BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Grand Theory … II.pdf · 2.1 Grand Theory Consumer Decision Model ......
-
Upload
nguyenthien -
Category
Documents
-
view
254 -
download
6
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Grand Theory … II.pdf · 2.1 Grand Theory Consumer Decision Model ......
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Grand Theory Consumer Decision Model
Topik penelitian ini adalah perilaku konsumen dalam proses pengambilan
keputusan pembelian. Pembelian diawali dengan pengenalan kebutuhan,
kemudian diikuti dengan pencarian informasi, evaluasi, pembelian, kemudian
evaluasi pasca pembelian. Penelitian ini menganalisis proses pengambilan
keputusan dari tahap pencarian informasi hingga pembelian dilakukan dalam
konteks e-commerce. Berdasarkan pada ruang lingkup ini, teori yang menjadi
landasan studi ini adalah teori keputusan pembelian konsumen. Consumer
decision model yang juga dikenal dengan sebutan Engel-Blackwell-Miniard
Model pertama kali dikembangkan pada tahun 1968 oleh Engel, Kollat, dan
Blackwell, secara terus menerus direvisi dan digambarkan pada Gambar 2.1.
Model dibentuk dari enam poin proses pengambilan keputusan: munculnya
kebutuhan, diikuti dengan pencarian informasi, baik secara internal maupun
eksternal, evaluasi alternatif, pembelian, konsumsi, dan evaluasi pasca pembelian.
Keputusan pembelian ini dipengaruhi oleh tiga faktor utama, pertama stimuli yang
diperoleh dari upaya pemasaran. Kedua, variabel lingkungan eksternal yang terdiri
atas budaya, kelas sosial, pengaruh orang lain, keluarga, dan situasi. Ketiga,
variabel individu yang terdiri atas sumber daya konsumen, motivasi, pengetahuan,
sikap, kepribadian, nilai, dan gaya hidup.
24
Consumer Decision Model menjadi penting dalam penelitian ini karena
dipergunakan untuk menjelaskan pengambilan keputusan pembelian, baik dengan
karakteristik kompleks maupun sederhana. Permasalahan konsumsi yang
kompleks memerlukan pencarian informasi eksternal yang lebih ekstensif.
Sementara permasalahan pembelian yang sederhana dapat hanya bergantung pada
pencarian internal dari memori atau pengalaman terdahulu.
Sumber: Bray (2008)
Gambar 2.1
Consumer Decision Model
25
2.2 Middle Theory
2.2.1 Theory of Planned Behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa perilaku konsumen
dibentuk oleh sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control (PBC)
yang membentuk niat. Niat kemudian mempengaruhi bagaimana perilaku
seseorang. Teori ini menjadi landasan studi saat ini yang menganalisis pengaruh
niat terhadap perilaku pembelian online. Model ini dikembangkan oleh Icek Ajzen
untuk menyempurnakan kekuatan prediktif dari Theory of Reasoned Action
(TRA), dengan menambahkan variabel PBC. Teori ini mempostulasikan bahwa
sikap, norma subyektif, dan PBC secara bersama-bersama membentuk niat dan
perilaku. Ketiga variabel pembentuk niat dalam TPB dijelaskan masing-masing
sebagai berikut:
Sikap: evaluasi positif atau negatif seseorang mengenai suatu perilaku.
Konsepnya adalah tingkatan sejauh mana perilaku dinilai positif atau
negatif.
Norma subjektif: persepsi seseorang terhadap perilaku tertentu, di mana
persepsi ini dipengaruhi oleh penilaian orang di sekitar yang dianggap
berpengaruh, seperti orang tua, pasangan, teman, dan mentor.
Perceived behavioral control (PBC): persepsi mengenai mudah atau
sulitnya melakukan perilaku tertentu. PBC ditentukan oleh kehadiran
faktor-faktor yang dapat memfasilitasi atau menghalangi kemampuan
seseorang untuk melakukan perilaku tersebut. PBC secara konsep
26
berhubungan dengan self efficacy yang dikembangkan oleh Bandura
(1977) dalam social cognitive theory.
TPB merupakan salah satu teori perilaku dengan kekuatan prediktif tinggi,
dan dipergunakan untuk memprediksi perilaku manusia di semua bidang. Studi
yang cukup sering memanfaatkan teori ini adalah di bidang pemasaran (perilaku
pembelian, periklanan, kehumasan), perilaku dalam lingkungan baru seperti
online, dan dalam isu baru seperti produk ramah lingkungan, kesehatan (edukasi
masyarakat), dan perilaku kewirausahaan. Penelitian ini menganalisis pengaruh
niat terhadap perilaku pembelian online, sehingga TPB menjadi teori yang sangat
penting sebagai landasan penelitian ini. TPB digambarkan pada Gambar 2.2.
Sumber: George (2004)
Gambar 2.2
Theory of Planned Behavior
Niat
Perilaku
Sikap
Norma
Subjektif
Perceived
Behavioral
Control
27
2.2.2 Perceived Risk Theory
Konsep persepsi risiko dalam literatur pemasaran diperkenalkan oleh Bauer
(1960) yang menyatakan bahwa perilaku konsumen mengandung konsekuensi
negatif yang tidak mampu diantisipasi oleh konsumen. Risiko dibentuk oleh dua
dimensi yaitu ketidakpastian dan konsekuensi (Cunningham, 1967).
Ketidakpastian merupakan fungsi dari masa depan yang tidak diketahui, tidak
dapat dikontrol, dan tidak dapat diprediksi. Konsekuensi terbatas pada
konsekuensi yang tidak diharapkan, dalam topik penelitian ini misalnya
konsekuensi negatif yang mungkin muncul sebagai akibat dari pembelian online.
Mitchell (1992) menyebutkan terdapat enam jenis risiko yaitu risiko sosial,
finansial, fisik, kinerja, waktu, dan risiko psikologis. Persepsi risiko
mempengaruhi setiap tahapan dari proses pengambilan keputusan pembelian oleh
konsumen. Hal ini menjadi tantangan bagi pemasar untuk mengelola situasi ini
sedemikian rupa sehingga menciptakan keunggulan kompetitif bagi organisasi.
Pada pembelian di lingkungan online, persepsi risiko cenderung lebih tinggi
dibandingkan di lingkungan offline (Cunningham et al., 2005). Hal ini diakibatkan
oleh ketidakhadiran interaksi langsung pada komunikasi melalui internet (Cheng
et al., 2012) sehingga mencegah konsumen melakukan kontak dengan elemen
fisik produk untuk menilai kualitasnya (Martin et al., 2011). Karakteristik
lingkungan online ini meningkatkan kekhawatiran konsumen bahwa produk yang
ingin dibeli secara online tidak mampu memenuhi harapan mereka terkait dengan
kualitas produk (Chang dan Chen, 2008). Dengan kata lain, terdapat kekhawatiran
28
bahwa transaksi secara online berpotensi untuk tidak memberikan nilai finansial
yang diharapkan.
Persepsi risiko online didefinisikan sebagai keyakinan konsumen atas potensi
munculnya konsekuensi negatif akibat transaksi online (Kim et al., 2007). Risiko
finansial merupakan risiko yang dominan menurunkan pembelian online
(D'Alessandro et al., 2012; Liu dan Forsythe, 2010; Xu et al., 2010). Kondisi
transaksi virtual rentan terhadap penipuan, yang kemudian berpotensi
memunculkan konsekuensi negatif bagi konsumen online. Dengan demikian,
perceived risk theory merupakan teori yang penting dalam menjelaskan niat
pembelian online, trust, dan pembelian aktual.
Konsumen melakukan pencarian informasi untuk menurunkan risiko ke
tingkat yang dapat diterima, sehingga pencarian informasi merupakan strategi
menurunkan risiko pembelian ke tingkat yang dapat dikelola (Xu et al., 2010).
Konsumen online mencari dan mengandalkan lebih banyak informasi mengenai
produk dibandingkan konsumen offline sebelum melakukan pembelian
(Thongpapanl dan Ashraf, 2011).
2.3 Online Visibility
Consumer decision model merupakan landasan hubungan antara online
visibility dengan niat pembelian online. Dijelaskan dalam model bahwa informasi
eksternal berupa stimuli pemasaran oleh pemasar merupakan salah satu sumber
informasi pada tahap pencarian informasi yang dapat mempengaruhi keputusan
pembelian konsumen. Informasi mengenai produk atau merek selanjutnya
dievaluasi pada tahap evaluasi alternatif. Setiap produk atau merek yang
29
dievaluasi memiliki peluang untuk dipilih oleh konsumen, sehingga stimuli
pemasaran yang mampu tersampaikan ke target konsumen dapat mempengaruhi
keputusan pembelian pada tingkat tertentu. Online visibility merupakan visibilitas
tawaran perusahaan di lingkungan konsumen online, yang bertujuan untuk
meningkatkan awareness dan niat pembelian online.
Internet telah menjadi media pemasaran yang esensial untuk bisnis dalam era
modern ini (Bacao, 2010). Sejumlah besar organisasi bisnis telah memanfaatkan
internet sebagai media pemasaran dengan harapan memperoleh peningkatan
awareness dan penjualan. Dalam lingkungan online, komunikasi pemasaran
berkaitan dengan menciptakan awareness, menciptakan hubungan, dan
menciptakan nilai bersama (Rowley, 2004). Menciptakan awareness berkaitan
dengan membangun fase komunikasi pemasaran di mana organisasi berusaha
untuk memastikan visibilitas tawaran mereka ke pasar. Organisasi
memperkenalkan dirinya dan tawarannya ke pasar, dan berusaha untuk
menciptakan identitas yang akan mendorong pelanggan untuk terikat hubungan
dengan perusahaan, dalam hal ini pembelian awal. Lebih lanjut dapat dijelaskan
bahwa visibilitas tawaran organisasi pada lingkungan online dapat meningkatkan
jumlah pengunjung ke website dan meningkatkan niat pembelian terhadap tawaran
tersebut.
Online visibility merupakan kemunculan halaman web suatu organisasi pada
media internet sehingga terekspos pada pengguna internet. Dreze dan Zufryden
(2004) mendefinisikan online visibility sebagai tingkatan sejauh mana suatu
produk hadir dalam lingkungan target konsumen, secara spesifik lingkungan
30
online. Online visibility merupakan bentuk periklanan yaitu komunikasi
pemasaran yang bertujuan untuk meningkatkan awareness yang diharapkan dapat
mendorong niat membeli konsumen (Lovelock dan Wirtz, 2007: 169). Online
visibility serupa dengan periklanan, bertujuan untuk meningkatkan awareness
yang kemudian diharapkan dapat mendorong lebih banyak niat pembelian. Seperti
telah ditemukan pada sejumlah besar studi terdahulu bahwa periklanan memiliki
kaitan yang kuat dengan niat pembelian dan penjualan. Semakin tinggi tingkat
visibilitas suatu website di halaman internet, peluang website tersebut untuk
memperoleh pengunjung menjadi semakin tinggi (Gandour dan Regolini, 2011).
Sebagai efek lanjutan, diharapkan informasi yang diperoleh pengunjung dari
halaman website dapat mendorong niat pembelian dan akhirnya membukukan
penjualan bagi organisasi. Kemunculan website perusahaan pada media internet
meningkatkan “findability”. Semakin tinggi posisi suatu website dalam
mekanisme pencarian atau search engine, maka semakin tinggi perhatian yang
diberikan oleh konsumen terhadap website tersebut (Smithson et al., 2011).
Perhatian tersebut kemudian mempengaruhi keputusan pengguna untuk
mengunjungi dan melakukan pembelian pada website tersebut (Cinca et al., 2010).
Hubungan antara online visibility dengan niat pembelian online menjadi isu
yang menarik sejumlah riset untuk menganalisis arah dan sifat hubungan antar
keduanya. Sowards (2005) menemukan bahwa online visibility menghasilkan
popularitas yang memainkan peranan penting dalam pemilihan suatu halaman
website sebagai alternatif pembelian. berdasarkan hasil kajian empiris, dapat
dijelaskan bahwa peningkatan online visibility dapat dilakukan melalui
31
mekanisme search engine optimization (SEO), kerjasama dengan agen perjalanan
online, dan pemanfaatan media sosial. SEO merupakan mekanisme untuk
memposisikan alamat website suatu perusahaan pada halaman awal search engine
untuk memperoleh tingkat eksposur yang lebih tinggi. Search engine terdiri atas
software yang mengikuti setiap link dari suatu website, mengindeks isi dari setiap
halaman, dan berinteraksi dengan pengguna yang mencari informasi tersebut,
sehingga search engine merupakan sumber dari kunjungan ke suatu website. Studi
oleh Nielsen (2004) mengungkapkan bahwa search engine merupakan alat
navigasi populer di internet dan dipergunakan oleh pengguna untuk menemukan
toko virtual di mana mereka melakukan pembelian. ComScore Networks dan
DoubleClick (2005) menemukan bahwa 50 persen dari keputusan pembelian
dimulai dari search engine. Artikel oleh Morgan (2006) menyatakan bahwa SEO
merupakan strategi meningkatkan profit melalui peningkatan online visibility.
Malaga (2007) mengungkapkan bahwa peningkatan online visibility melalui
mekanisme SEO meningkatkan kunjungan ke website yang merupakan prasyarat
peningkatan niat pembelian online. Demi memperoleh penjualan secara online,
penting bagi perusahaan untuk menarik pengunjung web atau pelanggan potensial
ke toko online milik mereka atau dengan kata lain menjadi terlihat oleh
pengunjung website. Peningkatan online visibility dilakukan diantaranya melalui
blog, link, dan SEO untuk meningkatkan lalu lintas website yang kemudian secara
positif dan signifikan mempengaruhi penjualan (Cinca et al., 2010). Smithson et
al. (2011) menemukan bahwa online visibility berpengaruh positif dan signifikan
32
terhadap kuantitas reservasi via internet. Dalam penelitian tersebut online
visibility diukur melalui visibilitas website hotel pada search engine.
Di samping mekanisme SEO, media sosial memainkan peranan yang semakin
penting sebagai sumber informasi bagi wisatawan. Xiang et al. (2010)
menemukan bahwa pencarian informasi mengenai destinasi wisata melalui search
engine, memunculkan link menuju media sosial perusahaan-perusahaan yang
bergerak pada bidang pariwisata di destinasi tersebut. Chen et al. (2014)
menemukan bahwa isi blog wisata yang menarik, mudah dipahami, dan reliable
dapat menciptakan perasaan senang pembaca yang kemudian mendorong niat
pembaca untuk mengunjungi destinasi wisata yang diulas.
Selain SEO dan media sosial, terekspos pada halaman agen perjalanan online
merupakan strategi peningkatan online visibility. Kemunculan profil hotel di
halaman website agen perjalanan online meningkatkan online visibility yang
kemudian meningkatkan awareness yang berpotensi mendorong niat pembelian
(Anderson, 2009). Fenomena ini disebut online travel agent (OTA) billboard
effect, serupa dengan prinsip billboard yang ditempatkan di luar ruang yang
bertujuan untuk menciptakan brand awareness. OTA memiliki peran yang sama
bagi hotel, karena banyak wisatawan mengunjungi OTA dalam proses pencarian
informasi untuk perjalanan mereka. OTA memiliki jangkauan yang lebih luas
karena konsumen potensial mengakses website OTA untuk mencari lokasi hotel,
merek, harga, dan jenis layanan. Anderson (2011) mengungkapkan bahwa
kerjasama antara hotel dengan OTA selain dapat menghasilkan reservasi melalui
OTA itu sendiri, juga secara tidak langsung mendorong reservasi melalui website
33
hotel. Hal ini disebabkan oleh billboard effect yang didapat dari eksposur hotel
pada halaman website OTA. Dalam studi ini ditemukan bahwa efek eksposur dari
OTA cukup signifikan terhadap penjualan kamar melalui website hotel, di mana
OTA secara rata-rata berkontribusi pada 20 persen total penjualan kamar hotel.
2.4 Kualitas Website
Sejak akhir 1990an, ketertarikan dalam menganalisis isu efektivitas website
semakin meningkat. Kualitas website adalah faktor yang berkontribusi pada
keberhasilan website mencapai tujuannya yaitu niat pembelian online (Nusair dan
Kandampully, 2008; Lim et al., 2009; Kassim dan Abdullah, 2010; Kuster dan
Vila, 2011; Mazaheri et al., 2012; Kim dan Lennon, 2013). Berlandaskan pada
ISO/IEC (2005) mengenai kualitas software, kualitas website dapat didefinisikan
sebagai kemampuan website untuk memuaskan kebutuhan saat digunakan dalam
suatu kondisi. Kualitas website merupakan stimuli yang penting untuk
menciptakan pengalaman online yang positif bagi pengguna. Dengan demikian,
upaya yang perlu dilakukan oleh vendor online untuk mencapai tujuan tersebut
adalah dengan merancang website untuk menyediakan informasi, mengakomodasi
transaksi melalui website, dan menyediakan mekanisme untuk melayani
konsumen secara online (Lee dan Morrison, 2010). Melihat dari ketiga fungsi
tersebut, website merupakan bentuk jasa atau pelayanan yang diberikan organisasi
bagi pengguna online. Hal ini menjadi landasan sejumlah besar riset untuk
menganalisis kualitas website mempergunakan dimensi yang diadopsi dari
dimensi kualitas jasa (SERVQUAL) oleh Parasuraman et al. (1985) yaitu
34
tangible, reliability, responsiveness, empathy, dan assurance. Kualitas pelayanan
dalam konteks e-commerce didefinisikan sebagai penilaian keseluruhan konsumen
atas kualitas pelayanan online yang ditawarkan di pasar virtual (Santos, 2003) di
mana hampir tidak ada interaksi tatap muka antara konsumen dan produsen.
Secara garis besar terdapat dua pendekatan yang dipergunakan oleh riset-riset
terkait untuk menganalisis kualitas website. Pendekatan pertama mempergunakan
dimensi yang diadopsi dari dimensi SERVQUAL. Pendekatan kedua
mempergunakan tiga dimensi yang didasarkan pada fungsi utama website.
Dimensi SERVQUAL diadaptasi pada konteks e-commerce menjadi tangibility,
credibility, responsiveness, personalization, dan assurance. Kuster dan Vila
(2011) menyatakan bahwa tangibility mencerminkan bagaimana jasa
direpresentasikan secara fisik yaitu melalui penampilan visual website yang
menarik. (Madu dan Madu, 2002) menyatakan bahwa tangibility tercermin dari
kombinasi warna, huruf, animasi, efek suara, kejelasan, dan kemudahan membaca
teks. Credibility adalah konsistensi kinerja produk atau jasa (Madu dan Madu,
2002) dicerminkan melalui penyediaan informasi yang berkualitas dan terkini (Liu
dan Arnett, 2000). Responsiveness menjelaskan kemampuan dan kemauan
perusahaan untuk memberikan pelayanan yang cepat saat dibutuhkan oleh
konsumen (Zeithaml et al., 2002). Di lingkungan online, dimensi personalization
merupakan perwujudan dimensi empathy (Zeithaml et al., 2002), mencerminkan
upaya perusahaan untuk mengkustomisasi informasi dan produk sesuai kebutuhan
konsumen (Lee, 2005). Assurance mencerminkan keyakinan konsumen terhadap
perusahaan dan ketulusan perusahaan dalam melayani (Madu dan Madu, 2002).
35
Pendekatan kedua dalam mengukur kualitas website mempergunakan tiga
dimensi yang didasarkan pada fungsi utama website yaitu system/technical-related
factor, content-related factor, dan service-related factor (Rocha, 2012; Kuster dan
Vila, 2011). Menurut Kuster dan Vila (2011) system/technical-related factor
merujuk pada kinerja teknis website seperti kemudahan dan kecepatan akses,
interaktivitas, integrasi di dalam web, dan reliabilitas atau ketiadaan error.
Content-related factor menjelaskan kualitas informasi yang disediakan, dan
service-related factor mencakup dimensi kualitas jasa yang ditawarkan di website.
Kim dan Lennon (2011) mengungkapkan bahwa dalam menganalisis
pengaruh kualitas website terhadap niat pembelian online, risiko (finansial,
kinerja, psikologis, waktu) pada transaksi online lebih tinggi dibandingkan pada
lingkungan offline. Kualitas website menurunkan persepsi risiko tersebut
sekaligus meningkatkan pengalaman positif yang kemudian mendorong niat
pembelian online (Kim dan Lennon, 2013). Sejumlah penelitian menemukan hal
serupa bahwa kualitas website mempengaruhi niat pembelian online.
Ranganathan dan Jha (2007) menemukan bahwa kualitas website yang dibentuk
oleh isi dan desain yang menarik berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat
pembelian online. Wen (2009) mengungkapkan bahwa kualitas website
merupakan faktor yang mampu mendorong niat pembelian online. Gofman et al.
(2009) menemukan bahwa desain website yang baik mampu membuat website
diterima oleh konsumen, meningkatkan rasio konversi, dan meningkatkan
pengalaman konsumen secara keseluruhan. Cheng et al. (2012) menemukan
bahwa kualitas website meningkatkan persepsi atas kebermanfaatan website, yang
36
kemudian meningkatkan niat pembelian online. Celik (2011) mengungkapkan
bahwa website yang mampu memberikan pengalaman menyenangkan bagi
pengunjung, dapat meningkatkan niat pembelian online secara signifikan.
Flavian et al. (2009) mengungkapkan bahwa desain website merupakan faktor
kunci untuk memperoleh hasil yang positif karena desain website mempengaruhi
persepsi dan perilaku konsumen online. Lo et al. (2013) menemukan bahwa
penggunaan foto dalam website untuk menjelaskan produk dapat meningkatkan
niat konsumen untuk melakukan pembelian online. Mazaheri et al. (2012)
menemukan bahwa website yang informatif mampu meningkatkan niat pembelian
online. Chen et al. (2010) menemukan bahwa website yang mudah dan nyaman
untuk digunakan, mampu meningkatkan niat pembelian online secara signifikan.
Kualitas website dapat dijelaskan oleh aspek keamanan website, di samping
aspek isi dan desain. Aspek keamanan website menjamin keamanan transaksi dan
data personal konsumen. Kebijakan privasi dan segel keamanan website
membentuk aspek ini. Sejumlah penelitian menemukan pengaruh signifikan aspek
keamanan website terhadap niat pembelian online. Lowry et al. (2012)
menemukan bahwa penjaminan privasi dalam website mampu membentuk
persepsi aman di benak konsumen, yang kemudian mendorong niat konsumen
untuk melakukan pembelian online. Lee dan Cranage (2011) menemukan bahwa
penjaminan privasi dapat menurunkan kekhawatiran atas keamanan data personal,
sehingga meningkatkan niat konsumen untuk melakukan pembelian online dan
kesediaan konsumen untuk mengungkap data personal dan rahasia. Chang et al.
(2012) mengungkapkan bahwa segel keamanan website mampu meningkatkan
37
niat pembelian online. Chen et al. (2010) menemukan bahwa penjaminan privasi
dan proteksi terhadap transaksi meningkatkan niat pembelian online.
Secara spesifik mengenai persepsi risiko, sejumlah riset menunjukkan bahwa
konsumen memiliki keraguan besar dalam melakukan pembelian online karena
adanya kekhawatiran terkait keamanan informasi personal dan rahasia yang harus
diberikan (Odom et al., 2002) dan keamanan transaksi online (Cunningham et al.,
2005; D’Alessandro et al., 2012). Isu ini perlu diatasi oleh vendor online dengan
menyediakan fitur website yang bertujuan untuk menurunkan persepsi risiko
tersebut diantaranya fitur segel keamanan transaksi, kebijakan privasi, dan
ketentuan pemesanan (Kim dan Lennon, 2010) sehingga menciptakan perasaan
aman dalam melakukan transaksi, dan kemudian mendorong konsumen
melakukan pembelian online. D’Alessandro (2012) menemukan bahwa praktik
pengamanan transaksi oleh hotel menurunkan persepsi risiko. Rajamma et al.
(2009) menemukan bahwa kenyamanan proses transaksi dan proses transaksi yang
instan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap persepsi risiko. Persepsi risiko
dapat diturunkan secara signifikan oleh kekayaan informasi pada website (Kim
dan Lennon, 2010), dan desain website yang baik (Kesharwani dan Bisht, 2012).
Kim dan Lennon (2013) menemukan bahwa website yang berkualitas mampu
menurunkan persepsi risiko, di mana kualitas website dibentuk oleh desain
website, pelayanan konsumen, reliabilitas, keamanan transaksi, dan privasi.
Pengaruh kualitas website terhadap niat pembelian online dapat dijelaskan
oleh consumer decision model, di mana kualitas website merupakan bentuk
stimuli pemasaran untuk meningkatkan niat pembelian konsumen. Perceived risk
38
theory merupakan landasan dari hubungan kualitas website dan persepsi risiko.
Kualitas website dapat memenuhi kebutuhan wisatawan akan informasi dan
memberikan pengalaman positif, sehingga menurunkan persepsi risiko dan
mendorong niat untuk melakukan pembelian online. Melakukan kajian terhadap
sejumlah literatur, kualitas website direpresentasikan dengan baik oleh indikator
kekayaan informasi, kemudahan navigasi, desain yang menarik, segel keamanan
transaksi, dan kebijakan privasi.
2.5 OCR
OCR merupakan informasi dan rekomendasi mengenai suatu produk dari
perspektif konsumen yang tersedia di lingkungan online (Park et al., 2007). Lok et
al. (2012) dan Yayli dan Bayram (2010) menyebutkan bahwa OCR adalah bentuk
dari electronic WOM (eWOM). OCR memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
keputusan pembelian konsumen (Chen dan Xie, 2008). OCR adalah bentuk faktor
lingkungan yang mampu mempengaruhi keputusan pembelian. Dalam consumer
decision model faktor lingkungan merupakan faktor yang mampu mempengaruhi
keputusan pembelian, karena informasi yang diperoleh konsumen dari lingkungan
dipergunakan sebagai referensi untuk menentukan keputusan pembelian.
Deutsch dan Gerard (1955) memperkenalkan dua jenis pengaruh sosial, yaitu
pengaruh normatif dan informasional. Sementara pengaruh normatif terjadi ketika
individu bertindak sesuai harapan orang lain, pengaruh informasional adalah
kecenderungan untuk menerima informasi dari orang lain sebagai indikator dari
realitas. Individu dapat mencari informasi dari orang lain yang memiliki
39
pengetahuan, misalnya, melalui ulasan konsumen, atau membuat referensi
berdasarkan pada pengamatan perilaku orang lain atau kelompok (Park dan
Lessig, 1977). Dalam lingkungan internet, konsumen tidak perlu bertindak
menyesuaikan dengan harapan orang lain ketika melakukan pembelian, dan
mereka terekspos pada pengaruh informasional yang memungkinkan mereka
untuk membuat keputusan yang baik (Dholakia et al., 2002). Oleh karena itu,
pengaruh informasional memainkan peran sentral dalam mempengaruhi keputusan
pembelian online (Huang dan Chen, 2006). Hal ini didukung oleh data statistik
Hotel News Resource (2011) yang menyatakan bahwa sekitar 75 persen
wisatawan mengakses sedikitnya tiga website OCR sebelum memutuskan untuk
melakukan pembelian.
Sejumlah riset telah menganalisis pengaruh OCR terhadap niat pembelian.
Studi oleh Godes dan Mayzlin (2004), serta Hvass dan Munar (2012) menemukan
bahwa OCR berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian online.
Iklan online yang menyertakan OCR mampu meningkatkan niat pembelian online
(Lee et al., 2011), sehingga OCR tidak hanya merupakan bagian dari bauran
pemasaran tetapi juga sebagai alat penjualan. Lin et al. (2011) dengan
mempergunakan elaboration likelihood model, menemukan bahwa kualitas dan
kuantitas OCR berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian online.
Kualitas dinyatakan dengan argumen yang dapat dimengerti dan didukung oleh
fakta. Kuantitas OCR yang semakin tinggi mengindikasikan popularitas produk
dan semakin banyak OCR yang disimak dapat mempertinggi keyakinan
konsumen atas persepsi yang dibentuk. Niat pembelian online pada konsumen
40
dengan kebutuhan kognitif tinggi lebih kuat dipengaruhi oleh kualitas daripada
kuantitas OCR. Sebaliknya, kuantitas OCR lebih kuat mempengaruhi niat
pembelian konsumen dengan kebutuhan kognitif rendah.
Dalam konteks destinasi, OCR mengenai suatu destinasi berpengaruh positif
dan signifikan terhadap niat melakukan perjalanan ke destinasi tersebut (Jalilvand
dan Samiei, 2012). Menguji theory of planned behavior, selain menemukan
bahwa OCR secara langsung mempengaruhi niat melakukan perjalanan secara
positif dan signifikan, studi ini juga mengkonfirmasi pengaruh positif dan
signifikan OCR terhadap niat melakukan perjalanan melalui variabel mediasi
sikap, norma subjektif, dan perceived behavioral control. Dalam studinya yang
lain, Jalilvand dan Samiei (2012) menyatakan bahwa semakin tingginya adopsi
teknologi oleh konsumen, mempertinggi kontribusi OCR pada keputusan
pembelian. OCR mempengaruhi niat pembelian secara positif dan signifikan.
Dalam studi ini, OCR juga ditemukan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
niat pembelian secara tidak langsung melalui variabel mediasi brand image. OCR
diukur melalui sikap, niat, dan perilaku perujukan OCR oleh konsumen. Studi
oleh Zhang et al. (2013) menemukan hubungan positif dan signifikan antara
kualitas dan kuantitas OCR dengan penjualan, di samping variabel lain seperti
atribut produk yang juga berpengaruh terhadap penjualan
OCR juga ditemukan berpengaruh terhadap persepsi risiko dalam sejumlah
riset. Chan dan Ngai (2011) dengan mengkonseptualisasikan OCR dari perspektif
input-process-output (IPO), mengembangkan kerangka konseptual OCR di mana
didalamnya dinyatakan bahwa OCR menurunkan persepsi risiko di benak
41
konsumen dan mendorong niat pembelian. OCR memiliki sejumlah konsekuensi
diantaranya penurunan risiko, pembentukan persepsi mengenai suatu perusahaan,
dan kecenderungan membeli yang semakin tinggi (Sweeney et al., 2008). Chiou et
al. (2013) menemukan pengaruh interaksi antara kredibilitas sumber dan
informasi yang sifatnya negatif dalam OCR terhadap persepsi risiko.
2.6 Persepsi Risiko
Terdapat tambahan tipe persepsi risiko dalam lingkungan online, sehingga
terdiri atas delapan tipe risiko yaitu risiko psikologis, kinerja channel, fisik,
transaksi, sosial, finansial, waktu (Akturan dan Tezcan, 2012; Zhao et al., 2008),
dan kinerja produk (Nepomuceno et al., 2012; Kim dan Lennon, 2013). Risiko
psikologis merepresentasikan perasaan cemas, khawatir, dan tidak nyaman yang
diasosiasikan konsumen terkait kegiatan transaksi online. Risiko kinerja channel
terdiri atas kerentanan sistem pembayaran online terhadap kejahatan virtual,
kesalahan teknis yang mungkin terjadi pada sistem saat konsumen melakukan
transaksi, dan sistem pembayaran yang sulit dipahami dan digunakan oleh
konsumen. Risiko fisik terkait dengan gangguan fisik yang terjadi akibat
melakukan kegiatan transaksi online di depan komputer seperti mata perih dan
sakit kepala. Risiko transaksi terdiri atas risiko kebocoran data kartu kredit dan
data personal rahasia yang diberikan untuk keperluan transaksi. Risiko sosial
terkait dengan pandangan atau reaksi orang terdekat dan di sekitar mengenai
kegiatan transaksi online. Risiko finansial meliputi risiko kehilangan dana akibat
transaksi online dan pembelian online memberikan nilai yang lebih rendah dari
sejumlah uang yang dibayarkan sewaktu transaksi. Risiko waktu merupakan
42
waktu yang dihabiskan konsumen, baik untuk mempelajari sistem, melakukan
kegiatan e-commerce, maupun mengoreksi kesalahan. Risiko kinerja produk
terkait dengan kegagalan produk yang dibeli secara online untuk memenuhi
harapan konsumen.
Sejumlah riset menemukan bahwa persepsi risiko merupakan faktor yang
dapat menurunkan niat konsumen melakukan transaksi online. Persepsi risiko
yang terdiri atas risiko finansial, transaksi, dan kinerja channel menurunkan niat
konsumen untuk melakukan transaksi dengan internet banking (Zhao et al., 2010).
Cheng et al. (2012) menemukan bahwa persepsi konsumen atas risiko transaksi
dan kinerja produk menurunkan niat melakukan pembelian online. Persepsi risiko
kinerja produk, finansial, sosial, dan waktu berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap niat pembelian online (Chang dan Chen, 2008). Lin (2008) menemukan
bahwa persepsi risiko keamanan transaksi, persepsi risiko finansial, dan kinerja
produk secara signifikan menurunkan niat pembelian online. Martin et al. (2011)
menemukan bahwa persepsi risiko transaksi dan persepsi risiko sosial
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap niat pembelian online. Kim dan
Lennon (2010) menemukan bahwa persepsi risiko kinerja dan keamanan transaksi
berpengaruh negatif dan signifikan terhadap niat pembelian online.
Selain berpengaruh terhadap niat pembelian online, persepsi risiko juga
ditemukan menurunkan kepercayaan konsumen dan menggagalkan dilakukannya
transaksi online oleh konsumen. D’Alessandro et al. (2012) menemukan bahwa
persepsi risiko utamanya risiko transaksi menurunkan kepercayaan konsumen
terhadap kegiatan transaksi online sehingga menghalangi konsumen melakukan
43
transaksi. Ling et al. (2011) menemukan bahwa persepsi konsumen atas risiko
keamanan transaksi menurunkan kepercayaan konsumen terhadap vendor online.
Salo dan Karjaluoto (2007) mengungkapkan bahwa persepsi atas risiko dapat
menurunkan trust. Chen dan Barnes (2007) menemukan bahwa persepsi risiko
keamanan transaksi dan privasi mampu meningkatkan kepercayaan konsumen
atas reliabilitas vendor secara signifikan. Chang dan Chen (2008) mengungkapkan
bahwa persepsi risiko kinerja produk, finansial, sosial, dan waktu berpengaruh
negatif dan signifikan terhadap kepercayaan konsumen pada vendor online.
Penelitian tersebut juga menemukan hubungan resiprokal antara persepsi risiko
dengan trust, saat trust meningkat akibat penurunan pada persepsi risiko, persepsi
risiko kembali menurun setelahnya, siklus ini kemudian terus berulang hingga
mencapai suatu titik. Penelitian ini tidak meneliti hubungan resiprokal antara
persepsi risiko dengan trust, karena letak fokus penelitian ini adalah pada
pengaruh kedua variabel tersebut terhadap reservasi aktual.
Terkait pengaruh persepsi risiko terhadap pembelian aktual online, ditemukan
bahwa perilaku pembelian online dipengaruhi secara negatif oleh persepsi risiko
kinerja produk (Liu dan Forsythe, 2010). Xu et al. (2010) menemukan bahwa
pembelian aktual online dipengaruhi oleh persepsi risiko, secara khusus risiko
transaksi (D’Alessandro et al., 2012). Park dan Jun (2003) menemukan bahwa
persepsi risiko keamanan transaksi dan privasi menurunkan pembelian online.
Diantara sejumlah persepsi risiko, persepsi risiko finansial merupakan yang paling
dominan mempengaruhi tahap keputusan pembelian (Cunningham et al., 2005).
Dengan kondisi transaksi online yang sangat rentan terhadap penipuan dan
44
kejahatan virtual, perceived risk theory memberikan penjelasan yang sangat kuat
terhadap perilaku pembelian online. Disebutkan dalam perceived risk theory
bahwa persepsi risiko mempengaruhi setiap tahap keputusan pembelian. Saat
persepsi atas ketidakpastian dan konsekuensi dari suatu kegiatan lebih tinggi dari
batas yang dapat diterima oleh konsumen, maka konsumen cenderung
menghindari kegiatan tersebut.
2.7 Trust
Moe dan Fader (2004) mengungkapkan bahwa walaupun terdapat
peningkatan jumlah pengguna yang mempergunakan internet untuk mencari
informasi mengenai produk, jumlah pembelian aktual masih relatif kecil. Hal
tersebut terjadi karena persepsi atas risiko-risiko yang mungkin muncul sebagai
akibat dari kegiatan pembelian online menghalangi konsumen melakukan
transaksi online. Seperti dijelaskan dalam perceived risk theory bahwa
ketidakpastian dan konsekuensi negatif dari suatu tindakan merupakan pengaruh
kuat yang mengintervensi perilaku konsumen, dalam konteks ini persepsi risiko
mencegah konsumen melakukan transaksi online. Trust merupakan faktor yang
perlu diciptakan untuk mendorong transaksi online, hal ini diungkapkan oleh
Elliot dan Yannopolou (2007) bahwa trust berperan penting untuk mendorong
konsumen melakukan pembelian di lingkungan di mana persepsi risiko tinggi.
Sejumlah riset menganalisis persepsi risiko konsumen atas transaksi online,
diantaranya: Gefen et al. (2003) yang menyatakan bahwa faktor seperti
kekhawatiran akan penipuan, dan isu keamanan menghalangi konsumen untuk
45
melakukan pembelian online. Pertumbuhan transaksi online diperlambat oleh
konsumen yang merasa curiga pada penjual online dan memandang bahwa risiko
yang mereka hadapi terlalu besar (Durkan et al., 2003). Ketiadaan interaksi fisik
antara pembeli dan penjual membuat transaksi menjadi berisiko sehingga trust
memiliki peran penting dalam memfasilitasi e-commerce (Lowry et al., 2008).
Melihat isu di atas, di mana trust dibutuhkan untuk mendorong transaksi
online, penelitian terkait trust justru lebih banyak menganalisis pengaruh trust
terhadap niat pembelian online dibandingkan perilaku pembelian atau transaksi
online. Studi yang menganalisis pengaruh trust terhadap niat pembelian online
antara lain: Lim (2013) menemukan bahwa kepercayaan konsumen terhadap
vendor mampu meningkatkan niat konsumen untuk melakukan pembelian online.
Hsieh dan Liao (2011) menemukan bahwa kepercayaan konsumen terhadap
reliabilitas vendor dan kinerja produk berpengaruh positif dan signifikan terhadap
niat konsumen untuk berbelanja online dan merekomendasikan vendor. Wen
(2009) mengungkapkan bahwa trust merupakan faktor yang mampu mendorong
niat pembelian online. Kim dan Song (2010) menemukan adanya pengaruh
signifikan trust terhadap niat pembelian online, trust dalam penelitian tersebut
mencerminkan persepsi atas kejujuran vendor. Chang dan Chen (2008)
menemukan bahwa trust atas kompetensi, reliabilitas, dan kejujuran vendor dapat
secara signifikan meningkatkan niat pembelian online. Ling et al. (2011)
menemukan bahwa trust atas kejujuran, reliabilitas, dan kompetensi vendor
berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian online. Bianci dan
Andrews (2012) menemukan bahwa trust berpengaruh positif dan signifikan
46
terhadap niat pembelian online, trust dalam penelitian ini dicerminkan melalui
kredibilitas dan keterpercayaan vendor.
Chen dan Barnes (2007) menemukan bahwa trust mempengaruhi niat
pembelian online, di mana trust dipengaruhi oleh perceived usefulness, keamanan
transaksi, privasi, reputasi, dan kustomisasi. Trust diukur mempergunakan
sembilan item di antaranya termasuk kepercayaan konsumen atas keamanan
transaksi dan privasi. Temuan studi oleh Lin dan Lu (2010) mengkonfirmasi
pengaruh positif dan signifikan trust terhadap niat pembelian online, di mana trust
dipengaruhi oleh citra perusahaan dan relationship marketing. Hubungan antara
trust dengan niat pembelian online dimoderasi secara positif oleh WOM. Trust
yang dipengaruhi oleh faktor internal website dan faktor karakteristik konsumen
mempengaruhi niat untuk mengunjungi website (Salo dan Karjaluoto, 2007).
Pengalaman pembelian terdahulu dan social presence mempengaruhi trust, di
mana trust berpengaruh positif dan signifikan terhadap niat pembelian online
(Weisberg et al., 2011).
Penelitian yang menganalisis pengaruh trust terhadap pembelian aktual antara
lain: Hsieh dan Liao (2011) menemukan bahwa trust yang dipengaruhi oleh
perceived usefulness dan sikap berpengaruh positif terhadap pembelian aktual.
Trust diukur mempergunakan dua item yaitu informasi produk yang dapat
diandalkan dan klaim-klaim dalam website dapat dipertanggungjawabkan. Shareef
et al. (2013) menemukan bahwa pembelian aktual dipengaruhi secara positif oleh
trust yang dipengaruhi oleh fulfillment dan keamanan transaksi, trust diukur
mempergunakan lima item yaitu kepercayaan konsumen bahwa website akan
47
memberikan garansi, respon cepat saat terjadi masalah, bertanggung jawab jika
transaksi tidak aman, kebijakan hukum yang pasti, dan website akan memenuhi
standar yang dikomunikasikan kepada konsumen.
Trust berpengaruh positif dan signifikan terhadap kontinuitas penggunaan
website bank oleh nasabah (Butt dan Aftab, 2013), trust dicerminkan melalui
kesediaan nasabah memberikan informasi personal dan kartu kredit secara online
serta profesionalitas dan reliabilitas bank. Trust merupakan faktor yang
mendorong konsumen memilih media online untuk membeli produk pariwisata
(Kim et al., 2011), trust dalam penelitian tersebut adalah kepercayaan konsumen
bahwa website vendor pariwisata terpercaya, berintegritas, dan dapat diandalkan.
Ribbink et al. (2004) menemukan bahwa trust berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kontinuitas penggunaan website oleh konsumen, trust dibentuk oleh
kesediaan konsumen memberikan informasi personal dan kartu kredit secara
online dan profesionalitas dan reliabilitas vendor. Trust merupakan kondisi yang
muncul saat persepsi risiko telah turun atau di bawah batas yang dapat diterima
konsumen, sehingga perceived risk theory menjadi penting sebagai landasan
penelitian ini.
2.8 Niat Pembelian Online
Studi empiris mengenai niat pembelian online mempergunakan dua
pendekatan berbeda yang mendasari studi-studi di bidang ini, yaitu pendekatan
teknologis dan pemasaran. Pendekatan teknologis meliputi seluruh interaksi
manusia dengan mesin, dan pendekatan pemasaran mencakup perilaku dan
48
karakteristik konsumen. Pendekatan teknologis terutama berfokus pada desain dan
implementasi user interface antara lain kemudahan penggunaan website, efisien,
dan menyenangkan untuk digunakan. Studi yang mempergunakan pendekatan
teknologis menganalisis karakteristik website yang berpotensi mempengaruhi
perilaku konsumen online. Studi tersebut menekankan pada aspek-aspek seperti
isi website (Ranganathan dan Ganapathy, 2002), daya tarik visual website
(Heijden, 2003), kualitas informasi (Salaun dan Flores, 2001), kemudahan
navigasi (Everard dan Galletta, 2005; Spiller dan Lohse, 1997; Tarafdar dan
Zhang, 2005), keseluruhan desain situs website (Flavin et al., 2006; Huizingh,
2000; Lee dan Lin, 2005; Zviran et al., 2006), dan kualitas website (Bukhari et al.,
2013; Kabadayi dan Gupta, 2011; Kim dan Lennon, 2013; Mazaheri et al., 2012).
Pendekatan ini menempatkan faktor teknologis sebagai fokus yang mempengaruhi
perilaku konsumen online.
Pendekatan pemasaran mengadopsi aspek perilaku dan karakteristik
konsumen. Aspek perilaku mengeksplorasi perilaku pembelian online dari proses
pengambilan keputusan pembelian, meliputi pertimbangan konsumen dalam
kegiatan e-commerce. Riset-riset ini menemukan bahwa persyaratan utama untuk
memunculkan niat berbelanja online adalah adanya kepercayaan antara konsumen
dan penjual online (Eastlick et al., 2006; Jarvenpaa et al., 2000; Urban et al.,
2000). Karena transaksi berlangsung di pasar virtual dan pelanggan tidak secara
fisik berinteraksi dengan penjual, penting bagi konsumen untuk memiliki
kepercayaan pada penjual sehingga mendorong munculnya niat pembelian online.
Persepsi risiko juga menjadi pertimbangan yang mempengaruhi perilaku
49
konsumen online (Akturan dan Tezcan, 2012; Martin et al., 2011; Zhao et al.,
2010). Selain kedua faktor di atas, pengaruh lingkungan dalam bentuk OCR
merupakan faktor yang juga menjadi dasar pertimbangan konsumen yang
kemudian mempengaruhi perilaku konsumen online (Hsu et al., 2013; Jalilvand
dan Samiei, 2012; Lee dan Shin, 2014; Lin et al., 2012).
Pendekatan pemasaran yang kedua adalah karakteristik konsumen dan
pengaruhnya pada perilaku pembelian online. Gagasan yang mendasari
pendekatan ini adalah bahwa karakteristik individu seperti demografi,
kepribadian, dan profil memiliki peran dalam menentukan perilaku pembelian
online (De Wulf et al., 2006; Liao dan Cheung, 2001; Zhang et al., 2006).
Beberapa penelitian juga telah mengkonfirmasi adanya pengaruh pengalaman
pembelian online masa lalu terhadap perilaku pembelian online di masa depan dan
menemukan hubungan positif dan signifikan (Pavlou, 2003; Yoh et al., 2003).
Kedua pendekatan ini menekankan pada elemen teknologis dan pemasaran
dalam memberikan pemahaman atas bagaimana faktor-faktor ini mempengaruhi
perilaku pembelian online. Penelitian ini bertujuan untuk mengintegrasikan
pendekatan-pendekatan ini demi memberikan perspektif yang lebih kaya atas
perilaku pembelian online. Perilaku pembelian online adalah konsep
multidimensional yang memerlukan analisis terintegrasi atas elemen-elemen kunci
dari kedua pendekatan besar tersebut. Dengan konsep integratif, penelitian saat ini
menganalisis perilaku pembelian online dengan variabel kualitas website, online
visibility, OCR, persepsi risiko, dan trust. Variabel kualitas website dan online
visibility merupakan pendekatan teknologis dan dalam consumer decision model
50
merupakan faktor stimuli pemasaran. Variabel OCR merupakan pendekatan
pemasaran dan dalam consumer decision model adalah faktor pengaruh
lingkungan. Variabel persepsi risiko dan trust merupakan pendekatan pemasaran
dan dalam consumer decision model adalah faktor pertimbangan konsumen.
Penelitian ini menganalisis variabel-variabel prediktor kunci dari niat pembelian
online.
2.9 Pembelian Aktual
Di lingkungan offline, sejumlah riset mengkonfirmasi adanya pengaruh positif
dan signifikan niat pembelian terhadap perilaku pembelian (Akehurst et al., 2012;
Hung et al., 2013). Theory of planned behavior mempostulasikan bahwa niat
merupakan prediktor perilaku. Literatur yang meneliti hubungan antara niat
pembelian dengan perilaku pembelian khususnya di lingkungan online masih
terbatas di mana sebagian besar studi yang dipublikasikan di direktori jurnal
ilmiah online menganalisis hanya sampai pada faktor prediktor dari niat
pembelian online, dimana dari 150 studi hanya 14 yang menganalisis perilaku
pembelian hingga mencakup variabel pembelian aktual online.
Studi mengenai pengaruh niat pembelian online terhadap pembelian aktual
online antara lain: Mei et al. (2011) dan Lim (2013) menguji Technology
Acceptance Model (TAM) menemukan bahwa niat pembelian online berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pembelian aktual. Niat pembelian online yang
dipengaruhi oleh sikap dan perceived ease of use, dipengaruhi secara positif oleh
OCR (Mei et al., 2011). Pada studi oleh Lim (2013) niat pembelian online
dipengaruhi oleh sikap, trust, dan pengalaman pembelian terdahulu. Pembelian
51
aktual diukur mempergunakan tiga indikator yaitu melakukan pembelian online
cukup sering, secara intensif, dan telah melakukan banyak pembelian online.
Niat pembelian online yang dipengaruhi oleh motivasi ekstrinsik, intrinsik,
dan pengaruh sosial berpengaruh positif terhadap pembelian aktual (Guo dan
Barnes, 2011), pembelian aktual diukur melalui jumlah uang yang dibelanjakan
secara online dan frekuensi berbelanja online secara rata-rata selama seminggu.
Trust dan niat pembelian online mendorong konsumen melakukan pembelian
aktual (Hsieh dan Liao, 2011), studi ini mengukur pembelian aktual melalui
pembelian online yang telah dilakukan oleh konsumen. Mahrous (2011)
menemukan pengaruh positif dan signifikan ketiga variabel dalam TPB terhadap
pembelian aktual. D’Alessandro et al. (2012) menemukan bahwa pembelian
aktual dipengaruhi oleh persepsi risiko yang dipengaruhi oleh kekhawatiran
konsumen atas privasi, keamanan transaksi, dan strategi pemasaran supplier.
Pembelian aktual diukur dengan satu item yaitu dilakukannya pembelian online
oleh konsumen.
Liu dan Forsythe (2010) menemukan bahwa pembelian aktual dipengaruhi
oleh persepsi risiko produk, keunggulan, dan kesenangan berbelanja online.
Pembelian aktual diukur mempergunakan frekuensi dan jumlah uang yang
dibelanjakan dalam pembelian online. Lin (2008) dalam studinya di lingkungan
perbankan dan pariwisata menemukan bahwa niat pembelian online berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pembelian aktual. Menguji TPB, Fogel dan
Schneider (2009) menganalisis hubungan antar variabel TPB dalam konteks
fashion e-shopping. Niat pembelian online ditemukan memiliki pengaruh positif
52
dan signifikan terhadap pembelian aktual. Berdasarkan ketiga variabel pembentuk
niat pembelian, norma subjektif menunjukkan pengaruh terkecil.
Hasil yang berbeda dari temuan di atas dikonfirmasi oleh Thongpapanl dan
Ashraf (2011). Penelitian tersebut menemukan bahwa niat pembelian online
berpengaruh secara tidak signifikan terhadap pembelian aktual, diungkapkan
bahwa niat pembelian online masih dapat menjadi faktor dari pembelian aktual,
hanya niat pembelian sendiri tidak cukup untuk memprediksi pembelian aktual.
Penelitian tersebut menganalisis pengaruh informasi dan personalisasi dalam
website terhadap niat pembelian online dan kemudian pengaruh niat terhadap
pembelian aktual. Penelitian dilakukan pada 207 vendor online di Amerika.
Wilson (2010) menemukan bahwa dari seluruh konsumen online yang memasuki
tahapan transaksi dalam website vendor, hanya 55% yang akhirnya menyelesaikan
proses transaksi atau melakukan pembelian online. Studi ini meneliti website dari
vendor perlengkapan medis di Amerika. Bermulai dari 450 pengunjung, 17 persen
memasuki halaman belanja online, kemudian 9% pengunjung memasuki tahapan
transaksi, dan akhirnya hanya 5 persen pengunjung yang menyelesaikan transaksi
online. Negra dan Mzoughi (2012) mengungkapkan bahwa walaupun pengunjung
memiliki niat pembelian yang tinggi, mereka akhirnya tidak menyelesaikan proses
transaksi atau membatalkan pembelian online