BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 ... II.pdfmenggunakan satu indikator yang...
-
Upload
phungxuyen -
Category
Documents
-
view
220 -
download
0
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 ... II.pdfmenggunakan satu indikator yang...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Theory of Planned Behavior
Menurut Feld & Frey (2002) dalam Octania Amriani,dkk (2014) penelitian
mengenai kepatuhan pajak, dapat dilihat dari sisi psikologi wajib
pajak.Pendekatan melalui aspek psikologi dilakukan mengingat dalam suatu
negara yang menganut demokrasi, hubungan antara pembayar pajak dengan
otoritas pajak dapat dilihat sebagai suatu kontrak psikologi.Suatu kontrak
psikologi menuntut adanya hubungan yang setara antara pembayar pajak
tergantung dari seberapa besar kedua belah pihak saling memercayai dan
mematuhi atau memenuhi komitmen dalam kontrak psikologi (Hidayat, 2010)
Kajian dalam bidang psikologi mengenai faktor yang mempengaruhi
perilaku kepatuhan pajak, salah satunya adalah melalui Theory of Planned
Behavior (TPB) (Ajzen, 1991) dalam (Hidayat, 2010). Berdasarkan model TPB,
menurut Ajzen (1991), dapat dijelaskan bahwa perilaku individu untuk patuh
terhadap ketentuan perpajakan ditentukan oleh niat (intention). Niat untuk
berperilaku dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1) Behavioral belief
Keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku (outcome belief) dan
evaluasi terhadap hasil dari keyakinan tersebut. Keyakinan dan evaluasi
terhadap hasil ini akan membentuk variabel sikap (attitude).
2) Normatif belief
Keyakinan individu tentang harapan normatif orang lain yang menjadi
rujukannya, seperti keluarga, teman, dan konsultan pajak serta motivasi
untuk mencapai harapan tersebut. Harapan normatif ini membentuk
veriabel norma subjektif (subjective norm).
3) Control belief
Keyakinan individu tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau
menghambat perilakunya dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal
tersebut mempengaruhi perilakunya.Control belief membentuk variabel
kontrol perilaku yang dipersepsikan (perceived behavioral control).
Menurut Ajzen (1991) sikap yang mendorong perilaku (attitude toward
behavior) merupakan derajat dimana seseorang memiliki evaluasi atau penilaian
positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan. Respon positif atau
negatif itu adalah hasil proses evaluasi (outcome evaluation) terhadap keyakinan
(behavioral belief strength) individu yang mendorong perilaku.
Pengertian norma subjektif(subjective norm) adalah persepsi tekanan
sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan perilaku tertentu. Norma
subjektifmerupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan (injunctive normative
beliefs) individu dimana satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara,
teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu (motivation
to comply) tersebut untuk mematuhi mereka (Ajzen, 1991).Penelitian ini
menggunakan satu indikator yang digunakan sebagai motivasi wajib pajak untuk
berperilaku patuh yaitu pengaruh kualitas pelayanan.
Pengertian kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control)
Ajzen (1991) mendefinisikan sebagai persepsi kemudahan atau kesulitan untuk
melakukan perilaku.Semakin besar (power of control) semakin besar pula niat
seseorang untuk melakukan perilaku yang sedang dipertimbangkan.Indikator yang
digunakan sebagai kontrol pada penelitian ini adalah sanksi perpajakan.Sanksi
pajak dibuat adalah untuk mendukung agar wajib pajak mematuhi peraturan
perpajakan. Kepatuhan wajib pajak akan ditentukan berdasarkan persepsi wajib
pajak tentang seberapa kuat sanksi pajak mampu mendukung perilaku wajib pajak
untuk taat pajak.
Behavioral beliefs, normative beliefs, dan control beliefs sebagai tiga
faktor yang menentukan seseorang untuk berperilaku. Setelah terdapat tiga faktor
tersebut, maka seseorang akan memasuki tahap intention, kemudian tahap terakhir
adalah behavior. Tahap intention merupakan tahap dimana seseorang memiliki
maksud atau niat untuk berperilaku, sedangkan behavior adalah tahap seseorang
berperilaku (Mustikasari, 2007).
2.1.2 Technology Acceptance Model (TAM)
Technology Acceptance Model (TAM) adalah suatu model untuk
memprediksi dan menjelaskan bagaimana pengguna teknologi menerima dan
menggunakan teknologi tersebut dalam pekerjaan individual pengguna. Tujuan
dari Technology Acceptance Model (TAM) ini adalah untuk menjelaskan sikap
individu terhadap penggunaan suatu teknologi.Sikap individu atau reaksi yang
muncul dari penerimaan teknologi tersebut dapat bermacam-macam diantaranya
dapat digambarkan dengan intensitas atau tingkat penggunaan teknologi tersebut.
Menurut Pratama (2008) dalam Gita (2010), penerimaan pengguna atau
pemakai teknologi informasi menjadi bagian dari riset dari penggunaan teknologi
informasi, sebab sebelum digunakan dan diketahui kesuksesannya, terlebih dahulu
dipastikan tentang penerimaan atau penolakan atas penggunaan teknologi
informasi tersebut.Penerimaan pengguna teknologi informasi merupakan faktor
penting dalam penggunaan dan pemanfaatan sistem informasi yang
dikembangkan.Penerimaan pengguna teknologi informasi sangat erat kaitannya
dengan variasi permasalahan pengguna dan potensi imbalan yang diterima jika
teknologi informasi diaplikasikan dalam aktivitas pengguna kaitannya dengan
aktivitas perpajakan (Pratama, 2008).
Pengguna yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang
Pribadi dan teknologi informasi yang dimaksud adalah e-Filing.Pengertian yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana penggunaan e-Filing dapat
mempengaruhi kepatuhan pelaporan Wajib Pajak Orang Pribadi.
Model Technology Acceptance Model (TAM) awalnya dikenalkan oleh
Davis (1989) yang dikembangkan dari Theory Resoned Action (TRA) dan
TheoryPlanned Behaviour (TPB). Hasil penelitian Davis menunjukkan bahwa
faktor yang mempengaruhi minat penggunaan sistem informasi dipengaruhi oleh
persepsi kebermanfaatan (perceived usefulness) dan persepsi kemudahan
penggunaan (perceived ease of use).
Persepsi kebermanfaatan menjadi penentu suatu sistem dapat diterima atau
tidak. Wajib pajak yang beranggapan bahwa e-Filing akan bermanfaat bagi
mereka dalam melaporkan SPT menyebabkan mereka tertarik menggunakannya.
Semakin besar ketertarikan mereka menggunakannya, maka semakin besar juga
intensitas pengguna dalam menggunakan sistem informasi tersebut. Begitu juga
sebaliknya yang akan terjadi jika wajib pajak menganggap e-Filing tidak
bermanfaat untuknya dalam hal melaporkan SPT, maka yang akan terjadi adalah
wajib pajak menjadi tidak mau menggunakan e-Filing. Hal ini berakibat pada
turunnya intensitas penggunaan e-Filing oleh pengguna.
Persepsi kemudahan penggunaan juga menjadi penentu suatu sistem dapat
diterima atau tidak. Wajib pajak yang beranggapan bahwa e-Filing itu mudah
digunakan akan mendorong mereka untuk terus menggunakan sistem tersebut.
Kemudahan yang diberikan oleh e-Filing akan menyebabkan wajib pajak senang
dalam menggunakannya dan akan mengesampingkan kekurangan yang ada dalam
e-Filing. Begitu juga sebaliknya, jika wajib pajak telah merasakan
ketidakmudahan pada e-Filing, maka yang akan terjadi adalah wajib pajak
menjadi tidak takut dan tidak bersemangat dalam menggunakannya. Persepsi yang
seperti ini akan mengurangi minat wajib pajak dalam menggunakan e-Filing.
Kepuasan pengguna juga menjadi penentu suatu sistem dapat diterima atau
tidak. Kepuasan yang dirasakan oleh wajib pajak setelah menggunakan e-
Filingakan menyebabkan wajib pajak tertarik menggunakan kembali sistem
tersebut. Begitu juga sebaliknya, jika wajib pajak merasa dikecewakan setelah
menggunakan e-Filing maka yang akan terjadi adalah wajib pajak menjadi malas
menggunakan e-Filing lagi.
2.1.3 Pengertian Pajak
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan pada Pasal 1 ayat 1 berbunyi pajak adalah kontribusi wajib kepada
negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Soemitro dalam Resmi (2007:1), pajak adalah iuran rakyat
kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan
tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat
digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pengertian Pajak tersebut adalah
salah satu dari berbagai asumsi yang dikemukakan oleh para ahli, walaupun
definisi yang diutarakan berbeda-beda, namun masing-masing memiliki tujuan
yang sama. Seperti yang dijabarkan oleh Andriani (2000) “Pajak adalah iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak, yang
pembayarannya menurut peraturan-peraturan tidak dapat prestasi kembali yang
langsung dapat di tunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk meyelenggarakan
pemerintahan”.
2.1.4 Pengertian Wajib Pajak
Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran
pajak, pemotongan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan (Rosdiana dan
Irianto, 2011).Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan
kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak atau pemotong pajak
tertentu.Wajib pajak bisa berupa wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak
badan.Wajib pajak pribadi adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan
diatas pendapatan tidak kena pajak (Rahman, 2010).
Dalam KUP, ketentuan mengenai kewajiban mendaftarkan diri untuk
wajib pajak orang pribadi (WP OP) dibedakan perlakuannya (tax treatment)
antara wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan wajib
pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas. Wajib
pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak
badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) paling lama satu bulan setelah saat usaha mulai dijalankan (Rosdiana dan
Irianto, 2011).Yang dimaksud dengan saat usaha mulai dijalankan adalah saat
yang terjadi lebih dulu antara saat pendirian dan saat usaha nyata-nyata mulai
dilakukan.
2.1.5 Kualitas Pelayanan
Pelayanan pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak untuk membantu
wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.Pelayanan pajak termasuk dalam
pelayanan publik karena:
1. Dijalankan oleh instansi pemerintah
2. Bertujuan utuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dalam
rangka pelaksanaan undang-undang.
3. Tidak berorientasi pada profit atau laba
Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat memberikan
kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan
yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus.
Melalui Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE-84/PJ/2011
tentang Pelayanan Prima ditegaskan beberapa ketentuan dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan petugas pajak kepada Wajib
Pajak yaitu sebagai berikut, yaitu:
1. Waktu pelayanan adalah pukul 08.00 sampai dengan 16.00 waktu
setempat
2. Pegawai yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak harus menjaga
sopan santun dan perilaku, ramah, tanggap, cermat dan cepat serta tidak
mempersulit layanan, dengan cara:
a. Bersikap hormat dan rendah hati terhadap tamu.
b. Petugas selalu berpakaian rapi dan bersepatu.
c. Selalu bersikap ramah, memberikan 3S (Senyum, Sapa dan Salam).
d. Mengenakan kartu identitas pegawai.
e. Mendengarkan dengan baik apa yang diutarakan oleh Wajib Pajak,
tidak melakukan aktivitas lain misalnya menjawab panggilan
telepon, makan dan minum atau mendengarkan musik saat
memberi pelayanan.
f. Apabila masih terdapat layanan yang perlu dilakukan konfirmasi
sehingga Wajib Pajak tidak menunggu terlalu lama, petugas dapat
meminta nomor telepon Wajib Pajak untuk dihubungi kembali.
g. Tidak mengobrol atau bercanda berlebihan sesama petugas.
h. Menata waktu konsultasi dengan efektif dan efisien.
i. Menyerahkan dokumen atau tanda terima kepada Wajib Pajak
dengan sopan.
3. Dalam merespon permasalahan dan memberikan informasi kepada Wajib
Pajak, seharusnya:
a. Petugas memberikan informasi/penjelasan secara lengkap dan jelas
sehingga Wajib Pajak dapat mengerti dengan baik.
b. Untuk lebih menyakinkan Wajib Pajak, petugas dapat
menggunakan brosur/buku petunjuk teknis pelayanan
c. Apabila petugas belum yakin terhadap permasalahan yang
ditanganinya, segera diinformasikan ke petugas lain, supervisor
atau atasan yang bersangkutan dan memberitahukan permasalahan
yang disampaikan Wajib Pajak agar Wajib Pajak tidak ditanyai
berkali-kali.
4. Setiap tamu yang datang,harus ada petugas keamanan yang menyambut,
menanyakan keperluan dan mempersilahkan tamu dengan sopan untuk
mengambil nomor antrian.
5. Akan lebih baik bila petugas dapat menjelaskan berapa lama Wajib Pajak
harus menunggu.
6. Apabila terjadi aliran listrik padam atau sistem sedang rusak atau
terganggu yang mengakibatkan petugas tidak dapat melayani dengan,
sehingga Wajib Pajak menjadi tidak sabar/marah, maka yang harus
diperhatikan adalah:
a. Petugas meminta maaf atas situasi tersebut.
b. Memberikan informasi bahwa listrik padam atau sistem sedang
rusak.
c. Menanyakan kesediaan Wajib Pajak untuk menunggu.
d. Menanyakan nomor telepon yang bisa dihubungi apabila Wajib
Pajak memilih untuk meninggalkan KPP untuk sementara waktu.
e. Memberitahu Wajib Pajak saat suasana sudah kembali normal dan
proses sudah selesai.
f. Jika memungkinkan, agar disediakan minuman ringan kepada
Wajib Pajak yang sedang menunggu.
7. Bila petugas terpaksa tidak dapat menerima laporan atau surat yang
disampaikan oleh Wajib Pajak misalnya karena kurang lengkap, maka
petugas harus menjelaskannya secara jelas dan ramah sampai Wajib Pajak
memahami dengan baik.
Menurut Zeithaml (1990) terdapat 5 dimensi kualitas pelayanan jasa yang
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Tangibles, atau bukti fisik yaitu kemampuan suatu perusahaan dalam
menunjukkan eksistensinya pada pihak eksternal. Penampilan dan
kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan
lingkungan sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan
oleh pemberi jasa.
2. Reliability, atau keandalan yaitu kemampan perusahaan untuk memberikan
pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan terpercaya. Harus
sesuai dengan harapan pelanggan berarti kinerja yang tepat waktu,
pelayanan tanpa kesalahan, sikap simpatik dan akurasi tinggi.
3. Responsiveness, atau ketanggapan yaitu suatu kemauan untuk membantu
dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat kepada
pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas.
4. Assurance, atau jaminan dan kepastian yaitu pengetahuan, kesopan
santunan, dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan
rasa percaya pelanggan kepada perusahaan. Terdiri dari komponen:
komunikasi (communication), kredibilitas (cedibility), keamanan
(security), kompetensi (competence), dan sopan santun (courtesy).
5. Empathy, yaitu memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual
atau pribadi yang diberikan kepada pelanggan dengan berupaya
memahami keinginan konsumen dimana suatu perusahaan diharapkan
memiliki suatu pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami
kebutuhan pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian
yang nyaman bagi pelanggan.
2.1.6 Sanksi Perpajakan
Terdapat undang-undang yang mengatur tentang ketentuan umum dan tata
cara perpajakan.Sanksi adalah suatu tindakan berupa hukuman yang diberikan
kepada orang yang melanggar peraturan.Sanksi diperlukan agar peraturan atau
undang-undang tidak dilanggar.Agar peraturan perpajakan dipatuhi, maka harus
adasanksi perpajakan bagi para pelanggarnya.
Definisi sanksi pajak menurut Mardiasmo (2011:59) adalah sebagai
berikut: “Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan
alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.”
Dengan diberikannya sanksi terhadap wajib pajak yang lalai maka wajib
pajak pun akan berfikir dua kali jika dia akan melakukan tindak kecurangan atau
dengan sengaja lalai dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, sehingga wajib
pajak juga akan lebih memilih patuh dalam hal pemenuhan kewajiban
perpajakannya daripada dia harus menanggung sanksi yang diberikan. Hal serupa
juga dikemukakan oleh M.Zain (2007:35) yaitu: ”Sesungguhnya tidak diperlukan
suatu tindakan apapun, apabila dengan rasa takut dan ancamam hukuman (sanksi
dan pidana) saja wajib pajak sudah akan mematuhi kewajiban perpajakannya.
Perasaan takut tersebut merupakan alat pencegah yang ampuh untuk mengurangi
penyelundupan pajak atau kelalaian pajak.Jika hal ini sudah berkembang
dikalangan para wajib pajak maka akan berdampak pada kepatuhan dan kesadaran
untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.”
Dalam Mardiasmo (2011:59) undang-undang perpajakan dikenal ada dua
macam sanksi, yaitu sanksi pidana dan sanksi administrasi. Sanksi pidana
merupakaan siksaan atau penderitaan, merupakan suatu alat terakhir atau benteng
hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi. Sedangkan sanksi
administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khsususnya yang
berupa bunga dan kenaikan.
Pandangan tentang sanksi perpajakan tersebut diukur dengan indikator
(Restu, 2014) sebagai berikut:
a. Sanksi pajak sangat diperlukan agar tercipta kedisiplinan Wajib Pajak
dalam memenuhi kewajiban perpajakan
b. Pengenaan sanksi harus dilaksanakan dengan tegas kepada semua Wajib
pajak yang melakukan pelanggaran
c. Sanksi yang diberikan kepada Wajib Pajak harus sesuai dengan besar
kecilnya pelanggaran yang sudah dilakukan
d. Penerapan sanksi pajak harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
2.1.7 Biaya Kepatuhan Pajak
Compliance cost adalah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak
dalam rangka melakukan pemenuhan kewajiban pajak. Besarnya biaya-biaya yang
harus dikeluarkan Wajib Pajak dalam menyelenggarakan kewajiban
perpajakannya, turut menentukan tingkat kepatuhan perpajakan.
Menurut Sandford (1994)dalam Prasetyo (2008) membagi Biaya
Kepatuhan Pajak dalam tiga jenis biaya, yakni direct money cost, time cost,
danpsychological cost. Berikut ini adalah penjelasan mengenai direct money cost,
time cost, dan psychological cost menurut Sandford (1994), dan pemikir lain yang
mempunyai kaitan atau kesamaan terhadap ketiga jenis biaya tersebut.
a. Direct Money Cost
Menurut Sandford (1994), direct money cost adalah biaya-biaya
cash money (uang tunai) yang dikeluarkan wajib pajak dalam rangka
pemenuhan kewajiban pajak, seperti pembayaran kepada konsultan pajak
dan biaya perjalanan ke bank untuk melakukan penyetoran pajak. Biaya-
biaya berupa actual cash outlay yang dikeluarkan oleh wajib pajak dalam
pemenuhan kewajiban pajak ini, yang oleh Sandford (1994)
dikelompokkan dalam direct money cost, timbul sebagai implikasi dari
adanya sistem pemungutan pajak self assessment. Dengan kata lain, biaya
kepatuhan pajak merupakan implikasi inheren dari sistem pemungutan
pajak self assessment.
b. Time Cost
Menurut Sandford (1994), time cost adalah waktu yang terpakai
oleh wajib pajak dalam melakukan pemenuhan kewajiban pajak, antara
lain waktu yang digunakan untuk membaca formulir surat pemberitahuan
pajak (SPT) dan buku petunjuknya, waktu yang digunakan untuk
berkonsultasi dengan akuntan atau konsultan pajak dalam mengisi SPT,
dan waktu yang digunakan untuk pergi dan pulang ke kantor pajak.
c. Psychological Cost
Guyton et al.(2003)menjelaskan bahwa biaya psikologis meliputi
ketidakpuasan, rasa frustasi, serta keresahan wajib pajak dalam
berinteraksi dengan sistem dan otoritas pajak.Pendapat senada
disampaikan oleh Sandford (1994) yang mengatakan bahwa psychological
cost adalah rasa stress dan berbagai rasa takut atau cemas karena
melakukan tax evasion. Terkait dengan pendapat Guytonet al.dan
Sandford tersebut, penelitimenggunakan batasan psychological cost
sebagai biaya psikologis yang meliputi rasa frustasi, cemas atau stress
ketika wajib pajak berinteraksi dengan otoritas pajak atau menghadapi
masalah yang ditimbulkan oleh sistem perpajakan atau peraturan
perpajakan.
Biaya Kepatuhan Pajak merupakan biaya-biaya yang ditanggung
oleh wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak. Karena wajib
pajak sudah berusaha patuh untuk membayar pajak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka
wajib pajak berharap agar biaya transaksi atau biaya-biaya yang terkait
dengan pemenuhan kewajiban pajak adalah minimal, meliputi biaya riil
(yakni, direct money cost) maupun biaya semu (antara lain, time cost dan
psychological cost). Namun, apabila jumlah Biaya Kepatuhan Pajak lebih
besar daripada ekspektasi wajib pajak, maka timbul potensi dalam diri
wajib pajak untuk menjadi tidak patuh dalam melakukan pemenuhan
kewajiban pajaknya.Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi biaya kepatuhan pajak, semakin rendah kepatuhan pajak.
2.1.8 Penerapan e-Filing
E-Filingadalah sebuah layanan pengiriman atau penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) secara elektronik baik untuk Orang Pribadi maupun Badan
(perusahaan, organisasi) ke Direktorat Jendral Pajak melalui sebuah ASP
(Application Service Provider atau Penyedia Jasa Aplikasi) dengan memanfaatkan
jalur komunikasi internet secara online real time, sehingga Wajib Pajak (WP)
tidak perlu lagi melakukan pencetakan semua formulir laporan dan menunggu
tanda terima secara manual. Online berarti bahwa Wajib Pajak dapat melaporkan
pajak melalui internet dimana saja dan kapan saja, sedangkan kata realtime berarti
bahwa konfirmasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat diperoleh saat itu
juga apabila data-data Surat Pemberitahuan (SPT) yang diisi dengan lengkap dan
benar telah sampai dikirim secara elektronik.
E-Filingini sengaja dibuat agar tidak ada persinggungan Wajib Pajak
dengan aparat pajak dan kontrol Wajib Pajak bisa tinggi karena merekam sendiri
SPT nya.E-Filingini bertujuan mencapai transparansi dan bisa menghilangkan
praktek-praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).Direktorat Jenderal Pajak
telah mengeluarkan peraturan terbaru mengenai e-Filingini yaitu Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-03/PJ/2015 tentang Penyampaian Surat
Pemberitahuan Elektronik.
Wajib Pajak tidak perlu lagi datang ke Kantor Pelayanan Pajak jika sudah
menggunakan fasilitas e-Filingsehingga penyampaian SPT menjadi lebih
mudahdan cepat. Hal ini karena pengiriman data SPT dapat dilakukan di mana
saja dan kapan saja serta dikirim langsung ke database Direktorat Jenderal Pajak
dengan fasilitas internet yang disalurkan melalui satu atau beberapa perusahaan
Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak. E-
Filing mempermudah penyampaian SPT dan memberi keyakinan kepada Wajib
pajak bahwa SPT itu sudah benar diterima Direktorat Jenderal Pajak serta
keamanan jauh lebih terjamin. Alat kelengkapan e-Filingmeliputi Penyedia Jasa
Aplikasi (ASP), Suratpermohonan memperoleh e-FIN, e-FIN atau Electronic
Filling IdentificationNumber, Digital Certificate, e-SPT, bukti penerimaan E-SPT.
Bukti Penerimaan SPT Elektronik adalah bukti penerimaan Surat
Pemberitahuan (SPT) yang dikirimkan lewat Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) secara
on-line. Fungsi bukti penerimaan ini adalah sama dengan bukti penerimaan SPT
secara off line.
Berikut ini merupakan prosedur penggunaan e-Filingyaitu:
1. Wajib Pajak menyampaikan Surat Permohonan memperoleh e-FIN
ataumelaksanakan e-Filingkepada Direktorat Jenderal Pajak yaitu
kepadaKantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
2. Direktorat Jenderal Pajak via Kantor Pelayanan Pajak memberikan e-FIN
3. Wajib Pajak mendaftar ke Penyedia Jasa Aplikasi (ASP) dan
memintaDigital Certificate ke Direktorat Jenderal Pajak melalui Penyedia
JasaAplikasi (ASP)
4. Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak
memberikanDigital Certificate melalui Penyedia Jasa Aplikasi (ASP)
5. Wajib Pajak melakukan e-Filingke Penyedia Jasa Aplikasi (ASP)
yangditeruskan ke Kantor Pelayanan Pajak
6. Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak
memberikanbukti penerimaan e-SPT yang mengandung informasi berupa :
NPWP(Nomor Pokok Wajib Pajak), tanggal transaksi, jam transaksi,
NomorTransaksi Penyampaian SPT (NTPS), Nomor Transaksi Pengiriman
ASP(NTPA), nama ASP.
7. Wajib Pajak menyampaikan print out dari Penyedia Jasa Aplikasi
(ASP)berupa induk SPT yang sudah diberi bukti penerimaan
elektronik,ditandatangani dan dilampiri sesuai ketentuan Kantor Pelayanan
Pajak
2.1.9 Kepatuhan Pajak
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kepatuhan berarti tunduk atau
patuh pada ajaran atau aturan. Eliyani (1989) dalam Nugroho(2006) menyatakan
bahwa kepatuhan wajib pajak didefinisikan sebagai memasukkan dan melaporkan
pada waktunya informasi yang diperlukan, mengisi secara benar jumlah pajak
yang terutang, dan membayar pajak pada waktunya tanpa tindakan pemaksaan.
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
192/PMK.03/2007 menjelaskan mengenai syarat-syarat menjadi Wajib Pajak
Patuh, yaitu:
a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3
(tiga) tahun terakhir (sebelumnya hanya dua tahun).
b. Penyampaian SPT Masa yang terlambat dalam tahun terakhir untuk Masa
Pajak Januari sampai dengan November tidak lebih dari 3 (tiga) masa
pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut.
c. SPT Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah
disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa masa
pajak berikutnya.
d. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah
memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak,
meliputi keadaan pada tanggal 31 Desember tahun sebelum penetapan
sebagai Wajib Pajak Patuh dan tidak termasuk utang pajak yang belum
melewati batas akhir pelunasan.
e. Laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau lembaga pengawasan
keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian (WTP)
selama tiga tahun berturut-turut dengan ketentuan:
Laporan audit harus:
1. disusun dalam bentuk panjang (long form report) dan menyajikan
rekonsiliasi laba rugi komersial dan fiskal bagi Wajib Pajak yang
wajib menyampaikan SPT Tahunan.
2. pendapat akuntan atas laporan keuangan yang diaudit
ditandatangani oleh akuntan publik yang tidak sedang dalam
pembinaan lembaga pemerintah pengawas akuntan public.
f. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir (sebelumnya 10
tahun).
Kepatuhan yang dikatakan oleh Norman D. Nowak merupakan “suatu
iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan yang tercermin
dalam situasi (Devano, 2006 dalam Arum, 2012) sebagai berikut:
a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
2.1.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2006) menguji pengaruh sikap
wajib pajak pada pelaksanaan sanksi denda, pelayanan fiskus dan kesadaran
perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak. Analisis data yang digunakan adalah
analisis regresi berganda.Variabel bebas pada penelitian ini yaitu sikap wajib
pajak terhadap sanksi denda, sikap wajib pajak terhadap pelayanan fiskus, dan
sikap wajib pajak terhadap kesadaran pajak.Variabel terikat pada penelitian ini
adalah kepatuhan wajib pajak orang pribadi.Hasil penelitian Nugroho (2006)
adalah sikap wajib pajak terhadap pelaksanaan sanksi denda, sikap wajib pajak
terhadap pelayanan fiskus dan sikap wajib pajak terhadap kesadaran perpajakan
memeiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kepatuhan wajip pajak.
Arabella dan Yenni (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh
kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak
terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM.Analisis data yang digunakan pada
penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda.Variabel independen pada
penelitian ini yaitu kualitas pelayanan petugas pajak, sanksi perpajakan, dan biaya
kepatuhan pajak serta variabel dependennya yaitu kepatuhan wajib pajak UMKM.
Hasil penelitian Arabella dan Yenni (2012) adalah kualitas pelayanan petugas
pajak, sanksi perpajakan dan biaya kepatuhan pajak berpengaruh terhadap
peningkatan kepatuhan wajib pajak UMKM.
Tresno,dkk. (2013) melakukan penelitian mengenai pengaruh persepsi
penerapan sistem e-Filing terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak badan dengan
perilaku wajib pajak sebagai variabel intervening dan biaya kepatuhan sebagai
variabel moderasi yang dilaksanakan di kantor pelayanan pajak pratama
pulogadung jakarta timur. Penelitian mengunakan dua metode, yaitu metode
penelitian deskriptif yang bersifat menjelaskan dan metode hubungan kausal.
Hasil dari penelitian ini adalah persepsi penerapan sistem e-Filing, perilaku dan
biaya kepatuhan secara parsial masing-masing berpengaruh terhadap tingkat
kepatuhan wajib pajak, akan tetapi dalam hal ini perilaku wajib pajak tidak bisa
membuat hubungan tidak langsung antara persepsi penerapan sistem e-Filing
terhadap tingkat kepatuhan wajib pajan dan biaya kepatuhan juga tidak dapat
memoderasi hubungan antara persepsi penerapan sistem e-Filing dengan tingkat
kepatuhan wajib pajak.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Kualitas Pelayanan pada Kepatuhan Pelaporan
Pelayanan pada sektor perpajakan dapat diartikan sebagai pelayanan yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada wajib pajak untuk membantu
wajib pajak memenuhi kewajiban perpajakannya.Pelayanan yang berkualitas
adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap
dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan
serta harus dilakukan secara terus-menerus.
Menurut Risnawati dan Suhayati (2009), Direktorat Jendral Pajak perlu
meningkatkan pelayanan pajak yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku, agar menunjang kepatuhan Wajib
Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan tercapainya tujuan
pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dan roda pemerintahan berjalan
dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Andriana (2011) dan Farid (2013)
menunjukkan bahwa kualitas pelayanan pajak berpengaruh positif terhadap
kepatuhan Wajib Pajak. Berdasarkan pernyataan dan penelitian sebelumnya, maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Kualitas Pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib
Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur
2.2.2 Pengaruh Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Pelaporan
Undang-undang dan peraturan secara garis besar berisikan hak dan
kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh
masyarakat.Agar undang-undang dan peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada
sanksi bagi pelanggarnya, demikian halnya untuk hukum pajak.Dalam undang-
undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi administrasi dan
sanksi pidana.sanksi administrasi dapat berupa bunga, denda, dan kenaikan.
Menurut Nugroho (2006), wajib pajak akan memenuhi kewajiban
perpajakannya apabila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak
merugikannya. Di samping itu, menurut Gatot S. M Faisal (2009: 37) menyatakan
bahwa, walaupun ada potensi penerimaan negara pada setiap sanksi, namun
motivasi penerapan sanksi adalah agar wajib pajak patuh melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Hasil penelitian Yadnyana (2009), Muliari dan Ery (2010), dan
Arabella (2013) mengungkapkan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif
terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut maka
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H2 : Sanksi Perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib
Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan PajakPratama Denpasar Timur
2.2.3 Pengaruh Biaya Kepatuhan Pajak pada Kepatuhan Pelaporan
Biaya kepatuhan pajak merupakan biaya-biaya yang ditanggung oleh
wajib pajak terkait dengan pemenuhan kewajiban pajak.Hal ini dikakarenakan
wajib pajak telah berusaha patuh untuk membayar pajak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka wajib pajak
berharap agar dapat mengeluarkan biaya-biaya seminimal mungkin yang terkait
dengan pemenuhan kewajiban pajaknya, meliputi direct money cost maupun time
cost dan psychological cost. Namun, apabila jumlah biaya kepatuhan pajak yang
dikeluarkan lebih besar daripada ekspektasi wajib pajak, maka timbul potensi
dalam diri wajib ajak untuk menjadi tidak patuh dalam melakukan pemenuhan
kewajiban pajaknya. Pada penelitian ini indikator untuk mengukur biaya
kepatuhan pajak adalah direct money cost, time cost dan psychological cost.
Penelitian Prasetyo (2008) menyimpulkan bahwa, biaya kepatuhan pajak
mempunyai pengaruh negatif terhadap kepatuhan Wajib Pajak. Artinya, jika biaya
kepatuhan pajak yang dikeluarkan oleh wajib pajak semakin tinggi maka tingkat
kepatuhan pajak akan semakin rendah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Arabella (2013) juga mendapatkan hasil penelitian yaitu biaya kepatuhan pajak
memiliki pengaruh negatif terhadap kepatuhan wajib pajak UMKM.Berdasarkan
hal tersebut maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Biaya Kepatuhan Pajak berpengaruh negatif pada kepatuhan pelaporan
Wajib Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur
2.2.4 Pengaruh Penerapan e-Filingpada Kepatuhan Pelaporan
Sebagai salah satu upaya dalam modernisasi perpajakan, Direktorat
Jendral Pajak menerapkan sistem e-Filing. Sistem e-Filing merupakan sistem
pelayanan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) dan Surat
Pemberiathuan Tahunan (SPT Tahunan) yang berbentuk formulir elektronik
dalam media elektronik yang ditransfer atau disampaikan ke Direktorat Jendral
Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak dengan proses yang terintegrasi dan real
time (Viraqh, 2014).
Penyampaian SPT menggunakan sistem e-Filing merupakan upaya yang
dilakukan oleh Direktorat Jendral Pajak dalam peningkatan kualitas pelayanan
agar memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak dalam melaporkan kewajiban
perpajakannya.Dengan sistem e-Filing, wajib pajak tidak perlu datang secara
langsung ke Kantor Pelayanan Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya
dalam hal penyampaian SPT. Sedangkan bagi aparat pajak, sistem e-Filing ini
mampu memudahkan kinerja mereka dalam melakukan pengelolaan database
karena penyimpanan dokumen-dokumen wajib pajak telah dilakukan dalam
bentuk digital.Melalui diterapkannya sistem e-Filing yang memudahkan Wajib
Pajak, pemerintah berharap adanya peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dalam
melaporkan kewajiban perpajakannya.
Menurut Siti Kurnia Rahayu (2010:109) menyatakan bahwa, adanya
pengaruh dari efektivitas e-Filingterhadap kepatuhan formal perpajakan sebagai
berikut:“Modernisasi sistem perpajakan di lingkungan DJP dengan memanfaatkan
sistem informasi yang handal dan terkini (e-Filing) adalah salah satu strategi yang
ditempuh untuk mencapai tingkat kepatuhan pajak yang tinggi”. Teori di atas
didukung oleh beberapa hasil penelitian, salah satunya adalah hasil penelitian
Tresno,dkk. (2013) sebagai berikut:“Penerapan e-Filingberpengaruh terhadap
tingkat kepatuhan Wajib Pajak, karena Wajib Pajak dapat melaporkan SPTnya
secara tepat waktu dan lebih efisien”.Hasil penelitian Prasetyo (2008) dan Tresno,
(2013) mengungkapkan bahwa penerapan e-Filing berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut maka dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
H4 : Penerapan e-Filingberpengaruh positif pada kepatuhan pelaporan Wajib
Pajak orang pribadi di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur