BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori … II.pdf · c. kepatuhan dalam...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori … II.pdf · c. kepatuhan dalam...
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut kamus umum bahasa Indonesia (Jatmiko, 2006), kepatuhan berarti
tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam hal pajak, aturan yang berlaku
adalah aturan perpajakan. Wajib pajak merupakan orang pribadi atau badan,
meliputi pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungutan pajak yang
mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan (Mardiasmo, 2011). Dalam hubungannya dengan
kepatuhan perpajakan, Rahayu (2010) mengatakan bahwa “pada prinsipnya
kepatuhan perpajakan adalah tindakan wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban
perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”.
Pengertian kepatuhan wajib pajak menurut Chaizi Nasucha yang dikutip oleh
Siti Kurnia Rahayu (2010:139), menyatakan bahwa kepatuhan wajib pajak dapat
didefinisikan dari:
a. kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri,
b. kepatuhan untuk menyetorkan kembali Surat Pemberitahuan (SPT),
c. kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang, dan
d. kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
Kepatuhan wajib pajak dapat dibedakan menjadi kepatuhan formal dan
kepatuhan material (Rahayu, 2010:138).
a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana wajib pajak memenuhi
kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
perpajakan.
b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana wajib pajak secara
hakekatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi
dan jiwa undang-undang perpajakan. Kepatuhan material juga dapat meliputi
kepatuhan formal.
Menurut Rahayu (2010:140) kepatuhan wajib pajak dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu kondisi sistem administrasi perpajakan suatu negara,
pelayanan pada wajib pajak, penegakan hukum perpajakan, pemeriksaan pajak, dan
tarif pajak.
2.1.2 Sistem Pemungutan Pajak
Sistem perpajakan suatu negara menurut Erly Suandy dalam Irawan (2013)
terdiri atas tiga unsur, yakni kebijakan perpajakan (Tax Policy), undang-undang
pajak (Tax Law) dan administrasi perpajakan (Tax Administration). Sistem
perpajakan dapat disebut sebagai metode atau cara bagaimana mengelola hutang
pajak yang terutang oleh wajib pajak dapat mengalir ke kas negara. Sistem
pemungutan pajak menurut Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2011:30) yakni:
a. Official Assessment System yakni sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak
yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.
b. Semi Self Assessment System yakni suatu sistem pemungutan pajak yang
memberi wewenang kepada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya
utang pajak.
c. Self Assessment System yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan,
menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak. Sistem ini
merupakan sistem pemungutan pajak yang diterapkan di Indonesia sampai saat
ini.
d. Witholding System yakni suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong/memungut besarnya pajak
yang terutang.
2.1.3 Sanksi Perpajakan
Sanksi merupakan suatu tindakan yang berupa hukuman yang diberikan
kepada seseorang yang telah melanggar suatu peraturan. Peraturan atau undang-
undang merupakan rambu-rambu bagi seorang individu untuk mengetahui perilaku
yang diperbolehkan atau tidak untuk dilakukan. Sanksi diperlukan agar peraturan
atau perundang-undangan tidak dilanggar. Sanksi pajak merupakan jaminan bahwa
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan akan dituruti/ditaati/dipatuhi,
dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak
melanggar norma perpajakan (Mardiasmo, 2011:59). Dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
disebutkan bahwa ada dua macam sanksi, yaitu:
a. sanksi administrasi, yang terdiri dari:
1) sanksi administrasi berupa denda
Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam
undang-undang perpajakan. Terkait besarannya denda dapat ditetapkan
sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu angka
perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini
akan ditambah dengan sanksi pidana.
2) sanksi administrasi berupa bunga
Sanksi ini biasa dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang pajak
menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu
dari suatu jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai
dengan saat diterima dibayarkan.
3) sanksi administrasi berupa kenaikan
Sanksi ini bisa jadi sanksi yang paling ditakuti oleh wajib pajak. Hal ini
karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak yang harus dibayar bisa
menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya dihitung
dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang
dibayar.
b. sanksi pidana, yang terdiri dari:
1) pidana kurungan
Sanksi ini biasa terjadi karena adanya tindak pidana yang dilakukan karena
kealpaan. Batas maksimum hukuman kurungan ialah satu tahun, pekerjaan
yang harus dilakukan oleh para tahanan kurungan biasanya lebih sedikit dan
lebih ringan, selain di penjara negara, dalam kasus tertentu diizinkan
menjalaninya di rumah sendiri dengan pengawasan yang berwajib,
kebebasan tahanan kurungan lebih banyak, pada dasarnya tidak ada
pembagian atas kelas-kelas, dan dapat menjadi pengganti hukuman denda.
2) pidana penjara
Sanksi ini biasa terjadi karena adanya tidak pidana yang dilakukan dengan
sengaja. Batas maksimum penjara ialah seumur hidup, pekerjaan yang
dilakukan oleh tahanan penjara biasanya lebih banyak dan lebih berat,
terhukum menjalani di gedung atau di rumah penjara, kebebasan para
tahanan penjara amat terbatas, dibagi atas kelas-kelas menurut kualitas dan
kuantitas kejahatan dari yang tergolong berat sampai dengan yang teringan,
dan tidak dapat menjadi pengganti hukuman denda.
United States Government Accountability Office (2009) dalam Indriyani
(2014) menyatakan sanksi perpajakan dimaksudkan untuk meningkatkan
kepatuhan pelaporan pajak.
2.1.4 Reformasi Perpajakan
Menurut Liberti Pandiangan (dalam Rapina, dkk, 2011) modernisasi
perpajakan yang dilakukan merupakan bagian dari grand design reformasi
perpajakan (tax reform) secara komprehensif. Sebagaimana yang menjadi sasaran
sejak tahun 2002, bahwa reformasi perpajakan secara komprehensif sebagai satu
kesatuan dilakukan terhadap tiga bidang pokok atau utama yang secara langsung
menyentuh pilar perpajakan, yaitu.
a. Bidang Administrasi, yakni melalui modernisasi administrasi perpajakan
Melalui modernisasi administrasi perpajakan, diharapkan terbangun pilar-pilar
pengelolaan perpajakan nasional yang baik dan kokoh sebagai fundamental
penerimaan negara yang baik dan berkesinambungan (sustainable revenue) ke
depan. Dalam hal ini, pengelolaan perpajakan pada dasarnya tidak menutup diri
terhadap pandangan, pendapat, atau kritisi dari berbagai pihak eksternal.
Direktorat Jenderal Pajak berupaya terbuka (transparency) dan menjadikannya
sebagai masukan dalam menata dan membangun sistem pengelolaan
perpajakan yang baik dan modern.
b. Bidang Peraturan, dengan melakukan amandemen terhadap undang-undang
perpajakan
Dari aspek peraturan perpajakan, terus diupayakan dan dilakukan
pengembangan yuridis formal dan materil perpajakan. Langkah yang dilakukan
yakni melalui penyesuaian dan pembaruan peraturan seirama dengan
perkembangan yang terjadi dalam tatanan kehidupan masyarakat, negara,
maupun kegiatan ekonomi. Alasannya karena suatu peraturan pada dasarnya
harus dapat mengikuti dan diikuti oleh kehidupan masyarakat, negara, dan
pemangku kepentingan. Bila tidak, maka peraturan tersebut justru bisa menjadi
penghambat (barrier) bahkan kontradiktif, sehingga pencapaian sasaran dapat
menjadi tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
c. Bidang Pengawasan, membangun bank data perpajakan nasional
Di bidang pengawasan, dibangun bank data perpajakan nasional sebagai upaya
menyeimbangkan pelaksanaan sistem self assessment dengan official
assessment dalam penghitungan dan penetapan besarnya pajak yang terutang,
sebagaimana diatur dalam UU Perpajakan. Selain itu pembangunan bank data
perpajakan nasional juga bertujuan untuk melakukan kegiatan ekstensifikasi
dan intensifikasi perpajakan. Melalui kegiatan ekstensifikasi, berdasarkan data
dan informasi yang ada maka diimbau agar masyarakat yang telah memenuhi
syarat untuk mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk memperoleh Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP). Untuk orang pribadi, batasannya adalah bagi
mereka yang telah memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) baik yang sudah berkeluarga maupun yang belum berkeluarga.
Setelah masyarakat mengetahui himbauan ini, dan ternyata masyarakat belum
mendaftarkan diri sendiri sebagai wajib pajak seiring sistem self assessment,
untuk menyeimbangkannya dilakukan penerbitan NPWP secara jabatan
(official assessment). Melalui ekstensifikasi, akan terjadi perluasan basis pajak
yakni dengan pertambahan jumlah wajib pajak, terutama orang pribadi. Dalam
kondisi seperti itu, akan terwujud aspek keadilan dalam perpajakan. Seiring
dengan itu untuk kegiatan intensifikasi dilakukan berbagai upaya kegiatan. Di
antaranya melalui model Optimalisasi Pemanfaatan Data Perpajakan (OPDP).
Malcolm Gillis (Sofyan, 2005) berpesan bahwa reformasi perpajakan di
negara berkembang dapat berhasil apabila program reformasi menghasilkan
perubahan yang mendasar dalam sistem perpajakan yang memiliki dua elemen
dasar yang saling mempengaruhi, yang pertama yaitu struktur pajak, yang kedua
yaitu mekanisme dan institusi yang mengatur administrasi perpajakan dan
kepatuhan perpajakan. Struktur pajak terdiri dari konfigurasi dari dasar pajak dan
tarif pajak. Administrasi dan kepatuhan perpajakan terdiri dari prosedur, peraturan
yang mengatur penghitungan pajak, pemungutan, pemeriksaan, sanksi, banding,
dan data termasuk teknologi informasi, struktur penghargaan pelayanan
masyarakat, pengungkapan yan diperlukan dan prinsip akuntansi perusahaan.
Alasan dilakukannya reformasi perpajakan menurut Summer, et al. yang
dikutip oleh Sofyan (2005), yaitu:
a. sebagai bagian penyesuaian struktur. Reformasi perpajakan digunakan untuk
mengurangi distorsi dari rangsangan ekonomi dan terjadinya ketidakefisienan
dan ketidakadilan dalam alokasi sumber daya,
b. sebagai bagian dari usaha menstabilkan ekonomi. Reformasi perpajakan,
bersamaan pemotongan belanja negara, untuk menghasilkan pendapatan secara
rasional tanpa distorsi adil dan berkelanjutan.
Bird dan Jantscher berpendapat bahwa perubahan kebijakan perpajakan
tanpa didukung perubahan perpajakan menjadi tak berarti (Sofyan, 2005).
Perubahan di bidang perpajakan harus sejalan dengan kapasitas administrasinya,
karena administrasi perpajakan merupakan kebijakan di bidang perpajakan yang
mempunyai hubungan tak terpisahkan.
2.1.5 Administrasi Perpajakan
Menurut Lumbantoruan (1997) dalam Candra, dkk (2013), administrasi
perpajakan merupakan cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.
Dalam arti sempit menurut Nurmantu dalam Aprilina (2013), administrasi
perpajakan merupakan penatausahaan dan pelayanan atas hak-hak dan kewajiban-
kewajiban pembayar pajak yang dilakukan di kantor pajak maupun di tempat wajib
pajak. Mengenai peran administrasi perpajakan, menurut Carlos A. Silvani
(Sofyan, 2005) administrasi perpajakan dikatakan efektif apabila mampu mengatasi
masalah-masalah berikut ini:
a. wajib pajak tidak terdaftar (unregistered taxpayers)
Artinya sejauh mana administrasi pajak mampu mendeteksi dan mengambil
tindakan terhadap anggota masyarakat yang belum terdaftar sebagai wajib
pajak meskipun seharusnya yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan
untuk menjadi wajib pajak.
b. wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT (stop filling taxpayers)
Wajib pajak yang sudah terdaftar di administrasi kantor pajak tetapi tidak
menyampaikan surat pemberitahuan. Administrasi pajak dituntut untuk dapat
mengumpulkan data sekaligus menindaklanjutinya dengan meminimalkan
kasus seperti ini.
c. penyelundup pajak (tax evaders)
Wajib pajak yang melaporkan pajak lebih kecil dari yang seharusnya menurut
ketentuan peraturan perundang–undangan. Keberhasilan sistem self
assessment yang memberi kepercayaan sepenuhnya kepada wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang, sangat
tergantung dari kejujuran wajib pajak. Tidak mudah untuk mengetahui apakah
wajib pajak melakukan penyelundupan pajak atau tidak, maka dari itu
dukungan adanya bank data tentang wajib pajak dan seluruh aktivitas usahanya
sangat diperlukan.
d. penunggak pajak (delinquent tax payers)
Dari tahun ke tahun tunggakan pajak jumlahnya semakin besar. Upaya
pencairan tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan penagihan
secara intensif.
Gunadi berpendapat (Rapina, dkk. 2011) dalam menilai seberapa baik
kemampuan administrasi perpajakan dalam mengumpulkan penerimaan, perlu
diingat sasaran administrasi pajak yakni meningkatkan kepatuhan pembayar pajak
dan melaksanakan ketentuan perpajakan secara seragam untuk mendapatkan
penerimaan maksimal dengan biaya yang optimal. Administrasi perpajakan dituntut
bersifat dinamik sebagai upaya peningkatan penerapan kebijakan perpajakan yang
efektif. Kriteria fisibilitas administrasi menuntut agar sistem pajak baru
meminimalisir biaya administrasi (administrative cost) dan biaya kepatuhan
(compliance cost) serta menjadikan administrasi pajak sebagai bagian kebijakan
pajak.
2.1.6 Reformasi Administrasi Perpajakan
Menurut Gunadi dalam Fitriah (2011) reformasi perpajakan meliputi dua area,
yaitu reformasi kebijakan pajak (tax policy) yaitu regulasi atau peraturan
perpajakan yang berupa undang-undang perpajakan dan reformasi administrasi
perpajakan. Tujuan utama dari reformasi administrasi adalah untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Kedua,
untuk mengadministrasikan penerimaan pajak sehingga transparansi dan
akuntabilitas penerimaan sekaligus pengeluaran pembayaran dana dari pajak setiap
saat bisa diketahui. Ketiga, untuk memberikan suatu pengawasan terhadap
pelaksanan pemungutan pajak, terutama adalah kepada aparat pengumpul pajak,
kepada Wajib Pajak, ataupun kepada masyarakat pembayar pajak.
Chaizi Nasucha dalam Rapina (2011) berpendapat bahwa reformasi
administrasi perpajakan adalah penyempurnaan atau perbaikan kinerja
administrasi, baik secara individu, kelompok, maupun kelembagaan agar lebih
efisien, ekonomis dan cepat. Dua tugas utama reformasi administrasi perpajakan
adalah untuk mencapai efektivitas yang tinggi, yaitu kemampuan untuk mencapai
tingkat kepatuhan yang tinggi dan efisiensi berupa kemampuan untuk membuat
biaya administrasi per unit penerimaan pajak sekecil-kecilnya. Efektivitas dan
efisiensi terkadang menciptakan kontradiksi sehingga diperlukan koordinasi dan
ukuran khusus untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi administrasi
perpajakan. Dalam meningkatkan efektivitas digunakan ukuran, yaitu: (1)
kepatuhan pajak sukarela, (2) prinsip-prinsip self assessment, (3) menyediakan
informasi kepada wajib pajak, (4) kecepatan dalam menemukan masalah-masalah
yang berhubungan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran, (5)
peningkatan dalam control dan supervise, (6) sanksi yang tepat. Dalam
meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan secara khusus dapat distimulasi
oleh: (1) penyediaan unit-unit khusus untuk perusahaan besar, (2) peningkatan
perpajakan khusus untuk wajib pajak kecil, (3) penggunaan jasa perbankan untuk
pemungutan pajak.
Chaizi Nasucha mengemukakan bahwa agar reformasi administrasi
perpajakan dapat berhasil, dibutuhkan struktur pajak disederhanakan untuk
kemudahan, kepatuhan, dan administrasi, lalu strategi reformasi yang cocok harus
dikembangkan, dan komitmen politik yang kuat terhadap peningkatan administrasi
perpajakan (Rapina, 2011). Berikut empat dimensi administrasi perpajakan
menurut Chaizi Nasucha.
a. Struktur organisasi
Bahwa struktur organisasi adalah unsur yang berkaitan dengan pola-pola peran
yang sudah ditentukan dan hubungan antar peran, alokasi kegiatan kepada sub
unit-sub unit terpisah, pendistribusian wewenang di antara posisi administratif,
dan jaringan komunikasi formal.
b. Prosedur organisasi
Prosedur organisasi berkaitan dengan proses komunikasi, pengambilan
keputusan, pemilihan prestasi, sosialisasi dan karier. Pembahasan dan
pemahaman prosedur organisasi berpijak pada aktivitas organisasi yang
dilakukan secara teratur.
c. Strategi organisasi
Strategi organisasi dipandang sebagai siasat, sikap pandangan dan tindakan yang
bertujuan memanfaatkan segala keadaan, faktor, peluang, dan sumber daya yang
ada sedemikian rupa sehingga tujuan organisasi dapat dicapai. Strategi
berkembang dari waktu ke waktu sebagai pola arus keputusan yang bermakna.
d. Budaya organisasi
Budaya organisasi didefinisikan sebagai sistem penyebaran kepercayaan dan
nilai-nilai yang berkembang dalam organisasi dan mengarahkan perilaku
anggota-anggotanya. Budaya organisasi mewakili persepsi umum yang dimiliki
oleh anggota organisasi.
2.1.7 Sistem Administrasi Perpajakan Modern
2.1.7.1 Penerapan Sistem Administrasi Modern
Reformasi Perpajakan dilakukan bertahap, tahap pertama dilakukan antara
tahun 2002-2009. Pada tahun tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan
dua perubahan mendasar. Pertama adalah Reformasi Administrasi yang meliputi
restrukturasi organisasi, perbaikan proses bisnis, dan penyempurnaan sistem
manajemen sumber daya manusia. Kedua dilakukan Reformasi Kebijakan, yaitu
dengan mengamademen atas beberapa undang-undang perpajakan dan juga
pemberian stimulus fiskal.
Tahap kedua reformasi perpajakan dilakukan antara tahun 2009-2012,
perubahan DJP difokuskan kepada pengembangan sumber daya manusia dan
penggunaan teknologi informasi dalam administrasi perpajakan. Pengelolaan
terhadap sumber daya manusia merupakan sebuah perubahan subtansial dan belum
pernah dijalankan pada perubahan sebelumnya. Besarnya perubahan yang
dilakukan dalam Reformasi Perpajakan tampak sebagai upaya mewujudkan DJP
yang baru. DJP yang menjalankan administrasi perpajakan secara modern,
berorientasi pada pelayanan kepada wajib pajak, dan memiliki nilai-nilai organisasi
baru yang kuat.
2.1.7.2 Dimensi Penerapan Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Dimensi-dimensi variabel sistem administrasi perpajakan modern sebagai
penerapan sistem administrasi perpajakan modern melalui program dan kegiatan
dalam kerangka reformasi administrasi perpajakan jangka menengah, yaitu
(Sofyan, 2005):
a. Modernisasi Struktur Organisasi (X1)
1) Pembentukan organisasi berdasarkan fungsi
Sebagai wujud pembenahan fungsi pelayanan, pengawasan dan
pemeriksaan, struktur organisasi yang berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 443/KMK.01/2001 disusun menurut jenis pajak, dimana
Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Tidak
Langsung Lainnya (PPN/PTLL) dilayani di KPP, sedangkan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dilayani Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan (KPPBB),
dengan diterapkannya sistem administrasi perpajakan modern struktur
organisasi dirancang dengan paradigma berdasarkan fungsi dengan
pemisahan fungsi yang jelas antara Kanwil dan KPP, dimana KPP
bertanggung jawab melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan,
penagihan dan pemeriksaan, sedangkan Kanwil bertanggungjawab
melaksanakan fungsi pengawasan pelaksanaan operasional KPP, keberatan
dan banding, serta penyidikan.
KPP Wajib Pajak Besar (Large Tax Office, LTO) dibentuk
berdasarkan Keputusan Menteri Keungan Nomor 65/KMK.01/2002 yang
terakhir diubah dengan Keputusan Menteri Keungan Nomor
587/KMK.01/2003, menangani Wajib Pajak besar nasional dengan kriteria
jumlah peredaran usaha, jumlah pembayaran ataupun jumlah tunggakan
pajaknya. Penerapan sistem administrasi perpajakan modern pada KPP
Khusus yaitu KPP Badan Usaha Milik Negara (BUMN), KPP Penanaman
Modal Asing (PMA), KPP Perusahaan Masuk Bursa (PMB), dan KPP
Badan dan Orang Asing (Badora) berdasarkan Keputusan Menteri
Keungan Nomor 519/KMK.01/2003 jo. 587/KMK.01/2003.
Selanjutnya dengan Keputusan Menteri Keungan Nomor
254/KMK.01/2004, dibentuk/ditetapkan KPP Madya (Middle Tax Office,
MTO) yang menangani Wajib Pajak Badan Besar dalam lingkup kerja
Kanwil, dan KPP Pratama (Small Tax Office, STO), yang menangani
Wajib Pajak Badan kecil dan Wajib Pajak Orang Pribadi, dan Wajib Pajak
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB).
2) Spesifikasi tugas dan tanggung jawab, antara lain:
(a) Account Representative (AR)
Penunjukan Account Representative yang khusus melayani dan
mengawasi pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak secara
langsung. Dengan pembagian tugas disesuaikan dengan kelompok
usaha Wajib Pajak, Account Representative memiliki pemahaman
tentang bisnis dan kebutuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib
Pajak. Account Representative bertanggungjawab untuk memberikan
jawaban atas setiap pertanyaan yang diajukan Wajib Pajak secara
efektif dan profesional, terutama mengenai: Rekening Wajib Pajak
(Taxpayers’ Account) untuk semua jenis pajak, kemajuan proses
pemeriksaan dan restitusi, interpretasi dan penegasan atas suatu
peraturan, perubahan data identitas wajib pajak, tindakan pemeriksaan
dan penagihan pajak, kemajuan proses keberatan dan banding,
perubahan peraturan yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan
wajib pajak.
(b) pemeriksaan pajak dilakukan oleh tenaga fungsional pemeriksa
dengan alokasi tenaga fungsional pemeriksa disesuaikan dengan
tingkat resiko pemeriksaan dan dilakukan pelatihan teknis yang
mendukung profesionalisme tenaga pemeriksa berdasarkan kelompok
usaha wajib pajak;
(c) spesialisasi pegawai lainnya seperti jurusita pajak dan programmer
teknologi informasi.
3) Menyelesaikan dan menyempurnakan implementasi Sistem Informasi
Perpajakan (SIP) menjadi Sistem Administrasi Perpajakan Terpadu
(SAPT). Sistem Informasi Perpajakan (SIP) dikembangkan menjadi Sistem
Administrasi Perpajakan Terpadu (SAPT) yang dikendalikan oleh
manajemen kasus (case management system) dalam sistem pemantauan
proses administrasi perpajakan (workflow system) mengacu pada otomasi
kantor mencakup pelayanan, pengawasan pembayaran dan pemeriksaan
dengan pengendalian proses, otorisasi, pengawasan pelaksanaan tugas serta
pelaporan yang dirancang sesuai ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
4) Monitoring rutin melalui Rekening Wajib Pajak (Taxpayer’s Account)
Transparansi pelayanan dan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak
didukung dengan Taxpayers Account yang berfungsi untuk mencatat secara
otomatis setiap perubahan yang terjadi pada hak dan kewajiban wajib pajak
sebagai akibat dari pembayaran pajak, penetapan, keberatan,
pemindahbukuan, Surat Pemberitahuan (SPT), dan beberapa dokumen
perpajakan lainnya.
5) Jalur pengawasan tugas pelayanan dan pemeriksaan
Dilakukan melalui penetapan standar kinerja perpajakan, penerapan kode
etik pegawai bagi pegawai pajak dan dibentuknya Komite Kode Etik, serta
kerjasama dengan Komite Ombudsman Nasional semakin melengkapi
perangkat pengawasan tugas dan pelayanan dan pemeriksaan.
b. Modernisasi Prosedur Organisasi (X2)
1) Pelayanan satu pintu melalui Account Represetative
Penunjukkan Account Representative yang bertanggungjawab secara
khusus melayani dan mengawasi administrasi perpajakan beberapa Wajib
Pajak dengan mengembangkan konsep pelayanan satu pintu sehingga
mengurangi persinggungan antara Wajib Pajak dengan petugas pajak yang
kemungkinan dapat menimbulkan ekses negatif. Account Representative
juga menangani pemohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) pajak,
Pemindahbukuan setoran pajak (Pbk), ruling dan penerbitan produk hukum.
2) Penyederhanaan prosedur administrasi dan meningkatkan standar waktu
dan kualitas pelayanan dan pemeriksaan pajak. Kegiatan yang dilakukan
antara lain (i) menyederhanakan formulir Surat Pemberitahuan (SPT), (ii)
mempercepat proses penyelesaian keberatan dan banding atas produk pajak,
(iii) pengukuhan Wajib Pajak Patuh untuk mempercepat permohonan
restitusi, (iv) meninjau kriteria Wajib Pajak Pungut untuk mengurangi
permohonan restitusi, (v) meninjau kembali kewajiban pemeriksaan atas
setiap Surat Pemberitahuan Lebih Bayar (SPT LB) dan mempercepat
restitusi Surat Pemberitahuan Lebih Bayar (SPT LB) yang beresiko rendah,
(vi) pemusatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3) Dukungan teknologi informasi modern dalam memberikan pelayanan,
pengawasan, pemeriksaan dan penagihan pajak, antara lain:
(a) SAPT terintegrasi dengan pendekatan fungsi dan prosedur administrasi
yang telah diatur dalam case management dan workflow system
didukung e-system, terutama e-Payment, e-SPT, dan e-filing yang
membantu kecepatan, ketepatan dan keamanan proses perekaman data
administrasi pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak;
(b) otomasi proses pemeriksaan dengan bantuan workflow management
dalam SAPT membantu menghindari duplikasi data, kesalahan
pencatatan dan pengawasan prosedural pemeriksaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan didukung juga dengan
aplikasi Audit Command Language (ACL);
(c) pembangunan bank data dalam konsep masterplan secara nasional dan
kerjasama pertukaran data dengan instansi lain mewujudkan
transparansi data;
(d) otomasi penagihan pajak melalui SAPT sehingga prosedur pengawasan
dan administrasi tunggakan pajak dapat selalu dilakukan. Pelaksanaan
penagihan dilakukan jurusita pajak dengan metode hard dan soft
collection, dimana soft collection dapat dilakukan dengan bantuan
Account Representative;
(e) melaksanakan pelatihan teknologi informasi;
(f) penggunaan teknologi informasi dan e-system lainnya
Dalam menjalankan administrasi perpajakan dan meningkatkan
pelayanan dikembangkan aplikasi seperti e-Regristation, e-Counseling,
Complaint Center, Help Desk, Call Center, Touch Screen yang
didukung Knowledge Base yang berisi Frequently Asked Question
(FAQ), SMS tax, dan saluran komunikasi dan penyuluhan yang lebih
intensif melalui berbagai sarana seperti telepon, e-mail, portal website,
pencatatan dan penyimpanan dokumen yang lebih dapat diandalkan
menggunakan Sistem Manajemen Arsip Terpadu (SMArT), dukungan
peralatan perkantoran yang modern, lengkap, dimana tiap pegawai
dilengkapi personal computer dan akses informasi yang lebih cepat baik
dalam lingkungan intern maupun kepada wajib pajak dimana tiap
terdapat perubahan ketentuan menyangkut wajib pajak akan segera
dikonsolidasikan secara internal, diinterpretasikan dan selanjutnya
segera diinformasikan kepada wajib pajak.
4) Fasilitas perkantoran modern
Perkantoran modern dengan keseluruhan operasi berbasis teknologi dengan
pengadaan sarana dan prasarana yang memenuhi persyaratan mutu dan
menunjang upaya modernisasi administrasi perpajakan di seluruh
Indonesia.
c. Modernisasi Strategi Organisasi (X3)
1) Kampanye sadar dan peduli pajak
Kampanye dan sosialisasi perpajakan sebagai bagian dari good governance
framework melalui berbagai pihak, seperti perguruan tinggi, tokoh agama,
dan juga melalui media masa, portal website, serta pemasangan billboard di
tempat-tempat strategi dan meningkatkan kinerja penyuluhan sebagai
information service dan public relation.
2) Simplifikasi administrasi perpajakan
Dukungan teknologi informasi mempercepat proses pelayanan dan
pemeriksaan dimana basis data dikembangkan dalam jaringan online
memungkinkan kecepatan akses informasi dan juga pelayanan pelaporan
Surat Pemberitahuan (SPT) dan pembayaran pajak secara online
mengurangi administrative cost dan compliance cost.
3) Intensifikasi penerimaan pajak, diantaranya dengan:
(a) melaksanakan pemeriksaan terhadap sektor industri tertentu yang
tingkat kepatuhannya masih rendah dan/atau potensi perpajakannya
masih dapat digali;
(b) meningkatkan kegiatan penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan untuk memberikan detterent effect yang positif;
(c) melaksanakan kegiatan penagihan pajak melalui penyitaan rekening
Wajib Pajak/Penanggung Pajak, pencegahan dan penyanderaan;
4) Melaksanakan pelatihan tentang metode dan teknik pelayanan prima
d. Modernisasi Budaya Organisasi (X4)
1) Program penerapan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good
governace)
(a) Menerapkan kode etik terhadap seluruh pegawai Direktorat Jenderal
Pajak. Tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good
governance) dicirikan oleh adanya kode etik Pegawai Direktorat
Jenderal Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
222/KMK.03/2002 tanggal 14 Mei 2002 sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007
tanggal 23 Juli 2007.
(b) penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan
profesional, antara lain melalui pelaksanaan fit and proper test secara
ketat, penempatan pegawai yang disesuaikan dengan kapasitas dan
kapabilitasnya, reorganisasi, kaderisasi, pelatihan dan pogram
pengembangan self capacity, reward and punishmen, reformasi moral
dan etika.
2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya
Penelitian-penelitian sebelumnya menjadi suatu acuan bagi penelitian ini
untuk dilakukan, antara lain penelitian yang dilakukan Hasan Irawan dan Siti
Khairani (2013) dengan judul “Pengaruh Sistem Administrasi Perpajakan Modern
Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada Kantor Pelayanan Pajak Madya
Palembang”, bertujuan untuk mengetahui pengaruh dimensi-dimensi yang terdapat
dalam sistem administrasi perpajakan modern yaitu struktur organisasi, prosedur
organisasi, strategi organisasi dan budaya organisasi terhadap kepatuhan wajib
pajak. Penelitian ini menjadikan wajib pajak dan pegawai KPP Madya Palembang
sebagai subjek penelitian. Hasil dari penelitian ini secara simultan dimensi-dimensi
dalam sistem administrasi perpajakan tersebut berpengaruh terhadap kepatuhan
wajib pajak, sedangkan secara parsial tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan
wajib pajak.
Siti Aminah (2014) melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Penerapan
Sistem Administrasi Modern terhadap Kepatuhan Wajib Pajak pada Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Kota Surakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh penerapan sistem administrasi perpajakan modern terhadap
kepatuhan wajib pajak dengan variabel independen yang digunakan yaitu struktur
organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi, dan budaya organisasi
sedangkan variabel dependen penelitian ini yaitu kepatuhan wajib pajak. Populasi
dalam penelitian ini adalah wajib pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) Pratama Surakarta. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa struktur
organisasi dan budaya organisasi berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak,
sedangkan prosedur organisasi dan strategi organisasi tidak berpengaruh terhadap
kepatuhan wajib pajak.
Penelitian selanjutnya berjudul “Pengaruh Kesadaran, Penyuluhan,
Pelayanan dan Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi”
yang dilakukan oleh Alifa Nur Rohmawati dan Ni Ketut Rasmini (2011) bertujuan
untuk mengetahui pengaruh kesadaran wajib pajak, penyuluhan, kualitas
pelayanan, dan sanksi perpajakan pada kepatuhan wajib pajak orang pribadi di KPP
Pratama Denpasar Barat. Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa kesadaran wajib
pajak, penyuluhan, pelayanan dan sanksi perpajakan berpengaruh pada kepatuhan
wajib pajak orang pribadi di KPP Pratama Denpasar Barat.
Surliani dan Kardinal (2014) melakukan penelitian mengenai “Pengaruh
Pemahaman, Kualitas Pelayanan, Ketegasan Sanksi Pajak dan Pemeriksaan
Perpajakan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Pada KPP Ilir Barat”. Penelitian ini
dilakukan untuk membuktikan pengaruh pemahaman, kualitas pelayanan,
ketegasan sanksi pajak, dan pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak
secara parsial dan simultan. Populasi dari penelitian ini adalah wajib pajak orang
pribadi dengan jumlah sampel yang diambil sebanyak 100 orang. Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa baik secara simultan maupun parsial terdapat
pengaruh antara variabel pemahaman, kualitas pelayanan, ketegasan sanksi pajak
dan pemeriksaan perpajakan terhadap kepatuhan wajib pajak.
2.3 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian (Sugiyono, 2013:93). Hipotesis dalam penelitian ini terbagi menjadi lima
yaitu hipotesis variabel struktur organisasi, prosedur organisasi, strategi organisasi
dan budaya organisasi yang merupakan dimensi dari modernisasi sistem
administrasi perpajakan dan hipotesis variabel sanksi perpajakan.
2.3.1 Pengaruh Struktur Organisasi pada Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Robinson dalam penelitian Fitriah (2011), menyatakan bahwa
struktur organisasi memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adanya rencana formal untuk menciptakan pembagian kerja
yang efisien dan koordinasi yang efektif dari kegiatan-kegiatan anggota organisasi.
Madewing (2013) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa struktur organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Dengan adanya
modernisasi struktur organisasi kerja yang lebih baik seperti pembentukan
organisasi berdasarkan fungsi, spesifikasi tugas dan tanggung jawab seperti adanya
bagian pengawasan, penagihan dan pemeriksaan, maka akan memudahkan wajib
pajak dalam melaporkan pajaknya sehingga kepatuhan wajib pajak akan meningkat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
H1: struktur organisasi berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur.
2.3.2 Pengaruh Prosedur Organisasi pada Kepatuhan Wajib Pajak
Lazzaro dalam Fitriah (2011) mengemukakan bahwa prosedur organisasi
adalah perincian langkah-langkah dari sistem dan rangkaian kegiatan yang saling
berhubungan erat satu sama lainnya untuk mencapai tujuan tertentu. Prosedur
organisasi memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Menurut Ismawan
dalam Fitriah (2011), agar terciptanya kepatuhan sukarela ada beberapa faktor,
diantaranya: pelayanan yang baik, prosedur yang sederhana dan mudah,
pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif. Sofyan (2005) di dalam
penelitiannya menyatakan prosedur organisasi berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
H2: prosedur organisasi berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur.
2.3.3 Pengaruh Strategi Organisasi pada Kepatuhan Wajib Pajak
Strategi organisasi dipandang sebagai siasat, sikap pandangan dan tindakan
yang bertujuan memanfaatkan segala keadaan, faktor, peluang, dan sumber daya
yang ada sedemikian rupa sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan berhasil
dan selamat (Sofyan, 2005). Melalui penyampaian informasi perpajakan dan
penyuluhan perpajakan yaitu dengan penyusunan konsep program, sistem dan
metode yang sistematis dan komperhensif, peningkatan kualitas sumber daya
manusia dengan diklat penyuluhan pajak, intensifikasi penerimaan pajak dapat
memengaruhi kepatuhan wajib pajak melalui modernisasi strategi organisasi.
Sofyan (2005) di dalam penelitiannya menyatakan bahwa strategi organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
H3: strategi organisasi berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur.
2.3.4 Pengaruh Budaya Organisasi pada Kepatuhan Wajib Pajak
Sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang berkembang dalam
organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya merupakan definisi dari
budaya organisasi yang dikemukakan oleh Sofyan (2005). Budaya organisasi
memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak dapat diketahui melalui,
penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan profesional dengan
pelaksanaan fit and proper test secara ketat, penempatan pegawai yang disesuaikan
dengan kapasitas dan kapabilitasnya, reorganisasi, kadernisasi, reward and
punishment, reformasi, nilai, moral serta komitmen terhadap tugas. Penelitian yang
dilakukan Sofyan (2005) mengemukakan bahwa budaya organisasi berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak.Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
H4: budaya organisasi berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur.
2.3.5 Pengaruh Sanksi Perpajakan pada Kepatuhan Wajib Pajak
Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan akan dituruti atau ditaati atau dipatuhi, dengan
kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah agar wajib pajak tidak
melanggar norma perpajakan (Mardiasmo, 2011:59). Dalam undang-undang
perpajakan terdapat dua jenis sanksi, berupa sanksi pidana dan administrasi.. Sanksi
perpajakan dikenakan kepada wajib pajak yang tidak patuh dalam memenuhi
perpajakannya. Sanders, et al dan Yadnyana dalam Rohmawati (2012) di dalam
penelitiannya menyatakan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh positif terhadap
kepatuhan wajib pajak. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut.
H5: sanksi perpajakan berpengaruh positif pada kepatuhan wajib pajak di Kantor
Pelayanan Pajak Pratama Denpasar Timur.