BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Wijayatieprints.umm.ac.id/42781/3/BAB II.pdf · dalam...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Wijayatieprints.umm.ac.id/42781/3/BAB II.pdf · dalam...
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Wijayati, “Studi Analisis Tentang Relevansi Pendayagunaan Zakat Produktif di
Lazismu PDM Klaten dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat" Pendayagunaan zakat merupakan bagian dari isi Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan zakat atas perubahan dari
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahi
pendayagunaan zakat yang dilakukan LAZISMU PDM Klaten (Lembaga Amil
Zakat Infaq dan Shadaqah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Klaten). Serta
relevansinya dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat. Masyarakat muslim menjadi penduduk mayoritas di wilayah Klaten. Umat
muslim mencapai angka 1.079.992 jiwa yang sangat diharapkan kesadarannya
dalam membayar zakat. Potensi zakat akan sangat maksimal apabila kesadaran
muzaki dalam membayar zakat sangat tinggi. Pendayagunaan zakat produktif oleh
lembaga amil zakat diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup mustahiq.
Pendayagunaan yang disertai pendampingan akan memberi arahan dan motivasi
kepada mustahiq. Perlunya penambahan kemampuan mustahiq untuk mengelola
modal usaha adalah tanggung jawab lembaga amil zakat. Kemampuan dalam
mengelola modal usaha yang diberikan akan menjadikan mustahiq lebih kreatif dan
mampu mempertahankan usahanya. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
zakat didayagunakan sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2011. LAZISMU PDM
Klaten memperhatikan prioritas kebutuhan mustahiq sebelum menyalurkan zakat.
Pendayagunaan zakat diprioritaskan untuk asnaf faqir dan miskin.
2. 3
3. Iwan Tandi Bin Dede,tentang “Zakat profesi merupakan salah satu kajian baru
dalam fiqh ( Hukum Islam)” . Alqurān dan al-Sunah, tidak memuat aturan hukum
yang tegas mengenai zakat profesi ini. Fenomena yang terjadi adalah timbulnya
permasalahan yang muncul terkait dengan pelaksanaan zakat khususnya zakat
3 Wijayati, Wijayati. Studi Analisis Tentang Relevansi Pendayagunaan Zakat Produktif di Lazismu PDM Klaten
dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Diss. IAIN Surakarta, 2017. Hal:
23-29
5
6
profesi terkait penghimpunan zakat profesi di BAZ Kecamatan Parongpong yang
mewajibkan seluruh pengurus atau karyawannya mengeluarkan zakat 2,5% dari
gajinya dan terkait pendayagunaan zakat profesi di BAZ Kecamatan Parongpong
yang belum adanya kejelasan dan transparasi program pendistribusian zakat profesi
yang telah dihimpun atau di kumpulkan setiap bulannya. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui (1) Pelaksanaan zakat profesi menurut fiqh Muamalah dan Undang-
undang No.23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat, (2) Pelaksanaan zakat
profesi BAZ Kec.Parongpong,(3) Analisis pelaksanaan zakat profesi di BAZ
Kecamatan Parongpong menurut fiqh Muamalah dan Undang-undang No.23
Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat. Metode penelitian yang digunakan adalah
penelitian pustaka (Library research) dan lapangan (Field Research). Penelitian
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan teknik data melalui
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Metode analisis datanya menggunakan
teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, Pertama
pelaksanaan zakat profesi menurut fiqh muamalah dikelolah oleh amal, nizab zakat
profesi dianalogkan pada zakat emas dan perak sebesar 2,5%. Adapun
pendayagunaannya diberikan kepada delapan Asnaf. Sedangkan pelaksanaan zakat
profesi menurut UU No. 23 Tahun 2011 Tentang pengelolaan Zakat bahwa zakat
Profesi dikelola oleh BAZ dan Laz, nisab dan ketentuan serta jumlah yang harus
dikeluarkannya. Adapun pendayagunaan zakat pendapatan dan jasa yang
diatur dalam pasal 4 yaitu pengumpulan zakat didayagunakan untuk mustahiq
sesuai dengan syari’at Islam. Kedua pelaksanaan zakat profesi di BAZ Kecamatan
Parongpong menetapkan semua bentuk penghasilan halal wajib di keluarkan
zakatnya 2,5 %. Dan kemudian dana yang terkumpul didayagunakan sesuai dengan
program BAZ. Ketiga pelaksanaan zakat profesi di BAZ Kec.Parongpong belum
sesuai dengan Fiqh Muamalah dan Undang-Undang No 23 Tahun 2011 Pasal
(1) ayat 1. Adapun Pelaksanaan pendayagunaan zakat profesi di
BAZ Kec.Parongpong sudah sesuai dengan Fiqh Muamalah. Akan tetapi belum
sesuai dengan Undang-undang No 23 Tahun 2011 pasal 23 ayat (1) dan pasal 2.4
4. Rani Rahmat, tentang “Transparasi dan Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Infaq,
Shadaqah, (Studi Kasus pada Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Buleleng)”.
4 Dede, Iwa Tandi Bin, Neneng Nurhasanah, and Eva Misfah Bayuni. "Analisis Pelaksanaan Zakat Profesi
Menurut Fiqih Muamalah dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 (Studi Kasus BAZ Kec. Parongpong)."
Prosiding Keuangan & Perbankan Syariah .2 (2017): 353-361.
7
Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Buleleng atau Lembaga Amil Zakat adalah
mengelola dana zakat, infaq, shadaqah (ZIS) dari muzakki, sebagai penguat sosial
dan ekonomi. Penelitian ini dilakukan di Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten
Buleleng yang beralamat Jalan Udayana No.17 Singaraja. Akuntabilitas dalam
pengelolaan ZIS sangat diperlukan untuk mewujudkan kepercayaan pihak-pihak
yang terkait, seperti muzakki, mustahiq, pemerintah maupun masyarakat secara
keseluruhan. Penelitian ini termasuk penelitian dengan pendekatan kualitatif berupa
(1) data primer, yaitu sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data. Untuk data primer, pengambilan data dilakukan dengan bantuan
catatan lapangan dan observasi mendalam oleh peneliti dan (2) data Sekunder yaitu,
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya
lewat orang lain atau dokumen. Untuk data sekunder berupa bukti, catatan, atau
laporan historis yang selalu tersusun (data dokumen). Hasil penelitian ini
menemukan bahwa akuntabilitas pengelolaan ZIS pada BAZ Kabupaten Buleleng
bahwa akuntabilitas pengelolaan zakat BAZ (Badan Amil Zakat) Kabupaten
Buleleng dapat dilihat dari perspektif internal dan eksternal organisasi sebagai
pelaksana pengelolaan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah). Dalam perspektif internal
organisasi, akuntabilitas ditujukan kepada karyawan dan pemerintah daerah (Bupati
dan DPRD) sebagai stakeholders BAZ. Sedangkan bentuk akuntabilitas
pengelolaan ZIS dalam perspektif eksteral organisasi ditujukan kepada stakeholders
BAZ lainnya yaitu muzakki dan mustahik.5
5. Sari, tentang “Penggunaan Zakat Produktif untuk Memberdayakan Masyarakkat
Muslim Pengandang Disabilitas (Kajian dari UU NO.8 Tahun 2016 dan NO.23
Tahun 2011)” Setiap manusia menginginkan dilahirkan dalam keadaan normal,
tetapi karena berbagai sebab tidak sedikit orang-orang yag mengalami kecacatan
dalam berbagai macam, sehingga mereka menjadi penyandang cacat/disabilitas.
Dalam kehidupan bermasyarakat, berdasarkan UU No.8 tahun 2016 tentang
penyandang disabilitas mereka tetap mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dengan orang-orang normal. Mereka harus diberikan bantuan dan pemberdayaan,
karena para penyandang cacat disabilitas ini mengacu pada UU No.8 tahun 2016
5 Rahmat, Rani, et al. “Transparasi dan Akuntabilitas Pengelolaan Zakat, Infaq, Shadaqah, (Studi Kasus pada
Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten Buleleng)” JIMAT (Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi) Undiksha 7.1
(2017).
8
tentang penyandang disabilitas, mempunyai hak yang sama untuk bisa hidup layak.
Ada beberapa produk Undang-Undang lain yang memberi perlindungan hak kepada
para penyandang cacat, diantaranya adalah Undang-undang No.23 tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat bagi warga muslim penderita cacat disabilitas bila
mengacu kepada Undang-Undang No.23 tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat
berbasis untuk mendapatkan batuan dari dana zakat infak dan shadaqah, terutama
Zakat Produktif untuk memberdayakan kehidupan meraka agar bermanfaat bagi diri
mereka dan masyarakat terutama bantuan itu bila mengacu ke UU No.8 tahun 2016
di atas, bisa diberikan sebagai modal usaha yang bisa digunakan untuk mencari
nafkah dan mengembangkan potensi kaum penyandang cacat/disabilitasi.6
6. Purnomo, Joko Hadi “Pengaruh pengelolaan zakat terhadap penanggulangan
kemiskinan dengan pemberdayaan zakat dan pendayagunaan zakat sebagai
variabel moderating (studi di yayasan sosial dana al-falah (YDSF) propinsi Jawa
Timur” Salah satu masalah yang dihadapi pemerintah dalam pembangunan adalah
adanya kesenjangan distribusi pendapatan yang menyebabkan kemiskinan. Di
Provinsi Jawa Timur jumlah rata-rata penduduk muslim 94,79%. Sedangkan jumlah
penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 sebanyak 12.28% atau
4.802.351) jiwa, dengan prosentase penduduk muslim sebesar 94,79%. Penduduk
miskin muslim sebanyak 4.552.149 jiwa. Muslim memiliki kewajiban untuk
membayar zakat bagi yang mampu (diluar penduduk miskin). Fungsi zakat sebagai
instrumen pengentasan kemiskinan, dipengaruhi masalah-masalah: pemberdayaan
zakat, pengelolaan zakat, pendayagunaan zakat. Rumusan masalah tesis ini: 1).
Apakah terdapat pengaruh pemberdayaan zakat terhadap penanggulangan
kemiskinan di Propinsi Jawa Timur; 2). Pengelolaan zakat terhadap pemberdayaan
zakat, 3). Pengelolaan zakat melalui pemberdayaan zakat terhadap penanggulangan
kemiskinan di Propinsi Jawa Timur; 4). Pengelolaan zakat terhadap pendayagunaan
zakat, 5). Pengaruh pendayagunaan zakat terhadap penanggulangan kemiskinan di
Propinsi Jawa Timur, 6). Pengaruh pengelolaan zakat melalui pendayagunaan zakat
terhadap penanggulangan kemiskinan di Propinsi Jawa Timur? Tujuan penelitian
adalah untuk mengetahui dan menganilisa jawaban rumusan masalah penelitian.
Pendekatan penelitian ini adalah mix methode sequential explanatory, yaitu
6 Rianto, Agus. " Penggunaan Zakat Produktif untuk Memberdayakan Masyarakkat Muslim Pengandang
Disabilitas (Kajian dari UU NO.8 Tahun 2016 dan NO.23 Tahun 2011)." Parental 4.2 (2016).
9
menggabungkan metode penelitian kuantitatif dan kualitatif secara berurutan.
Prosedur penelitian, pada tahap pertama menggunakan metode kauntitatif. tahap
kedua menggunakan metode kualatitatif. Metode kuantatif menggunakan analisa
Structural Equation Model- Partial Least Square. Sedangkan analisa kualitatif
menggunakan analisa interaktif. Hasil penelitian membuktikan bahwa:
pemberdayaan zakat berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan di Propinsi
Jawa Timur; Pengelolaan zakat berpengaruh terhadap pemberdayaaan zakat;
Pengelolaan zakat melalui pendayagunaan zakat berpengaruh terhadap pengentasan
kemiskinan; Pengelolaan zakat berpengaruh terhadap pendayagunaan zakat.
Program Pemberdayaan Ekonomi Zakat terbukti mampu menjadikan
mustahiq/fakir miskin menjadi muzaqi. 7
B. Landasan Teoritis
1. Zakat secara umum
Zakat menurut etimologi (bahasa) adalah suci, tumbuh berkembang dan
berkah. Menurut terminologi zakat adalah kadar harta tertentu yang diberikan
kepada yang berhak menerimanya, dengan syarat tertentu.
Sesorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri, jiwa
dan hartanya. Dia telah membersihkan jiwanya dari penyakit kikir (bakhil) dan
memberihkan hartanya dari hak orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang
yang berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya dari penyakit dengki, iri hati
terhadap orang yang mempunyai harta.8
Didalam ajaran Islam, ada dua tata hubungan yang harus dipelihara oleh para
pemeluknya. Keduanya disebut dengan dua kalimat hablumminallah wa
hablumminannāss. Di dalam ajaran Islam, ada beberapa bentuk kewajiban yang
disebut pula dengan istilah ibadah. Zakat yang dikaitkan dengan harta yang
memiliki seseorang tergolong kedalam kewajiban yang disebut dengan istilah
ibadah maliyah (ibadah harta).
Zakat adalah salah satu rukun Islam dan merupakan kewajiban umat Islam.
Selain perkataan zakat, alqurān juga mempergunakan istilah shadaqah untuk
7 Purnomo, Joko Hadi. Pengaruh pengelolaan zakat terhadap penanggulangan kemiskinan dengan
pemberdayaan zakat dan pendayagunaan zakat sebagai variabel moderating (studi di yayasan sosial dana al-
falah (YDSF) propinsi Jawa Timur. Diss. UIN Sunan Ampel Surabaya, 2018. 8 Hasan,M.Ali, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan,(Masail Fiqiyah II), PT Raja Gafindo
Persada,Jakarta,1997. Hal : 1
10
perbuatan-perbuatan yang berkenaan dengan harta kekayaan yang dipunyai
seseorang. Walau tujuannya sama, namun kedua istilah itu berbeda dipandang dari
segi hukum.
Dilihat dari satu segi, bila seseorang mengeluarkan zakat, berarti hartanya
berkurang. Tetapi bila dilihat dari sudut pandang Islam, pahala bertambah dan
hartanya yang masih ada juga membawa berkah. Disamping pahala bertambah,
juga harta itu berkembang karena mendapat ridha dari Allah dan berkat panjatan
doa dari fakir miskin, anak-anak yatim dan para mustahik lainnya yang merasa
disantuni dari hasil zakat itu.9
Zakat ibarat benteng yang melindungi harta dari penyakit dengki dan iri hati
dan zakat ibarat pupuk yang dapat menyuburkan harta untuk berkembang dan
tumbuh.
Hubungan dengan Allah telah terjalin dengan ibarat syarat shalat dan
hubungan dengan sesama manusia telah terkait dengan infaq dan zakat.
Hubungan vertikal dan horizontal perlu dijaga dengan baik. Hubungan ke atas
diperihara, sebagai tanda bersyukur dan berterima kasih, hubungan dengan
sesama dijaga sebagai tanda setia kawan, berbagi rahmad dan nikmat.
Dalam Al-Qur’an Allah Berfirman: “ambillah zakat dari sebagian harta
mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan
berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman iwa
bagi mereka. Dan Allah Maha mendengar lagi maha mengetahui”.10
Surat At-Taubah: 103 di atas menjelaskan, bahwa zakat itu membersihkan
dan mensucikan diri dan harta. Kemudian surat ar-Rum 39 menjelaskan pula
bahwa zakat yang dikeluarkan karena Allah akan melipat gandakan pahala.
Pahala sudah jelas menjadi milik kita, sedangkan harta yang masih ada belum
tentu sepenuhnya akan menjadi milik kita, karena sebab bencana umpamanya
atau karena sebab-sebab lainnya. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apa
yang sudah kita infaqkan, itulah sebenarnya milik hakiki kita, sedangkan yang
selebihnya sebelum tentu.
Bayangan keuntungan yang sifatnya abstrak, yang tidak dapat dirasakan
dengan segera, biasanya kurang menarik untuk sebagian hamba Allah ini, seperti
9 Ali, Muhammad Daud, Sistem ekonomi Islam: zakat dan wakaf, Universitas Indonesia (UI-Press), jakarta,
1988. Hal: 29 10 Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid IV (QS At-Taubah: 103), h.137.
11
imbalan pahala dan kebersihan jiwa. Oleh sebab itu, pemerintah perlu dipertegas,
Allah berfirman :
Dan dirikan shalat dan tunaikan zakat.11 Penyebutan (perintah) shalat dan
zakat secara berbarengan, terdapat pada 82 tempat di dalam Al-Qur’an. Hal ini
berarti, bahwa hubungan dengan Allah dan sesama manusia, tidak boleh
diabaikan, kedua ibadah shalat sholat dan zakat adalah turut sebagai penentu arah
kehidupan manusia, sesudah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Kesadaran berzakat, perlu ditumbuhkan dari dalam diri setiap pribadi, tidak
berzakat karena terpaksa atau dipaksa, apalagi karena malu kepada masyarakat
sekitar. Kalau sudah tumbuh kesadaran dari dalam diri masing-masing, maka
berapapun harta yang diperoleh, akan dikeluarkan hak orang lain yang ada dalam
harta itu, bisa berupa zakat, sekiranya sudah memenuhi syarat, infaq atau sedekah.
Dengan demikian, harta yang dimiliki sudah benar-benar bersih, baik harta yang
dimiliki itu banyak, maupun sedikit.
Sesudah perintah zakat tersebut dipahami dengan baik dan didorong oleh
rasa kesadaran bermasyarakat dan sebagai pernyataan syukur kepada Allah, maka
apapun jenis zakat yang akan dikeluarkan itu, tidak akan ada yang merasa
keberatan, malahan menambah ketenteraman jiwa. 12
2. Prinsip-prinsip Zakat
Menurut M.A Mannan dan dalam bukunya Islamic Economics: Theory and
Practice,13 zakat mempunyai enam prinsip yaitu:
a. Prinsip Keyakinan Keagamaan (faith)
Prinsip keyakinan keagamaan menyatakan bahwa orang yang membayar zakat
yakin bahwa pembayaran tersebut meupakan salah satu manifestasi keyakinan
agamanya, sehingga kalau orang yang bersangkutan belum menunaikan
zakatnya, belum merasa sempurna ibadahnya.
11 Al-Qur’an dan Terjemahan (QS Al-Baqarah: 43). Hal 07. 12 Hasan,M.Ali, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan,(Masail Fiqiyah II), PT Raja Gafindo
Persada,Jakarta,1997. Hal: 3-4. 13 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam zakat dan wakaf, Universitas Indonesia (UI-Press), jakarta,
1988. Hal: 39.
12
b. Prinsip Pemerataan (Equity) dan Keadilan.
Prinsip pemerataan Equity dan keadilan cukup jelas menggambarkan tujuan
zakat yaitu membagi lebih adil kenyataan yang telah diberikan Tuhan kepada
umat manusia.
c. Prinsip Produktivitas (Produtivity) dan Kematangan.
Prinsip produktivitas dan kematangan menekankan bahwa zakat memang wajar
harus dibayar karena milik tertentu menghasilkan produk tertentu. Dan hasil
(produksi) tersebut hanya dapat dipungut setelah lewat jangka waktu satu tahun
yang merupakan ukuran normal memperoleh hasil tertentu.
d. Prinsip Nalar (reason).
Prinsip nalar kebebasan menjelaskan bahwa zakat hanya dibayar oleh orang
yang bebas dan sehat jasmani serta rohaninya, yang merasa mempunyai
tanggung jawab untuk membayar zakat.
e. Prinsip Kebebasan (freedom).
Prinsip kebebasan ini menjelaskan zakat hanya di bayar oleh orang yang bebas
dan sehat asmani serta rohaninya, yang merasa mempunyai tanggung jawab
untuk membayar zakat dan untuk kepentingan seluruh umat atau kepentingan
bersama. Zakat tidak dipungut dari orang yang sedang dihukum atau orang yang
menderita sakit jiwa.
f. Prinsip Etik (ethic) dan Kewajaran.
Prinsip etik dan kewajaran menyatakan bahwa zakat tidak akan di minta secara
semena-mena tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkannnya. Zakat tidak
mungkin dipungut, kalau karena pemungutan itu orang yang membayarnya
justru akan menderita.14
3. Tujuan dari Zakat
Tujuan zakat dalam hubungan ini adalah sasaran praktisinya. Tujuan tersebut,
selain yang telah disinggung di atas, antara lain adalah sebagai berikut:
a. Mengangkat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup
serta penderitaan.
14 Mubiyanto, “Zakat dalam Negara Pancasila”, dalam Pesantren No. 2/ vol III/1986. Hal: 33
13
b. Membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh para gharimin, Ibnu sabil
dan mustahiq lainnya.
c. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan
manusia pada umumnya.
d. Menghilangkan sifat kikir.
e. Membersihkan sifat dengki dan iri (kecemburuan sosial) dari hati orang-orang
miskin.
f. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam
satu masyarakat.
g. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama
pada mereka yang mempunyai harta.
h. Menyerahkan hak orang lain yang ada padanya (pedoman zakat).
i. Sasaran merata pendapatan untuk mencapai keadilan sosial.
4. Manfaat dari menjalankan Zakat
Zakat sebagai lembaga Islam mengandung manfaat yang bersifat rohaniyah dan
filosofis. Hikmah itu digambarkan di dalam berbagai ayat Al-Qur’an (2 : 261, 2 :
267, 9 : 103, 30 : 39) dan al-Hadist. Diantara manfaat-manfaat itu adalah :
a. Mengsyukuri karunia Allah, menambah harta dan pahala serta membersihkan
dari sifat-sifat kikir dan loba, dengki, iri serta dosa.
b. Melindungi masyarakat dari bahaya kemiskinan dan akibat kemelaratan.
c. Mewujudkan rasa solidaritas dan kasih sayang antara sesama manusia.
d. Manifestasi kegotongan dan tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa.
e. Mengurangi kekafirmiskinan yang merupakan masalah sosial.
f. Membina dan mengembangkan stabilitas sosial (pedoman zakat).15
5. Syarat Zakat
Menurut para ulama di Indonesia, ada beberapa syarat zakat yang harus
dipenuhi agar kewajiban zakat dapat dibebankan pada harta yang dipunyai oleh
seorang muslim. Syarat-syarat itu adalah:
15Departemen Agama, Pedoman zakat (4) , Jakarta: proyek pembinaan zakat dan wakaf 1982 :30. Hal: 07
14
a. Pemilik yang pasti.
Artinya sepenuhnya berada dalam kekuasan yang punya, baik kekuasaan
pemanfaatan maupun kekuasaan yang punya, baik kekuasaan pemanfaatan
maupu kekuasaan menikmati hasilnya.
b. Berkembang.
Artinya harta itu berkembang, baik secara alami berdasarkan sunnatullah
maupun bertambah karena ikhitiar atau usaha manusia.
c. Melebihi kebutuhan pokok.
Artinya harta yang dipunyai oleh seseorang yang melebihi kebutuhan pokok
yang diperlukan oleh diri dan keluarganya untuk hidup wajar sebagai manusia.
d. Bersih dari hutang.
Artinya harta yang dipunyai oleh seseorang itu bersih dari hutang, baik hutang
kepada Allah (nazar, wasiat) maupun hutang kepada manusia.
e. Mencapai Nisab.
Artinya harus mencapai waktu tertentu pengeluaran zakat, biasanya dua belas
bulan atau setiap kali setelah menuai atau panen.16
6. Macam-macam Zakat
Macam-macam zakat terdiri dari :
a. Zakat māl atau zakat harta
Zakat harta pada umumnya didalam kitab-kitab hukum (fiqh) Islam harta
kekayaan yang wajib dizakati atau dikeluarkan zakatnya digolongkan kedalam
katagori (1) emas, perak dan uang (simpanan), (2) barang yang diperdagangkan,
(3) hasil perternakan, (4) hasil bumi, (5) hasil tambang dan barang temuan.
Masing-masing kelompok itu berapa nisab haul dan kadar zakatnya.
1. Emas, perak dan uang.
Dasar hukum wajib zakat bagi harta kekayaan yang berupa emas, perak dan
uang adalah Alqurān surah 9 ayat 35. Harta ini dimiliki secara pasti selama
satu tahun penuh dan sampai Nisabnya.
16 Abdullah, Nasih Ulawan Hukum Zakat dalam Pandangan Empat Mazhab,(Jakarta: Litera Antarnusa. 1985).
Hal: 9-15.
15
a. Nisab emas adalah 20 dinar, lebih kurang sama dengan 96 gram emas
murni. Setelah dimiliki selama satu tahun, wajib dikeluarkan zakatnya
sebesar dua setengah persen (2,5%).
b. Nisab perak adalah 200 dirham. Beratnya sama dengan lebih kurang 672
gram. Berdasarkan beberapa hadits, emas dan perak yang menjadi
perhiasan wanita cukup senisap dan memiliki cukup setahun pula,
hendaklah dikeluarkan zakatnya sebanyak dua setengah persen.
c. Nisab uang, baik giral maupun chartal, adalah sama dengan nilai atau
harga 96 gram emas. Bila disimpan cukup setahun, zakatnya adalah dua
setengah persen.17
2. Barang yang Diperdagangkan.
Dasar hukum wajib zakat bagi barang dagangan adalah Al-Qur’an surah 2
ayat 267 dan hadist Nabi yang berasal dari Samurah. Setiap tahun buku,
setelah perdagangan berjalan setahun lamanya, uang yang ada dan semua
barang yang ada dihitung harganya. Dari jumlah itu dikeluarkan zakatnya
dua setengah persen, nisabnya sama dengan nilai harga emas 96 gram. Kini,
zakat perdagangan ini diperluas pada perusahaan atau badan usaha lainnya.
3. Hasil Peternakan.
Dasar hukum wajib zakat bagi binatang ternak adalah hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Bukhari. Wajib dikeluarkan zakatnya adalah ternak yang
telah dipelihara setahun ditempat pengembalaan dan tidak dipekerjakan
sebagai tenaga pengangkutan dan sebagainya, dan sampai nisabnya. Kadar
zakatnya berbeda-beda. Ternak yang dizakati di Indonesia adalah kambing
atau biri-biri, sapi dan kerbau.18
4. Hasil Bumi
Dasar hukum bagi zakat bumi adalah Al-Qur’an surat 2 ayat 267 dan surah
6 ayat 141, serta hadist nabi yang berasal dari Abi Burdah. Pengeluaran
zakatnya tidak harus menunggu satu tahun dimiliki, tetapi harus dilakukan
setiap kali panen atau menuai. Kadar zakatnya lima persen untuk hasil bumi
atas usaha penanaman sendiri dan sepuluh persen pengairannya tadah hujan
tampa usaha yang menanam. Menurut para ahli dalam mazhab Syafi’i, hasil
17 Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya,(Bumi Restu Jakarta: 1978). Hal:40 18 Departemen Agama,Pedoman Zakat (3), (Jakarta: Proyek pembinaan zakat dan wakaf,1982). Hal :49-50
16
bumi yang dizakati itu hanyalah hasil bumi yang menjadi makanan pokok
manusia saja seperti gandum, jelai dan kurma serta anggur kering, seperti
yang disebutkan dalam hadist yang berasal dari Abi Burdah tersebut diatas.
Keempat jenis hasil bumi itu tidak terdapat di Indonesia, dan karena itu “apa
yang kamu keluarkan dari bumi, untuk kamu” seperti yang disebut dalam
Al-Qu’an surat 2 ayat 276 itu oleh ahli hukum Islam Indonesia dirinci sesuai
dengan keadaan di Indonesia. Di tanah air kita selain hasil bumi, juga hasil
laut perlu dikeluarkan zakatnya.
5. Hasil Tambang dan Barang Temuan (Makdim dan Rikaz)
Dalam kitab-kitab hukum (fiqh) Islam barang tambang yang wajib dizakati
hanyalah emas dan perak saja. Demikian juga dengan barang temuan: yang
dizakati terbatas pada emas dan perak saja. Dasar hukumnya berasal dari
Al-Qur’an surah 9 ayat 35 tersebut di atas. Kewajiban untuk menunaikan
zakat barang-barang tambang adalah setiap kali barang itu selesai
dibersihkan (diolah).
a. Nisab barang tambang adalah sama dengan nisab (96 gram) dan perak
(672 gram),kadarnya pun sama, yaitu dua setengah persen. Kewajiban
untuk menunaikan zakat barang temuan adalah setiap kali orang
menemukan barang tersebut.
b. Nisab barang temuan sama dengan nisab emas dan perak. Demikian juga
kadarnya. Di tanah air Indonesia, benda-benda temuan yang disebut
dengan harta karun atau benda kuno itu (bukan hanya emas dan perak)
menjadi milik negara. Penemunya biasanya, mendapat hadiah dari
pemerintah.
Mengenai harta kekayaan yang wajib dikeluarkan zakat hartanya perlu
dicatat bahwa barang yang menjadi zakat harta itu, seperti ternak, padi,
misalnya, haruslah yang baik walaupun bukan yang terbaik dalam jenisnya.
Sekurang-kurangnya sama kualitasnya.
17
7. Orang yang Berhak Menerima Zakat
Sesuai dengan ketentuan di dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 yaitu ada
delapan asnaf atau golongan yang berhak menerima zakat atau yang dikenal dengan
istilah Mustahiq. Berikut kedelapan asnaf yaitu:
a. Fakir
Fakir adalah orang yang penghasilannya tidak mencukupi atau tidak
memenuhi kebutuhan pokok dengan standar hidup masyarakat pada
umumnya. Atau orang-orang yang tidak mempunyai pemasukan atau harta,
dan tidak mempunyai keluarga yang menanggung kebutuhannya. Golongan
fakir memiliki kondisi ekonomi dibawah golongan miskin. Adapun orang-
orang yang berhak menerima zakat dan termasuk dalam katagori fakir yaitu,
anak yatim, anak pungut, janda, orang tua renta, orang yang cacat secara
jasmani, tawanan dan lain-lain yang telah memenuhi syarat membutuhkan.
b. Miskin
Menurut madzab Hanafi dan Maliki keadaan orang miskin lebih buruk
daripada orang fakir. Model penyaluran zakat yang disarankan untuk fakir
dan miskin ini yang pertama adalah dengan memberikan bagian zakat untuk
dinikmati secara konsumtif bagi mereka yang memiliki kekurangan dalam
fisik seperti orang-orang yang sudah jompo yang tidak mungkin lagi
mengusahakan hartanya.
c. Amil
Orang yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat mulai dari
pengumpulan, mencatat keluar masuknya zakat dan membagi kepada para
mustahiq.
d. Muallaf
Muallaf yaitu orang yang baru masuk Islam dan imannya masih lemah,
mereka diharapkan kecenderungan hatinya atau kekayaannya dapat
bertambah terhadap Islam.
e. Hamba sahaya (budak)
Seseorang yang hendak melepaskan dirinya dari ikatan perbudakan.
f. Gharim (orang yang mempunyai banyak hutang sedangkan ia tidak mampu)
Orang yang berhutang untuk kepentingan pribadi dengan syarat hutang
tersebut tidak timbul akibat kemaksiatan, hutang tersebut sudah melilit
pelakunya, dan sudah tidak bisa melunasi hutangnya lagi.
18
g. Fisabilillah
Orang-orang yang berjuang dijalan Allah SWT. Fisabilillah tidak hanya
pada jihat akan tetapi mencangkup semua yang memberi kemaslahatan bagi
umat.
h. Orang yang sedang dalam perjalanan
Yaitu orang asing yang tidak memiliki biaya untuk kembali ke negaranya,
dengan syarat dalam perjalanannya tidak untuk maksiat. 19
8. Zakat Produktif
Pada surat At-Taubah: 60 telah ditegaskan bahwa orang-orang yang berhak
menerima zakat diantaranya adalah fakir miskin. Begitu juga diantara tujuan zakat
adalah menghapuskan kekafiran, kemiskinan dan kemelaratan.
Sebelum membicarakan topik ini, ada baiknya dilihat lebih daulu, bagaimana
sebenarnya kepeduliaan agama Islam terhadap orang fakir miskin. Dalam beberapa
ayat dalam Al-Qur’an ditemukan, agar nasib orang fakir dan miskin itu diperhatikan
benar, karena itulah diantara misi agama Allah itu diturunkan ke atas dunia ini.
Firman allah,“supaya mereka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka
dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah diberikan kepada
mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebagian daripadanya dan
(sebagaian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi
fakir”.20
Masih banyak lagi ayat-ayat lain yang pada dasarnya sangat peduli dan sangat
mementingkan nasib orang yang melarat. Sebagaimana halnya kefakiran, maka
kemiskinan pun perlu diperangi dan dihapuskan dengan berbagai cara yang telah
dipersyaratkan oleh Al-Qur’an.
Sebagaian sanksi hukum bagi orang-orang yang tidak peduli kepada
penderitaan orang yang melarat (fakir miskin) adalah neraka, sebagai sanksi yng
paling besar bagaimana telah dinyatakan pada firman allah “Apakah yang
memasukkan kamu kedalam saqar (Neraka)?” mereka menjawab: “kami dahulu
tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Dan kami tidak pula
memberi makan orang miskin”.21
19 Didin, Harifuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern ( Jakarta: Gema Insani Press, 2002).hal 125. 20 Al-Qur’an dan Terjmaahannya Qs Al-hajj:28, Departemen Agama RI. Hal : 30 21 Al-Mudatstsir 42- 44
19
Sekiranya orang dapat memahami dengan baik ayat di atas, maka akan berdiri
bulu romanya, bila dia tidak mau membayar zakat dan menginfaqkan sebagaian
hartanya untuk kepentingan orang yang tidak punya itu.
Jalan yang dapat ditempuh ada dua cara yaitu: pertama menyantuni mereka
dengan memberikan dana (zakat) yang bersifat konsumtif atau dengan cara kedua,
memberikan modal yang sifatnya produktif, untuk diolah dan dikembangkan.
Sebenarnya, bila kita perhatikan keadaan fakir miskin, maka tetap ada zakat
konsumtif, walaupun ada kemungkinan melaksanakan zakat produktif.
Anak-anak yatim yang belum bisa berusaha (mandiri), orang jompo, atau orang
dewasa yang tidak bisa bekerja karena sakit atau cacat, maka zakat konsumtif tidak
bisa dihindari, mereka wajib disantuni dari sumber-sumber zakat dan infaq lainnya.
Kemudian bagi mereka yang masih kuat bekerja dan bisa mandiri dalam
menjalankan usaha, maka menurut Hemat penulis, dapat ditempuh dua cara yaitu
memberi modal kepada perorangan (individu) atau kepada perusahaan yang
dikelola secara kolektif.
Pemberian modal kepada perorangan harus dipertimbangkan dengan matang
oleh Amil. Apakah mampu orang tersebut mengolah dana yang diberikan itu,
sehingga pada satu saat dia tidak lagi menggantungkan hidupnya kepada orang lain,
termasuk mengharapkan zakat. Apabila hal ini dapat dikelola dengan baik atas
pengawasan dari Amil (bila memungkinkan) maka secara berangsur-angsur, orang
yang tidak punya (melarat) akan terus berkurang dan tidak tertutup kemungkinan,
dia pun bisa menjadi Muzakki (pemberi zakat) bukan lagi sebagai penerima.
Sekiranya usaha itu dikelola secara kolektif, maka orang-orang fakir miskin
yang mampu bekerja menurut keahliannya (keterampilan) masing-masing, mesti
diikut sertakan. Dengan demikian, jaminan (biaya) sehari-hari dapat diambil dari
usaha bersama itu. Apabila usaha itu berhasil (beruntung), maka mereka menikmati
bersama juga hasilnya itu. Hal ini tentu memerlukan manajemen yang teratur rapi
dan sebagai pemimpinnya dapat ditunjuk dari kalangan orang-orang yang tidak
mampu itu (fakir miskin) atau ditunjuk orang lain yang ikhlas beramal membantu
mereka. Apabila persoalan ini ditangani dengan sungguh-sungguh optimis akan
keberhasilannya kendati pun mereka belum dapat sebagai muzakki, tetapi sekurang-
kurangnya tidak menjadi beban lagi bagi anggota masyarakat.
Dari tahun ketahun, sudah dapat dialihkan pemikiran untuk mengatasi kesulitan
orang lain yang belum pernah kena sentuhan zakat atau infaq, atau bisa tertujuh
20
perhatian kepada penerimaan zakat konsumtif, yang sukar menghindari
sebagaimana telah dikemukakan diatas.
Sebagaimana diketahui sasaran yang menerima zakat, tidak hanya fakir miskin,
tetapi masih banyak lagi sasaran lain seperti sabilillah yang sangat luas
cangkupannya sebagaimana telah dikemukakan terdahulu. Jadi, menurut Hemat
penulis zakat produktif itu dapat dilaksanakan asal saja pengelolaannya sudah
dipikirkan matang-matang dan sementara belum memasyarakat, hendaknya ada
tuntunan (bimbingan) khusus dari adan (lembaga) pengelolaan zakat, seperti
Bazis.22
9. Zakat Menurut Undang-Undang
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan beribadah sesuai dengan keyakinan agama masing-masing yang
dianut. Penunaian zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai
dengan syariat Islam. Zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk
meningkatkan keadilan, kesejahteraan masyarakat dan penanggungan kemiskinan.
Dalam rangka meningkatkan daya guna zakat harus dikelola secara
kelembagaan sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat.
Selama ini pengelolaan zakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang pengelolaan zakat dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Setelah melalui proses
penggantian Undang-Undang maka munculah Perundang-Undangan baru yaitu
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat produktif.
Pengelolaan zakat diatur dalam Undang-Undang ini meliputi kegiatan perencanaan,
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.
Peraturan Perundang-Undangan zakat tersebut dijelaskan dan diatur pada
Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat Produktif. Yaitu menimbang:
22 Hasan,M.Ali, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan,(Masail Fiqiyah II), PT Raja Gafindo
Persada,Jakarta,1997. Hal : 19-24
21
1. Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu;
2. Bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang
mampu sesuai dengan syariat Islam;
3. Bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk
meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
4. Bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus
dikelola seara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
5. Bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat
sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat sehingga perlu diganti;
6. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksut dalam huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang
Pengelolaan Zakat;
Zakat yang diatur dalam Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat pada Bagian Ketiga yaitu Pendayagunaan pada
Pasal 27 yang berbunyi:
1. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha Produktif dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
2. Pendayagunaan zakat untuk usaha Produktif sebagaimana dimaksut pada
ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha
produktif sebagaimana dimaksut pada ayah (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Dari sinilah asal dari fokusnya Perundang-Undangan yang akan membahas dan
menyangkup semua peraturan-peraturan yang ada didalam pendayagunaan Zakat
Produktif.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan
BAZNAS kabupaten/ kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintahan nontruktural
yang bersifat mandiri dan bertanggungjawab kepada Presiden melalui Menteri.
22
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat
secara nasional. Badan Amil Zakat Nasional ini juga berada dalam peraturan
Perundang-Undangan Nomor 23 Tahun Pengelolaan Zakat. Badan Amil Zakat Nasional
ini berada pada Bab III pada bagian Kesatu Umum, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, dan pada
bagian Kedua keanggotaan Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal
14, pada bagian Ketiga BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota.
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ).
Pembentukan LAZ wajib mendapatkan ijin dari menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh
menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah di audit syariat
Islam dan keuangan.
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pendistribusian dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip
kemelaratan, keadilan, dan kewilayahan. Yang dimaksut Mustahiq disini adalah orang-
orang yang berhak menerima zakat. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif
dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat apabila
kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
Selain penerimaan Zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak,
sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan
dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan
pencatatan dalam pembukuan tersendiri.
Untuk melaksanaan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan Hak Amil. Sedangkan BAZNAS provinsi dan BAZNAS
kabupaten/kota dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak
Amil, serta juga dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam landasan teori ini terkait tentang landasan Perundang-Undangan yang
digunakan dalam melihat dan melaksanakan pendayagunaan zakat produktif ada tiga
peraturan Perundang-Undangan yaitu yang Pertama Perundang-Undangan Nomor 23
Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disini hanya ditemukan pada bagian Ketiga
Yaitu Pendayagunaan Pasal 27 ada satu ( 1 ) sampai tiga (3) ayat ini hanya menjelaskan
tentang :
23
1. Zakat hanya dapat digunakan untuk usaha produktif.
2. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif dilakukan apabila kebutuhan
dasar mustahik telah terpenuhi.
3. Zakat produktif diatur dalam peraturan menteri.
Ketentuan lebih lanjut tentang pengolaan zakat produktif diatur dalam Peraturan
Menteri Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal
dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif. Dimana
dijelaskan pada Bab IV Pendayagunaan Zakat Untuk Usaha Produktif pada Pasal 32,
Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35 yaitu:
1. Pasal 32 menjelaskan tentang zakat dapat didayagunakan untuk usaha
produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas
umat.
2. Pasal 33 menjelaskan tentang pendayagunaan usaha produktif dilakukan
dengan syarat:
a. Apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi;
b. Memenuhi ketentuan syariat;
c. Menghasilkan nilai tambah ekonomi untuk mustahiq; dan
d. Mustahik berdomisili di wilayah kerja lembaga pengelolaan zakat.
3. Pasal 34 menjelaskan tetang pendayagunaan zakat untuk usaha produktif
dapat dilakukan paling sedikit memenuhi ketentuan:
a. Menerima manfaat merupakan perorangan atau kelompok dan
memenuhi kriteria mustahiq;
b. Mendapat pendampingan dari Amil Zakat yang berada di wilayah
domisili mustahiq
4. Pasal 35 menjelaskan tentang:
(1) Lembaga pengelolaan zakat wajib melaporkan pendayagunaan zakat
untuk usaha produktif.
(2) Laporan bagaimana dimaksut pada ayat (1) disampaikan secara
berjenjang dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Lembaga pengelolaan zakat pada tingkat Kabupaten/Kota
menyampaikan laporan kepada BAZNAS tingkat provinsi dan
Bupati/Walikota;
24
b. Lembaga pengelolaan zakat pada tingkat provinsi menyampaikan
laporan kepada BAZNAS dengan gubernur; dan
c. BAZNAS menyampaikan laporan kepada Menteri.
(3) Laporan sebagaimana dimaksut pada ayat (1) disampaikan setiap 6
(enam) bulan dan akhir tahun.
(4) Laporan sebagaimana dimaksut pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. Identitas mustahik;
b. Identitas lembaga pengelolaan zakat;
c. Jenis usaha produktif;
d. Lokasi usaha produktif;
e. Jumlah data yang disalurkan;
f. Perkembangan usahanya.
Kemudian ada Pasal lain yang juga mengatur terkait tentang pendayagunaan
zakat yaitu Peraturan Badan Amil Zakat Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
2018 tentang Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat Produktif. disini akan
menemukan pada Bab III tentang pendayagunaan pada Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan
Pasal 19 yaitu:
1. Pasal 16 menjelaskan tentang Perencanaan yang dilakukan dalam
pendayagunaan zakat dengan cara;
a. Melakukan analisis sosial, paling sedikit memuat analisi masalah,
analisis tujuan, analisis pemangkuan kepentingan, dan analisis strategi
b. Menyusun matriks perencanaan program, rencana kerja dan anggaran
tahunan pendayagunaan Zakat;
c. Menyusun rencana penapaian indikator kinerja kunci Pendayagunaan
Zakat.
2. Pasal 17 menjelaskan tentang Pelaksaaan Zakat sebagaimana dimaksut
dalam pasal 15 huruf b dilaksanakan dengan cara;
a. Dengan menyusun usulan program dalam bentuk proposal yang memuat
kerangka acuan kegiatan pelaksanaan zakat.
b. Menerima usulan program pelaksanaan Pendayagunaan Zakat dari
masyarakat; atau
25
c. Menerima permohonan Pendayagunaan Zakat dari orang perseorangan,
kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, lembaga swasta, dan/atau
Lembaga pengelolaan Zakat lainnya.
3. Pasal 18 menjelaskan tentang :
(1) Melaksanakan Pendayagunaan Zakat, Pengelolaan Zakat wajib
dilakukan verifikasi program, calon mustahik, dan calon wilayah sasaran
Pendayagunaan Zakat.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksut pada ayat (1) dilakukan paling sedikit
dengan cara:
a. Melakukan pemeriksaan wilayah sasaran Pendayagunaan Zakat;
b. Melakukan kajian seara partisipatif bersama Mustahik terhadap
usulan program; dan
c. Melakukan wawancara kepada calon mustahik dan calon pengelola;
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksut pada ayat (2) dapat dilakukan oleh
pengelolaan zakat yang berwenang dan wilayah domisili mustahik.
4. Pasal 19 menjelaskan tentang:
(1) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksut dalam
pasal 18, calon Mustahik dan calon wilayah sasaran Pendayagunaan
Zakat.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksut dalam
Pasal 18, calon Mustahiq tidak layak diberikan Zakat, Pengelolaan Zakat
memberitahukan seara tertulis kepada calon Mustahiq dan calon
Pengelola.
Perundang-Undangan yang baru telah ditetapkan dimana yang lama telah
dihapuskan karena sudah tidak memenuhi persyaratan dan kebutuhan masyarakat pada
saat ini. Perundang-undangan inilah yang akan menjadi acuan untuk memenuhi
perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Serta tidak hanya Peraturan
Perundang-Undangan Pengelolaan Zakat Nomor 23 tahun 2011 tetap juga melahirkan
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2014 Tentang Syarat
dan Tata cara Penghitungan zakat untuk Usaha Produktif. Serta Peraturan Badan Amil
Zakat Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pendistribusian dan
Pendayagunaan Zakat. Dari hasil ketiganya dapat memperkuat tentang Peraturan
hukum di Indonesia.