROA berpengaruh positif
terhadap karakter lain yang dimiliki oleh bank. Dan menurut Sugianto, et, al, (2002),
LDR dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesehatan bank.
Dari beberapa argumentasi diatas, secara umum dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut :
H4 : Loan to Deposit Ratio (LDR) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Return On Asset (ROA)