BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 … 2.pdf10 2.1.3. Syarat pemungutan pajak...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 … 2.pdf10 2.1.3. Syarat pemungutan pajak...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1. Pengertian Pajak
Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana
telah disempurnakan terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal
balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Pengertian Pajak menurut Mardiasmo (2009) pajak adalah iuran
rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar
pengeluaran umum. Simanjuntak (2009) mendefinisikan pajak merupakan
sumber penerimaan negara yang sangat penting dalam menopang
pembiayaan pembangunan.
Unsur-unsur yang ada pada definisi pajak yaitu.
1) Negara berhak untuk memungut pajak. Iuran tersebut berupa uang
(bukan barang).
9
2) Berdasarkan Undang-Undang pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan Undang-Undang serta aturan-aturan pelaksanaannya.
3) Tanpa jasa timbal atas kontraprestasi dari Negara yang secara
langsung dapat ditunjuk. Maksudnya dalam pembayaran pajak tidak
dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4) Untuk membiayai rumah tangga Negara
Maksudnya pajak digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang
bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2. Fungsi Pajak
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya didalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua
pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas
maka pajak mempunyai dua fungsi Mardiasmo (2009:1), yakni:
1) Fungsi penerimaan (Budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran.
2) Fungsi mengatur (Regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan
pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Contoh: Pajak yang
tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi
konsumsi minuman keras dan Pajak yang tinggi dikenakan terhadap
barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.
10
2.1.3. Syarat pemungutan pajak
Pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat agar tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan Mardiasmo (2009:2). Syarat-
syarat pemungutan pajak tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Seperti halnya produk hukum, pajak pun mempunyai tujuan untuk
menciptakan keadilan dalam hal pemungutan pajak. Adil dalam
perundang-undangan maupun adil dalam pelaksanaannya, dengan
memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan,
penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada
Majelis Pertimbangan Pajak.
2) Pengaturan pajak harus berdasarkan Undang-Undang (Syarat Yuridis)
Sesuai dengan Pasal 23 ayat (2). Hal memberikan jaminan hukum
untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.
3) Pungutan pajak tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)
Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak
mengganggu kondisi perekonomian, baik kegiatan produksi,
perdagangan, maupun jasa.
4) Pemungutan pajak harus efesien (Syarat Finansiil)
Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan
sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
11
5) Sistem pemungutan pajak harus sederhana
Sistem yang sederhana akan memudahkan wajib pajak dalam
menghitung beban pajak yang harus dibiayai sehingga akan
memberikan dampak positif bagi para wajib pajak untuk meningkatkan
kesadaran dalam pembayaran pajak.
2.1.4. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak merupakan suatu sistem yang mengatur
pihak yang berwenang dalam menentukan dan memungut jumlah besarnya
pajak, menurut Pudyatmoko (2004:60), dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
1) Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk
menentukan besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri
dari sistem ini adalah:
a) wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
b) wajib pajak bersifat pasif.
c) utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak
oleh fiskus.
2) Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri
besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri dari sistem ini adalah:
a) wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
wajib pajak sendiri.
12
b) wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang.
3) Witholding Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak
yang memberikan wewenang kepada pihak ke tiga untuk menentukan
besarnya pajak yang terhutang oleh wajib pajak. Ciri-ciri dari sistem
ini adalah wewenang menentukan besarnya pajak yang terhutang ada
pada pihak ketiga, pihak selain fiskus dan wajib pajak.
2.1.5. Pengertian Wajib Pajak
Menurut pasal 1 ayat 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007 wajib pajak
adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak, dan pemungut pajak yang mempunyai hak dan kewajiban
perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan. Berdasarkan pengertian tersebut terdapat tiga jenis wajib
pajak.
1) wajib pajak badan,
2) wajib pajak orang pribadi,
3) wajib pajak pemotong/pemungut pajak.
Sejak diberlakukannya sistem self assessment dalam Undang-
Undang Perpajakan Indonesia, telah diatur adanya kewajiban dan hak dari
wajib pajak menurut Mardiasmo (2009:3). Kewajiban wajib pajak adalah
sebagai berikut:
1) Mendaftarkan diri untuk mendapatkan NPWP
2) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
13
3) Menghitung dan membayar sendiri pajak dengan benar
4) Mengisi dengan benar SPT (SPT yang diambil sendiri) dan
memasukkan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam batas waktu yang telah
ditentukan
5) Menyelenggarakan pembukuan/pencatatan
6) Jika diperiksa wajib.
a) Memperhatikan dan atau meminjamkan buku atau catatan,
dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang
berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha,
pekerjaan bebas wajib pajak, atau objek yang terhutang pajak.
b) Memperhatikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan
yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan.
7) Apabila ada dalam waktu mengungkapkan pembukuan, pencatatan,
atau dokumen serta keterangan yang diminta, wajib pajak terikat oleh
suatu kewajiban untuk merahasiakan, maka kewajiban untuk
merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan
pemeriksaan.
Hak-hak wajib pajak adalah sebagai berikut.
1) Mengajukan surat keberatan dan surat banding;
2) Menerima tanda bukti pemasukan SPT;
3) Melakukan pembetulan SPT yang telah dimasukkan;
4) Mengajukan permohonan penundaan pemasukan SPT;
14
5) Mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran
pajak;
6) Mengajukan permohonan perhitungan pajak yang dikenakan dalam
Surat Ketetapan Pajak;
7) Meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
8) Mengajukan permohonan penghapusan dan pengurangan sanksi, serta
pembetulan Surat Ketetapan Pajak yang salah;
9) Memberi kuasa kepada orang untuk melaksanakan kewajiban
pajaknya;
10) Meminta bukti pemotongan atau pemungutan pajak;
11) Mengajukan keberatan dan banding.
2.1.6. Wajib Pajak Efektif dan Non Efektif
Berdasarkan surat edaran Direktorat Jendral Pajak nomor SE-
26/PJ.2/1988 ditegaskan bahwa agar tidak menimbulkan berbagai
penafsiran yang dapat menyulitkan administrasi maka perlu diberikan
penegasan bahwa administrasi pajak hanya mengenal istilah-istilah WP
Efektif dan WP non efektif dengan pengertian sebagai berikut:
1) Wajib pajak efektif adalah wajib pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakan berupa memenuhi kewajiban menyampaikan SPT masa dan
atau tahunan sebagaimana mestinya.
2) Wajib pajak non efektif adalah wajib pajak yang tidak memenuhi
kewajiban perpajakannya berupa memenuhi kewajiban menyampikan
SPT masa dan atau tahunan.
15
Sebagaimana telah ditegaskan dalam surat edaran Direktorat Jenderal
Pajak no SE-09/PJ.8/1988 tanggal 2 oktober 1988 WP non efektif
adalah.
a) WP yang berturut-turut selama 2 (dua) tahun tidak memasukan
SPT PPh;
b) WP yang sudah meninggal dunia/bubar, tetapi belum ada
keterangan resminya;
c) WP tidak ditemukan alamatnya, walaupun sudah diusahakan
pencariannya;
d) WP yang secara nyata tidak menunjukkan kegiatan usaha.
2.1.7. Surat Pemberitahuan (SPT)
1) Pengertian SPT
Berdasarkan UU KUP No.28 Tahun 2007 pasal 1 angka 11
Surat Pemberitahuan (SPT) didefinisikan sebagai surat yang oleh wajib
pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran
pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan
kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
2) Jenis SPT
Secara garis besar SPT dibedakan menjadi dua macam,
menurut Devano (2006:151) mengatakan bahwa:
a) Surat pemberitahuan masa adalah surat pemberitahuan untuk
melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang
dalam masa pajak.
16
b) Surat pemberitahuan tahunan adalah surat pemberitahuan untuk
melaporkan perhitungan dan pembayaran terutang dalam satu
tahun pajak.
3) Fungsi SPT
Adapun fungsi SPT (Surat Pemberitahuan) dapat dilihat dari
subjek pajaknya yaitu wajib pajak pribadi, pengusaha kena pajak atau
pemotong/pemungut pajak, antara lain.
a) Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) bagi wajib pajak
penghasilan:
(1) Sarana melapor dan mempertanggung jawabkan perhitungan
pajak yang sebenarnya terutang.
(2) Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau
pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau bagian
tahun pajak.
(3) Melaporkan pembayaran dari pemotongan atau pemungut
tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi
atau badan lain satu masa pajak, sesuai peraturan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
17
b) Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan Pajak) bagi pengusaha kena
pajak:
(1) Sarana melapor dan mempertanggungjawabkan perhitungan
jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang sebenarnya terutang.
(2) Melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak
Keluaran.
(3) Melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah
dilaksanakan dan atau melalui pihak lain dalam satu masa
pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan dengan perundang-
undangan perpajakan yang berlaku.
c) Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan) bagi pemotong atau pemungut
pajak. Fungsi SPT (Surat Pemberitahuan) ini adalah sebagai sarana
melapor dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau
disetor.
2.1.8. Kewajiban Moral
Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan, moral adalah integritas
dan martabat pribadi yang dimiliki oleh manusia. Ajzen dalam Agustini
(2008) menyatakan bahwa kewajiban moral adalah moral individu yang
dimiliki oleh seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang
lain. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah wajib pajak. Seperti misalnya
etika, prinsip hidup, perasaan bersalah, melaksanakan kewajiban
perpajakan dengan sukarela dan benar yang nantinya dikaitkan terhadap
18
pemenuhan kewajiban perpajakan untuk kepatuhan pelaporan Wajib pajak
badan. Konteks perpajakan menganut self assessment system dimana
menuntut adanya peran aktif dari masyarakat selaku wajib pajak untuk
menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri
besarnya pajak yang terhutang. Sehingga dalam hal ini pemerintah
memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada wajib pajak untuk
menghitung sendiri kewajibannya. Kewajiban moral cenderung kepada
niat wajib pajak untuk berperilaku patuh.
Handayani (2009) menyatakan, kewajiban moral Wajib Pajak dapat
tercermin dari situasi dibawah ini:
1) Wajib Pajak memiliki rasa tanggung jawab dalam pembiayaan
pemeliharaan negara.
2) Wajib Pajak merasa cemas jika tidak melaksanakan kewajiban pajak
sebagaimana mestinya.
3) Wajib Pajak memiliki perasaan bersalah jika melakukan penggelapan
pajak.
4) Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan
sukarela.
5) Wajib Pajak menghitung, membayar, dan melaporkan pajak dengan
benar.
2.1.9. Kualitas Pelayanan
Boediono (2003) dalam Supadmi (2009) mendefinisikan pelayanan
sebagai suatu proses bantuan kepada orang lain dengan cara-cara tertentu
19
yang memerlukan kepekaan dan hubungan interpersonal agar terciptanya
kepuasan dan keberhasilan. Hakikat pelayanan umum adalah sebagai
berikut:
1) Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi
pemerintah dibidang pelayanan umum.
2) Mendorong upaya mengefektifkan system dan tata laksana pelayanan
sehingga pelayanan umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya
guna dan berhasil guna (efisien dan efektif).
3) Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan serta masyarakat
dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat
luas.
Menurut Gap theory yang diusulkan oleh Parasuraman, et al. (1985),
bahwa kualitas pelayanan merupakan perbandingan antara harapan yang
diinginkan oleh pelanggan dengan penilaian mereka terhadap kinerja
aktual dari suatu penyediaan layanan. Goetsh dan Davis (Suratno,
2004:74) merumuskan bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis
yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan
yang memenuhi atau melebihi harapan, dengan demikian yang dikatakan
kualitas disini adalah kondisi dinamis yang bisa menghasilkan.
1) produk yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
2) jasa yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
3) suatu proses yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
4) lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan pelanggan;
20
Apabila jasa dari suatu instansi tidak memenuhi harapan pelanggan,
berarti jasa pelayanannya tidak berkualitas. Jika proses pelayanan tidak
memenuhi harapan pelanggan, seperti berbelit-belit, berarti mutu
pelayanannya kurang. Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu
apabila memenuhi atau melebihi harapan pelanggan atau semakin kecil
kesenjangan anatara pemenuhan janji dengan harapan pelanggan adalah
semakin mendekati ukuran bermutu.
Lima dimensi yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitas
jasa pelayanan, sebagaimana dikemukakan Parasuraman (Fany, Tjiptono.
2002:70) adalah sebagai berikut:
1) Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,
pegawai dan sarana komunikasi.
2) Keandalan (relialibility), yaitu kemampuan memberikan pelayanan
yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
3) Daya tangkap (responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk
membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan
tanggap.
4) Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan
dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki oleh para karyawan, bebas dari
bahaya, resiko atau keragu-raguan.
5) Empati (emphaty), meliputi kemudahan dalam melakukan komunikasi,
hubungan yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan para
pelanggan.
21
2.1.10. Sanksi Perpajakan
1) Sanksi Perpajakan
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan
dituruti, ditaati, dipatuhi, dengan kata lain sanksi perpajakan
merupakan alat pencegah (preventif) agar wajib pajak tidak melanggar
norma perpajakan. Salah satu cara untuk menghindari sanksi
perpajakan adalah dengan melakukan pembayaran tepat waktu atau
jangan melewati jangka waktu yang telah ditetapkan. Dalam undang-
undang perpajakan dikenal dua macam sanksi, yaitu sanksi
administrasi dan sanksi pidana. (Mardiasmo, 2009:59).
Sanksi pajak berdasarkan Pasal 7 UU KUP No 28 Tahun 2007,
dikenakan apabila wajib pajak tidak menyampaikan Surat
Pemberitahuan (SPT) tepat waktu sesuai dalam jangka waktu
penyampaian SPT dimana jangka waktu tersebut sesuai dengan Pasal 3
ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai
sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus
ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan
Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak badan
22
serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang pribadi.
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap.
a) Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b) Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas;
c) Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara
asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
d) Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di
Indonesia;
e) Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi
belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f) Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g) Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
h) Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
Pasal 3 ayat 3 UU KUP No 28 Tahun 2007 Batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: untuk Surat Pemberitahuan
Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; untuk
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak orang
pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak atau
23
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib pajak
badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Wajib Pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila
memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak
merugikannya (Nugroho, 2006). Pandangan tentang sanksi perpajakan
tersebut diukur dengan indikator sebagai berikut (Yadnyana, 2009).
1) Pengenaan sanksi atas pelanggaran pajak dapat dinegosiasikan.
2) Sanksi pidana yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak cukup
berat.
3) Pengenaan sanksi yang cukup berat merupakan salah satu sarana
untuk mendidik wajib pajak.
4) Sanksi pajak harus dikenakan kepada pelanggarnya tanpa toleransi.
5) Sanksi administrasi yang dikenakan bagi pelanggar aturan pajak
sangat ringan.
2.1.11. Kepatuhan Perpajakan
Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia saat ini adalah
self assessment system, dimana segala pemenuhan kewajiban perpajakan
dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus hanya melakukan
pengawasan melalui prosedur pemeriksaan. Pada sistem self assessment,
kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan secara
sukarela merupakan tulang punggung dari sistem ini, dimana wajib pajak
bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan
24
kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan
pajaknya tersebut.
Studi tentang kepatuhan pajak telah dilakukan sejak tahun60-an dan
telah dipelajari secara menyeluruh oleh para akademisi, profesional dan
instansi pemerintah terutama di Amerika Serikat dan negara barat lainnya.
Penelitian tentang kepatuhan pajak dapat dilakukan di berbagai bidang
seperti akuntansi, ekonomi, hukum pidana, psikologi, dan sosiologi.
Kamus umum Bahasa Indonesia (Devano, 2006:110) menyatakan,
kepatuhan adalah tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Menurut
Hendarsyah (2009:97), Tax Compliance atau kepatuhan pajak diartikan
sebagai kondisi ideal wajib pajak yang memenuhi peraturan perpajakan
serta melaporkan penghasilannya secara akurat dan jujur. Berdasarkan
kondisi ideal tersebut, kepatuhan pajak didefinisikan sebagai suatu
keadaan wajib pajak yang memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakannya dalam bentuk formal dan kepatuhan
material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak
memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam
undang-undang perpajakan. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di
mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni
sesuai dengan isi dan jiwa undang-undang perpajakan.
Marcus (2005), mendefinisikan kepatuhan perpajakan sebagai suatu
keadaan dimana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan
melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan perpajakan yang
25
dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai “suatu iklim” kepatuhan
dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi
(Devano, 2006:110) sebagai berikut:
1) Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memehami semua ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
2) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas.
3) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar.
4) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.
Kepatuhan sebagai pondasi self assessment dapat dicapai apabila
elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen
kunci tersebut adalah sebagai berikut.
1) Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak.
2) Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.
3) Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
4) Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.
2.1.12. Wajib Pajak Patuh
Wajib Pajak patuh adalah wajib pajak yang sadar pajak, paham hak
dan kewajiban perpajakannya, dan diharapkan peduli pajak, yaitu
melaksanakan kewajiban perpajakan dengan benar dan paham akan hak
perpajakannya (Devano, 2006:114).
Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
235/KMK.03/2003 tanggal 3 Juni 2003, wajib pajak dapat ditetapkan
sebagai wajib pajak patuh yang dapat diberikan pengembalian
26
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila memenuhi semua syarat
berikut.
1) Tepat waktu dalam menyampaikan SPT dalam 2 (dua) tahun terakhir.
2) Dalam tahun terakhir menyampaikan SPT masa yang terlambat tidak
lebih dari 3 (tiga) masa pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak
berturut-turut.
3) SPT masa yang terlambat itu disampaikan tidak lewat dari batas waktu
penyampaian SPT masa pajak berikutnya.
4) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak:
a) kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak;
b) tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan STP yang
diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak terakhir.
5) Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana di
bidang perpajakan dalam jangka panjang.
6) Dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik atau Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan harus dengan pendapat wajar
tanpa pengecualian atau dengan pendapat wajar dengan pengecualian
sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi laba rugi fiskal.
Laporan audit harus:
a) disusun dalam bentuk panjang
b) menyajikan rekonsiliasi lab rugi komersial dan fiskal.
27
2.1.13. Peraturan Pemerintah No 46 tahun 2013
PP Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang
Memiliki Peredaran Bruto Tertentu berisikan peraturan sebagai berikut:
1) Pasal 2 menyatakan aturan beberapa kriteria yang masuk dalam PP 46
tahun 2013 yaitu, Wajib Pajak (badan maupun orang pribadi) yang
tidak termasuk dalam bentuk usaha tetap. Dan menerima hasil dari
usaha tersebut, dimana usaha yang dimaksud disni bukan berupa usaha
jasa yang mempunyai penghasilan bruto Rp.4.800.000.00 pertahunnya.
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak masuk dalam kriteria PP 46
tahun 2013 adalah dalam usahanya tidak menggunakan prasarana
umum. Wajib pajak badan yang tidak masuk kedalam kriteria PP 46
tahun 2013 adalah usahanya belum beroperasi secara komersial, dan
penghasilan bruto setahunnya melebihi Rp. 4.800.000.000.
2) Pasal 3 menyatakan tarif yang dikenakan dalam PP 46 tahun 2013 ini
sifatnya final dan dari penghasilan bruto pertahunnya di kenakan tarif
1 persen. Dan jika dalam pertahunnya sebuah usaha memperoleh
peredaran bruto melebihi Rp. 4.800.000.000, maka akan dikenakan
tarif pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak
Penghasilan yang berlaku.
3) Pasal 4 menyatakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk
menghitung pajak penghasilan yang bersifat final adalah jumlah
peredaran bruto disetiap bulannya. Pajak penghasilan terutang dihitung
28
berdasarkan tarif yang nantinya dikalikan 1 persen dengan dasar
pengenaan pajak.
4) Pasal 5 menyatakan PP 46 tahun 2013 tidak berlaku atas penghasilan
dari usaha Pajak penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan
perundang-undangan dibidang perpajakan.
5) Pasal 6 menyatakan penghasilan selain dari usaha yang masuk kriteria
dalam PP 46 tahun 2013 yang diterima oleh wajib pajak, akan
dikenakan pajak penghasilan berdasarakan ketentuan Undang-Undang
Pajak Penghasilan.
6) Pasal 7 menyatakan pajak yang dibayar ataupun terutang di luar negeri
atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak penghasilan yang terutang
berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan
peraturan pelaksanaannya.
7) Pasal 8 berisi mengenai wajib pajak yang dikenai pajak Penghasilan
bersifat final berdasarkan peraturan Pemerintah ini dan
menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian
dengan penghasilan yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final diantaranya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun pajak berikutnya
berturut- turut sampai dengan lima tahun pajak.
29
b. Tahun pajak dikenakannya pajak penghasilan yang bersifat final
berdasarkan Peraturan pemerintah ini diperhitungkan sebagai
bagian dari jangka waktu yaitu lima tahun pajak.
c. Kerugian pada suatu tahun pajak akan dikenakan pajak penghasilan
yang bersifat final berdasarkan Peraturan pemerintah ini tidak
boleh dikompensasikan di tahun pajak yang akan datang.
8) Pasal 9 berisikan mengenai ketentuan yang lainnya mengenai
perhitungan, penyetoran maupun pelaporan pajak penghasilan atas
penghasilan dari usaha yang diterima dan diperoleh wajib pajak yang
memiliki peredaran bruto tertentu dan masuk kedalam operasionalnya
secara akan diatur berdasarkan Peraturan Menteri keuangan.
9) Pasal 10 menyatakan dimana dalam hal khusus terkait peredaran bruto
sebagai dasar yang dapat dikenai pajak penghasilan yang bersifat final
yang diatur dalam peraturan pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
a. Berdasarkan pada jumlah peredaran bruto tahun pajak terakhir
sebelum tahun pajak berlakunya peraturan pemerintah ini yang
akan disetahunkan, dalam hal tahun pajak terakhir sebelum tahun
pajak berlakunya peraturan pemerintah ini meliputi kurang dari 12
bulan.
b. Berdasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat wajib
pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya peraturan
pemerintan ini yang disetahunkan, dalam hal wajib pajak terdaftar
pada tahun pajak yang sama dengan tahun pajak saat berlakunya
30
peraturan pemerintah ini dibulan sebelum peraturan pemerintah ini
berlaku.
c. Berdasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama
diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal
wajib pajak yang baru terdaftar sebagai wajib pajak sejak
berlakunya peraturan pemerintah ini.
10) Pasal 11 dalam surat edaran Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun
2013 menyatakan bahwa peraturan pemerintah ini mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Juli 2013.
2.1.14. Hubungan antara Kewajiban Moral dengan Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam Skema PP No. 46 Tahun 2013.
Kewajiban moral merupakan moral individu yang dimiliki oleh
seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang lain, yang dalam
hal ini, yang dimaksud adalah wajib pajak orang pribadi, dalam kaitannya
dengan kewajiban moral, tidak terlepas dengan integritas. Integritas berarti
bahwa perilaku seseorang konsisten dengan nilai yang menyertainya, dan
orang tersebut bersifat jujur, etis, dan dapat dipercaya. Integritas dapat
diartikan sebagai kesehatan moral, kejujuran yang terbebas dari pengaruh
atau motif korupsi, dapat dipercaya dan disukai, serta memiliki ketulusan.
Handayani (2009:20) mengatakan, bahwa responsibility
merupakan kewajiban atau obligation untuk melaksanakan sesuatu karena
menerima penugasan. Handayani (2009:20) menjelaskan responsibility
merupakan kewajiban seseorang untuk menyelesaikan kegiatan yang telah
31
sampai ke tingkat yang paling baik sesuai kemampuan. Berdasarkan
pendapat kedua ahli tersebut terlihat bahwa responsibility sangat erat
kaitannya dengan kewajiban. Atas suatu pekerjaan yang dibebankan pada
seseorang, maka yang bersangkutan memiliki kewajiban untuk
melaksanakan pekerjaan itu sampai selesai dengan hasil yang baik, adanya
kewajiban moral yang tinggi maka akan mendorong seseorang untuk patuh
dalam melaporkan pajaknya. Tingkat kepatuhan pajak akan menjadi lebih
tinggi ketika wajib pajak memiliki kewajiban moral yang lebih kuat.
2.1.15. Hubungan antara Kualitas Pelayanan dengan Kepatuhan Wajib
Pajak Orang Pribadi dalam Skema PP No. 46 Tahun 2013.
Meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui
peningkatan kualitas pelayanan (Handayani, 2009:21). Pelayanan yang
baik adalah pelayanan yang dapat memberikan rasa puas bagi pelanggan,
dalam hal ini adalah wajib pajak, hal ini dapat menyebabkan kepatuhan
wajib pajak meningkat (Handayani, 2009:21). Pelayanan yang berkualitas
adalah pelayanan yang dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan
tetap dalam batas memenuhi standar pelayanan yang dapat
dipertanggungjawabkan serta harus dilakukan secara terus-menerus.
Kepuasan yang diperoleh oleh pelanggan akan berdampak pada kepatuhan
wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Pelayanan kepada pelanggan dikatakan bermutu apabila memenuhi
atau melebihi harapan pelanggan atau semakin kecil kesenjangan antara
pemenuhan janji dengan harapan pelanggan adalah semakin mendekati
32
ukuran bermutu. Menyediakan jasa secara konsisten kepada pelanggan
adalah pelayanan bermutu. Pelayanan yang berkualias harus dapat
memberikan keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum
kepada pelanggan (Supadmi, 2009:219). Jika kualitas pelayanan
meningkat maka akan berdampak pada kepatuhan wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya.
2.1.16. Hubungan antara Sanksi Perpajakan dengan Kepatuhan Wajib Pajak
Orang Pribadi dalam Skema PP No. 46 Tahun 2013.
Undang-undang perpajakan dan peraturan pelaksanaannya tidak
memuat jenis penghargaan bagi wajib pajak yang patuh dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Walaupun tidak mendapatkan
penghargaan atas kepatuhannya dalam melaksanakan kewajiban
perpajakan, wajib pajak akan dikenakan sanksi apabila sengaja tidak
memenuhi kewajiban perpajakannya. Agar peraturan perpajakan dipatuhi,
maka harus ada sanksi perpajakan bagi para pelanggarnya (Nugroho,
2006).
Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila
memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikan
dirinya. Semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak
maka akan semakin berat pula sanksi yang akan diterima (Nugroho, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2008) menunjukkan bahwa
persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan berpengaruh pada
kepatuhan wajib pajak orang pribadi.
33
2.2. Penelitian Sebelumnya
Tabel 2.2 Hasil Penelitian Sebelumnya
No Nama Peneliti
Judul Penelitian
Variabel yang di
teliti
Teknik Analisis
Data Hasil Penelitian Perbedaan
1 Priyantini Juana (2008)
Pengaruh Kualitas Pelayanan dan Biaya Kepatuhan Pajak Terhadap Kepatuhan WP Orang Pribadi Pada KPP Pratama Badung Utara.
Kualitas pelayanan dan biaya kepatuhan pajak
Teknik analisis regresi linier berganda.
Kualitas pelayanan dan biaya kepatuhan pajak ber-pengaruh signifikan terhadap kepatuhan pelaporan WP Orang Pribadi pada KPP Pratama Badung Utara.
Perbedaan penelitian ini terletak pada variable bebas (penambah-an variable kewajiban moral), tempat penelitian dan tahun penelitian berbeda.
2 Purnomo (2008)
Pengaruh kesadaran wajib pajak, tentang sanksi perpajakan dan hasrat membayar pajak terhadap kepatuhan wajibpajak Orang Pribadi di-KPPGubeng Surabaya
Kesadaran wajib pajak, tentang sanksi, hasrat membayar pajak dan kepatuhan wajib
regresi linear berganda
Menunjuk-kan kesadaran wajib pajak, tentang sanksi dan hasrat membayar pajak ber-pengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak
Perbedaan-nya terletak pada salah satu variabel bebas yaitu hasrat membayar pajak serta objek dan lokasi penelian.
3 Handayani (2009)
Pengaruh Tanggung Jawab Moral dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kepatuhan WP Pribadi Pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Denpasar Barat
Tanggung jawab moral dan kualitas pelayanan
Analisis regresi linier berganda
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab moral dan kualitas pelayanan berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Perbedaan-nya terletak pada lokasi dan tahun penelitian-nya.
34
4 Manik Asri (2009)
Pengaruh kualitas pelayanan, biaya kepatuhan dan kesadaran wajib pajak terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak Orang Pribadi pada KPP Madya Denpasar
Kualitas pelayanan, biaya kepatuhan, kesadaran wajib pajak, dan kepatuhan pelaporan wajib pajak Orang Pribadi
Analisis regresi linier berganda
Kualitas pelayanan,biaya kepatuhan, dan kesadaran wajibpajak ber-pengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan pelaporan wajib pajak Orang pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Madya Denpasar
Perbedaan-nyapada variabel bebas lain, objek dan lokasi penelitian.
5 Kasmiati (2009)
Pengaruh kualitas pelayanan, sanksi denda dan kesadaran perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak di Kecamatan Gabus Pati.
Kualitas pelayanan, sanksi denda, kesadaran perpajakandan kepatuhan wajib pajak
Teknik analisis regeresi linear berganda
Sikap wajib pajak terhadap sanksi denda berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak dan kesadaran wajibpajak berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan WP
Perbedaan-nya yaitu pada variabel kualitas pelayanan, objek dan lokasi penelitian.
6 Setyawan (2009)
Faktor-faktor yangmem-pengaruhi kepatuhan wajib pajak di KPP Pratama Sukoharjo.
Pemaham-an terhadap self assesment, tingkat pendidik-an tingkat penghasil-an, pelayanan informasi, kesadaran tentang sanksi,dan kepatuhan WP
Teknik analisis regeresi linear berganda
Variabel kesadaran tentang sanksitidak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sedangkan semua variabel lain berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan WP
Perbedaan-nya pada variabel bebas lain, objek dan lokasi penelitian
35
7 Yadnyana (2010)
Pengaruh Moral dan Sikap Wajib Pajak pada Kepatuhan Wajib Pajak Koperasi diKota Denpasar
Moral dan sikap Wajib Pajak Koperasi
Analisis regresi linier berganda
Hasil penelitian menunjuk-kan bahwa moral dan Sikap Wajib Pajak ber-pengaruh signifikan pada kepatuhan Wajib Pajak Koperasi di Kota Denpasar.
Penelitian sebelum-nya mengguna-kan variable bebas pengaruh moral dan sikap WP, tetapi pada penelitian ini mengguna-kan variable bebaskualitas pelayanan dan kewajiban moral, lokasi dan tahun penelitian berbeda.
Sumber: Skripsi, Artikel, Data Diolah, (2014)
2.3. Rumusan Hipotesis
2.3.1 Pengaruh Kewajiban Moral Pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam Skema PP No. 46 Tahun 2013.
Handayani (2009:20) mengatakan, bahwa responsibility merupakan
kewajiban atau obligation untuk melaksanakan sesuatu karena menerima
penugasan. (Handayani, 2009:20) menjelaskan responsibility merupakan
kewajiban seseorang untuk menyelesaikan kegiatan yang telah sampai ke
tingkat yang paling baik sesuai kemampuan. Berdasarkan pendapat kedua
ahli tersebut terlihat bahwa responsibility sangat erat kaitannya dengan
kewajiban. Pekerjaan yang dibebankan pada seseorang, maka yang
bersangkutan memiliki kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan itu
36
sampai selesai dengan hasil yang baik,dengan adanya kewajiban moral
yang tinggi maka akan mendorong seseorang untuk patuh dalam
melaporkan pajaknya.Tingkat kepatuhan pajak akan menjadi lebih tinggi
ketika wajib pajak memiliki kewajiban moral yang lebih kuat. Penelitian
yang dilakukan oleh Asri (2009) menemukan bahwa kesadaran wajib
pajak berpengaruh positif dan signifikan pada kepatuhan wajib pajak.
Ajzen dalam Agustini (2008) menyatakan bahwa kewajiban moral adalah
moral individu yang dimiliki oleh seseorang, namun kemungkinan tidak
dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang
dikembangkan dalam penelitian ini adalah:
H1 : Kewajiban moral berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak
orang pribadi dalam skema PP No. 46 Tahun 2013.
2.3.2 Pengaruh Kualitas Pelayanan Pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam Skema PP No. 46 Tahun 2013.
Kepatuhan wajib pajak juga dapat ditingkatkan dengan peningkatan
kualitas pelayanan. Pelayanan yang baik menyebabkan kepatuhan wajib
pajak meningkat. Pelayanan adalah suatu proses bantuan kepada orang lain
dengan cara tertentu yang memerlukan kepekaan dan hubungan
interpersonal agar tercipta kepuasan dan keberhasilan (Boediono,
2003:60). Pelayanan yang berkualitas adalah pelayanan yang dapat
memberikan kepuasan kepada pelanggan dan tetap dalam batas memenuhi
standar pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan serta harus
dilakukan secara terus-menerus. Hasil penelitian Priyantini (2008), Asti
37
Pramitari (2010), Trisnadewi (2010), dan Edy Septian (2011) menunjukan
bahwa variabel kualitas pelayanan berpengaruh positif dan signifikan pada
kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis kedua
dari penelitian ini adalah.
H2 : Kualitas pelayanan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak
orang pribadi dalam skema PP No. 46 Tahun 2013.
2.3.3 Pengaruh Sanksi Perpajakan Pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang
Pribadi dalam Skema PP No. 46 Tahun 2013.
Sanksi perpajakan yaitu interpretasi dan pandangan wajib pajak
dengan adanya sanksi perpajakan. Seberapa berat sanksi yang dikenakan
kepada wajib pajak yang tidak patuh dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila
memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikan
dirinya. Semakin banyak pelanggaran yang dilakukan oleh wajib pajak
maka akan semakin berat pula sanksi yang akan diterima (Nugroho, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Purnomo (2008) menunjukkan bahwa
persepsi wajib pajak tentang sanksi perpajakan berpengaruh positif dan
signifikan pada kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut, maka
hipotesis ketiga dari penelitian ini adalah.
H3 : Sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak
orang pribadi dalam skema PP No. 46 Tahun 2013.