BAB II KAJIAN PUSTAKA · kemampuan berfikir dalam proses penyelesaian masalah sehingga tercipta...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA · kemampuan berfikir dalam proses penyelesaian masalah sehingga tercipta...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil teori mengenai IPA,
pembelajaran IPA, pembelajaran IPA SD, model pembelajaran, model
pembelajaran berbasis masalah, karakteristik, langkah, sintak, tujuan, kelebihan,
kelemahan model model pembelajaran berbasis masalah, belajar dan hasil belajar.
Teori tersebut diambil dari berbagai sumber.
2.1.1 IPA
Ilmu Pengetahuan Alam, biasa disingkat IPA adalah sebuah mata pelajaran
yang mempelajari Ilmu Alam untuk siswa Sekolah Dasar (SD). Ruang lingkup
IPA di Sekolah Dasar menurut Standar Isi untuk satuan Dasar dan Menengah
(2006: 168) adalah ruang lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-
aspek berikut. (1) makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan, (2) benda/ materi,
sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas, (3) energi dan
perubahannya meliputi gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan pesawat
sederhana, (4) bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan
benda-benda langit lainnya. Ruang lingkup tersebut berhubungan dengan
lingkungan alam atau lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Namun sering kali
banyak siswa yang mengabaikan pelajaran IPA karena berhubungan dengan alam
sekitar dan tanpa dipelajari akan siswa akan mengetahui sendiri. Padahal
sebenarnya IPA memerlukan pembelajaran yang dikemas dengan baik sehingga
dapat memberikan pembelajaran yang bermakna kepada siswa. Oleh karena itu
perlu dilakukan penggunaan metode yang sesuai dengan materi pembelajaran dan
usia siswa.
Dalam Ilmu Pengetahuan, istilah ilmu pengetahuan alam merujuk kepada
pendekatan logis untuk mempelajari alam semesta. Ilmu pengetahuan alam
mempelajari alam dengan menggunakan metode-metode sains. Ilmu pengetahuan
jenis ini berbeda dengan Ilmu Pengetahuan Sosial yang menggunakan metode
sains untuk mempelajari perilaku manusia dan masyarakat; ataupun ilmu
8
pengetahuan formal seperti matematika. Sehingga akan mudah diterima siswa
dalam kehidupan nyata apabila siswa tersebut dapat melihat atau mengalami
sendiri pembelajaran dalam IPA tersebut.
Ilmu Pengetahuan Alam perlu diajarakan di sekolah dasar dengan berbagai
alasan, yaitu a) Bahwa IPA berfaedah bagi suatu bangsa. Khususnya bagi generasi
penerus bangsa, IPA sangat diperlukan bagi perkembangan teknologi yang setiap
tahun selalu berkembang. Misalnya teknologi dapat berkembang karena adanya
IPA. b) Bila IPA diajakan dengan cara yang tepat, maka IPA merupakan suatu
mata pelajaran yang memberikan kesempatan berpikir kritis. Dengan adanya
pelajaran IPA, maka siswa akan belajar untuk berpikir kritis melalui kegiatan-
kegiatan yang dilakukan. Kemampuan berpikir kritis tersebut bila dilakukan
secara berkesinambungan akan menciptakan generasi penerus bangsa yang cerdas
dan kritis dalam menyikapi berbagai masalah dan perubahan yang terjadi. c) Bila
IPA diajarkan dengan siswa melakukan percobaan percobaan sendiri, maka IPA
bukan merupakan mata pelajaran hafalan. Pembelajaran yang dilakukan dengan
menghafalkan saja tanpa anak mengalami apa yang akan dipelajari maka
pembelajaran itu tidak akan bermakna. Sebab sesuatu yang hanya dihafalkan tidak
adak tersimpan dalam memori seseorang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu,
pembelajaran yang bermakna ialah siswa melakukan sendiri percobaan atau
eksperimen yang membantu mengingat pelajaran yang telah dilakukan. Jadi,
dalam pembelajaran IPA siswa harus dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran
yang direncanaka dan dilaksanakan. d) Mata pelajaran IPA mempunyai nilai-nilai
pendidikan yaitu mempunyai suatu potensi yang dapat membentuk kepribadian
anak secara keseluruhan. Nilai-nilai tersebut sangat diperlukan bagi siswa dalam
proses pertumbuhnnya, sehingga harus diberikan pembelajaran yang tidak keliru
dan sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Supaya anak dapat memaknai
pembelajaran IPA dengan sangat baik. (Usman 2011 : 4). Dari uraian diatas maka
terbukti IPA sangat diperlukan dan penting bagi siswa SD, karena menyangkut
ke-4 hal tersebut.
Menurut Nuryani (2010) belajar sains adalah memberikan kesempatan dan
bekal untuk memproses sains serta menerapkan dalam kehidupannya sehari-hari
9
melalui cara-cara yang benar dan mengikuti etika keilmuan dan etika yang berlaku
dalam masyarakat. Hal tersebut terdapat dalam IPA yang dipelajari mulai sejak
tingkat sekolah dasar pada pendidikan formal. Supaya siswa lebih memahami
kehidupan melalui etika keilmuan yang benar dan tidak menyalahgunakan yang
sudah diperolehnya dalam bangku sekolah.
Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para
ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang
gejala-gejala alam. Langkah - langkah tersebut adalah merumuskan masalah,
merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data,
menganalisis dan akhirnya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik
yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk
kuantitas.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa IPA
merupakan suatu ilmu yang mempelajari mengenai alam yang dapat dilakukan
dengan melakukan mercobaan atau eksperimen agar pembelajaran tersebut dapat
dipahami siswa dengan mudah. Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian
di kelas 4 SD dengan materi pokok Perubahan Lingkungan. Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar dari materi tersebut dapat dilihat dibawah ini :
Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
10. Memahami perubahan
lingkungan fisik dan
pengaruhnya terhadap daratan.
10.1 Mendeskripsikan berbagai
penyebab perubahan lingkungan fisik
(angin, hujan, cahaya matahari dan
gelombang laut).
10.2 Menjelaskan pengaruh
perubahan lingkungan fisik terhadap
daratan (erosi, abrasi, banjir, longsor).
Sumber. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
10
2.1.2 Pembelajaran IPA
Pembelajaran IPA adalah pendekatan yang mencakup kesesuaian antara
situasi dan belajar anak dengan situasi kehidupan nyata di masyarakat (Usman,
2011: 4). Dalam pembelajaran IPA, hendaknya siswa dapat belajar mengalami
sendiri atau biasa disebut dengan belajar melalui pengalaman karena dengan
begitu daya ingat anak akan semakin kuat dan menghemat biaya sebab anak
belajar dari lingkungan sekitar.
Sebagai disiplin ilmu, IPA membuat perannya sangat penting dalam
kehidupan. Yang dapat mempelajari IPA bukan hanya ilmuan saja melainkan
anak anak juga harus mempelajarinya. Pada anak usia SD pembelajaran IPA lebih
diarahkan dan dimodifikasi pada perkembangan kognitif anak. Untuk
mengembangkan ketrampilan kognitif itu dapat dilakukan dengan mengamati,
mencoba memahami apa yang diamati, mempergunakan pengetahuan baru untuk
menafsirkan apa yang terjadi, lalu menguji tafsiran yang sudah didapat (Usman
2011: 5). Guru harus memahami betapa pentingnya peran IPA dalam kehidupan
anak anak, oleh karena itu dalam kurikulum SD IPA dicantumkan sebagai mata
pelajaran yang wajib diikuti dan diterima oleh semua anak. Selain itu pemilihan
metode pembelajaran juga sangat berpengaruh pada pemahaman anak. Anak –
anak yang pada umumnya berusia antara 7 – 12 tahun memerlukan hal-hal yang
nyata dalam proses pembelajaran dan pemahaman. Anak usia SD akan lebih cepat
menerima suatu pelajaran atau pengetahuan baru ketika anak itu melihat,
mendengar dan mengalami sendiri materi atau bahan yang bermanfaat untuk
mengembangkan pengetahuannya. Pembelajaran IPA merupakan salah satu mata
pelajaran yang berhubungan dengan alam sekitar, jadi dengan memodifikasi
materi agar lebih menarik dan melibatkan aktifitas siswa dalam pembelajaran
maka siswa akan dengan mudah memahami pembelajaran. Dan pembelajaran IPA
khususnya di Sekolah Dasar akan dapat dilaksanakan dengan maksimal.
11
2.1.3 Pembelajaran IPA di SD
Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan hal yang penting dan harus
dikuasai oleh siswa terutama siswa SD. IPA yang hampir keseluruhan materinya
harus dilakukan dengan melakukan percobaan – percobaan seperti yang dilakukan
oleh banyak ilmuwan mendorong pendidik untuk memodifikasi ketrampilan –
ketrampilan proses dalam pembelajaran IPA yang sesuai dengan tahap
perkembangan kognitif anak (Usman : 2007). Proses pembelajaran yang sesuai
dengan perkembangan kognitif anak tentu akan mudah diterima anak apabila
pembelajarannya sesuai.
Konsep pembelajaran IPA dapat diterima anak dengan baik apabila anak
melakukan pengalaman yang sesuai dengan materi pembelajaran. Pengalaman
tersebut dapat berasal dari pengalaman pribadinya, mencoba – coba atau trial and
error, dan dengan melakukan praktik pembelajaran sesuai dengan bimbingan
pengajar. Selain itu, pembelajaran IPA di SD juga dapat dilakukan dengan
memodifikasi materi dengan model atau metode yang tentunya membuat siswa
tertarik dan selalu ingin belajar IPA.
2.2 Model Pembelajaran
Model pembelajaran merupakan suatu pola yang digunakan oleh guru
dalam suatu pembelajaran sehingga akan mempermudah peserta didik menerima
dan memahami materi pembelajaran yang pada akhirnya tujuan pembelajaran
dapat dikuasai diakhir kegiatan belajar (Hamzah, 2007 : 2). Model pembelajaran
harus disesuaikan dengan materi pembelajaran dan tingkat perkembangan anak.
Model pembelajaran dapat pula disebut sebagai kerangka prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pembelajaran
dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, model merupakan suatu pola
(contoh, acuan, ragam), sedangakan pembelajaran ialah proses, cara, perbuatan
mempelajari. Sehingga model pembelajaran dapat diartikan sebagai serangkaian
12
pola atau proses untuk mempelajari suatu pembelajaran yang disusun secara
sistematis. Yang tentunya tujuan adanya model pembelajaran itu ialah untuk
mempermudah penyampaian dan penerimaan materi yang akan dipelajari.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
merupakan suatu cara yang digunakan oleh seorang pengajar dalam merencanakan
dan menyampaikan materi pembelajaran guna meningkatkan pemahaman siswa
terhadap materi yang diajarkan sehingga kegiatan pembelajaran terlaksana dengan
tertata dan sistematis.
2.3 Pembelajaran Berbasis Masalah
Belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan
respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan (Trianto
2006: 67). Lingkungan memberi stimulus berupa masalah kepada siswa,
sedangkan siswa dengan sistem syaraf otaknya akan menafsirkan masalah agar
dapat diselesaikan, diselidiki, dinilai dan dianalisis oleh siswa dengan baik.
Dengan demikian belajar berdasarkan masalah merupakan proses bagi siswa
untuk menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Dengan kemampuan
berfikir siswa, maka siswa diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang
menjadi problema di lingkungan.
Pengajaran berdasarkan masalah menurut Ratumanan (dalam Trianto
2006: 68), merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berfikir
tingkat tinggi. Pembelajaran ini dapat membantu siswa untuk mengolah apa yang
sudah dipikirkan dan menyusun pengetahuan mereka dengan dunia sosial dan
lingkungan sekitar. Ratumanan juga berpendapat bahwa pembelajaran ini bagus
untuk mengembangkan kemampuan dasar maupun kompleks yang sudah dimiliki
anak. Kemampuan dasar yang sudah dimiliki anak dapat dikembangakan dengan
pengetahuan dari berbagai sumber yang tentunya berkaitan dengan masalah yang
akan diselesaikan siswa. Dengan keaktifan siswa untuk mencari pengetahuan dari
berbagai sumber maka akan menambah pemahaman siswa mengenai penyelesaian
masalah yang memerlukan pemikiran tingkat tinggi.
13
Wina Sanjaya (2010: 214) mengungkapkan bahwa strategi pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebagian rangkaian aktivitas pembelajaran yang
menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah.
Proses pembelajaran yang menekankan masalah pada setiap pembelajaran inilah
yang akan membuat siswa mengalami perkembangan tingkat berfikir yang
sistematis dengan dirangkainya aktivitas pembelajaran yang akan dilakukan
siswa. Sedangkan menurut Hmelo-Silver (dalam Paul Eggen 2012: 307)
pembelajaran berbasis masalah ialah seperangkat model mengajar yang
menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan ketrampilan
pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri. Menurut Hmelo-Silver, yang
menjadi hal pokok dalam pembelajaran berbasis masalah adalah masalah. Dalam
hal ini masalah merupakan hal yang sangat utama dalam mengembangkan
ketrampilan anak dalam memecahkan suatu masalah. Potensi yang dikembangkan
bukan hanya kemampuan berfikir secara biasa tetapi berfikir secara kritis dalam
menyikapi dan menyelesaikan masalah bahkan juga kreatifitas anak dapat
dikembangkan dalam model pembelajaran berbasis masalah ini.
Merinda Dian Prametasari (2012) mengungkapkan bahwa model
pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai model pembelajaran yang diawali
dengan pemberian masalah kepada siswa di mana masalah tersebut dialami atau
merupakan pengalaman sehari-hari siswa. Selanjutnya siswa menyelesaikan
masalah tersebut untuk menemukan pengetahuan baru. Secara garis besar
pembelajaran berbasis masalah terdiri dari kegiatan menyajikan kepada siswa
suatu situasi masalah yang autentik dan bermakna serta memberikan kemudahan
kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Masalah merupakan
hal yang utama dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah, terutama
masalah yang dialami atau merupakan masalah yang dialami di kehidupan sehari-
hari.
Dengan mengacu pada pendapat-pendapat diatas, model pembelajaran
berbasis masalah ialah pembelajaran yang terjadi karena adanya stimulus dan
respon yang berupa pemberian masalah dan mendorong siswa untuk mengolah
14
kemampuan berfikir dalam proses penyelesaian masalah sehingga tercipta
ketrampilan dan pengalaman belajar siswa dalam memecahkan masalah.
2.3.1 Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah
Model pembelajaran berbasis masalah merupakan sebagian rangkaian
kegiatan pembelajaran yang lebih mengarah pada penyelesaian masalah yang
dihadapi secara ilmiah. Menurut Wina Sanjaya (2007), terdapat tiga ciri utama
dari model ini, yaitu
(1) model pembelajaran berbasis masalah merupakan rangkaian
aktivitas pembelajaran, artinya dalam pembelajaran ada kegiatan-
kegiatan yang harus dilakukan siswa agar siswa tidak hanya mendengar,
mencatat kemudian menghafal materi. (2) aktivitas pembelajaran
diarahkan untuk menyelesaikan masalah. Masalah merupakan kunci
utama dalam pembelajaran ini, jadi siswa dalam pembelajaran akan
dihadapkan dengan masalah yang harus mereka selesaikan sehingga
akan mendorong anak untuk belajar secara aktif dalam menyelesaikan
masalah tersebut. (3) pemecahan masalah yang dilakukan dengan
menggunakan pendekatan berfikir ilmiah.
Dalam menyelesaikan masalah hendaknya siswa diarahkan untuk berfikir
secara sistematis (berfikir ilmiah dengan tahapan tertentu) dan empiris
(penyelesaian masalah yang didasarkan pada data dan fakta yang jelas). Dengan
demikian, nyatalah bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah lebih
mengutamakan masalah di setiap proses belajar mengajar.
Taufiq Amir (2009: 22) berpendapat, karakteristik yang tercakup dalam
pembelajaran berbasis masalah meliputi:
(1) Masalah digunakan sebagai awal pembelajaran, (2) masalah
yang digunakan berupa masalah dunia nyata yang disajikan secara
mengambang, (3) masalah biasanya menuntut prespektif majemuk,
(4) masalah membuat pembelajar tertantang untuk mendapatkan
pembelajaran yang baru, (5) sangat mengutamakan belajar mandiri,
(6) memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, pencarian,
evaluasi serta penggunaan pengetahuan menjadi kunci penting, (7)
pembelajaranya kolaboratif, komunikatif dan kooperatif. Pembelajar
15
bekarja dalam kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan dan
melakukan presentasi.
Pendapat tersebut menunjukkan bahwa model pembelajaran berbasis
masalah itu berbeda dengan model belajar yang lain. Model ini lebih
mengarahkan siswa untuk belajar tidak hanya sekedar mengingat, meniru dan
mencontoh tetapi dapat menyelesaikan masalah. Savin: Badin (dalam Taufiq
Amir: 2009) menyatakan perbedaan model pembelajaran berbasis masalah dengan
metode lain:
Tabel 2.2 Perbedaan PBL dengan Metode lain
Metode Belajar Deskripsi
Ceramah Informasi dipresentasikan oleh pendidik.
Kasus atau studi
kasus
Pembahasan kasus biasanya dilakukan di akhir
pembelajaran disertai dengan pembahasan di kelas
mengenai materi.
Pembelajaran
berbasis
masalah
Informasi tertulis yang berupa masalah diberikan
sebelum kelas dimulai. Fokusnya adalah bagaimana
pembelajaran mengidentifikasikan isu
pembelajaran sendiri untuk memecahkan masalah.
Materi dan konsep yang relevan ditemukan oleh
pembelajar sendiri.
Savin: Badin (dalam Taufiq Amir: 2009)
Beberapa perbedaan tersebut menjelaskan bahwa pengertian masalah
dalam pembelajaran berbasis masalah itu berbeda dengan pertanyaan untuk
diskusi. Dalam diskusi pertanyaan atau masalah diberikan supaya pembelajar
terhubung dengan materi yang diajarkan, namun dalam PBL masalah tersebut
menuntut penjelasan atas sebuah kejadian.
Rusman (2010:232) juga mengatakan bahwa karakteristik pembelajaran
berbasis masalah meliputi:
(1) permasalahan menjadi strating point dalam belajar, (2)
permasalahan yang diangkat ialah permasalahan yang ada di dunia
nyata yang tidak terstruktur, (3) permasalah membutuhkan prespektif
ganda, (4) permasalahan menantang pengetahuan yang dimiliki oleh
16
siswa, sikap dan kompetensi yang kemudian membutuhkan
identifikasi kebutuhan belajar dan bidang baru dalam belajar, (5)
belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama, (6) pemanfaatan
sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya dan evaluasi
sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam PBM, (7)
belajar adalah kolaboratif, komunikatif dan kooperatif, (8)
pengembangan ketrampilan inquiry dan pemecahan masalah sama
pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi
dari sebuah permasalahan, (9) keterbukaan dalam proses PBM
meliputi sintesis dan integrasi dari sebuah proses belajar dan (10)
PBM melibatkan evaluasi dan review pengalaman siswadan proses
belajar.
Pendapat yang disampaikan Taufiq dan Rusman mengenai karakteristik
PBM hampir sama, bedanya ialah Rusman menambahkan beberapa hal mengenai
karakteristik PBM. Dengan demikian, karakteristik model pembelajaran berbasis
masalah yang pertama ialah permasalahan digunakan pada awal pembelajaran,
masalah diangkat dari hal yang nyata, permasalah menggunakan prespektif
majemuk, masalah membuat pembelajar tertantang, mengutamakan belajar
mandiri, menggunakan berbagai sumber yang bervariasi, pembelajarannya
kolaboratif, komunikatif dan kooperatif, mengembangkan ketrampilan penemuan
dan pemecahan masalah, PBM yang terbuka, adanya evaluasi dan review dalam
PBM.
2.3.2 Langkah – Langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Proses Pembelajaran berbasis Masalah akan dapat dijalankan apabila
pengajar sudah siap dengan semua perangkatnya, terutama ialah permasalahan
yang akan dibahas dalam proses belajar mengajar. Taufiq Amir (2009: 24)
menjelaskan ada 7 langkah dalam pembelajaran berbasis masalah:
(1) Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas,
memastikan setiap anggota kelompok memahami berbagai istilah
dalam masalah. Langkah pertama ini dapat dikatakan tahap yang
membuat setiap peserta berangkat dari cara yang ada dalam masalah.
(2) Merumuskan Masalah, fenomena yang ada dalam masalah
menuntut penjelasan hubungan-hubungan yang terjadi terkadang ada
masalah yang harus diperjelas pemahamannya. (3) Menganalisis
masalah, anggota mengungkapkan gagasan yang dimiliki untuk
17
menyelesaikan masalah yang terjadi dalam diskusi menganalisis
masalah ini. (4) Menata gagasan dan secara sistematis
menganalisisnya dengan dalam, bagian yang sudah dianalisis
dikelompokkan satu dengan yang lain, dipilih apakan menunjang atau
saling bertentangan dalam penyeesaian masalah. Analisis adalah
upaya memilah-milah sesuatu menjadi bagian-bagian yang
membentuknya. (5) Memformulasikan tujuan pembelajaran,
kelompok dapat merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok
sudah tahu pengetahuan mana yang masih kurang. Tujuan pebelajaran
akan dikaitkan dengan analisis masalah yang dibuat, inilah yang
menjadi dasar gagasan yang akan dibuat laporan. Tujuan
pembelajaran ini juga yang dibuat menjadi dasar penugasan-
penugasan individu disetiap kelompok. (6) Mencari informasi
tambahan dari sumber yang lain (diluar diskusi kelompok), siswa
akan mencari dari sumber lain jika dirasa informasi yang dibutuhkan
masih kurang. (7) Mensintesa (menggabungkan) dan menguji
informasi baru, dan membuat laporan untuk kelas, setiap kelompok
akan menyusun laporan dan dipresentasikan di depan kelas dengan
penggabungkan informasi yang sudah mereka temukan.
Ke tujuh langkah tersebut ada dalam setiap kegiatan pembelajaran berbasis
masalah namun dalam implementasinya tidak harus ke tujuh langkah tersebut
dilakukan dalam satu pertemuan, bisa sampai 3 atau 4 pertemuan.
Banyak ahli yang menjelaskan bentuk penerapan model pembelajaran
berbasis masalah. John Dewey (Wina Sanjaya 2006: 217) menjelaskan 6 langkah
model pembelajaran berbasis masalah yang kemudian dinamakan metode
pemecahan masalah (problem solving) yaitu:
(1) Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan
masalah yang akan dipecahkan. (2) Menganalisis masalah, yaitu
langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut
pandang. (3) Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan
berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang
dimilikinya. (4) Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari
dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan
masalah. (5) Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau
merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan
hipotesis yang diajukan. (6) Merumuskan rekomendasi pemecahan
masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang
dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan
rumusan kesimpulan.
18
David Johnson (Wina Sanjaya 2006: 217) mengemukakan ada 5 langkah
PBM melalui kegiatan kelompok:
(1) Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah yang
mengandung isu atau konflik untuk dipecahkan. (2) Mendiagnosis
masalah, menentukan sebab-sebab terjadinya masalah serta
menganalisis faktor-faktor yang terlibat dalam masalah. (3)
Merumuskan alternatif model pilihan, yaitu menguji setiap tindakan
yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. (4) Menentukan dan
menerapkan model pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang
model mana yang dapat dilakukan. (4) Melakukan evaluasi, baik
evaluasi proses maupun evaluasi hasil.
Menurut Rusman (2010: 242) langkah-langkah yang harus dilalui siswa
dalam PBL adalah
(1) menemukan masalah, (2) mendefinisikan masalah, (3)
mengumpulkan fakta, (4) pembuatan hipotesis, (5) penelitian, (6)
rephrasing masalah, (7) menyuguhkan alternatif dan (8) mengusulkan
solusi.
Wina Sanjaya (2006) merumuskan langkah-langkah pembelajaran berbasis
masalah sebagai berikut:
(1) Menyadari masalah, guru membimbing siswa unutk
menyadari adanya kesenjangan atau masalah dalam kehidupan sehari-
hari. (2) Merumuskan masalah, kemudian dengan pengetahuan siswa
maka siswa akan merumuskan yang menjadi sebab dari adanya
masalah tersebut. (3) Merumuskan hipotesis, siswa diarahkan untuk
dapat mengetahui sebab akibat dari adanya masalah tersebut. Dengan
diketahuinya sebab akibat dari suatu masalah maka akan dipahami
berbagai kemungkinan yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah. (4) Mengumpulkan data, siswa mengumpulkan data sesuai
dengan masalah. Kecakapan dan kemampuan siswa untuk
mengumpulkan dan memilah data kemudian menyajikannya
merupakan hal yang utama dalam tahap ini. (5) Menguji hipotesis,
setelah data terkumpul maka data tersebut diuji apakah hipotesisnya
diterima atau ditolak. Kemampuan siswa dalam mengambil keputusan
dan membuat kesimpulan merupakan hal yang utama dalam tahap ini.
(5) Menentukan pilihan penyelesaian, merupakan tahap akhir yang
mana siswa dapat menentukan penyelesaian dengan tepat dan dapat
memperhitungkan sebab akibat dari penyelesaian tersebut.
19
Sesuai dengan pendapat para ahli, maka secara umum model pembelajaran
berbasis masalah dapat dilakukan dengan langkah-langkah:
1. Mendefinisikan masalah, mengetahui masalah yang akan dipecahkan, masalah
tersebut berhubungan dengan kehidupan.
2. Merumuskan masalah, menentukan masalah yang akan dipecahkan dengan
pengetahuan awal yang dimiliki siswa.
3. Membuat hipotesis, membuat dugaan jawaban dari masing-masing
pengetahuan siswa yang terkait dengan masalah.
4. Mengumpulkan data, perlu ditambahkan dari sumber lain dalam
menyelesaikan masalah yaitu dengan mengumpulkan data yang berkaitan
dengan masalah dikumpulkan untuk dianalisis bersama.
5. Menguji hipotesis, dugaan jawaban dan data yang sudah terkumpul dijadikan
satu, diuji dan dicari yang lebih tepat dengan penyelesaian masalah.
6. Melakukan penyelesaian, setelah semua selesai maka data yang diperoleh
disajikan dalam bentuk laporan yang kemudian dipresentasikan.
2.3.3 Sintaks Pembelajaran Berbasis Masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari 5 langkah utama yang
dimulai guru dengan mengenalkan siswa dengan suatu situasi masalah dan
diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Langkah tersebut
dijelaskan berdasarkan pada tabel 1.2 (Ibrahim dalam Trianto 2007: 71).
20
Tabel 2.3 Sintak Pembelajaran Berbasis Masalah menurut Ibrahim
Tahap Tingkah Laku Guru
Tahap 1 Orientasi siswa
pada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
mengajukan fenomena atau demonstrasi atau
cerita untuk memunculkan masalah,
memotivasi siswa untuk terlibat dalam
pemecahan masalah yang dipilih.
Tahap 2
Mengorganisasi siswa
untuk belajar
Guru membantu siswa untuk mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Tahap 3 Membimbing
penyelidikan individual
maupun kelompok
Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah.
Tahap 4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa dalam merencanakan
dan menyiapkan karya yang sesuai. Seperti
laporan, video dan model serta membantu
siswa untuk membagi tugas dengan temannya.
Tahap 5 Menganalisis
dan mengevaluasi
proses pemecahan
masalah
Guru membantu siswa untuk melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan
yang dilakukan dan proses yang digunakan.
21
Dari sintak pembelajaran diatas maka, dalam proses pembelajaran langkah
langkahnya ialah :
Tabel 2.4 Langkah Pembelajaran Model Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan Kegiatan Keterangan
Pendahuluan
Menyiapkan alat peraga berupa gambar.
Menyampaikan tujuan pembelajaran.
Kegiatan inti
Eksplorasi Guru menjelaskan materi. Mengajukan
fenomena atau demonstrasi atau cerita untuk
memunculkan masalah, memotivasi siswa
untuk terlibat dalam pemecahan masalah
yang dipilih.
Elaborasi Guru menjelaskan proses pembelajaran dalam
pemecahan masalah. Siswa dibagi menjadi 8
kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4
anak. Secara berkelompok siswa diberikan
suatu masalah dan siswa mendentifikasi
masalah dalam bentuk lembar kegiatan,
kemudian dengan bimbingan guru siswa
merumuskan masalah, mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan
dan pemecahan masalah. Guru memotivasi
siswa untuk aktif dalam penyelesaian
masalah.
Siswa mengumpulkan data dari berbagai
sumber dan menguji hipotesis serta
mempresentasikan hasil pekerjaan siswa.
Konfirmasi Guru memeriksa hasil kegiatan siswa secara
kelompok. Memberi penghargaan, memberi
evaluasi secara individu.
Penutup Menutup pembelajaran dengan memberi
motivasi agar siswa harus senantiasa belajar.
22
2.3.4 Tujuan Pembelajaran Berbasis Masalah
Trianto (2007: 70) mengutarakan tujuan pembelajaran berbasis masalah
yaitu untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir, pemecahan
masalah, dan ketrampilan intelektual, belajar berbagai peran orang dewasa melalui
pelibatan mereka dalam pengalaman nyata. Guru berperan untuk membantu siswa
dalam merumuskan tugas-tugas. berpendapat
Sedangkan Wina Sanjaya (2006: 216) juga berpendapat bahwa tujuan
pembelajaran berbasis masalah yaitu kemampuan berfikir siswa untuk berfikir
kritis, analitis, sistematis dan logis untuk menemukan alternatif pemecahan
masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangka menumbuhkan sikap
ilmiah. Siswa diarahkan dengan menggunakan masalah yang ada di sekitar
lingkungan tempat tinggalnya atau masalah yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari.
Hampir sama dengan pendapat Wina Sanjaya, Tan, Ibrahim dan Nur
(dalam Rusman 2010: 242) mengemukakan tujuan pembelajaran berbasis masalah
yaitu
(1) membantu siswa mengembangkan kemampuan berfikir dan
memecahkan masalah, (2) belajar berbagai peran orang dewasa
melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata, (3) menjadi para
siswa yang otonom. PBM mendorong siswa untuk terlibat dalam
setiap kegiatam penyelidikan guna menuntaskan masalah yang
dihadapi.
Taufiq Amir (2009: 27) menjelaskan tujuan dari model pembelajaran
berbasis masalah yaitu:
(1) Menjadi lebih ingat dan meningkatkan pemahamannya atas
materi ajar. Pengetahuan yang di dapat dengan lebih dekat pada
praktik maka materi tersebut akan mudah diingat. Apalagi bila siswa
mengalami praktik itu sendiri maka akan lebih mudah mengingat
materi dan akan lebih efektif dari menghafal. (2) Meningkatkan fokus
pada pengetahuan yang relevan. Masalah yang dekat dengan
kehidupan lingkungan sekitar akan membuat lebih dengan dengan
23
praktik dan langsung dapat merasakan apa yang terjadi, sehingga
pembelajaran akan lebih efektif. (3) Mendorong untuk berfikir. Siswa
dianjurkan untuk tidak terburu-buru dalam menyimpulkan masalah
namun didorong untuk berfikir dan mengutarakan pendapat
berdasarkan landasan dan fakta yang mendukung alasan. (4)
Membangun kerja tim, kepemimpinan dan ketrampilan sosial. PBL
sering dikerjakan dalam kelompok-kelompok kecil sehingga
mendorong kecakapan sosial dan kerja tim. Mendengarkan dan
menerima pendapat dari orang lain merupakan salah satu ketrampilan
yang akan dicapai pada tujuan ini. (5) Membangun kecakapan belajar.
Dengan merumuskan sendiri masalah yang mengambang akan
mengembangan kecakapan siswa dalam memperoleh ilmu dan
pengtahuan karena siswa harus mencari sendiri pengetahuan yang
relevan. (6) Memotivasi belajar. Masalah yang dihadapkan pada siswa
akan membuat siswa tertantang untuk selalu belajar dan memecahkan
masalah, namun tidak semua siswa menyenangi hal ini oleh karena itu
peran pendidik sangat diperlukan dalam memotivasi belajar siswa.
Tujuan dari pembelajaran berbasis masalah ini lebih condong pada
aktivitas dan manfaat yang akan diterima siswa. Berdasarkan tujuan PBL yang
sudah disampaikan oleh para ahli, maka secara umum tujuan PBL ialah
mengambangkan kemampuan berfikir siswa agar dapat berfikir secara kritis,
logis, sistematis dan analitis, meningkatkan ketrampilan intelektual maupun sosial
melalui kelompok kecil, membangun kecakapan dan motivasi belajar karena
mengangkat masalah dari pengalaman atau kehidupan nyata.
2.3.5 Kelebihan Pembelajaran Berbasis Masalah
Sebagai model pembelajaran, tentunya model pembelajaran berbasis
masalah ini juga mempunyai kelebihan. Menurut Wina Sanjaya (2006), kelebihan
dari model ini ialah:
(1) Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik
yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran. (2)
Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan
siswa serta mamberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan
baru bagi siswa. (3) Pemecahan masalah (problem solving) dapat
meningkatkan aktifitas belajar siswa. (4) Pemecahan masalah
(problem solving) dapat membantu siswa bagaimana menstransfer
pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan
nyata. (5) Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu
24
siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung
jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. (6) Pemecahan
masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa
setiap mata pelajaran (matematika, IPA, sejarah da lain sebagainya)
pada dasarnya merupakan kemampuan cara berfikir dan harus
dimengerti oleh siswa, bukan hanya belajar dari guru atau buku-buku
saja. (7) Pemecahan masalah (problem solving) diangggap lebih
menyenangkan dan disukai siswa. (8) Pemecahan masalah (problem
solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir
kritis dan mengambangkan kemampuan mereka untuk menyeuiakan
dengan pengetahuan baru. (9) Pemecahan masalah (problem solving)
dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan
pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. (10)Pemecahan
masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk
secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal
telah berakhir.
2.3.6 Kekurangan Pembelajaran Berbasis Masalah
Disamping kelebihan, model pembelajaran berbasis masalah ini juga
memiliki kelemahan, yaitu:
(1) Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai
kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka
mereka akan enggan untuk mencoba. (2) Keberhasilan model
pembelajaran melalui Pemecahan masalah (problem solving)
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan. (3) Tanpa pemahaman untuk
memecahkan masalah maka siswa tidak akan memahami materi yang
mereka pelajari.
2.4 Belajar
Gagne (Najib Sulhan, 2006: 5), berpendapat bahwa belajar adalah proses
perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan kecenderungan manusia, seperti
sikap, nilai dan perubahan kemampuannya, yakni peningkatan kemampuan untuk
melakukan berbagai jenis performance (kinerja).
Baharuddin (2007: 11), menyatakan bahwa belajar merupakan proses
manusia untuk mencapai berbagai macam kompetensi, ketrampilan dan sikap.
Fudyartanto (Baharuddin, 2007: 13) juga menyatakan belajar adalah sebuah
kegiatan untuk mencapai kepandaian atau ilmu yang dilakukan dengan usaha
25
untuk mendapatkan ilmu tersebut sehingga manusia menjadi tahu, memahami,
mengerti, dapat melaksanakan dan memiliki tentang sesuatu. Hampir sama
dengan pendapat Dahar dalam Triyanto 2007: 25 yang menyatakan belajar
menurut teori Ausubel adalah belajar bermakna yang merupakan suatu proses
dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada
struktur kognitif seseorang.
Menurut Oemar Hamalik (2008: 36), belajar adalah modifikasi atau
memperteguh kelakuan melalui pengalaman. Hal ini lebih difokuskan pada suatu
proses atau kegiatan bukan pada suatu hasil atau tujuan.
Winkel (Darsono, 2004: 4) menyatakan belajar adalah suatu aktivitas
mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan
yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan
nilai sikap.
Dari beberapa pengertian belajar yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa belajar merupakan sebuah proses perubahan tingkah laku dan
pencapaian kompetensi serta kepandaian yang diperoleh melalui pengalaman dan
berinteraksi dengan lingkungan.
2.4.1 Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi hasil belajar dan tindak
mengajar. Dari sisi guru, tindak mengajar diakhiri dengan proses evaluasi hasil
belajar. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan puncak proses belajar yang
merupakan bukti dari usaha yang telah dilakukan. Menurut Hamalik (2002:155)
hasil belajar tampak sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa,
yang dapat diamati dan diukur dalam perubahan pengetahuan, sikap, dan
ketrampilan. Perubahan dapat diartikan terjadinya peningkatan dan
pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya, misalnya dari
tidak tahu menjadi tahu, sikap tidak sopan menjadi sopan dan sebagainya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar dapat
digolongkan menjadi empat, yaitu (a) bahan atau materi yang dipelajari; (b)
26
lingkungan; (c) faktor instrumental; dan (d) kondisi peserta didik. Faktor-faktor
tersebut baik secara terpisah maupun bersama-sama memberikan kontribusi
tertentu terhadap prestasi dan hasil belajar peserta didik. Antara proses dan hasil
dalam pembelajaran merupakan dua hal yang tidak berdiri sendiri, namun saling
terkait. Faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran tersebut antara lain dalah
faktor siswa, guru, model atau metode mengajar, dan sarana atau perangkat
pembelajaran.
Berdasarkan kajian tentang berbagai pendapat diatas maka dapat dikatakan
bahwa perolehan belajar atau hasil belajar merupakan kapasitas terukur dan
perubahan individu yang diinginkan berdasarkan ciri-ciri atau variabel-variabel
bawaannya melalui perlakuan pembelajaran tertentu. Hasil belajar merupakan
hasil kegiatan dari belajar dalam bentuk pengetahuan sebagai akibat dari
pembelajaran yang dilakukan siswa.
2.5 Kajian Penelitian Yang Relevan
Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Heny Zulaikah (2010) yang melakukan penelitian dengan judul
Peningkatan Hasil Belajar IPS Melalui penerapan Model Pembelajaran Berbasis
Masalah pada siswa Kelas IV SDN Slorok Kabupaten Blitar. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa (1) pembelajaran pada pra tindakan masih bersifat
konvensional dimana pembelajaran berpusat pada guru, (2) hasil belajar IPS pada
pra tindakan memperoleh presentase rata rata kelas 59,4 %, (3) penerapan model
pembelajaran IPS sesuai dengan langkah langkah PBM, (4) hasil belajar siswa
pada siklus I memeroleh presentase rata rata kelas 69 % sedang siklus II 82,2 %,
(5) siklus I presentase keberhasilan secara klasikal dari 59,4 % menjadi 69%
dengan peningkatan sebesar 96 %. Sedangakan pada siklus II dari 69 % menjadi
82,3 % dengan peningkatan sebesar 13,2 %.
Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
PBM dapat menigkatkan hasil belajar IPS siswa kelas IV SDN Slorok 01
Kabupaten Blitar. Berdasarkan penelitian ini,disarankan hendaknya guru dapat
27
memilih dan menggunakan model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan
materi yang diajarkan.
Merinda Dian Pramesti dengan judul penelitian Efektifitas penggunaan
Model Pembelajaran Berbasis Masalah ( Problem Based Learning PBL) Terhadap
Hasil Belajar IPA Siswa Kelas V di SD Gugus Hasanudin Salatiga Semester II
Tahun Ajaran 2011/2012. Penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen,
namun tetap menunjukkan bahwa dengan menngunakan model pembelajaran
berbasis masalah hasil belajar IPA siswa kelas V mengalami kenaikan. Terbukti
dengan hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan rata rata dari hasil belajar
kelas kontrol dan kelas eksperimen dengn perolehan rata - rata nilai tes siswa
keals kontrol lebih rendah daripada rata rata nilai tes kelas eksperimen, yaitu
74,53 < 83,38 dengan perbedaan rata rata (mean different) sebesar 8,851.
Perbedaan taraf signifikansi diperoleh angka 0,002 < 0,05. Hal tersebut berarti
terdapat perbedaan antara rata rata hasil belajar kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
28
2.6 Kerangka Pikir
Adapun kerangka pikir dari penelitian ini adalah
Gambar 2.1
Skema Kerangka Pikir Penelitian Tindakan Kelas
2.7. Hipotesis Tindakan
Hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: “Melalui
model pembelajaran berbasis masalah, hasil belajar siswa kelas 4 SD Negeri
Kutowinangun 07 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga pada mata pelajaran IPA SK
memahami perubahan lingkungan fisik dan pengaruhnya terhadap daratan dapat
meningkat”.
Melalui langkah dalam model pembelajaran berbasis masalah yaitu
mendefinisikan masalah, merumuskan masalah, mengumpulkan data, menguji
hipotesis dan melakukan penyelesaian maka siswa lebih memahami materi,
sehingga dengan penerapan langkah tersebut dapat meningkatkan pemahaman
siswa yang berpengaruh pada peningkatan hasil belajar.
Prestasi belajar siswa rendah pada mata
pelajaran IPA karena guru cenderung
menggunakan ceramah
Kondisi awal
Menerapkan model pembelajaran berbasis
masalah pada mata pelajaran IPA SK
memahami perubahan lingkungan fisik dan
pengaruhnya terhadap daratan dengan
bimbingan dari guru.
Tindakan
Melalui model pembelajaran berbasis
masalah hasil belajar siswa pada mata
pelajaran IPA kelas 4 SD Negeri
Kutowinangun 07 Kecamatan Tingkir Kota
Salatiga meningkat.
Kondisi akhir