BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Flavivirus · 0 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Flavivirus Flavivirus adalah...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Flavivirus · 0 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Flavivirus Flavivirus adalah...
0
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Flavivirus
Flavivirus adalah genus virus yang termasuk ke dalam Arbovirus (ar-
thropod-borne viruses) yaitu virus yang alami menginfeksi dan bereplikasi di
dalam tubuh serangga (arthropod) yang kemudian dapat ditularkan ke vertebrata
yang lain.
Gambar 2.1
Klasifikasi Arbovirus (Go et.al., 2014)
Virus yang masuk ke dalam kelompok Arbovirus terdiri dari berbagai
famili dengan taksonomi yang berbeda yaitu: Flaviviridae (genusflavivirus),
Bunyaviridae (genus Nairovirus, Orthobunyavirus, Phlebovirus, dan Tospovirus),
Togaviridae (genus Alphavirus), Rhabdoviridae (genus Vesiculovirus), Ortho-
myxoviridae (genus Thogotovirus), dan Reoviridae (genus Orbivirus
8
1
danColtivirus) (Gambar 2.1). Penyakit akibat flavivirus dapat ditularkan dari
hewan vertebrata ke manusia secara tidak langsung dengan perantara
serangga/nyamuk sehingga sering juga disebut dengan istilah zoonosis tidak
langsung (indirect zoonosis). Pada umumnya famili virus yang termasuk zoonotik
arbovirus adalah famili Togaviridae dan Flaviviridae (Go et.al., 2014).
Genus flavivirus termasuk ke dalam famili Flaviviridae yang terdiri dari
kurang lebih 70 spesies virus, tersebar sangat luas di seluruh benua kecuali di
Antartika. Flavivirus sendiri berasal dari bahasa latinflavus yang berarti kuning
(jaundice) yang merupakan ciri khas penyakit Yellow Fever(Huang et al., 2014).
Penyakit karena flavivirus sebagian besar ditularkan dengan bantuan nyamuk
sehingga disebut juga mosquito-borne flavivirus, seperti virus Dengue, virus JE,
virus West Nile, dan virus Zika di Indonesia (Myint et al., 2014; Perkasa et al.,
2016).
2.1.1 Struktur Flavivirus
Flavivirus merupakan virus RNA untai tunggal, positif sense, dengan
panjang genom ±11 kilo base (kb). Flavivirus berukuran kecil sekitar 50 nm,
berupa partikel sferis yang memiliki electron-dense sekitar 30 nm, dan dikelilingi
oleh amplop lipid serta memiliki open reading frame (ORF) tunggal yang
mengkode 3 protein struktural dan 7 protein non struktural. Protein struktural
berupa capsid (C), membran (M), dan envelope (E). Protein non struktural (NS)
berupa protein NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5(Murphy, 1980;
Lindenbach and Rice, 2003).
2
Capsid adalah protein yang berukuran 11 kDa yang memiliki peranan
dalam berbagai interaksi RNA yang berhubungan dengan membran. Bagian C
yang diberi nama Nascent C (anchC) mengandung C-terminal hydrophobic
anchor yang berperan sebagai sinyal peptide untuk translokasi protein pr ke
endoplasmic reticulum (ER) dan berperan pada perakitan virion (Lindenbachet al.,
2007).
Gambar 2.2
Struktur dan organisasi flavivirus, CAP: Capsid; prM: Premembrane; E:
Envelope; nonstructural: NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, NS5 (Zhang et
al., 2003; Coffey et al., 2013).
Protein prM adalah glikoprotein yang berperan sebagai prekursor dari
protein membrane (M) yang berukuran 26 kDa. Fragmen pr dari protein M
berperan untuk menstabilkan E dan melindungi protein E agar tidak mengalami
perubahan pada lingkungan yang asam yang memicu terjadinya fusi virus dengan
3
membran sel. Setelah prM melalui pemecahan yaitu oleh enzim furin di trans-
Golgi terbentuklah protein M yang berukuran sekitar 8kDa dan fragmen N-
terminal protein pr yangdisekresikan ke media ekstrasel. Protein M ditemukan
pada virion matur, yaitu pada C-terminal dari prM yang berperan membuat virus
menjadi bentuk yang infektif (Murray et al., 1993; Lindenbach and Rice, 2003).
Envelope (E) adalah protein berukuran 53kDa yang merupakan protein
utama pada permukaan virus. Protein ini berinteraksidengan reseptor virus, dan
berperan dalam fusi membran. Antibodi umumnya mengenali protein ini dan jika
terjadi mutasi pada protein E ini akandapat mempengaruhi virulensi. Protein ini
juga berperan dalam memberi sinyal untuk translokasi NS1 ke lumen
ER(Lindenbach and Rice, 2003).
Protein NS1, beratnya sekitar 46 kDa, dapat berada di dalam sel maupun
pada pemukaan virus, dan disekresi secara perlahan dari sel mamalia. Peranan
NS1 belum diketahui dengan pasti, hanya saja dalam suatu penelitian ditemukan
jika mutasi terjadi pada protein NS1 maka akan terjadi gangguan replikasi RNA.
Disamping itu pada saat infeksi akan muncul respon humoral yang kuat terhadap
NS1. Adanya antibodi terhadap sel permukaan dapat mencegah lisisnya sel yang
terinfeksi virus oleh komplemen(Lindenbach et al., 2007).
Protein NS2A berukuran relatif kecil sekitar 22 kDa. Pemecahan protein
NS1-2A terjadi di ER. Protein NS2A diperkirakan berperan sebagai interferon
(IFN) antagonis dengan menghambat signalingIFN. Protein NS2B juga berukuran
kecil yaitu sekitar 14 kDa. Protein ini merupakan protein membran yang jika
4
bergabung dengan NS3 akan berperan sebagai kofaktor dari NS2B-NS3 serine
protease(Lindenbach et al., 2007).
Protein NS3 berukuran sekitar 70 kDa, yang berperan dalam memproses
poliprotein dan replikasi RNA. Protein ini berperan dalam melakukan
defosforilasi dari 5’ end dari RNA sebelum penambahan cap, dan juga
merangsang terjadinya apoptosis melalui capcase 8(Lindenbach et al., 2007).
Protein NS4A dan NS4B berukuran 16 kDa dan 27 kDa, berperan dalam
replikasi, perakitan, dan penyusunan membran virus. Protein ini ditemukan berada
pada komplek replikasi. Protein ini sama halnya dengan NS2A dapat
menghambatsignaling dari IFN (Lindenbach et al., 2007).
Protein NS5 merupakan protein flavivirus yang stabil(conserved)
danberukuran besar sekitar 103 kDa. Bagian N-terminal RNA-nya berperan dalam
memproses 5’ cap dan RNA-dependent RNA polymerase (RdRP) yang terlibat
dalam melakukan perpanjangantemplate endogen(Lindenbach et al., 2007).
2.1.2 Siklus hidup flavivirus
Masuknya flavivirus dimulai dari tahap awal berikatan dengan reseptor
terlebih dahulu. Pada awalnya amplop virus kontak dengan reseptor pada sel
hospes dan terjadilah endositosis yaitu saat virus masuk ke dalam endosome.
Kondisi yang asam di dalam endosome memicu terjadinya perubahan bentuk dari
protein E yang merangsang terjadinya fusi antara membran virus dan membran
endosomedan melepaskan kapsid ke dalam sitoplasma. Kapsid kemudian hancur
dan melepaskan RNA virus. RNA yang dilepaskan ini mengkode prekursor
5
poliprotein sekitar 3.400 asam amino. RNA flavivirus ini adalah positif sense
RNA sehingga secara langsung dapat mengalami proses translasi. Pada ujung
akhir RNA (end) membentuk struktur yang berikatan dengantranslation initiation
protein. Komplek protein ini yang akan memulai translasi RNA. Proses translasi
polipeptida ini diproses oleh sinyal hospes dan protease NS2B/NS3 virus
membentuk tiga protein struktural yaituprotein core (C), premembrane (prM), dan
E serta tujuh protein non structural(NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan
NS5). Protein tersebut berperan dalam replikasi dan perakitan RNA virus serta
memodulasi respon sel hospes(Lindenbach and Rice, 2003; Mazzon et al., 2009).
Positif sense RNA virus digunakan sebagai templatestrand RNA virus
yang baru. Proses replikasi virus ini terjadi berulang pada membran sel hospes
menghasilkan banyak salinan positif sensestrand RNA. Beberapa dari strand ini
ditranslasi untuk membentuk lebih banyak protein virus sampai jumlahnya cukup
untuk merakit virus baru di dalam ER. Proses perakitan virus meliputi
pernagkaian RNA virus bergabung dengan protein struktural C, prM, E dan
protein nonstruktural yang lain. Virus yang terbentuk masih merupakan virus
imatur. Protein prM berfungsi melindungi virus agar tidak terjadi fusi prematur
selama perjalanan menuju ke luar sel. Virus lalu keluar menuju apparatus golgi
dan mengalami maturasi di sana. Proses maturasi ditandai dengan terjadinya
pemecahan protein prM menjadi protein M. Virus matur lalu dilepaskan ke luar
sel melalui proses eksositosis(Mazzon et al., 2009). Gambar mengenai siklus
hidup flavivirus dapat dilihat pada Gambar 2.3.
6
Gambar 2.3
Siklus hidup flavivirus. 1) virus kontak dengan reseptor sel hospes yang memicu
terjadinya endositosis; 2) masuk ke dalam endosomedan penurunan pH
lingkungan menjadi asam sehingga terjadi perubahan bentuk amplop virus; 3)
terjadinya fusi membran virus dengan membran sel hospes serta melepaskan RNA
virus; 4) translasi virus RNA menghasilkan poliprotein; 5) Lokasi pemecahan,
topologi dari protein struktural (hijau) dan nonstruktural (merah) di membran ER,
dilanjutkan dengan terjadinya replikasi; 6) Sintesis RNA, disusun menjadi virion
imatur; 7) ditranspor ke apparatus golgitempat terjadi pemecahan prM menjadi M
menghasilkan virus matur; 8) dilepaskan dengan eksositosis(Mazzon et al., 2009).
2.1.3 Klasifikasiflavivirus
Flavivirus berdasarkan filogenetiknya dibagi menjadi 4 kelompok yaitu 1)
mosquito-borne flavivirus(MBFV); 2) tick-borne favivirus (TBFV); 3) no known
vektor virus (NKV); dan 4) insect specificflavivirus(ISF) (Gaunt et al., 2001;
7
Huang et al., 2014; Huhtamo et al., 2014). Berikut flavivirus berdasarkan
filogenetiknya:
1. Mosquito-borne flavivirus (MBFV)
MBFV merupakan kelompok flavivirus terbesar yaitu flavivirus yang
dapat ditularkan pada vertebrata (mamalia, dan burung) melalui gigitan nyamuk.
Kelompok MBFV dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama yaitu
flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk genus Culexdankelompok kedua yaitu
flavivirus yang ditularkan oleh genus Aedes (Gaunt et al., 2001).
Terdapat ±26 spesies virus yang termasuk ke dalam kelompok MBFV
yang ditularkan melalui nyamuk Culexspp. seperti yang ditunjukkan pada Gambar
2.3. Flavivirus yang ditularkan oleh nyamuk genus Culexdisebut virus neurotrofik
karena bersifat neuroinvasif sehingga sering mengakibatkan terjadinya infeksi
pada otak (ensefalitis). Beberapa anggota MBFV yang telah berhasil terdata
seperti virus JE, West Nile, Saint Louis Encephalitis, Aroa virus, Naranjal virus,
Cacipacore virus,Koutango virus, Yaounde virus, Stratford virus, Israel Turkey
meningo-encephalomyelitis virus,Ntaya virus, Tembusu virus,dan Sitiawan
virus(Bolling et al., 2015).
Flavivirus yang ditularkan nyamuk genus Aedes disebut juga non
neurotrofik karena gejala utamanya berupa gejala perdarahan (haemorrhagic).
Terdapat 17 spesies virus yang termasuk ke dalam kelompok ini termasuk virus
Dengue (DEN), Yellow Fever, dan Zika. Siklus flavivirus ini pada umumnya
melibatkan nyamuk, primata, dan manusia. Manusia dalam siklus ini tidak
8
berperan sebagai dead end host. Viremia pada manusia tinggi sehingga dapat
menginfeksi nyamuk yang kemudian selanjutnya ditularkan ke manusia yang lain.
Mekanisme penularan ini sering dikenal dengan mekanisme penularan secara
horizontal (Gaunt et al., 2001; Huhtamo et al., 2014).
Gambar. 2.4
Pohon filogenetik flavivirus yang masuk ke dalam MBFV(Moureau et al., 2015)
2. Tick-borneflavivirus (TBFV)
Virus TBFV terbagi menjadi dua kelompok sesuai dengan hospesnya.
Pertama, hospes kutu (tick) seperti caplak (genus Ixodes), dan hewan pengerat
(rodent). Flavivirusyang termasuk ke dalam kelompok ini adalah pertama,
9
kelompok virus Tick Borne Encephalitis (TBE) yaituFar Eastern TBE, West
European TBE, Gadgets Gulley,Royal Farm, Powassan, Karshi, Kyasanur Forest
disease, Langat,Omsk Hemorrhagic fever, danKadam. Kedua, TBFV yang
hospesnya adalah burung laut (tick-borne seabird-associated viruses). Virus yang
termasuk ke dalam kelompok ini adalah virus Meaban, Tyuleniy, dan Saumarez
Reef(Gaunt et al., 2001).
3. Virus No Known Vektor (NKV)
Virus NKV adalah flavivirus yang tidak melibatkan nyamuk sebagai
vektornya namun bersifat vertebrate-specific yaitu flavivirus ini hanya dapat
bereplikasi pada hewan vertebrata kecil. Secara filogenetik berdasarkan gen NS5
terbagi menjadi 2 kelompok yaitu NKV yang berhubungan dengan kelelawar dan
yang berhubungan dengan binatang pengerat (rodent) (Huhtamo et al., 2014).
NKV yang berhubungan dengan kelelawar contohnya virus Bukalasa,
Carey Island, Dakar Bat, Phnom Penh, Rio Bravo, dan Montana myotis
leukoencephalitis. NKV yang berhubungan dengan binatang pengerat contohnya
virus Cowbone Ridge, Jutiapa,Modoc, Sal Vieja,dan San Perlita(Kuno et al.,
1998; Gaunt et al., 2001).
4.Insect SpecificFlavivirus (ISF)
ISF adalah flavivirus yang hanya bisa bereplikasi pada sel nyamuk saja
dan tidak dapat hidup pada sel vertebrata. Dahulu tidak banyak diteliti karena
tidak menyebabkan penyakit pada manusia (Kuno, 2007). Namun seiring dengan
10
majunya teknik deteksi virus dan meningkatnya ketertarikan dalam penelitian di
bidang entomologi terutama mengenai virus pada nyamuk maka terjadi
peningkatan penelitian tentang ISF. Sampai saat ini ditemukan 21 ISF yang baru,
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.5. Selain menemukan banyak spesies ISF
baru, juga ditemukan fakta bahwa ISF yang berada bersama dengan MBFV pada
seekor nyamuk (superinfection/co-infection) akan menyebabkan terjadinya
penurunan replikasi salah satu virus (Bolling et al, 2015).
Banyaknya penelitian tentang ISF yang dilakukan oleh kelompok riset
mandiri di berbagai negara menyebabkan adanya kekacauan dalam nomenklatur
penamaan virus. Suatu virus yang sama bisa memiliki beberapa nama yang
berbeda sesuai dengan peneliti dan tempat ditemukannya. Seperti pada tiga
spesies virus yang baru ditemukan yaitu Hanko virus yang diisolasi dari nyamuk
Ae. caspius di Finlandia pada tahun 2005; Ochlerotatus flavivirus dari
AedesdanCulexspp. di Spanyol, Italia, dan Portugal dari tahun 2007-2010; dan
Spanish Ochlerotatusflavivirus dari Ae. caspius di Spanyol 2006. Ketiga virus
tersebut ternyata virus yang sama karena memiliki persentase identity sekuen
asam nukleotida sebesar 91% - 96%(Blitvich and Firth, 2015). Suatu konsensus
telah ditentukan oleh Kuno (1998) bahwa flavivirus yang memiliki kesamaan
sekuen nukleotida (% identity)lebih dari 84% dikatakan masuk dalam satu spesies.
Ketiga spesies tersebut sepakat dinamakan Hanko virus karena virus ini memiliki
sekuen nukleotida yang paling komprehensif dibandingkan dua virus yang lain.
Begitu pula pada virus CTFV, Spanish Culexflavivirus, dan virus Wang Thong
11
juga merupakan virus yang sama yang dinamakan Culextheileriflavivirus(Blitvich
and Firth, 2015).
Distribusi geografis ISF sangat luas dan spesies nyamuk yang berperan
sebagai vektor ISF bervariasi di setiap negara. Virus ISF terbagi menjadi dua
kelompok, Pertama, classical ISF (cISF) yaitu kelompok ISF yang pertama
ditemukan. Virus ini memiliki karakteristik filogenetik yang sangat berbeda
dengan kelompok flavivirus lain, dan bersifat monofiletik.
Gambar. 2.5
Peningkatan jumlah penemuan ISF pada rentang tahun 1975-2015 (Bolling et al,
2015).
Kedua, dual-hospes affiliated ISF (dISF) adalah ISF yang secara filogenetik
masih berhubungan dengan kelompok flavivirus pada nyamuk atau vertebrata
(MBFV) dan tidak bersifat monofiletik (Blitvich and Firth, 2015; Moureau et al.,
2015). Selengkapnya berikut pembagian ISF:
a. Classical ISF (cISF)
12
Kelompok cISFterbagi menjadi dua klade yaitu pertama, cISF pada nyamuk Aedes
spp. seperti Aedes flavivirus, Aedes galloisi flavivirus,Cell Fusing Agent Virus,
dan Kamiti River Virus. Kedua, cISF pada nyamuk Culexspp. yaitu Calbertado
virus, CTFV, Nienokoue virus, dan Quang Binh virus. Khusus untuk virus
Nakiwogo dan Palm Creek diisolasi dari nyamuk Mansonia dan Coquillettidia
spp. Terdapat juga Hanko Virus dipertimbangkan sebagai strain yang baru. Virus
ini diisolasi pada Culexspp. dan Aedes spp.(Calzolari et al., 2012; Vázquez et al.,
2012; Blitvich and Firth, 2015).
b. dual ISF (dISF)
Kelompok dISF dilihat dari filogenetiknya berada dalam satu kluster dengan klade
MBFV namun termasuk ISF karena sifatnya yang hanya dapat bereplikasi pada
sel serangga. Hal ini mengindikasikan bahwa dISF merupakan virus yang
memiliki dua hospes (dual hospes virus) dan merupakan ISF yang kehilangan
kemampuan untuk menginfeksi vertebrata (Blitvich and Firth, 2015; Bolling et al,
2015). Nounané virus adalah dISF pertama yang dilaporkan diisolasi dari nyamuk
Uranotaenia mashonaensis di Côte d’Ivoire, Uganda pada tahun 2004. Terdapat
sekurangnya 8 dISF lain yang telah ditemukan seperti Barkedji virus di Senegal
dan Israel; Chaoyang virus di Korea Selatan dan Cina; Donggang virus di Cina;
Ilomantsi virus di Finlandia; Lammi virus di Finlandia; Marisma Mosquito Virus
di Spanyol dan Italia; Nanay virus di Peru; dan Nhumirim virus di Brazil (Blitvich
and Firth, 2015). Pohon filogenetik flavivirusdapat dilihat selengkapnya pada
Gambar 2.6.
13
Gambar 2.6
Pohon filogenetik flavivirus: cISF-biru; dISF-hijau; NKV flavivirus-merah;
mosquito/vertebrataflavivirus-ungu; tick/vertebrataflavivirus-hitam (Blitvich and
Firth, 2015)
14
2.1.4 Penularan ISF
Keberlangsungan siklus hidup flavivirus yang termasuk ke dalam
kelompok MBFV di alam terjadi karena adanya replikasi virus baik pada tubuh
nyamuk dan berbagai jenis vertebrata termasuk manusia. Berbeda halnya
dengan ISF yang replikasinya hanya terjadi pada tubuh nyamuk saja.
Keberlangsungan generasi virus ISF terjadi melalui mekanisme penularan
transovarial. Virus dapat ditularkan secara vertikal (transovarial) dari induk ke
anaknya, terbukti dengan ditemukannya virus pada larva nyamuk, nyamuk
jantan, dan ditemukannya antigen virus pada jaringan ovarium nyamuk yang
terinfeksi. Penularan secara transovarial telah ditemukan pada virus Dengue,
Yellow Fever, JE, danWest Nile. Pada penelitian eksperimen terhadap virus
Yellow Fever dari kelompok MBFV ditemukan rerata penularan transovarial
sangat rendah yaitu 0,2% namun penularan transovarial pada Culex flavivirus
yang merupakan kelompok ISF mencapai 100%. Penularan melalui mekanisme
ini memungkinkan kelangsungan hidup virus pada telur dalam kurun waktu
yang cukup lama melewati berbagai musim (Rosen et al., 1980; Saiyasombatet
al., 2011; Huang et al., 2014).
Virus dapat ditularkan secara vertikal menunjukkan bahwa virus dapat
berada dalam tubuh nyamuk untuk periode waktu yang sangat lama selama
beberapa generasi. Beberapa di antaranya menjadi terintegrasi dengan genom
nyamuk dan ada yang berevolusi dari virus yangkhusus hanya menginfeksi
serangga (ISF) menjadi virus yang dapat menginfeksi vertebrata. Dengan
melihat sejarah evolusi dan plastisitasnya tersebut maka banyak virus yang
15
menginfeksi vertebrata kemungkinan berasal dari virus yang hidup pada
nyamuk atau serangga, lalu kemudian beradaptasi dengan hospes vertebratanya
dan kehilangan kemampuannya dalam menginfeksi serangga(Li et al., 2015).
Mekanisme penularan lain yaitu mekanisme transmisi venereal.
Penularan flavivirusterjadi antar nyamuk, yaitu dari nyamuk jantan yang
terinfeksi ke nyamuk betina sehat, seperti yang ditemukan pada Cx. pipiens.
Penelitian ini pernah dilakukan hanya pada ISF dan mungkin tidak berlaku pada
virus di famili lain (Kuno et. al., 2005).
2.1.5 Superinfeksi virus pada nyamuk
Pada tubuh nyamuk sering ditemukan adanya lebih dari satu jenis virus.
Pada suatu penelitian diperoleh fakta bahwa infeksi beberapa jenis virus pada
seekor nyamuk akan menyebabkan terjadinya penurunan replikasi salah satu virus
sehingga dapat mengurangi potensi penularan. Kejadian ini dikenal dengan istilah
superinfeksi eksklusi. Apabila replikasi virus yang dihambat adalah virus
homolog yang menginfeksi berikutnya disebut dengan mekanisme homologous
interference(Pepin et al., 2008; Bolling et.al., 2015).
Terdapat beberapa studi yang telah meneliti kemampuan ISF dalam
menyebabkan superinfeksi eksklusi pada nyamuk. Seperti pada penelitian
terhadap virus ISF yaitu virus Palm Creek yang diinfeksi bersama dengan virus
West Nile dan Murray Valley encephalitissecara in-vitro pada sel C6/36. Hasilnya
menunjukkan bahwa terjadi pengurangan replikasi virus West Nile dan Murray
Valleysecara signifikan(Hobson et al., 2013). Hal yang sama juga terjadi pada
16
virus ISF yaitu virus Nhumirim yang terbukti mengurangi replikasi virus West
Nile, Japanese Encephalitis, dan Saint Louis Encephalitispada sel C6/36 (Kenney
et al., 2014). Namun demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
membuktikan konsistensi dari hasil penelitian tersebut.
Penelitian secara in vivo juga pernah dilakukan untuk menilai kompetensi
vektor pada koloni Cx. pipiens yang diinfeksi dengan virus ISF yaitu
Culexflavivirus terhadap penularan virus West Nile. Hasil yang diperoleh
adalah terjadi penekanan replikasi virus West Nile pada nyamuk yang telah
terinfeksi Culexflavivirussebelumnya secara in vivo (Bolling et al., 2015).
Penelitian serupa juga dilakukan di Florida, namun menunjukkan hasil yang
berbeda, seperti pada koloni nyamuk Cx. quinquefasciatus strain Honduran
yang diinfeksi dengan Culexflavivirus dan virus West Nile menunjukkan terjadi
peningkatan penularan virus West Nile pada hari ke-14 setelah terinfeksi (Kent
et al., 2010). Terdapat perbedaan hasil penelitian menunjukkan bahwa
interaksi antara ISF dan MBFV adalah bervariasi dalam berbagai kondisi
tertentu tergantung dari spesies nyamuk, teknik, dan strain virus yang
digunakan.
2.1.6 Analisis filogenetik
Flavivirus baru banyak ditemukan dalam dua dasa warsa terakhir
sehinggadiperlukan kajian untuk menjelaskan hubungan filogenetik antar virus
dalam usaha membuat suatu klasifikasi flavivirus yang jelas. Distribusi geografis
penyebaran virus yang sangat luas disertai diversitas virus, nyamuk, dan hospes
17
vertebrata yang terlibat dalam siklus penularan virus yang sangat beragam
merupakan tantangan tersendiri yang harus dihadapi.Dengan melakukananalisis
filogenetik flavivirusmaka dapat diketahui hubungan kekerabatan virus, ada
tidaknya variasi genetik, dan proses evolusinya (Kuno et al., 1998).
Istilah filogeni (phylogeny) pertama kali ditemukan oleh Haeckel pada
tahun 1866 yang menggambarkan hubungan sekelompok spesies, gen, genom,
atau operational taxonomic unit (OTU), yang berasal dari leluhur yang sama
(common ancestry). Ilustrasi hubungan kekerabatan evolusi ini dipresentasikan
berupa diagram bercabang (branching diagram) atau pohon filogenetik. Setiap
percabangan dihubungkan dengan simpul (node) yang mengarah ke terminal di
ujung pohon Beberapa set karakter yang homolog dari satu atau beberapa
organisme dibandingkan. di dalam pohon filogenetik. Karakter dapat berupa gen
(urutan gen, urutan protein), struktural (morfologi), atau ciri perilaku organisme
(Bruyn et al., 2014). Untuk selengkapnya mengenai komponen pohon filogenetik
dapat dilihat pada Gambar 2.7.
Pada prinsipnya terdapat empat langkah utama untuk melakukan analisis
filogenetik. Empat langkah tersebut adalah 1) Memilih sekuen yang sesuai, bisa
berupa gen parsial atau genom lengkap; 2) Melakukan identifikasi homolog,
sekuen data pembanding harus homolog; 3) Sekuen disejajarkan; dan 4) Memilih
metode yang sesuai untuk analisis filogenetik (Bruyn et al., 2014). Saat ini
tersedia banyak software yang digunakan untuk melakukan analisis filogenetik,
salah satunya adalah program Molecular Evolutionary Genetics Analysis(MEGA)
7 yang digunakan dalam studi ini (Kumar, 2016).
18
.
Gambar 2.7
Komponen pohon filogenetik terdiri dari Node = 1,2,3 melambangkan
hubungan antar taksa (sequence/seq), Cabang=* (menghubungkan 2 node)
(Kidd and Sgaramella-Zonta, 1971)
a. Langkah analisis filogenetik
1. Pemilihan sekuen
Langkah pertama yaitu memilih sekuen yang akan dianalisis. Pada
prinsipnya semua bisa dibandingkan bisa berupa gen keseluruhan atau hanya
coding regions atau bahkan single introns dapat dibandingkan(Bruyn et al.,
2014). Data yang digunakan dalam membuat filogeni dapat berupa sekuen
asam amino maupun nukleotida. Pemilihan sekuen juga disesuaikan dengan
tujuan rekonstruksi filogenetik tersebut. Jika tujuannya hanya untuk
mengetahui duplikasi yang terjadi di dalam suatu gen dalam satu famili, maka
dipilihlah sampel gen yang berasal dari satu spesies secara komprehensif.
Namun, jika tujuannya untuk memahami bagaimana suatu gen dalam satu
19
famili tersebut berevolusi, maka dipilihlah sampel seluas mungkin, tidak
hanya satu spesies tetapi berbagai spesies. Penelusuran literatur yang cermat
sebelumnya sangat membantu dalam pemilihan sekuen tersebut. Terdapat
empat sumber data yang dapat digunakan untuk membuat suatu filogeni yaitu:
1) Sekuen yang telah dipublikasi pada suatu literatur; 2) Basis data gen di
National Center for Biotechnology Information (NCBI); 3) Basis data
expressed sequence tag (EST); maupun 4) Data yang belum terpublikasi dari
peneliti. Setelah mendapatkan sekuen data yang diinginkan, dilakukan Basic
Local Alignment Search Tool (BLAST) untuk mendapatkan sekuen yang
mirip dengan sekuen yang kita ingin bandingkan(Harrison and Langdale,
2006).
2. Identifikasi homolog
Semua sekuen yang dianalisis haruslah sekuen yang homolog. Homolog
berarti berasal dari leluhur yang sama (common ancestry)(Pearson, 2013).
Sekuen yang homolog dapat diperoleh dengan menelusuri basis data sekuen
seperti GenBank, European Molecular Biology Laboratory (EMBL), dan
DNA Data Bank of Japan (DDBJ) dengan menggunakan fasilitas BLAST
(Basic Local Alignment Search Tool) atau FASTA. Dengan melakukan
BLAST kita dapat mencari persentase identity sekuen nukleotida maupun
kemiripan (similarity) sekuenasam amino yang yang berasal dari leluhur yang
sama(Schreiber, 2007). MEGA menyarankan untuk memilih sekuen yang
memiliki identity lebih besar dari 50% (Kumar et al., 2016).
3. Melakukanpenjajaran sekuen (sequence alignment)
20
Proses alignment secara manual maupun automatis dilakukan pada
sekuen yang homolog agar bisa dibandingkan. Jika menggunakan software
MEGA7 maka alignment dapat dilakukan dengan program ClustalW.
Penjajaran sekuen (alignment)adalah cara untuk mengatur sekuen primer,
dalam hal ini DNA, untuk mengidentifikasi region yang memiliki kesamaan
(identity) hasil dari hubungan fungsional, struktural, atau evolusioner antara
sekuen. Saat proses alignment berlangsung, gap disisipkan di antara residu
sehingga residu yang memiliki kesamaan atau identik diselaraskan dalam
kolom berurutan. Sekuen yang telah mengalami proses penjajaran sebaiknya
dimulai dengan ATG pada 5’ end dan berakhir dengan terminator codon UAA
(Ochre), UAG (Amber), atau UGA (Opal) pada 3’end. Proses penyesuaian
(adjustment)penjajaran ini dapat dilakukan secara manual pada program
MEGA7 (Kumar and Tamura, 2016).
4. Pemilihan metode analisis
Terdapat dua metode umum yang dapat digunakan dalam membuat pohon
filogenetik pada sekuen yang telah mengalami proses penjajaran yaitu
distance-based dan character-based. Metode distance-based adalah metode
yang menggunakan prinsip ketidaksamaan (distance) antara sekuen. Metode
ini berdasarkan kalkulasi jarak genetik dari setiap pasang sekuen pada suatu
dataset(Harrison and Langdale, 2006).
Metode distance-based dimulai dengan mengelompokkan dua sekuen
yang paling dekat, melakukan rekalkulasi jarak, dan pengelompokan kembali.
Demikian terus proses tersebut berulang sampai semua sekuen terkelompokan.
21
Urutan dari sekuen yang dikelompokkan mencerminkan topologi, pola, serta
panjang cabang pada pohon filogenetik yang mencerminkan matrik jarak.
Jarak (distance) tersebut mewakili ketidaksamaan (dissimilarity) antar sekuen.
Keunggulan metode ini mudah dan cepat dalam melakukan analisis sehingga
ideal untuk melakukan eksplorasi awal untuk mengetahui hubungan antar
sekuen pada suatu dataset. Namun kelemahannya adalah metode ini cenderung
mengabaikan analisis distribusi maupun hubungan antar karakter dalam
sekuen sehingga informasi mengenai evolusi sangat terbatas. Contoh metode
distance-based adalah unweighted pair group method with arithmetic
mean(UPGMA) dan neighbour-joining(Harrison and Langdale, 2006; Bruyn
et al., 2014).
Metode character based adalah metode yang menganalisis semua karakter
di setiap posisi pada sekuen yang terdapat pada dataset sehingga semua
informasi tidak ada yang hilang.Contoh dari metode ini maximum parsimony,
maximum likelihood, dan Bayesian inference.Metode ini dapat secara akurat
menggambarkan hubungan antar sekuen yang telah terpisah dalam waktu yang
lama ataupun sekuen yang mengalami evolusi yang cepat. Namun
demikianmetode ini memiliki kelemahan yaitu memakan waktu yang lama
dalam proses analisis (Harrison and Langdale, 2006; Schreiber, 2007; Bruyn
et al., 2014).
b. Jarak Genetik (genetic distance)
22
Jarak genetik adalah ukuran kuantitatif dari suatu perbedaan genetik antar
populasi, sekuen DNA, individu, spesies, atau unit taksonomi yang lain. Jumlah
rata-rata perbedaan kodon atau nukleotida per-gen diukur sebagai jarak genetik.
Ada berbagai data molekuler yang bisa digunakan untuk mengukur jarak genetik
seperti misalnya urutan asam amino atau nukleotida(Nei, 1987). Persentase jarak
genetik dapat diestimasi dengan menggunakan MEGA7. Dari persentase jarak
genetik kita dapat mengetahui persentase identity yaitu persentase kesamaan
susunan nukleotida. Misalnya jika jarak genetiknya sebesar 10% maka persentase
kesamaanya (% identity) adalah 90%. Semakin kecil jarak genetik atau semakin
besar persentase identity berarti hubungan antar sekuen adalah semakin dekat
(Harrison and Langdale, 2006).
2.1.7 Mutasi
Saat dilakukan penjajaran (alignment) pada sekuen nukleotida sering
ditemukan variasi atau perubahan dalam susunan nukleotida yang sering dikenal
dengan istilah mutasi. Mutasi merupakan perubahan materi genetik (gen atau
kromosom) yang dapat diwariskan ke keturunan berikutnya. Mutasi pada virus
RNA lebih sering terjadi dibandingkan virus DNA. Begitu pula virus yang untai
tunggal juga lebih mudah mutasi dibandingkan yang untai ganda. Mutasi dapat
terjadi karena a) terjadi kesalahan replikasi materi genetik;b) kesalahan editing
(proofreading) dari material genetik; ataupun c) kerusakan asam nukleat yang
spontan (Sanjuan and Domingo-Calap, 2016).
23
Jenis mutasi secara garis besar ada dua jenis. Pertama, mutasi titik (point
mutation) yang berupa perubahan pada satu atau beberapa basa karena adanya
penggantian, penyisipan, ataupun penambahan basa yang berefek pada fungsi dari
suatu gen tunggal (single gen). Mutasi tipe ini ada empat jenis yaitu 1) silent
mutation yaitu tidak menyebabkan terjadinya perubahan pada asam amino karena
satu asam amino bisa saja dikode adalah beberapa kodon; 2) missense mutation
yang menyebabkan satu buah asam amino berubah; 3)nonsense mutation adalah
jika suatu asam amino diganti oleh stop codon yang mengakibatkan terjadinya
terminasi translasi dini; dan 4)frameshift mutation yaitu mutasi yang
menyebabkan terjadinya perubahan reading frame sehingga menghasilkan asam
amino yang salah dan biasanya diikuti dengan stop codon. Kedua, mutasi
kromosom yaitu mutasi yang melibatkan perubahan struktur atau jumlah
kromosom yang berefek pada fungsi beberapa gen sehingga terjadi perubahan
fenotipik. Mutasi kromosom ini dapat berupa deletion, insertion, ataupun terjadi
pertukaran segmen DNA antar kromosom yang nonhomolog (Lodishet al, 2000).
2.2 Nyamuk Culexspp.
Nyamuk genus Culex termasuk ke dalam Kingdom Animalia, Phylum
Arthropoda, Kelas Insecta, Order Diptera, dan Famili Culicidae.
2.2.1 Morfologi dan bionomik
Morfologi umum nyamuk genus Culexdewasa memiliki ciri khas sebagai
berikut: nyamuk berukuran kecil sampai sedang, dengan panjang sayap kurang
24
dari 4 mm (Gambar 2.8). Perbandingan panjang antara proboscis dengan palpi 1:4
atau 1:5, abdomen tumpul, cerci tidak menonjol, memiliki pulvili, dan skutelum
dengan tiga lobus. Tidak memiliki bulu kasar (setae) pada mesepimeron bawah
(jika ada hanya berupa 1 atau 2 bulu), tidak ada bulu kasar pada area prespirakular
dan postspirakular, sisik putih pada sternopleuron dan mesepimeron, dan sisik
pada sayap simetris dan sempit (Depkes RI, 2008).
Gambar 2.8
Morfologi khas nyamuk Genus Culex dewasa, 4)Cakar (claws) pada kaki depan
(fore-leg) simpel (jantan bergigi); 5)Terdapat pulvilli besar dekat cakar (betina);
6)Sisik pada sayap tidak lebar; tanpa ada warna keperakkan, dan memiliki skuama
kecil; 7) Tidak ada setae (bulu kasar) pada area prespiracular dan postspiracular;
8) Skutelum berlobus tiga dengan setae; 9) Nyamuk betina memiliki palpi
pendek; 10)Nyamuk jantan memiliki palpi panjang dan antenna dengan rambut
lebat; 11) Larva pada posisi bernafas, (Smart, 1948).
25
Terdapat 42 spesies nyamuk Culexspp. di Asia Tenggara, 16 spesies di
antaranya penting dalam penularan penyakit, dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Nyamuk Culex yang ditemukan di Indonesia sesuai dengan kunci identifikasi
nyamuk Culex Depkes RI Dit.Jen. PPdan PL 2008, yang dibagi menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama, pipiens group yang ditandai dengan proboscis
tanpa gelang putih, pada mesepimeron bawah terdapat 1-2 bulu kasar (setae).
Contoh pipiens group adalah Cx. fuscocephala, Cx. hutchinsoni, danCx.
quinquefasciatus. Kedua, sitiens group,ditandai dengan proboscis dengan gelang
putih, mesepimeron tanpa bulu kasar. Contoh: Cx. bitaeniorhynchus, Cx
pseudosinensis, Cx. gelidus, Cx. whitmorei, Cx. diengensis, Cx. solitaries, Cx.
mimulus, Cx. tritaeniorhynchus, Cx. pseudovishnui, Cx. vishnui, dan Cx. sitiens
(Depkes, 2008).
Tabel 2.1
Distribusi Culexspp. yang sering ditemui di Asia Tenggara (Reuben et al., 1994)
26
Berikut ciri khas beberapa nyamuk Culex spp.yang sering ditemukan di
Asia Tenggara termasuk di Indonesia:
1. Cx. fuscocephala Theobald.
a. Morfologi
Proboscis tanpa gelang putih dan tergit abdomen semuanya berwarna gelap
tanpa gelang putih. Spesies ini mirip dengan Cx. quinquefasciatus karena
sama-sama tidak memiliki gelang putih pada proboscis. Pada pleuron ada
warna pucat dan gelap. Sayap homogen tidak bernoda dan tidak ada sisik
putih, sisik sayap sempit, dan simetris (Depkes, 2008). Morfologi Cx.
fuscocephala dapat dilihat pada Gambar 2.9.
b. Bionomik
Nyamuk ini suka menghisap darah manusia dan hewan mamalia lain seperti
babi, kuda, dan sapi. Berkembang biak di sawah dan genangan air yang
dasarnya tanah.
c. Vektor
Merupakan vektor virus JE, di samping juga merupakan vektor limfatik
filariasis.
A B
C
D
E
27
Gambar 2.9
Morfologi nyamuk dewasa Cx. fuscocephala Theobald, A. Proboscis tidak
memiliki gelang putih, B. Skutum coklat muda, C. Sayap homogen tidak ada
sisik putih, D. warna pucat dan gelap pada pleuron, E. tergit hitam tanpa
gelang basal dan apikal, (Gaffigan et al., 1999; Depkes, 2008)
2. Cx. quinquefasciatus
a. Morfologi
Dikenal juga dengan namaCx pipiens fatigans. Morfologi berupa proboscis
tanpa gelang putih dan tergit abdomen dengan gelang basal sempit yang
berwarna pucat. Integumen dari pleuron berwarna pucat merata. Sayap
homogen tidak bernoda tanpa adanya sisik putih, sisik sempit, dan simetris
(Depkes, 2008). Morfologi nyamuk Cx qunquefasciatus dapat dilihat pada
Gambar 2.10.
b. Bionomik
Nyamuk banyak ditemukan di daerah tropis di Asia dan Afrika. Merupakan
nyamuk domestik yaitu nyamuk yang berada di sekitar perumahan. Nyamuk
ini tidak mengalami reproduktif diapauses dan telurnya tidak tahan terhadap
kekeringan. Habitat larva terutama pada kontainer artifisial, selokan, sumur
yang dangkal, buangan air limbah organik, dan kolam. Beberapa juga terdapat
28
di alam bebas seperti di lubang pohon, lubang batu karang, dan tepi sungai.
Nyamuk ini dapat ditemukan di daerah subtropik sepanjang musim bahkan
pada musim dingin, namun kepadatan nyamuk paling tinggi terjadi pada
musim panas. Larva ditemukanterutama pada tempat yang terdapat genangan
air yang polutan seperti di perkotaan yang saluran air limbahnya sering tidak
lancar. Pada daerah tropis kepadatan nyamuk tertinggi terjadi pada akhir
musim kemarau yaitu pada bulan Agustus dan pada awal musim hujan di
bulan Oktober dan November, serta terendah pada bulan Desember. Sepanjang
masih ada genangan air maka akan menjadi habitat yang cocok untuk Cx.
quinquefasciatus. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada bulan Desember
saat puncak musim hujan (Ramadhani et al., 2010; Grechet al., 2013).
Cx. quinquefasciatus melakukan mating dan meletakkan telur pada senja
hari dan menghisap darah pada malam hari dengan puncaknya pada pukul
20.00-02.00 (Savage et al., 2008). Bersifat antrofofilik (suka menghisap darah
manusia), namun tidak menutup kemungkinan juga dapat menggigit ternak
yang ada seperti sapi dan babi (Reuben et.al., 1994).
A
B
C
29
Gambar. 2.10
Morfologi nyamuk dewasa Cx. quinquefasciatus, A. Proboscis tanpa
gelang putih, B. Gelang basal tergit sempit, C. Sayap tanpa sisik putih
(Gaffigan et al., 1999;Depkes, 2008)
c. Vektor
Isolasi virus JE pada nyamuk Cx. quinquefasciatus pertama kali dilaporkan di
Vietnam, dan juga dilaporkan pernah ditemukan di Thailand, dan Indonesia.
Walaupun demikian nyamuk ini dikatakan merupakan vektor yang lemah dan
tidak berperan penting dalam penularan penyakit (Nitatpattana et al., 2005).
Cx. quinquefasciatus merupakan vektor berbagai virus seperti Avipoxvirus,
bluetongue virus, JE,Venezuelan equine encephalitis virus, West Nile, dan
Western equine encephalitis virus(Bhattacharyaet al.,2016).
3. Cx. gelidus Theobald
a. Morfologi
Tergit abdomen selalu dengan gelang basal putih, jarang tanpa gelang
namun tidak memiliki gelang apikal, dan tanpa bercak. Skutum tertutup sisik
keperakkan yang lebat setidaknya di bagian anterior sampai preskutelar. Sisik
putih pada skutum berakhir di pangkal sayap, gelang basal abdomen mencapai
30
tepi tergit sering dengan bentuk V ke arah posterior. Sisik sayap sempit,
simetris, dan tidak bernoda (Depkes, 2008). Tidak terdapat sisik putih pada
foreleg dan midleg yang membedakannya dengan Cx. whitmori. Morfologi
dapat dilihat pada Gambar 2.11.
b. Bionomik
Larva ditemukan pada genangan air di tanah yang sementara atau tetap
seperti kolam, sungai kecil, dan sawah. Sawah yang luas seperti yang lazim
dijumpai di daerah Asia Tenggara, berhubungan erat dengan peningkatan
populasi nyamuk. Larva juga dapat ditemukan pada penampung air buatan
seperti tangki air dan gentong maupun pada air yang kotor dengan kandungan
bahan organik yang tinggi, seperti rawa-rawa dan selokan (Sudeep, 2014).
A B
C D
E F
G
31
Gambar 2.11
Morfologi nyamuk dewasa Cx. gelidus, A. Proboscis dengan gelang putih, B.
Skutum perak, C. Pleuron pucat, tidak memiliki setae, D. Warna perak pada
skutum sampai pangkal sayap, E. Sayap tidak bernoda, F. Gelang basal
sampai ke tepi tergit (bentuk ―V‖), G. Tidak terdapat sisik putih pada foreleg
dan midleg(Gaffigan et al., 1999; Depkes, 2008)
Nyamuk betina lebih memilih menghisap darah hewan mamalia yang
besar seperti sapi dan babi dibandingkan manusia. Nyamuk ini juga menggigit
ternak seperti kambing, biri-biri, ayam, dan burung liar. Namun demikian
dengan ketiadaan hewan, nyamuk juga bisa menggigit manusia. Nyamuk akan
keluar mencari mangsa dalam kelompok yang besar saat hari mulai gelap.
Menggigit sepanjang malam dengan puncaknya pada pukul 03.00-06.00 pagi.
Kemampuan larva hidup di air jernih maupun kotor dan dengan rentang
mangsa yang luas menyebabkan nyamuk ini sangat berpotensi sebagai vektor
penyakit yang baik (Sudeep, 2014).
C. Vektor
Cx. gelidus adalah vektor utama JE di Malaysia dan Australia. Virus lain
yang dapat ditularkan adalah dari family Togaviridae, Flaviviridae,
Rhabdiviridae, dan Bunyaviridae. Beberapa virus yang berhasil diisolasi dari
lapangan seperti Virus Getah, Ross River, Sindbis, dan Tembusu. Dari
penelitian eksperimental diperoleh bahwa nyamuk Cx. gelidus kompeten
menularkan virus West Nile, Kunjin, dan Murray Valey Encephalitis dengan
rerata infeksi dan penularan mencapai 50%-80% (Sudeep, 2014).
4. Cx. sitiens Wiedemann
32
a. Morfologi
Nyamuk berukuran agak besar danproboscis dengan gelang putih. Tergit
abdomen memiliki gelang basal putih, jarang tanpa gelang namun tidak
memiliki gelang apikal, dan tanpa bercak. Skutum tertutup sisik coklat merata
atau dengan beberapa sisik kuning atau keemasan. Sayap tanpa noda berupa
sisik putih yang jelas. Vertek dengan sisik berwarna coklat tua merata, occiput
dengan sisik coklat tua, dan beberapa sisik yang berwarna hampir hitam pada
posterolateral. Permukaan anterior femur (paha) kaki tengah memiliki bercak
berupa sisik coklat dan putih, tibia kaki tengah, dan kaki belakang dengan
sisik pucat mirip pita (Depkes, 2008). Morfologi Cx. sitiens dapat dilihat pada
Gambar 2.12.
B
A B
C D
E
33
Gambar 2.12.
Morfologi nyamuk dewasa Cx. sitiens, A. Proboscis gelang putih, B. Sisik pada
sternopleuron dan mesipemeron, C. Skutum dengan sisik kuning/ emas, D. Tergit
dengan gelang apikal dan basal, E. Bercak putih pada femur anterior
midleg(Gaffigan et al., 1999; Depkes, 2008)
b. Bionomik
Cx. sitiens adalah nyamuk yang hidup di pesisir/pantai dan larva menyukai
genangan air yang mengandung sampah, genangan air payau yang terkena
sinar matahari langsung, sumur, selokan, tanaman bakau, dan pada kontainer
artifisial manusia. Menggigit pada malam hari baik di dalam rumah maupun di
luar rumah dengan puncak menggigit pada pukul 19.00-20.00. Nyamuk betina
terutama menggigit burung, babi, sapi, domba, kuda, unggas, serta manusia.
Nyamuk ini beristirahat di luar rumah pada siang hari dan dapat terbang
sampai mencapai 35 km (Prummongkol et al., 2012).
c. Vektor
Cx. sitiens adalah vektor dari virus JE, Ross River Virus, dan Kunjin
(Sucharit et.al, 1989).
5. Cx. tritaeniorhynchus
a. Morfologi
Nyamuk berukuran kecil, proboscis dengan gelang putih. Tergit abdomen
selalu dengan gelang basal putih, tidak ada gelang apikal, dan tanpa bercak.
Skutum tertutup sisik tegak coklat merata atau dengan beberapa sisik kuning
34
keemasan. Sayap tanpa noda berupa sisik putih yang jelas berwarna hitam,
kecoklatan, seperti yang terlihat pada Gambar 2.13 (Depkes, 2008).
b. Bionomik
Larva ditemukan pada genangan air permanen dan sementara yang banyak
mengandung tumbuhan dan terkena sinar matahari seperti sawah, kolam,
rawa-rawa, dan tepi sungai yang alirannya tidak deras. Nyamuk ini beristirahat
di luar rumah (outdoor) dan menggigit pada malam hari yaitu pada puncaknya
pukul 21.00-02.30. Nyamuk betina suka menghisap darah ternak seperti sapi,
babi, unggas, dan juga manusia (Lee et al., 1989; Das et al., 2004).
A
C
D
E
B
D
35
Gambar 2.13.
Morfologi nyamuk dewasa Cx. tritaeniorhynchus, A. Proboscis gelang putih,
terdapat bercak putih ventral proboscis, B. Sisik vertek (erect scale) berwarna
coklat tua, C. Skutum berwarna coklat/kuning, D. Tergit memiliki gelang
basal yang sempit, E. Sayap tanpa noda (Gaffigan et al., 1999; Depkes, 2008).
6. Cx. bitaeniorhynchus subgroup
a. Morfologi
Nyamuk ini merupakan kelompok sitiens yang ditandai dengan proboscis
gelap dengan gelang putih. Nyamuk ini berukuran besar dengan ukuran sayap
3,8-5,2 mm, pada2/3 anterior skutum tertutup sisik berwarna krem pucat,
kuning, emas, atau coklat tua yang kontras dengan1/3 posterior skutum, pada
abdominal tergit terdapat apikal berwarna kuning atau pucat. Sayap dengan
sisik pucat tersebar di antara sisik gelap, terutama pada costa dan subcosta,
skutum tidak memiliki sisik keperakkan. Tergit abdomen dengan gelang pucat
apikal yang bagian atasnya mirip segitiga dan gelang basal atau bagian ujung
abdomen tertutup oleh sisik pucat (Depkes, 2008).Morfologi nyamuk ini dapat
dilihat pada Gambar 2.14.
b. Vektor
Nyamuk Cx. bitaeniorhynchus merupakan vektor virus Murray Valley
Encephalitis di Australia serta virus Batai dan JE di India. Nyamuk ini
menghisap darah burung, babi, dan juga manusia (Reuben et al., 1994)
A B
36
Gambar 2.14
Morfologi nyamuk dewasa Cx.bitaeniorhynchus, A. Proboscis gelang putih,
B. Tidak ada setae pada mesipemeron bawah, C. Skutum coklat, D. Sayap
memiliki sisik pucat yang jelas (Gaffigan et al., 1999; Depkes, 2008).
.
7. Cx. vishnui
a. Morfologi
Proboscis gelang putih, skutelum gelap, sayap tidak bernoda dan vertek
coklat tua, Femur kaki tengah anterior gelap sedangkan ventralnya pucat
(Depkes, 2008).Morfologi nyamuk ini dapat dilihat pada Gambar 2.15.
C D
E
A
C
C
D
C
A B
37
Gambar 2.15
Morfologi nyamuk dewasa Cx. vishnui, A. Proboscis gelang putih, sisik pada
vertex coklat tua dengan sisik hitam pada occiput posterolateral, B. Skutum
coklat/kuning, C. Femur tanpa bercak putih, D. Sayap memiliki sisik putih
(Gaffigan et al., 1999; Depkes, 2008).
b. Bionomik
Larva biasanya ditemukan pada genangan air di tanah seperti kolam,
selokan, jejak hewan yang tergenang air, sawah, dan genangan air lain yang
banyak mengandung tumbuhan. Nyamuk betina menggigit ternak terutama
babi, burung, dan manusia (Murty et al., 2002).
c. Vektor
Nyamuk Cx. vishnui memegang peranan penting dalan penularan virus JE
di India. Terdapat korelasi yang signifikan antara kepadatan nyamuk ini
dengan kejadian JE di India (Murty et al., 2002).
2.2.2 Siklus penularan antara nyamuk, flavivirus, danvertebrata
Siklus penularan flavivirus antara nyamuk dan vertebrata ada 3 jenis yaitu
1) siklus enzootik; 2) siklus epizootik; dan 3) siklus urban. Siklus enzootik disebut
juga siklus silvatik atau siklus hutan (jungle cycle). Penularan virus secara alami
antara hewan liar (vertebrata) dengan vektor primer yaitu nyamuk sebagai tempat
replikasi flavivirus. Vertebrata dalam hal ini berperan sebagai reservoir yaitu
D
D
38
hospes yang mengandung virus namun tidak menyebabkan penyakit pada hospes.
Oleh karena itu hospes reservoir adalah hospes primer dari virus yang bisa
terinfeksi berulang kali selama hidupnya (Go et al., 2014).
Siklus epizootik (rural cycle) adalah virus yang ditularkan di antara hewan
domestik atau ternak oleh nyamuk sebagai vektor. Hal ini akan menyebabkan
terjadinya wabah epidemik karena hewan tersebut berperan sebagai hospes
amplifying yaitu hospes tempat virus diamplifikasi/diperbanyak sehingga titernya
menjadi tinggi dan mudah ditularkan ke manusia seperti virus JE dengan hospes
amplifying adalah babi. Manusia dalam hal ini berperan sebagai dead-end host
yaitu hospes yang viremianya sangat rendah akibat tidak terjadinya amplifikasi
virus pada manusia sehingga tidak dapat menularkan ke nyamuk sebagai vector
penular ke manusia yang lain (Go et al., 2014).
Gambar 2.16
Siklus penularan antara vertebrata dan vektor arthropod (Go et al., 2014).
2.2.3 Patogenesis virus di dalam tubuh nyamuk
39
Masuknya patogen ke dalam tubuh nyamuk terjadi saat nyamuk
menghisap darah. Nyamuk memiliki mekanisme antihemostatikyang terdapat
pada salivanya untuk memastikan aliran darah tanpa hambatanuntuk mencegah
kehilangan darah (blood loss). Setelah darah dihisap patogen melewati faring.
Patogen yang berukuran besar dapat rusak ketika melewati faring, namun tidak
mempengaruhi patogen kecil seperti plasmodium ataupun arbovirus (Beerntsen et
al., 2000).
Kelenjar ludah memiliki mekanisme antihemostatik yaitu ketika nyamuk
menusukkan proboscis ke dalam kulit maka akan terjadi reaksi vasokonstriksi,
agregasi platelet, dan proses koagulasi. Namun proses ini dapat dihambat oleh
komponen antihemostatik yang mengandung apirase, sialokinin, dan
antikoagulan. Apirase berperan mencegah agregasi platelet, sialokinin berperan
dalam vasodilatasi, dan thrombin inhibitor berperan dalam mencegah koagulasi.
Semua hal tersebut membuat darah yang dihisap tidak membeku dan mulut
terbebas dari bekuan darah (Beerntsen et al., 2000).
Patogen termasuk virus, harus melewati 3 kompartemen di dalam tubuh
nyamuk yaitu midgut, hemosel, dan kelenjar saliva. Setiap kompartemen dibatasi
oleh penghalang (barrier) fisikal dan fisiologikal. Midgut infection barrier (MIB)
harus dilalui agar dapat masuk ke midgut dan melewati midgut escape barrier
(MEB) agar dapat keluar dari midgut(Lambrechts et al, 2010).Perjalanan patogen
selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 2.17.
Midgut merupakan lingkungan yang membahayakan untuk patogen
termasuk virus.Darah yang termakan berbeda dari darah yang beredar dalam
40
tubuh nyamuk yang merupakan organism homoiterm. Saat suhu dan pH berubah
tiba-tiba di dalam midgut, maka enzim proteolitik memulai proses pencernaan
darahdi dalam lumen.Setelah terlepas dari midgut, virus akan menyebar ke seluruh
bagian tubuh nyamuk melalui hemosel. Untuk dapat menuju kelenjar saliva maka
virus harus dapat melewati saliva infection barrier (SIB) dan terakhir virus harus
dapat melewati saliva escape barrier (SEB) untuk dapat ditransmisikan keluar
saat nyamuk menusukkan proboscis ke hospes vertebrata yang lain saat
menghisap darah. Waktu yang diperlukan dari virus termakan bersama darah
sampai mencapai saliva yang sering disebut dengan istilah extrinsic incubation
period (EIP) memerlukan waktu kurang lebih 2 minggu (Leake and Johnson,
1987; Walker et al., 2014).
Kompetensi vektor dapat diteliti dengan caranyamuk diberikan darah yang
telah mengandung patogen (virus) lalu dinilai perkembangan virus di dalam tubuh
manusia. Keberadaan virus di dalam tubuh nyamuk yang persisten tanpa
menimbulkan efek patologi dalam jangka waktu yang lama menyebabkan nyamuk
dapat menularkan virus sepanjang hidupnya. Terjadi mekanisme keseimbangan
antara replikasi virus dan respon antivirus dari nyamuk sehingga infeksi menjadi
terkontrol. Virus tidak tereliminasi dan tidak bersifat letal bagi nyamuk (Salas-
Benito and De Nova-Ocampo, 2015).
41
Gambar 2.17
Perjalanan patogen di dalam tubuh nyamuk. Situs perkembangan dalam nyamuk
didefinisikan oleh huruf A sampai H, dan migrasi rute diwakili oleh garis. Setelah
menelan darah (A), semua patogen memasuki midgut (B). Virus kemudian masuk
ke sel epitel usus tengah (D keluar dari sel, dan perjalanan melalui hemolymph
penuh hemocoel (E) ke kelenjar liur (H), tempat terjadinya replikasi dan siap
ditularkan (Beerntsen et al., 2000).
2.2.4 Nyamuk Culex sebagai vektor flavivirus
Nyamuk Culexspp. adalah vektor dari berbagai spesies flavivirus baik
yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia yang disebut MBFV ataupun
yang hanya spesifik berada dalam tubuh serangga yang disebut ISF. Baik MBFV
maupun ISF sama-sama membutuhkan nyamuk untuk melakukan replikasi
sehingga siap ditularkan.
Terdapat banyak flavivirusMBFV yang berhasil diisolasi dari nyamuk
Culex seperti virus JE, West Nile, Saint Louis Encephalitis, dan Murray Valey
Encephalitis, namun dua diantaranya yaitu virus JE dan West Nile ditemukan di
Indonesia. Penyakit JE dilaporkan bersifat endemis di Bali dan Sumatera Utara
(Kari et al., 2006) serta virus West Nile pernah dilaporkan ditemukan pada sampel
42
darah pasien demam pada suatu penelitian mengenai penyebab demam akut pada
pasien yang dirawat di rumah sakit di daerah Bandung, Jawa Barat (Myint et al.,
2014).
Spesies nyamuk Culex yang berperan sebagai vektor virus JE adalah Cx.
vishnui, Cx. fuscocephala (India); Cx. annullirostris, Cx. gelidus (Australia); Cx.
pipiens, Cx gelidus, Cx. vishnui, Cx. bitaeniorchynchus (Vietnam); Cx.
fuscocephala, Cx. annulus, dan Cx. quinquefasciatus (di Indonesia dan Thailand);
Cx. gelidus, Cx. quinquefasciatus (Myanmar); dan Cx. pipiens complex (Tunisia)
(Rosen et al., 1989; Tan et al., 1993;Reuben et al., 1994; Hurk et al.,
2003;Lindahl et al., 2012).
Berdasarkan hasil survei WHO bekerja sama dengan UNICEF pada tahun
2011-2012 terdapat 24 negara yang endemis JE termasuk di antaranya Indonesia,
Malaysia, Thailand, Vietnam, Jepang, Korea, dan Cina. Kasus JE di negara
tersebut kemudian menurun tajam karena adanya program vaksinasi masal yang
rutin. Indonesia tidak melaksanakan program vaksinasi dan tidak memiliki
dokumentasi insiden JE yang adekuat. Adanya keterbatasan teknologi survei serta
tidak adanya prioritas kebijakan pemerintah setempat dalam penanggulangan
penyakit JE menyebabkan angka kejadian JE yang sebenarnya di Indonesia
diperkirakan lebih tinggi daripada jumlah yang dilaporkan (Campbell et al.,
2011).
Kasus JE yang pernah dilaporkan di Bali pernah tercatat pada tahun 2006
yaitu kasus JE pada anak yang dilaporkan di RSUP Sanglah. Kasus JE pada anak
yang dilaporkan sebesar 36%, meninggal 10%, dan mengalami gejala sisa
43
sebanyak 37% dengan insiden 8,2 per 100.000 anak usia di bawah 10 tahun.
Jumlah tersebut tertinggi dibandingkan dengan beberapa daerah lain di Indonesia
yaitu sebesar 22% di Manado dan 25% di Pontianak. Dinas Kesehatan Bali tahun
2015 menemukan kasus 17 anak yang positif JE melalui pemeriksaan IgM
ELISA. Penemuan kasus positif JE berapapun jumlahnya seharusnya ditanggapi
dengan serius karena berpotensi menimbulkan wabah yang luas karena penularan
virus JE melibatkan nyamuk dan beberapa hewan domestik yang banyak
dipelihara di Bali seperti babi dan burung sebagai hospes amplifier(Kari et al.,
2006).
2.2.5 Propagasi dan identifikasi flavivirus dari nyamuk
Virus adalah parasit obligat intrasel sehingga bergantung pada hospes
untuk kelangsungan hidupnya. Virus tidak ditumbuhkan pada media kultur mati
atau pada lempeng agar namun virus harus memerlukan sel hidup untuk
menyokong replikasinya. Untuk itulah propagasi dilakukan pada cell line dengan
media pertumbuhan yang sesuai. Virus diisolasi setelah dipropagasi dan
diidentifikasi untuk dapat dianalisis struktur, replikasi, filogenetik, dan efeknya
pada sel hospes.
2.2.5.1 Propagasi Virus
a. Teknik Propagasi Virus
Propagasi virus dapat dilakukan dengan tiga teknik seperti inokulasi pada
binatang, telur yang berembrio, dan kultur sel. Sel ditumbuhkan pada kondisi
44
yang telah terkontrol serta ditumbuhkan secara in vitro pada media pertumbuhan
yang sesuai. Pada awal pertumbuhan dipersiapkan media yang mengandung
larutan garam yang seimbang (balanced salt solution), asam amino, gula, protein,
fetal bovine serum (FBS), buffer, dan antibiotika sebelum dilakukan inokulasi sel.
Pada saat inkubasi, sel dibagi dan ditumbuhkan pada permukaan plate atau gelas
flask untuk membentuk lapisan monolayer yang konfluen(Hematian et al., 2016).
b. Cell line
Ada beberapa tipe cell line untuk kultur, yaitu pertama, sel kultur primer
yaitu berupa sel normal yang diperoleh dari sel hewan maupun manusia. Sel ini
hanya mampu tumbuh dalam waktu yang terbatas dan tidak dapat dipertahankan
pada beberapa serial kultur. Sel kultur ini biasanya digunakan untuk isolasi primer
virus dan untuk produksi vaksin. Contoh sel kultur primer adalah sel monkey
kidney dan human amnion. Kedua, sel kultur diploid (semi continous cell line)
yaitu sel ini diploid dan mengandung kromosom dalam jumlah yang sama dengan
sel induknya dan bisa dikultur kembali sampai 50 kali dalam serial transfer.
Contoh Human embryonic lung strain dan Rhesus embryo cell strain. Ketiga,
kulturheteroploid (Continuous cell lines) yaitu berasal dari sel kanker, dapat
dikultur secara serial, dapat disimpan dalam suhu-70°C, namun tidak sesuai untuk
produksi vaksin. Contoh: HeLa (berasal dari epitel sel kanker servik), HEP-2
(berasal dari sel epitel laring), Vero (berasal dari sel ginjal monyet hijau Afrika),
BHK (Baby Hamster Kidney), dan sel C6/36(Albrecht et.al, 1996).
45
Isolasi virus dari nyamuk telah banyak dilakukan karena nyamuk vektor
berbagai virus penyebab penyakit. Ada beberapa cell line yang bisa digunakan
dalam mengisolasi virus dari nyamuk seperti sel C6/36yang berasal dari larva sel
larva nyamuk Aedes albopictus, BHK, dan vero (G. Kuno, Gubler, Velez, and
Oliver, 1985). Dalam mengisolasi flavivirus pada nyamuk sebaiknya
menggunakan sel C6/36 terlebih dahulu sebelum menggunakan sel mamalia lain
seperti sel BHK dan vero. Hal ini disebabkan karenahanya virus yang tumbuh di
nyamuk saja yang bisa tumbuh pada sel C6/36 sehingga aman bagi peneliti.
Berbeda halnya dengan menggunakan sel mamalia seperti sel BHK dan vero,
maka berbagai virus yang sangat berbahaya akan juga ikut terpropagasi mengingat
darah yang dihisap nyamuk dapat mengandung berbagai jenis patogen berbahaya
yang saat itu belum sempat dimetabolisme oleh nyamuk.
Terdapat lebih dari 500 jenis cell line yang berasal dari serangga seperti
dari kelas Diptera, Lepidoptera, dan Hemiptera. Cell line yang berasal dari
nyamuk yang sering digunakan untuk mengisolasi virus padanyamuk adalah sel
C6/36 yang berasal dari Ae. albopictus, AP-61 dari Ae. Pseudoscutellaris, dan
TRA-284 dari genus Toxorhynchites (Walker et al., 2014).
46
Gambar 2.18
Sel C6/36 (ATCC, 2005)
Nyamuk Ae. albopictus adalah vektor kompeten dari berbagai Arbovirus
termasuk Dengue, Chikungunya, dan Eastern Equine Encephalitis Virus. Cell line
pertama pada tahun 1960 yang berasal dari larva Ae. albopictus adalah C6/36
ATC- 15 cell line (Gambar 2.18). Sampai saat inisel C6/36 telah banyak
digunakan untuk meneliti arbovirus pada nyamuk (Walker et al., 2014).
Sel C6/36 terbukti sesuai untuk pertumbuhan arbovirus karena respon
fungsional RNAi (Ribonucleic acid Interferance) yang kurang sehingga
dipergunakan luas untuk mengisolasi arbovirus (Brackney et al., 2010). Serangga
memiliki mekanisme alternatif imunitas alami (innate) yang sering dikenal dengan
RNAi yang mengatur mekanisme kontrol virus. RNAi adalah RNA untai ganda
yang berperan sebagai perantara replikasi virus dan pengenalan sekuen khusus
pada RNA untai tunggal yang didegradasi oleh protein sitoplasma komplek (Blair,
2011).
47
Tingginya sensitivitas dari klon C6/36 dari sel Ae. albopictus telah banyak
dilaporkan dari berbagai penelitian survei virus Dengue. Penggunaan sel ini
sederhana dan metodenya cepat dalam mengisolasi dan identifikasi virus yang
digunakan bersama dengan monoclonal antibodies sehingga pemeriksaan menjadi
lebih efektif dan ekonomis (Gubler, 1984).
Media pertumbuhan yang digunakan untuk kultur sel C6/36 adalah
Eagle’s minimum essential medium (MEM), M199, Roswell Park Memorial
Institute (RPMI 1640), atau Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM) yang
disuplementasi dengan 10% heat inactivated fetal bovine serum (FBS), 1% asam
amino esensial, 1% penicillin dan streptomycin 100 U/ml, dan 1% Glutamin. Sel
dipropagasi dan dipelihara pada inkubator dengan suhu 28oC dengan 5% CO2.
Untuk pemeliharaan sel, media yang diperlukan sama seperti dengan media
pertumbuhan hanya saja memerlukan FBS 2%. Penggantian media dapat
dilakukan dua kali seminggu. Apabila sel akan disimpan maka dilakukan
penyimpanan beku (cryopreservation) dengan media freezing berupa media kulur
95% dan Dimethyl sulfoxide (DMSO) 5% lalu disimpan dalam nitrogen
likuid(Nitatpattana et al., 2005; Teng et al., 2013).
Penggunaan cell line mamalia seperti BHK dan vero digunakan setelah
virus dipropagasi pada sel C6/36. Apabila terbentuk CPE pada sel C6/36, barulah
dikultur pada sel mamalia untuk membuktikan lebih lanjut apakah virus tersebut
dapat bereplikasi pada sel mamalia. Jika CPE terbentuk pada sel mamalia maka
virus tersebut termasuk ke dalam MBFVyang berpotensi menimbulkan masalah
48
kesehatan bagi manusia. Namun jika CPE tidak terbentuk pada sel mamalia maka
flavivirus kemungkinan besar masuk kedalam kelompok ISF.
2.2.5.2 Cytophatic effects (CPE)
Cytopathic effect (CPE) adalah perubahan morfologi sel hospes akibat
adanya infeksi virus (Albrecht et al., 1996; Suchman and Blair, 2007). Virus yang
menyebabkan CPE dikatakan bersifat cytopathogenic. Beberapa virus dapat
mengakibatkan CPE yang berat dan beberapa virus lainnya tidak menimbulkan
CPE sama sekali. Sebagian besar CPE dapat dilihat langsung dibawah mikroskop
tanpa perlu dilakukan pengecatan dengan menggunakan lensa 10X obyektif, 10X
okular (magnifikasi 100X) dengan menurunkan kondensor dan diafragma
setengah tertutup untuk memperoleh kontras yang bagus untuk melihat sel yang
translucent. Beberapa tipe CPE dapat diamati pada sel kultur, namun untuk
melihat manifestasi infeksi virus seperti inclusion bodies terkadang diperlukan
pengecatan sel pada kultur (Suchman and Blair, 2007).
Karakteristik CPE sebaiknya diobservasi setiap hari pada kultur dengan tetap
menyertakan sel kontrol yang tidak terinfeksi untuk dapat membedakan perubahan
sel yang normal dengan sel yang mengalami CPE. Waktu munculnya CPE juga
dapat digunakan dalam membantu identifikasi virus. Umumnya CPE dikatakan
lambat jika muncul setelah hari ke-4 atau 5 dan dikatakan cepat jika muncul pada
hari ke-1 atau 2 pada kultur yang diinokulasi dengan titer virus yang rendah. Jika
titer virus yang diinokulasi tinggi maka semua CPE akan muncul dalam waktu
49
yang singkat. Flavivirus termasuk ke dalam virus dengan onset CPE lambat,
karena sering muncul setelah hari ke-enam inokulasi (Suchman and Blair, 2007).
Secara umum terdapat tujuh tipe CPE yaitu:
1. Destruksi total
Destruksi total dari sel monolayer adalah merupakan bentuk CPE yang
paling berat. Semua sel tampak opaque (piknosis), tenggelam, dan terlepas dari
plate atau flaskkultur dalam waktu 24-72 jam. Contohnya adalah virus entero
(Suchman and Blair, 2007).
2. Destruksi subtotal
Terjadi perlepasan atau matinya sebagian sel. Contoh beberapa virus toga
(alphavirus), virus picorna, dan virus paramyxo (Suchman and Blair, 2007).
3. Degenerasi fokal
Terbentuk fokal infeksi yang terlokalisasi akibat adanya transfer virus
antar satu sel ke sel yang lain. Tidak terjadi difusi media ekstraseluler. Sel yang
terinfeksi pada awalnya membesar, bentuknya menjadi bulat, refraktil sehingga
mudah terlihat, lalu terlepas dan meninggalkan area jernih yang dikelilingi oleh
sel yang membulat di sekitarnya sesuai dengan penyebaran infeksi yang
terkonsentrikal. Pada akhirnya seluruh monolayer mungkin terkena. Sitoplasma
yang memanjang dan tipis mungkin tampak, begitu pula fusi sel. Pengamatan
CPE fokal atau total dapat dilihat menggunakan pembesaran 4x obyektif
(magnifikasi 400x) (Suchman and Blair, 2007).