BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian...
-
Upload
trinhkhanh -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pengertian...
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda, dalam
menyelesaikan tugas kelompok setiap siswa anggota kelompok harus saling
bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran (Isjoni,
2009:14-15). Slavin (2009:4) mengemukakan pendapatnya bahwa pembelajaran
kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama
lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Hal ini bertujuan agar proses
pembelajaran tidak didominasi oleh satu orang, melainkan setiap anggota
kelompok memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam
menyelesaikan masalah kelompoknya. Sehingga proses pembelajaran yang terjadi
dapat berperan dalam mengaktifkan semua siswa dan lebih berpusat kepada siswa.
Pembelajaran kooperatif merupakan sebuah kelompok strategi pengajaran
yang melibatkan siswa bekerja secara berkolaborasi untuk mencapai tujuan
bersama Eggen dan Kauchak (dalam Trianto, (2007:42). Pada pembelajaran
kooperatif diajarkan keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama
dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa
diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk
diajarkan kepada temannya. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok
adalah mencapai ketuntasan. Tujuan pembelajaran kooperatif sebagai berikut: 1)
untuk meningkatkan partisipasi siswa, 2) untuk memfasilitasi siswa dengan
pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, 3)
memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama
siswa yang berdeda latar belakangnya Trianto (2007:42).
8
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif oleh Trianto (2009:66-67)
adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1
Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif
Sintaks
Pembelajaran
Kooperatif
Perilaku
Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa
pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut
Fase 2 Menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan
demonstrasi atau lewat bahan bacaan.
Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-
kelompok belajar menjelaskan bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan
membantu setiap kelompok agar melakukan transisi
secara efisien.
Fase 4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar pada
saat mereka mengerjakan tugas mereka.
Fase 5
Mengevaluasi hasil belajar tentang
materi yang telah dipelajari atau masing-masing
kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
Fase 6 Memberikan penghargaan baik upaya maupun hasil
belajar individu dan kelompok.
Berdasarkan enam fase sintaks pembelajaran kooperatif di atas, maka
pembelajaran dalam kooperatif dimulai dengan guru menginformasikan tujuan-
tujuan dari pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar. Fase ini diikuti
dengan penyajian informasi, sering dalam bentuk teks bukan verbal. Kemudian
dilanjutkan langkah-langkah di mana siswa di bawah bimbingan guru bekerja
bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas yang saling bergantung. Fase
terakhir dari pembelajaran kooperatif meliputi penyajian produk akhir kelompok
atau mengetes apa yang telah dipelajari oleh siswa dan pengenalan kelompok dan
usaha-usaha individu.
2.1.2 Model Kooperatif Tipe Jigsaw
Model pembelajaran jigsaw ini siswa memiliki banyak kesempatan untuk
mengemukakan pendapat, dan mengelolah informasi yang didapat dan dapat
meningkatkan keterampilan berkomunikasi, anggota kelompok bertanggung
9
jawab atas keberhasilan kelompoknya dan ketuntasan bagian materi yang
dipelajari, dan dapat menyampaikan kepada kelompoknya (Suprijono, 2009:89-
91). Pembelajaran kooperatif Jigsaw merupakan salah satu tipe pembelajaran
kooperatif yang mendorong siswa aktif dan saling membantu dalam menguasai
materi pelajaran untuk mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni, 2009:77).
Model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah salah satu model
pembelajaran yang terdiri dari tim-tim belajar heterogen, beranggotakan 4-6
siswa, setiap siswa bertanggung jawab atas penguasaan bagian dari materi belajar
dan harus mampu mengajarkan bagian tersebut kepada anggota tim lainnya
Trianto (2007:56). Menurut Suyatno (2008:104) jigsaw merupakan salah satu
pembelajaran kelompok yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli.
Anggota kelompok terdiri atas beberapa siswa dengan tingkat heterogenitas yang
tinggi. Siswa yang memiliki topik sama bertemu pada kelompok ahli, kelompok
ahli mempelajari satu topik. Dan setelah topik tersebut tuntas dibahas, maka siswa
dari kelompok ahli kembali pada kelompok asal dan berbagi pengetahuan dengan
teman-teman pada kelompok asal.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw adalah teknik pembelajaran kooperatif di mana siswa, bukan guru,
yang memiliki tanggung jawab lebih besar dalam melaksanakan pembelajaran.
2.1.3 Langkah – langkah Model Pembelajarn Jigsaw ( Tim Ahli )
Menurut Trianto (2007:56) langkah - langkah pembelajaran jigsaw (Tim
Ahli) adalah sebagai berikut :
1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
2. Guru mengatur tempat duduk
3. Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6
orang).
4. Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah
dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.
5. Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan
bertanggung jawab untuk mempelajarinya.
6. Anggota dari kelompok yang lain yang telah mempelajari sub bab yang
sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya.
10
7. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas
mengajar teman-temannya.
8. Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan
berupa kuis individu ( tes formatif ).
9. Guru memberi pengarahan kepada setiap kelompok untuk menyampikan
hasil pengamatannya.
10. Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan.
Dapat disimpulkan oleh peneliti, proses kegiatan belajar mengajar mata
pelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Jigsaw dengan batasan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut :
1) Kegiatan Awal :
a) Membuka pelajaran dengan salam
b) Mengecek kehadiran siswa
c) Guru mengatur tempat duduk siswa
d) Melakukan apersepsi
e) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
2) Kegiatan Inti :
a) Guru menjelaskan/mengemukakan lagkah-langkah pembelajaran
dengan menggunakan model Jigsaw.
b) Guru mengajak siswa untuk menggali pengetahuan siswa materi
matematika tentang pecahan.
c) Guru memberikan materi dalam bentuk teks yang telah dibagi-
bagikan menjadi beberapa sub bab.
d) Membantu siswa memberi informasi.
e) Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya
5-6 orang)
f) Guru menyuruh setiap anggota kelompok membaca sub bab yang
ditugaskan dan bertanggung jawab mempelajarinya.
g) Guru menyuruh tiap anggota kelompok yang lain yang telah
mempelajari sub bab yang berbeda agar bertemu dalam kelompok
ahli untuk mendiskusikannya.
h) Guru mengarahkan agar setiap kelompok setelah kembali ke
kelompoknya bertugas mengajari temannya.
11
i) Guru memberi pengarahan kepada tiap kelompok untuk
menyampaikan hasil diskusi.
3) Kegiatan Penutup :
a) Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan
b) Guru melaksanakan evaluasi dengan membagi lembar tes formatif
untuk dikerjakan secara individu
c) Guru menutup pembelajaran.
d) Salam penutup.
Kebaikan metode Jigsaw : (a) Dapat membimbing peserta didik ke arah
berpikir satu tujuan; (b) Untuk mengurangi kesalahan karena didiskusikan
bersama tim ahli; (c) Perhatian peserta didik terpusat pada hal-hal yang dianggap
penting; (d) Permasalahan yang terpendam dapat mendapat penjelasan guru pada
waktu itu pula; (e) Semua siswa terlibat secara aktif.
2.1.4 Kelebihan Dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Sugiyanto (2010:46) keunggulan model jigsaw dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Dapat digunakan secara efektif di tiap level, siswa telah mendapatkan
keterampilan akademis mulai dari pemahaman, membaca maupun
keterampilan kelompok untuk belajar bersama.
2. Pada kegiatan ini guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan
memotivasi siswa untuk belajar mandiri
3. Menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa, serta akan merasa senang
berdiskusi dalam kelompoknya.
Namun setiap kelebihan pasti diikuti juga dengan sisi
kelemahannya, antara lain:
1) Untuk mengoptimalkan manfaat kerja kelompok, keanggotaan kelompok
harus heterogen, baik dari segi kemampuan maupun karakteristik lainnya.
2) Jumlah siswa yang bekerja sama dalam kelompok harus dibatasi agar
kelompok tersebut dapat bekerja sama secara efektif, sebab suatu ukuran
kelompok dapat mempengaruhi kemampuan produktivitasnya
12
3) Guru cenderung menggunakan kompetensi untuk memotivasi siswa
mereka, dan sering mengabaikan strategi yang didalamnya terdapat
kerjasama dan motivasi teman sebaya yang dapat digunakan untuk
membantu siswa fokus terhadap prestasi akademik.
2.2 Hakikat Belajar
2.2.1 Pengertian Belajar
Belajar dalam idealisme berarti kegiatan psiko-fisik-sosial menuju ke
perkembangan pribadi seutuhnya. Namun, realitas yang dipahami oleh sebagian
besar masyarakat tidaklah demikian. Belajar dianggapnya properti sekolah.
Kegiatan belajar selalu dikaitkan dengan tugas-tugas sekolah. Sebagian besar
masyarakat menganggap belajar di sekolah adalah usaha penguasaan materi ilmu
pengetahuan. Anggapan tersebut tidak seluruhnya salah, sebab seperti dikatakan
Reber, belajar adalah the proces of acquiring knowledge. Belajar adalah proses
mendapatkan pengetahuan. Menurut Gagne ( dalam Suprijono, 2009:2) belajar
adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui
aktivitas.
Belajar sebagai konsep mendapatkan pengetahuan dalam praktiknya yang
dianut. Guru bertindak sebagai pengajar yang berusaha memberikan ilmu
pengetahuan sebanyak-banyaknya dan peserta didik giat mengumpulkan atau
menerimanya. Proses belajar mengajar ini banyak didominasi aktivitas menghafal.
Peserta didik sudah belajar jika mereka sudah hafal dengan hal-hal yang telah
dipelajarinya (Suprijono, 2009:3).
Menurut Slameto (2010:2) bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya. Belajar sebagai suatu proses artinya kegiatan belajar terjadi secara
dinamis dan terus-menerus yang menyebabkan terjadinya perubahan dalam diri
anak. Perubahan yang dimaksud dapat berupa pengetahuan (knowledge) atau
perilaku (behavior).
Dari definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa belajar
sesungguhnya mengandung tiga unsur, yaitu:
13
1) Belajar merupakan perubahan tingkah laku.
2) Perubahan tingkah laku itu terjadi karena didahului oleh proses latihan dan
pengalaman secara berulang-ulang.
3) Perubahan tingkah laku karena belajar bersifat relatif permanen dan secara
terus menerus.
2.2.2 Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh individu setelah
proses belajar berlangsung, yang dapat memberikan perubahan tingkah laku baik
pengetahuan, pemahaman, sikap dan keterampilan sehingga lebih baik dari pada
sebelumnya. Menurut Nana Sudjana (2010:22) hasil belajar adalah segala
kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman
belajarnya. Menurut Winkel (dalam Purwanto, 2008:45) hasil belajar adalah
perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah
lakunya.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2013:4) dampak pembelajaran adalah
hasil yang dapat diukur seperti tertuang dalam rapor, angka dalam ijazah atau
kemampuan meloncat setelah latihan dan hasil belajar adalah kemampuan yang
diperoleh siswa dari suatu interaksi dalam proses pembelajaran. Hasil belajar juga
diartikan sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran sesuai dengan program pendidikan yang diterapkan. Hasil
belajar digunakan untuk bahan pertimbangan dalam menentukan kenaikan kelas,
umpan balik dalam perbaikan proses belajar mengajar, meningkatkan hasil belajar
siswa, evaluasi diri terhadap kinerja siswa. Belajar merupakan proses yang
menimbulkan terjadinya perubahan atau pembaharuan dalam perilaku atau
kecakapan.
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
suatu hasil atau nilai yang dicapai atau dimiliki siswa dari suatu kegiatan atau
usaha yang dilakukan selama mengalami aktivitas belajar yang merupakan bukti
keberhasilan seseorang setelah mengalami proses/pengalaman dalam belajar.
Untuk mengukur bukti keberhasilan seseorang setelah mengalami proses belajar
digunakan alat penilaian yaitu tes evaluasi dengan hasil yang dinyatakan dalam
14
bentuk nilai. Jadi, berhasil tidaknya seseorang dalam proses belajar tergantung
dari faktor – faktor yang mempengaruhinya.
2.2.3 Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu dari dalam diri
siswa dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. Menurut
Slameto (2010:56-72) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa yaitu faktor
intern dan faktor ekstern. Faktor intern terdiri atas faktor-faktor jasmaniah,
psikologi, minat, motivasi dan cara belajar. Sedangkan faktor ekstern terdiri dari
lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kedua faktor yang ada sangat
berpengaruh terhadap hasil belajar siswa.
Selanjutnya menurut Sardiman (2014:39-47) faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar adalah faktor intern (dari dalam) diri siswa dan faktor
ekstern (dari luar) siswa. Berkaitan dengan faktor dari dalam diri siswa, selain
faktor kemampuan, ada juga faktor lain yaitu motivasi, minat, perhatian, sikap,
kebiasaan belajar, ketekunan, kondisi sosial ekonomi, kondisi fisik dan psikis.
Kehadiran faktor psikologis dalam belajar akan memberikan andil yang cukup
penting. Faktor-faktor psikologis akan senantiasa memberikan landasan dan
kemudahan dalam upaya mencapai tujuan belajar secara optimal.
Berdasarkan pendapat para ahli terebut, maka dapat disimpulkan bahawa
faktor – faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal adalah fisiologis dan psikologis yang terdiri dari
motivasi, minat, kebiasaan dan cara belajar. Sedangkan faktor eksternal adalah
lingkungan dan instrumental yang terdiri dari lingkungan keluarga (suasana
rumah dan keadaan ekonomi), sekolah (model mengajar dan alat peraga yang
digunakan) dan masyarakat (teman bergaul). Keduanya dapat diminimalisir
apabila guru dalam hal ini selaku pendidik mampu dan mau berusaha
mengorganisir atau mengelola proses belajar mengajar yang tidak hanya
dilakukan di dalam kelas saja.
Hasil belajar merupakan tingkat kemampuan yang bisa dicapai oleh murid
dalam mengikuti proses belajar mengajar, sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
Menurut Dimyati dan Mudjiono (2006:3) hasil belajar merupakan hasil dari suatu
15
interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar bersifat kuantitatif,
melalui pengukuran. Pengukuran menurut Wardani NS, dkk (2012:47) adalah
kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk memberikan angka-angka pada suatu
gejala atau peristiwa. Pengukuran juga dapat diartikan penetapan angka dengan
cara yang sistematik untuk menyatakan keadaan individu. Wardani NS, dkk
(2012:48) Dalam melakukan pengukuran diperlukan alat ukur yang disebut
dengan instrumen. Penggunaan instrumen ini tergantung dari teknik pengumpulan
datanya. Teknik penilaian dan bentuk instrumen secara rinci disajikan dalam tabel
2.1 berikut:
Tabel 2.1
Teknik Penilaian dan Bentuk Instrumen
Teknik Penilaian Bentuk Instrumen
1. Tes tertulis a) Tes pilihan: pilihan ganda,
benar salah, menjodohkan, dan
lain-lain.
b) Tes isian: isian singkat, dan
uraian.
2. Tes lisan a) Daftar pertanyaan
3. Tes praktik (tes kinerja) a) Tes identifikasi
b) Tes simulasi
4. Penugasan individual
atau kelompok
a) Pekerjaan rumah
b) Projek
5. Penilaian portofolio a) Lembar penilaian portofolio
6. Jurnal a) Buku catatan jurnal
7. Penilaian diri a) Kuisioner/lembar catatan diri
8. Penilaian antar teman a) Lembar penilaian antar teman
Teknik pengukuran menurut Wardani dkk (2012:141) dibedakan
menjadi tiga yakni tes tertulis, tes lisan dan tes perbuatan. Menurut Endang
Poerwanti (2008:4-9) jenis-jenis tes adalah sebagai berikut:
1. Jenis tes berdasarkan cara mengerjakan
a. Tes Tertulis
Tes tertulis adalah tes yang dilakukan secara tertulis baik dalam hal soal
maupun jawabannya.
16
b. Tes Lisan
Pada tes lisan, baik pertanyaan maupun jawaban (response), semuanya
dalam bentuk lisan. Karenanya, tes lisan relatif tidak memiliki rambu-
rambu penyelenggaraan tes yang baku, karena itu, hasil dari tes lisan
biasanya tidak menjadi informasi pokok tetapi pelengkap dari instrumen
asesmen yang lain.
c. Tes Unjuk Kerja
Pada tes ini peserta didik diminta untuk melakukan sesuatu sebagai
indikator pencapaian kompetensi yang berupa kemampuan psikomotor.
2. Jenis tes berdasarkan bentuk jawabannya
a. Tes esei (essay-type test)
Tes bentuk uraian adalah tes yang menuntut siswa mengorganisasikan
gagasan-gagasan tentang apa yang telah dipelajarinya dengan cara
mengemukakannya dalam bentuk tulisan.
b. Tes jawaban pendek
Tes dapat digolongkan menjadi tes jawaban pendek jika peserta tes
diminta menuangkan jawabannya bukan dalam bentuk esei, tetapi
memberikan jawaban-jawaban pendek, dalam bentuk rangkaian kata-kata
pendek, kata-kata lepas maupun angka-angka.
c. Tes objektif
Tes objektif adalah tes yang keseluruhan informasi diperlukan untuk
menjawab tes yang telah tersedia. Oleh karenanya sering pula disebut
dengan istilah tes pilihan jawaban (selected response test).
2.3 Hakikat Matematika
Matematika menurut Ruseffendi (dalam Prihandoko, 2006) adalah bahasa
simbol; ilmu deduktif yang tidak menerima pembuktian secara induktif; ilmu
tentang pola keteraturan, dan struktur yang terorganisasi, mulai dari unsur yang
tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan
akhirnya ke dalil. Sedangkan hakikat matematika menurut Soedjadi (dalam
Prihandoko, 2006) yaitu memiliki objek tujuan abstrak, bertumpu pada
kesepakatan, dan pola pikir yang dedukatif. Dalam matematika, setiap konsep
17
yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar
mengendap dan bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam
pola pikir dan pola tindakannya. Maka diperlukan adanya pembelajaran melalui
perbuatan dan pengertian, tidak hanya sekedar hafalan atau mengingat fakta saja,
karena hal ini akan mudah dilupakan siswa.
Matematika merupakan ilmu tentang bilangan – bilangan, tetapi pada
kenyataannya cakupan matematika lebih luas. Matematika tidak hanya
mempelajari tentang bilangan saja, tetapi juga mempelajari tentang ruang, bidang,
dan metodologi untuk memperoleh kesimpulan. Menurut Johson dan Myklebust
(dalam Mulyono, 2003:252) matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi
praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan
sedang fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir. Selnjutnya menurut
Kline (dalam Mulyono, 2003:252) matematika adalah bahasa simbolis dan ciri
utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan
cara bernalar induktif.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
matematika adalah suatu pembelajaran yang tidak hanya suatu simbol, namun di
setiap simbol terdapat sebuah arti yang digunakan untuk berfikir.
2.3.1 Pembelajaran Matematika di SD
Sepintas konsep matematika yang diberikan pada siswa sekolah dasar (SD)
sangatlah sederhana dan mudah, tetapi sebenarnya materi matematika SD memuat
konsep-konsep yang mendasar dan penting serta tidak boleh dipandang gampang.
Diperlukan kecermatan dalam menyajikan konsep-konsep tersebut, agar siswa
mampu memahaminya secara benar, sebab kesan dan pandangan yang diterima
siswa terhadap suatu konsep di sekolah dasar dapat terus terbawa pada masa-masa
selanjutnya. Misalnya, jika sejak semula dalam suatu gambar segitiga guru selalu
menunjuk bahwa alas suatu segitiga adalah sisi yang berada di bagian bawah dan
tinggi selalu ditunjukkan oleh segmen garis vertikal yang tegak lurus terhadap sisi
alas dan berujung di titik sudut diatas sisi tersebut, maka untuk selanjutnya siswa
akan terus melakukan hal serupa. Contoh tersebut menunjukkan bahwa konsep-
konsep matematika harus diberikan secara benar sejak awal siswa mengenal suatu
18
konsep, sebab kesan yang pertama kali ditangkap oleh siswa akan terus terekam
dan menjadi pandangannya di masa-masa selanjutnya (Prihandoko, 2006:1).
Siswa sekolah dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12
atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret.
Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir
untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan
objek yang bersifat konkret. Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih
terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam
pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa
media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh
guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. Proses pembelajaran
pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya
abstrak. Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga
kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman
konsep, dan pembinaan ketrampilan. Memang, tujuan akhir pembelajaran
matematika di SD ini yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai
konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk menuju tahap
keterampilan tersebut harus memulai langkah-langkah benar yang sesuai dengan
kemampuan dan lingkungan siswa. Berikut ini adalah pemaparan pembelajaran
yang ditekankan pada konsep-konsep matematika (Prihandoko, 2006:1).
1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu
konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep
tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum, yang
dicirikan dengan kata “mengenal”. Pembelajaran penanaman konsep dasar
merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan
kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak.
Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga
diharapkan dapat digunakan untuk membantu pola pikir siswa.
2. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep,
yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika.
Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan
19
kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan.
Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada
pertemuan berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari pemahaman
konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah
disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas
sebelumnya.
3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman
konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan
bertujuan agar siswa lebih terampil dalm menggunakan berbagai konsep
matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan
keterampilan juga terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan
kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan.
Sedangkan kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan pada
pertemuan yang berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman
dan pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman dan
pemahaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan
sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya.
2.3.2 Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Tujuan mata pelajaran matematika menurut Permendiknas nomor 22 tahun
2006 adalah sebagai berikut:
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat, dalam pemecahan masalah
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh
4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
20
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Menurut Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ruang
lingkup Mata pelajaran Matematika untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut:
1. Bilangan
2. Geometri dan pengukuran
3. Pengolahan data.
2.4 Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian yang dilakukan oleh Siti Ulfah, (2011) yang berjudul
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Materi Perbandingan Dan Skala Melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Jigsaw Pada Siswa Kelas V Sd Negeri
Randuagung Rembang Tahun Pelajaran 2010/2011. Hasil penelitian yang
dilaksanakan 2 siklus menunjukkan peningkatan hasil belajar siswa. Siklus I rata-
rata kelas mencapai 75,60 dan ketuntasan mencapai 76%. Siklus II rata-rata kelas
85,20 dan ketuntasan 88%.
Penelitian yang dilakukan oleh Amalia, Rizqi. (2014) yang berjudul
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Materi Penjumlahan Pecahan melalui
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw pada Siswa Kelas IV SD 2 Jurang.
Skripsi. Hasil penelitian ini mencapai semua indikator keberhasilan. Kondisi awal
siswa sebelum melakukan tindakan mendapat ketuntasan klasikal sebesar 32%
dengan rata-rata 63 meningkat pada siklus I menjadi 53% dengan rata-rata 75 dan
pada siklus II meningkat menjadi 75% dengan rata-rata 84. Aktivitas belajar siswa
secara individu pada siklus I mendapat skor rata-rata 2,32 dengan kualifikasi
“baik” meningkat pada siklus II menjadi 3,32 dengan kualifikasi “ sangat baik”.
Kinerja guru pada siklus I mendapatkan skor rata-rata 3,13 dengan kualifikasi
“baik” meningkat pada siklus II menjadi 3,56 dengan kualifikasi “sangat baik”.
2.5 Kerangka Pikir
Ada berbagai macam cara guru untuk meningkatkan hasil belajar siswanya,
misalnya dengan menggunakan media yang beragam agar pembelajaran tidak
membosankan bagi siswa. Untuk itu salah satu model yang digunakan dalam
21
penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, dengan
menggunakan model pembelajaran ini dapat mengubah paradigma pembelajaran
agar media yang digunakan dapat membangkitkan semangat belajar siswa serta
hasil belajar siswa meningkat. Karena dengan menggunakan model ini siswa
dilatih untuk menjadi tutor (tim ahli) dan melatih tanggung jawab siswa atas apa
yang dipelajarinya.
Tabel 2.2
Kerangka Pikir
2.6 Hipotesis Tindakan
Berdasarkan uraian pada landasan teori dan kerangka pikir sebagaimana
yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis tindakan penelitian ini adalah
Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat meningkatkan hasil
belajar matematika pada siswa kelas 4 SD Negeri Dukuh 01 Salatiga Semester 2
Tahun Ajaran 2015/2016.
Kondisi awal Guru belum
menggunakan model
Jigsaw
Menggunakan model
pembelajaran Jigsaw dalam
pembelajaran dengan alat
peraga
Hasil belajar siswa belum
mencapai KKM
Menggunakan
model Jigsaw,
dalam
pembelajaran
matematika
melalui 2 siklus
Tindakan
Menggunakan model
pembelajaran Jigsaw
Melalui pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw, hasil belajar
siswa dalam pembelajaran matematika meningkat
mencapai KKM.
Kondisi akhir