BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Batik -...

27
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Batik Batik dalam bahasa Jawa berasal dari kata “tik”, mempunyai pengertian sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan yang halus, lembut, kecil dan mengandung unsur keindahan. Secara etimologis berarti menitikkan malam dengan canting, sehingga membentuk corak yang terdiri atas susunan titik dan garis. Batik sebagai kata benda merupakan hasil penggambaran corak di atas kain dengan menggunakan canting sebagai alat gambar dan malam sebagai zat perintang (Anas, 1997 : 14). Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional, beragam hias pola batik tertentu, yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan malam atau lilin batik sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang 1 yang menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas batik (Doellah, 2002 : 10). Pengertian batik menurut (Sewan Susanto : 1980:5) ,merupakan teknik pembuatan lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan 1 Teknik celup mengacu pada pewarnaan sedangkan rintang merupakan proses menahan warna dengan malam (lilin) dalam pembentukan motif

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Batik -...

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Batik

Batik dalam bahasa Jawa berasal dari kata “tik”, mempunyai

pengertian sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan yang halus,

lembut, kecil dan mengandung unsur keindahan. Secara etimologis

berarti menitikkan malam dengan canting, sehingga membentuk corak

yang terdiri atas susunan titik dan garis. Batik sebagai kata benda

merupakan hasil penggambaran corak di atas kain dengan

menggunakan canting sebagai alat gambar dan malam sebagai zat

perintang (Anas, 1997 : 14).

Batik adalah sehelai wastra yakni sehelai kain yang dibuat

secara tradisional dan terutama juga digunakan dalam matra tradisional,

beragam hias pola batik tertentu, yang pembuatannya menggunakan

teknik celup rintang dengan malam atau lilin batik sebagai bahan

perintang warna. Dengan demikian, suatu wastra dapat disebut batik

bila mengandung dua unsur pokok: teknik celup rintang1 yang

menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam

hias khas batik (Doellah, 2002 : 10).

Pengertian batik menurut (Sewan Susanto : 1980:5) ,merupakan

teknik pembuatan lukisan atau gambar pada mori yang dibuat dengan

1 Teknik celup mengacu pada pewarnaan sedangkan rintang merupakan proses menahan warna

dengan malam (lilin) dalam pembentukan motif

10

menggunakan alat yang disebut canting, sedangkan pekerjaan melukis

atau menggambar pada kain disebut mbatik. Dari berbagai pendapat

tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian batik adalah sehelai kain

yang dibuat dengan teknik celup rintang di atas permukaan kain

menggunakan canting dan lilin sebagai bahan dasarnya.

Pada batik terdapat ragam hias, yaitu hias-hiasan yang disusun

sedemikian rupa berbentuk satu kesatuan rancangan yang berpola.

Ragam hias batik memiliki variasi bentuk yang beragam. Hal ini terjadi

karena adanya perbedaan latar belakang yang mendasari pembuatan

kain batik seperti letak geografis, kepercayaan, adat istiadat, tatanan

sosial, gaya hidup masyarakat serta lingkungan alam setempat (Anas,

1997: 41-42).

Ragam hias terdiri dari pola dan motif. Motif merupakan

kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan (Susanto,

1980 : 212). Menurut unsur-unsurnya, motif batik dapat dibagi menjadi

dua bagian utama, yaitu ornamen pola batik dan isen pola batik.

Ornamen pola batik dibedakan lagi menjadi ornamen utama dan

ornamen pengisi bidang (Sarwono,2010 : 14).

Ornamen utama merupakan suatu ragam hias yang menentukan

dan memiliki arti dalam pola batik, sehingga susunan ornamen –

ornamen itu dalam suatu motif batik membuat jiwa atau arti yang

pokok pada motif batik tersebut. Sedangkan ornamen tambahan tidak

mempunyai arti dalam pembentukan motif serta berfungsi sebagai

pengisi bidang. Isen motif batik juga berfungsi sebagai ornamen dari

11

pola batik, baik di dalam ornamen utama maupun ornamen tambahan

(Sarwono,2010 : 14).

Pola batik merupakan suatu kesatuan motif batik dalam sebuah

kain (mori) dengan ukuran sesuai fungsinya, misalnya ukuran kain

untuk dodot berbeda dengan kain untuk ukuran sarung, nyamping,

udeng dan lainnya. Ukuran pola terbagi dalam dua macam, yang

pertama pola yang panjangnya sesuai lebar kain. Kedua, pola yang

panjangnya diukur dengan sistem sepertiga lebar kain (mori) atau

sepertiga panjang pola pertama. Jika pola pertama ½ kacu, maka ukuran

pola kedua menjadi 1/6 kacu, yang dimaksud pola ½ , ¼ dan

seterusnya, ialah ukuran lebar pola atau ukuran lebar dari jenis-jenis

kain mori. Tetapi pola satu dan dua sering tidak selalu tetap, karena

ukuran lebar dari jenis-jenis kain (mori) yang menjadi dasar tidak sama

(Sarwono, 2010 : 16).

Ragam hias umumnya dipengaruhi dan berkaitan erat dengan

faktor-faktor sebagai berikut : (1) Letak geografis daerah pembuat batik

yang bersangkutan, (2) Sifat dan tata penghidupan daerah yang

bersangkutan, (3) Kepercayaan dan adat istiadat yang ada di daerah

yang bersangkutan, (4) Keadaan alam sekitarnya, termasuk flora dan

fauna, (5) Adanya kontak atau hubungan antar daerah pembatikan

(Nian S, 1990 : 1).

Menurut perkembangannya, batik diklasifikasikan menjadi dua,

yaitu batik klasik (batik keraton) dan batik kontemporer. Batik

kontemporer adalah batik yang sudah mengalami pengembangan atau

12

inovasi baru. Batik klasik adalah batik tradisi berasal dari warisan

leluhur. Disamping itu, batik klasik memiliki nilai estetik yang tinggi

dan terdapat pesan moral di dalamnya. (Doellah, 2002 : 55).

1. Batik klasik

Batik klasik adalah batik yang memiliki pakem atau batasan-

batasan tertentu pada ornamen maupun warnanya (Kusrianto, 2013:

311). Pola batik Klasik adalah keseluruhan motif yang dibatikkan pada

sehelai kain mori, pada dasarnya sesuai selera dan maksud hati

(Siswomiharjo, 2011: 4).

Keunikan pada pola batik Klasik antara lain (Siswomiharjo,

2011: 4-5):

a. Motif-motif merupakan lambang, mengarah pada tujuan yang

baik.

b. Motif-motif mengandung pesan ajaran hidup, do’a, keselamatan

dan penolak bala. Pencipta selalu memasukkan nilai-nilai spiritual

dalam penciptaan pola.

c. Pola-pola jenis tersebut diberi nama oleh penciptanya ,nama pola

juga penuh arti.

Penggolongan pola batik Klasik (Siswomiharjo, 2011 : 10-12) :

a. Golongan Geometris atau bentuk-bentuk ilmu ukur dimulai dari

titik , menjadi garis, lingkaran , segitiga dan sebagainya.

Susunannya pun memperlihatkan garis-garis vertical, horizontal

dan diagonal. Contoh : Parang, Ceplok, Tirto Tedjo.

13

b. Golongan Non Geometris berupa flora, fauna, dan sayap dalam

berbagai bentuk dan benda alam. Contoh : Kakrasana.

Pola batik klasik tergolong masih sangat sederhana, karena pola

yang dihasilkan pada masa itu hanya terdiri dari garis lurus, bentuk

segi tiga, dan bentuk segi empat. Dikatakan klasik karena motif

tersebut sudah mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam

kurun waktu yang relatif panjang, sehingga diakui keberadaannya

dengan mempunyai ciri khas yang sudah baku.

Motif masih sangat kaku dan bentuk garis yang belum

sempurna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan alat dan bahan

yang digunakan waktu itu bukan dari bahan malam seperti sekarang,

tetapi masih menggunakan kanji ketan. Alat untuk menorehkan kanji

masih terbuat dari bambu. Gambaran tersebut menunjukkan bahwa

proses dan motif batik pada masa itu masih sangat sederhana. Warna

yang dibuat juga masih sangat minim, yaitu warna biru (wedelan),

dan warna coklat atau soga (Utara, Kuwat, 1979: 77).

2. Batik tradisi

Batik Tradisi adalah batik yang dibuat berdasarkan adat istiadat

secara turun temurun. Kain batik pada masa lampau mempunyai arti

dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya menandai kejadian-

kejadian penting dalam proses hidup manusia, misalnya digunakan

pada proses mitoni (usia kehamilan tujuh bulan), persalinan, khitanan,

pernikahan dan lain-lain. Disamping itu masyarakat tempo dulu juga

telah mengganggap bahwa pemakaian jenis kain tertentu dapat

14

merupakan lambang atau tingkat sosial bagi seseorang (Kurniadi, 1996

: 101)

Dalam segi ragam hias batik tradisional umumnya mempunyai

ciri-ciri sebagai berikut (Kurniadi, 1996 :100).

a) Sederhana dalam tata letak dan corak pewarnaan.

b) Terbatas lingkup fungsinya.

c) Secara struktural terbentuk oleh teknologi dan bahan baku

sederhana dalam arti tinggi keterlibatan fisik si pembuatnya dan

tergantung alam lingkungan daerah produksi.

Batik tradisional mempunyai motif-motif dengan makna

simbolik yang tinggi, terkait dengan makna yang terkandung di

dalamnya, sehingga terdapat motif-motif yang hanya dipergunakan

untuk kelengkapan upacara-upacara tertentu (motif larangan). Motif

larangan untuk daerah Kasunanan Surakarta, misalnya motif yang

mengandung sawat, parang rusak, udanliris dan motif cemukiran

(Elliot, 1984 : 68 ).

3. Batik kontemporer

Batik Kontemporer adalah modifikasi dari motif batik yang

telah ada, seperti gabungan antara motif Parang dan Klithik atau

improvisasi dari motif Sekar Jagad. Desain dan warna tidak terikat

pada pakem tertentu menyebabkan pengerjaannya relatif mudah dan

dapat dikerjakan dalam waktu singkat. Motif tidak serumit batik klasik.

(Musman, Ambar, 2011 : 52).

15

Berdasarkan tekniknya, batik kontemporer merupakan kain

batik dengan pemilihan bahan yang tidak terbatas pada kain katun,

poliester dan sutra namun sampai pada bahan-bahan yang dibuat

dengan teknologi tinggi seperti kevlar, karet bahkan batuan mineral

(Komarudin, 2011 : 9)

B. Pola Batik Tirto Tedjo

Pola ini memiliki bentuk yang berbeda dari pola batik lainnya,

yaitu berupa garis-garis datar, terdiri dari garis diagonal pendek yang

saling bertemu.( Siswomiharjo, 2011 : 29).Pada pola Tirto Tedjo, garis

diagonal yang saling bertemu tersebut mendiskripsikan gelombang air.

Gambar 1

Pola Tirto Tedjo

Sumber : Oetari Siswomiharjo (2011)

Menurut Oetari Siswomiharjo (2011:71) Tirto berarti air dan

Tedjo berarti cahaya atau sinar, sehingga Tirto Tedjo berarti pelangi.

Adapun yang mengartikan lain tentang pola Tirto Tedjo. Dalam bahasa

16

Jawa, Tirta : air, Tedjo : pelangi. Tirta Tedjo berarti pemandangan yang

indah karena pemantulan air yang mengombak (Hamzuri, 1981 : 51).

Dengan demikian pola ini menggambarkan kesuburan, karena

dimana ada pelangi, pasti di dekatnya terdapat sumber mata air. Ada

pula yang berpendapat bahwa pola ini mempunyai gambaran pasang

surutnya perjalanan hidup manusia. Di antara yang berpendapat

demikian adalah seorang sepupu Nayana Ismangun Kusumo. Pada

waktu melangsungkan upacara pernikahan dengan Kuseto Sutono pada

tahun 1962, Kedua pengantin menggunakan pola Tirto Tedjo dengan

harapan dapat hidup rukun dan bahagia (Siswomiharjo, 2011 : 71).

Gambar 2

Foto pernikahan Kuseto Sutono dengan Nayana Ismangoen Koesoemo

di Surabaya pada tahun 1962

Sumber : Oetari Siswomiharjo (2011)

17

Gambar 3 : Tirto Tedjo

Sumber : Hamzuri (1981)

C. Rupa

1. Unsur Rupa

Unsur-unsur rupa terdiri dari beberapa bagian, yaitu garis, arah,

bidang, ukuran, tekstur, nada, khroma dan warna (Irawan, Priscilla , 2002 :

11-30) .

a. Garis

Garis adalah suatu titik yang diperluas menjadi sesuatu yang mempunyai

panjang, kedudukan, dan arah. Bentuk garis terdiri dari tiga macam

antara lain garis organis, garis jadian-geometris, dan garis batas.

1) Garis Organis : bentuk garis tersebut mengadopsi bentuk-bentuk garis

yang terdapat di alam. Garis-garis organis memiliki bentuk yang

bebas dan tidak terikat pada kaidah bentuk.

2) Garis Jadian-geometris : garis yang terbentuk melalui suatu proses

dan alat. Apabila kedua ujungnya ditautkan, akan tercipta raut yang

secara geometris membentuk sebuah bidang. Semenjak Zaman

18

Yunani, hanya ada tiga bentuk dasar utama geometris, yaitu bujur-

sangkar, segi-tiga sama sisi dan lingkaran.

3) Garis batas : garis yang terbentuk karena ada dua bidang atau

permukaan yang warna atau nada warnanya berbeda atau pertemuan

dua permukaan yang berbeda kedudukannya.

b. Arah

Arah adalah unsur seni rupa yang menghubungkan bentuk raut dengan

ruang (Ebdi, 2009 : 117). Sebuah garis juga memiliki arah. Di dalam

suatu perancangan atau desain, arah berperan untuk memberikan kesan

gerak dan irama. Tujuan utama dari arah gerak ini agar gerakan maupun

irama yang terjadi tetap membentuk suatu kesatuan dan tidak keluar dari

bidang gambar. Dalam mencapai sebuah komposisi gerak dan irama,

terdapat dua macam penerapan, yaitu arah komplementer dan arah

gelang-gelang.

1) Arah komplementer adalah arah yang berlawanan, misalnya ke atas

berlawanan dengan ke bawah. Tujuan penerapannya dalam desain atau

lukisan agar kesan gerak yang ditimbulkan oleh arah tidak keluar

bidang gambar.

2) Arah gelang-gelang adalah beberapa arah yang bergerak seolah-olah

memutar mengelilingi suatu pusat. Tujuannya agar kesan gerak tidak

keluar dari bidang gambar sehingga seolah-olah gerak arah tersebut

seperti gelang.

19

c. Bidang

Beberapa garis berbeda arah dan saling berpotongan akan membentuk

bidang atau pola (pattern). Bidang bersifat dua dimensi atau bermatra

dua karena, karena tidak memiliki kedalaman (depth) tetapi memiliki

ukuran atau luasan.

d. Ukuran

Perbedaan jarak antar garis dan antar bidang membentuk sebuah ukuran.

e. Tekstur

Tekstur adalah permukaan bahan yang penghayatannya dirasakan dengan

indera peraba. Tekstur ini berpengaruh terhadap psikis dan para ahli

desain. Tekstur mempunyai dua pengukur atau nilai, yaitu :

1) Kuantitatif (secara objektif) : licin, halus, kasar dan sebagainya.

2) Kualitatif (secara subjektif) : pengalaman psikis terhadap tekstur.

Tekstur juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu tekstur raba dan tekstur

lihat.

a) Tekstur raba (tekstur nyata) adalah apabila permukaan bidang atau

benda sangat kasar, sehingga dapat dilihat oleh mata.

b) Tekstur lihat (tekstur semu) adalah tekstur yang keberadaanya hanya

dwimatra dan merupakan hasil gambar.

f. Khroma

Khroma adalah deret intensitas dari warna. Dalam hal ini, khroma

merupakan pigmen dari warna.

20

g. Nada

Nada adalah unsur gelap terang dalam karya seni rupa timbul karena

adanya perbedaan intensitas cahaya yang jatuh pada permukaan benda.

Perbedaan tersebut menyebabkan munculnya tingkat nada warna (value)

yang berbeda. Bagian yang terkena cahaya akan lebih terang sedangkan

bagian yang kurang terkena cahaya terlihat gelap.

h. Warna

Warna didefinisikan secara objektif atau fisik sebagai sifat cahaya yang

dipancarkan atau secara subjektif (psikologis) sebagai bagian dari

pengalaman indra penglihatan. Menurut kejadiannya warna terbagi

menjadi warna addictive (warna dari cahaya atau spectrum, yaitu Red,

Green, Blue) dan Subractive (Cyan, Magenta, Yellow). (Ebdi, 2009 : 11-

13).

Garis atau bidang dapat memiliki bermacam-macam warna. Susunan

warna yang tepat dapat menciptakan suasana yang harmonis dan

memikat mata, baik antara dua warna yang memiliki kemiripan

(gradasi), ataupun dua warna yang kontras.

2. Prinsip Penataan Rupa

Suatu karya dapat dikatakan memiliki nilai seni jika saat

dianalisis terdapat prinsip-prinsip dasar di dalamnya. Dengan demikian,

prinsip-prinsip ini merupakan alat untuk menciptakan karya seni atau

desain sekaligus dijadikan sebagai alat analisis suatu karya seni atau

desain (Ebdi, 2009 : 147).

21

Prinsip penataan adalah hukum paduan atau perencanaan yang

menentukan cara memadukan unsur rupa untuk mencapai efek tertentu

yang diinginkan dan bernilai estetis. Prinsip-prinsip rupa antara lain

(Irawan, Priscilla , 2002 : 33-49) :

a. Ulang adalah selisih antara dua bentuk yang letaknya di dalam

ruang.

b. Mirip : semua unsur rupa yang paduan satu sama lainnya saling

mirip dan dengan interval sedang akan menimbulkan laras.

c. Kontras : sebuah dinamika dari semua eksistensi.

d. Kesatuan (Unity) : kemanunggalan menjadi satu unit utuh. Karya

seni atau desain harus tampak menyatu menjadi satu keutuhan.

Seluruh bagian atau elemen harus saling mendukung, tidak ada

bagian yang mengganggu. Prinsipnya adalah adanya saling

hubungan antar unsur yang disusun (Ebdi, 2009 : 215).

e. Keutuhan : tujuan akhir yang harus dicapai dalam penciptaan

suatu komposisi dan desain, agar hasil karya tersebut dapat

dikatakan baik dan menarik untuk dilihat. Keutuhan adalah kohesi

dan konsistensi yang merupakan inti pokok dari komposisi.

f. Gerak : susunan unsur-unsur rupa yang teratur pada suatu

komposisi dan mempunyai tujuan tertentu.

g. Irama : gerak teratur (organized movement) dari unsur-unsur rupa

yang mempunyai interval yang berproporsi dan terukur.

h. Prinsip irama sesungguhnya merupakan hukum “hubungan

perulangan” unsur rupa. Ada 3 kemungkinan hubungan

22

pengulangan unsur seni rupa yang dapat membentuk jenis irama

tertentu (Ebdi, 2009 : 175) :

1) Repetisi : hubungan pengulangan dengan kesamaan ekstrem

pada semua unsur-unsur atau elemen seni (rupa) yang

digunakan, sehingga didapatkan hasil yang monoton.

2) Transisi : hubungan pengulangan dengan perubahan-

perubahan dekat atau peralihan – peralihan dekat pada satu

atau beberapa unsur seni rupa yang digunakan, sehingga

terkesan harmonis. Transisi berarti keajegan pengulangan

dengan perubahan-perubahan.

3) Oposisi : hubungan pengulangan dengan ekstrem perbedaan

pada satu atau beberapa unsur atau elemen seni rupa yang

digunakan dan terkesan kontras.

i. Ragam merupakan variasi dari sebuah garis, bidang dan lain-lain.

j. Proporsi adalah perbandingan satuan ukuran yang dinyatakan

dengan bilangan dan simbol.

k. Aksentuasi atau aksen adalah sentuhan pada suatu komposisi yang

kehadirannya seolah-olah dominan, proporsional, dan terukur

dalam komposisi tersebut. Tujuan : menarik perhatian dan

menghilangkan kesan monoton.

l. Dominan adalah penonjolan dalam suatu komposisi. Dominasi

disebut juga keunggulan, keistimewaan, keunikan, keganjilan dan

penyimpangan.

23

m. Keseimbangan adalah sama berat dari kekuatan yang

bertentangan.

n. Keseimbangan formal adalah keseimbangan antara dua pihak yang

berlawanan, dari satu atau unsur yang sama. Kebanyakan bersifat

simetris.

o. Keseimbangan informal adalah keseimbangan antara dua atau

lebih unsur yang tidak sama (kontras) pada sebuah komposisi.

p. Keseimbangan radial adalah susunan dari semua bentuk atau

unsur desain memusat pada suatu titik pusat.

q. Kesederhanaan : tidak lebih dan tidak kurang, jika ditambah terasa

menjadi rumit dan jika dikurangi terasa ada yang hilang.

Sederhana tidak berarti sedikit tetapi sesuatu yang tepat. (Ebdi,

2009 : 263)

D. Batik di Surakarta

1. Maklumat Solo

Para pembatik di Keraton Surakarta menghasilkan karya-karya

motif batik yang diangkat menjadi hak milik Keraton. Sri Susuhan

Paku Buwana III lalu membuat peraturan tata tertib penggunaan

motif-motif batik di kalangan keraton. Tata tertib tersebut bertujuan

untuk menanamkan kesadaran pada masyarakatnya akan kandungan

nilai budaya motif batik. Beberapa motif tertentu dilarang untuk

digunakan di luar keluarga Keraton (Kusrianto, 2013 : 39).

24

Larangan tersebut dikenal dengan istilah “Maklumat Solo”. Di

antaranya isi maklumat menyebutkan :

“…. Apa dene kang arupa jejarit kang kalebu

laranganningsun, batik Sawat, batik Parang lan batik

Cemukiran kang calacap modang, bangun tulak, lengateleng lan

tumpal, apa dene batik Cemukiran kang calacap lung-lungan,

kang sun wenangake anganggoa pepatihingsun lan

sentananingsun, dene kawulaningsun padha wedia” (Kusrianto,

2013 : 39).

Yang artinya :

“… Ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan

saya, batik Sawat, batik Parang dan batik Cemukiran yang

berujung seperti paruh podang, bangun tulak lenga teleng serta

berwujud tumpal dan juga batik Cemukiran yang berbentuk

ujung lung (daun tumbuhan yang menjalar di tanah), yang saya

izinkan memakai adalah Patih dan para Kerabat saya.

Sedangkan para kawula tidak diperkenankan” (Kusrianto, 2013 :

39).

Dari kebijakan inilah batik gagrak2 Surakarta mulai jadi tatanan

berbusana di dalam kehidupan masyarakat Jawa, khususnya di bumi

Mataram Surakarta Hadiningrat atau yang sekarang popular dengan

sebutan kota Solo. (Kusrianto, 2013 : 39).

2. Berkembangnya batik gagrak Surakarta

Pada pemerintahan Paku Buwana IV pembuatan batik semakin

berkembang. Setiap golongan dalam keraton dibuatkan sendiri-

sendiri. Selanjutnya berkembang semakin pesat saat di bawah

pemerintahan Paku Buwono X yang memerintah pada periode 1893-

1939.

2 Gagrak adalah istilah dalam bahasa Jawa yang sulit dicari dengan tepat padanannya dalam

bahasa Indonesia. Kata itu sama dengan “versi”, “model”, “ala” maupun “cara khas”. Digunakan

pada istikah misalnya Wayang gagarak Solo, upacara pengantin gagrak Yogya, juga batik gagrak

Surakarta dan sebagainya.

25

Selain nama-nama motif yang telah disebutkan, berikut nama-

nama motif batik dan peruntukkannya secara protokoler saat dalam

pasowanan di Keraton Surakarta (Kusrianto, 2013 : 40 ).

3. Motif-motif Batik sesuai Protokoler Keraton Surakarta antara lain

(Kusrianto, 2013 : 41-42 ):

a) Batik Parang Rusak : motif ini dipakai oleh bangsawan yang

bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati (KGPAA),

Pangeran Putra, Pangeran Sentana dan Sentana dalem yang

berpangkat bupati riya nginggil yang bergelar Kanjeng Raden

Mas Haryo (KRMH).

b) Batik Udan Liris : dipakai oleh pepatih dalem.

c) Batik Rejeng : dikenakan para komandan prajurit (setingkat

Perwira Tinggi) dan duta Keraton.

d) Batik Tambal Kanoman : batikan kampuh atau Dodotan para

bupati dan dujadikan seragam bupati Anom dan juru tulis kantor

lingkungan Kabupaten.

e) Batik Semen Latar Putih : diapakai oleh Abdidalem berpangkat

Bupati, Bupati Anom dalam dan luar.

f) Batik Padas Gempal : diapakai para Abdidalem yang

berpangkat Panewu atau Mantri dari golongan sorogeni (prajurit

soro geni cirinya berseragam merah) kebawah.

g) Batik Medhangan : dipakai oleh para Panewu dan mantra ke

bawah dari golongan Sangkragnyana.

26

h) Batik Kumitir : digunakan oleh para Panewu tau Mantri ke

bawah dari golongan kanoman.

i) Batik Tambal Miring : diapakai oleh Abdidalem yang

berpangkat Panewu atau Mantri dari golongan Juru Tulis.

j) Batik Jamblang : dipakai oleh para Panewu, Mantri ke bawah

dari golongan kadipaten Anom.

k) Batik ayam Puger : dipakai oleh para Abdidalem yang

berpangkat Panewu/ Mantri ke bawah dari golongan Yogeswara

atau suranata atau Abdidalem ulama.

l) Batik Slobog : digunakan oleh para Abdidalem panewu/mantra

ke bawah dari golongan niyaga (penabuh gamelan).

m) Batik wora-wari rumpuk : digunakan oleh para abdidalem

panewu dari golongan Pangrehpraja atau yang membawahi

wilayah.

n) Batik krambil secukil : para abdidalem Panewu/mantra ke

bawah, di bawah perintah kepatihan.

E. Estetika Timur

Dalam Kajian geo-budaya, Indonesia kerap dikategorikan sebagai

negara Timur bersama dengan sebagian wilayah Asia lainnya. Dunia

berpendapat bahwa estetika Timur cenderung menekankan pada aspek

intuisi daripada akal. Pada msyarakat Timur pusat kepribadian

seseorang bukanlah pada daya intelektualnya, melainkan ada dalam

hati, yang mempersatukan akal budi, intuisi, kecerdasan, dan perasaan

27

Masyarakat Timur menghayati hidup dalam apa adanya, bukan semata

akali. Hati atau rasa dinilai sebagai pengganti logika kaku yang serba

terbatas menghadapi kebenaran hidup. Manusia Timur memiliki suatu

bentuk pemikiran berdasarkan intuisi, yang akrab, hangat, personal dan

biasanya memiliki kedekatan dengan realitas yang hakiki. (Sachari,

2002 : 2)

Di belahan Timur, terutama Asia, filsafat Budhisme telah

terbangun menjadi kedayaan tersendiri yang menekankan bahwa

manusia telah mengalami pencarahan di luar pendekatan rasional.

Manusia mengalami proses pengosongan, penghampaan, peniadaan,

untuk mencapai “kesadaran ontologis yang setinggi-tingginya”,

“melihat ke dalam hakikat benda-benda”, dan juga untuk menyadari

diri yang benar”. Hanya mereka yang lebih tinggi, dan selanjutnya

mampu mencapai kebebasan. (Sachari, 2002 : 10).

Di dunia Timur, aspek “rasa”, luar akal, misteri, teka-teki,

kekacauan, ketidaklogisan, fantasi dan sebagainya, diterima sebagai

suatu dunia yang berada “di atas” yang bersifat rasional. Masyarakat

Timur adalah masyarakat yang hidup dalam kebudayaan agraris yang

senantiasa terbiasa dengan bahasa diam, tenang, langit, musim, tanah,

awan, dan bulan. Umumnya mereka mengalami betapa alam

menunjukkan diri dalam “diam”, tetapi mengesankan. Dalam

kesederhanaan hidup, masyarakat Timur lebih melatih dengan perasaan

daripada pikiran. Perasaan lebih sulit diungkapkan lewat kata-kata,

sehingga dihindari tingkah banyak berbicara, tetapi lebih banyak

28

“diam”, lebih menggunakan tanda, sikap, dan komunikasi. (Sachari,

2002 : 10).

Berbeda dengan perkembangan estetika Barat. Perkembangan

estetika di negara-negara timur tampaknya sudah berkembang mulai

zaman primitif hingga munculnya berbagai agama besar sampai era

modern sekarang ini. Estetika pada dasarnya sangat dinamis dengan

filosofi dan pemikiran baru, tetapi di timur justru statis dan dogmatis,

sehingga sangat lamban dan bahkan dikatakan tidak berkembang.

Meskipun demikian sulit mengatakan keunggulan masing-masing

pihak. Hal tersebut karena pijakan atau latar belakang budaya masing-

masing yang berbeda. Di Cina, Tao lah yang dianggap sumber dari

segala sumber yang ada. Manusia dianggap sempurna apabila hidupnya

diterangi Tao. Bagi bangsa Cina Tao adalah kemutlakan ; sesuatu yang

memberi keberadaan, kehidupan, dan kedamaian. Kong Hu cu seorang

filsuf Cina yang dianggap Nabi, mengutarakan sebuah pertanyaan

tentang bagaimana seseorang yang rusak dan bejad hidupnya mampu

membuat barang-barang yang Indah? Padahal barang-barang yang

indah adalah penjelmaan dari Tao. Oleh karena itu tugas seniman

adalah menangkap Tao dan mengungkapkannya dalam bentuk karya

seni. (Dharsono ,2004: 158).

F. Pandangan Agus Sachari Mengenai Estetika

Menurut Agus Sachari, yaitu Estetika tidak lagi menyimak

keindahan dalam pengertian konvensional, melainkan telah bergeser

29

kearah sebuah wacana dan fenomena. Estetika bukan hanya simbolisasi

dan makna, melainkan juga daya. Berikut penjelasan tentang makna,

simbol dan daya :

a. Makna

Dalam memberikan pemaknaan, seorang penafsir terikat oleh

aspek tematis, pertama, tidak ada titik nol yang absolut sebagai awal

menafsirkan makna; kedua, tidak ada pandangan yang bersifat total

untuk memahami suatu objek dalam sekejap; ketiga, tidak ada

penafsiran secara total sehingga tidak ada pula situasi yang mutlak

membatasi; keempat, peluang memadukan antar fenomena, karena

fenomena yang diamati manusia pada hakikatnya tidak bersifat

tertutup.(Sachari, 2007 : 40).

Pada lingkup kesejarahan, suatu objek kebudayaan dinilai tidak

memiliki makna dalam percaturan peradaban, jika tidak terjadi

proses pemaknaan dalam perjalanan transformasinya. Capra

menyatakan bahwa kebudayaan dunia yang besar, akhirnya lenyap

ketika tidak terjadi proses pemaknaan lebih lanjut oleh

masyarakatnya. Kebudayaan-kebudayaan itu kehilangan daya

adaptasinya menghadapi dinamika peradaban yang kompleks dan

kuat. Hal tersebut dapat diamati pada pola kebangkitan dan

keruntuhan peradaban besar di sekitar Laut Tengah. Di antara

peradaban penting itu terdapat kebudayaan yang lenyap, tak

berbekas, karena generasi berikutnya tak mampu memberikan

30

pemaknaan, seperti terjadi pada kebudayaan Mesir, Sumeria, Asiria,

Babilonia dan Persia.(Sachari, 2007 : 40).

Pemaknaan suatu objek budaya amatlah penting, baik secara

subyektif maupun secara lebih luas. Tanpa upaya memberi makna

pada objek-objek budaya yang dihasilkan oleh satu generasi

sebelumnya, maka karya-karya yang dihasilkan akan hilang dalam

peradaban umat manusia di kemudian hari. (Sachari, 2007 : 40).

b. Simbol

Dalam wacana dunia kesenirupaan dan budaya benda, pembicaraan

estetika yang penting adalah mengupas simbolisme. Hal itu karena

manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga

sebagai makhluk pembuat simbol melalui bahasa-bahasa visual

(Sachari, 2002 : 14 ).

Pada kajian makna, proses simbolisasi suatu objek estetik menjadi

penting karena makna secara tajam dapat diamati pada proses

penyimbolan satu fenomena atau juga penyimbolan gagas estetik.

Untuk itu, peranan Langer dalam memaparkan teori-teori simbol

menjadi lebih penting (Sachari, 2002 : 18).

Simbol yang “diskursif” atau yang nalar dalam lingkup

Neopositivisme, merupakan simbol logika modern untuk melakukan

pelbagai analisa pengungkapan. Simbol-simbol ini secara jelas

terlihat dalam konstruksi logika kebahasaan. Tiap simbol mewakili

satu nama, sehingga deretan simbol akan tersusun menurutaturan

sintaksis tertentu yang menghasilkan suatu gambaran mengenai satu

31

kenyataan tertentu. Simbol diskursif menyiratkan suatu struktur

yang dibangun oleh pelbagai unsur teratur yang dapat dipahami

maknanya. Tidak ditaatinya aturan yang menghubungkan unsur

tersebut, menyebabkan tak adanya struktur yang jelas dan kaburnya

makna simbol itu.Dalam suatu kalimat, tak ditaatinya hukum

sintaksis akan menyebabkan kalimat itu kehilangan maknanya

sehingga tak dapat dipahami. (Sachari, 2002 : 18).

Langer mempertanyakan kemungkinan suatu jenis simbol lain yang

pemahannya tidak bergantung pada hukum yang mengatur

perhubungan unsur-unsurnya, tetapi pada intuisi. Jenis simbol inilah

yang disebutnya sebagai simbol “presentasional”. Simbol macam ini

tidak berupa suatu konstruksi yang dapat diuraikan ke dalam unsur-

unsurnya, tetapi satu kesatuan bulat dan utuh. Simbol tersebut dapat

menjadi unsur dari suatu simbol “diskursif”. Sebagai unsur, simbol

“presentasional” tidak dapat diuraikan lagi ke bagian lain yang lebih

kecil. Simbol “presentasional” tidak perlu harus menjadi unsur saja,

namun dapat berdiri sendiri sebagai simbol yang penuh, bukan

sebagai suatu konstruksi, bukan pula suatu unsur dari suatu

konstruksi atau susunan. Simbol semacam itulah yang terdapat

dalam kreasi seni atau karya estetik. (Sachari, 2002 :18).

Langer berusaha memerumuskan sebuah teori seni yang dekat

dengan hasil teori simbol. Simbol estetis bukan suatu struktur atau

konstruksi, melainkan suatu kreasi yang utuh. Simbol tersebut

memiliki makna tersendiri, tidak disusun dalam prinsip konstruktif.

32

Simbol estetik adalah satu dan utuh dalam menyampaikan pesan

untuk diresapi dimana di dalamnya terdapat nilai-nilai yang hendak

dikomunikasikan (terdapat elastisitas yang luas terhadap peresapan

pesan). (Sachari, 2002 : 19).

Dalam simbol terdapat suatu hubungan erat dan timbal balik antara

simbol yang dipilih dengan benda yang disimbolkan. Keduanya

mempunyai arti yang sama serta hubungan erat dengan

kepercayaan. Perngertian simbol berasal dari bahasa Yunanai , yaitu

“simbolos” berarti “ciri, tanda” sedangkan dalam Kamus Modern

Indonesia dapat diartikan “lambang: merupakan suatu hal yang

mengandung arti tertentu dan tersembunyi, seperti lampu merah

sebagai tanda berhenti dan lain-lain (Zain, 1988 : 159).

c. Daya (Pemberdayaan)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata benda : daya

adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu tujuan ;

ikhtiar. Kemampuan mendatangkan hasil dan manfaat, efisien;tepat

guna; sangkil

Dalam hal ini, “daya” berkaitan dengan pemberdayaan. Di negara

berkembang, istilah tersebut identik dengan percaturan ekonomi

untuk yang berupaya meningkatkan ekonomi rakyat kecil atau

kelompok usaha yang tertinggal. Pada pemahaman yang luas,

pemberdayaan memiliki keterkaitan dengan upaya untuk

mengimbangi kedayaan yang mengancam atau mendominasi suatu

33

kegiatan yang mengalami hambatan untuk berkembang. (Sachari,

2002 : 84).

Robert Dahl berpendapat bahwa pemberdayaan merupakan

kedayaan yang mampu mempengaruhi pelaku lain untuk bertindak

tidak sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu, pemberdayaan

kerap dinilai sebagai usaha memberi “daya” kepada pihak lain untuk

bertindak. Pemberdayaan kerap dilihat sebagai persamaan tindakan

untuk memperoleh kedayaan melakukan sesuatu. Meskipun

demikian, telah disadari terdapat kontradiksi dalam pemberdayaan

individu, yaitu terjadinya pembatasan ruang gerak individu karena

adanya kecenderungan masyarakat menguasai orang lain sebagai

hasil hubungan antarpersonal atau pula struktur-struktur di luar

kontrol mereka sendiri. (Sachari, 2002 : 90).

Dalam lingkup pergeseran nilai, pemberdayaan merupakan upaya

untuk mengubah dengan cara-cara yang khusus, baik didasarkan

kepada bakat sesorang, kedayaan pribadi, maupun kedayaan cinta.

Daya disini berpengaruh tehadap simbol dan makna. Dalam proses

perwujudan dari makna ke simbol diperlukan daya agar makna

dapat dikomunikasikan dengan baik. Begitu juga ketika mencoba

menafsirkan simbol-simbol untuk mengetahui makna (Sachari, 2002

: 91).

34

G. Kerangka Pikir

Dalam pola Tirto Tedjo terdapat makna dan simbol. Keduanya

tidak berdiri sendiri namun diciptakan dengan daya. Daya tersebut

berkaitan dengan usaha untuk mewujudkan sesuatu yang lebih baik.

Dalam proses perwujudan dari makna ke simbol diperlukan daya agar

makna dapat dikomunikasikan dengan baik. Begitu juga ketika

mencoba menafsirkan simbol-simbol untuk mengetahui makna.

Kerangka pikir tersebut digambarkan pada diagram berikut :

Gambar 4

Bagan Kerangka Pikir

Lingkungan masyarakat Laweyan pada saat itu juga

memberikan pengaruh terhadap terciptanya motif batik Tirto Tedjo.

35

Kultur masyarakat pada abad ke- 20, yaitu pemberian gelar “Mbok

Mase” pada para pengusaha kaya di kampung batik Laweyan

memberikan pemahaman lain pada penciptaan batik Tirto Tedjo. Selain

itu, adanya motif larangan yang hanya boleh diproduksi oleh pihak

keraton membuat pengusaha Laweyan berusaha membuat motif-motif

batik tertentu.

Pola batik Tirto Tedjo saat ini mulai dimodifikasi dengan pola

batik lainnya dan juga dikembangkan dari segi warna maupun

bentuknya. Ada pola batik yang dipadukan dengan pola batik lainnya,

seperti batik klasik. Dalam penciptaannya, batik klasik berkaitan erat

dengan lingkungan budaya keraton.

Pengubahan pada motif memberikan dampak terhadap segi

simbol dan makna. Dari segi simbol akan muncul pola batik Tirto Tedjo

modifikasi sedangkan dalam hal makna bisa saling bersinggungan atau

memperkuat makna satu sama lain. Selain itu, pola batik Tirto Tedjo

modifikasi muncul dari adanya daya penyadaran, daya pembelajaran

serta daya pesona. Pola batik Tirto Tedjo memiliki potensi untuk

dimdifikasi oleh pengusaha Kampung Batik Laweyan.

Usaha masyarakat dalam pelestarian motif batik ditempuh

dengan berbagai cara dalam memodikasi motif batik yang sudah ada.

Pertama, modifikasi berupa pengubahan pada ukuran motif, bentuk

motif, komposisi hingga warna. Modifikasi ini bisa juga mengambil

bentuk motif kemudian dilakukan penambahan maupun pengurangan.

Kedua, modifikasi berupa kombinasi dengan motif batik lainnya.