BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan teori ... II.pdf · Eselon IV (K epala Seksi dan...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan teori ... II.pdf · Eselon IV (K epala Seksi dan...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Penelitian ini menggunakan teori keagenan (agency theory) sebagai teori
pemayung (grand theory) dan teori kontijensi (contingency theory) sebagai teori
pendukung (supporting theory). Disamping itu, bab ini juga menjelaskan
pemahaman tentang anggaran dan slack serta penjelasan lainnya yang saling
berhubungan.
2.1 Teori Keagenan
Teori keagenan merupakan konsep yang menjelaskan hubungan
kontraktual antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal adalah pihak yang
memberikan mandat kepada agen untuk melakukan semua kegiatan atas nama
prinsipal dalam kapasitasnya sebagai pengambil keputusan. Hubungan keagenan
ini akan menciptakan dua masalah yaitu; 1) terjadinya asimetri informasi, dan 2)
konflik kepentingan, yang terjadi karena perbedaan kepentingan antara agen dan
prinsipal sehingga agen tidak selalu bertindak sesuai kepentingan pemilik
(Wendy, 2010).
Menurut Eisenhardt (1989), teori keagenan dilandasi oleh tiga asumsi,
yaitu; 1) asumsi tentang sifat manusia, mengemukakan bahwa manusia memiliki
kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki
keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan menghindari risiko (risk
aversion); 2) asumsi tentang keorganisasian, mengemukakan adanya konflik
antar anggota organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas dan adanya
11
asimetris informasi antara pemilik perusahaan dan manajemen; 3) asumsi tentang
informasi, menerangkan bahwa informasi dipandang sebagai komoditas yang
dapat diperjual-belikan.
Konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akan terus meningkat,
karena prinsipal tidak dapat memonitor kegiatan agen setiap hari, sedangkan agen
memiliki lebih banyak informasi penting mengenai kapasitas diri, lingkungan
kerja dan organisasinya secara keseluruhan. Hal inilah yang menimbulkan
asimetri informasi, yaitu ketidakseimbangan informasi antara prinsipal dan agen.
Hal ini dapat terjadi misalnya, jika dalam melakukan kebijakan pemberian
rewards perusahaan kepada bawahan didasarkan pada pencapaian anggaran.
Bawahan cenderung memberikan informasi yang bias agar anggaran mudah
dicapai dan mendapatkan rewards berdasarkan pencapaian anggaran tersebut,
kondisi ini akan menyebabkan terjadinya budgetary slack (Darlis, 2002).
Berdasarkan penjelasan teori keagenan tersebut, maka dalam penelitian ini
yang bertindak sebagai prinsipal adalah pejabat Eselon II (Kepala Dinas, Kepala
Inspektorat, Kepala Badan Daerah dan Kepala Biro), sedangkan yang bertindak
sebagai agen adalah pejabat Eselon III (Kepala Bidang pada Badan Daerah, Dinas
Daerah dan Inspektorat, Sekretaris pada Badan Daerah, Dinas Daerah dan Kepala
Bagian di Lingkungan Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Bali), dan pejabat
Eselon IV (Kepala Seksi dan Kepala Sub.Bagian) yang ikut berpartisipasi dalam
penyusunan anggaran.
12
2.2 Pendekatan Teori Kontijensi
Pendekatan kontijensi merupakan sebuah aplikasi konsep yang
menyatakan bahwa tidak ada suatu sistem kontrol terbaik yang dapat diterapkan
untuk semua organisasi dan penerapan sistem yang tepat harus memandang
adanya keterlibatan variabel konstektual dimana organisasi tersebut berada. Teori
kontinjensi dapat digunakan untuk menganalisis desain dan sistem akuntansi
manajemen untuk memberikan informasi yang dapat digunakan perusahaan untuk
berbagai macam tujuan dan untuk menghadapi persaingan ( Otley, 1980 ).
Hasil penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan adanya
ketidakonsistenan antara penelitian satu dengan penelitian lainnya, kemungkinan
adanya variabel lain yang mempengaruhi hubungan antara partisipasi anggaran
dengan budgetary slack. Ghozali (2007) mengatakan kemungkinan belum adanya
kesatuan hasil penelitian mengenai anggaran dan implikasinya, disebabkan
adanya faktor-faktor tertentu (situational factors) atau yang lebih dikenal dengan
variabel kontijensi (contingency variables). Selain itu, Govindarajan (1986)
menyatakan bahwa perbedaan hasil penelitian tersebut dapat diselesaikan melalui
pendekatan kontinjensi (contingency approach). Hal ini dilakukan dengan
memasukkan variabel lain yang mungkin mempengaruhi partisipasi anggaran
dengan budgetary slack. Banyak penelitian terdahulu yang menggunakan
variabel-variabel moderating untuk penelitian partisipasi penganggaran dan
budgetary slack. Desmiyati (2009) menyatakan bahwa anggaran partisipatif
berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, interaksi anggaran
partisipatif dan komitmen organisasi berpengaruh negatif dan signifikan pada
13
budgetary slack. Sudarba (2010) menguji interaksi budgetary slack, anggaran
partisipatif, komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan. Hasil
menunjukkan bahwa anggaran partisipatif yang tinggi akan meningkatkan
budgetary slack, komitmen organisasi berpengaruh signifikan pada budgetary
slack. Hasil penelitian menunjukkan ketidakonsistenan antara peneliti yang satu
dengan peneliti yang lainnya, sehingga para peneliti berkesimpulan terdapat
variabel lain yang mempengaruhi antara partisipasi anggaran dengan budgetary
slack.
Dalam penelitian ini, pendekatan kontijensi akan diadopsi untuk
mengevaluasi keefektifan antara partisipasi terhadap budgetary slack . Faktor
kontijensi yang dipilih dalam penelitian ini adalah komitmen organisasi, internal
locus of control dan ketidakpastian lingkungan. Faktor tersebut akan berperan
sebagai variable moderasi dalam hubungan antara penganggaran partisipatif pada
budgetary slack.
2.3 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Pemerintah telah mengeluarkan berbagai instrumen hukum untuk
mendukung reformasi penganggaran daerah. Kementerian Dalam Negeri telah
mengeluarkan UU No.32/2004 tentang pemerintah daerah, Permendagri
No.13/2006, Peraturan Pemerintah No.58/2005, dan Permendagri No.37/2012
sebagai pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Lembaga-lembaga yang berperan penting dalam perencanaan dan
penganggaran daerah berdasarkan UU.No.17/2003 tentang Keuangan Negara dan
UU.No.25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)
14
adalah Badan Perencanaan Daerah (Bappeda), Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD), Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Kepala daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pelaksanaan otonomi daerah menimbulkan praktek-praktek penyimpangan
pengelolaan keuangan negara. Salah satu penanggulangan yang dilakukan
pemerintah pusat adalah memperbaiki sistem keuangan negara dengan
menerapkan sistem penganggaran yang disebut dengan anggaran berbasis kinerja.
Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) merupakan proses penyusunan APBD di
organisasi sektor publik untuk tata kelola pemerintahan, yakni proses
pembangunan yang efisien dan partisipatif, serta terjadi reformasi anggaran, yaitu
penggunaan sistem anggaran berbasis kinerja (performance budget system) untuk
menggantikan sistem anggaran tradisional (traditional budget system). Proses
pembangunan ini melibatkan pengambilan kebijakan pemerintahan, pelaksanaan
kegiatan pemerintahan, dan dalam tahap tertentu melibatkan masyarakat sebagai
penerima manfaat dari kegiatan pelayanan publik. Salah satu kunci utama
penyusunan anggaran berbasis kinerja adalah penentuan kinerja, adanya ukuran
kinerja yang jelas dan dapat diverifikasi terhadap outcome, output maupun
kewajaran dana yang dikeluarkan dengan output yang dicapai (Mahsun,
dkk.,2007).
15
2.3.1 Proses penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Dalam Negeri (Permendagri) No.59
Tahun 2007 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah, tahapan penyusunan
APBD adalah sebagai berikut.
1. Penyusunan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD)
Untuk menyusun APBD, pemerintah daerah menyusun RKPD yang
merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD). RKPD memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas
pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan
pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah pusat,
pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi
masyarakat.
2. Penyusunan Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
Berdasarkan RKPD, pemerintah daerah kemudian menyusun KUA, yang
memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari program-program yang
akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan
daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan, alokasi belanja daerah,
sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang
mendasari. Rancangan KUA disampaikan kepada DPRD paling lambat
pertengahan bulan Juni sebelum tahun anggaran dan disepakati bersama oleh
Pemda dan DPRD menjadi KUA paling lambat minggu pertama bulan Juli.
16
3. Penyusunan Prioritas dan Plafon Anggaran (PPA)
Berdasarkan KUA yang telah disepakati, Pemda dan DPRD menyusun PPA,
yang disepakati paling lambat bulan Juli sebelum tahun anggaran. KUA dan
PPA yang telah disepakati kemudian dituangkan kedalam nota kesepakatan
yang ditandatangani bersama oleh pihak kepala daerah dan pimpinan DPRD.
Berdasarkan nota kesepakatan tersebut pemerintah daerah menerbitkan surat
edaran tentang pedoman penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Satuan
Kerja Perangkat daerah (RKA-SKPD). Surat edaran tersebut diterbitkan
paling lambat awal bulan Agustus sebelum tahun anggaran dimulai.
4. Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD)
Berdasarkan surat edaran yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, masing-
masing SKPD kemudian menyusun RKA-SKPD. Surat edaran tersebut
memuat arah dan kebijakan umum APBD, strategi dan prioritas APBD,
standar biaya, standar pelayanan minimal, dan formulir RKA-SKPD. Formulir
RKA-SKPD merupakan dokumen yang memuat rancangan anggaran unit
kerja yang disampaikan oleh setiap unit kerja. RKA-SKPD memuat
pernyataan mengenai:
a. Visi dan misi unit kerja.
b. Deskripsi Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) unit kerja.
c. Rencana program dan kegiatan unit kerja beserta tolak ukur dan target
kinerjanya.
17
RKA-SKPD kemudian disampaikan kepada tim anggaran pemerintah daerah
untuk dievaluasi. Tim anggaran pemerintah daerah mengevaluasi dan
menganalisis:
1) Kesesuaian antara rancangan anggaran unit kerja dengan program dan
kegiatan berdasarkan yang direncanakan unit kerja.
2) Kesesuaian program dan kegiatan berdasarkan tugas pokok dan fungsi unit
kerja.
3) Kewajaran antara anggaran dengan target kinerja berdasarkan Standar
Analisa Biaya (SAB) yang telah diperhitungkan.
5. Penyusunan RAPBD
Rencana kerja dan anggaran masing-masing SKPD yang telah dievaluasi oleh
tim anggaran pemerintah daerah selanjutnya dirangkum menjadi Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).
6. Penetapan APBD
Pemerintah daerah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (RAPBD) kepada DPRD paling lambat pada minggu pertama
bulan Oktober sebelum tahun anggaran untuk dibahas. RABPD ditetapkan
menjadi APBD setelah mendapatkan persetujuan bersama dari pemerintah
daerah dan DPRD paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran dimulai.
2.4 Penganggaran Partisipatif
Penganggaran partisipatif adalah tingkat seberapa besar keterlibatan dan
pengaruh para pejabat Eselon III dan Eselon IV dalam proses menentukan dan
18
menyusun anggaran yang ada dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah, baik secara
periodik maupun tahunan.
Partisipasi penganggaran diperlukan karena bawahan yang lebih
mengetahui kondisi langsung bagiannya (Suprasto, 2006). Dengan demikian,
tujuan perusahaan akan lebih dapat diterima jika seluruh anggota organisasi dapat
bersama-sama dalam suatu kelompok untuk saling bertukar pendapat dan
informasi mengenai tujuan perusahaan dan terlibat dalam menentukan langkah-
langkah untuk mencapai tujuan tersebut. Murray (1990) menyatakan bahwa
partisipasi dari bawahan dalam penyusunan anggaran mempunyai konsekuensi
terhadap sikap dan perilaku anggota organisasi yang selanjutnya akan
mempengaruhi kinerja dari anggota organisasi tersebut.
2.5 Budgetary slack
Anthony dan Govindarajan (2007) mendefinisikan budgetary slack
sebagai perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai
dengan estimasi yang sesungguhnya, tujuannya agar target dapat lebih mudah
dicapai oleh bawahan, karena itu dapat disimpulkan bahwa budgetary slack, yaitu
suatu tindakan bagian dalam menyusun anggaran cenderung menurunkan tingkat
penjualan dari biaya yang seharusnya dicapai, sehingga anggaran yang dihasilkan
lebih mudah dicapai. Menurut Ikhsan (2007), slack adalah selisih antara sumber
daya yang sebenarnya diperlukan untuk efisien menyelesaikan suatu tugas dan
jumlah sumber daya yang lebih besar yang diperuntukkan bagi tugas tersebut.
19
Budgetary slack juga digambarkan sebagai dysfunctional behavior karena
manajer berusaha untuk memuaskan kepentingannya yang nantinya akan
merugikan organisasi. Merchant (1985), Lukka (1988), dan Young (1985)
mempunyai pengertian yang sama mengenai slack anggaran, yaitu sebagai
pengungkapan yang dimasukkan dalam anggaran yang memungkinkan mudah
dicapai. Jika anggaran lebih mudah dicapai karena adanya slack atau faktor-faktor
lain sebagai akibat adanya partisipasi dalam penyusunan anggaran, yang terjadi
adalah menurunnya atau menghilangnya keuntungan motivator yang
sesungguhnya.
Budgetary slack disebabkan oleh empat kondisi, yaitu; 1) terdapat
informasi asimetri antara manajer (bawahan) dengan atasan mereka; 2) kinerja
manajer tidak pasti, jika terdapat kepastian dalam kinerja, maka atasan dapat
menduga usaha manajer melalui output mereka sehingga senjangan anggaran sulit
untuk dilakukan; 3) manajer mempunyai kepentingan pribadi; 4) adanya konflik
tujuan antara manajer dengan atasan mereka (Fitri, 2007).
2.6 Komitmen Organisasi
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai
suatu keadaan dimana seorang individu memihak organisasi serta tujuan-tujuan
dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaannya dalam organisasi.
Sopiah (2008) mendefinisikan komitmen organisasi sebagai derajat dimana
karyawan percaya dan mau menerima tujuan-tujuan organisasi dan akan tetap
tinggal atau tidak akan meninggalkan organisasinya. Komitmen karyawan yang
20
tinggi maupun rendah akan berdampak pada; 1) karyawan itu sendiri, misalnya
terhadap pengembangan karir karyawan itu di organisasi atau perusahaan; 2)
organisasi, karyawan yang berkomitmen tinggi pada organisasi akan
menimbulkan kinerja organisasi yang tinggi, tingkat obsensi berkurang, loyalitas
karyawan dan lain-lain (Sopiah, 2008). Pada konteks pemerintahan daerah, aparat
yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi, akan menggunakan informasi
yang dimilki untuk membuat anggaran menjadi relatif lebih tepat. Adanya
komitmen organisasi yang tinggi budgetary slack dapat dihindari.
2.7 Locus of Control
Rotter (1990) mendefinisikan locus of control sebagai suatu variabel
kepribadian tentang keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol
nasib (destiny) dirinya sendiri. Konsep Locus of control didasarkan pada teori
pembelajaran sosial (theory social learning). Teori pembelajaran sosial
menyatakan bahwa pilihan dibuat oleh individu dari berbagai macam perilaku
potensial yang tersedia untuk mereka (Reiss dan Mitra, 1998). Locus of control
didefinisikan Tsui dan Gul (1996) sebagai sejauh mana seseorang merasakan
hubungan kontijensi antara tindakan dan hasil yang mereka peroleh. Seseorang
yang percaya bahwa mereka memiliki pengendalian atas takdir mereka disebut
internal. Dalam hal ini, mereka mempercayai bahwa pengendalian itu terletak
dalam diri mereka sendiri. Pihak, eksternal adalah orang yang percaya bahwa hasil
mereka ditentukan oleh agen atau faktor ekstrinsik diluar mereka sendiri. Sebagai
21
contoh, oleh takdir, keberuntungan, kekuatan yang lain atau sesuatu yang tidak
dapat diprediksi.
Berdasarkan pada teori locus of control, bahwa perilaku seorang manajer
dalam penyusunan anggaran akan dipengaruhi oleh karakteristik locus of control-
nya. Ciri pembawaan internal locus of control adalah mereka yang yakin bahwa
suatu kejadian selalu berada dalam kendalinya dan akan selalu mengambil peran
dan tanggung jawab dalam penentuan benar atau salah. Sebaliknya, orang dengan
eksternal locus of control percaya bahwa kejadian dalam hidupnya berada di luar
kontrolnya dan percaya bahwa hidupnya dipengaruhi oleh takdir, keberuntungan,
dan kesempatan serta lebih mempercayai kekuatan di luar dirinya. Penelitian
Singer (2001) mencoba untuk mengungkapkan eskalasi komitmen yang berbeda-
beda pada individu yang sensitizer dan repressor dan individu yang internal locus
of control dan eksternal locus of control. Hasil mengungkapkan bahwa individu
yang repressor cenderung mengalami eskalasi lebih besar daripada individu yang
sensitizer, demikian juga dengan individu yang cenderung internal locus of
control mengalami eskalasi lebih besar daripada individu yang cenderung
eksternal locus of control.
2.8 Ketidakpastian Lingkungan
Ketidakpastian lingkungan merupakan salah satu faktor yang sering
menyebabkan organisasi melakukan penyesuaian terhadap kondisi organisasi
dengan lingkungan. Ketidakpastian merupakan persepsi dari anggota organisasi.
22
Seseorang mengalami ketidakpastian karena dia merasa tidak memiliki informasi
yang cukup untuk meprediksi masa depan secara akurat.
Bagi suatu organisasi, sumber utama ketidakpastian berasal dari
lingkungan, yang meliputi pesaing, konsumen, pemasok, regulator,dan teknologi
yang dibutuhkan (Govindarajan,1986). Individu akan mengalami ketidakpastian
lingkungan yang tinggi jika merasa lingkungan tidak dapat diprediksi dan tidak
dapat memahami bagaimana komponen lingkungan akan berubah, sedangkan
dalam ketidakpastian lingkungan yang rendah (lingkungan relatif stabil), individu
dapat memprediksi keadaan di masa datang sehingga langkah-langkah yang akan
dilakukannya dapat direncanakan dengan lebih akurat ( Darlis, 2002). Kondisi
yang relatif stabil ini dapat dimanfaatkan oleh anggota organisasi untuk
membantu organisasi membuat perencanaan yang akurat.
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian-penelitian terdahulu yang telah menguji pengaruh penganggaran
partisipatif pada budgetary slack menyatakan hasil yang tidak konsisten antara
lain, Schift dan Lewin (1970) meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada
budgetary slack, objek penelitiannya adalah tiga divisi dari 100 perusahaan
dengan menggunakan teknik analisis regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian
ini menyatakan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh negatif pada budgetary
slack.
Onsi (1973) meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack,
objek penelitiannya adalah 7 perusahaan manufaktur dengan 107 responden.
23
Teknik analisis yang digunakan regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini
menyatakan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh negatif pada budgetary
slack. Common (1976) meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary
slack yang menyatakan bahwa anggaran partisipatif dapat mengurangi terjadinya
budgetary slack. Penelitian ini didukung oleh penelitian Baiman (1982) yang
meneliti pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack dengan
menggunakan teknik analisis regresi linier sederhana. Hasil penelitian
menunjukan bahwa anggaran partisipatif cenderung mengurangi budgetary slack.
Fitri (2007) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif,
asimetri informasi dan komitmen organisasi, dengan menggunakan teknik path
analysis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh
negatif tetapi signifikan pada budgetary slack melalui asimetri informasi dan
komitmen organisasi. Anggaran partisipatif berpengaruh positif dan signifikan
pada komitmen organisasi. Asimetri informasi, anggaran partisipatif dan
komitmen organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap budgetary
slack. Asimetri informasi berpengaruh tidak signifikan terhadap budgetary slack.
Asimetri informasi berpengaruh negatif dan signifikan pada anggaran partisipatif
dan komitmen organisasi. Komitmen organisasi melalui asimetri informasi dan
anggaran partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack.
Desmiyati (2009) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif,
komitmen organisasi. Responden penelitian ini adalah pejabat Eselon III dan
Eselon IV di Pemda Kabupaten Indargiri Hulu, dengan menggunakan teknik
analisis regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa anggaran
24
partisipatif berpengaruh negatif dan signifikan pada budgetary slack, interaksi
anggaran partisipatif dan komitmen organisasi berpengaruh negatif dan signifikan
pada budgetary slack.
Supanto (2010) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif,
asimetri informasi, motivasi dan budaya organisasi. Teknik analisis menggunakan
analisis regresi moderasi. Objek pada penelitian ini adalah Politeknik Negeri
Semarang. Penelitian ini menunjukkan bahwa anggaran partisipatif berpengaruh
negatif dan signifikan pada budgetary slack, asimetri informasi dapat memoderasi
pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, motivasi dan budaya
organisasi tidak dapat memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary
slack.
Falikhatun (2007) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif,
asimetri informasi, budaya organisasi, dan grup cohesiveness dengan
menggunakan analisis regresi moderasi, menunjukkan bahwa anggaran partisipatif
berpengaruh positif signifikan pada budgetary slack, asimetri informasi dan grup
cohesiveness memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack
budaya organisasi (employee oriented) tidak memoderasi pengaruh anggaran
partisipatif pada budgetary slack. Penelitian ini ddukung oleh Lowe dan Shaw
(1968), Young (1985), Lukka (1988), Dunk dan Perera (1997) menunjukkan
bahwa anggaran partisipatif berpengaruh positif pada budgetary slack.
Sudarba (2010) meneliti tentang budgetary slack, anggaran partisipatif,
komitmen organisasi dan ketidakpastian lingkungan dengan menggunakan teknik
analisis regresi berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggaran
25
partisipatif yang tinggi akan meningkatkan budgetary slack, komitmen organisasi
dan ketidakpastian lingkungan berpengaruh signifikan pada budgetary slack.
Andriyani dan Hidayati (2010) anggaran partisipatif berpengaruh positif
pada budgetary slack, komitmen organisasi berpengaruh positif pada budgetary
slack, kejelasan sasaran anggaran berpengaruh positif pada budgetary salck.
Penelitian Reysa (2011) menunjukkan hasil bahwa anggaran partisipatif
berpengaruh positif pada budgetary slack, asimetri informasi merupakan variabel
yang memoderasi pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, budaya
organisasi merupakan variabel yang memoderasi pengaruh anggaran partisipatif
pada budgetary slack, grup cohesiveness merupakan variabel yang memoderasi
pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack.
Sandrya (2013) meneliti tentang pengaruh anggaran partisipatif pada
budgetary slack dengan asimetri informasi, komitmen organisasi, budaya
organisasi dan kapasitas individu sebagai variabel moderasi. Teknik analisis
menggunakan analisis regresi moderasi. Hasil menunjukkan bahwa anggaran
partisipatif berpengaruh positif terhadap budgetary slack, interaksi anggaran
partisipatif dengan asimetri informasi berpengaruh positif pada budgetary slack,
interaksi anggaran partisipatif dengan komitmen organisasi berpengaruh negatif
pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dengan budaya organisasi
berpengaruh negatif pada budgetary slack, interaksi anggaran partisipatif dengan
kapasitas individu berpengaruh positif pada budgetary slack. Penelitian ini
didukung oleh Novia (2015) yang menunjukkan bahwa anggaran partisipatif
berpengaruh positif pada budgetary slack, dengan menggunakan asimetri
26
informasi, locus of control, self esteem dan kapasitas individu sebagai variabel
moderasi. asimetri informasi merupakan variabel yang memoderasi
(memperlemah) pengaruh anggaran partisipatif pada budgetary slack, variabel self
esteem mampu memoderasi (memperlemah) pengaruh penganggaran partisipatif
pada budgetary slack, variabel locus of control mampu memoderasi
(memperlemah) pengaruh penganggaran partisipatif pada budgetary slack,
variabel kapasitas individu mampu memoderasi (memperkuat) pengaruh
penganggaran partisipatif pada budgetary slack.
Ketidakkonsistenan hasil penelitian-penelitian terdahulu mendorong
peneliti untuk menggunakan variabel kontijensi yang memoderasi hubungan
antara anggaran partisipatif dan budgetary slack. Variabel kontijensi yang
digunakan adalah komitmen organisasi, internal locus of control dan
ketidakpastian lingkungan. Tujuannya adalah untuk mengetahui pengaruh variabel
kontijensi dapat memperkuat atau memperlemah hubungan tersebut.