BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN · PDF filemengawasi proyek-proyek baru yang ......
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN · PDF filemengawasi proyek-proyek baru yang ......
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
Peninjauan kembali pustaka-pustaka yang terkait (review of related literature).
Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka berfungsi sebagai peninjauan
kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan sebagainya) tentang masalah
yang berkaitan, tidak selalu harus tepat identik dengan bidang permasalahan yang
dihadapi tetapi termasuk pula yang seiring dan berkaitan (collateral).
2.1.1 Manajemen
2.1.1.1 Pengertian Manajemen
Menurut pendapat Robbins dan Clouter (2004:6), definisi manajemen adalah
proses pengkoordinasian kegiatan-kegiatan pekerjaan sehingga pekerjaan tersebut
terselesaikan secara efesien dan efektif dan melalui orang lain. Dan pengertian
efesiensi yaitu memperoleh output terbesar dengan input yang terkecil:
digambarkan sebagai “melakukan sesuatu secara benar” dan pegertian efektivitas
yaitu menyelesaikan kegiatan-kegiatan sehingga sasaran organisasi dapat tercapai
digambarkan sebagai “melakukan segala sesuatu yang benar”.
Menurut Hasibuan (2003:1), manajemen adalah ilmu dan seni mengatur proses
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan
efesien untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Manajemen ini terdiri dari enam
unsur (6 M) yaitu: money, methode, materials, machines, dan market.
11
Maka dapat disimpulkan bahwa, manajemen merupakan ilmu, seni dan suatu
pengkoordinasian dalam memanfaatkan sumber daya manusia yang ada secara
efektif dan efesien untuk mencapai tujuan tertentu.
2.1.1.2 Fungsi Manajemen
Menurut Robbins (2008:5-6) Fungsi manajemen terdapat 4 fungsi, yaitu
sebagai berikut :
1) Perencanaan (planning)
Proses yang meliputi pendefinisian tujuan suatu organisasi penentuan
strategi keseluruhan untuk mencapai tujuan tersebut, dan pengembangan
serangkaian rencana komprehensif untuk menggabung dan mengoordinasi
berbagai aktivitas.
2) Pengorganisasian (organizing)
Proses yang meliputi penentuan tugas yang harus dikerjakan, siapa yang
mengerjakan tugas tersebut, bagaimana tugas tersebut dikelompokkan,
siapa yang melapor ke siapa, dan di mana keputusan-keputusan dibuat.
3) Kepemimpinan (leading)
Proses yang mencakup pemberian motivasi karyawan, pengaturan orang,
pemilihan saluran komunikasi yang paling efektif dan penyelesaian
konflik.
12
4) Pengendalian (controlling)
Memantau aktivitas untuk memastikan aktivitas tersebut diselesaikan
seperti yang telah direncanakan dan membetulkan penyimpangan-
penyimpangan yang signifikan.
2.1.1.3 Peran Manajemen
Menurut Robbins dan Judge (2008:7-8), yang mengambil penjelasan dari
Mintzberg menyimpulkan bahwa manajer melakukan sepuluh peran atau
rangkaian perilaku yang berbeda dan saling berkaitan erat. Seperti yang
digambarkan dalam Tabel 2.1, kesepuluh peran ini dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
1) Peran Antarpersonal
Semua manajer diharuskan melakukan tugas-tugas terkait seremonial dan
bersifat simbolis, ia berperan sebagai tokoh utama (figurehead). Semua
manajer memiliki peran kepemimpinan. Peran ini mencakup perekrutan,
pelatihan, pemberian motivasi, dan pendisiplinan karyawan. Peran ketiga
dalam pengelompokan antarpersonal adalah peran penghubung. Mintzberg
mendeskripsikan aktivitas ini sebagai hubungan dengan individu luar yang
memberikan informasi kepada manajer tersebut.
2) Peran Informasional
Semua manajer, sampai pada tingkat tertentu, mengumpulkan informasi
dari organisasi-organisasi dan institusi luar. Mintzberg menyebut hal ini
sebagai peran pemantau. Para manajer juga bertindak sebagai penyalur
13
untuk meneruskan informasi ini kepada anggota organisasional. Hal ini
disebut sebagai peran penyebar. Selain itu, manajer bertindak selaku juru
bicara ketika mereka mewakili organisasi di hadapan pihak luar.
3) Peran Pengambilan Keputusan
Mintzberg mengidentifikasikan empat peran yang terkait pengambilan
keputusan. Dalam peran kewirausahaan, para manajer memulai dan
mengawasi proyek-proyek baru yang akan meningkatkan kinerja
organisasi mereka. Sebagai penyelesai masalah, manajer melakukan
tindakan korektif untuk menyelesaikan berbagai masalah yang tidak
terduga. Sebagai pengalokasi sumber daya, manajer bertanggung jawab
menyediakan sumber daya manusia, fisik dan moneter. Terakhir, manajer
memainkan peran negosiator, dimana mereka mendiskusikan berbagai
masalah dan tawar-menawar dengan unit-unit lain demi keuntungan unit
mereka sendiri. Peranan manajerial menurut Mintzberg dapat lebih ringkas
dijelaskan pada Tabel 2.1, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Peran-peran Manajerial
PERAN DESKRIPSI Antarpersonal
Tokoh Utama Pemimpin simbolis; diwajibkan melakukan sejumlah tugas rutin dari sebuah lembaga hukum atau sosial
Kepemimpinan Bertanggung jawab memotivasi dan mengarahkan karyawan
Penghubung Mempertahankan jaringan koneksi luar yang memberikan pertolongan dan informasi
Informasional Pemantau Menerima berbagai informasi;
14
bertindak sebagai pusat saraf informasi internal dan eksternal organisasi
Penyebar Meneruskan informasi yang diterima dari orang luar atau karyawan lain kepada anggota organisasi
Pengambilan Keputusan Kewirausahaan Mencari peluang dalam organisasi
dan lingkungannya serta memprakasai proyek-proyek untuk membuat perubahan.
Penyelesai Masalah Bertanggung jawab atas tindakan korektif ketika organisasi menghadapi gangguan penting yang tidak terduga
Pengalokasi Sumber Daya Membuat atau menyetujui keputusan-keputusan organisasi yang signifikan
Negosiator Bertanggung jawab mewakili organisasi dalam negoisasi-negoisasi besar
Sumber: Robbins dan Judge, 2008:7-8
2.1.2 Manajemen Sumber Daya Manusia
2.1.2.1 Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Yuniarsih dan Suwatno (2008:1), manajemen sumber daya manusia
merupakan bagian dari ilmu manajemen yang memfokuskan perhatiaannya pada
pengaturan peranan sumber daya manusia dalam kegiatan suatu organisasi.
Manajemen sumber daya manusia menganggap bahwa karyawan adalah kekayaan
(asset) utama organisasi yang harus dikelola dengan baik, jadi manajemen sumber
daya manusia sifatnya lebih strategis bagi organisasi dalam mencapai tujuan-
tujuan yang telah ditetapkan.
15
Menurut Robbins (2006:67), manajemen sumber daya manusia adalah
mengenai penggunaan karyawan secara organisasional untuk mendapatkan atau
memelihara keunggulan kompetitif terhadap para pesaing.
Menurut Samsudin (2006:22), manajemen sumber daya manusia adalah suatu
kegiatan pengelolaan yang meliputi pendayagunaan, pengembangan, penilaian,
pemberian balas jasa bagi manusia sebagai individu anggota organisasi atau
perusahaan bisnis.
Menurut Susilo (2002:4), manajemen sumber daya manusia adalah proses
sistematis untuk mencapai tujuan-tujuan pengelolaan sumber daya manusia dalam
rangka mendukung pencapaian tujuan organisasi. Manajemen sumber daya yang
efektif mengharuskan manajer menemukan cara terbaik dalam mempekerjakan
orang-orang yang tepat untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.
Kemudian masih menurut Samsudin (2006:23), terdapat hal yang esensial dan
manajemen sumber daya manusia adalah pengelolaan dan pendayagunaan secara
penuh dan berkesinambungan terhadap sumber daya manusia yang ada sehingga
mereka dapat bekerja secara optimal, efektif, dan produktif dalam mencapai
tujuan organisasi atau perusahaan. Menurut Samsudin (2006:23) juga menjelaskan
bahwa terdapat empat hal penting berkenaan dengan manjemen sumber daya
manusia adalah sebagai berikut:
1) Penekanan yang lebih dari biasanya tehadap pengintegrasian berbagai
kebiajakan sumber daya dengan perencanaan.
16
2) Tanggung jawab pengelolaan sumber daya manusia yang tidak lagi
menjadi tanggung jawab manajer khusus, tetapi manajemen secara
keseluruhan.
3) Adanya perubahan dari hubungan serikat pekerja manajemen yang
menjadi hubungan manajemen karyawan.
4) Terdapat aksentuasi pada komitmen utnuk melatih para manajer agar dapat
berperan optimal sebagai penggerak dan fasilitator.
Maka dapat disimpulkan bahwa, manajemen sumber daya manusia menjadi hal
yang penting untuk dilakukan perusahaan demi memaksimalkan dan menjaga
sumber daya manusia yang mereka miliki. Oleh karena itu, pada era global seperti
dewasa ini, aktivitas pengelolaan sumber daya manusia secara efektif akan
semakin meningkat pada semua jenis dan jenjang organisasi atau perusahaan.
2.1.2.2 Tujuan Manajemen Sumber Daya Manusia
Menurut Samsudin (2006:30), tujuan manajemen sumber daya manusia adalah
memperbaiki kontribusi produktif orang-orang atau tenaga kerja terhadap
organisasi atau perusahaan dengan cara bertanggung jawab secara startegis, etis
dan sosial. Dalam prakteknya, manajemen sumber daya manusia dimulai dari
penerapan tujuan, baik tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, tujuan
organisasi maupun tujuan fungsional, hingga target pemasaran. Secara spesifik,
tujuan manajemen sumber daya manusia dalam sebuah organisasi adalah
mengelola dan mengembangkan kompetensi personil agar mampu merealisasikan
misi organisasi, dimana dapat diartikan bahawa semua aktivitas manajemen
17
sumber daya berorientasi pada pengembangan dan pemanfaatan kompetensi
karyawan. Secara sinergis, kompetensi individu akan membentuk kompetensi
kelompok dimana akan mendorong terjadinya pembentukan kompetensi inti
organisasi.
Kesimpulannya, tujuan manajemen sumber daya manusia adalah mengelola
atau mengembangkan kompetensi inti organisasi agar organisasi mampu
menjalankan misi dan mewujudkan visinya melalui pencapaian tujuan-tujuan
organisasi yang direncanakan.
2.1.2.3 Peran Manajemen Sumber Daya Manusia
Seperti yang digambarkan pada Gambar 2.1, manajemen sumber daya manusia
memainkan peran beberapa peranan bagi organisasi yaitu sebagai berikut:
Sumber: Mathis dan Jackson, 2006: 51
Gambar 2.1 Perbedaan Peran Manajemen SDM
18
1) Peran Administratif
Meliputi aktivitas-aktivitas administrasi, seperti program bantuan
karyawab, administrasi pensiun, pemeriksaan latar belakang/surat
keterangan, administrasi imbalan kerja, perencanaan dan administrasi
kompensasi, dan penanganan persoalan cuti yang terkait dengan urusan
keluarga.
2) Penasihat Karyawan
Profesional-profesional SDM sebagai surat atas persoalan-persoalan
karyawan, biasanya dipandang sebagai petugas moral perusahaan.
Profesional SDM banyak menghabiskan waktu untuk menangani
manajemen krisis SDM yang berhubungan dengan masalah pekerjaan
karyawan maupun masalah yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.
3) Operasional
Peran operasional terdiri dari beberapa aktivitas SDM berikut ini.
(1) Pengadaan tenaga kerja (procurement)
Fungsi operasional dari manajemen personalia adalah berupa usaha
untuk memperoleh jenis dan jumlah yang tepat dari personalia yang
diperlukan untuk menyelesaikan sasaran organisasi. Hal-hal yang
dilakukan dalam kaitan ini adalah penentuan sumber daya manusia
yang dibutuhkan dan perekrutannya, seleksi, dan penempatan.
(2) Pengembangan (development)
Pengembangan merupakan peningkatan keterampilan melalui pelatihan
yang perlu utnuk prestasi kerja yang tepat. Kegiatan ini amat penting
19
dan terus tumbuh karena perubahan-perubahan teknologi, reorganisasi
pekerjaan, tugas manajemen yang semakin rumit.
(3) Kompensasi (compensation)
Fungsi ini dirumuskan sebagai balas jasa yang memadai dan layak
kepada personalia untuk sumbangan mereka kepada tujuan organisasi.
(4) Integrasi (integration)
Integrasi merupakan usaha untuk menghasikan suatu rekonsiliasi
(kecocokan) yang layak atas kepentingan-kepentingan perorangan
(individu), masyarakat, dan organisasi.
(5) Pemeliharaan (maintenance)
Pemeliharaan merupakan usaha untuk mengabaikan angkatan kerja
yang mempunyai kemauan dan mampu untuk bekerja. Terpeliharanya
kemauan untuk bekerja sangat dipengaruhi oleh komunikasi dengan
para karyawan, keadaan jasmani (fisik) karyawan, dan kesehatan serta
keselamatan kerja.
(6) Pemutusan hubungan kerja (separation)
Jika fungsi pertama manajemen personalia adalah untuk mendapatkan
karyawan, adalah logis bahwa fungsi terakhir adalah memutuskan
hubungan kerja dan mengembalikan orang-orang tersebut kepada
masyarakat. Organisasi bertanggung jawab untuk melaksanakan proses
pemutusan hubungan kerja sesuai dengan persyaratan-persyaratan
yang telah ditentukan, dan menjamin bahwa warga masyarakat yang
dikembalikan itu berada dalam keadaan yang sebaik mungkin.
20
4) Startegis
SDM harus berfokus pada implikasi jangka panjang dari persoalan SDM
dan berperan sebagai rekan bisnis strategis perusahaan.
Menurut Hasibuan (2003:14), manajemen adalah fungsi yang berhubungan
dengan mewujudkan hasil tertentu melalui kegiatan orang-orang. Hal ini berarti
bahwa sumber daya manusia berperan penting dan dominan dalam manajemen.
Manajemen Sumber Daya Manusia mengatur dan menetapkan program
kepegawaian yang mencakup masalah-masalah sebagai berikut:
1) Menetapkan jumlah, kualitas, dan penempatan tenaga kerja yang efektif
sesuai dengan kebutuhan perusahaan berdasarkan job description, job
specification, job requirement, dan job evalution.
2) Menetapkan penarikan, seleksi, dan penempatan karyawan berdasarkan
asas the right man in the right place and the right man in the right job.
3) Menetapkan program kesejahteraan, pengembangan, promosi, dan
pemberhentian.
4) Meramalkan penawaran dan permintaan sumber daya manusia pada masa
yang akan datang.
5) Memperkirakan keadaan perekonomian pada umumnya dan
perkembangan perusahaan pada khususnya.
6) Memonitor dengan cermat undang-undang perburuan dan kebijaksanaan
pemberian balas jasa perusahaan-perusahaan sejenis.
7) Memonitor kemajuan teknik dan perkembangan serikat buruh.
8) Melaksanakan pendidikan, latihan, dan penilaian prestasi karyawan.
21
9) Mengatur mutasi karyawan baik vertikal maupun horizontal.
10) Mengatur pensiun, pemberhentian, dan pesaingannya.
Peranan manajemen sumber daya manusia diakui sangat menentukan bagi
terwujudnya tujuan, tetapi untuk memimpin unsur manusia ini sangat sulit dan
rumit. Tenaga kerja manusia selain mampu, cakap, dan terampil, juga tidak kalah
pentingnya kemuan dan kesungguhan mereka untuk bekerja efektif dan efesien.
Kemampuan dan kecakapan kurang berarti jika tidak diikuti moral kerja dan
kedisiplinan karyawan dalam mewujudkan tujuan.
2.1.3 Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)
2.1.3.1 Pengertian Kepuasan Kerja
Menurut Mathis dan Jackson (2006:121), kepuasan kerja (job satisfaction)
merupakan suatu keadaan emosional yang positif yang didapat hasil dari evaluasi
pengalaman kerja seseorang. Ketidakpuasan kerja muncul ketika harapan
seseorang tidak terpenuhi. Sebagai contoh, apabila seorang karyawan
mengharapkan kondisi kerja yang bersih dan aman atas pekerjaan tersebut,
karyawan itu cenderung tidak puas apabila tempat kerjanya kotor dan berbahaya.
Menurut Robbins (2003:91) adalah sikap umum yang ditunjukkan seorang
individu terhadap pekerjaannya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi
menunjukkan sikap yang positif terhadap pekerjaan itu, seseorang yang tidak puas
dengan pekerjaannya menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaan itu.
Menurut Robbins (2008:99), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai suatu
perasaan positif tentang pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari evaluasi
22
karakteristiknya. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memiliki
perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan tersebut, sementara seseorang yang
tidak puas memliki perasaan-perasaan yang negatif tentang pekerjaan tersebut.
Maka dapat disimpulkan bahwa, kepuasan kerja adalah sikap, perasaan, dan
keadaan emosional seseorang terhadap pekerjaannya yang dimana ketidakpuasan
pekerjaan akan berdampak negatif pada pekerjaan yang dilakukannya.
2.1.3.2 Dimensi Kepuasan Kerja
Dimensi yang menentukan kepuasan kerja karyawan menurut Robbins
(2002:149-150) yaitu sebagai berikut :
1) Kerja yang secara mental menantang, karyawan cenderung lebih menyukai
pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk
menggunakan keterampilan dan kemampuan yang masih mereka miliki,
menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa
baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara menantang.
Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu
banyak menantang menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi
tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami
kesenangan dan kepuasan.
2) Imbalan yang pantas. Para karyawan menginginkan sistem upah dan
kebijakan promosi yang mereka persepsikan sebagai adil, tidak meragukan
dan segaris dengan pengharapan mereka. Bila upah dilihat sebagai asil
yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat keterampilan individu
23
dan standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan
kepuasan.
3) Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli akan klingkungan kerja
baik untuk kenyamanan pribadi maupun memudahkan mengerjakantugas
yang baik, seperti kondisi fisik kerja yang nyaman dan aman, pemberian
diktat untuk memudahkan karyawan dalam mengerjakan tugasnya dengan
baik.
4) Rekan kerja yang mendukung. Bagi kebanyakan karywan, kerja juga
mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Oleh karena itu, tidaklah
mengejutkan bila mempunyai rekan sekerja yang ramah dari mendukung
menghantar kepada kepuasan kerja yang meningkat. Perilaku atasan juga
merupakan determinan utama dari kepuasan.
2.1.3.3 Dampak Ketidakpuasan Kerja
Menurut Robbins dan Judge (2008:111-112), ada konsekuensi ketika karyawan
menyukai pekerjaan mereka, dan ada konsekuensi ketika karyawan tidak
menyukai pekerjaan mereka. Sebuah kerangka teoritis (kerangka keluar-pengaruh-
kesetiaan-pengabdian) sangat bermanfaat dalam memahami konsekuensi dari
ketidakpuasan. Dalam bagan berikut menunjukkan empat respons kerangka
tersebut, yang berbeda dari satu sama lain bersama dengan dua dimensi:
konstruktif/destruktif dan aktif/pasif. Respon-respon tersebut didefinisikan
sebagai berikut :
24
1) Keluar (exit): perilaku yang ditunjukan untuk meninggalkan organisasi
termasuk mencari posisi baru dan mnegundurkan diri.
2) Aspirasi (voice): secara aktif dan kontruktif berusaha memperbaiki kondisi,
termasuk menyarankan perbaikan, mendisuksikan masalah dengan atasan, dan
beberapa bentuk aktivitas serikat kerja.
3) Kesetiaan (loyalty): secara pasif tetapi optimis menunggu membaiknya
kondisi, termasuk membela organisasi ketika berhadapan dengan kecaman
eksternal dan mempercayai organisasi dan manajernya untuk “melakukan hal
yang benar”.
4) Pengabdian (neglect): secara pasif membiarkan kondisi menjadi lebih buruk,
termasuk ketidakhadiran atau keterlambatan yang terus-menerus kurangnya
usaha, dan meningkatnya angka kesalahan.
Perilaku keluar dan pengabdian mencakup variabel-variabel kinerja,
produktivitas, ketidakhadiran, dan perputaran karyawan. Model ini juga
mengembangkan respon karyawan untuk mencakup aspirasi dan kesetiaan
perilaku konstruktif yang memungkinkan individu untuk menoleransi situasi yang
tidak menyenangkan atau membangkitkan kondisi kerja yang memuaskan. Hal ini
membantu kita memahami bagaimana situasi, seperti yang terkadang dijumpai di
antara para pekerja yang membentuk serikat kerja, untuk siapa kepuasan kerja
yang rendah diiringi dengan perputaran karyawan yang rendah. Anggota serikat
kerja sering mengungkapkan ketidakpuasan melalui prosedur keluhan atau
negosiasi kontrak formal. Mekanisme suara ini memungkinkan anggota serikat
25
kerja untuk meneruskan pekerjaan mereka sambil meyakinkan diri mereka sendiri
bahwa mereka berupaya memperbaiki situasi.
Sumber: Robbins dan Judge (2008: 111-112) Gambar 2.2 Kudran Respons-respons terhadap Ketidakpuasan Kerja
2.1.4 Komitmen Organisasional (Organizational Commitment)
2.1.4.1 Pengertian Komitmen Organisasional
Menurut Mathis Dan Jackson (2006:122), komitmen organisasi adalah tingkat
sampai dimana karyawan yakin dan menerima tujuan organisasional, serta
berkeinginan untuk tinggal bersama organisasi tersebut. Berbagai studi
menunjukkan bahwa orang-orang yang relatif puas dengan pekerjaannya akan
sedikit lebih berkomitmen terhadap organisasi. Karyawan yang tidak puas dengan
KELUAR
APIRASI
PENGABDIAN KESETIAAN
26
pekerjaannya atau yang tidak berkomitmen terhadap organisasi memiliki
kemungkinan yang lebih besar untuk meninggalkan organisasi, mungkin lewat
ketidakhadiran atau perputaran secara permanen.
Menurut Robbins dan Coulter (2006:57), komitmen organisasi dapat
didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak pada
tujuan-tujuan suatu organisasi tertentu dan berharap untuk dapat memelihara
keanggotaan dalam organisasi tersebut.
Maka dapat disimpulkan, bahwa komitmen organisasi didefinisikan sebagai
keadaan psikologis individu yang berhubungan dengan keyakinan dan keinginan
kuat pada penerimaan tujuan-tujuan organisasi demi memelihara keanggotaannya
dalam suatu organisasi.
2.1.4.2 Dimensi Komitmen Organisasional
Meyer dan Allen menggolongkan multidimensi dari komitmen organisasi
menjadi tiga komponen model, dan ketiga model tersebut akan digunakan dalam
penelitian komitmen organisasional yaitu (Luthans, 2006:249-250):
1) Komitmen afektif (affective commitment) adalah suatu pendekatan
emosional dari individu dalam keterlibatan dengan organisasi, sehingga
individu akan merasa dihubungkan dengan organisasi, berkaitan dengan
emosional, identifikasi dan keterlibatan karyawan didalam suatu
organisasi.
2) Komitmen berkelangsungan (continuance commitment) adalah hasrat yang
dimiliki oleh invidu didasarkan pada persepsi tentang kerugian yang akan
27
dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi, sehingga individu merasa
membutuhkan untuk dihubungkan dengan organisasi.
3) Komitmen normatif (normative commitment) adalah perasaan-perasaan
pegawai tentang kewajiban yang harus ia berikan kepada organisasi dan
tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan.
2.1.5 Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu
yang dalam melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di-reward oleh perolehan
kinerja tugas. OCB ini melibatkan beberapa perilaku meliputi perilaku menolong
orang lain, menjadi volunter untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-
aturan dan prosedur-prosedur di tempat kerja. Perilaku-perilaku ini
menggambarkan “nilai tambah karyawan.”
Organizational Citizenship Behavior (OCB) atau kewarganegaraan
organisasional sangat terkenal dalam perilaku organisasi saat pertama kali
diperkenalkan sekitar 20 tahun yang lalu dengan dasar teori disposisi/ kepribadian
dan sikap kerja. Dasar kepribadian untuk OCB merefleksikan ciri/trait predisposes
karyawan yang kooperatif, suka menolong, perhatian, dan sungguh-sungguh.
Sedangkan dasar sikap mengindikasikan bahwa karyawan terlibat dalam OCB
untuk membalas tindakan organisasi (Luthans, 2006:251). Sehingga dapat
disimpulkan bahwa OCB merupakan perilaku organisasi yang mencakup faktor
kepribadian dan sikap kerja sebagai dasar utama, seperti dapat dilihat pada
Gambar 2.3 berikut ini.
28
Gambar 2.3 Dasar Teori OCB
Menurut Robbins dan Coulter (2007:52), Perilaku Kewarganegaraan
Organisasional merupakan perilaku bijaksana yang bukan bagian dari pekerjaan
resmi karyawan tetapi dengan adanya perilaku ini dapat membuat organisasi
menjadi efektif.
OCB adalah tipe spesial dari kebiasaan kerja yang mendefinisikan sebagai
perilaku individu yang sangat menguntungkan untuk organiasai dan merupakan
kebebasan memilih, secara tidak langsung atau secara eksplisit diakui oleh sistem
penghargaan formal (Hoffman, 2007). Berdasarkan pendapat Saragih dan Joni
(2007) OCB merupakan perilaku yang membangun, tetapi tidak termasuk dalam
job description formal karyawan.
Berdasarkan pendapat Saragih, Susanti R dan Joni (2007) OCB merupakan
perilaku sukarela individu yang sangat menguntungkan bagi organisasi di luar job
description formal karyawan
29
Menurut Budiharjo (2004) mengemukakan bahwa OCB memiliki
karakteristik perilaku sukarela/extra-role behavior yang tidak termasuk dalam
uraian jabatan, perilaku span/tanpa saran atau perintah tertentu, perilaku yang
bersifat menolong, serta perilaku yang tidak mudah terlihat serta dinilai melalui
evaluasi kinerja.
Organisasi membutuhkan karyawan yang bergabung dalam perilaku-perilaku
“kewarganegaraan yang baik” seperti membuat pernyataan-pernyataan yang
konstruktif tentang kelompok kerja dan organisasi mereka, membuat yang lain
dalam tim mereka, sukarela melakukan kegiatan-kegiatan tambahan, menghindari
konflik-konflik yang tidak perlu, menunjukkan perhatian pada properti organisasi,
menghargai semangat dan juga kaidah dan aturan tersurat, dan bersedia mentolerir
gangguan dan kerugian-kerugian yang berkaitan dengan pekerjaan yang tidak
tetap (Robbins,2003:13).
Sehingga, penulis menyimpulkan OCB sebagai suatu perilaku karyawan yang
dimana karyawan melakukan hal-hal diluar jabatan formal mereka dengan rasa
sukarela sehingga memberikan dampak positif bagi perusahaan
Menurut Organ (Purba dan Seniati, 2004:106), OCB terdiri dari lima dimensi :
1. Alturism, yaitu perilaku membantu meringankan pekerjaan yang ditunjukan
kepada individu lain dalam suatu organisasi, misalnya membantu rekan kerja
yang tidak sehat.
2. Courtesy, yaitu membantu teman kerja mencegah timbulnya masalah
sehubungan dengan pekerjaannya dengan cara memberi konsultasi dan
30
informasi serta menghargai kebutuhan mereka, atau memahami dan berempati
walaupun saat dikritik.
3. Sportsmanship, yaitu toleransi pada situasi yang kurang ideal di tempat kerja
tanpa mengeluh ikut menanggung kegagalan proyek tim yang mungkin akan
berhasil dengan mengikuti nasihat anggota.
4. Civic virtue, yaitu terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi dan peduli pada
kelangsungan hidup organisasi, misalnya rela mewakili perusahaan untuk
program bersama.
5. Conscientiousness, yaitu melakukan hal-hal yang menguntungkan organisasi,
misalnya mematuhi peraturan-peraturan di organisasi dan bersedia lembur
untuk menyelesaikan proyek.
Bukti menunjukkan bahwa organisasi-organisasi tersebut yang memiliki
karyawan yang memiliki OCB tinggi berkinerja melebihi organisasi-organisasi
yang tidak memiliki karyawan. Akibatnya, perilaku organisasi itu berhubungan
dengan OCB sebagai varibael bergantung (Robbins, 2003:30). Sehingga, manajer
sekarang sangat bijaksana bukan hanya dalam mencoba meningkatkan kepuasan
kerja dan komitmen organisasi, tetapi juga OCB karyawan mereka (Luthans,
2006:251).
2.1.5.1 Motif yang Mendasari OCB
Seperti halnya sebagian besar perilaku yang lain, OCB ditentukan oleh banyak
hal, artinya tidak banyak penyebab tunggal dalam OCB. Sesuatu yang masuk akal
bila kita menerapkan OCB secara rasional. Salah satu pendektan motif dalam
31
perilaku organisasi berasal dari kajian McClelland dan rekan-rekannya, Menurut
McClelland, manusia memiliki tiga tingkatan motif (Hardaningtyas, 2005:14):
• Motif berprestasi, mendorong orang untuk menunjukkan suatu standard
keistimewaan (excellence), mencari prestasi dari tugas, kesempatan atau
kompetisi.
• Motif afiliasi, mendorong orang untuk mewujudkan, memelihara, dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain.
• Motif kekuasaan, mendorong orang untuk mencari situasi di mana mereka
dapat mengontrol pekerjaan atau tindakan orang lain.
Kerangka motif berprestasi, afiliasi, dan kekuasaan telah diterapkan untuk
memahami OCB guna memahami orang menunjukkan OCB. Gambar 2.4
menunjukkan model OCB yang didasari oleh suatu motif.
Paradigman 1 : OCB dan Motif Berprestasi
OCB dianggap sebagai alat untuk berprestasi tugas (task accomplishment).
Ketika prestasi menjadi motif, OCB muncul karena perilaku tersebut dipandang
perlu untuk kesuksesan tugas tersebut. Perilaku seperti menolong orang lain,
membicarakan perubahan dapat mempengaruhi orang lain, berusaha tidak
mengeluh, berpartisipasi dalam rapat unit perubahan hal-hal yang dianggap kritis
terhadap keseluruhan prestasi tugas, proyek tujuan atau misi. Singkatnya,
karyawan memiliki motivasi berprestasi memandang tugas dari perspektif yang
lebih menyeluruh. Hal-hal kecil membentuk OCB benar-benar dianggap sebagai
kunci untuk kesuksesan.
32
Gambar 2.4 Motif OCB
Hasil OCB terletak pada usaha pribadi seseorang secara umum – menolong
karyawan lain mempercepat performance tugas, berkomunikasi membawa
apresiasi langsung mendukung strategi yang lebih baik. Dengan mewujudkan
OCB mungkin meningkatkan derajat kepuasan intrinsik. Namun karyawan yang
berorientasi pada prestasi akan menunjukkan OCB seolah-olah hal ini dibutuhkan
untuk kesukesasan tugas. Mereka termotivasi untuk memperbaiki kinerja di masa
mendatang dan berusaha keras untuk sukses. Tapi mereka juga membutuhkan
perlakuan yang adil dan penuh perhatian dari manajer maupun orang lain. Ketika
feedback tidak memberikan yang diharapkan, tidak akurat atau tidak adil, ada
kemungkinan mereka akan kehilangan ketertarikan untuk menampilkan OCB.
OCB
Motif Berprestasi Dengan OCB berarti :
♦ Kesempurnaan tugas ♦ Kesuksesan organisasi
Motif AfiliasiDengan OCB berarti :
♦ Pembentukan dan pemeliharaan relasi
♦ Penerimaan dan persetujuan
Motif KekuasaanDengan OCB berarti :
♦ Mendapat kekuasaan dan status ♦ Menunjukkan kesan positif
33
Menurut Bateman dan Organ, paradigma ini mendukung kepuasan kerja atau
keadilan sebagai antesedens OCB (Hardaningtyas, 2005:17). Karyawan yang
berorientasi pada prestasi bertekad untuk menggantikan atau mengerjakan hal-hal
yang membuahkan prestasi atas tugas yang dikerjakannya. Selama orang yang
memiliki motivasi berprestasi tinggi menerima perlakuan atau reward yang adil
dari manajemen, OCB akan terus nampak.
Paradigma 2 : OCB dan Motif Afiliasi
Karyawan yang berorientasi pada afiliasi menunjukkan OCB karena mereka
menempatkan nilai orang lain dan hubungan kerjasama. Istilah sederhananya
adalah karyawan yang “berorientasi pada orang” berusaha melayani orang lain.
Motif afiliasi dipandang sebagai suatu komitmen terhadap pemberian pelayanan
pada orang lain.
Karyawan yang berorientasi pada afiliasi membantu orang lain karena mereka
membutuhkan bantuan, atau menyampaikan suatu informasi karena hal tersebut
menguntungkan penerima. Karyawan tipe ini akan bersungguh-sungguh karena
seseorang (atasan atau pelanggan) membutuhkan mereka. Hasil performance
mereka tidak sebanyak perhatian tentang keuntungan yang diterima orang lain.
Mereka menempatkan prioritas pada OCB, meskipun kadang-kadang merugikan
dirinya.
Karyawan yang berorientasi pada afiliasi akan menunjukkan komitmen
terhadap orang lain dalam organisasi yang termasuk didalamnya ada rekan kerja,
manajer atau supervisor. Perilaku menolong, berkomunikasi, bekerjasama dan
berpartisipasi kesemuanya muncul dari keinginan mereka untuk memilki dan tetap
34
berada dalam kelompok. Selama karyawan tersebut memahami bahwa kelompok
tersebut bernilai, OCB akan tetap berlanjut.
Paradigma 3: OCB dan Motif Kekuasaan
OCB lebih mudah dipahami sebagai perilaku yang berasal dari berbagi motif,
tidak hanya sekedar intensi “altruistic”. Di satu sisi, terdapat perilaku organisasi
yang mendukung organisasi, namun di sisi lain terdapat pelayanan diri (self-
serving). Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menganggap OCB
merupakan alat untuk mendapatkan kekuasaan dan status dengan figur otoritas
dalam organisasi. Tindakan-tindakan OCB disorong oleh suatu komitmen
terhadap agenda karir seseorang.
Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan menolong orang lain,
berkomunikasi lintas departemen, atau memberikan masukan dalam proses
organisasi adalah agar dapat terlihat peran kekuasaannya. Selama target figur
otoritas diakui, para pencari kekuasaan termotivasi untuk melanjutkan OCB yang
dianggap sebagai bentuk dari modal politis. Mereka mengiventasikan modalnya
dengan menampilkan OCB dan membangun landasan untuk kekuasan mereka
melalui OCB. Karyawan yang berorientasi pada kekuasaan memiliki self-monitor
yang lebih tinggi. Mereka akan cepat belajar, mengkalkulasi kesempatan perilaku
mereka, kemudian berjuang untuk organisasi tersebut membantu mereka
mencapai agenda pribadi mereka.
2.1.5.2 Manfaat OCB dalam Perusahaan
35
Dari hasil-hasil penelitian mengenai OCB, dapat disimpulkan hasil manfaat
OCB, sebagai berikut (Hardaningtyas, 2005):
1. OCB meningkatkan produktivitas rekan kerja
• Karyawan yang menolong rekan kerja akan mempercepat penyelesaian
tugas rekan kerjanya, dan pada gilirannya meningkatkan produktivitas
rekan tersebut.
• Seiring berjalannya waktu, perilaku membantu yang ditunjukkan
karyawan akan membantu menyebarkan best practice ke seluruh unit
kerja atau kelompok.
2. OCB meningkatkan produktivitas manajer
• Karyawan yang menampilkan perilaku civic virtue akan membantu
manajer mendapatkan saran dan atau umpan balik yang berharga dari
karyawan tersebut untuk meningkatkan efektivitas unit kerja.
• Karywan yang sopan dan menghindari konflik dengan rekan kerja akan
menolong manajer terhindar dari krisis manajemen.
3. OCB menghemat sumber daya yang dimiliki manajemen dan organisasi secara
keseluruhan.
• Jika karyawan saling tolong-menolong dalam menyelesaikan masalah
dalam suatu pekerjaan sehingga tidak perlu melibatkan manajer,
konsekuensinya manajer dapat memakai waktunya untuk melakukan
tugas lain, seperti membuat perencanaan bagi organisasi.
• Karyawan yang menampilkan conscentioussness yang tinggi hanya
membutuhlan pengawasan minimal dari manajer sehingga manajer dapat
36
mendelegasikan tanggung jawab yang lebih besar kepada mereka, ini
berarti lebih banyak waktu yang diperoleh manajer untuk melakukan
tugas yang lebih penting.
• Karyawan lama yang membantu karyawan baru dalam pelatihan dan
melakukan orientasi kerja akan membantu organisasi mengurangi biaya
untuk keperluan tersebut.
• Karyawan yang menampilkan perilaku sportsmanship akan sangat
menolong manajer tidak menghabiskan waktu terlalu banyak untuk
berurusan dengan keluhan-keluhan kecil karyawan.
4. OCB membantu menghemat energi sumber daya yang langka untuk
memelihara fungsi kelompok.
• Keuntungan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat,
moril (morale) dan kerekatan (cohesiveness) kelompok, sehingga anggota
kelompok (atau manajer) tidak perlu menghabiskan energi untuk
pemeliharaan fungsi kelompok.
• Karyawan yang menampilkan perilaku courtesy terhadap rekan kerja
akan mengurangi konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang
dihabiskan untuk menyelesaikan konflik manajemen terbuang.
5. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasikan kegiatan-
kegiatan kelompok kerja .
• Menampilkan perilaku civic virtue (seperti menghadiri dan berpartisipasi
aktif dalam pertemuan di unit kerjanya) akan membantu koordinasi di
37
antara anggota kelompok, yang akhirnya secara potensial meningkatkan
efektivitas dan efesiensi kelompok.
• Menampilkan perilaku courtery (misalnya saling member informasi
tentang pekerjaan dengan anggota tim lain) akan menghindari munculnya
masalah yang membutuhkan waktu dan tenaga untuk diselesaikan.
6. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk menarik dan
mempertahankan karyawan terbaik.
• Perilaku menolong dapat meningkatkan moril dan kerekatan serta
perasaan saling memiliki di antara anggota kelompok, sehingga akan
meningkatkan kinerja organisasi dan membantu organisasi menarik dan
mempertahankan karyawan yang baik.
• Memberi contoh pada karyawan lain dengan menampilkan perilaku
sportsmanship (misalnya tidak mengeluh karena permasalahan-
permasalahan kecil) akan menumbuhkan loyalitas dan komitmen pada
organisasi.
7. OCB meningkatkan stabilitas kinerja organisasi
• Membantu tugas karyawan yang tidak hadir di tempat kerja atau yang
mempunyai beban kerja berat akan meningkatkan stabilitas (dengan cara
mengurangi variabilitas) dari kinerja unit kerja.
• Karyawan yang conscientiuous cenderung mempertahankan tingkat
kinerja yang tinggi secara konsisten, sehingga mengurangi variabilitas
pada kinerja unit kerja.
38
8. OCB meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi dengan
perubahan lingkungan
• Karyawan yang mempunyai hubungan uang dekat dengan pasar dengan
sukarela memberi informasi tentang bagaimana merespon perubahan
tersebut, sehingga organisasi dapat beradaptasi dengan cepat.
• Karyawan yang secara aktif hadir dan berpartipasi pada pertemuan-
pertemuan di organisasi akan membantu menyebabkan informasi yang
penting dan harus diketahui oleh organisasi.
• Karyawan yang menampilkan perilaku conscientiousness (misalnya
kesediaan untuk memikul tanggung jawab baru dan mempelajari keahlian
baru) akan meningkatkan organisasi beradaptasi dengan perubahan yang
terjadi di lingkungannya.
2.1.6 Retensi Karyawan Upaya untuk mempertahankan karyawan telah menjadi persoalan utama dalam
banyak organisasi karena berbagai alasan. Mudahnya, dengan perputaran yang
lebih rendah setiap individu yang dipelihara berarti berkurangnya satu organ yang
harus direkrut, diseleksi, dan dilatih. Selain itu, kinerja organisasional dan
individual ditingkatkan dengan kontinuitas karyawan yang mengetahui pekerjaan,
rekan kerja, layanan, dan produk organisasional mereka, serta pelanggan
perusahan tersebut.
2.1.6.1 Faktor Penentu Retensi Karyawan
39
Baik para pemberi kerja maupun para karyawan telah mengetahui bahwa
beberapa bidang umum mempengaruhi retensi karyawan. Apabila komponen
organisasional tertentu diberikan, faktor-faktor yang lain mungkin mempenagruhi
retensi karyawan yang paling penting. Terakhir, rancangan tugas atau faktor kerja
serta hubungan karyawan yang adil dan suportif dengan orang lain dalam
organisasi tersebut memberi kontribusi untuk retensi karyawan.
Menurut Mathis dan Jackson (2006:128-135), ada beberapa faktor penentu
retensi karyawan, yaitu:
1. Komponen Organisasional
Beberapa komponen organisasional mempengaruhi karyawan dalam
memutuskan apakah bertahan atau meninggalkan perusahaan mereka.
Organisasi yang memiliki budaya dan nilai yang positif dan berbeda
mengalami perputaran karyawan yang lebih rendah.
2. Peluang Karier Organisasional
Survei terhadap karyawan di semua jenis pekerjaan tetap menunjukkan
bahwa usaha pengembangan karir organisasional dapat mempengaruhi
tingkat retensi karyawan secara signifikan.
3. Penghargaan dan Retensi Karyawan
Pengharagaan nyata yang diterima karyawan karena bekerja datang dan
membentuk gaji, insentif, dan tunjangan. Menurut banyak survei dan
pengalaman satu hal yang penting terhadap retensi karyawan asalah
mempunyai praktik kompensasi kompetitif.
4. Rancangan Tugas dan Pekerjaan
40
Faktor mendasar yang mempengaruhi retensi karyawan adalah sifat dari
tugas dan pekerjaan yang dilakukan. Beberapa organisasi menemukan
bahwa angka perputaran karyawan yang tinggi dalam beberapa bulan
lamanya pekerjaan sering kali dihubungkan dengan usaha penyaringan
seleksi yang kurang memadai.
5. Hubungan Karyawan
Pola hubungan yang dimiliki para karyawan dalam organisasi menjadi
faktor yang diketahui dapat mempengaruhi retensi karyawan.
2.1.6.3 Proses Manajemen Retensi Karyawan
Selain menyebitkan faktor penentu retensi karyawan, adalah penting bahwa
para professional SDM dan organisasi mereka mempunyai proses yang digunakan
untuk mengatur retensi para karyawan. Apabila kurang diperhatikan, retensi
karyawan kemungkinan besar tidak berhasil.
Menurut Mathis dan Jakson (2006:136-143), proses manajemen retensi
karyawan terdiri atas:
1. Pengukuran dan penilaian retensi karyawan
Guna memastikan bahwa tindakan yang tepat diambil untuk meningkatkan
retensi karyawan dan mengurangi perputaran, keputusan manajemen lebih
membutuhkan data dan analsis daripada kesan subjektif dati situasi individual
yang dipilih, atau reaksi terhadap hilangnya beberaqpa orang penting. Oleh karena
itu, adalah penting untuk mempunyai beberapa jenis ukuran dan analisis yang
berbeda. Data yang dapat diukur dan dinilai, terdiri dari:
41
• Analisis pengukuran perputaran
• Biaya perputaran
• Survei karyawan
• Wawancara keluar kerja
2. Intervensi Retensi Karyawan
Berbagai intervensi Sumber Daya Manusia (SDM) dapat dilakukan untuk
memperbaiki retensi karyawan. Perputaran dapat dikendalikan dan dikurangi
dengan beberapa cara, yaitu:
• Proses perekrutan dan seleksi
• Orientasi dan pelatihan
• Kompensasi dan tunjangan
• Perencanaan dan pengembangan karier
• Hubungan karyawan
3. Evaluasi dan Tindak Lanjut
Setelah usaha intervening dilakukan, selanjutnya evaluasi dan tindak lanjut
dapat dilakukan dengan cara:
• Menelaah data perputaran secara tepat
• Memeriksa hasil intervensi
• Menyesuaikan usaha intervensi 2.1.7 Method of Successive Interval (MSI) Analisis statistik parametrik (statistik yang bergantung pada distribusi tertentu
dan yang menetapkan adanya syarat-syarat tertentu tentang parameter populasi
42
seperti pengujian hipotesis dan penaksiran parameter), memerlukan terpenuhinya
persyaratan bahwa skala pengukuran minimal interval, sedangkan bila dari data
penelitian diperoleh data yang memberikan skala pengukuran ordinal (kebanyakan
dalam kasus-kasus penelitian), sehinga agar analisis tersebut dapat dilanjutkan
maka skala pengukuran ordinal harus dinaikkan (ditransformasikan) ke dalam
skala Interval dengan menggunakan Method of Successive Interval (MSI).
Peningkatan skala dari ordinal ke interval ini dilakukan untuk setiap item per
variabel, untuk proses ini digunakan bantuan perangkat lunak Microsoft Ofiice
Excel (http://computerstatistics.blogspot.com/2008/07/methods-successive-
interval-msi.html) .
2.1.7.1 Transformasi Data Ordinal menjadi Interval
Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:30),
mentransformasi data ordinal menjadi data interval gunanya untuk memenuhi
sebagian dari syarat analisis parametrik yang mana data setidak-tidaknya berskala
interval. Teknik transformasi yang paling sederhana dengan menggunakan MSI.
Langkah-langkah transformasi data ordinal ke data interval sebagai berikut:
1. Perhatikan setiap butir jawaban responden dari angket yang disebarkan.
2. Pada setiap butir ditentukan berapa orang yang mendapat skor 1, 2, 3, 4,
dan 5 yang disebut sebagai frekuensi.
3. Setiap frekuensi dibagi dengan banyaknya responden dan hasilnya disebut
proporsi.
43
4. Tentukan nilai proposi kumulatif dengan jalan menjumlahkan nilai proposi
secara berurutan perkolom skor.
5. Gunakan Tabel Distribusi Normal, hitung nilai Z untuk setiap proposi
kumulatif yang diperoleh.
6. Tentukan nilai tinggi densitas untuk setiap nilai Z yang diperoleh (dengan
menggunakan tabel Tinggi Densitas).
7. Tentukan nilai skala dengan menggunakan rumus:
NS = (Density at Lower Limit) – (Density at Upper Limit)
(Area Bellow Upper Limit) – (Area Below Lower Limit)
8. Tentukan nilai transformasi dengan rumus: Y = NS + [1+ NS min ]
2.1.8 Metode Path Analysis
“Path analysis basically examines the direction of relationship through the
postulation of some theoretical relationship betweem variables and then a test to
see if the directiom of these relationships is substantiated by the data” (Salkind,
2009:326). Berdasarkan Wicaksono (2006:152), analisis jalur (path analysis)
merupakan alat analisis yang digunakan untuk menelusuri pengaruh (baik
langsung maupun tidak langsung) variabel bebas (independen) terhadap variabel
tergantung (dependen). Sedangkan berdasarkan Riduwan dan Engkos Achmad
Kuncoro (2011:2), model path analysis digunakan untuk menganalisis pola
hubungan antar variabel dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh langsung
seperangkat variabel bebas (eksogen) terhadap variabel terikat (endogen).
44
Model Path Analysis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
trimming. Model trimming adalah model yang digunakan untuk memperbaiki
suatu model struktur analisis jalur dengan cara mengeluarkan dari model variabel
eksogen yang koefisien jalurnya tidak signifikan (Riduwan dan Engkos Achmad
Kuncoro, 2011:127).
Menurut Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:115), teknik analisis
jalur ini akan digunakan dalam menguji besarnya sumbangan (kontribusi) yang
ditunjukkan oleh koefisien jalur pada setiap diagram jalur hubungan kausal antara
variabel X1, dan X2 terhadap Y serta dampaknya terhadap Z. Analisis korelasi
dan regresi merupakan dasar dari perhitungan koefisien jalur.
Al Rasyid dalam Sitepu (1994:24) yang dikutip oleh Riduwan dan Engkos
Achmad Kuncoro (2011:115) mengatakan bahwa dalam penelitian sosial tidak
semata-mata hanya mengungkapkan hubungan variabel sebagai terjemahan
statistik dari hubungan antar variabel alami, tetapi terfokus pada upaya untuk
mengungkapkan hubungan kausal antar variabel.
Manfaat lain dari Path Analysis adalah untuk: (1) Penjelasan (explanation)
terhadap fenomena yang dipelajari atau permasalahan yang diteliti; (2) Prediksi
nilai variabel terikat (Y) berdasarkan nilai variabel bebas (X), dan prediksi dengan
path analysis ini bersifat kualitatif; (3) Faktor determinan yaitu penentuan variabel
bebas (X) mana yang berpengaruh dominan terhadap variabel terikat (Y), juga
dapat digunakan untuk menelususri mekanisme (jalur-jalur) pengaruh variabel
bebas (X) terhadap variabel terikat (Y); (4) Pengujian model, menggunakan
theory trimming, baik untuk uji reliabilitas (uji kejegan) konsep yang sudah ada
45
ataupun uji pengembangan konsep baru (Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro,
2011:2).
2.1.8.1 Asumsi-asumsi Path Analysis
Asumsi-asumsi dalam Path Analysis berdasarkan Riduwan dan Engkos
Achmad Kuncoro (2011:2-3):
1. Hubungan antar variabel adalah bersifat linier, adaptif, dan bersifat
normal.
2. Hanya sistem aliran kausal ke satu arah, artinya tidak ada kausalitas yang
berbalik.
3. Variabel terikat (endogen) minimal dalam skala ukur interval dan ratio.
4. Menggunakan sample probability sampling, yaitu teknik pengambilan
sample untuk memberikan peluang yang sama pada setiap anggota
populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel.
5. Observed variable diukur tanpa kesalahan (instrumen pemgukuran valid
dan reliabel), artinya variabel yang diteliti dapat diobservasi secara
langsung.
6. Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasi) dengan benar
berdasarkan teori-teori dan konsep-konsep yang relevan, artinya model
teori yang dikaji atau diuji dibangun berdasarkan kerangka teoritis tertentu
yang mampu menjelaskan hubungan kausalitas antar variabel yang diteliti.
2.1.8.2 Langkah-langkah Pengujian Path Analysis
46
Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:116-118)
ada beberapa langkah pengujian path analysis yaitu sebagai berikut:
1. Merumuskan hipotesis dalam persamaan struktural
Struktur : Y = Pyx1X1 + Pyx2X2 + Py1
2. Menghitung koefisien jalur yuang didasarkan pada koefisien regresi
a. Gambarkan diagram jalur lengkap, tentukan sub-sub strukturnya dan
rumuskan persamaan strukturalnya yang sesuai hipotesis yang diajukan.
Hipotesis: naik turunnya variabel endogen (Y) dipengaruhi secara
signifikan oleh variabel eksogen (X1 dan X2).
b. Menghitung koefisien regresi untuk struktur yang telah dirumuskan.
Hitung koefisien regresi untuk struktur yang telah dirumuskan:
Persamaan regresi ganda: Y = a +b1X1 + b2X2 + ε1
Pada dasarnya koefisien jalur (path) adalah koefisien regresi yang
distrandarkan yaitu koefisien regresi yang dihitung dari basis data yang
telah diset dalam angka baku atau Z-score (data yang diset dengan nilai
rata-rata = 0 dan standar deviasi = 1). Koefisien jalur yang distandarkan
(standardized path coefficient) digunakan untuk menjelaskan besarnya
pengaruh (bukan memprediksi) variabel bebas (eksogen) terhadap variabel
lain yang diberlakukan sebagai variabel terikat (endogen).
Khusus untuk program SPSS menu analisis regresi, koefisien part ditunjukkan
oleh output yang dinamakan Coefficient yang dinyatakan sebagai Standardized
Coefficient atau dikenal dengan nilai Beta. Jika ada diagram jalur sederhana
mengandung satu unsur hubungan antara variabel eksogen dengan variabel
47
endogen, maka koefisien part-nya adalah sama dengan koefisien korelasi r
sederhana.
3. Menghitung koefisien jalur secara simultan (keseluruhan)
a. Kaidah pengujian signifikan secara manual: Menggunakan table F
F = (n – k – 1) R2 YXK
K (1 – R2 YXK)
Keterangan:
n = jumlah sampel
k = jumlah variabel eksogen
R2 YXK = Rsquare
Jika F hitung ≥ F table, maka Ho ditolak atau Ha diterima yang artinya signifikan
Jika F hitung ≤ F table, maka Ho diterima yang artinya tidak signifikan
Dengan taraf signifikan ( α ) = 0.05
Carilah nilai F table mengguinakan table F dengan rumus :
F table = {(1- α) (dk = k), (dk = n-k-1)} atau F{(1- α)(v1 = k),(v2 = n-k-1)}
Cara mencari F table: nilai (dk = k) atau v1 disebut nilai pembilang
nilai (dk = n-k-1) atau v2 disebut nilai penyebut
b. Kaidah pengujian signifikan: Program SPSS
• Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai
probabilitas Sig atau [0.05 ≤ Sig], maka Ho diterima dan Ha ditolak,
artinya tidak signifikan.
48
• Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai
probabilitas S ig atau [0.05 ≥ Sig], maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya signifikan.
4. Menghitung koefisien jalur secara individu
Secara individual uji statistik yang digunakan uji t ynag dihitung dengan
rumus (Schumacker & Lomax, 1996:44. Kusnendi, 2005:12)
t k = Pk ;( dk = n – k -1 )
se Pk
Keterangan :
Statistik sepX1 diperoleh dari hasil komputasi pada SPSS untuk analisis regresi
setelah data ordinal ditransformasikan ke interval.
Selanjutnya untuk mengetahui signifikan analisis jalur bandingan antara nilai
probabilitas 0.05 dengan nilai probabilitas Sig dengan dasar pengambilan
keputusan sebagai berikut :
• Jika nilai probabilitas 0.05 lebih kecil atau sama dengan nilai
probabilitas Sig atau [0.05 ≤ Sig], maka Ho diterima dan Ha ditolak,
artinya tidak signifikan.
• Jika nilai probabilitas 0.05 lebih besar atau sama dengan nilai
probabilitas Sig atau [0.05 ≥ Sig], maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya signifikan.
49
2.1.8.3 Gambar-gambar Hubungan antar Model Variabel Path Analysis
Sumber: Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:129) Gambar 2.5 Jenis Umum Model Path Analysis
Sumber: Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:129) Gambar 2.6 Hubungan Struktur X1, X2 dan Y terhadap Z
Sumber: Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011: 125)
Gambar 2.7 Diagram Jalur Hubungan Kausal Empiris X1 dan X2 terhadap Y
50
2.1.9 Pengerian Regresi
Menurut Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:83), regresi adalah
suatu proses yang memperkirakan secara sistematis tentang apa yang paling
mungkin terjadi di masa yang akan datang berdasarkan informasi masa lalu dan
sekarang yang dimiliki agar kesalahannya dapat diperkecil. Regresi dapat juga
diartikan sebagai usaha memprediksi perubahan. Jadi, regresi mengemukakan
tentang keingintahuan apa yang terjadi di masa depan untuk memberikan
kontribusi menentukan keputusan terbaik.
Kegunaan regresi dalam penelitian salah satunya adalah untuk meramalkan
(memprediksi) variabel terikat (Y) apabila variabel bebas (X) diketahui. Regresi
sederhana dapat dianalisi karena didasari oleh hubungan fungsional atau
hubungan sebab akibat (kausal) variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y).
2.1.9.1 Regresi Linear Berganda
Menurut Santoso (2002:164), analisis regresi dilakukan untuk melihat
pengaruh suatu variabel bebas (independent variable) terhadap variabel terikat
(dependent variable). Tujuan lain dilakukannya analisis regresi adalah untuk
menaksir besarnya efek kuantitatif suatu kejadian terhadap kejadian lain. Analisis
regresi dimana hanya terdapat lebih dari satu variabel bebas disebut sebagai
regresi linier berganda (multiple regression). Bentuk umum persamaan linear
berganda adalah:
Y = b0 + b1x1 + b2x2 + … + bk xk
Keterangan:
51
Y = variabel terikat (dependent variable)
1 2 , ,…, k x x x = variabel bebas (independent variable)
1 2 , ,…, k b b b = koefisien regresi
Dalam penelitian ini menggunakan teknik regresi linear berganda (multiple
regression). Regresi linear berganda adalah regresi dimana terdapat lebih dari
satu variabel bebas. Dari teknik regresi linear berganda ini akan diketahui apakah
ada pengaruh secara bersama-sama variabel bebas yang ada terhadap variabel
terikat. Model regresi linear berganda untuk penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = a + b1x1 +b2x2
Keterangan:
Y = Organizational Citizenship Behavior (OCB)
X1 = Kepuasan Kerja
X2 = Komitmen Organisasi
2.1.10 Pengertian Korelasi
Kolerasi adalah asosiasi (hubungan) antara variabel-variabel yang diminat,
apakah data sampel yang ada menyediakan bukti cukup bahwa ada kaitan antara
variabel-variabel dalam populasi asal sampel, jika ada hubungan, seberapa kuat
hubungan antara variabel tersebut. Keeratan hubungan itu dinyatakan dengan
nama koefisien korelasi atau bias disebut korelasi saja. Perlu dicatat bahwa dalam
kolerasi itu kita belum menentukan dengan pasti variabel independent dan
dependent-nya seperti yang kita lakukan dalam analisis regresi (Modul Praktikum
Laboratorium Statistik Manajemen, Universitas Bina Nusantara 2007).
52
Korelasi digunakan untuk mengetahui erat tidaknya hubungan antar variabel.
Apabila ternyata hasil analisis menunjukkan hubungan yang cukup erat, maka
anlisis dilanjutkan ke analisis regresi sebagai alat meramalkan (forecasting) yang
sangat berguna untuk perencanaan. Analisis korelasi yang mencakup dua variabel
X dan Y disebut analisis korelasi linear berganda. Sedangkan yang mencakup
lebih dari dua variabel disebut analisis korelasi linear berganda.
Hubungan dua variabel ada yang positif dan ada yang negatif. Hubungan X
dan Y dikatakan positif apabila kenaikan (penurunan) X pada umumnya diikuti
oleh kenaikan (penurunan) Y, dan sebaliknya jika dikatakan negatif kalau kedua
variabel tersebut mengalami kenaikan (penurunan) secara tidak bersamaan.
Korelasi positif yang tinggi antara kedua peubah terjadi bila titik-titik
menggerombol mengikuti sebuah garis lurus dengan keminringan positif, jika
kemiringan negatif maka terjadi korelasi negatif yang tinggi.
Kuat dan tidaknya hubungan antara X dan Y, apabila hubungn X dan Y dapat
fungsi linear (paling tidak mendekati). Nilai koefisien korelasi ini paling sedikit –
1 dan paling besar 1. Jadi jika r = koefisien korelasi, nilai r dapat dinyatakan
sebagai berikut: -1 ≤ r ≤ 1. Artinya kalau r =1 hubungan sempurna dan positif
(mendekati 1, hubungan sangat kuat dan positif), jika r = -1 hubungannya
sempurna dan negatif (mendekati -1. hubungan sangat kuat dan negatif), jika r =
0, hubungan lemah sekali.
2.1.10.1 Korelasi Pearson
53
Koefisien korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui tingkat (derajat)
keeratan hubungan linier antara dua atau lebih variabel yang minimal berskala
ukur interval. Bila variabel yang terlibat hanya dua, maka analisis korelasinya
disebut korelasi sederhana. Bila variabel yang terlibat lebih dari dua, disebut
analisis korelasi berganda.
Teknik korelasi Pearson Product Moment (PPM) termasuk teknik statistik
parametrik yang menggunakan data interval dan ratio dengan persyaratan tertentu,
misalnya data dipilih secara random, datanya berdistribusi normal, data yang
dihubungkan berpola linier, dan data yang dihubungkan mempunyai pasangan
yang sama sesuai dengan subjek yang sama (Riduwan dan Kuncoro, 2011: 61).
Berdasarkan Supranto Jilid 2 (2001: 201), koefisien korelasi Pearson dapat
dihitung sebagai berikut:
Korelasi Pearson dilambangkan (r) dengan ketentuan r ≥ -1 dan r ≤ +1. Bila
nilai r = -1, maka korelasinya negatif sempurna, sebaliknya, bila nilai r = +1,
maka korelasinya positif sempurna. Sedangkan apabila nilai r = 0, maka artinya
tidak ada korelasi. Arti harga r akan diperlihatkan pada Tabel 2.2 berikut.
54
Tabel 2.2 Arti Nilai r
Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,80 – 1,000 Sangat kuat 0,60 – 0,799 Kuat 0,40 – 0,599 Cukup kuat 0,20 – 0,399 Rendah 0,00 – 0,199 Sangat rendah
Sumber: Riduwan dan Kuncoro (2007:62)
Besar kecilnya sumbangan variabel X terhadap variabel Y dapat ditentukan
dengan rumus Koefisien Determinan sebagai berikut:
KP = r2 x 100%
di mana KP adalah nilai koefisien determinasi, dan r adalah nilai koefisien
korelasi (Riduwan dan Kuncoro, 2011:162).
2.1.10 Model Skala Sikap
Berdasarkan pendapat Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:19),
model atau tipe skala pengukuran ini hanya dikemukakan skala untuk mengukur
sikap. Bentuk-bentuk model skala sikap yang perlu diketahui dalam melakukan
penelitian. Berbagai skala sikap yang sering digunakan ada lima macam, yaitu:
skala likert, skala guttman, skala simantict defferensial, rating scale, skala
thurstone.
Dalam penelitian ini, model skala sikap yang digunakan oleh penulis adalah skala
likert.
2.1.10.1 Skala Likert
55
Menurut Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro (2011:20), skala likert
digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau
sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial. Dalam penelitian gejala sosial ini
telah ditetapkan secara spesifik oleh peneliti, yang selanjutnya disebut sebagai
variabel penelitian.
Dengan menggunakan skala likert, maka variabel yang akan diukur dijabarkan
menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variabel kemudian sub variabel
dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator yang dapat diukur. Akhirnya
indikator-indikator yang terukur ini dapat dijadikan titik tolak untuk membuat
item instrumen yang berupa pertanyaan atau pernyataan yang perlu dijawab oleh
responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan bentuk pernyataan atau dukungan
sikap yang diungkapkan dengan kata-kata sebagai berikut.
Pernyataan Positif Pernyataan Negatif
Sangat Setuju (SS) = 5 Sangat Setuju (SS) = 1
Setuju (S) = 4 Setuju (S) = 2
Netral (N) = 3 Netral (N) = 3
Tidak Setuju (TS) = 2 Tidak Setuju (TS) = 4
Sangat Tidak Setuju (STS) = 1 Sangat Tidak Setuju (STS) = 5
Sangat Puas = 5 Sangat Baik = 5 Sangat Tinggi/Sangat Penting = 5
Puas = 4 Baik = 4 Tinggi/Penting = 4
Cukup Puas = 3 Sedang = 3 Cukup Tinggi/Cukup Penting = 3
56
Kurang Puas = 2 Buruk = 2 Rendah/Kurang Penting = 2
Tidak Puas = 1 Buruk Sekali = 1 Rendah Sekali/Tidak Penting = 1
2.1.11 Kajian Hasil Penelitian Terdahulu yang Relevan
1) Hasil penelitian yang telah dilakukan Agus (2009) tentang
“Organizational Citizenship Behavior (OCB) Dan Pengaruhnya Terhadap
Keinginan Keluar dan Kepuasan Kerja Karyawan mengatakan bahwa
OCB memiliki hubungan yang positif dan berpengaruh secara positif
terhadap keinginan keluar serta ditunjukkan adanya hubungan positif dan
memiliki pengaruh yang signifikan antara OCB terhadap kepuasan kerja.
2) Hasil penelitian yang telah dilakukan Debora dan Purba (2004) tentang
“Pengaruh Kepribadian Dan Komitmen Organisasi Terhadap
Organizational Citizenship Behavior” menunjukkan bahwa komponen
organisasi yang berpengaruh terhadap OCB adalah komitmen afektif dan
komitmen berkelangsungan. Sedangkan komitmen normatif tidak memiliki
hubungan dengan OCB.
3) Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rodda Hausknecht dan Howard
(2009) tentang pengaruh antara kepuasan kerja terhadap retensi karyawan
dengan judul “Targeted Employee Retention : Perfomance-Based and Job-
Related Differences in Reported Reason for Staying”. Penelitian ini
dilakukan dengan mengambil sampel dari karyawan industri hiburan dan
perhotelan secara terbuka sebanyak 24.829 orang. Dari hasil penelitian ini
ditemukan 12 faktor retensi karyawan dan alasan yang paling sering
57
disebut karyawan untuk tinggal lama di suatu perusahaan yaitu kepuasan
kerja.
4) Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dana, Mubasysyir Hasanbasari
(2007) tentang “Hubungan Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi
Dengan Organizational Citizenship Behaviour (OCB) Di Politeknik
Kesehatan Banjarmasin” menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
dan signifikan kepuasan kerja dengan organizational citizenship
behaviour, terdapat hubungan positif dan signifikan komitmen organisasi
dengan organizational citizenship behaviour, serta adanya hubungan
positif dan signifikan kepuasan kerja dan komitmen organisasi dengan
organizational citizenship behaviour.
2.2 Kerangka Pemikiran
Secara garis besar, melalui penelitian ini penulis akan :
1) Meneliti dan menganalisa seberapa besar pengaruh kepuasan kerja dan
komitmen organisasi terhadap organizational citizenship behaviour pada
PT KMA secara parsial maupun simultan. (T-1)
2) Meneliti dan menganalisa seberapa besar pengaruh kepuasan kerja,
komitmen organisasi, dan organizational citizenship behaviour terhadap
retensi karyawan` pada PT KMA secara parsial maupun simultan pada PT
KMA secara parsial maupun simultan. (T-2)
58
Sumber: Penulis
Gambar 2.8 Kerangka Pemikiran
Keterangan:
Menggambarkan pengaruh secara simultan
Menggambarkan pengaruh secara parsial
Menggambarkan hubungan (korelasi) antar variabel
KEPUASAN KERJA (X1) 1. Kerja yang secara mental
menantang 2. Imbalan yang pantas 3. Rekan kerja yang
mendukung komitmen normatif (normative commitment)
4. Kondisi kerja yang mendukung
KOMITMEN ORGANISASI (X2)
1. Komitmen afektif (affective commitment)
2. Komitmen berkelangsungan (continuance commitment)
3. Komitmen normatif (normative commitment)
RETENSI KARYAWAN (Z)
1. Komponen Organisasional
2. Peluang Karier 3. Penghargaan 4. Rancangan tugas
dan pekerjaan 5. Hubungan
karyawan
ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (Y)
1. Alturism 2. Courtesy 3. Sportsmanship, 4. Civic virtue 5. Conscientiousness
59
2.3 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran, hipotesis penelitian ditetapkan sebagai
berikut:
Hipotesis Pertama
Ho: Kepuasan Kerja (X1) dan Komitmen Organisasi (X2) tidak memiliki
kontribusi yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap
Organizational Citizenship Behaviour (Y) pada PT KMA.
Ha: Kepuasan Kerja (X1) dan Komitmen Organisasi (X2) memiliki kontribusi
yang signifikan secara parsial maupun simultan terhadap Organizational
Citizenship Behaviour (Y) pada PT KMA.
Hipotesis Kedua
Ho: Kepuasan Kerja (X1), Komitmen Organisasi (X2) dan Organizational
Citizenship Behaviour (Y) tidak memiliki kontribusi yang signifikan secara
parsial maupun simultan terhadap Retensi Karyawan (Z) pada PT KMA.
Ha: Kepuasan Kerja (X1), Komitmen Organisasi (X2) dan Organizational
Citizenship Behaviour (Y) memiliki kontribusi yang signifikan secara parsial
maupun simultan terhadap Retensi Karyawan (Z) pada PT KMA.