BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

12
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana Kridalaksana (2008: 259) berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensklopedia) paragraf, kalimat, dan kata, yang membawa amanat yang lengkap. Selanjutnya, Chaer (1994: 267) menjelaskan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap sehingga merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dikatakan lengkap karena memiliki konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang dapat dipahami pendengar atau pembaca tanpa keraguan. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan wacana lainnya (kohesi dan koherensi). Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa wacana adalah suatu kesatuan bahasa baik lisan maupun tulisan, yang mempunyai hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya dalam wacana, yang membentuk keserasian makna. Analisis wacana adalah ilmu bahasa yang mengkaji tentang wacana. Dengan demikian dalam analisis wacana, ditelaah teks dan konteks yang terdapat dalam wacana tersebut. Berdasarkan media yang digunakan, wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu wacana lisan (spoken) dan wacana tulis (written). Wacana lisan terjadi secara langsung antara pengirim pesan dan penerima pesan. Contoh wacana lisan adalah percakapan, kuliah, kotbah dan ceramah. Sementara itu, wacana tulis terjadi

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Analisis Wacana

Kridalaksana (2008: 259) berpendapat bahwa wacana adalah satuan bahasa

terlengkap, dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar dalam bentuk karangan

yang utuh (novel, buku, seri ensklopedia) paragraf, kalimat, dan kata, yang

membawa amanat yang lengkap. Selanjutnya, Chaer (1994: 267) menjelaskan

bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap sehingga merupakan

satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dikatakan lengkap karena

memiliki konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh yang dapat dipahami

pendengar atau pembaca tanpa keraguan. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar

karena dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan

persyaratan wacana lainnya (kohesi dan koherensi).

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, dapat dikatakan bahwa wacana

adalah suatu kesatuan bahasa baik lisan maupun tulisan, yang mempunyai

hubungan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya dalam wacana, yang

membentuk keserasian makna. Analisis wacana adalah ilmu bahasa yang mengkaji

tentang wacana. Dengan demikian dalam analisis wacana, ditelaah teks dan konteks

yang terdapat dalam wacana tersebut.

Berdasarkan media yang digunakan, wacana dapat dibedakan menjadi dua

jenis, yaitu wacana lisan (spoken) dan wacana tulis (written). Wacana lisan terjadi

secara langsung antara pengirim pesan dan penerima pesan. Contoh wacana lisan

adalah percakapan, kuliah, kotbah dan ceramah. Sementara itu, wacana tulis terjadi

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

11

antara penulis dan pembaca melalui tulisan. Contoh wacana tulis adalah surat,

drama, puisi, essai, dan artikel.

Sumarlam (2003: 16) menyatakan bahwa berdasarkan cara dan tujuan

pemaparannya, pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam yaitu:

a. Wacana narasi yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh

persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu.

b. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan atau

menggambarkan sesuatu menurut apa adanya.

c. Wacana eksposisi yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku.

Wacana ini berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat

secara logis.

d. Wacana argumentasi yaitu wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi

dengan data-data sebagai bukti, dan bertujuan meyakinkan pembaca akan

kebenaran ide atau gagasannya.

e. Wacana persuasi yaitu wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanya

ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada

pembaca agar melakukan nasihat atau ajakan tersebut.

Sesuai dengan pemaparan di atas, analisis kohesi dan koherensi pada

penyampaian review smartphone merupakan salah satu jenis wacana deskripsi.

Review yang dimuat mengenai suatu produk smartphone secara umum bertujuan

untuk memberikan gambaran tentang kondisi dan spesifikasi yang terdapat dalam

smartphone tersebut. Hal ini bertujuan untuk memberikan penjelasan apa adanya

terkait produk smartphone tersebut tanpa ada tujuan atau menggiring opini

penonton untuk membeli produk smartphone tersebut.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

12

2.2 Kohesi dalam wacana

Mulyana (2005: 132) menyatakan bahwa dalam konteks wacana, kohesi

diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk suatu ikatan

sintaksis. Sumarlam (2003: 23) membagi kohesi menjadi dua yaitu kohesi

gramatikal dan kohesi leksikal.

2.2.1 Kohesi Gramatikal

Sumarlam (2003: 23) menyatakan bahwa kohesi gramatikal adalah

bentuk atau struktur lahir wacana. Kohesi gramatikal dibagi menjadi 4 macam

yaitu:

1) Pengacuan atau referensi

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal

yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain

(atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Berdasarkan

tempatnya, pengacuan/referensi dibedakan menjadi dua jenis yaitu

pengacuan endofora dan pengacuan eksofora. Pengacuan endofora adalah

satuan lingual yang diacu berada di dalam teks tersebut, sedangkan

pengacuan eksofora adalah satuan lingual yang diacu berada atau terdapat

di luar teks (Sumarlam, 2003: 23).

Sumarlam (2003: 24) membagi pengacuan endofora berdasarkan arah

pengacuannya menjadi dua jenis yaitu pengacuan anaforis dan kataforis.

Pengacuan anaforis yaitu pengacuan yang berupa satuan lingual tertentu

yang mengacu terhadap satuan lingual lain yang mendahuluinya atau

mengacu terhadap anteseden di sebelah kiri, atau mengacu terhadap unsur

lain yang telah disebut terdahulu. Sedangkan pengacuan kataforis yaitu

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

13

pengacuan yang berupa satuan lingual yang mengacu pada satuan lingual

lain yang mengikutinya, atau satuan lingual yang mengacu pada anteseden

di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur baru yang disebutkan kemudian.

2) Penyulihan atau subtitusi

Menurut Sumarlam (2003: 28), penyulihan/subtitusi adalah

penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan

lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Berdasarkan

satuan lingualnya, substitusi dapat dibedakan menjadi 4 yaitu, substitusi

nominal, verbal, frasal, dan klausal.

3) Pelesapan atau elipsis

Sumarlam (2003: 30) menjelaskan bahwa pelesapan atau elipsis yaitu

penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan

sebelumnnya. Satuan lingual yang dilesapkan dapat berupa kata, frasa,

klausa atau kalimat. Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain

ialah untuk menghasilkan kalimat yang efektif, mencapai nilai ekonomis

dalam pemakaian bahasa, mencapai aspek kepaduan wacana, mengaktifkan

pikirannya terhadap halhal yang tidak diungkapkan dalam suatu bahasa dan

untuk kepraktisan berbahasa yang tidak diungkapkan dalam suatu bahasa.

4) Perangkaian atau konjungsi.

Perangkaian atau yang disebut juga konjungsi adalah penghubung

unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang

dirangkaikan dapat berupa kata, frasa, klausa, dan alinea (Sumarlam, 2003:

32) pikirannya terhadap halhal yang tidak diungkapkan dalam suatu bahasa

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

14

dan untuk kepraktisan berbahasa yang tidak diungkapkan dalam suatu

bahasa.

2.2.2 Kohesi Leksikal

Menurut Sumarlam (2003: 35), kohesi leksikal merupakan hubungan

semantis antar unsur pembentuk wacana secara semantis. Untuk dapat

menghasilkan suatu wacana yang padu, kita harus memilah-milah kata yang

sesuai dengan isi wacana. Guna membentuk kepaduan wacana ini, selain

dibutuhkan pilihan kata yang serasi, juga diperlukan relasi semantik antar

satuan lingual. Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam

macam, yaitu repetisi, sinonimi, kolokasi, hiponimi, antonimi dan

ekuivalensi.

1) Repetisi (pengulangan)

Repetisi yaitu pengulangan satuan lingual yang dapat berupa bunyi,

suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi

penekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan

lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat

dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes,

anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis

(Sumarlam, 2003: 35).

2) Sinonim (padanan kata)

Sinonimi adalah nama lain untuk benda atau hal yang sama. Sinonim

adalah dua kata atau lebih yang mempunyai arti leksikal yang kurang lebih

sama (lebih kurang disini perlu karena tidak ada dua kata atau lebih yang

arti leksikalnya sama benar, atau disebut pula sinonim mutlak atau absolut).

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

15

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dua kata atau lebih yang pada

asasnya mempunyai makna yang sama, tetapi berlainan bentuk luarnya

disebut dengan sinonimi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sinonimi

adalah bentuk kebahasaan yang memiliki kesamaan makna dengan bentuk

kebahasaan yang lain.

(1) Pengulangan kata atau frasa kunci

Contoh 1:

Tujuan penulisan tidak sama dengan maksud penulisan. Tujuan penulisan

adalah perubahan tingkah laku yang kita inginkan terjadi dalam diri

pembaca setelah mereka selesai membaca tulisan kita. Misalnya, setelah

selesai membaca tulisan kita seseorang berubah dari tidak tahu sesuatu

menjadi tahu sesuatu yang kita informasikan dalam tulisan kita. Di pihak

tain, maksud penulisan adalah motivasi yang mendorong kita untuk

melakukan kegiatan menulis, baik yang timbul dari dalam diri kita sendiri

(intrinsik) maupun yang timbul oleh karena rangsangan dari luar

(ekstrinsik). Misalnya, kita menulis dengan maksud agar memperoleh

keuntungan berupa uang, popularitas, atau mengubah pandangan

masyarakat terhadap suatu nilai.

NB: Kata/frasa bercetak miring dan tebal dalam wacana di atas merupakan

contoh piranti kohesi dengan pengulangan kata/ frasa kunci.

(2) Penggunaan kata ganti yang meliputi kata ganti orang, kata ganti milik,

dan kata ganti penunjuk.

Contoh:

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

16

Atun adalah seorang pedagang sayur yang rajin. Dia tinggal di sebuah desa

kecil berama Desa Suka Menanti. Setiap pagi, Atun dan teman-temannya

pergi ke pasar untuk menjual sayuran. Sore harinya, mereka memetik

sayuran di kebun warga desa yang menjadi langganan mereka. Mereka

selalu bergembira melakukan pekerjaan itu.

NB: Kata bercetak miring dan tebal dalam wacana di atas merupakan

contoh piranti kohesi dengan menggunakan kata ganti.

(3) Penggunaan kata atau frasa transisi.

Contoh:

Penyebutan atau penamaan suatu rujukan pada umumnya menggunakan

lambang yang terdiri atas satu kata. Meskipun demikian, ada juga suatu

rujukan yang memerlukan nama yang lebih dari satu kata. Sebagai contoh,

jika kita memiliki kata "kuda", rujukannya adalah 'kuda'. Akan tetapi ,

kalau kita menyebut "kuda betina? rujukannya tetap 'kuda'. Penyebutan

dan penamaan "kuda betina” karena kita ingin membedakannya dengan

"kuda jantan”.

NB: Kata/frasa bercetak miring dan tebal pada wacana di atas

merupakan contoh piranti kohesi dengan menggunakan kata/frasa transisi

3) Antonim (lawan kata)

Antonim dapat diartikan sebagai satuan lingual yang maknanya

berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi

disebut juga oposisi makna (Sumarlam, 2003: 40).

4) Kolokasi (sanding kata)

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

17

Menurut Sumarlam (2003: 44), kolokasi atau sanding kata adalah

asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung

digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi ini biasanya

digunakan dalam bidang atau jaringan tertentu. Misalnya dalam bidang

pendidikan maka kata-kata yang digunakan haruslah kata-kata yang

berhubungan denga bidang pendidikan contohnya “guru”, “siswa”,

“kurikulum”, “bahan ajar”.

5) Hiponim (hubungan atas-bawah)

Hiponim yaitu satuan lingual bahasa seperti kata, frasa, klausa, yang

maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual bahasa

yang lain. Dalam hiponimi ini terdapat satuan lingual yang mencakup satuan

lingual yang lain yang disebut hipernim (Sumarlam, 2003: 45).

6) Ekuivalensi (kesepadanan)

Sumarlam (2003: 46) menyatakan bahwa ekuivalensi merupakan

hubungan kesepadanan antara satuan lingual bahasa tertentu dengan satuan

lingual bahasa yang lain dalam sebuah paradigma. Untuk menunjukkan

hubungan kesepadanan salah satu cara yang digunakan yaitu dengan adanya

penambahan atau afiksasi.

2.3 Koherensi dalam Wacana

Koherensi merupakan kepaduan dan kepahaman antar suatu teks. Dalam

suatu struktur wacana koherensi sangat diperlukan keberadaanya untuk menata

pertalian batin antara proposisi yang satu dengan proposisi yang lain. Keutuhan

wacana yang koheren tersebut dijelaskan oleh adanya hubungan-hubungan makna

yang terjadi antar unsur secara semantis. Mulyana (2005: 146) koherensi adalah

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

18

kepaduan dan keterikatan antar bagian secara semantis. Bagian yang saling terikat

itu akan membentuk kesatuan makna yang utuh dan lengkap (koheren). Oleh karena

itu, kohesi dan koherensi saling terkait namun tidak berarti bahwa kohesi mutlak

ada agar wacana menjadi koherensi karena kekoherensian wacana tidak selalu

menunjukkan kekohesian. Dengan perkataan lain, wacana yang koherensi belum

tentu kohesif tetapi wacana yang kohesif sudah pasti koheren. Hubungan tersebut

terkadang melalui alat kohesi dan terkadang tanpa menggunakan alat kohesi yang

berupa konjungsi.

Menurut Tarigan (1987: 110) dalam Rusminto (2015) menyatakan bahwa

kohesi memiliki tanda berupa adanya piranti koherensi atau sering juga disebut

dengan istilah sarana keutuhan wacana dari segi makna. Sarana keutuhan wacana

dari segi makna dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan sebab-akibat

b. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan alasan-alasan

c. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan sarana-hasil

d. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan sarana-tujuan

e. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan latar-kesimpulan

f. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan hasil-kegagalan

g. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan syarat-hasil

h. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan perbandingan

i. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan parafrasis

j. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan aplikatif

k. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan aditif temporal

l. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan aditif non-temporal

m. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan identifikasi

n. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan generik-spesifik

o. Sarana kepaduan wacana penanda hubungan ibarat.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

19

2.4 Konteks Wacana

Schiffrin (1994: 364) dalam Rusminto (2015: 48) menyatakan bahwa

konteks adalah sebuah dunia yang diisi orang-orang yang memproduksi tuturan-

tuturan. Orang-orang yang memiliki komunitas sosial, kebudyaan, identitas pribadi,

pengetahuan, kepercayaan, tujuan, dan keingi-nan, dan yang berinteraksi satu

dengan yang lain dalam berbagai macam situasi yang baik yang bersifat sosial

maupun budaya. Den-gan demikian, konteks tidak saja berkenaan dengan

pengetahuan, tetapi merupakan suatu rangkaian lingkungan di mana tuturan

dimunculkan dan diinterpretasikan sebagai realisasi yang didasar-kan pada aturan-

aturan yang berlaku dalarn masyarakat pemakai bahasa.

Sperber dan Wilson (1995: 15-16) dalam Rusminto (2015: 48)

mengemukakan bahwa sebuah konteks merupakan sebuah konstruksi psikologis,

sebuah perwujudan asumsi-asumsi mitra tutur tentang dunia. Sebuah konteks tidak

terbatas pada informasi tentang lingkungan fisik semata, melainkan juga tuturan-

tuturan terdahulu yang menjelaskan harapan akan masa depan, hipotesis-hipotesis

ilmiah atau keyakinan agama, ingatan-ingatan yang bersifat anekdot, asumsi

budaya secara umum, dan keyakinan akan keberadaan mental penutur. Konteks

dalam analisis wacana mengacu kepada semua faktor dan elemen nonlinguistik dan

nontekstual yang memberikan pengaruh kepada interaksi komunikasi tuturan.

Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut maka dapat dinyatakan bahwa

konteks merupakan isi atau makna yang menyertai sebuah teks, tidak hanya yang

dilisankan dan ditulis, melainkan termasuk pula kejadian-kejadian non-verbal

lainnya dan keseluruhan yang dimuat pada penyampaian secara teks ataupun lisan.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

20

2.4.1 Unsur-unsur Konteks

Pada setiap peristiwa tutur selalu terdapat unsur-unsur yang

melatarbelakangi terjadinya komunikasi antara penutur dan mitra tutur.

Unsur-unsur tersebut, yang sering juga disebut sebagai ciri-ciri konteks,

meliputi segala sesuatu yang berbeda di sekitaz penutur dan mitra tutur ketika

peristiwa tutur sedang berlangsung (Rusminto, 2015: 52).

Hymes (1974) menyatakan bahwa unsur-unsur konteks mencakup

berbagai komponen yang disebutnya dengan akronim Speaking. Akronim ini

dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Setting, yang meliputi waktu, tempat, atau kondisi fisik lain yang berbeda

di sekitar tempat terjadinya peistiwa tutur

2) Participannts, yang meliputi penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam

peristiwa tutur.

3) Ends, yaitu tujuan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai dalam peristiwa

tutur yang sedang terjadi.

4) Act sequences, yaitu bentuk dan isi pesan yang ingin disampaikan.

5) Instrumentalities, yaitu saluran yang digunakan dan dibentuk tuturan yang

dipakai oleh penutur dan mitra tutur.

6) Keys, yaitu cara berkenaan degan sesuatu yang harus dikatakan oleh penutur

(serius, kasar, atau main-main).

7) Norms, yaitu norma-norma yang digunakan dalam interasi yang sedang

berlangsung.

8) Genres, yaitu register khusus yang dipakai dalam peristiwa tutur.

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Analisis Wacana

21

2.4.2 Manfaat Konteks dalam Analisis Wacana

Sebuah peristiwa tutur selalu terjadi dalam konteks tertentu, hal ini

berarti bahwa peristiwa tutur tertentu selalu terjadi pada waktu tertentu,

tempat tertentu, untuk tujuan tertentu, dan sebagainya. Oleh karena itu,

analisis terhadap peristiwa tutur tersebut sama sekali tidak dapat dilepaskan

dari konteks yang melatarinya. Rusminto (2015: 54) mengemukakan bahwa

kajian terhadap penggu naan bahasa harus memperhatikan konteks yang

seutuh-utuhnya.

Kegiatan berbahasa harus melibatkan dampak kontekstual yang

melatarinya, hal ini diupayakan untuk memperoleh relevansi secara

maksimal. Semakin besar dampak kontekstual sebuah percakapan, semakin

besar pula relevansinya. konteks memain kan dua peran penting dalam teori

tindak tutur. Dua peran penting itu adalah:

1) Sebagai pengetahuan abstrak yang mendasari bentuk tindak tutur

2) Suatu bentuk lingkungan sosial di mana tuturan-tuturan dapat dihasilkan dan

diinterpretasikan sebagai realitas aturan-aturan yang mengikat.