BAB II KAJIAN PUSTAKA II.pdf · berfungsi untuk menopang tubuh ketika berdiri dan berjalan. Selain...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA II.pdf · berfungsi untuk menopang tubuh ketika berdiri dan berjalan. Selain...
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Osteoarthritis
Osteoarthritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif kronis
yang menyerang struktur kartilago sendi secara perlahan hingga
menimbulkan gangguan dampak pada tulang, jaringan lunak, dan cairan
synovial di sekitarnya (Goodman & Fuller, 2009).
Berdasarkan jenisnya, Osteoarthritis dibagi menjadi dua golongan
yaitu : Osteoarthritis Primer dan Osteoarthritis Sekunder. OA Primer adalah
jenis OA yang tidak diketahui penyebabnya dan alur terjadinya proses
degenerasi sendi diasosiasikan dengan adanya defek pada kartilago sendi.
Sedangkan, untuk OA Sekunder memiliki penyebab yang pasti, yang mana
dihasilkan oleh trauma, infeksi, hemarthrosis, osteonecrosis, dan beberapa
kondisi lainnya (Goodman & Fuller, 2009)
Gambar 2.1 Osteoarthritis
Sumber : Goodman & Fuller (2009)
11
Osteoarthritis (OA) merupakan kelainan sendi degenratif kronis
yang umumnya terjadi akibat respon terhadap perubahan fisiologis penuaan
dan pada umumnya terjadi pada sendi-sendi besar atau sendi-sendi yang
menumpu berat badan (Akinpelu et al, 2009). Berdasarkan data yang
diperoleh dari American College of Rheumatology 2012 menyatakan bahwa
kasus OA paling banyak terjadi pada regio tangan (hand), panggul (hip), dan
lutut (knee) (Hochberg et al., 2012). Dinyatakan bahwa ketiga region tersebut
merupakan bagian tubuh yang paling banyak mengalami pembebanan selama
proses kehidupan.
2.1.1 Osteoarthritis Genu
Osteoarthritis Genu merupakan penyakit sendi degeneratif kronis
yang mengenai persendian lutut. Prevalensi terjadinya OA lutut adalah
berkisar 23,3% pada usia 50-59 dan 25,5% pada usia 60-69 tahun.
Beberapa studi telah mempelajari beberapa faktor resiko penyebab
terjadinya Osteoarthritis Genu pada kelompok populasi Caucasians.
Beberapa faktor resiko yang paling umum diantara meliputi umur, jenis
kelamin, obesitas, riwayat operasi lutut ataupun riwayat trauma lutut, atau
beberapa pekerjaan yang memerlukan pembebanan besar seperti angkat-
angkut, berlutut, dan squat (Jensen, 2008, Felson, 2004). Di mana di antara
faktor resiko ini yang paling mempengaruhi adalah umur serta obesitas.
Namun hal ini juga bergantung pada penyebaran demografis dan sosial
budaya yang berbeda-beda seperti pada populasi yang memerlukan aktivitas
berjalan dalam jangka waktu lama dan pada medan yang berat (Jensen, 2008).
12
2.1.2 Anatomi Biomekanik pada Osteoarthritis Genu
Sendi lutut merupakan sendi yang paling besar dan kompleks pada
tubuh manusia. Sendi lutut didesain untuk mobilitas dan stabilitas. Sendi lutut
berfungsi untuk menopang tubuh ketika berdiri dan berjalan. Selain berjalan,
lutut juga merupakan unit fungsional primer dalam aktivitas yang
memerlukan pembebanan seperti memanjat, duduk, berdiri, melompat, dan
lain-lain (Sudaryanto & Anshar, 2011).
Sendi lutut terbentuk oleh Tibiofemoral joint dan Pattelofemoral
joint. Kemudian dilapisi oleh kapsul sendi yang lentur, dan disertai beberapa
jaringan konektif seperti bursa (suprapatellaris, subpopliteal, dan bursa
gastrocnemius) dan ligamen-ligamen yang memperkuat dan membantu
stabilitas sendi lutut seperti ligament collateral medial, ligament collateral
lateral, ligament popliteal oblique, ligament cruciatum anterior, ligament
ligament cruciatum posterior, ligament tranversal, serta traktus iliotibialis
(Neumann, 2009).
Pada sendi tibiofemoral dibentuk oleh tulang tibia dan femur dan
membentuk biaxial modified hinge joint. Pada ujung permukaan tulang femur
dilapisi oleh kartilago hyaline, dan pada ujung permukaan tulang tibia dilapisi
oleh kartilago hyaline dan dilapisi oleh jaringan fibrokartolago yang
membentuk meniskus. Kartilago hyaline ini berfungsi untuk mengurangi gaya
friksi antar kedua permukaan tulang selama terjadinya gerakan pada sendi
lutut dan meniskus berfungsi memperbaiki kongruenitas dan sebagai shock
absorber antara kedua permukaan sendi (Sudaryanto & Anshar, 2011).
13
Sendi lutut diperkuat oleh grup otot besar yang berfungsi sebagai
penggerak utama dan juga berfungsi untuk stabilitas aktif sendi lutut.
Beberapa grup otot tersebut adalah otot quadriceps femoris dan otot
hamstring. Otot quadriceps terdiri dari otot rectus femoris, vastus lateralis,
vastus medialis, dan vastus intermedius. Sedangakan otot hamstring terdiri
dari otot biceps femoris, semimembranosus, dan semitendinosus. Otot
quadriceps berfungsi sebagai ekstensor sendi lutut dengan arah tarikan yang
berbeda-beda setiap bagian otot, sedangkan otot hamsting berfungsi utama
untuk fleksor sendi lutut.
Gambar 2.2. Arah tarikan otot Quadricep Femoris
Sumber : Neumann (2009)
14
Bagian medial pada sendi lutut normal mendapatkan pembebanan
sekitar 70% dari berat badan. Hal ini terjadi oleh karena lintasan dari vektor
ground reaction force (GRF) pada sendi lutut. Lintasan GRF berjalan
melewati bagian medial dan posterior lutut. Momen yang diciptakan oleh
gaya pada sendi lutut ini dibentuk oleh momen gaya fleksi dan adduksi. Pada
pasien dengan osteoarthritis genu akan terjadi peningkatan momen aduksi
pada lutut.
Gambar 2.3. Lintasan GRF pada lutut normal dan lutut OA
Sumber : Reeves & Bowling (2012)
Magnitude pada adduksi lutut menghasilkan penyempitan ruang
sendi, melonggarnya kapsul bagian medial, timbulnya nyeri dan
terganggunya aktivitas fungsional (Reeves & Bowling, 2012). Fenomena
melonggarnya kapsul sendi tersebut juga dikenal dengan istilah pseudo-laxity.
Untuk mengatasi sensasi instabilitas sendi ini otot-otot yang memperkuat
bagian medial mengalami kontraksi untuk menstabilisasi aspek medial sendi
15
lutut, yang mana hal ini meningkatkan pembebanan pada bagian medial dan
mempercepat proses degenratif.
Gambar 2.4 Ruang sendi pada OA dan pada lutut normal
Sumber : Lidtke (2011)
Penurunan ruang sendi akan meningkatakan gaya reaksi pada sendi
pada bagian medial selama aktivitas berjalan yang akan meningkatkan gaya
friksi pada kedua permukaan sendi. Gaya friksi tersebut dapat menyebabkan
nyeri yang berdampak pada inhibisi otot dan mempengaruhi aktivitas
fungsional. Friksi pada kartilago akan mengganggu artrokinematika (slide &
roll) pada sendi lutut, sehingga akan mempengaruhi osteokinematika sendi
lutut.
16
Gambar 2.5. Pembebanan selama berjalan pada OA
Sumber : Neumann (2009)
2.1.3 Insiden
Osteoarthritis Genu merupakan penyakit sendi yang paling umum
dan terbanyak di dunia. Prevalensi penderita OA di seluruh dunia adalah
sekitar 9% pada laki-laki dan 18% pada perempuan (Mody & Wolf, 2003).
Dan di Amerika diperkirakan 60% dari orang dewasa memilki OA Genu.
Prevalensi terjadinya OA lutut adalah berkisar 23,3% pada usia 50-59 dan
25,5% pada usia 60-69 tahun. Prevalensi terjadinya OA akan meningkat
seiring bertambahnya usia dengan usia terbanyak pada kelompok 50-69
tahun. Diketahui juga, bahwa jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap
angka prevalensi OA lutut dimana prevalensi nya lebih besar pada kelompok
jenis kelamin perempuan.
Di Indonesia, Osteoarthritis merupakan penyakit rematik yang
paling banyak ditemui, dan berdasarkan data dari World Health Organization
17
(WHO) menyebutkan bahwa tercatat ada 8,1% dari total penduduk,
mengalami kasus OA di Indonesia. Berdasarkan data Kongres Nasional Ikatan
Reumatologi Indonesia (2005), di kabupaten Malang dan kota Malang
ditemukan prevalensi sebesar 10 dan 13,5%, dan di Jawa Tengah kejadian
penyakit Osteoarthritis sebesar 5,2% dari total penduduk.
2.1.4 Etiologi dan Faktor Resiko Osteoarthritis Genu
Beberapa faktor resiko penyebab terjadinya OA lutut dapat dibagi
menjadi dua yaitu faktor predisposisi dan faktor biomekanik (Maharani,
2007). Dimana faktor predisposisi merupakan faktor yang dapat
meningkatkan resiko seseorang mengalami OA lutut sedangkan faktor
biomekanik ditinjau dari pembebanan oleh pergerakan tubuh yang
menyebabkan terjadinya OA.
Beberapa faktor predisposisi diantaranya faktor demografi seperti
umur, jenis kelamin, dan ras atau etnis serta faktor genetik, faktor gaya hidup,
dan faktor metabolik masing-masing memberikan kontribusi terhadap
terjadinya kasus OA lutut. Studi menunjukkan bahwa 27% orang yang berusia
63-70 tahun terdiagnosis mengalami OA melalui bukti radiografik dan
meningkat mencapai 40% pada usia 80 tahun lebih (Maharani, 2007).
Beberapa faktor biomekanik yang berpengaruh terhadap angka
kejadian OA lutut diantaranya adanya riwayat trauma lutut, kelainan anatomis
yang dimilki, faktor pekerjaan, aktivitas fisik, kebiasaan olah raga, kelemahan
otot, serta laksitas sendi. Trauma yang serius menyebabkan hampir setengah
dari seluruh kasus OA pada lutut (Goodman & Fuller, 2009). Tidak ada
18
pengaruh antara lari yang regular dengan lari yang moderat, namun olah raga
yang melibatkan intensitas tinggi, pembebanan langsung pada sendi akibat
kontak dengan pemain lain sangat beresiko meningkatkan kasus OA lutut,
terutama pada saat pembebanan langsung pada sendi terjadi secara repetitif
dan melibatkan gaya twisting. Kerusakan pada Anterior Cruciatum Ligament
ditemukan dapat meningkatkan resiko terjadinya OA akibat abnormalitas
gerakan lutut.
Joint Hypermobility Syndrome merupakan suatu kelainan dimana
terjadinya laksitas yang berlebihan pada banyak sendi (multiple) yang
diakibatkan oleh adanya kelainan sistemik pada sintesis kolagen dengan
berkurangnya rasio antara kolagen tipe 1 dengan kolagen tipe III (Pocinki,
2010). Sindroma ini sering diasosiasikan dengan kelainan seperti Ehlers-
Danlos Syndrome, RA, SLE atau Marfan’s Syndrome (Pocinki, 2010) dimana
wanita yang memilki kelainan ini akan mengalami OA lutut lebih cepat dari
keadaan normal.
Studi menunjukkan bahwa kelemahan otot juga sangat berpengaruh
terhadap kejadian OA lutut dimana dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara Arthrogenic Muscle Inhibition
(AMI) dengan insiden terjadinya OA lutut yang sangat dipengaruhi oleh daya
kontraksi otot Quadricep (p<0,001) (Rice et al, 2011).
19
2.1.5 Patogenesis Osteoarthritis Genu
Proses terjadinya penyakit pada Osteoarthritis Genu terdiri dari
degradasi kartialgo, pembentukan tulang baru, dan chronic synovitis.
1. Degradasi Kartilago dan Sinovitis
Secara normal, perusakan dan perbaikan jaringan kartilago
articular terjadi secara seimbang yang dikontrol oleh Sitokin
(perusakan) dan Growth Factor (perbaikan). Namun, pada
OsteoArthritis Genu, lebih terjadi dominasi pada proses kerusakan
kartilago. Proses degradasi kartilago pada OA dapat dibagi menjadi
3 fase yaitu: I) degradasi proteolitik pada matrix kartilago, II)
Fibrilasi pada permukaan kartilago, III) Chronic Synovitis (Shamley
& Louis, 2005).
2. Pembentukan Tulang Periartikular
Pada Osteoarthritis¸ terjadi pembentukan tulang baru dalam
bentuk subchondral sclerosis serta pembentuk osteophyte.
Subchondral sclerosis terbentuk saat kartilago sendi mengalami
kerusakan dan menghilangnya kemampuan shock-absorber.
Menghilangnya kemampuan meredam gaya tersebut, menyebabkan
gaya pembebanan akan ditransmisikan langsung menuju tulang dan
hal tersebut menstimulasi pembentukan tulang baru. Hal ini
menjelasakan terhadap fenomena penebalan trabeculae dan
peningkatan densitas tulang dibawah permukaan tulang pada titik
dimana terjadinya pembebanan maksimal. (Shamley & Louis, 2005)
20
Substansi kimia seperti Growth Factor yang dihasilkan oleh
synovium juga memiliki andil dalam stimulasi pembentukan tulang
baru. Tulang pada pasien dengan Osteoarhtritis Genu memilki kadar
growth factor IGF-1, IGF-2, dan TGF-β yang lebih tinggi daripada
sendi yang tidak memiliki OA. Namun, penelitian menunjukkan
bahwa pasien dengan OA, terutama pada hypertrophic OA,
cenderung memiliki densitas tulang yang baik dan mengurangi
resiko terjadi nya osteoporosis dibandingkan orang yang normal
(Shamley & Louis, 2005),
3. Sinovitis Kronis
Synovial Phagocyte meliputi partikel-partikel yang berasal
dari degradasi kartilago, melepasakan enzim degradatif yang
memicu chronic synovitis. Synovitis diasosiasikan dengan
meningkatnya produksi cytokine, kerusakan kartilago lebih lanjut,
dan menyebabkan lebih banyak synovitis, yang disebut dengan cycle
of destruction (Shamley & Louis, 2005). Synovitis menyebabkan
penebalan dan fibrosis pada kapsul sendi yang mana dapat
menghasilkan deformitas sendi.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang khusus pada Osteoarthritis Genu meliputi
pembesaran tulang, nyeri, keterbatasan Range of Motion (ROM), adanya
krepitasi, pembengkakan sendi, deformitas sendi, morning stiffness, dan
tanda-tanda inflamasi (American College of Rheumatology, 2012). Adanya
21
tanda-tanda inflamasi dan pembengkakan jaringan lunak menunjukkan bahwa
OA masih berada dalam keadaan akut.
Nyeri yang dirasakan pada pasien OA lebih diakibatkan oleh karena
adanya kekacauan mekanikal gerakan daripada proses inflamasi yang sedang
terjadi (Goodman, Fuller, 2009). Nyeri pada OA dideskripsikan sebagai nyeri
yang dalam, diperburuk oleh adanya aktivitas, dan berkurang setelah istirahat.
Nyeri dapat juga dirasakan selama istirahat ataupun saat malam hari dan hal
tersebut diasosiasikan dengan progresifitas penyakit tingkat lanjut.
Nyeri selama aktivitas dikaitkan erat dengan adanya enthesopathy
dan akibat oleh faktor mekanis. Nyeri pada malam hari merupakan indikator
beratnya penyakit dan dapat terjadi akibat adanya intraosseus hypertension.
Kekakuan (stiffness) dalam jangka waktu yang singkat (kurang dari 30 menit)
dapat terjadi setelah tidak melakukan aktivitas atau diam selama beberapa
menit termasuk di dalamnya duduk lama dan tidur. Morning Stiffness
dikatakan juga sebagai gel phenomenon atau joint gelling yang pada
umumnya hanya terjadi selama 5 – 10 menit setelah bangun tidur. Kekakuan
yang dirasakan melebihi 30 menit menandakan adanya penyakit peradangan
sendi seperti Rheumatoid Arthritis (RA) (Dziedzic & Hammond, 2010).
Krepitasi ditandainya dengan adanya suara yang dihasilkan selama
pergerakan lutut. Krepitasi ini diakibatkan oleh gesekan yang dihasilkan oleh
kedua permukaan katrilago yang telah kasar akibat erosi selama gerakan
sendi. (Goodman & Fuller, 2009, Dziedzic & Hammond, 2010). Krepitasi
dapat diperiksa dengan meminta pasien untuk menggerakan tungkai bawah
22
atau meminta pasien untuk bangun dari tempat duduk dan duduk dari posisi
berdiri dengan pemeriksa melakukan palpasi di bagian lutut (Paet, et al.,
2004).
Muscle Wasting atau kelemahan otot akan terjadi seiring dengan
meningkatknya progresifitas dari Osteoarthritis. Penelitian telah
menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara OA dengan
menurunnya kekuatan otot-otot utama disekitar sendi yang mengalami OA
merupakan salah satu gejala klinis yang khas dari OA misalnya kelemahan
otot Quadriceps, adanya Trendelenburg Sign, dan abnormalitas gait (Dziedzic
& Hammond, 2010).
Menurunnya Range of Motion (ROM) secara seignifikan dan adanya
nyeri pada batas akhir gerakan merupakan gejala klinis utama dari OA Genu
(Dieppe & Lohmander 2005). Adanya keterbatasan ROM ini disebabkan oleh
beberapa hal seperti adanya kontraktur pada ligament yang menstabilisasi
sendi disekitar OA, abnormalitas kerja otot selama gerakan sehingga terjadi
deviasi dan memberikan stress kontak yang besar pada salah satu sisi, serta
hilangnya proses artrokinematika slide selama gerakan osteokinematika lutut.
Hilangnya ROM normal sendi lutut juga dijadikan sebagai skala prediktif
untuk memperkirakan terjadinya insiden OA pada masyarakat.
Seseorang yang memiliki OA akan sulit untuk mempertahankan
keseimbangan normal seperti berdiri atau berdiri dengan satu kaki dalam
jangka waktu tertentu. Beberapa alasan yang dapat menyebabkan hal tersebut
adalah karena adanya kelemahan otot yang memberikan stabilisasi aktif pada
23
lutut selama aktivitas berdiri (Dziedzic & Hammond, 2010). Suatu penelitian
dengan metode Cross-Sectional menunjukkan bahwa adanya hubungan yang
signifikan antara kejadian Osteoarthritis Genu dengan insiden jatuh pada
lansia (β= -34,4, p ≤ 0,0001) (Vennu & Bindwas, 2014). Hal ini menunjukkan
bahwa terjadi nya penurunan keseimbangan dan propriosepsi yang cukup
bermakna pada pasien OA.
Penelitian di Amerika juga menunjukkan bahwa sekitar 40% orang
dewasa yang memiliki OA lutut memilki status keshatan yang rendah dan
buruk, serta lebih dari 50% melaporkan mengalami jatuh pada tahun
sebelumnya (Arnold & Gyurcsik, 2012). Nyeri kronis yang dirasakan dapat
menghambat pasien OA untuk melakukan aktivitas sehari-hari, menyebabkan
berkurangnya aktfitas fisik dan menurunkan kualitas hidup. Masyarakat
dengan OA melaporkan bahwa nyeri sangat memperngaruhi hidup dari
berbagai perspektif, seperti aktivitas fungsional dan social, hubungan
interpersonal, status emosional, dan body image.
2.1.7 Klasifikasi Osteoarthritis Genu
Kriteria klasifikasi osteoarthritis genu menurut Kellgren dan
Lawrence dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 2.1. Kriteria Klasifikasi Osteoarthritis Genu menurut Kellgren dan
Lawrence
Deskripsi Original Aleternatif A Alternatif B Alternatif C Alternatif D
Grade I
Penyempitan sendi
yang meragukan,
dan kemungkinan
osteofit pada tepi
Osteofit yang
meragukan
Kemungkinan hanya
tampak osteofit
Kemungkinan
adanya osteofit pada
tepi
Patologi yang
meraguukan
24
Grade 2
Osteofit yang jelas,
dan kemungkinan
adanya penyempitan
sendi
Osteofit yang jelas,
tidak ada gangguan
pada space sendi
Osteofit yang jelas,
kemungkinan
penyempitan sendi
Osteofit yang jelas,
kemungkinan
penyempitan sendi
Minimal osteofit,
kemungkinan
penyempitan, cyst
dan sceloris
Grade 3
Adanya osteofit
moderat, di
beberapa tempat,
penyempitan sendi
yang jelas, sclerosis,
kemungkinan
defromitas
Penyempitan ruang
sendi yang cukup
besar dengan
osteofit
Osteofit moderat dan
penyempitan sendi
yang jelas
Adanya osteofit
moderat, di
beberapa tempat,
penyempitan sendi
yang jelas, sclerosis,
kemungkinan bony
attrition
Osteofit moderat
dan jelas, dengan
penyempitan sendi
yang cukup besar
Grade 4
Otseofit besar,
penyempitan sendi
yang besar,
sclerosis yang
parah, dan
deformitas yang
jelas
Gangguan pada
ruang sendi yang
parah dengan
sclerosis
subchondral
Osteofit besar,
penyempitan ruang
sendi yang parah,
sclerosis.
Otseofit besar,
penyempitan sendi
yang besar,
sclerosis yang
parah, dan
deformitas yang
jelas (bony attrition)
Gangguan yang
bermakna, osteofiit
yang besar dan
penyempitan ruang
sendi yang jelas.
Gambar 2.6. Foto Rontgen Osteoarthritis Genu
Sumber: Goodman & Fuller (2009)
25
2.1.8 Diagnosis Osteoarthritis Genu
Tabel 2.2 Diagnosis OA Genu berdasarkan American College of
Rheumatology
Klinis dan
Laboratorium
Klinis dan radiografi Klinis
Nyeri lutut ditambah
dengan sedikitnya lima
dari Sembilan hal
berikut :
Nyeri lutut ditambah
dengan sedikitnya
satu dari tiga hal
berikut :
Nyeri lutut
ditambah dengan
sedikitnya tiga dari
enam hal berikut :
Usia > 50 tahun Usia > 50 tahun Usia > 50 tahun
Kekakuan < 30
menit
Kekakuan < 30
menit
Kekakuan < 30
menit
Krepitasi Krepitasi dan Krepitasi
Nyeri tulang Osteofit Nyeri tulang
Pembengkakan
tulang
(penampakan
osteofit dapat
Pembengkakan
tulang
Perabaan tidak
hangat
Diperoleh dengan
pemeriksaan
Perabaan tidak
hangat
Laju endap darah <
40 mm/jam
Rontgen)
Faktor Rheumatoid
1:40
Terdapat cairan
synovial OA
92% sensitive,
75% specific.
91% sensitive
86% specific
95% sensitive
69% spesific
Keterangan: tanda cairan synovial osteoarthritis adalah jernih,
viskus atau jumlah sel darah putih kurang dari 2000/mm3
26
2.1.9 Diagnosis Banding
Osteoarhtritis Genu merupakan salah satu penyakit yang tergolong
dalam bidang kajian Rheumatology. Beberapa penyakit Rheumatology
lainnya meliputi Rheumatoid Arthritis, Gout Arhtritis yang memilki gejala
hampir sama dengan Osteoarhtritis Genu. Pentingnya diagnosis banding
dalam hal ini untuk mengekslusi pasien yang memiliki gangguan Inflamatory
Arthritis tersebut. Rheumatoid Arthritis merupakan suatu gangguan pada
sendi dimana terjadinya inflamasi kronis yang bersifat sistemis dan progresif.
Pada RA umumnnya terjadi keterlibatan sendi secara simetris atau bilateral
(sendi kanan dan kiri) dan umumnya menyerang sendi-sendi kecil seperti jari-
jari tangan, kaki, dan lain-lain. Pada keadaan kronis, beberapa sistem yang
diserang meliputi sistem cardiovascular, pulmonal, gastrointestinal
(Goodman & Fuller, 2009).
Sedangkan pada Gout Arthritis, merupakan keadaan patologi
dimana terjadinya peningkatan kadar asam urat dalam tubuh, yang kemudian
akan terdeposisi dalam sendi sebagai kristal urat. Hyperuricemia merupakan
penyebab utama terjadinya gout artritis dan hal ini terjadi sebagai akibat dari
tinggi nya kadar purin dalam tubuh ataupun adanya gangguan sekresi pada
purin tersebut. Beberapa manifestasi klinisnya adalah nyeri hebat yang
bersifat akut, terjadi tiba-tiba pada malam hari, adanya erythema, tenderness,
dan hipersensitifitas pada sendi. Pada fase kronis, muncul pembengkakan
pada sendi berupa thopi (Goodman & Fuller, 2009).
27
2.2 Perturbation Training
2.2.1 Definisi Perturbation Training
Perturbation didefiniskan sebagai perubahan dalam jumlah kecil
terhadap sistem tubuh, terutama pada sistem keseimbangan yang pada
umumnya sering mengalami gangguan oleh lingkungan luar atau merupakan
reaksi tak sadar terhadap adanya gaya eksternal yang datang secara tiba-tiba
dan tidak terduga (Brotzman & Manske, 2011). Beberapa contohnya adalah
seorang pemain sepak bola yang berlari mundur setelah bereaksi terhadap
adanya hadangan dari pemain lawan atau seorang pemain basket yang
berusaha menghindari pemain lawan dengan merubah arah dan kecepatan lari.
Perturbation Training melibatkan pengaplikasian gaya yang
berpotensi dapat mengacaukan kestabilan kepada lutut yang mengalami
gangguan yang bertujuan untuk meningkatkan neuromuscular awareness,
neuromuscular response, dan stabilitas dinamis pada lutut untuk
menstabilisasi sendi tersebut (Brotzman & Manske, 2011). Tujuan dari
Perturbation Training adalah untuk mengedukasi pasien agar dapat
menghasilkan reaksi otot yang selektif dan adaptif pada lutut dalam respon
terhadap adanya gaya yang diadministrasikan pada bidang permukaan
tumpuan untuk memperoleh knee-protective neuromuscular response.
2.2.2 Konsep Perturbation Training
Sangatlah penting untuk melibatkan komponen balance-recovery
reaction dalam konsep rehabilitasi karena komponen ini merupakan
kemampuan ataupun ketidakmampuan seseorang untuk merespon secara
28
efektif terhadap adanya perturbasi keseimbangan (kehilangan keseimbangan
akibat adanya perubahangaya) yang akan menentukan apakah orang tersebut
akan jatuh atau tidak (Mansfield et al., 2007). Perturbasi keseimbangan dapat
terjadi akibat adanya perubahan reaksi support terhadap keseimbangan yang
mana perubahan reaksi tersebut harus melibatkan pergerakan tungkai yang
sangat cepat (melangkah ataupun meraih objek untuk sebagai pegangan) dan
merupakan komponen yang sangat penting terhadap adanya perturbasi
keseimbangan (Maki & Mellroy, 2006). Gerakan kompensasi (melangkah
cepat dan meraih objek) ini merupakan satu-satunya mekanisme pertahanan
atau perlindungan tubuh terhadap adanya gaya perturbasi yang besar
(Mansfield et al, 2010). Gaya reaksi ini juga harus terjadi pada magnitude
yang rendah, hal ini menyebabkan seseorang yang mengalami perturbasi
dapat bereaksi secara natural dan automatis (tanpa perintah atau usaha tungkai
yang berlebihan) (Mansfield et al, 2010).
Perturbation Training merupakan latihan spesifik yang dirancang
untuk mencakup komponen balance-recovery reaction. Perturbation yang
berarti gangguan, bukan merupakan jenis latihan yang dibuat dengan tujuan
untuk mengganggu keseimbangan seorang pasien, namun dari adanya
gangguan dalam wujud gaya ini diharapkan pasien mampu beradaptasi
dengan memberikan respon spesifik terhadap gaya gangguan (perturbasi)
tersebut untuk mempertahankan posisi tetap statis. Dalam latihan ini, pasien
mempelajari bagaimana berespon terhadap adanya gaya eksternal dari
lingkungan luar (gravitasi, berat beban, dan lain-lain).
29
Dalam Perturbation Training, respon yang dihasilkan oleh pasien
harus bersifat spesifik, cepat, dan efisien.
1. Spesifik
Suatu respon dikatakan spesifik jika respon berupa kontraksi otot
yang dihasilkan sesuai dengan gaya eksternal yang diterima. Seperti contoh,
jika ada momen gaya yang diaplikasikan pada lutut ke arah posteromedial
dengan sudut 300 dari garis horizontal, maka ko-kontraksi yang dihasilkan
pasien harus mencakup arah anterolateral dengan sudut 300 dari garis
horizontal untuk menjaga agar lutut tetap dalam keadaan statis.
2. Cepat
Respon bersifat cepat berarti respon yang dihasilkan pasien haruslah
sesegera mungkin setelah gaya eksternal teraplikasi pada bagian tubuh.
Respon yang cepat akan menentukan apakah sesorang akan jatuh atau kah
berhasil mempertahankan keseimbangan. Respon yang cepat diperlukan
untuk menghasilkan gerakan yang automatis sehingga tidak diperlukan
kontraksi sadar (voluntary contraction) untuk melawan sebuah gaya yang
teraplikasikan pada tubuh terutama pada gaya yang datang secara tiba-tiba
yang membuat seseorang tidak memiliki banyak waktu untuk berfikir.
3. Efisien
Respon yang bersifat efisien berarti respon yang dihasilkan dalam
bentuk kontraksi otot besarnya sesuai dengan besarnya gaya eksternal yang
teraplikasi pada bagian tubuh tertentu. Respon efisien menghasilkan gerakan
yang halus dan terkendali serta akurat dan bukan sebuah kontraksi yang kuat
30
dan berlebihan. Kontraksi yang efisien diperlukan untuk menciptakan gaya
isometrik yang membuat bagian tubuh yang terpapar gaya eksternal tetap
statik pada satu posisi. Kontraksi yang berlebihan akan menghasilkan
perpindahan atau pergerakan pada bagian tubuh (kontraksi isotonic), sehingga
posisi tidak berhasil dipertahankan secara statik yang berdampak pada
hilangnya komponen stabilitas.
2.2.3 Teknik-teknik Perturbation Training
Perturbation Training terdiri dari 3 jenis teknik latihan yaitu: 1)
Roller board Translation, 2) Tilt Board Perturbation, 3) Roller board &
Stationary Platform Perturbation. Dalam setiap pelaksanaan teknik, pasien
diminta untuk berespon terhadap gaya yang berubah ke berbagai arah dengan
kontraksi otot yang sangat akurat dan efisien untuk mencegah atau
meminimalisasi penggunaan otot yang berlebihan.
1. Roller board Translations
Dalam latihan ini, pasien diinstruksikan untuk berdiri dengan kedua
kaki menapak pada sebuah papan dengaan ketebalan sekitar 1,3 cm
(Fitzgerald et al., 2002) yang dibawahnya dipasang sebuah roda yang dapat
memudahkan papan tersebut untuk bergerak ketika diberikan gaya. Seorang
Fisioterapis kemudian mengaplikasikan gaya translational ke berbagai arah
(gaya perturbasi) pada papan tersebut. Gaya perturbasi yang diberikan
dimulai dengan intensitas ringan yang kemudian akan ditingkatkan selama
proses latihan jika pasien dirasa mampu untuk beradaptasi terhadap
perturbasi. Intensitas ringan yang dimaksud adalah gaya translational pada
31
papan diberikan dengan kecepatan rendah dan dengan jarak yang rendah
(amplitudo rendah).
Gambar 2.7 Roller board Translation
Sumber : Fitzgerald et al (2002)
Selama latihan ini pasien hanya diminta untuk menjaga
keseimbangannya dan mempertahankan posisi tungkai agar tetap statik
namun pasien tidak diinstruksikan perihal ke arah mana gaya translasional
akan diaplikasikan. Pasien juga diminta untuk menjaga pandangan pada level
horizontal untuk menghasilkan respon neuromuscular yang maksimal
(Brotzman & Manske, 2011).
2. Tilt Board Perturbation
Pada latihan ini, pasien diinstruksikan untuk berdiri pada sebuah
papan yang memiliki permukaan bawah yang membentuk sebuah lengkungan
cembung atau yang biasa disebut dengan Wobble board. Pasien dapat berdiri
dengan satu kaki maupun dengan dua kaki, yang disesuaikan dengan kondisi
umum pasien. Namun Duke & Brotzman (2011) menyarankan untuk
melakukan single-limb support (berdiri dengan satu kaki) untuk
32
meningkatkan reaksi keseimbangan pada tungkai spesifik. Kemudian
fisioterapis memberikan gaya ke arah anterior-posterior, medial-lateral pada
papan secara acak (Fitzgerald et al., 2002). Gaya perturbasi juga dapat
dihasilkan dengan menekan atau menginjak bagian ujung whoble board yang
menyebabkan papan menjadi miring secara tiba-tiba.
Pasien diinstruksikan untuk mempertahankan keseimbangan dan
kembali ke posisi netral secepat mungkin setelah fisioterapis memberikan
gaya pada papan tersebut. Pasien diminta berdiri stabil dengan papan miring
ke lateral, medial, anterior, posterior, maupun ke arah diagonal. Latihan dapat
di tingkatkan progresifitasnya dengan cara merubah posisi pasien yang
awalnya berdiri dengan tegak menjadi berdiri dengan posisi semi-squat
Gambar 2.8 Tilt Board Perturbation
Sumber : Fitzgerald et al (2002)
3. Roller board & Stationary Platform Perturbation
Roller board & Stationary Platform Perturbation adalah jenis
latihan yang dimana pasien diisntruksikan untuk berdiri dengan satu tungkai
pada permukaan yang statis (stationary platform) sedangkan tungkai lainnya
33
berada pada permukaan yang dapat bergerak (roller board) dan fisioterapis
mengaplikasikan gaya translasional ke berbagai arah secara acak pada roller
board tersebut. Pasien diinstruksikan untuk menyamakan gaya dengan gaya
yang kita berikan atau pasien diminta untuk mencegah roller board bergerak
tanpa adanya ko-kontraksi dari tungkai bawah atau pasien diminta untuk
menjaga roller board agar tetap berada dalam posisinya semula. Hal ini
ditujukkan untuk menghasilkan kontraksi isometrik pada tungkai selama
adanya perpindahan gaya.
Gambar 2.9 Roller board & Stationary Platform Perturbation
Sumber : Fitzgerald et al (2002)
Beberapa hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh
fisioterapis adalah memperhatikan ko-kontraksi mengukur kecepatan dan
besarnya gaya yang diberikan oleh pasien (Brotzman & Manske, 2011).
Dalam hal ini, pasien belajar untuk mengaktivasi kelompok otot secara
selektif dalam respon terhadap adanya paparan ancaman dari luar (Brotzman
& Manske, 2011). Pasien tidak diminta untuk melakukan kontraksi yang kuat
34
atau melebihi gaya yang diberikan oleh fisioterapis, namun hanya
diperintahkan untuk menyamakan gaya dan arah dengan yang diberikan oleh
fisioterapis. Tujuannya adalah untuk lebih menghasilkan ko-kontraksi otot
yang selektif pada tungkai bawah terhadap adanya gaya destabilisasi daripada
menghasilkan ko-kontraksi otot yang kuat (Fitzgerald et al, 2002).
2.2.4 Indikasi dan Kontraindikasi Perturbation Training
Perturbation training sangat baik diberikan jika tujuan utama dari
intervensi adalah terjadinya peningkatan stabilitas dan keseimbangan.
Perturbation training diindikasikan pada beberapa kondisi yang
memungkinkan terjadinya penurunan stabilitas seperti pasca operasi Anterior
Cruciatum Ligamen (ACL), pasca patah tulang, pada kondisi artritis. Selain
itu, perturbation training juga baik pada lansia yang mengalami penurunan
keseimbangan statis dan dinamis oleh efek neuromuscular yang dihasilkan.
Perturbation training juga diindikasikan untuk meningkatkan performa atlet
yang membutuhkan gaya perturbasi dalam pertandingan (Brotzman &
Manske, 2011)
Belum ada penelitian yang menyebutkan kontraindikasi dari
pemberian perturbation training, namun menurut Fitzgerald et al (2002)
menyatakan bahwa perturbation training harus dipertimbangkan
pemberiannya pada kondisi arthritis yang berat dengan inflamasi aktif,
maupun kondisi-kondisi adanya gangguan kognisi dan atensi serta adanya
gangguan psikis.
35
2.3 Resistance Exercise
2.3.1 Definisi Resistance Exercise
Resistance Exercise merupakan merupakan segala jenis latihan aktif
yang dimana kontraksi otot baik secara statik maupun dinamis ditahan oleh
gaya yang berasal dari luar baik secara manual maupun mekanikal (Kisner &
Colby, 2012). Resistance Exercise atau yang biasa disebut dengan Resistance
Training merupakan komponen rehabilitasi yang sangat esensial kepada
seseorang yang memiliki keterbatasan serta untuk meningkatkan kualitas
hidup terutama meningkatkan performa kemampuan motoris (motor skill
performance) serta mencegah resiko adanya injuri dan penyakit (Kisner &
Colby, 2012).
2.3.2 Prinsip Resistance Exercise
Beberapa prinsip umum yang digunakan dalam pengaplikasian
Resistance Exercise adalah: 1) prinsip Overload, 2) prinsip SAID, dan 3)
Prinsip Reversibility dimana penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Prinsip Overload
Dalam pelatihan yang dilakukan pada sebuah otot yang
bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan fungsional
otot tersebut, maka beban yang digunakan dalam pelatihan harus
melebihi kapasitas normal dari otot tersebut (Overload). Hal ini
menyebabkan otot beradaptasi dalam peningkatan jumlah beban
yang diterima dan berdampak pada meningkatnya kapasitas normal
dari otot tersebut mencapai level pembebanan yang diberikan. Jika
36
beban yang diberikan tetap konstan setelah otot beradaptasi terhadap
pembebanan baru, maka level kekuatan otot tersebut mampu
dipertahankan namun tidak meningkat.
Prinsip Overload fokus pada pembebanan yang meningkat
pada otot dengan memanipulasi intensitas ataupun volume latihan.
Intensitas pada Resistance Exercise merujuk kepada seberapa berat
beban yang diberikan kepada otot yang dilatih, sedangkan Volume
termasuk di dalamnya variable seperti jumlah repetisi, set, dan
frekuensi.
2. Prinsip SAID (Spesific Adaptation to Imposed Demand)
Prinsip SAID menyatakan bahwa spesifisitas sebuah latihan
merupakan fondasi yang esensial dalam merancang sebuah program
latihan. Prinsip ini berlaku untuk semua sistem dalam tubuh dan
merupakan penjelasan dari hukum Wolf yang menyatakan bahwa
sistem tubuh lambat laun akan dapat beradaptasi terhadap stress
yang diberikan terhadapnya. Prinsip SAID membantu fisioterapis
menentukan resep latihan dan parameter apa yang dapat dipilih
untuk menciptakan latihan spesifik untuk mencapai tujuan yang
spesifik (Kisner & Colby, 2012).
3. Prinsip Reversibility
Perubahan adaptif dalam sistem tubuh seperti kekuatan dan
endurance sebagai respon terhadap Resistance Training bersifat
sementara kecuali pola latihan penguatan tetap dilakukan atau
37
pasien tetap berpartisipasi dalam program pemeliharaan dari
Resistance Exercise.
Detraining, yang direfleksikan sebagai penurunan performa
otot dimulai setelah seminggu atau dua minggu setelah berhenti
melakukan pelatihan, dan akan terus berlanjut hingga efek dari
pelatihan sepenuhnya menghilang. Dari alasan ini, sangatlah penting
bahwa latihan penguatan dan daya tahan harus dicantumkan dalam
aktivitas sehari-hari sesegera mungkin dalam kajian rehabilitasi.
Juga disarankan bahwa pasien hendaknya berpartisipasi dalam
program pemeliharaan sebagai komponen integral dalam program
kesehatan jangka panjang (Kisner & Colby, 2012).
2.3.3 Open Kinematic Chain-Exercise
Open Kinematic Chain Exercise merupakan jenis resistance
exercise dimana bagian distal dari segmen yang akan dilatih dapat bebas
bergerak, tanpa melibatkan pergerakan pada sendi di sekitarnya. Pergaerakan
ekstremitas hanya terjadi di bagian distal dari sendi yang terkait, dan aktivasi
otot terjadi pada otot yang melewati otot tersebut. Open Kinematic Chain
Exercise pada umumnya dilakukan pada posisi Non-Weight Bearing (tidak
menumpu berat badan). Dalam Open Kinematicc Chain Exercise,
pembebanan yang diberikan diaplikasikan pada bagian distal dari segmen
yang bergerak (Kisner & Colby, 2012).
38
Gambar 2.10 Open Kinematic Chain Exercise
Sumber: Kisner & Colby (2012)
Open Kinematic Chain Exercise lebih efektif digunakan untuk
meningkatkan kemampuan otot secara individual. Individual diartikan
sebagai kontraksi pada salah satu otot saja atau satu kelompok otot saja.
Selama Open-Chain Exercise, akan dihasilkan kontrol gerakan yang lebih
baik karena hanya terjadi pergerikan sendi tunggal saja dibandingkan dengan
Close-Chain Exercise yang terjadi pergerkan pada multiple joint. Pada Open
Kinematic Chain Exercise, stabilisasi diaplikasikan oleh fisioterapis dengan
melakukan manual kontak pada bagian proksimal sendi. Kontrol pergerakan
yang lebih besar pada Open-Chain Exercise dapat bermanfaat pada fase awal
dalam proses rehabilitasi.
Dalam Open Kinematic Chain Exercise juga dapat terjadi ko-
aktivasi pada otot agonis dan otot antagonis selama proses latihan. Beberapa
latihan yang bersifat Open-Chain yang dapat menghasilkan ko-aktivasi
39
tersbut antara lain seperti metode stabilisasi dalam PNF (Stabilizing Reversal,
Rhythmic Stabilization). Pada beberapa studi mengenai open-chain
concentric isokinetic exercise pada otot-otot yang bekerja di lutut, ko-aktivasi
pada agonis dan antagonis terlihat dengan jelas pada akhir ekstensi lutut.
Peneliti menyatakan bahwa otot-otot fleksor lutut teraktivasi dan berkontraksi
secara eksentrik pada akhir ROM ekstensi untuk memperlambat (deselerasi)
pergerakan tungkai tepat sebelum akhir Range of Motion (ROM). Beberap
peneliti juga menyebutkan bahwa Open-chain Exercise dengan intensitas
tinggi memiliki efek samping pada sendi yang tidak stabilitis, cidera, atau
sendi yang sedang berada dalam proses penyembuhan akut.
Karena Open Kinematic Chain Exercise pada dasarnya dilakukan
dalam keadaan tidak menumpu berat badan (non-waeight bearing), maka
latihan jenis ini tepat diberikan pada keadaan dimana menumpu berat badan
(weight-bearing) merupakan kontraindikasi atau pada kondisi dimana
terjadinya keterbatasan ROM yang sangat signifikan. Latihan jenis ini juga
sangat tepat digunakan pada keadaan inflamasi akut seperti adanya tanda-
tanda pembengkakan dan nyeri. Latihan jenis ini tepat digunakan dalam
program rehabilitasi dini seperti pada kondisi post fraktur.
2.3.4 Closed Kinematic Chain Exercise
Closed Kinematic Chain Exercise melibatkan pergerakan dimana
bagian distal segmen berada dalam keadaan stabil (fixed) pada bagian
permukaan. Dalam latihan jenis ini, pergerakan pada salah satu sendi
menyebabkan pergerakan simultan pada bagian distal yang disertai dengan
40
pergerakan pada bagian sendi proximal. Contohnya adalah ketika melakukan
bilateral short-arc squat motion (mini squat), terjadi fleksi knee, disertai
dengan fleksi hip dan dorsofleksi ankle. Close Kinematic Chain Exercise pada
umumnya dilakukan dalam keadaan Weight Bearing (menumpu berat badan).
Gambar 2.11 Closed Kinematic Chain Exercise
Sumber: Grossi et al (2005)
Berbeda dari open-chain exercise, pada close-kinematic chain
exercise tidak akan didapatkan kontraksi otot yang bersifat individual,
melainkan juga akan terjadi kontraksi oleh grup-grup otot yang sinergis yang
berkontribusi dalam gerakan substitusi selama proses latihan ini. Selama
close-chain exercise pasien lebih menggunakan kemampuan otot-otot untuk
menstabilisasi dalam mengontrol pergerakan sendi yang dituju, serta
mengontrol gerakan sendi proksimal serta distal dari sendi yang dituju.
Pada latihan ini, akan terjadi aproksimasi sendi yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan open-chain exercise. Aproksimasi sendi ini berdampak
pada menurunnya gaya potong (shear) antara kedua permukaan sendi selama
41
terjadinya pergerakan. Aproksimasi sendi yang terjadi selama close-chain
exercise ini dapat meningkatkan kongruenitas pada sendi yang akan
berkontribusi terhadap peningkatan kestabilan sendi (Kisner & Colby, 2012).
Karena Closed Kinematic Chain exercise dilakukan dalam posisi
weight-bearing, banyak penelitian yang melaporkan bahwa close-chain
exercise dapat menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan sendi,
memfasilitasi ko-aktivasi daripada sekelompok otot agonis dan antagonis (ko-
kontraksi) yang selanjutnya meningkatkan stabilitas dinamis. Selama posisi
squat, otot hamstring dan otot quadriceps melakukan kontraksi secara
bersamaan untuk mengontrol hip dan lutut. Pada ekstremitas atas, Closed-
chain Exercise dalam posisi menumpu berat badan menghasilkan ko-aktivasi
pada otot-otot yang menstabilisasi scapula dan glenohumeral, sehingga hal
tersebut berdampak pada peningkatan stabilitas dinamus pada shoulder
complex.
Kesadaran terhadap posisi sendi atau gerakan merupakan salah satu
fondasi penting dalam proses pembelajaran motoris (motor learning) selama
latihan pada fase awal yang berperan sebagai kontrol neuromuscular selama
pergerakan fungsional. Diperkirakan bahwa Closed-chain exercise
menyediakan stimulus proprioseptif dan kinestetik yang lebih besar jika
dibandingkan dengan open-chain exercise. Secara teori, hal tersebut
dikarenakan kontraksi multiple yang dihasilkan selama menumpu berat
badan, menghasilkan lebih banyak reseptor sensoris pada otot, struktur
intraartikular dan ekstraartikular yang terstimulasi untuk mengontrol gerakan.
42
Elemen menumpu berat badan (pembebanan axial) selama proses closed-
kinematic chain exercise menyebabkan aproksimasi pada sendi, hal ini
menstimulasi mekanoreseptor pada otot dan reseptor disekitar sendi untuk
meningkatkan input sensoris dalam proses kontrol gerakan. Closed Kineamtic
Chain Exercise merupakan pilihan utama dalam meningkatkan keseimbangan
dan kontrol postural selama posisi tegak (Kisner & Colby, 2012).
Beberapa indikasi dari Closed Kinematic Chain Exercise antara lain
adalah kondisi-kondisi dimana diinginkan peningkatan stabilitas pada sendi
terkait seperti osteoarthritis grade ringan, kerobekan anterior cruciatum
ligamen (ACL), pos-op meniskus, dan pada fase rehabilitasi lanjut cidera
msukuloskeletal. Sedangkan kontraindikasi pemberian Closed Kinematic
Chain Exercise antara lain pada kondisi-kondisi yang tidak dimungkinkan
adanya pembebanan seperti patologi arthritis yang berat, beberapa kondisi
cidera akut seperti sprain ligamen, kondisi oeteoporosis berat serta
kontraindikasi pada fase awal rehabilitasi pasca fraktur tulang (Kisner &
Colby, 2012)
Tabel 2.3 Karaktersitik Closed Kinematic Chain dengan Open
Kinematic Chain Exercise
Open Kinematic Chain Exercise Closed Kinematic Chain Exercise
Bagian distal segmen dapat bergerak
bebas
Pergerakan sendi secara individual,
tidak ada pergerakan pada sendi
sekitarnya
Bagian distal tetap kontak dengan
permukaan
Gerakan sendi yang saling
berhubungan dengan sendi di sekitar
dan membentuk pola
43
Pergerakan pada segmen tubuh terjadi
pada bagian distal dari sendi terkait
Terjadi aktivasi pada otot, terutama
otot prime mover
Pergerakan pada segmen tubuh
terjadi pada bagian distal dan
proksimal sendi terkait
Terjadi aktivasi pada beberapa grup
otot, baik distal maupun proksimal
dari sendi terkait
Dilakukan dalam posisi tidak
menumpu berat badan
Dilakukan dalam posisi menumpu
berat badan
Tahanan diberikan pada segmen distal
yang bergerak
Tahan diberikan secara multiple pada
segmen yang bergerak
Peggunaan beban eksternal
Stabilisasi eksternal biasanya
diperlukan (secara manual atau
menggunakan peralatan)
Penggunaan beban axial
Stabilisasi internal oleh aktivasi otot,
kompresi sendi, dan kontrol postural
Sumber: Kisner & Colby (2012)
2.4 Ultrasound Terapi
2.4.1 Definisi
Ultrasound terapi merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
menggunakan energi akustik atau gelombang suara untuk menghasilkan efek
fisiologis dalam tubuh baik efek thermal dan non-thermal. Ultrasound
menimbulkan getaran mekanik dengan bentuk gelombang longitudinal jika
kontak dengan jaringan lunak dan membentuk gelombang transversal ketika
kontak dengan jaringan keras seperti tulang yang akan menghasilkan efek
fisiologis dengan menginduksi respon klinis yang signifikan dalam sel,
jaringan dan organ melalui efek thermal dan nonthermal. Ultrasound adalah
44
salah satu modalitas fisioterapi yang dapat menghasilkan efek dengan
penetrasi yang dalam (deep penetration) dan baik digunakan dalam kondisi
akut, sub akut, dan kronis (Draper & Pretince, 2005).
Gambar 2.12. Ultrasound
Sumber: Dokumentasi Pribadi
2.4.2 Fisika Dasar
Ultrasound dibentuk oleh gelombang suara dengan frekuensi tinggi
yang dihasilkan oleh generator piezoelectric yang terdapat pada ujung
transduser. Transduser dibentuk oleh Kristal piezoelectric seperti quartz
dengan ketebalan sekitar 2-3 mm. Kristal piezoelectric ini berfungsi
mengkonversi energi listrik yang didistribusikan menjadi energi akustik
melalui deformasi yang dihasillkan oleh Kristal piezoelectric. Pada
transduser ultrasound, terdapat permukaan yang benar-benar menghasilkan
gelombang suara yang disebut dengan effective radiating area (ERA).
Ultrasound memiliki beberapa jenis transduser dengan ukuran ERA yang
45
berbeda-beda. Besarnya area yang diobati harus lebih besar sekitar 2 hingga
3 kali dibandingkan dengan ukuran ERA (Draper & Pretince, 2005).
Ultrasound terapi memiliki rentangan frekuensi antara 0,75 hingga
3.0 MHz. Dalam ultrasound terapi, frekuensi yang umumnya digunakan
adalah 1 MHz dan 3 MHz. Frekuensi pada ultrasound menentukan dalamnya
penetrasi yang dihasilkan. Penggunaan frekuensi 1 MHz mampu melewati
jaringan superfisial dan utamanya diabsorpsi pada jaringan yang lebih dalam
pada kedalaman 2 hingga 5 cm. Sedangkan pada frekuensi 3 MHz, energi
yang dihasilkan diserap utamanya pada jaringan superfisial sehingga
menghasilkan penetrasi yang lebih dangkal sekitar 1 hingga 3 cm (Draper &
Pretince, 2005).
Ultrasound dapat menghasilkan dua jenis gelombang yaitu
gelombang countinuous dan pulsed. Pada gelombang continuous, gelombang
yang dihasilkan tetap konstan selama pengaplikasian dan energi yang
dihasilkan sebesar 100%. Dengan pulsed ultrasound, intensitas yang
ditransmisikan akan diinterupsi secara periodik sehingga memiliki fase on-
time dan off-time. Dengan penggunaan gelombang pulsed, rata-rata intensitas
yang dihasilkan menjadi berkurang (Draper & Pretince, 2005).
Amplitudo merupakan besarnya gelombang arah dari suatu
gelombang. Amplitudo dideskripsikan sebagai pergerakan partikel dalam
suatu medium. Dalam ultrasound terapi, amplitude digambarkan sebagai
besarnya intensitas yang dihasilkan oleh generator. Intensitas merupakan
power yang dihasilkan per unit area degan satuan W/cm2.
46
2.4.3 Transmisi Gelombang Ultrasound pada Jaringan Biologis
Tidak seperti gelombang elektromagnetik yang dapat
ditransmisikan melalu ruang vacuum, transmisi energi akustik pada
ultrasound bergantung pada pergerakan molekul. Pada ultrasound terdapat
gelombang transversal dang gelombang longitudinal. Pada gelombang
longitudinal, pergerakan molekul terjadi searah dengan arah gelombang yang
ditransmisikan. Pada gelombang longitudinal ini akan terjadi kompresi dan
refraksi pada molekul. Pada gelombang tranversal, pergerakan molekul
terjadi dalam arah yang tergak lurus dengan arah transmisi gelombang.
Gelombang transversal terjadi ketika energi suara melewati jaringan yang
keras (Draper & Pretince,
2005).
Gambar 2.13. Transmisi Gelombang Ultrasound pada jaringan
Sumber: Prentice et al (2002)
Kecepatan energi akustik yang dihasilkan oleh generator ultrasound
bergantung pada densitas dari suaru jaringan. Semakin padat (densitas tinggi)
suatu material jaringan akan memiliki kecepatan transmisi yang lebih tinggi.
Pada frekuensi 1 MHz, energi suara melewati jaringan lunak dengan
47
kecepatan 1540 m/s dan melewati tulang kompak dengan kecepatan 4000 m/s
(Draper & Pretince, 2005).
Ketika gelombang ultrasound berjalan melewati jaringan, maka
terjadi atenuasi atau berkurangnya intensitas energi. Atenuasi ini dapat terjadi
sebagai akibat dari adanya absorpsion, dispersion, dan scattering. Energi
ultrasound akan diserap secara maksimal pada jaringan dengan kadar protein
yang tinggi. Jaringan dengan kadar air yang tinggi memiliki rata-rata absorpsi
yang rendah. Lemak memiliki tingkat absorpsi yang sedikit rendah,
sedangkan otot memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Jaringan saraf perifer
memiliki daya absorpsi 2x lebih tinggi daripada otot, sedangkan tulang
mengabsorpsi energi ultrasound paling banyak.
Energi akustik berjalan melewati udara akan sepenuhnya
dipantulkan. Energi ultrasound berjalan melewati jaringan lemak, akan terjadi
pantulan dan pembiasan pada interface jaringan otot. Pada interface antara
jaringan tulang dan otot, energi akustik ultrasound sepenuhnya dipantulkan
(Draper & Pretince, 2005).
2.4.4 Efek Fisiologis Ultrasound
Gelombang ultrasound dapat menginduksi respon pada sel,
jaringan, dan organ melalui efek thermal dan efek non-thermal secara
signifikan. Jaringan yang mengalami kerusakan memiliki respon yang lebih
tinggi terhadap energi ultrasound dibandingkan dengan jaringan yang normal.
Efek Thermal pada penggunaan ultrasound adalah untuk
meningkatkan temperatur jaringan. Dari peningkatan temperatur jaringan
48
tersebut akan menghasilkan pemanjangan serat kolagen pada tendon dan
kapsul sendi, penurunan kekakuan sendi, pengurangan spasme otot, modulasi
nyeri, peningkatan aliran darah, dan respon inflamasi ringan yang dapat
membantu dalam resolusi peradangan kronis. Peningkatan suhu 10C
membantu meningkatkan metabolisme dan proses penyembuhan,
peningkatan suhu 20-30C mengurangi nyeri dan spasme otot, dan peningkatan
40C meningkatkan ekstensibilitas kolagen dan mengurangi kekakuan sendi
(Draper & Pretince, 2005).
Melalui efek nonthermal penggunaan ultrasound dapat
menghasilkan kavitasi dan microstreaming pada pergerakan molekul. Hal
tersebut merangsang pelepasan histamin dari mast cells yang meningkatkan
transport ion kalsium melintasi membran sel sehingga merangsang pelepasan
histamin. Histamin menarik polimorfonuklear leukosit, bersama dengan
monosit yang fungsi utamanya adalah untuk melepaskan agen chemotactic
dan faktor pertumbuhan yang merangsang fibroblast dan sel endotel untuk
membentuk kolagen, vascularized digunakan untuk pengembangan jaringan
ikat baru yang sangat penting untuk perbaikan yang cepat. Dengan demikian
pemakaian ultrasound dengan efek non-thermal dapat efektif dalam
memfasilitasi proses penyembuhan terutama pada kondisi kerusakan jaringan
akut (Draper & Pretince, 2005).
2.4.5 Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi pemberian ultrasound dibedakan berdasarkan efek yang
diinginkan. Indikasi untuk pemberian continuous ultrasound adalah ketika
49
efek utama yang diinginkan adalah peningkatan temperatur jaringan seperti
pada beberapa kondisi seperti adanya jaringan parut, kontraktur sendi,
inflamasi kronis, spasme otot, nyeri, meningkatkan ekstensibilitas kolagen,
regenerasi jaringan, tendonitis kronis, epicondylitis, phantom pain, dan lain-
lain Sedangkan pada pulsed ultrasound baik dipakai pada kondisi cidera akut,
inflamasi akut dan sub akut, dan aktualitas nyeri yang tinggi (Allen, 2006).
Kontraindikasi pemberian ultrasound adalah paparan langsung
kepada daerah malignan, pada kehamilan, adanya implan plastik, daerah yang
mengalami hemmorhagic, daerah yang mengalami ischemic, daerah yang
mengalami infeksi, adanya pace-maker, pada daerah ephyphysial plate,
thrombotic, pada daerah mata, gonad, dan medulla spinalis pasca
laminectomy, dan total joint replacement. (Cameron, 2003, Allen, 2006)
2.5 Kemampuan Fungsional pada Osteoarthritis Genu
Kemampuan fungsional didefinisiikan sebagai kemampuan
seseorang untuk melakukan tugas spesifik berkaitan dengan aktivitas sehari-
hari. Fungsional diartikan sebagai aktivitas yang memiliki tujuan dan fungsi
tertentu sesuai konteks dengan aktivitas yang produktif. Beberapa aktivitas
fungsional dalam kaitannya dengan aktivitas sehari-hari diantaranya adalah
aktivitas makan, minum, mandi, bermain, perawatan diri, ambulasi,
berinteraksi sosial dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dalam memenuhi aktivitas
tersebut, seseorang memerlukan fungsi fisik yang cukup baik untuk mencapai
tugas-tugas tersebut dengan baik. Fungsi fisik tersebut yang dikatakan sebagai
kemampuan fungsional, yang dimana nantinya, kemampuan fungsional
50
tersebut digunakan untuk menuntaskan tugas-tugas spesifik yang berkaitan
dengan aktfitas kehidupan sehari-hari.
Hilangnya kemampuan fisik yang diakibatkan oleh adanya
gangguan (impairment), keterbatasan fungsi (functional limitation), dan
disabilitas berdampak pada terbatasnya kemampuan fungsional seseorang
yang pada akhirnya menyebabkan terganggunya proses pemenuhan aktivitas
sehari-hari. Pada Osteoarthritis Genu, proses-proses patologis yang terjadi
tentunya menyebabkan terhambatnya fungsi fisiologis dalam sistem
muskuloskeletal pada region tersebut. Manifestasi klinis yang dihasilkan
seperti nyeri, keterbatasan ROM, kelemahan otot, akan mengganggu
kemampuan fungsional seseorang dalam beberapa aktivitas, terutama
aktivitas fungsional yang menggunakan pembebanan pada tubuh seperti
berdiri, jongkok, duduk ke berdiri, dan berjalan, naik turun tangga (Susilawati
et al., 2015)
Pada Osteoarthritis, banyak faktor yang mempengaruhi
terganggunya kemampuan fungsional seseorang dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari, yang dimana faktor-faktor ini saling berkaitan satu sama lain.
Kemampuan fungsional pada Osteoarthritis Genu tidak mampu ditentukan
hanya dengan mengukur kualitas dan kuantitas nyeri yang dirasakan.
Beberapa pasien Osteoarthritis Genu tidak mengalami nyeri, namun mereka
tidak mampu bergerak bebas karena masih terasa adanya stiffness pada regio
terkait. Begitu pula beberapa pasien tidak merasakan adanya kekakuan pada
sendi, namun melaporkan bahwa nyeri yang sangat mengganggu aktivitasnya.
51
Maka dari itu, pada Osteoarhtritis, beberapa faktor yang mempengaruhi
kemampuan fungsional sendi yaitu adanya nyeri, kekakuan, dan kesulitan
dalam melakukan aktivitas fungsional dasar (Susilawati et al., 2015).
2.5.1 Efek Nyeri terhadap Penurunan Kemampuan Fungsional
Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri
adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat
terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi
terjadinya kerusakan pada jaringan. Perubahan fungsi pada nyeri memicu
respon protektif dengan maksud untuk menjaga agar kerusakan jaringan tetap
menimal (Borda et al., 2013). Kapasitas pengalaman nyeri memiliki fungsi
protektif. Jika kerusakan jaringan tidak dapat dihindarkan, akan terjadi
perubahan bertahap pada sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat yang
bertanggung jawab terhadap persepi nyeri.
Banyak teori yang menjelaskan mekanisme nyeri yang terjadi dan
bagaimana nyeri tersebut dirasakan. Menurut American Pain Society (2010),
mekanisme nyeri diawali oleh adanya stimulus noxious pada reseptor sensorik
yang kemudian dilanjutkan melalui empat tahap yaitu: transduksi, transmisi,
persepsi, dan modulasi. Transduksi adalah suatu proses dimana terjadi
konversi daripada energi panas, mekanis, atau kimia menjadi sebuah energi
listrik yang dilakukan oleh reseptor sensoris yang bernama nociceptor.
Transmisi merupakan mekanisme penghantaran energi listrik yang diterima
oleh nociceptor menuju ke medulla spinalis dan otak. Persepsi merupakan
pemaparan atau penggambaran sinyal listrik tersebut menjadi sebuah
52
pengalaman sensoris. Modulasi merupakan suatu mekanisme inhibisi yang
mempengaruhi transimsi nyeri di level spinal cord (American Pain Society,
2010).
Pada Osteoarthritis Genu, nyeri terjadi sebagai akibat adanya
kontak antara kedua permukaan tulang. Pada sendi yang normal, kedua
permukaan tulang pembentuk sendi ditutupi oleh jaringan kartilago yang
tidak memiliki persarafan sensoris di dalamnya, sehingga kontak pada kedua
permukaan kartilago ini tidak menghasilkan input sensoris (Dziedzic &
Hammond, 2010). Namun pada sendi yang mengalami Osteoarthritis,
degenerasi kartilago dan subchondral sclerosis menyebabkan terjadinya
kontak antara kedua permukaan tulang yang dimana tulang memiliki
persarafan sensoris dan free nerve ending yang berfungsi sebagai nociceptor
(Shamley & Louis, 2005, Dziedzic & Hammond, 2010). Pembentukan tulang
(osteophyte) juga memiliki peran terhadap timbulnya nyeri pada kondisi
Osteoarthritis (Goodman & Fuller, 2009).
1.5.2 Efek Joint Stiffness terhadap Penurunan Kemampuan
Fngsional
Kekakuan (stiffness) didefinisikan sebagai kemampuan suatu objek
untuk bertahan pada keadaan awalnya (statik) ketika menerima paparan gaya
eksternal. Kekakuan sendi dapat terjadi sebagai akibat dari tidak terpaparnya
suatu objek dalam jangka waktu yang cukup lama, atau dapat terjadi akibat
abnormalitas paparan terhadap suatu objek yang di luar lingkup gerak yang
seharusnya (Latash & Zatsiorsky, 1993).
53
Kekakuan merupakan salah satu keluhan pada OA yang
menyebabkan terbatasnya kemampuan fungsional individu dalam melakukan
beberapa tugas spesifik. Kekakuan pada OA umumnya terjadi pada pagi hari
yang dikatakan sebagai morning stiffness, serta terjadi ketika berada dalam
keadaan statis dalam jangka waktu yang cukup lama. Gejala kekakuan sendi
pada pasien osteoarthritis genu dirasakan di dalam dan di sekitar sendi yang
terkait. Kekakuan sendi pada osteoarthritis sering dijabarkan sebagai
kekakuan jangka pendek (short-lived stiffness) yang biasanya berlangsung
kurang dari 30 menit. Kekakuan yang dirasakan lebih dari 30 menit
merupakan sebuah indicator terjadinya penyakit inflamasi sendi seperi
rheumatoid arthritis (Dziedzic & Hammond, 2010).
1.5.3 Efek Kelemahan Otot dan Instabilitas dalam Penurunan
Kemampuan Fungsional
Seseorang dengan osteoarthritis pada lutut ditemukan mengalami
kelemahan kelemahan otot pada otot quadriceps, dengan defisit kekuatan
sekitar 20% - 45% jika dibandingkan dengan kekuatan otot pada orang
normal. Kelemahan otot quadriceps yang persisten merupakan kondisi klinis
yang sangat penting pada pasien osteoarthritis genu karena mempengaruhi
gangguan stabilitas pada lutut dan kemampuan fungsional penderita (Rice et
al, 2011). Selebihnya, otot quadriceps memilki fungsi protektif pada
persendian lutut dimana otot quadriceps bekerja secara eksentrik selama fase
awal menapak (stance phase) dan berperan untuk memperlambat (deselerasi)
54
pergerakan tungkai saat menuju fase heel strike dengan tujuan untuk
menurunkan gaya impulsif menuju lutut (Brandt et al, 2008).
Kelemahan pada otot quadriceps diasosiasikan dengan
meningkatnya rata-rata pembebanan pada sendi lutut (Rice et al, 2011).
Beberapa data menunjukkan bahwa semakin besar gaya tension yang
dihasilkan otot quadriceps akan melindungi lutut dari beberapa insiden nyeri,
kehilangan kartilago, serta penyempitan ruang sendi tibiofemoral (Segal et
al., 2010). Stabilitas pada sendi lutut memerlukan gaya internal dalam
magnitude yang untuk melawan gaya eksternal yang dialami oleh lutut. Otot
quadriceps dinyatakan mampu meredam gaya pada lutut dan menyediakan
stabilitas dinamis. Kelemahan otot quadriceps dapat merubah stress kontak
pada kartilago artikular yang diasosiasikan dengan insiden nyeri lutut dan
dapat berkontribusi terhadap kejadian osteoarthritis genu (Segal et al., 2010).
Kelemahan otot, nyeri, dan gagguan fungsional membentuk sebuah
siklus pada pasien dengan osteoarthritis genu. Dalam siklus tersebut,
dinyatakan bahwa kelemahan otot menghasilkan pembebanan yang abnormal
pada sendi lutut dan dikaitkan dengan instabilitas, dimana pembebanan yang
abnormal pada lutut tentunya memicu nyeri di sekitar persendian. Nyeri yang
dialami pasien kemudian membatasi aktivitas fungsional pasien yang
kemudian akan memperberat kelemahan otot yang dialami pasien. Siklus
tersebut terus berputar dan mempengaruhi progresifitas penyakit tersebut
(Iwamoto et al., 2011).
55
1.5.4 Indeks Pengukuran Fungsional Osteoarthritis Genu
WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities
Osteoarhtritis Index) adalah indeks yang digunakan untuk menilai keadaan
pasien dengan osteoarthritis pada lutut (Choundhary & Kishor, 2013). Total
24 parameter yang terdiri dari nyeri, kekakuan (stiffness), fungsi fisik dan
sosial dievaluasi menggunakan WOMAC. WOMAC juga dapat digunakan
untuk memantau perkembangan penyakit atau untuk menentukan efektivitas
obat anti-rematik (Susilawati et al, 2015). Semakin tinggi nilai yang diperoleh
menunjukkan besarnya keterbatasan fungsional pasien sedangkan nilai yang
rendah menunjukkan perbaikan kemampuan fungsional. Parameter WOMAC
antara lain:
1. Nyeri
a. Berjalan kaki
b. Menaiki anak tangga
c. Aktivitas pada malam hari
d. Istirahat
e. Menumpu
2. Kekakuan
a. Kekakuan pagi hari (morning stiffness)
b. Kekakuan sepanjang hari
3. Fungsi Fisik
a. Kesulitan turun tangga
b. Kesulitan naik tangga
56
c. Kesulitan dari posisi duduk ke berdiri
d. Kesulitan berdiri
e. Kesulitan duduk di lantai
f. Kesulitan berjalan pada permukaan datar
g. Kesulitan masuk dan keluar dari kendaraan
h. Kesulitan berbelanja
i. Kesulitan memakai kaos kaki
j. Kesulitan berbaring di tempat tidur
k. Kesulitan melepaskan kaus kaki
l. Kesulitan bangun dari tempat tidur
m. Kesulitan masuk dan keluar kamar mandi
n. Kesulitan masuk dan keluar toilet
o. Kesulitan duduk
p. Kesulitan melakukan tugas-tugas berat
q. Kesulitan melakukan tugas-tugas ringan
2.3.3.1 Penilaian dan Interpretasi Indeks WOMAC
1. Penilaian
Tabel 2.4 Kriteria Penilaian Indeks WOMAC
Skor Keterangan
0 Tidak
1 Ringan
2 Sedang
3 Parah
4 Sangat Parah
57
2. Interpretasi
Tabel 2.5 Intepretasi Nilai Indeks WOMAC
Jenis Pemeriksaan Total Skor Keterangan
Sakit 0 Minimum
20 Maksimum
Kekakuan 0 Minimum
8 Maksimum
Fungsi Fisik 0 Minimum
68 Maksimum
Total 96 Maksimum Skor
Keterangan Hasil skor WOMAC:
Minimum skor total: 0
Maksimum skor total: 96