BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spermatozoa 2.1.1 Organ...
-
Upload
truongtuyen -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Spermatozoa 2.1.1 Organ...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Spermatozoa
2.1.1 Organ Reproduksi Mencit Jantan
Sistem reproduksi mencit jantan terdiri atas testis dan kantong skrotum,
epididimis dan vas deferens, sisa sistem ekskretori pada masa embrio yang berfungsi
untuk transport sperma, kelenjar aksesoris, uretra dan penis. Selain uretra dan penis,
semua struktur ini berpasangan. Epididimis adalah tuba terlilit yang panjangnya
mencapai 20 kaki (4 m sampai 6 m). Epididimis terletak pada bagian dorsolateral
testis, merupakan suatu struktur memanjang dari bagian atas sampai bagian bawah
testis. Organ ini terdiri dari bagian kaput, korpus dan kauda epididimis. Bagian ini
menerima sperma dari duktus eferen (Rugh, 1968).
Spermatozoa bergerak dari tubulus seminiferus lewat duktus eferen menuju kepala
epididimis. Epididimis merupakan pipa dan berkelok-kelok yang menghubungkan
vas eferensia pada testis dengan duktus eferen (vas deferen). Kepala epididimis
melekat pada bagian ujung dari testis dimana pembuluh-pembuluh darah dan saraf
masuk. Badan epididimis sejajar dengan aksis longitudinal dari testis dan ekor
epididimis selanjutnya menjadi duktus deferen yang rangkap dan kembali ke daerah
kepala. Epididimis berperan sebagai tempat untuk pematangan spermatozoa sampai
pada saat spermatozoa dikeluarkan dengan cara ejakulasi. Spermatozoa sebelum
8
matang ketika meninggalkan testikel dan harus mengalami periode pematangan di
dalam epididimis sebelum mampu membuahi ovum (Frandson, 1992).
Apabila spermatozoa terlalu banyak ditimbun, seperti oleh abstinensi (tak
ejakulasi) yang lama atau karena sumbatan pada saluran keluar, sel epididimis dapat
bertindak phagocytosis terhadap spermatozoa. Spermatozoa itu kemudian
berdegenerasi dalam dinding epididimis. Pada orang vasektomi, epididimis juga
berperan untuk memphagositosis spermatozoa yang tertimbun terus-menerus (di
samping makrofag). Terbukti spermatozoa yang diambil dari daerah kaput dan korpus
tak fertil, sedang yang diambil dari daerah kauda fertil; sama halnya dengan
spermatozoa yang terdapat dalam ejakulat (Yatim, 1994).
2.1.2 Spermatozoa Mencit
Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam
tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis, dan bersama-sama dengan
plasma sperma akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Menurut (Rugh, 1968).
Spermatozoa mencit yang normal terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok
seperti kait, bagian tengah yang pendek (middle piece), dan bagian ekor yang sangat
panjang. Panjang bagian kepala kurang lebih 0,0080 mm, sedangkan panjang
spermatozoa seluruhnya sekitar 0,1226 mm (122,6 mikron). Kemampuan
bereproduksi dari hewan jantan dapat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas sperma
yang dihasilkan. Produksi sperma yang tinggi dinyatakan dengan volume sperma
9
yang tinggi dan konsentrasi spermatozoa yang tinggi pula. Sedangkan kualitas
sperma yang baik dapat dilihat dari persentase spermatozoa yang normal dan
motilitasnya (Hardjopranoto, 1995).
Proses spermatogenesis dalam tubuh pria dewasa diatur dan dikontrol oleh sel
sertoli. Dalam sel sertoli tikus dewasa, pembentukan spermatozoa terjadi selama 19-
20 hari. Dipengaruhi oleh FSH yang mengatur sel sertoli. Spermatogenesis adalah
proses pembentukan sel sperma yang terjadi di epitelium (tubul) seminiferi dibawah
kontrol hormon gonadotropin dari hipofisis (pituitari bagian depan). Tubuli seminiferi
terdiri atas sel sertoli dan sel germinalis. Spermatogenesis terjadi dalam tiga fase,
yaitu fase spermatogonial, fase meiosis, dan fase spermiogenesis yang membutuhkan
waktu 13-14 hari (Yuwanta, 2004).
Kesuburan seorang pria tidak hanya ditentukan oleh jumlah spermatozoa yang
mampu dikeluarkannya. Air mani yang diejakulasi akan terdapat 400 juta
spermatozoa. Walaupun jumlahnya besar, mengingat ukurannya yang begitu kecil,
spermatozoa hanya membentuk sebagian kecil dari volume air mani. Sisanya adalah
cairan yang disebut sperma, yang berasal dari berbagai kelenjar kelamin pria yaitu
vesikel seminalis, prostat, dan kelenjar Cowper (Hutapea, 2002).
Bentuk spermatozoa seperti cabang yang terdiri atas:
Kepala : lonjong sedikit gepeng yang mengandung inti.
Leher : penghubung kepala dan ekor.
10
Ekor : panjang sekitar 10 kali kepala, mengandung energi sehingga dapat bergerak.
2.1.3 Morfologi Spermatozoa
Morfologi spermatozoa merupakan salah satu faktor penentu fertilitas
spermatozoa. Bentuk-bentuk abnormalitas primer spermatozoa di dalam testis karena
kesalahan spermatogenesis atau kesalahan spermiogenesis yang disebabkan karena
keturunan, penyakit, defisiensi makanan, dan pengaruh-pengaruh lingkungan yang
buruk. Spermatozoa yang memiliki abnormalitas morfologik kemungkinannya tidak
subur (Salisbury dan Vandemark, 1985).
Spermatozoa mencit adalah sel kelamin (gamet) yang diproduksi di dalam
tubulus seminiferus melalui proses spermatogenesis dan bersama-sama dengan
plasma sperma akan dikeluarkan melalui sel kelamin jantan. Spermatozoa normal
pada mencit terbagi atas bagian kepala yang bentuknya bengkok seperti kait dan
bagian tengah yang pendek . Kepala spermatozoa mencit mempunyai panjang +
0,008 mm, adapun panjang keseluruhannya adalah + 0,1226 mm (Rugh, 1968).
Kriteria spermatozoa yang baik antara lain sebagai berikut :
a. pH Sperma
Reactive Oxygen Species adalah radikal bebas yang berasal dari metabolisme
oksigen yang dapat mengakibatkan kerusakan membran sel spermatozoa. Proses
metabolisme secara terus-menerus akan menyebabkan penimbunan asam laktat
yang selanjutkan akan menurunkan pH dan sebagai akibatnya motilitas
spermatozoa akan menurun (Thuwanut et al., 2008). Daya tahan hidup
11
spermatozoa juga dipengaruhi oleh pH sperma. Perubahan pH kearah yang lebih
asam terjadi akibat tertimbunnya asam laktat yang merupakan hasil metabolisme
sel yakni pemecahan fruktosa (Sugiarti et al., 2004). Rata-rata pH sperma yang
normal adalah 6,4-7,8 (Garner dan Hafez, 2008).
b. Motilitas Spermatozoa
Motilitas spermatozoa dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain : waktu
pemeriksaan setelah ejakulasi, waktu antara ejakulasi, temperatur, komposisi
ionik, radiasi elektromagnetik, reactive oxygen species (ROS), viskositas, pH,
tekanan osmotik, aspek imunologi, serta adanya faktor stimulasi dan inhibisi
motilitas. Kerusakan spermatozoa yang disebabkan oleh ROS dapat menghambat
reaksi akrosom dan kerusakan ekor yang sangat berpengaruh terhadap motilitas
spermatozoa (Sanocka dan Kurpiz, 2004). Kadar ROS yang tinggi akan dapat
merusak membran mitokondria sehingga menyebabkan hilangnya fungsi
potensial mitokondria yang akan mengganggu motilitas spermatozoa karena
energi motilitas sperma disuplai dalam bentuk ATP yang disintesis oleh
mitokondria pada badan ekor (Aryosetyo, 2009).
c. Morfologi Spermatozoa
Molekul glikoprotein yang berada dipermukaan spermatozoa akan dikenali
oleh sistem imun dan merupakan tanda bahwa sel tersebut (spermatozoa) harus
dilenyapkan oleh tubuh. Ketika spermatozoa meninggalkan testis, perlindungan
terhadap sistem imun menjadi berkurang sehingga banyak spermatozoa yang
rusak atau mati. Selain sumber ROS yang berasal dari faktor enzimatis (internal)
12
diantaranya adalah pada sel leukosit. Pada kadar yang tinggi ROS berpotensi
menimbulkan efek toksik, sehingga dapat berpengaruh pada kualitas dan fungsi
spermatozoa (Hayati, 2011).
Abnormalisasi spermatozoa dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu
primer (mempunyai hubungan erat dengan kepala spermatozoa dan akrosom),
sekunder (keberadaan droplet pada bagian tengah ekor) dan tersier (kerusakan
pada ekor) (Ax et al., 2000).
2.1.4 Pemeriksaan Morfologi Spermatozoa
Pemeriksaan morfologi spermatozoa ditujukan untuk melihat bentuk-bentuk
spermatozoa yang didasarkan atas bentuk kepala dari spermatozoa. Seperti diketahui
spermatozoa mempunyai beberapa macam bentuk. Dengan pemeriksaan ini diketahui
beberapa banyak bentuk spermatozoa normal dan abnormal. Bentuk yang normal
adalah spermatozoa yang kepalanya berbentuk oval dan mempunyai ekor yang
panjang. Pemeriksaan morfologi ini dimulai dengan pembuatan preparat smear di atas
objek glass, yang dibiarkan kering dalam temperatur kamar. Setelah preparat smear
tersebut kering, maka selanjutnya dilakukan prosedur pewarnaan (Aryosetyo, 2009).
2.1.5 Pewarnaan Eosin Nigrosin Sitrat Pada Spermatozoa
Pengamatan spermatozoa atau viabilitas dapat dilakukan dengan metode
pewarnaan diferensial menggunakan zat warna eosin saja atau dengan kombinasi
eosin-nigrosin-sitrat. Eosin adalah zat warna khusus untuk spermatozoa, sedangkan
13
nigrosin hanya dipakai untuk pewarnaan dasar untuk memudahkan melihat perbedaan
antara spermatozoa yang berwarna dan tidak berwarna. Prinsip metode pewarnaan
eosin-nigrosin-sitrat adalah terjadinya penyerapan 15 zat warna eosin pada
spermatozoa yang mati pada saat pewarnaan tersebut dilakukan. Hal ini terjadi karena
membran pada spermatozoa yang mati tidak permeabel terhadap zat warna atau
memiliki afinitas yang rendah sehingga menyebabkan spermatozoa yang mati
berwarna merah (Sugiarti et al., 2004).
Dalam percobaan dilakukan pengamatan pada sel sperma yang hidup dan mati
dengan indikasi Eosin nigrosin. Sel sperma yang hidup akan berwarna putih terang
(transparan) sedangkan yang mati berwarna merah. Sperma yang mati terjadi karena
sperma mengalami kontak langsung dengan udara sehingga stres akibat oksidasi
sperma. Penyimpanan dalam jangka waktu lama menyebabkan penurunan motilitas
sperma akibat adanya asam laktat sisa metabolisme sel yang menyebabkan kondisi
medium menjadi semakin asam karena penurunan pH dan kondisi ini dapat bersifat
racun terhadap sepermatozoa yang akhirnya menyebabkan kematian sperma (Sugiarti
et al., 2004).
Evaluasi terhadap kualitas sperma beku ini dilakukan setelah adanya pencairan
kembali (post thawing). Adapun yang sering dijadikan indikator fertilitas
spermatozoa adalah motilitasnya. Dimana pengujian ini dilakukan untuk mengetahui
pergerakan ekor spermatozoa. Untuk penilaian viabilitas spermatozoa digunakan
teknik pewarnaan eosin nigrosin. Sesuai standar WHO, teknik pewarnaan ini
memberikan hasil yang valid dilakukan tinjauan ulang terhadap data motilitas yang
14
diperoleh. Teknik pewarnaan eosin nigrosin ini merupakan teknik yang sederhana.
Dimana dalam hal ini zat warna eosin akan diserap oleh spermatozoa yang mati
sehingga akan bewarna merah atau merah muda akibat permeabilitas dinding sel yang
meningkat ketika spermatozoa tersebut mati. Sedangkan nigrosin akan mewarnai latar
dari spermatozoa (Arifiantini et al., 2012).
Selain itu, perlu diketahui pula bahwa pewarnaan spermatozoa yang dilakukan
tersebut berfungsi untuk membantu pengamatan morfologis dan morfometri
spermatozoa. Pewarna eosin merupakan senyawa yang bersifat asam yang mampu
berpendar karena mengandung brom dan dapat mewarnai sitoplasma. Pewarnaan
eosin nigrosin tersebut merupakan pewarnaan double staining yang berfungsi
memberi efek kontras sehingga batas-batas antar sel dapat diamati dengan jelas
(Arifiantini et al., 2012).
2.1.6 Penilaian Morfologi Spermatozoa
pengamatan morfologi spermatozoa mencit dan kategorinya berdasarkan
(Fitirani, 2010) adalah sebagai berikut:
1. Spermatozoa normal
Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto
literatur . Spermatozoa termasuk normal karena memiliki kait yang tidak terlalu
panjang ataupun terlalu pendek, kepala memiliki bentuk dasar membulat dan
sedikit lonjong, ekor tidak mengalami patah ataupun terlipat.
15
2. Spermatozoa tanpa pengait dikepalanya
Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah foto
literatur . Spermatozoa termasuk abnormal karena spermatozoa tidak memiliki
pengait di kepalanya.
3. Spermatozoa dengan pengait yang sangat pendek
Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah
foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena spermatozoa memiliki
pengait yang sangat pendek hingga hampir tidak ada.
Gambar 2.1
Spermatozoa Normal
(Fitirani, 2010)
Gambar 2.2
Spermatozoa Tanpa Pengait Dikepalanya
(Fitirani, 2010)
16
4. Spermatozoa dengan leher patah
Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah
foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena mengalami pematahan
di bagian leher ataupun ekor.
5. Spermatozoa berekor ganda
Foto sebelah kiri adalah foto praktikum sedangkan foto sebelah kanan adalah
foto literatur. Spermatozoa termasuk abnormal karena memiliki ekor yang
bercabang atau spermatozoa berekor ganda.
Gambar 2.3
Spermatozoa Dengan Pengait yang
Pendek (Fitirani, 2010)
Gambar 2.4
Spermatozoa Dengan Leher Patah
(Fitirani, 2010)
17
2.2 Radikal Bebas
2.2.1 Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang
tidak berpasangan pada orbital terluar sehingga berusaha menarik elektron dari
molekul lainnya. Sifat radikal bebas yaitu tidak stabil dan sangat reaktif. Radikal
bebas yang mengambil elektron dari molekul yang stabil, menyebabkan molekul
tersebut kehilangan satu elektron sehingga menjadi radikal bebas yang baru (Pham-
Huy et al., 2008). Radikal bebas diproduksi secara endogen (oleh mitokondria,
membran plasma, retikulum endoplasma, inti sel) serta diperoleh secara eksogen (dari
asap rokok, radiasi sinar ultraviolet, pestisida) (Suryohudoyo, 2000). Oksidan adalah
senyawa yang dapat menarik elektron atau senyawa penerima elektron, serta bereaksi
dengan komponen yang berfungsi untuk mempertahankan kehidupan sel sehingga
dapat mengganggu integritas sel. Radikal bebas dan oksidan memiliki aktivitas yang
Gambar 2.5
Spermatozoa Berekor Ganda
(Fitirani, 2010)
18
sama dengan proses yang berbeda. Oksidan bersumber dari proses fisiologis dalam
tubuh, proses peradangan, obat-obatan, polutan (Winarsi, 2007).
2.2.2 Sumber Radikal Bebas
Radikal bebas dihasilkan oleh tubuh (radikal bebas endogen) ataupun dari
alam sekitar (radikal bebas eksogen), dengan reaktivitas yang berbeda tergantung dari
sifat reaktivitas molekul yang bereaksi dengan sel tubuh (Lingga, 2012).
Radikal bebas bersumber dari (Pham-Huy et al., 2008):
a. Radikal bebas dari dalam tubuh karena proses enzimatik, yaitu dari proses
pembakaran sel pada proses respirasi sel, proses pencernaan dan proses
metabolisme.
b. Radikal bebas dari dalam tubuh karena proses non enzimatik, yaitu dari reaksi
oksigen dengan senyawa organik dengan cara ionisasi dan radiasi.
c. Radikal bebas dari luar tubuh, seperti asap rokok, asap kendaraan bermotor,
radiasi sinar ultraviolet, aktivitas olahraga berlebih.
2.2.3 Sifat Radikal Bebas
Sifat radikal bebas yaitu reaktivitas tinggi karena cenderung menarik elektron
serta membentuk radikal bebas baru (chain reaction) mengubah suatu molekul
dengan mengambil elektron dari molekul lain di sekitarnya (Halliwell dan Gutteridge,
2007). Dampak terbentuknya senyawa radikal baru, yang mengubah suatu senyawa
menjadi radikal bebas baru sehingga terjadi reaksi rantai (Winarsi, 2010). Radikal
19
bebas sangat tidak stabil dan berumur singkat. Radikal bebas merusak sel dengan
membentuk ikatan kovalen dengan komponen membran yang merubah struktur
reseptor, oksidasi gugus tiol pada komponen membran yang mengganggu transport
lintas membran, reaksi peroksidasi lipid dan kolesterol membran yang mengandung
Poly Unsaturated Fatty Acid (PUFA). Kondisi tersebut dapat menyebabkan
kerusakan membran sel yang mengubah fluiditas, struktur dan fungsi membran yang
menyebabkan kematian sel. Radikal hidroksil sangat berbahaya karena reaktivitas
yang sangat tinggi, merusak 3 jenis senyawa yang berfungsi untuk mempertahankan
integritas sel, yaitu: asam lemak tak jenuh, DNA, dan protein. Kerusakan asam lemak
tak jenuh ganda pada membran sel mengakibatkan rapuhnya dinding sel, serta
merusak dinding dalam pembuluh darah sehingga kolesterol mengendap dan
menimbulkan aterosklerosis (Halliwell dan Gutteridge, 2007).
2.2.4 Tahapan Pembentukan Radikal Bebas
Pembentukan radikal bebas melalui tiga tahap antara lain (Wickens, 2001) :
a. inisiasi (tahap awal terbentuknya radikal bebas, menjadikan senyawa non radikal
menjadi radikal: RH + O2 Cu R’ + H2O),
b. tahap propagasi (tahap pemanjangan rantai radikal bebas, di mana terjadi reaksi
rantai dengan molekul lipid lain yang menyebabkan radikal bebas bertambah
banyak: R’ + O2 RO2’; RO2’ + RH R’ + ROOH),
20
c. tahap terminasi (radikal bebas bereaksi dengan radikal bebas lain atau dengan
scavenger: R’1 + R’2 R1 : R2). Proses reduksi oksigen melalui 4 elektron
transfer dengan 4 tahapan di mana setiap tahapan melibatkan 1 elektron transfer.
2.2.5 Radikal Bebas dan Oksidan
Senyawa-senyawa maupun reaksi-reaksi kimia yang cenderung menghasilkan
spesies oksigen yang potensial toksik atau ROS disebut dengan prooksidan. Radikal
bebas adalah kumpulan atom atau molekul dengan elektron yang tidak berpasangan
pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi dan molekul
oksigen sehingga berusaha menarik elektron dari molekul lainnya. Dengan adanya
“elektron tidak berpasangan” maka radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat
aktif. Tidak semua spesies oksigen reaktif adalah radikal bebas seperti H2O2
(Hidrogen Peroksida), O (Single oksigen) dan lain-lain (Mose, 2001).
Aktivitas radikal bebas dapat menjadi penyebab atau mendasari berbagai
keadaan patologis. Senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan
senyawa yang paling berbahaya karena mempunyai reaktivitas sangat tinggi.
Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk
mempertahankan integritas sel, yaitu :
1. Asam lemak terutama asam lemak tak jenuh ganda yang merupakan komponen
penting fosfolipid penyusun membran sel.
2. DNA yang merupakan piranti genetik dari sel.
21
3. Protein yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi,
dan pembentuk matriks serta sitoskeleton.
Oksidan dapat mengganggu integritas sel karena dapat bereaksi dengan
komponen-komponen sel yang penting untuk mempertahankan kehidupan sel, baik
komponen struktural (misalnya molekul-molekul penyusun membran) maupun
komponen fungsional (misalnya enzim-enzim dan DNA). Oksidan dapat merusak sel
dari berbagai sumber, yaitu :
1. Berasal dari tubuh sendiri, senyawa-senyawa yang berasal dari proses biologik
normal (fisiologis)
2. Berasal dari proses peradangan
3. Berasal dari luar tubuh, misalnya obat-obatan dan senyawa pencemar (polutan)
4. Radiasi (Suryohudoyo, 2000)
Shu (2007), menyatakan bahwa radikal bebas dari phyrethroid dapat
menyebabkan kerusakan pada membran sel Leydig, sehingga dapat mengganggu
biosintesis testosteron dengan cara mengurangi pengiriman kolesterol sel mitokondria
serta menurunkan konversi kolesterol menjadi pregnenolone. Pregnenolone
dikatalisis oleh cytochrome P450 side-chain cleavage (P450scc) yang menyebabkan
menurunnya produksi testosteron.
22
2.3 Pelatihan Fisik
2.3.1 Olahraga
Apabila dilakukan dengan takaran yang benar, olahraga dapat meningkatkan
kebugaran fisik (Sharkey, 2003). Olahraga dengan intensitas rendah dapat
meminimalkan produksi radikal bebas berlebihan serta meningkatkan jumlah
antioksidan endogen (Cooper, 2001). Aktivitas fisik seperti olahraga meningkatkan
pengeluaran energi, dengan memperhatikan frekuensi (3-4x seminggu), intensitas 72-
87% dari denyut jantung maksimal, serta tipe olahraga (15 menit pemanasan, 30-60
menit kombinasi latihan aerobik dan otot, 10 menit pendinginan). Tujuan dari prinsip
FITT (Frequency, Intensity, Type, Time) adalah untuk mencapai efek pelatihan.
Frekuensi olahraga yang ideal adalah 3-5 kali/minggu, dengan intensitas denyut nadi
saat olahraga 75% (220-umur), waktu olahraga kurang dari 300 menit/minggu, serta
jenis olahraga seperti berenang, sepeda statis (Pangkahila, 2010).
Aktivitas fisik dibagi menjadi 2 yaitu aerobik yang menghasilkan 38 molekul
ATP per molekul glukosa dan anaerobik yang menghasilkan 2 molekul ATP. Sumber
energi untuk aktivitas fisik aerobik berasal dari pembakaran karbohidrat, lemak dan
protein yang menghasilkan Adenosine Triphosphate (ATP). Saat kontraksi otot,
tambahan ATP didapatkan dari pemindahan fosfat berenergi tinggi dari kreatinin
fosfat ke ADP, fosfolirasi oksidatif dan proses glikolisis (Sherwood, 2001). Sumber
energi untuk aktivitas fisik anaerobik berasal dari proses hidrolisis phosphocreatine
dan glikolisis glukosa, yang terjadi tanpa oksigen, serta menghasilkan asam laktat
yang dapat menimbulkan nyeri otot dengan stres fisik (Hernawati, 2009).
23
2.3.2 Pelatihan Fisik Berlebih
Penyebab terjadinya aktivitas berlebih karena terlalu banyaknya volume,
intensitas, durasi, serta frekuensi pelatihan yang terlalu sering (Hatfield, 2001).
Aktivitas fisik berlebih meningkatkan konsumsi oksigen pada otot skeletal yang
mengakibatkan peningkatan stres oksidatif (Maffetone, 2007). Overtraining
disebabkan latihan atau olahraga yang melebihi kemampuan tubuh untuk melakukan
pemulihan, yang merupakan kumpulan dari gejala fisik, emosi, perilaku yang dapat
menetap (Howitt, 2008). Tingginya kadar oksigen memicu meningkatnya kadar
Reactive Oxygen Species (ROS).
Reperfusion Injury terjadi ketika kadar oksigen dan nutrisi tidak cukup, yang
menyebabkan kerusakan jaringan dan peningkatan kadar radikal bebas (Maffetone,
2007). Aktivitas fisik yang berlebih juga menyebabkan terbentuknya radikal bebas
(Adiputra, 2008). Kadar radikal bebas yang berlebih menyebabkan kerusakan DNA,
terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan sitosol yang merusak membran dan
organel, serta menyebabkan modifikasi protein teroksidasi (Kumar et al., 2005).
Aktivitas fisik berlebih menyebabkan peningkatan biomarker stres oksidatif, seperti
meningkatnya jumlah leukosit, isoprostan urin, glutation peroksidase, glutation
teroksidasi, serta juga menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen pada otot skeletal
(Murray et al., 2009).
Akibat dari aktivitas fisik berlebih yaitu penurunan kondisi fisik, penimbunan
lemak dan massa otot berkurang, kadar hormon kortisol lebih tinggi daripada
testosteron, sulit tidur, mudah merasa lemas dan cepat tersinggung, sakitnya sendi
24
dan tulang, penurunan imunitas tubuh. Tanda dan gejala aktivitas fisik berlebih yaitu
meningkatnya denyut jantung saat istirahat, menurunnya berat badan dan massa otot,
penurunan kapasitas maksimal kerja, berkurangnya nafsu makan, kelelahan yang
menetap, kaku dan nyeri pada otot dan sendi, konstipasi atau diare, gangguan haid,
makan dan tidur, emosi tidak stabil, mudah stres, depresi, konsentrasi menurun,
penurunan performance, meningkatnya kortisol dan SHBG, menurunnya testosteron,
glikogen otot, hemoglobin, besi dan ferritin. Overtraining diatasi dengan cara
pemijatan agar otot yang tegang menjadi relaks dan untuk mencegah cidera karena
overuse, dengan cara bergantian penggunaan air pancuran hangat dan dingin,
konsumsi makanan yang mengandung karbohidrat, protein, omega 3, 6 dan 9 asam
lemak esensial, serta konsumsi suplemen (Maffetone, 2007).
2.3.3 Hubungan Aktivitas Berlebih dengan Radikal Bebas
Aktivitas berlebih memicu meningkatnya pembentukan radikal bebas yang
melebihi kemampuan pertahanan tubuh, sehingga terjadi kerusakan sel. Tandanya
terlihat ketika terjadi peradangan jaringan saat olahraga yang menghabiskan tenaga
(Cooper, 2001). Saat berolahraga, radikal bebas terbentuk melalui proses pelepasan
elektron di mana konsumsi oksigen meningkat (Sauza, 2005). Selain itu, radikal
bebas juga terbentuk melalui fenomena reperfusion injury, dimana ketika kita
berolahraga terjadi pengalihan aliran darah ke otot skeletal. Hal ini menyebabkan
organ yang tidak terlibat ketika berolahraga menjadi kekurangan oksigen, sehingga
terjadi perubahan irreversibel enzim xanthine dehidrogenase menjadi xanthine
25
oxidase. Setelah aktivitas, terjadi proses reperfusi yang menyebabkan darah mengalir
cepat sehingga kebutuhan oksigen terpenuhi kembali. Reaksi ini menghasilkan
radikal bebas (Cooper, 2001).
Peningkatan radikal bebas akibat aktivitas berlebih disebabkan oleh
peningkatan konsumsi oksigen 100-200 kali lebih besar dibandingkan saat istirahat;
keadaan hipoksia dan reperfusi jaringan otot; kerusakan jaringan yang mengaktifkan
sel inflamasi seperti neutrofil; meningkatnya konsentrasi katekolamin akibat auto-
oksidasi katekolamin; meningkatnya temperatur yang membentuk superoksida pada
mitokondria jaringan otot; autooksidasi oxyhemoglobin yang membentuk
methemoglobin yang menghasilkan superoksida; cidera otot menyebabkan terjadinya
proses inflamasi; peningkatan proteolisis dan gangguan kalsium yang menjadi
sumber terbentuknya ROS (Wellman dan Bloomer, 2009).
2.4 Antioksidan
2.4.1 Definisi Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa pemberi elektron yang memperlambat proses
oksidasi di mana terjadi pengurangan elektron, serta mampu meredam dampak
negatif oksidan pada tubuh dan mencegah terjadinya stres oksidatif. Oksidasi adalah
reaksi pengikatan oksigen, pelepasan hidrogen, pelepasan elektron (Halliwell dan
Gutteridge, 2007). Antioksidan dapat meredam dampak negatif oksidan, enzim dan
protein pengikat logam (Pangkahila, 2007). Antioksidan mencegah reaksi radikal
bebas dalam oksidasi lipid (Trilaksani, 2003). Bersifat antioksidatif berarti dapat
26
mendonasikan satu atau lebih elektron (electron donors), yang mengubah senyawa
oksidan menjadi stabil (Winarsi, 2007).
2.4.2 Jenis Antioksidan
Antioksidan dibagi menjadi 2 kategori:
a. Antioksidan enzimatis, merupakan antioksidan yang terdapat dalam tubuh
(antioksidan endogenous), contohnya seperti SOD (Superoksida Dismutase),
glutation peroksidase, katalase. Cara kerjanya dengan melindungi jaringan dari
kerusakan oksidatif oleh radikal bebas oksigen.
b. Antioksidan non enzimatis (antioksidan eksogenous) yang ditemukan pada
sayuran dan buah, yang terbagi menjadi antioksidan larut dalam lemak (seperti
flavonoid, karotenoid, bilirubin) dan antioksidan larut air (seperti asam askorbat,
asam urat). Melatonin merupakan antioksidan yang larut dalam lemak dan juga
larut dalam air.
Antioksidan dibagi menjadi 2 golongan dalam mencegah dampak negatif oksidan
(Murray et al., 2009), yaitu :
a. Antioksidan pencegah
Antioksidan ini mencegah terjadinya radikal hidroksil, di mana pembentukan
radikal hidroksil memerlukan logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan ion
superoksid. Penimbunan ion superoksid (O2-) dapat dicegah dengan enzim
superoksid dismutase (SOD), enzim katalase mengkatalisir H2O2 menjadi H2O
dan O2, enzim peroksidase meredam H2O2 menjadi H2O.
27
b. Antioksidan pemutus rantai
Merupakan golongan antioksidan eksogen (vitamin E, vitamin C, beta karoten)
dan antioksidan endogen (glutation, sistein). Sifat dari vitamin E dan beta karoten
adalah lipofilik yang berperan untuk mencegah peroksidasi lipid pada membran
sel. Vitamin C, glutation dan sistein bersifat hidrofilik yang berperan di sitosol.
Berdasarkan sumbernya, antioksidan dikategorikan menjadi antioksidan
sintetik yang berasal dari hasil sintesis pada industri (Butil Hidroksi Anisol, Butil
Hidroksi Toluen) dan antioksidan alami yang berasal dari senyawa fenolik atau
polifenolik (seperti flavonoid, vitamin C, vitamin E, karotenoid) (Trilaksani, 2003).
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dikategorikan menjadi
antioksidan primer (yaitu SOD, katalase, glutation peroksidase, melatonin),
antioksidan sekunder (yaitu vitamin C, E, beta karoten, flavonoid; termasuk sebagai
antioksidan eksogenous atau non enzimatis), antioksidan tertier (yaitu enzim DNA
repair). Antioksidan primer atau antioksidan enzimatis mencegah terbentuknya
senyawa radikal bebas baru atau memutus reaksi polimerisasi dengan mengubah
radikal bebas yang telah terbentuk menjadi kurang reaktif. Antioksidan sekunder atau
antioksidan eksogenous atau non enzimatik bekerja dengan menangkap radikal bebas
kemudian mencegah reaktifitas amplifikasinya. Antioksidan tersier memperbaiki
biomolekuler yang rusak karena reaktifitas radikal bebas (Winarsi, 2007).
28
2.4.3 Efek Antioksidan
Antioksidan memperlambat oksidasi lipid melalui ikatan dengan oksigen,
mengikat radikal bebas, menghambat katalis, stabilisasi hidroperoksid. Antioksidan
bereaksi dengan fatty acid peroxy radicals untuk membentuk radikal antioksidan
yang stabil. Antioksidan juga dapat menjadi prooksidan yang menyebabkan oksidasi
dalam tubuh, seperti vitamin C, D, E, β karoten, teh hijau, ubiquinone, curcumin, zinc
(Mc. Nulty et al., 2006).
2.5 Kelenjar pineal
Kelenjar pineal (juga disebut badan pineal, epiphysis cerebri, epiphysis,
conarium atau "Mata ketiga") adalah sebuah kelenjar endokrin pada otak vertebrata.
Semua hewan vertebrata memiliki kelenjar endokrin yang sama dan melepaskan
hormon yang berfungsi untuk pertumbuhan, reproduksi, serta tanggapan lainnya.
Berikut adalah beberapa kelenjar utama kelenjar endokrin diantaranya hipotalamus,
kelenjar pineal, anterior kelenjar pituitar, posterior kelenjar hipofisis, kelenjar gondok
(tiroid), kelenjar paratiroid, timus, kelenjar adrenal, pankreas, ovarium. Kelenjar
pineal berukuran kecil memiliki warna kemerahan abu-abu dan seukuran kacang
polong. Ini dianggap sebagai organ yang agak misterius, karena fungsinya ditemukan
terakhir dari kelenjar endokrin (Sivan, 2005).
Kelenjar pineal memproduksi berbagai macam hormon, termasuk
memproduksi hormon melatonin. Produksi hormon melatonin ditentukan oleh jumlah
cahaya yang diterima. Kelenjar pineal memiliki kepekaan terhadap cahaya serta
29
mengatur siklus tidur dan bangun pada seseorang. Fungsi melatonin merupakan
kebalikan dari fungsi serotonin. Mayoritas manusia maupun hewan umumnya aktif
bergerak serta berpikir pada siang hari. Pikiran yang aktif pada siang hari akan
menyebabkan meningkatkan jumlah hormon serotonin yang diperlukan oleh tubuh.
Ketika malam hari, saat pikiran mulai kurang aktif, membuat kadar serotonin dalam
tubuh mulai berkurang dan tubuh terutama kelenjar pineal mulai memproduksi
melatonin (Sivan, 2005).
2.6 Melatonin
2.6.1 Sintesis Melatonin
Melatonin (N-asetil-5-metoksitriptamin) merupakan hormon indolamin yang
disintesis dari asam amino L-triptofan terutama di kelenjar pineal dan beberapa
jaringan ekstra pineal seperti gastrointestinal dan limfosit (Kaczor, 2010; Sancez-
Barzelo, et al., 2003 ; Carranza - Lira dan Lopes, 2000). Pada manusia, kelenjar
pineal terletak di sistem saraf pusat, tepatnya di belakang ventrikel III, dibentuk oleh
2 tipe sel utama yaitu pinealosit dan neuroglial. Pinealosit berperan dalam sekresi
indolamin (melatonin) dan peptida (seperti arginin vasotosin) (Brzezinski, 1997).
Melatonin pertama kali diidentifikasi dari ekstrak kelenjar pineal sapi pada
tahun 1959 (Carranza-Lira dan Lopes, 2000). Biosintesis melatonin dimulai dari
konversi triptofan menjadi 5-hidroksitriptofan dengan bantuan enzim triptofan
hidroksilase, selanjutnya 5-hidroksitriptofan akan di dekarboksilasi menjadi serotonin
oleh enzim 5-hidroksitriptofan dekarboksilase. Melatonin akan di sintesis dari
30
serotonin dengan bantuan 2 enzim yaitu arilalkilamin N-asetiltransferase yang akan
mengubah serotonin menjadi N-asetil serotonin dan hidroksiindol-O-metiltransferase
yang akan merubah N-asetil serotonin (AA-NAT) menjadi N-asetil-5-hidroksi
triptamin (melatonin). Kedua enzim ini banyak terdapat di kelenjar pineal
(Brzezinski, 1997).
2.6.2 Sekresi Melatonin
Kelenjar pineal mamalia memiliki reseptor neuroendokrin. Impuls cahaya dari
retina akan disampaikan ke kelenjar pineal melalui nukleus suprachiasmaticus di
hipotalamus melalui sistem saraf simpatis dengan norepinefrin sebagai
neurotransmiter. Efek pada kelenjar pineal adalah pada pengaturan sintesis dan
sekresi melatonin. Sintesis dan sekresi melatonin distimulasi oleh suasana gelap dan
diinhibisi oleh suasana terang. Selama ada cahaya, fotoreseptor di retina akan
mengalami hiperpolarisasi yang akan menghambat sekresi norepinefrin. Sistem
retinohipotalamus-pineal akan dihambat sehingga melatonin disekresi dalam jumlah
yang sangat sedikit. Pada saat tidak ada cahaya, fotoreseptor mensekresi norepinefrin
yang akan mengaktivasi sistem retino-hipotalamus-pineal. Reseptor alfa dan beta
adrenergik bertambah di glandula pinealis. Kontak antara norepinefrin dan
reseptornya akan mengaktivasi enzim arilalkilamin N-asetiltransferase (AA-NAT).
Enzim inilah yang akan menginisiasi sintesis melatonin dan sekresinya (Kaczor,
2010).
31
Melatonin selanjutnya akan masuk ke aliran darah melalui difusi pasif. Pada
manusia, peningkatan sekresi melatonin segera terjadi pada saat onset gelap dan
mencapai puncaknya pada tengah malam (antara jam 2 sampai jam 4), kemudian
secara bertahap akan mengalami penurunan (Brzezinski, 1997). Konsentrasi terendah
melatonin didapatkan pada pukul 07.00 - 09.00 pagi. Konsentrasi melatonin serum
sangat dipengaruhi oleh usia. Bayi kurang dari tiga bulan mensekresi sedikit
melatonin, dan akan meningkat pada bayi yang lebih besar dan mencapai puncaknya
pada anak usia 1-3 tahun (325 pg/mL). Pada usia ini mulai terbentuk ritme sirkardian
dimana sekresi di siang hari lebih kecil dibanding malam hari. Setelah usia 3 tahun,
sekresi melatonin mulai menurun secara bertahap sehingga pada manusia dewasa
muda, rata-rata konsentrasi melatonin serum hanya 10-60 pg/mL saja (Brzezinski,
1997).
2.6.3 Reseptor Melatonin
Reseptor melatonin merupakan reseptor terikat membran plasma. Reseptor
yang sudah diketahui adalah ML1 dan ML2. ML1 merupakan reseptor dengan
afinitas tinggi di banding ML2. ML1 bisa mengikat melatonin dengan konsentrasi
beberapa pikomolar dan ML2 baru sensitif dengan konsentrasi melatonin beberapa
nanomolar (Brzezinski, 1997).
Reseptor ML1 dan ML2 termasuk superfamili guanosine triphospat binding
protein (G protein coupled receptor). Komplek melatonin-reseptor ML1 akan
menginhibisi aktivitas adenilat siklase pada sel target. Reseptor ini terlibat dalam
32
regulasi fungsi retina, ritme sirkadian, dan reproduksi. Dengan pemeriksaan PCR dari
klon mamalia dan juga manusia, ditemukan bahwa reseptor ML1 memiliki 2 sub tipe
yaitu Mel1a dan Mel1b. Reseptor Mel1a diekspresikan pada hipofisis pars tuberalis
dan nukleus suprachiasmaticus (tempat regulasi reproduksi dan ritme sirkadian).
Reseptor Mel1b diekspesikan terutama di retina. Kompleks melatonin dan reseptor
ML2 akan menstimulasi hidrolisis fosfoinositol. Tetapi distribusinya belum diketahui
(Brzezinski, 1997).
Efek intraseluler melatonin adalah melalui interaksi dengan
kalmodulin+kalsium yang akan mengaktivasi berbagai enzim seperti fosfodiester dan
adenilat siklase. Melatonin juga diketahui merupakan ligan bagi orphan reseptor (α
dan β) yang merupakan famili dari reseptor nuklear retinoid Z. Reseptor ini berperan
dalam transduksi sinyal dalam nukleus sel target (Brzezinski, 1997).
2.6.4 Aktivitas Melatonin Sebagai Antioksidan
Melatonin diketahui memiliki aktivitas sebagai antioksidan, antimitotik,
antiestrogenik, pro diferensiasi dan anti metastatik, modulasi sistem imun, pengatur
ritme tidur dan ritme sirkardian, maturasi sistem reproduksi. Proses pembersihan
radikal bebas yang dilakukan oleh melatonin terjadi secara tidak langsung, melalui
peranannya dalam pengaturan fungsi antioksidan dan enzim prooksidan lainnya
(Hardeland, 2005). Kerusakan akibat radikal bebas dapat dikurangi dari aksi
antieksitasinya, kontribusinya terhadap pengaturan fase sirkadian internal dan
perannya dalam meningkatkan metabolisme mitokondrial. Dalam hal ini melatonin
33
mencegah kebocoran elektron dan menguatkan aktivitas kompleks I dan IV.
Melatonin juga menunjukkan efek potensial terhadap antioksidan lainnya seperti
askorbate dan trolox. Oksidasi melatonin menunjukkan arti penting pada proses
produksi metabolit biologis aktif lainnya seperti N1-acetyl-N2-formyl-5-
methoxykynuramine (ANFK) dan N1-acetyl-5-methoxykynuramine (AMK) yang juga
diketahui memiliki karakteristik proteksi. Dalam hal ini AMK bereaksi dengan
oksigen reaktif dan spesies nitrogen, melindungi mitokondria, menghambat serta
menurunkan aktifitas siklooksigenase 2. Maka melatonin terbukti memiliki sifat pro
obat juga.
Spermatozoa sangat rentan terhadap serangan Reactive Oxygen Species (ROS)
seperti anion superoksida dan hydrogen peroksida sebagai konsekuensi dari proses
lipid peroksidasi. Kerentanan spermatozoa dari stres oksidatif karena struktur dari
membran sel spermatozoa sangat tinggi jumlah asam lemak tak jenuh khususnya
docosahexaenoic (DHA), dimana penting dalam mempertahankan proses
spermatogenesis dan fluiditas membran spermatozoa matur (Sanocka dan Kurpisz,
2004).
Melatonin merupakan suatu neurohormon yang diproduksi kelenjar pineal,
ternyata memiliki efek sebagai antioksidan. Dalam suatu percobaan in vivo, efek
antioksidan melatonin lebih superior dibandingkan antioksidan klasik seperti vitamin
C, E, dan beta karoten. Selain itu tidak seperti antioksidan lain, melatonin tidak
berubah menjadi pro-oksidan (Korkma et al., 2009). Melatonin merupakan
antioksidan yang paten karena sifatnya yang larut dalam lemak dan air sehingga dapat
34
berdistribusi luas dalam tubuh (Tomas-apiko dan Coto-Montes, 2006). Melatonin
dapat menurunkan terjadinya stres oksidatif melalui dua cara yaitu menetralisir
radikal bebas seperti O2-, OH, H2O2, ONOO-, 1O2, LOO, NO (Reiter et al., 2003)
dan dengan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan seperti SOD, GPx, CAT
(Anisimov, 2006).