BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis...

33
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Penelitian ini merujuk pada penelitian perilaku konsumen yang mengeluh atau complaint behaviour karena kegagalan layanan (Blodgett dan Tax, 1993; Davidow, 2003; Kim et al., 2009; Nikbin et al., 2010b; Badawi, 2013). Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini meneliti tentang wisatawan yang mengeluh karena terjadi kegagalan layanan di destinasi pariwisata Bali. Penelitian konsumen yang mengeluh karena kegagalan layanan telah dilakukan beberapa pemerhati antara lain oleh Valenzuela (2005), Yuksel et al. (2006), Kau dan Loh (2006), Donoghue dan Klerk (2006), Ndubisi dan Tam (2007); Ekiz (2009), dan Zain (2011). Valenzuela et al. (2005), yang melakukan penelitian di Chili Amerika Selatan menemukan bahwa perilaku komplain atau mengeluh menjadi topik yang sangat penting diteliti, untuk mengetahui faktor faktor yang menyebabkan konsumen mengeluh. Penelitian dilakukan pada industri jasa di kota Chili, yaitu departement store, special store, supermarket, telephone, dan bank, serta jasa transportasi. Penelitian ini membagi konsumen di Chili menjadi dua bagian yaitu konsumen yang mengeluh dan tidak mengeluh. Hasil penelitiannya menemukan konsumen yang mengeluh memiliki sikap yang positif terhadap keluhan yang disampaikan, seperti ingin melakukan pembelian ulang apabila mendapatkan kepuasan pasca pemulihan layanan. Ndubisi dan Tam (2007) menyatakan pentingnya manajemen keluhan atau complaint management pada industri perbankan. Keluhan terjadi sebagai

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis...

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini merujuk pada penelitian perilaku konsumen yang mengeluh

atau complaint behaviour karena kegagalan layanan (Blodgett dan Tax, 1993;

Davidow, 2003; Kim et al., 2009; Nikbin et al., 2010b; Badawi, 2013). Perbedaan

dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini meneliti tentang wisatawan

yang mengeluh karena terjadi kegagalan layanan di destinasi pariwisata Bali.

Penelitian konsumen yang mengeluh karena kegagalan layanan telah dilakukan

beberapa pemerhati antara lain oleh Valenzuela (2005), Yuksel et al. (2006), Kau

dan Loh (2006), Donoghue dan Klerk (2006), Ndubisi dan Tam (2007); Ekiz

(2009), dan Zain (2011).

Valenzuela et al. (2005), yang melakukan penelitian di Chili Amerika

Selatan menemukan bahwa perilaku komplain atau mengeluh menjadi topik yang

sangat penting diteliti, untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan

konsumen mengeluh. Penelitian dilakukan pada industri jasa di kota Chili, yaitu

departement store, special store, supermarket, telephone, dan bank, serta jasa

transportasi. Penelitian ini membagi konsumen di Chili menjadi dua bagian yaitu

konsumen yang mengeluh dan tidak mengeluh. Hasil penelitiannya menemukan

konsumen yang mengeluh memiliki sikap yang positif terhadap keluhan yang

disampaikan, seperti ingin melakukan pembelian ulang apabila mendapatkan

kepuasan pasca pemulihan layanan.

Ndubisi dan Tam (2007) menyatakan pentingnya manajemen keluhan atau

complaint management pada industri perbankan. Keluhan terjadi sebagai

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

17

konsekuensi dari ketidakpuasan pelanggan karena apa yang diharapkan tidak

sesuai dengan kenyataan. Lebih lanjut, dinyatakannya usaha untuk

mempertahankan pelanggan sangat penting, yaitu dengan cara memuaskan

kebutuhan dan keinginannya. Keluhan yang tidak ditangani dengan baik dapat

menyebabkan kehilangan pelanggan atau losing customer (Ndubisi dan Tam,

2007).

Selanjutnya, Ekiz (2009) melakukan studi perilaku mengeluh wisatawan

yang berkunjung pada suatu destinasi pariwisata. Penelitiannya bertujuan untuk

mengetahui faktor yang menjadi hambatan dalam menyampaikan keluhan. Ada

lima faktor yang menjadi hambatan dalam menyampaikan keluhan yaitu waktu

(time), keterlibatan (involvement), komunikasi (communication), keakraban

(familiarity), dan suasana hati ketika berlibur atau holiday mood (Ekiz, 2009).

Penelitian perilaku mengeluh juga dilakukan Yuksel et al. (2006). Hasil

penelitiannya menemukan bahwa ada persamaan dan perbedaan perilaku

mengeluh wisatawan yang menginap pada industri hotel, yang berasal dari empat

negara, yaitu Turki, Belanda, Inggris, dan Israel. Ke-empat negara memiliki

kesamaan dalam perilaku mengeluh, yaitu akan menyampaikan keluhan bila

terjadi kesalahan atau kegagalan layanan (Yuksel et al., 2006). Lebih lanjut

dinyatakan, wisatawan yang memiliki tanggapan negatif terhadap keluhan sering

tidak menyampaikan keluhannya. Untuk itu, perlu didorong konsumen agar

bersedia menyampaikan keluhannya, seperti menyediakan kotak saran atau buku

kesan dan pesan.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

18

Beberapa pemerhati menggunakan dimensi keadilan dalam mengevaluasi

perilaku organisasi maupun individu, diantaranya Tjahyono (2007), Ponnu dan

Chuah (2010), Rawls, (2011: 77-99), Pai et al. (2012), Ghalandari et al. (2012),

Ghalandari (2013), dan Ghalandari et al. (2013). Beberapa pemerhati

menggunakan tiga dimensi keadilan, yaitu keadilan distributif, keadilan

prosedural, dan keadilan interaksional dalam mengevaluasi respon konsumen

adanya interaksi antara konsumen dengan penyedia jasa (Blodgett dan Tax, 1993;

Lovelock dan Wirtz, 2007: 394; Radzi, et al., 2009; Gautam, 2011; Ghalandari et

al., 2012; Ghalandari, 2013).

Lebih lanjut, Pai et al. (2012), meneliti hubungan antara persepsi keadilan

distributif dan interaksional dengan kepuasan pasca pemulihan layanan atau

service recovery satisfaction dan konsekuensinya terhadap niat berperilaku yaitu

negative Word of Mouth (WOM), serta niat membeli kembali pada industri

penerbangan. Hasil penelitian menemukan keadilan distributif dan interaksional

berpengaruh terhadap kepuasan konsumen yang menggunakan jasa penerbangan

(Pai et al., 2012). Lebih lanjut dinyatakannya, semakin baik keadilan distributif

dan interaksional, maka semakin baik tingkat kepuasan pelanggan. Sebagai

contoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang

mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan salah satu bukti

penerapan keadilan distributif, dan diharapkan menyebabkan kepuasan yang

semakin meningkat (Pai et al., 2012). Pada penelitian ini juga ditemukan

pengaruh signifikan antara kepuasan pasca pemulihan layanan, dengan negative

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

19

WOM. Hal ini menunjukkan, semakin tinggi tingkat kepuasan yang dirasakan

pelanggan akan mengurangi informasi yang negatif atau negative WOM.

Hal senada juga dinyatakan Maxham III dan Netemeyer (2002) bahwa

proses pemulihan layanan yang dilakukan dengan semangat (respect), jujur

(honesty), bersifat edukasi, dan bermartabat (dignity), diangggap memenuhi rasa

keadilan konsumen, yang dapat dilakukan dengan permohonan maaf (apology)

dan empati (empathy) kepada konsumen. Bahkan, penelitian yang dilakukan

Gautam (2011), pada industri penerbangan di India, menemukan persepsi keadilan

distributif, prosedural, dan interaksional berpengaruh terhadap kepuasan pasca

pemulihan layanan secara keseluruhan.

Selanjutnya, Chen (2008) melakukan penelitian hubungan antara kepuasan

dan niat berperilaku, pada Koashiung International Airport di Taiwan pada bulan

Desember 2004. Penelitiannya menemukan adanya hubungan yang signifikan

antara kepuasan dengan niat berperilaku penumpang pesawat di Taiwan (Chen,

2008). Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang semakin puas dapat

meningkatkan niat berperilaku penumpang, yaitu keinginan untuk terbang lagi

dimasa yang akan datang dan memberikan rekomendasi positif kepada orang lain

atau positive WOM (Chen, 2008).

Hal serupa dilakukan Kozak dan Remmington (2000), dengan meneliti

wisatawan Inggris yang berkunjung ke Mallorca di Prancis. Mereka menemukan

adanya pengaruh positif antara kepuasan yang dialami wisatawan dengan niat

untuk berkunjung kembali dimasa mendatang dan niat memberikan rekomendasi

kepada orang lain. Hal ini berarti, semakin puas wisatawan yang berkunjung pada

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

20

suatu destinasi pariwisata akan semakin besar keinginan untuk berkunjung

kembali dan memberikan rekomendasi positif kepada orang lain (Kozak dan

Remmington, 2000). Penelitiannya memiliki keterbatasan karena hanya meneliti

persepsi wisatawan yang berasal Inggris saja, padahal wisatawan yang berkunjung

ke destinasi pariwisata seperti Mallorca berasal dari beberapa negara (Kozak dan

Remmington, 2000).

Terhadap fenomena WOM, Teo dan Lim (2001) melakukan penelitian

pada perusahaan retail komputer, menemukan persepsi keadilan distributif,

prosedural dan interaksional berpengaruh positif terhadap kepuasan pemulihnan

layanan dan menggambarkan adanya hubungan yang positif antara kepuasan

retailer dengan WOM yang negatif. Adanya kepuasan yang semakin baik akan

menyebabkan berkurangnya WOM yang negatif dari pelanggan. Pelanggan akan

menceriterakan hal-hal yang positif kepada orang lain karena mendapatkan

pemulihan layanan yang memuaskan oleh penyedia jasa.

Terakhir, Nikbin et al (2010b) melakukan penelitian pada industri

penerbangan di Iran, yang berkaitan dengan dimensi keadilan, kepuasan pasca

pemulihan layanan dan citra perusahaan. Hasil penelitiannya menemukan hanya

dua dari dimensi keadilan, yaitu persepsi keadilan distributif dan interaksional

berpengaruh signifikan terhadap kepuasan pasca pemulihan layanan, sedangkan

keadilan prosedural tidak berpengaruh signifikan. Lebih lanjut dinyatakan,

pengaruh persepsi keadilan distributif lebih kuat dibandingkan keadilan

interaksional dalam proses pasca pemulihan layanan. Respon konsumen terhadap

pasca pemulihan layanan pada industri penerbangan menjadi lebih baik dan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

21

memuaskan apabila diberikan ganti rugi seperti diskon dibandingkan dengan

permintaan maaf atau memberikan penjelasan kepada penumpang pesawat. Citra

perusahaan penerbangan hanya memoderasi pengaruh persepsi keadilan

interaksional, dan tidak memoderasi pengaruh persepsi keadilan distributif dan

prosedural terhadap kepuasan pasca pemulihan layanan pada industri penerbangan

(Nikbin et al., 2010b).

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori pertukaran soaial atau social exchange

theory yang dikembangkan oleh Homan (1958) sebagai teori utama dan teori

keadilan yang sering disebut dengan justice theory atau fairness theory (Rawls,

2011) sebagai teori terapan (Bungin, 2011: 27) selengkapnya dijelaskan sebagai

berikut.

2.2.1 Teori pertukaran sosial

Penelitian ini menggunakan teori pertukaran sosial atau social exchange

theory (SET) sebagai teori utama atau grand theory. Dalam konteks interaksi

manusia, teori pertukaran sosial berkonsentrasi pada permasalahan perasaan atau

feeling dan emosi atau emotion (Yoda dan Kumakura, 2007). Homans (1958) dan

Homans (1961 dalam Yoda dan Kumakura, 2007) menyatakan bahwa transaksi

manusia sosial sama halnya dalam dunia bisnis, manusia memiliki perilaku

mencari keuntungan atau kepuasan dengan cara membandingkan antara biaya

yang dikeluarkan dengan keuntungan yang akan diperoleh. Apabila biaya yang

dikeluarkan tidak sesuai dengan keuntungan yang diharapkan, maka akan menjadi

ketidakpuasan. Demikian juga sebaliknya, apabila harapan sesuai dengan

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

22

kenyataan akan menimbulkan kepuasan. Interaksi manusia dalam konteks teori

pertukaran sosial mengandung makna bahwa konsumen akan selalu melakukan

evaluasi terhadap biaya yang telah dikeluarkan terhadap apa yang akan diperoleh.

Dikaitkan dengan penelitian ini, interaksi wisatawan dan penyedia jasa

pada suatu destinasi pariwisata adalah implementasi teori pertukaran sosial.

Wisatawan selalu mengharapkan keuntungan atau manfaat dari uang yang

dikeluarkan untuk membiayai perjalanan wisata. Hal ini mengandung konsekuensi

bahwa penyedia jasa harus memberikan sesuatu yang dapat memberikan manfaat

atau kepuasan kepada konsumen. Kepuasan yang diperoleh dari interaksi tersebut

dalam konteks teori keadilan dimaknai sebagai keadilan atau fairness atau sering

juga disebut dengan justice dan sebaliknya ketidakpuasan atau kegagalan layanan

sebagai ketidakadilan atau unfairness, apabila harapan tidak sesuai dengan

kenyataan.

Sejarah teori pertukaran berasal dari paham perilaku atau behaviorisme

yang banyak dikenal dalam bidang psikologi (Ritzer, 2012; 708), namun

belakangan ini mulai dikembangkan dalam dunia sosial, sehingga dikenal istilah

pertukaran sosial, atau teori pertukaran sosial. Lebih lanjut dinyatakan, teori

pertukaran sosial mengkaji dampak perilaku seseorang terhadap lingkungan dan

dampaknya terhadap perilaku berikutnya atau konsekuensi yang dapat

memodifikasi perilaku (Ritzer, 2012: 708).

Teori pertukaran sosial mengevaluasi hubungan antar individu sebagai

suatu aksi yang menghasilkan konsekuensi atau risiko-risiko tertentu, seperti puas

dan tidak puas serta niat berkunjung kembali dan WOM. Perilaku manusia bukan

aksi yang spontan namun diperoleh dari proses belajar (Schiffman dan Kanuk,

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

23

2008: 179; Ritzer, 2012: 708). Perilaku manusia dipelajari dari perilaku

sebelumnya, dan menghasilkan perilaku yang sama atau mungkin berbeda. Jika

reaksi memberikan penghargaan yang besar, kemungkinan akan menghasilkan

perilaku yang besar pula. Demikian pula sebaliknya, bila penghargaan yang

diberikan sangat rendah menghasilkan konsekuensi yang negatif (Ritzer,

2012: 708).

Teori pertukaran sosial dikembangkan dari berbagai konsep seperti

imbalan (reward), biaya (cost), dan resiprositas atau reciprocity (Haryanto, 2012:

171). Kemudian konsep tersebut dikembangkan menjadi konsep-konsep lain

seperti aktivitas, sentimen, interaksi, frekuensi, dan nilai yang menggambarkan

situasi pertukaran antara dua orang (Haryanto, 2012: 171). Proposisi-proposisi

yang merupakan dasar dari teori pertukaran sosial adalah: (1) setiap orang akan

melakukan perilaku tertentu, (2) adanya reaksi seseorang sebagai akibat dari

perilakunya, (3) proses pilihan antara perilaku-perilaku alternatif (Haryanto,

2012: 171).

Dikaitkan dengan penelitian ini, interaksi wisatawan di daerah tujuan

wisata menimbulkan reaksi atau konflik, seperti terjadinya ketidakpuasan atau

ufairness sebagai kegagalan layanan. Reaksi selanjutnya adalah diperlukan aksi

untuk memulihkan kegagalan layanan menjadi kepuasan. Kepuasan ini disebut

dengan kepuasan pemulihan layanan atau kepuasan pasca pemulihan layanan

(post service recovery satisfaction). Selanjutnya dalam penelitian ini disebut

dengan kepuasan pasca pemulihan layanan. Kepuasan pasca pemulihan layanan

membawa konsekuensi timbulnya niat berperilaku wisatawan (perilaku pilihan),

seperti keinginan untuk berkunjung atau tidak berkunjung kembali dan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

24

memberikan rekomendasi WOM yang positif ataupun negatif, bahkan kunjungan

ulang yang berkali kali atau tidak berkunjung kembali sama sekali.

Beberapa pemerhati yang menggunakan teori pertukaran sosial

diantaranya Lovelock dan Wirtz (2007 391), Yoda dan Kumakura (2007), Badawi

(2012), Rawls (2011: 7), Gautam (2011), Ghalandari et al. (2013). Yoda dan

Komakura (2007) menggunakan teori pertukaran sosial untuk mengevaluasi

perilaku konsumen yang menggunakan jasa rumah sakit fakultas di Jepang.

Ghalandari et al. (2013) melakukan penelitian pada perusahaan penjulan online di

Iran, sedangkan Badawi (2012) melakukan penelitian tentang persepsi keadilan

pada rumah makan di Cirebon menggunakan teori pertukaran sosial sebagai teori

utama. Selanjutnya, Smith et al. (1999) melakukan penelitian pada jasa layanan

yang berbeda, yaitu hotel dan restoran menggunakan pendekatan gabungan yaitu

ekperimen dan metode survei yang menghasilkan model pasca pemulihan layanan

berbasis keadilan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsumen menginginkan

adanya pemulihan layanan apabila terjadi kegagalan layanan. Beberapa hasil

penelitian mengindikasikan bahwa teori pertukaran sosial (teori keadilan) dapat

diaplikasikan pada berbagai desiplin ilmu, seperti sosial, psikologi, dan

pariwisata.

2.2.2 Teori keadilan

Teori keadilan adalah teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini,

yang merupakan teori aplikasi, dari tingkatan teori, yaitu grand theory, middle

theory dan application theory (Bungin, 2011: 27). Teori keadilan sering disebut

dengan fairness theory (Li, 2011) atau justice theory (Davidow, 2003; Susila,

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

25

2011; Rawls, 2011: 7; Ghalandari et al., 2012). Teori ini berasal teori pertukaran

sosial yang dikembangkan oleh Homans (1958); Homans (1961 dalam Chen et al,

2007; Yoda dan Kumakura, 2007; Ritzer, 2012: 715); Ghalandari, (2012);

Ghalandari et al.(2013), teori keadilan disebut juga teori ekuitas atau equity theory

yang dikembangkan oleh Adams (1965 dalam Ghalandari et al., 2013). Teori

ekuitas menekankan pada sisi kompensasi yang bersifat material, seperti gaji yang

tinggi, diskon, dan ganti rugi yang bernilai ekonomi.

Selain dengan penelitian, pembahasan keadilan dibicarakan dalam forum

formal seperti seminar, konferensi, serta berbagai hasil penelitian empiris dan

konseptual, yang dimuat dalam berbagai jurnal ilmiah yang dilakukan oleh

Blodgett dan Tax (1993), Teo dan Lim (2001), Neale, dan Murphy (2007), ;

Chang et al.(2008), Sun et al.(2012), Nikbin et al.(2010a,2010b), Pai et al. (2012)

dan buku referensi yang dilakukan oleh Rawls (2011: 3), Lovelock dan Wirtz,

(2007: 391), Ritzer (2012: 708). Hasil telaah jurnal dan buku referensi

mengindikasikan pentingnya keadilan dalam konteks organisasi maupun individu.

Selanjutnya keadilan menurut Rawls (2011: 3) berperan sebagai kebajikan

utama dalam intitusi sosial yang memberikan hak dan kewajiban kepada

masyarakat untuk mendapatkan dan menentukan pembagian keuntungan sosial.

Proposisi yang terkandung dalam keadilan adalah kebajikan dan kebenaran,

sehingga keadilan tidak dapat diganggu gugat (Rawls, 2011: 12). Subjek keadilan

menurut Rawls (2011: 7) tidak hanya dalam bidang hukum, institusi, sistem

sosial, dan tindakan tertentu, namun juga termasuk didalamnya keputusan,

penilaian, dan tuduhan. Lebih lanjut dinyatakannya, subjek keadilan adalah

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

26

struktur dasar masyarakat atau lembaga-lembaga sosial yang mendistribusikan

hak dan kewajiban serta pembagian keuntungan.

Dewasa ini ada kecenderungan pelanggan mengukur seberapa besar

keadilan atau fairness suatu layanan yang diberikan oleh para penyedia jasa, baik

konteks individu maupun organisasi (Rawls, 2011: 3; Pai et al., 2012; Ghalandari,

2013). Konstruk yang biasanya digunakan dalam mengukur keadilan layanan

yang diberikan oleh para penyedia jasa kepada pelanggan adalah persepsi keadilan

atau perceived justice (Radzi et al., 2009; Ponnu dan Chuah, 2010; Nikbin et al.,

2010a; Fan et al., 2010; Gautam, 2011; Pai et al., 2012), terdiri atas persepsi

keadilan distributif, prosedural, dan interaksional.

2.2.2.1 Persepsi keadilan distributif

Keadilan distributif merupakan salah satu dari dua tipe keadilan yang

muncul pada awal perkembangan teori keadilan organisasi (Lind & Tyler, 1988

dalam Tjahjono, 2003). Pada awalnya, penelitian keadilan organisasi

berkonsentrasi pada keadilan distributif, kemudian penelitian tersebut mengalami

perkembangan dengan munculnya keadilan prosedural dan keadilan interaksional.

Keadilan distributif menurut Ghlandari et al. (2013) menyatakan bahwa keadilan

distributif adalah berkaitan dengan kompensasi yang seharusnya diterima oleh

konsumen yang mengalami kegagalan layanan dalam bentuk diskon, kupon,

pengembalian, cendera mata, dan alternatif lainnya yang disediakan penyedia jasa.

2.2.2.2 Persepsi keadilan prosedural

Keadilan prosedural didefinisikan sebagai cara perusahaan dalam

menangani permasalahan yang muncul ketika keluhan disampaikan konsumen,

dalam bentuk aksesibilitas, waktu, kecepatan, proses, kontrol, keterlambatan, dan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

27

fleksibilitas (del Rio-Lanza et al., 2009). Selanjutnya, Davidow (2003)

menyatakan bahwa keadilan prosedural meliputi kebijakan, prosedur, dan alat

yang digunakan oleh perusahaan serta mendukung komunikasi dengan konsumen

secara khusus. Hal ini juga berkaitan dengan waktu yang digunakan dalam

menangani keluhan dan pengambilan keputusan.

Lebih lanjut, Teo dan Kim (2001) menggambarkan adanya pengaruh

positif dan signifikan antara keadilan prosedural dan kepuasan konsumen bisnis

eceran perusahaan komputer. Adanya pelayanan yang baik menyebabkan

konsumen semakin puas. Bahkan, digambarkan bahwa pelayanan yang baik

melebihi dari produk yang baik. Sebagai contoh ketika pesanan menggunakan

telepon dilakukan, hanya beberapa jam saja komputer yang dipesan telah

diantarkan dengan cepat (Teo dan Kim, 2001). Hal ini mengindikasikan

pelanggan selalu menginginkan layanan yang serba cepat dan penyedia jasa wajib

memberikan layanan yang cepat pula. Sejalan dengan itu, Fan et al. (2010)

melakukan penelitian pada konsumen retail on line. Penelitian tersebut

menemukan adanya pengaruh positif persepsi keadilan prosedural terhadap

pemulihan kepuasan konsumen dan niat untuk repatronase. Hal ini berarti

kecepatan pasca pemulihan layanan selain menyebabkan kepuasan, secara tidak

langsung dapat meningkatkan niat berperilaku pelanggan.

2.2.2.3 Persepsi keadilan interaksional

Keadilan interaksional adalah suatu proses penanganan pasca pemulihan

layanan yang dilakukan oleh perusahaan kepada konsumen karena adanya

kegagalan layanan (Kim et al., 2009; Maxham III dan Netemeyer, 2002). Maxham

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

28

III dan Netemeyer, (2002) menyatakan proses pemulihan layanan dilakukan

dengan semangat (respect), jujur (honesty), bersifat edukasi (education) dan

bermartabat (dignity). Untuk dapat memenuhi rasa keadilan konsumen dari

adanya kegagalan layanan, perusahaan dapat melakukan permohonan maaf

(apology) dan empati (empathy) kepada konsumen. Blodgett dan Tax (1993)

menyatakan konsep keadilan telah mengalami evolusi dari keadilan distribusi dan

prosedural. Saat ini, berkembang keadilan interaksional dalam bentuk kualitas

interaksi atau quality of interaction (Blodgett dan Tax, 1993).

Berkaitan dengan keadilan, Gautam (2011) menyatakan bahwa keadilan

interaksional merupakan interaksi interpersonal dari proses penyampaian layanan.

Lebih lanjut dijelaskannya, ketiga dimensi keadilan, yaitu keadilan distributif,

prosedural, dan interaksional memiliki hubungan positif dengan kepuasan

pemulihan layanan kepada konsumen secara keseluruhan (Gautam, 2011).

2.2.3 Kegagalan layanan dan perilaku mengeluh

Mengacu pada teori pertukaran sosial, interaksi antara wisatawan dan

penyedia jasa pada suatu destinasi pariwisata, maka kegagalan layanan tidak dapat

dihindari dan pasti akan terjadi, baik pada industri manufaktur maupun industri

jasa (Lovelock dan Wirtz, 2007: 390). Studi kegagalan layanan relatif baru, dan

kegagalan layanan atau service failure biasanya dikaitkan dengan perilaku

mengeluh (complaint behaviour), dan pasca pemulihan layanan atau service

recovery (Valenzuela et al., 2005; Bhandani dan Polonsky, 2007).

Keluhan memiliki makna ganda (double edge). Hal ini berarti dalam

jangka pendek, keluhan merupakan kompensasi biaya, sedangkan dalam jangka

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

29

penjang menjadi biaya karena kehilangan konsumen (Neale dan Murphy, 2007).

Adanya keluhan seharusnya menjadi informasi yang berguna bagi proses bisnis,

karena akan dapat menciptakan dan menjaga loyalitas konsumen, serta

menyebabkan WOM yang positif. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Lovelock dan

Wirtz (2007: 391) bahwa setiap orang pasti akan pernah mengalami keluhan

ketika pelayanan dirasakan tidak baik atau tidak sesuai dengan harapan.

Seorang manajer perlu memahami ketidakpuasan atau keluhan konsumen

yang dimulai dengan memahami pertanyaan seperti: (1) mengapa konsumen

mengalami keluhan, (2) proporsi orang yang mengeluh, (3) siapa yang suka

mengeluh dan (4) dimana konsumen mengalami keluhan (Lovelock dan Wirtz,

2007: 392). Cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi keluhan tersebut adalah

dengan melakukan pemulihan layanan atau service recovery (Chebat dan

Slusarczyk, 2005; Kau dan Loh, 2006; Ndubisi dan Tam, 2007; Ekiz, 2009)

Berbagai pernyataan kepuasan dan ketidakpuasan menyiratkan bahwa

menangani konsumen tidak mudah. Untuk itu, penanganan konsumen

memerlukan berbagai keahlian untuk memahami perilaku konsumen, sehingga

kepuasan atau pengalaman yang terbaik dapat dirasakan (Kotler et al, 2010: 23).

Lovelock dan Wirtz (2007: 391-394) menyatakan bahwa konsumen tidak selalu

mendapatkan kepuasan dari layanan yang diterima. Berbagai reaksi ditunjukkan

mereka ketika menerima ketidakpuasan seperti emosional (emotional) dan

menggerutu (grumble) dengan teman atau keluarga.

Hasil penelitian Barlow dan Moller (1996: 43 dalam Valenzuela, 2005)

menunjukkan perilaku konsumen yang tidak puas karena kegagalan layanan dapat

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

30

dibagi menjadi empat kelas, yaitu: (1) voicer (37 persen), (2) passive (14 persen),

(3) irates (21 persen), dan (4) activies (28 persen). Kelompok yang disebut

dengan voicer akan menyampaikan keluhan kepada perusahaan. Kelompok kedua

disebut dengan passive, adalah orang yang tidak menyampaikan keluhan, namun

akan tetap membeli dalam kurun waktu tertentu. Ketiga adalah orang yang disebut

dengan irates atau marah, adalah mereka yang akan menyampaikan informasi

yang negatif kepada orang lain, yang disebut dengan istilah rekomendasi Word of

Mouth (WOM) yang negatif. Kelompok keempat disebut dengan activies, adalah

mereka yang menginginkan ganti rugi bahkan menjadi dendam apabila pasca

pemulihan layanan tidak ditangani dengan baik.

Penelitian yang dilakukan Barlow dan Moller (1996: 43 dalam Valenzuela,

2005), mengindikasikan bahwa hanya 37 persen konsumen yang mengalami

kegagalan layanan menyampaikan keluhan dan mungkin akan membeli kembali.

Sebanyak 14 persen adalah mereka yang tidak menyampaikan keluhan dan

mungkin akan bertahan pada perusahaan yang sama, serta sisanya sebanyak 49

persen adalah mereka yang akan menyampaikan hal-hal yang negatif kepada

orang lain bahkan menjadi kebencian dan dendam. Berdasarkan pandangan

tersebut konsumen yang mengalami kegagalan secara umum dapat dibagi tiga,

pertama mereka yang tidak menyampaikan keluhan sama sekali, kedua adalah

mereka yang menyampaikan keluhan secara langsung dan ketiga adalah mereka

yang menyampaikan hal-hal negatif kepada orang lain.

Untuk itu, indikator respon pelanggan terhadap pasca pemulihan layanan

suatu barang atau jasa dapat dilihat dari perilaku ketika menyampaikan keluhan

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

31

atau tidak. Fenomena penyampaian keluhan seharusnya tidak menjadi entitas yang

negatif namun sebaliknya sebagai bagian dari proses layanan untuk dapat

memberikan solusi untuk perbaikan dimasa mendatang. Hal yang menyebabkan

keluhan pelanggan diantaranya karena layanan yang terlalu lama dan birokrasi

yang berbelit-belit (Lovelock dan Wirtz, 2007: 392).

Selanjutnya kegagalan layanan atau service failure didefinisikan sebagai

suatu keadaan yang terjadi ketika penyedia jasa tidak dapat memenuhi janjinya

kepada konsumen (Bhandari dan Polonsky, 2007), kinerja layanan dibawah

harapan pelanggan (Hess et al., 2003). Lovelock dan Wirtz (2007: 392),

menyatakan bahwa pelanggan yang merasakan ketidak nyamanan dari layanan

yang diberikan, hanya 5-10 persen dari mereka akan menyampaikan keluhannya,

bahkan mungkin bisa lebih rendah. Ini berarti tidak semua pelanggan

menyampaikan keluhannya bila terjadi kesalahan atau kegagalan layanan.

Adanya keluhan yang tidak disampaikan oleh konsumen menyebabkan

konsumen tidak mendapatkan penanganan atas keluhannya, sehingga konsumen

masih memendam ketidaknyamanan dari adanya kegagalan layanan. Hal ini dapat

menjadi preseden buruk bagi penyedia jasa, karena penyedia jasa tidak

mengetahui jenis keluhan dan cara penanganannya. Padahal pelanggan yang

mengalami keluhan semestinya mendapat penanganan dengan baik. Karena

keluhan yang tidak ditangani dengan baik akan berakumulasi dengan keluhan

yang tidak disampaikan oleh konsumen. Sebagai alternatif, penyedia jasa harus

mengupayakan agar konsumen mau menyampaikan keluhannya, sehingga dapat

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

32

menangani dengan baik keluhanan yang disampaikan (Lovelock dan Wirtz,

2007: 393)

Banyak alasan yang menyebabkan pelanggan mengalami kegagalan

layanan namun tidak menyampaikan keluhan, diantaranya karena malas menulis,

tidak tahu kemana harus mengadu, tidak percaya akan ditangani dengan baik, dan

tidak ingin konfrontasi (Lovelock dan Wirtz, 2007: 393). Disampaikan atau tidak

disampaikannya keluhan dipengaruhi oleh peran persepsi dan norma sosial dalam

masyarakat. Seseorang yang memiliki persepsi karena dirinya tidak memiliki

kekuasaan dalam masyarakat akan cenderung tidak mengadukan keluhannya,

dibandingkan dengan mereka yang memiliki pengaruh atau persepsi positif

(Lovelock dan Wirtz, 2007: 393).

Penelitian konsumen yang mengeluh dilakukan beberapa pemerhati seperti

Valenzuela (2005), Yuksel et al. (2006), Kau dan Loh (2006), Donoghue dan

Klerk, (2006), Ndubisi dan Tam (2007), Ekiz (2009), dan Zain (2011). Ndubisi

dan Tam (2007) menggambarkan pentingnya manajemen penanganan keluhan

pada industri perbankan. Keluhan terjadi sebagai konsekuensi dari ketidakpuasan

pelanggan karena apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih

lanjut dinyatakan usaha untuk mempertahankan pelanggan sangat penting, yaitu

dengan cara memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Keluhan yang tidak

ditangani dengan baik akan menyebabkan kehilangan pelanggan atau losing

customer (Ndubisi dan Tam, 2007). Hasil penelitian Abdullah (1996) dalam

Ndubisi dan Tam, 2007) juga menemukan perilaku mengeluh konsumen Malaysia

yang masih kurang terbuka dalam menyampaikan keluhan.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

33

Berkaitan dengan penyampaian keluhan, Ekiz (2009) menyebutkan lima

faktor yang menjadi hambatan, yaitu waktu (time), keterlibatan (involvement),

komunikasi (communication), keakraban (familiarity), dan suasana hati ketika

berlibur atau holiday mood (Ekiz, 2009). Orang tidak ingin menyampaikan

keluhan karena memiliki waktu yang terbatas sehingga mengurungkan niat untuk

menyampaikan keluhan dan tidak ingin melibatkan diri walaupun sebenarnya

mengalami keluhan. Berikutnya, minimnya komunikasi yang disampaikan kepada

konsumen, konsumen akan lebih berminat menyampaikan keluhan apabila

diinformasikan bahwa penyedia jasa menerima keluhan dan menyediakan tempat

yang representatif. Terakhir adalah holiday mood, yaitu kelompok yang tidak

memiliki mood untuk menyampaikan keluhan, mereka lebih baik diam daripada

menyampaikan keluhan.

Terhadap perilaku, Yuksel et al. (2006) menyatakan bahwa ada persamaan

dan perbedaan perilaku mengeluh wisatawan yang menginap pada industri hotel,

yang berasal empat negara, yaitu Turki, Belanda, Inggris dan Israel. Keempat

negara memiliki kesamaan dalam perilaku mengeluh, yaitu keluhan disampaikan

bila terjadi kesalahan atau kegagalan layanan. Lebih lanjut, dinyatakan bahwa

wisatawan yang memiliki tanggapan negatif terhadap keluhan sering tidak

menyampaikan keluhannya. Dengan demikian, konsumen perlu didorong agar

mau menyampaikan keluhannya, seperti penyediaan kotak saran atau buku kesan

dan pesan.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

34

2.2.4 Kepuasan konsumen

Kepuasan konsumen menurut (Holloway et al., 2005 dalam Ghalandari,

2013). berperan sebagai entitas sangat penting dalam pasca pemulihan layanan

dan secara langsung berdampak pada sikap dan niat konsumen. Penelitian

kepuasan dilakukan beberapa peneliti seperti Bougie et al. (2003), Wu dan Ding

(2007), Chen (2008), Gures et al. (2009) dan Manimaran et al. (2010). Rodriguez

dan Martin (2008) menyatakan kepuasan tidak hanya terbatas pada aspek koqnitif

namun juga emosional. Lebih lanjut, dinyatakan kepuasan dapat dibagi menjadi

dua bagian besar, yaitu kepuasan sebagai transaksi yang spesifik dan kepuasan

sebagai keseluruhan atau overall satisfaction. Kepuasan yang spesifik

mengandung makna kepuasan pasca pembelian sebagai reaksi afektif dari

pengalaman dengan penyedia jasa atau pengalaman yang dirasakan ketika

berinteraksi dengan penyedia jasa atau pada destinasi pariwisata. Kepuasan secara

keseluruhan adalah kepuasan sebagai hasil evaluasi akhir pasca pembelian yang

dilakukan dengan penyedia jasa. Adapun indikator yang digunakan untuk

mengukur kepuasan konsumen seperti: (1) daya tarik wisata, (2) pemandangan

alam, (3) transportasi, dan (4) kemudahan mengelilingi kota (Mohamad et al.,

2011).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan, diantaranya citra destinasi

pariwisata (Chi, 2005: 13), dalam penelitiannya menemukan adanya pengaruh

citra destinasi pariwisata tehadap atribut kepuasan dan kepuasan keseluruhan.

Kepuasan konsumen menurut World Tourism Organization, 1985 (dalam Chi,

2005: 48) adalah konsep psikologis yang melibatkan perasaan sejahtera dan

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

35

menyenangkan yang dihasilkan dari apa yang orang harapkan atau diharapkan

dari barang dan jasa. Ini berarti kepuasan adalah perasaan yang menyenangkan

dari seseorang yang mendapatkan layanan yang sesuai dengan harapan.

Gures et al. (2009) melakukan penelitian kepuasan pelanggan industri

penerbangan. Model penelitian ini mengkaji kepuasan pelanggan penumpang

yang berasal dari Eropa terhadap Bandar Udara Turki. Penumpang yang terbang

dengan tujuan perjalanan kesehatan menyatakan lebih tidak puas dibandingkan

dengan penumpang dengan tujuan berwisata. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa Bandar Udara Turki menurut pandangan penumpang dari Eropa belum

memberikan layanan bidang kesehatan dengan baik, sehingga fasilitas kesehatan

bagi penumpang yang menggunakan Bandar Udara Turki perlu ditingkatkan.

Selanjutnya, Chen (2008) melakukan penelitian hubungan kepuasan

dengan niat berperilaku. Penelitian dilakukan pada Koashiung International

Airport di Taiwan, pada bulan Desember 2004 dengan meyebarkan 300 kuesioner,

sebanyak 245 kuesioner memenuhi syarat untuk diolah atau mencapai 81,6

persen. Penelitian menggunakan metode convenience sampling dengan analisis

Structural Equation Modeling (SEM), menemukan adanya hubungan yang

signifikan antara kepuasan dan niat berperilaku penumpang pesawat di Taiwan.

Dengan demikian, bila semakin puas wisatawan, maka meningkatkan niat

berperilaku penumpang, yaitu keinginan untuk terbang lagi dimasa yang akan

datang dan memberikan rekomendasi kepada orang lain atau WOM.

Hal senada dinyatakan Kozak dan Remmington (2000) yang menemukan

adanya pengaruh positif antara kepuasan yang dialami wisatawan dengan niat

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

36

untuk berkunjung kembali dimasa mendatang dan niat untuk memberikan

rekomendasi kepada orang lain. Ini berarti semakin puas wisatawan yang

berkunjung pada suatu destinasi pariwisata akan semakin besar keinginan untuk

berkunjung kembali dan memberikan rekomendasi positif kepada orang lain.

Penelitian dilakukan terhadap wisatawan Inggris yang berkunjung ke Mallorca di

Prancis. Lebih lanjut dinyatakan penelitiannya memiliki keterbatasan karena

hanya meneliti persepsi wisatawan yang berasal Inggris saja, padahal wisatawan

yang berkunjung ke destinasi pariwisata seperti Mallorkan berasal dari beberapa

negara.

2.2.5 Pemulihan layanan

Pemulihan layanan atau service recovery adalah istilah yang sering

digunakan dalam upaya menangani kegagalan layanan yang disampaikan dalam

bentuk keluhan kepada penyedia jasa dan sering disebut dengan pasca pemulihan

layanan. Pemulihan layanan didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan

penyedia jasa ketika terjadi kegagalan untuk mempertahankan kepercayaan

pelanggan. Lebih lanjut dinyatakannya bahwa usaha meningkatkan kepuasan

konsumen bukan dengan cara promosi tapi dengan cara penanganan kegagalan

layanan yang efektif. Seperti memberikan motivasi kepada karyawan agar dapat

menangani keluhan dengan baik (Lovelock dan Wirtz, 2007: 391-395).

Pemulihan layanan juga didefinisikan sebagai aksi yang dilakukan

penyedia jasa dalam menangani kegagalan layanan atau keluhan. Lebih lanjut

dinyatakannya perusahaan menangani keluhan menggunakan tiga dimensi

keadilan sebagai suatu srategi untuk meningkatkan kepuasan pasca pemulihan

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

37

layanan dan keinginan untuk berkunjung kembali dan WOM. Tiga dimensi

tersebut adalah: (1) persepsi keadilan distributif, (2) persepsi keadilan prosedural,

dan (3) persepsi keadilan interaksional (Ghalandari et al., 2013).

Pada hakekatnya pemulihan layanan adalah tindakan yang dilakukan

penyedia jasa atau service provider untuk mengatasi keluhan pelanggan kerena

adanya kegagalan layanan atau kegagalan produk (Smith dan Bolton, 2002).

Pemulihan layanan atau service recovery menjadi perhatian serius dewasa ini

dikaitkan dengan usaha untuk mengantisipasi adanya kegagalan layanan atau

service failure (Smith dan Bolton; 2002; Lovelock dan Wirtz, 2007: 390).

Pentingnya fenomena pemulihan layanan ditunjukkan dengan perhatian

pemerhati pada berbagai industri seperti penjualan on line (Ghalandari, 2012;

Ghalandari et al., 2013), industri penerbangan (Nikbin et al., 2011), industri

perhotelan (Ekiz., 2009; Riadzi et al., 2009; Nikbin et al., 2010; Kim et al., 2009).

Penelitian pemulihan layanan sebelumnya hanya dilakukan pada industri

manufaktur, seiring dengan perkembangan industri jasa penelitian pada bidang ini

juga mengalami peningkatan, termasuk dalam bidang pariwisata, walaupun

jumlahnya terbatas (Ekiz, 2009).

Pemulihan layanan dinyatakan oleh Lovelock dan Wirtz (2007: 394-395)

pemulihan layanan sebagai terminologi umum yang sistematis digunakan oleh

perusahaan untuk memperbaiki kegagalan layanan dan mempertahankan

kepercayaan pelanggan. Lebih lanjut dinyatakan pemulihan layanan berperan

sebagai elemen penting untuk mencapai kepuasan pelanggan. Pemulihan layanan

yang efektif memerlukan prosedur yang benar dalam menangani berbagai keluhan

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

38

Hampir 60 persen pelanggan yang pindah disebabkan karena tidak efektifnya

penanganan keluhan, sebanyak 25 persen disebabkan oleh produk utama, 19

persen karena tidak puas dengan karyawan, dan 10 persen karena prioritas

penanganan serta 4 (empat) persen karena etika dalam penanganan keluhan oleh

penyedia jasa.

Untuk itu, produsen perlu melakukan usaha pemulihan layanan, karena

dampak dari penanganan keluhan adalah konsumen menjadi puas dan berakibat

pula pada loyalitas konsumen (Lovelock dan Wirtz, 2007: 394). Selain itu,

pemulihan juga menimbulkan niat untuk berperilaku seperti keinginan untuk

berkunjung kembali dan memberikan rekomendasi WOM yang positif kepada

orang lain (Kozak dan Remmington, 2000).

Penelitian pemulihan layanan atau service recovery secara garis besarnya

dapat dibagi menjadi dua, yaitu penelitian yang menggunakan pendekatan

konseptual dan pendekatan empiris. Penelitian pasca pemulihan layanan yang

menggunakan pendekatan konseptual dilakukan beberapa peneliti seperti Nguyen

dan Kennedy (2005), Kuenzel dan Katsaris (2009), Najjar et al. (2010), dan

Abdullah et al. (2011). Penelitian yang bersifat empiris diantaranya dilakukan

oleh Bhandari dan Polonsky (2007) dan Lee et al., (2012). Dalam konteks teoretis,

penelitian pemulihan layanan berguna untuk pengembangan model konseptual

peran pemulihan layanan dalam pertemuan layanan (service encounter) produsen

dan konsumen (Kuenzel dan Katsaris, 2009).

Dalam konteks manajerial, pasca pemulihan layanan merupakan suatu

strategi dalam menangani keluhan pelanggan sehingga konsumen merasa puas dan

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

39

dapat meningkatkan WOM yang positif serta niat untuk membeli kembali (Kozak

dan Remmington, 2001; Smith dan Bolton, 2002) Penelitian pasca pemulihan

layanan tidak terbatas pada sektor jasa dan sektor pariwisata seperti yang

dilakukan Teo dan Lim (2001), Neale dan Murphy (2007) dan Fan et al. (2010).

Penelitian pada industri perhotelan dan restoran dilakukan beberapa peneliti

diantaranya O’Neill dan Mattila (2004), Chang et al. (2007), Bhandari dan

Polonsky (2007), serta Smith dan Bolton (2002). Namun, penelitian pemulihan

layanan di destinasi pariwisata masih terbatas (Furutani dan Fujita, 2005).

Berbagai upaya dilakukan sebagai usaha pasca pemulihan layanan, seperti

penerapan sistem umpan balik (feedback). Adanya umpan balik berupa kesan–

kesan yang disampaikan konsumen dapat menjadi salah satu sumber informasi

tentang berbagai hal, yang dialami wisatawan ketika melakukan kunjungan wisata

(Lovelock, dan Wirtz, 2007: 390; Gregoire dan Fisher, 2008). Adapun respon

pelanggan terhadap adanya kegagalan layanan atau ketidakpuasan, seperti

disajikan pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Respon Pelanggan Terhadap Kegagalan Layanan

(Adopsi dari Lovelock dan Wirtz, 2007: 391)

Pertemuan layanan:

Ketidakpuasan

Reaksi umum

Reaksi pribadi

Tidak ada reaksi

Mengeluh kepada perusahaan

Mengeluh kepada pihak ketiga

Menempuh jalur

hukum: ganti rugi

Pindah perusahaan

WOM negatif

Respon : salah satu atau kombinasi

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

40

Gambar 2.1 memperlihatkan betapa pentingnya penanganan kegagalan

layanan atau ketidakpuasan pelanggan ketika terjadi interaksi pelanggan dan

penyedia jasa. Perilaku konsumen ketika terjadi permasalahan layanan dibagi

menjadi tiga reaksi; reaksi umum, reaksi pribadi dan tidak ada reaksi (Lovelock

dan Wirtz, 2007: 391). Perilaku konsumen yang tidak melakukan reaksi menjadi

permasalahan serius bagi penyedia jasa, karena penyedia jasa tidak mengetahui

jenis keluhan, dan cara menangani.

Tiga reaksi reaksi umum yang dilakukan konsumen ketika terjadi

kegagalan layanan atau ketidakpuasan. Pertama, pelanggan yang mengalami

kegagalan layanan akan menyampaikan komplain atau keluhan kepada penyedia

jasa. Kedua, mereka akan menyampaikan keluhan kepada pihak ketiga. Seperti

kepada temannya atau keluarganya. Ketiga, pelanggan akan menyampaikan

keluhan kepada pihak yang berwajib atau mengadukan melalui jalur hukum

karena tidak sesuai dengan harapan dan tidak mendapatkan tanggapan (Lovelock

dan Wirtz, 2007: 391).

Dua reaksi pribadi dari konsumen adalah dengan melakukan tindakan

pindah pada penyedia jasa lain. Konsumen akan pindah kepada penyedia jasa

yang lain atau membeli produk yang sama apabila penanganan kegagalan layanan

tidak sesuai dengan harapan. Reaksi pribadi kedua adalah menyampaikan

informasi yang negatif, atau yang dikenal dengan negative WOM. Konsumen

akan menyampaikan informasi negatif kepada orang lain, seperti keluarga dan

teman, apabila yang bersangkutan tidak mendapatkan penanganan keluhan dengan

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

41

baik (Yuksel et al, 2006; Lovelock dan Wirtz, 2007: 39; Ekiz, 2009; Chen, 2009;

Mostert et al., 2009). Kehilangan pelanggan tidak hanya berpengaruh bagi

perusahaan dalam jangka pendek, namun menjadi ancaman bagi masa depan

penyedia jasa (Ekiz, 2009).

Pasca pemulihan layanan atau yang lebih dikenal dengan service recovery

adalah tindakan pemulihan yang dilakukan organisasi karena adanya kegagalan

sehingga dapat merubah ketidakpuasan menjadi kepuasan (Mostert et al., 2009).

Pasca pemulihan layanan dikaitkan konsekuensi dari kegagalan layanan (Smith

dan Bolton, 2002; Neira et al., 2010; Lee et al., 2012), komplain atau keluhan

pelanggan (Zain, 2011), kepuasan pelanggan (Smith dan Bolton, 2002; O’Neil

dan Mattila, 2004; Kau dan Loh, 2006).

2.2.6 Kepuasan pasca pemulihan layanan

Kepuasan pasca pemulihan layanan adalah pemulihan layanan yang

dilakukan penyedia jasa, pasca terjadinya kegagalan layanan (Ghalandari, 2013).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa kepuasan pasca pemulihan layanan berbeda

dengan kepuasan konsumen sebagai first encounter, namun sebagai kepuasan

kedua atau second satisfaction. Kepuasan pemulihan layanan atau disebut pula

dengan istilah pasca pemuluhan layanan atau post recovery satisfaction. Lebih

lanjut kepuasan pasca pemulihan layanan didasarkan pada prevalensi konsep

orientasi kepada pelanggan. Karena semua penyedia jasa memandang kepuasan

sebagai suatu kebutuhan untuk keberlangsungan perusahaan dan menghadapi

persaingan yang semakin ketat.

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

42

Model penanganan keluhan dan proses pasca pemulihan layanan

digambarkan dengan peran tiga dimensi persepsi keadilan (fairness), seperti

disajikan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Model Proses Penanganan Keluhan dan Pasca Pemulihan Layanan

(Adopsi dari Lovelock dan Wirtz, 2007: 391)

Lovelock dan Wirtz (2007: 391) menggambarkan bagaimana menangani

keluhan dan proses pemulihannya. Kepuasan dan ketidakpuasan pasca pemulihan

layanan sangat tergantung dari rasa keadilan yang diterima pelanggan. Apabila

proses penanganan keluhan dilakukan dengan cepat maka akan dirasakan lebih

adil dari proses layanan yang lambat (keadilan prosedural). Apabila penyedia jasa

meminta maaf atas terjadinya kegagalan layanan, maka penanganan keluhan

layanan dianggap lebih adil dibandingkan tanpa meminta maaf (keadilan

interaksional). Bila penanganan kesalahan layanan disertai dengan ganti rugi,

Penanganan Keluhan dan Proses Pemulihan Layanan

Keadilan

Prosedural

Keadilan

Interaksional Keadilan Hasil

Pelanggan Puas dengan

Pemulihan Layanan

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

43

seperti pemberian penggantian dan diskon akan dirasakan lebih adil dibandingkan

dengan tidak diberikan, yang merupakan bentuk keadilan distributif.

Tingginya rasa keadilan yang dialami pelanggan akan dapat menyebabkan

meningkatnya kepuasan konsumen. Demikian sebaliknya, semakin rendah rasa

keadilan yang dirasakan, akan menyebabkan ketidakpuasan (Wirtz dan Mattila,

2002; Yoda dan Kumakura, 2007; Lovelock dan Wirtz, 2007: 391; Mostert et al.,

2009; Badawi, 2012). Tax dan Brown menemukan sebanyak 85 persen variasi

dalam kepuasan pasca pemulihan layanan disebabkan oleh tiga dimensi keadilan

(Lovelock dan Wirtz, 2007: 394).

2.2.7 Citra destinasi pariwisata

Citra atau image digambarkan sebagai pengembangan konstruk mental

yang didasarkan beberapa impresi yang diperoleh dari berbagai informasi seperti

brosur, poster, teman, agen perjalanan wisata, dan juga berbagai media seperti

televisi, majalah, dan buku (Reymond, 1965 dalam Echtner dan Ritchie, 2003).

Lebih lanjut, citra juga merupakan salah satu elemen penting yang menyebabkan

orang memutuskan untuk melakukan perjalanan. Citra masing-masing orang

terhadap tempat tertentu bersifat unik, seperti kenangan atau memori, asosiasi dan

imajinasi (Jengkins, 1999).

Citra menurut Moutinho (2000: 48) didefinisikan sebagai deskripsi sikap

wisatawan terhadap sesuatu yang berkaitan dengan atribut destinasi pariwisata.

Citra sebagai konstruk mental mengandung makna bahwa citra adalah sesuatu

yang dibayangkan dan dipersepsikan tentang sesuatu atau tempat. Citra dibentuk

oleh dua elemen penting, yaitu: demand atau permintaan dan supply atau

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

44

penawaran (Stabler, 1988 dalam Jengkins, 1999). Citra dikaitkan dengan tempat,

dalam konteks pariwisata sering disebut dengan destinasi atau destinasi

pariwisata.

Destinasi pariwisata dipersepsikan sebagai kumpulan atribut yang

membentuk destinasi pariwisata, dikenal dengan istilah 4A, yang terdiri atas

atribut attraction, access, amenities, dan ancillary (Cooper et al., 1993: 81).

Destinasi pariwisata juga dibentuk dari atribut daya tarik wisata (attraction),

fasilitas (facilities), infrastruktur (infrastructure), transportasi (transportation),

dan hospitalitas (hospitality), yang dikenal dengan istilah AFITH (Mill dan

Morrison (2009; 2012: 18).

Pendekatan untuk mengukur suatu destinasi pariwisata juga dikembangkan

World Tourism Organization (2007), yang merupakan pengembangan dari konsep

Cooper et al. (1993), terdiri atas enam (6) elemen sebagai berikut: (1) berbagai

sarana pariwisata (amenity), (2) aksesibilitas (access), (3) daya tarik wisata

(attraction), (4) sumber daya manusia (human resources), dan (5) citra dan

karakter (image and character), serta (6) harga atau price (World Tourism

Organization, 2007: 1).

Beberapa konsep destinasi pariwisata digambarkan bahwa destinasi

pariwisata adalah suatu tempat dan atau atribut yang menyediakan berbagai

entitas yang dibutuhkan oleh wisatawan, namun juga dapat digambarkan sebagai

citra atau image, seperti di persepsikan sebagai citra yang baik dari sisi human

resources atau sebagai hospitalitas penyedia jasa dan masyarakat (Mill dan

Morrison 2009, 2012: 18).

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

45

Studi citra destinasi pariwisata pertama kalinya dilakukan pada tahun 1970

an, salah satunya karya Hunts pada tahun 1970-an (Della Corte dan Micera, 2007;

Pike, 2008: 200) yang membahas manajemen dan citra destinasi pariwisata.

Penelitian selanjutnya disusul oleh pemerhati lainnya, seperti Crompton (1979),

Pike (2002), Gover dan Kumar (2007), Molina et al. (2010), Rodrigues et al.

(2011), Mohamad et al. (2011), Lertputtarak (2012), Jamaludin et al. (2012) dan

Zahra, (2012). Sejalan dengan penelitian tersebut Della Corte dan Micera (2007)

menyatakan citra destinasi pariwisata, sebagai keseluruhan kepercayaan, ide, dan

impresi seseorang terhadap suatu tempat.

Selanjutnya Echtner dan Ritchie (2003) membuat model konseptual citra

destinasi pariwisata, yang didasarkan pada hasil penelitian retail store. Model

tersebut terdiri atas: elemen holistik dan atribut, fungsional dan psikologi, serta

elemen umum dan unik seperti disajikan pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Komponen Citra Destinasi Pariwisata (CDP)

(Adaptasi dari Echtner dan Ritchie, 2003)

Fungsional

Holistik

Keunikan

Umum

Atribut

Psikologi

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

46

Elemen holistik dan atribut menggambarkan bahwa sebuah destinasi

pariwisata dinilai oleh wisatawan berdasarkan elemen holistik. Ini berarti bahwa

citra sebuah destinasi pariwisata dinilai secara keseluruhan, sebagai sebuah

destinasi pariwisata. Atribut berarti citra sebuah destinasi pariwisata dievaluasi

menggunakan atribut-atribut tertentu, seperti pemandangan alam, akomodasi, dan

nilai-nilai budaya, serta keramahan masyarakat. Elemen vertikal terdiri dari

fungsional dan psikologi, elemen fungsional berarti citra destinasi pariwisata

dinilai dari elemen fungsional atau yang bersifat fisik, seperti daya tarik wisata,

akomodasi, biro perjalanan. Sedangkan elemen psikologi menggambarkan bahwa

destinasi pariwisata dievaluasi dengan menggunakan pendekatan psikologi seperti

perilaku wisatawan.

Kelompok elemen lainnya adalah umum dan unik. Umum berarti setiap

destinasi pariwisata dipersepsikan sebagai tempat yang umum dan mengandung

makna dapat dikunjungi oleh siapa saja, mulai dari anak-anak, dewasa dan orang

tua dengan berbagai tujuan. Berbeda dengan destinasi pariwisata yang memiliki

keunikan tertentu seperti memiliki keunikan budaya, sehingga lebih banyak

dikunjungi oleh wisatawan yang menyukai keunikan budaya.

Indikator untuk mengukur citra suatu destinasi pariwisata menurut Echtner

dan Ritchie (2003), meliputi 34 atribut yang terdiri atas: (1) pemandangan atau

daya tarik alam, (2) harga atau biaya, (3) iklim, (4) tempat atau aktifitas

wisatawan, (5) kehidupan malam dan hiburan, (6) fasilitas atau aktifitas olah raga,

(7) aktifitas taman nasional atau aktifitas liar, (8) transportasi atau infrastruktur

lokal, (9) bangunan atau arsitektur, (10) tempat bersejarah atau museum,

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

47

(11) pantai, (12) fasilitas belanja, (13) fasilitas akomodasi, (14) kota, (15)

pameran, eksibisi, dan festival, (16) pusat informasi wisata, (17) kemacetan, (18)

kebersihan, (19) keamanan pribadi, (20) perekonomian, (21) aksesibilitas, (22)

tingkat urbanisasi, (23) komersialisasi, (24) stabilitas politik, (25) keramahan dan

bersahabat, (26) perbedaan kebiasaan atau budaya, (27) perbedaan makanan dan

minuman, (28) relaksasi dan santai, (29) atmosfir yang eksotik, (30) peluang

untuk berpetualang, 31) peluang untuk meningkatkan pengetahuan, (32) orientasi

keluarga, (33) kualitas layanan, dan (34) reputasi.

Sementara itu, Chi dan Qu (2008) menyatakan citra destinasi pariwisata

yang positif, menyebabkan kepuasan wisatawan dan mempengaruhi niat

berperilaku seperti menjadi lebih loyal. Coban (2012) membagi citra destinasi

pariwisata menjadi dua elemen utama yaitu kognitif dan emosional. Aspek

kognitif dari citra destinasi pariwisata adalah sebagai kepercayaan dan informasi

yang diperoleh orang tentang suatu tempat. Lebih lanjut dinyatakan, bahwa aspek

kognitif datang dari hasil evaluasi seseorang terhadap suatu tempat yang

dikunjungi. Lebih lanjut Lee et al. (2012), mendefinisikan citra sebagai ide atau

konsep yang bersifat individual atau kolektif dari penilaian suatu destinasi

pariwisata. Citra digambarkan sebagai representasi mental atau atribut dan

manfaat dari produk yang dinikmati oleh konsumen.

Bentuk citra destinsi pariwisata menurut Gunn (1998) dalam Pike,

2008: 205) dibagi menjadi dua jenis yaitu organic dan induced. Lebih lanjut

dinyatakan citra destinasi terbentuk karena wisatawan telah mengunjungi tempat

tersebut, yang dikenal dengan organic image, sedangkan citra induced (induced

image) adalah citra yang terbentuk karena pengaruh berbagai sumber informasi

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu filecontoh, dengan diberikannya kupon makan gratis bagi penumpang pesawat yang mengalami keterlambatan terbang selama tiga jam, merupakan

48

seperti internet, majalah, koran, termasuk brosur dan informasi dari biro

perjalanan wisata.

Berdasarkan klasifikasi citra dari Gunn (1972) dalam Pike, 2008: 2005;

Echtner dan Ritchie, 2003), mengindikasikan bahwa citra destinasi pariwisata

dapat terbentuk dari salah satunya atau keduanya. Wisatawan yang sudah pernah

melakukan perjalanan wisata menandakan mereka sudah mendapatkan informasi

dari kedua sumber tersebut. Bila wisatawan belum pernah berkunjung ke suatu

destinasi pariwisata dan mendapatkan informasi dari brosur, biro perjalanan

wisata dan media lainnya maka citra suatu destinasi pariwisata dipersepsikan

sebagai citra organik.

Menurut Lai dan Li (2012) citra destinasi pariwisata diukur dengan

menggunakan 26 indikator yaiitu: (1) tempat bersejarah, (2) arsitektur, (3)

keamanan pribadi, (4) perbedaan budaya, (5) tempat wisata, (6) bentang alam, (7)

komersialisasi, (8) fasilitas olah raga, (9) tingkat urbanisasi, (10) infrastruktur

umum, (11) perkembangan ekonomi, (12) tempat yang terkenal, (13) hospitalitas,

(14) eksibisi, dan festival, (15) aksesibilitas, (16) fasilitas belanja, (17)

gastronomi, (18) kemudahan komunikasi, (19) kualitas layanan, (20) kehidupan

malam dan entertainment, (21) Informasi pariwisata, (22) kesehatan, (23) fasilitas

akomodasi, (24) biaya, (25) iklim, dan (26) kemacetan.

Secara berurutan peran citra destinasi digambarkan sebagai faktor yang

mempengaruhi keputusan untuik melakukan perjalanan wisata. Sepuluh (10)

indikator sebagai pembentuk citra sebuah destinasi pariwisata adalah: (1) tempat

bersejarah, (2) arsitektur, (3) keamanan pribadi, (4) perbedaan budaya, (5) tempat

wisata, (6) bentang alam, (7) komersialisasi, (8) aktifitas olah raga, (9) tingkat

urbanisasi, dan (10) infrastruktur (Lai dan Li, 2012).