BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 2.1 -...

24
6 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Pembelajaran Kontekstual Pada dasarnya pembelajaran kontekstual dengan prinsip-prinsipnya bukan merupakan konsep baru. Konsep dasar pendekatan ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan metodologi pembelajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa. Proses belajar akan sangat efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya (Kasihani,2003:1). Dewasa ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara maju dengan berbagai nama. Di Amerika berkembang apa yang disebut Contextual Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa untuk mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka (Depdiknas, 2002:3-4). Pembelajaran kontekstual dengan demikian dapat dipahami suatu pembelajaran yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota bangsa dan. Pembelajaran Kontekstual menjadikan proses belajar mengajar akan lebih konkret, lebih realistis, lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih bermakna. a) Pengertian Pembelajaran Kontekstual Menurut Nurhadi dalam Rusman (2011:189) pembelajaran kontekstual (Contekstual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 2.1 -...

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pembelajaran Kontekstual

Pada dasarnya pembelajaran kontekstual dengan prinsip-prinsipnya bukan

merupakan konsep baru. Konsep dasar pendekatan ini diperkenalkan pertama kali

pada tahun 1916 oleh John Dewey yang menganjurkan agar kurikulum dan

metodologi pembelajaran dipertautkan dengan pengalaman dan minat siswa.

Proses belajar akan sangat efektif bila pengetahuan baru diberikan berdasarkan

pengalaman atau pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya

(Kasihani,2003:1).

Dewasa ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di negara-negara

maju dengan berbagai nama. Di Amerika berkembang apa yang disebut

Contextual Teaching and Learning (CTL) yang intinya membantu guru untuk

mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan nyata dan memotivasi siswa untuk

mengaitkan pengetahuan yang dipelajarinya dengan kehidupan mereka

(Depdiknas, 2002:3-4).

Pembelajaran kontekstual dengan demikian dapat dipahami suatu

pembelajaran yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan

yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari

sebagai individu, anggota keluarga, anggota masyarakat, dan anggota bangsa dan.

Pembelajaran Kontekstual menjadikan proses belajar mengajar akan lebih

konkret, lebih realistis, lebih aktual, lebih nyata, lebih menyenangkan, dan lebih

bermakna.

a) Pengertian Pembelajaran Kontekstual

Menurut Nurhadi dalam Rusman (2011:189) pembelajaran kontekstual

(Contekstual Teaching and Learning) merupakan konsep belajar yang dapat

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi

dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan

mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

7

CTL hanya sebuah strategi pembelajaran. Seperti halnya strategi

pembelajaran yang lain, CTL di kembangkan dengan tujuan agar pembelajaran

berjalan lebih produktif dan bermakna. CTL dapat di jalankan tanpa harus

mengubah kurikulum dan tatanan yang ada (Kasihani, 2003:4).

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli tentang

pembelajaran kontekstual, diantaranya yang dipaparkan oleh Johnson dalam Nur

hadi, dkk (2004:12) CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan

membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari

dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari,

yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan budayanya.

Sedangkan menurut US Departement of Education dalam Kasihani

(2003:2) Contextual Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan

belajar yang membantu guru menghubungkan kegiatan dan bahan ajar mata

pelajarannya dengan situasi nyata dan memotivasi siswa untuk dapat

menghubungkan pengetahuan dan terapannya dengan kehidupan sehari-hari siswa

sebagai anggota keluarga dan bahkan sebagai anggota masyarakat di mana dia

hidup.

Pendapat serupa juga dikemukakan The Washington dalam Nur hadi, dkk

(2003:12) Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa

memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan

akademisnya dalam berbagai latar sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan

seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata. Sedangkan menurut Teachnet

dalam Nur hadi, dkk (2003:12) mengeluarkan pernyataan tentang CTL

bahwasanya pengajaran dan pembelajaran kontekstual adalah suatu konsepsi

belajar mengajar yang membantu guru menghubungkan isi pelajaran dengan

situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan-hubungan antara

pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga,

anggota masyarakat, dan pekerja serta meminta ketekunan belajar.

Dari beberapa pendapat tersebut pengajaran dan pembelajaran

kontekstual dilakukan dengan berbasis masalah, menggunakan cara belajar

yang diatur sendiri, berlaku dalam berbagai macam konteks, memperkuat

8

pengajaran dalam berbagai macam konteks kehidupan siswa, menggunakan

penilaian autentik, dan menggunakan pola kelompok belajar yang bebas.

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah

pembelajaran yang menekankan pada proses keterlibatan peserta didik untuk

menemukan sendiri materi yang dipelajari dan menerapkannya dalam

kehidupan sehari-hari.

b) Latar Belakang Lahirnya Pembelajaran Kontekstual

Penerapan pembelajaran kontekstual di Amerika Serikat bermula dari

pandangan ahli pendidikan klasik John Dewey yang pada tahun 1916

mengajukan teori kurikulum dan metodologi pengajaran yang berhubungan

dengan pengalaman dan minat siswa. Filosofi pembelajaran kontekstual

berakar dari paham progresivisme John Dewey (Suparno, 2003:2).

Intinya, siswa akan belajar dengan baik apabila apa yang mereka pelajari

berhubungan dengan apa yang telah mereka ketahui, serta proses belajar akan

produktif jika siswa terlibat aktif dalam proses belajar di sekolah. Menurut

Nur Hadi (2003:8) pokok pandangan progresivisme adalah antara lain:

a) Siswa belajar dengan baik apabila mereka secara aktif dapat

mengkonstruksikan sendiri pemahaman mereka tentang apa yang

diajarkan oleh guru;

b) Anak harus bebas agar bisa berkembang wajar;

c) Penumbuh minat melalui pengalaman langsung untuk merangsang

belajar;

d) Guru sebagai pembimbing dan peneliti;

e) Harus ada kerja sama antara sekolah dan masyarakat;

f) Sekolah progresif harus merupakan laboratorium untuk melakukan

eksperimen.

Selain teori progresivisme John Dewey, teori kognitif melatarbelakangi

pula filosofi pembelajaran kontekstual. Siswa akan belajar dengan baik

apabila mereka terlibat secara aktif dalam segala kegiatan di kelas dan

berkesempatan untuk menemukan sendiri. Siswa menunjukkan hasil belajar

dalam bentuk apa yang mereka ketahui dan apa yang dapat mereka lakukan.

Belajar dipandang sebagai usaha atau kegiatan intelektual untuk

membangkitkan ide-ide yang masih laten melalui kegiatan introspeksi.

9

Berpijak pada dua pandangan itu, filosofi konstruktivisme

berkembang. Dasarnya, pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh

dari konteks yang terbatas dan sedikit demi sedikit. Siswa yang harus

mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya. Melalui landasan filosofi

konstruktivisme, Contextual Teaching and Learning „dipromosikan‟

menjadi alternatif strategi belajar yang baru. Melalui strategi Contextual

Teaching and Learning siswa diharapkan belajar melalui „mengalami‟,

bukan „menghafal‟ (Nur Hadi, 2003:8-9).

c) Prinsip Pembelajaran Kontekstual

Komponen utama pembelajaran kontekstual di kelas antara lain ada

tujuh sebagai berikut: (a) Konstruktivisme (Constructivism); (b) Bertanya

(Questioning); (c) Menemukan (Inquiry); (d) Masyarakat belajar (Learning

Community); (e) Pemodelan (Modeling); (f) Refleksi (Reflection); (g)

Penilaian sebenarnya (Authentic Assement) (Nurhadi, 2004:31). Adapun

uraian dari ketujuh komponen tersebut adalah:

1. Kontruktivisme (Contructivism)

Kontruktivisme yaitu suatu kegiatan dimana siswa membangun

pengetahuan sedikit demi sedikit dari pengetahuan yang dimiliki siswa,

diharapkan siswa belajar bukan hanya menghafal tetapi melalui mengalami

sehingga akan bermakna. “Kontruktivisme adalah proses membangun atau

mrenyusun pengetahuan dalam struktur kognitif siswa berdasarkan

pengalaman” (Sanjaya, 2005:118).

2. Menemukan (Inquiry)

Menemukan yaitu suatu kegiatan dimana siswa berusaha menemukan

sendiri pengetahuan bukan hasil mengingat-ingat fakta-fakta. “Inkuiri

adalah proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan

melalui proses berpikir secara sistematis”( Sanjaya, 2009:265).

3. Bertanya (Questioning)

Bertanya yaitu kegiatan bertanya dalam pembelajaran bisa guru dengan

siswa, siswa dengan guru, siswa dengan siswa bahkan siswa dengan orang

lain (nara sumber) sebagai upaya guru dalam membimbing siswa,

10

menggali informasi dan menilai sejauh mana kemampuan yang telah

diperoleh siswa (Sanjaya, 2009:266).

4. Masyarakat Belajar (Learning Community)

Masyarakat Belajar yaitu suatu kegiatan dimana siswa memperoleh

hasil belajar dari hasil belajar bekerja sama atau tukar pendapat dengan

orang lain. Dalam kelas CTL penerapan masyarakat belajar dapat

dilakukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar.

Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat

heterogen, dilihat dari kemampuan dan kecepatan berpikirnya. Sehingga

hasil belajar dapat diperoleh dari hasil sharing dengan orang lain, antar

teman, anatr kelompok. Bagi yang sudah tahu memebari tahu pada yang

belum tahu, yang pernah memiliki pengalaman membagi pengalamnnya

pada orang lain. (Sanjaya, 2009:267).

5. Permodelan (Modeling)

Komponen pembelajaran kontekstual selanjutnya adalah pemodelan.

Maksudnya, dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan

tertentu, ada model yang bisa ditiru. Pemodelan dapat berbentuk

demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar.

Pemodelan, adalah pembelajaran yang dilakukan dengan memberikan

model/contoh. Model bisa berupa benda, cara, metoda kerja, cara/prosedur

kerja, atau yang lain, yang bisa ditiru oleh siswa (Nur Hadi,dkk; 2003:31)

6. Refleksi (Reflection)

Refleksi yaitu berpikir kembali apa yang telah dilakukan dan apa yang

akan diperoleh siswa dalam kegiatan pembelajaran. Menurut (Sanjaya

2009:268) “refleksi adalah proses penerapan pengalaman yang telah

dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-

kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya”.

7. Penilaian Otentik (Authentic Assessment)

Penilaian otentik adalah proses pengumpulan informasi oleh guru tentang

perkembangan dan pencapaian pembelajaran yang dilakukan anak didik

melalui berbagai teknik yang mampu mengungkapkan, membuktikan atau

11

menunjukkan secara tepat bahwa tujuan pembelajaran dan kemampuan

(kompetensi) telah benar-benar dikuasai dan dicapai” (Majid, 2007:186)

d) Keunggulan Pembelajaran Kontekstual

Pembelajaran kontekstual saat ini telah diupayakan pengaplikasiannya,

karena banyak hal yang belum tersentuh pada pembelajaran sebelumnya,

misalnya pelaksanaan pembelajaran yang masih sangat teoritis dan kurang

menekankan pada pemecahan masalah, sistem penilaiannya yang pada

umumnya terfokus pada produk, tujuan akhir yang hendak dicapai adalah

dapat meraih nilai tinggi, yang masih mengesampingkan asesmen kinerjanya

sehingga siswa kurang siap menghadapi permasalahan sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut menurut Corebima dalam Nur Hadi,dkk

(2003:41) pembelajaran kontekstual memiliki keunggulan dibandingkan

dengan pembelajaran lainnya yaitu bahwa pembelajaran kontekstual

mendorong proses pembelajaran berlangsung atas dasar permasalahan riil

dunia, sehingga lebih bermakna dan memungkinkan perkembangan

pemikiran tingkat tinggi.

2.1.2 Teknik Learning Community

a) Pengertian Learning Community (Masyarakat Belajar)

Sedangkan menurut Roestiyah (2001:1) teknik adalah cara yang

digunakan oleh guru atau instruktur dalam menyajikan pelajaran, atau bisa

diartikan sebagai teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau

menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, agar pelajaran

tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.

Menurut Sardiman A.M (2005:225) teknik Learning Community adalah

teknik dimana situasi belajar yang diciptakan berdasarkan konsep CTL,

dimana proses dan hasil pembelajaran diperoleh dari bekerja sama dan

berkolaborasi dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar

teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruang

ini, di kelas ini, di sekitar ini dan juga yang ada di luar sana, semua adalah

anggota masyarakat belajar. Kata kunci dari learning community (masyarakat

12

belajar) adalah berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain, bekerja

sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik

dibandingkan dengan belajar sendiri (Nur hadi,dkk; 2004:47)

Dalam bukunya Nurhadi,dkk (2003:47:48), learning community atau

masyarakat belajar itu mengandung arti sebagai berikut:

a) Adanya kelompok belajar yang berkomunikasi untuk berbagi

gagasan dan pengalaman;

b) Ada kerja sama untuk memecahkan masalah;

c) Hasil kerja kelompok lebih baik daripada kerja secara

individual;

d) Ada rasa tanggung jawab kelompok, semua anggota dalam

kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama;

e) Membangun motivasi belajar bagi anak yang belum mampu;

f) Menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang

anak belajar dengan anak lainnya;

g) Ada rasa tanggung jawab dan kerja sama antara anggota

kelompok untuk saling memberi dan menerima;

h) Ada fasilitator/ guru yang memandu proses belajar dalam

kelompok;

i) Ada komunikasi dua arah atau multi arah;

j) Ada kemauan untuk menerima pendapat yang lebih baik;

k) Ada kesediaan untuk menghargai pendapat orang lain;

l) Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja;

m) Tidak ada dominasi siswa-siswa pintar;

n) Siswa bertanya kepada teman-temannya itu sudah mengandung

arti learning community.

Susilo (2001:4) berpendapat Learning Community atau masyarakat

belajar bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. Hasil belajar

diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok, dan antara yang sudah

tahu ke yang belum tahu. Dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam

komunikasi pembelajaran saling belajar. Di dalam masyarakat belajar ini

setiap orang harus bersedia untuk berbicara dan berbagi pendapat,

mendengarkan pendapat orang lain dan berkolaborasi membangun

pengetahuan dengan orang lain dalam kelompoknya.

Sedangkan menurut Sanjaya (2009:267) masyarakat Belajar (learning

community) yaitu suatu kegiatan dimana siswa memperoleh hasil belajar dari

hasil belajar bekerja sama atau tukar pendapat dengan orang lain. Dalam

13

kelas CTL penerapan masyarakat belajar dapat dilakukan dengan menerapkan

pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-

kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, dilihat dari kemampuan dan

kecepatan berpikirnya. Sehingga hasil belajar dapat diperoleh dari hasil

sharing dengan orang lain, antar teman, anatr kelompok. Bagi yang sudah

tahu memebari tahu pada yang belum tahu, yang pernah memiliki

pengalaman membagi pengalamnnya pada orang lain.

Hasil kerja kelompok pada umumnya lebih baik hasilnya daripada kerja

secara individual. Ada rasa tanggung jawab kelompok, semua anggota dalam

kelompok mempunyai tanggung jawab yang sama.Upaya membangun

motivasi belajar bagi anak yang belum mampu dapat diadakan. Menciptakan

situasi dan kondisi yang memungkinkan seorang anak belajar dengan anak

lainnya. Ada rasa tanggung jawab dan kerja sama antar anggota kelompok

untuk saling memberi dan menerima. Ada fasilitator/guru yang memandu

proses belajar dalam kelompok.

Harus ada komunikasi dua arah atau multi arah. Ada kemauan untuk

menerima pendapat yang lebih baik. Ada kesediaan untuk menghargai

pendapat orang lain. Tidak ada kebenaran yang hanya satu saja. Dominasi

siswa-siswa yang pintar perlu diperhatikan agar yang lambat/lemah bisa pula

berperan. Siswa bertanya kepada teman-temannya itu sudah mengandung arti

learning community.

Dari beberapa pendapat tersebut pengertian teknik learning community

(masyarakat belajar) terfokus pada penerapan kelompok belajar yang

homogen dalam proses pembelajaran sehingga terjadi komunikasi dua arah,

tidak hanya komunikasi antara siswa dengan guru, tetapi juga terjadi antara

siswa dengan siswa maupun dengan lingkungan sekitar.

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran dengan teknik

learning community adalah proses pembelajaran yang membiasakan siswa

untuk bekerja sama dan memanfaatkan sumber belajar yang ada dilingkungan

sekitar, sehingga terjadi komunikasi dua arah yang menghasilkan

pengetahuan dan pengalaman baru.

14

b) Prinsip-prinsip Learning Community

Menurut Masnur (2007:47) adapun prinsip-prinsip yang diperhatikan

oleh guru ketika menerapkan pembelajaran yang berkonsentrasi pada

teknik learning community , yaitu pada dasarnya hasil belajar diperoleh

dari kerja sama atau sharing dengan pihak lain. Sharing terjadi apabila

ada pihak yang saling memberi atau saling menerima informasi. Sharing

terjadi apabila ada komunikasi dua atau multiarah. Masyarakat belajar

terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya sadar

bahwa pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang dimilikinya

bermanfaat bagi yang lain, pada dasarnya yang terlibat dalam masyarakat

belajar bisa menjadi sumber belajar.

c) Kerangka Penerapan Teknik Learning Community

Pembelajaran di dalam kelas dengan teknik learning community,

kegiatan pembelajaran dilakukan dalam kelompok-kelompok belajar:

siswa yang pandai mengajari yang lemah dan yang tahu memberi tahu

yang belum tahu. Masyarakat belajar bisa tercipta apabila ada

komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, anggota kelompok yang

terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar. Siswa yang

terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang

diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang

diperlukan dari teman bicaranya (Nurhadi, dkk;2004:49)

Kegiatan saling belajar ini bisa terjadi apabila tidak ada pihak yang

dominan dalam komunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk

bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak

mau saling mendengarkan. Setiap pihak harus merasa bahwa setiap orang

lain memiliki pengetahuan, pengalaman, atau keterampilan yang berbeda

yang perlu dipelajari.

Konsep masyarakat belajar (learning community) dalam

pembelajaran kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran

diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Contoh: ketika seorang anak

baru belajar meraut pensil dengan peraut elektronik, ia bertanya kepada

15

temannya “bagaimana caranya? Tolong bantuin, aku!” Lalu temannya

yang sudah biasa, menunjukkan cara mengoprasikan alat itu. Maka, dua

orang anak itu sudah membentuk masyarakat belajar (learning

community) (Nurhadi, dkk:2004:48-49).

Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok,

dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Di ruangan ini, di kelas ini, di

sekitar sini, juga orang-orang yang ada di luar sana, semua adalah

anggota masyarakat belajar.

Di dalam kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual (CTL),

guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-

kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang

heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah, yang tahu memberi tahu

yang belum tahu, yang cepat menangkap mendorong temannya yang

lambat, yang mempunyai gagasan segera memberi usul dan seterusnya.

Inilah beberapa hal yang sebenarnya terkait dengan cooperative learning

(Sardiman A.M, 2005:225)

Kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang

lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat

kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan

teknik learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di

kelas.

Pengembangan teknik learning community, akan senantiasa

mendorong terjadinya proses komunikasi multi arah. Masing-masing

pihak yang melakukan kegiatan belajar dapat menjadi sumber belajar.

d) Langkah-langkah Penerapan Teknik Learning Community

Menurut Slavin (2005:21-22) adapun langkah – langkah dalam

penerapan Pembelajaran Kontekstual dengan teknik learning community

adalah sebagai berikut:

a. Membentuk kelompok beranggotakan 4 – 6 siswa secara heterogen;

b. Guru menyajikan bahan pelajaran;

c. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota

kelompok. Anggota yang mengetahui membantu menjelaskan

16

pengetahuannya kepada anggota lain yang belum tahu dalam

kelompoknya dan berkompetensi untuk menguasai bahan yang dipelajari.

Masing-masing kelompok bertanggung jawab atas anggota

kelompoknya;

d. Masing-masing kelompok secara bergilir mempresentasikan hasilnya;

e. Guru memberi waktu kepada siswa untuk tanya jawab;

f. Guru memberi penilaian kepada siswa pada saat pelajaran berlangsung;

g. Refleksi terhadap pelajaran yang telah dibahas;

h. Penutup.

Pembentukan anggota kelompok antara 4 sampai 6 siswa secara

heterogen yang dimaksud adalah perpaduan antara anak yang mempunyai

kemampuan lebih dan yang punya kemampuan kurang dijadikan satu dalam

anggota kelompok. Hal ini dilakukan untuk membentuk jiwa sosial dari

masing-masing individu yaitu supaya yang pandai membantu yang kurang

pandai pada saat mendiskusikan tugas yang diberikan guru. Inilah yang disebut

learning community.

Setelah kelompok dibentuk, guru menyajikan materi pelajaran yang akan

dibahas pada masing-masing kelompok. Tiap kelompok membahas poin yang

berbeda namun tetap dalam satu bab. Setiap kelompok boleh mencari informasi

dari berbagai sumber, misalnya bertanya pada kelas di atasnya atau dengan

lingkungan sekolah.

Setelah guru membagikan tugas pada masing-masing kelompok, masing-

masing dari mereka mempresentasikan hasil diskusinya di depan kelas secara

bergantian. Ini mendidik para siswa untuk mampu tampil di depan teman-

temannya dan memupuk rasa percaya diri pada siswa. Di samping itu, guru

juga memberi waktu bertanya pada siswa.

Pada saat pelajaran berlangsung, guru menilai siswa atas keaktifan

mereka. Setelah itu, diadakan refleksi untuk mengambil poin-poin penting pada

pembelajaran agar siswa dapat belajar mengambil inti pelajaran yang telah

disampaikan, dan akhirnya ditutup dengan do‟a.

Menurut Nur hadi, dkk (2003:49) langkah-langkah dalam penerapan

Pembelajaran Kontekstual dengan teknik learning community adalah sebagai

berikut

17

a. Langkah pertama adalah penyampaian tujuan dan memotivasi siswa.

Pada tahap ini guru menyampaikan tujuan pembelajaran, apa yang

hendak dicapai pada pembelajaran, dan guru juga memotivasi siswa

supaya semangat dalam mengikuti pembelajaran.

b. Langkah ke dua adalah pembentukan kelompok. Pembentukan kelompok

merupakan langkah awal dari konsep learning community. Dalam

masyarakat belajar, hasil pembelajaran dapat diperoleh dari kerja sama

dengan orang lain. Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil

pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar

diperoleh dari kerja sama antarteman, antarkelompok, dan antara yang

sudah tahu dan yang belum tahu. Pendekatan ini bertujuan supaya siswa

lebih semangat karena bisa saling bertukar pendapat dengan temannya.

Masyarakat belajar bisa membantu siswa yang kurang paham terhadap

materi pelajaran karena mereka bisa bekerja sama dengan teman mereka

yang lebih tahu.

c. Langkah ke tiga adalah presentasi kelas. Salah satu siswa maju

membacakan hasil pekerjaannya untuk mengetahui apakah mereka benar-

benar melaksanakan masyarakat belajar (learning community).

d. Langkah terakhir adalah refleksi. Pada tahap terakhir ini guru bersama

siswa mengadakan refleksi terhadap pembelajaran yang telah

berlangsung kemudian memberikan simpulan atas pembelajaran hari itu.

Tekik Learning Community merupakan suatu komponen pendekatan

kontekstual yang menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerja

sama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari kerjasama antar teman,

antar kelompok, dan antara yang sudah tahu dan yang belum tahu. Learning

Community (masyarakat belajar) terjadi apabila ada komunikasi dua arah, dua

kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran.

Pada penelitian ini peneliti berupaya dengan masyarakat belajar, minat

siswa dalam pembelajaran akan meningkatkan hasil belajarnya. Melalui

lerning community (masyarakat belajar) dapat pula diketahui keterlibatan siswa

dalam kelompok dan tingkat penguasaan materi pembelajaran. Adapun

18

langkah-langkah pembelajaran menggunakan teknink learning community

dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran;

b. Guru terlebih dahulu menyampaikan materi yang akan dipelajari;

c. Siswa dibagi dalam kelompok kecil;

d. Siswa diminta untuk mengambila satu materi yang harus dibahas dalam

kelompok;

e. Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi;

f. Siswa mempresentasikan di depan kelas hasil diskusi;

g. Siswa membuat kesimpulan dari pengetahuan yang didapatkannya pada

saat diskusi kelompok;

h. Siswa membuat ringkasan dari materi yang sudah dipelajari;

i. Guru melakukan tanya jawab tentang hal-hal yang belum dimengerti

siswa;

j. Guru memberi penilaian pada saat pembelajaran;

k. Guru mengadakan evaluasi hasil pembelajaran.

2.1.3 Penerapan Teknik Learning Community Dalam Pembelajaran PKn

Teknik Lerning Community merupakan teknik pembelajaran yang hasil

pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain (Nurhadi, dkk;

2004:31). Dalam teknik learning community siswa dituntut untuk bekerja sama

dalam kegiatan pembelajaran segingga dalam proses pembelajaran terasa lebih

menyenangkan namun tetap dapat mencapai tujuan pembelajaran yang

diharapkan. Dalam pembelalajaran learning community guru memfasilitasi

siswa dengan memanfaatkan sumber pembelajaran yang ada untuk menambah

informasi misalnya lingkungan sekolah atau teman sebaya. Sumber

pembelajaran tersebut dapat dimanfaatkan siswa pada saat mengerjakan tugas.

Dari tugas tersebut siswa diminta untuk aktif dalam menggali informasi yang

belum diketahui.

Dalam penelitian ini penerapan teknik learning community pada

pembelajaran PKn akan lebih memfokuskan pada kegiatan siswa. Selain minat

belajar siswa dalam mencari informasi, siswa juga dituntut untuk

19

menunjukkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara presentasi kelas.

Dengan siswa aktif belajar maka siswa akan lebih mampu mengenal dan

mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh,

menyadari, dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat

disekitarnya (Dimyati dan Mudjiono, 2009).

Pembelajaran kontekstual dengan teknik learning community dalam

penelitian ini akan diterapkan di SD Negeri 2 Kapuan Cepu dalam

pembelajaran PKn kelas V semester II. Adapun rencana kegiatan pembelajaran

dengan teknik learning community sebagai berikut

1) Kegiatan awal

Pada tahap awal, guru memberikan beberapa pertanyaan seputar materi

yang akan dipelajari. Untuk membangkitkan minat belajar siswa, guru

mengajak siswa bernyanyi bersama agar tercipta suasana kelas yang

menyenangkan. Kemudian guru menjelaskan tujuan pembelajaran yang

akan dipelajari.

2) Kegiatan inti

Pada tahap ini ada tiga tahap yang sangat penting yang harus dijalankan

oleh guru dan siswa dalam proses pembelajaran yaitu Ekplorasi, elaborasi

dan konfirmasi.

a. Pada tahap eksplorasi yang harus dilakukan guru adalah

Guru melibatkan siswa dalam mencari informasi tentang materi yang

akan dipelajari. Guru mengajukan pertanyaan pada siswa berdasarkan

pengetahuan awal yang dimiliki siswa berkaitan dengan materi yang

dipelajari sehingga dapat tercipta pembelajaran yang interaktif. Guru

mulai menjelaskan materi pembelajaran pada siswa. Guru meminta siswa

berdiskusi untuk mencari contoh lain tentang materi yang sudah dijelaskan

oleh guru.

b. Pada tahap elaborasi yang dilakukan siswa adalah

Siswa berkelompok untuk mendiskusikan suatu masalah yang

berkaitan dengan materi pembelajaran. Siswa yang sudah menyelesaikan

diskusi diminta untuk mempresentasikan hasil pengetahuan baru yang

20

didapat dari diskusi kelompok. Siswa lain mendengarkan dan memberi

tambahan pendapat dari kelompok yang sedang presentasi. Siswa

membuat kesimpulan dari pengetahuan yang didapatkannya dari kerja

kelompok

c. Pada tahap konfirmasi

Guru bertanya jawab tentang hal-hal yang belum dipahami siswa.

Guru bersama siswa bertanya jawab meluruskan kesalah pahaman dan

memberi penguatan.

3) Kegiatan penutup

Siswa bersama guru membuat ringkasan menyangkut materi yang sudah

dipelajari . Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan

berikutnya. Guru mengakhiri pembelajaran.

Kegiatan evaluasi dilaksanakan pada akhir pertemuan setelah materi

pembelajaran disampaikan semua.

2.1.4 Minat Belajar

a) Pengertian Minat Belajar

Dalam memudahkan pemahaman tentang pengertian minat belajar, maka

dalam pembahasan ini akan diuraikan satu persatu menjadi minat dan belajar.

1. Pengertian Minat

Secara bahasa minat berarti “kecenderungan hati yang tinggi terhadap

sesuatu.”Minat merupakan sifat yang relatif menetap pada diri seseorang.

Minat besar sekali pengaruhnya terhadap kegiatan seseorang sebab dengan

minat ia akan melakukan sesuatu yang diminatinya. Sebaliknya tanpa minat

seseorang tidak mungkin melakukan sesuatu.

Sedangkan pengertian minat secara istilah telah banyak dikemukakan

oleh para ahli, di antaranya yang dikemukakan oleh Slameto (2003:180)

menyatakan bahwa minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan

pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya

21

adalah penerapan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di

luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Djamarah (2002:166) minat

adalah kecenderungan yang menetap untuk memperhatikan dan mengenang

beberapa aktivitas. Seseorang yang berminat terhadap suatu aktivitas akan

memperhatikan aktivitas itu secara konsisten dengan rasa senang. Dengan

kata lain minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu

hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh.

Menurut Tidjan (1976:71) minat adalah gejala psikologis yang

menunjukan pemusatan perhatian terhadap suatu obyek sebab ada perasaan

senang. Dari pengertian tersebut jelaslah bahwa minat itu sebagai

pemusatan perhatian atau reaksi terhadap suatu obyek seperti benda tertentu

atau situasi tertentu yang didahului oleh perasaan senang terhadap

obyek tersebut.

Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh mengenai minat, penulis

mengambil kesimpulan bahwa minat adalah kecenderunagn seseorang

melakukan suatu kegiatan yang digemari tanpa ada orang yang menyuruh.

2. Pengertian belajar

Pengertian Belajar menurut bahasa adalah “usaha (berlatih) dan sebagai

upaya mendapatkan kepandaian”.Sedangkan menurut istilah yang

dipaparkanoleh beberapa ahli, di antaranya oleh Ahmad Fauzi yang

mengemukakan belajar adalah “Suatu proses di mana suatu tingkah laku

ditimbulkan atau diperbaiki melalui serentetan reaksi atas situasi (atau

rangsang) yang terjadi”.

Kemudian Slameto (2003:2) mengemukakan pendapat bahwa belajar

ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil

pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.

Selanjutnya Djamarah (2002:12) mengartikan “belajar adalah

serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh suatu perubahan tingkah

22

laku sebagai hasil dari pengalaman individu dalam interaksi dengan

lingkungannya yang menyangkut kognitif,afektif dan psikomotor.

Nana Sudjana (2009:28) mengatakan “ Belajar adalah suatu proses yang

ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Oleh sebab itu belajar

adalah proses yang aktif, belajar adalah proses mereaksi terhadap semua

situasi yang ada di sekitar individu. Belajar adalah proses yang diarahkan

kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman. Belajar adalah

proses melihat, mengamati, memahami sesuatu.”

Menurut Gie (1998:28) mengemukakan bahwa minat merupakan salah

sati faktor untuk meraih sukses dalam belajar. Sedangkan menurut Winkel

(1999:53) belajar merupakn dalam diri individu yang berinteraksi dengan

lingkungan untuk mendapatkan perubahan dalam perilakunya. Belajar adalah

aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan

lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan-

pemahaman, keterampilan dan nilai-nilai sikap, perubahan itu bersifat secara

relatif konstan dan terbatas.

Berdasarkan penjelasan beberapa tokoh mengenai belajar, penulis

mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah suatu perubahan tingkah laku

individu dari hasil interaksi dengan lingkungan sekitar dan melalui latihan.

Menurut penulis minat sangat penting bagi peserta didik karena dengan

adanya minat belajar, siswa dapat bebas mengekplorasikan kemampuannya

dan siswa merasa senang mengikut pembelajaran.

Dari beberapa pengertian minat dan belajar tersebut pengertian minat

belajar terfokus pada kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu

kegiatan yang digemari untuk mendapatkan pengalaman baru. Penulis dapat

menyimpulkan bahwa minat belajar adalah kemauan atau keinginan

seseorang yang disertai dengan perhatian untuk melakukan sesuatu yang

digemari dalam perubahan tingkah laku.

3. Pentingnya Peningkatan Minat Belajar Siswa

Menurut Gie (2002:28), arti penting minat dalam kaitannya dengan

pelaksanaan studi adalah minat melahirkan perhatian yang serta merta. Minat

23

memudahkan terciptanya konsentrasi. Minat mencegah gangguan dari luar.

Minat memperkuat melekatnya bahan pelajaran dalam ingatan. Minat

memperkecil kebosanan belajar belajar dalam diri sendiri.

Menurut Dalyono (2001:56-57), bahwa minat dapat timbul karena daya

tarik dari luar dan juga datang dari hati sanubari. Minat yang besar terhadap

sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk mencapai/memperoleh

benda atau tujuan yang diminati itu. Minat belajar yang besar cenderung

menghasilkan prestasi yang tinggi.

Menurut Djamarah (2002:167), bahwa minat besar pengaruhnya terhadap

aktivitas belajar. Anak didik yang berminat terhadap suatu mata pelajaran

akan mempelajarinya dengan sungguh-sungguh, karena ada daya tarik

baginya. Proses belajar akan berjalan lancar bila disertai minat. Minat

merupakan alat motivasi yang utama yang dapat membangkitkan kegairahan

belajar anak didik dalam kurun waktu tertentu. Melihat dari pendapat di atas,

maka minat penting untuk ditingkatkan karena mempermudah proses belajar

siswa dan untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

2.1.5 Hasil Belajar

a) Pengertian Hasil Belajar

Output pendidikan adalah hasil belajar (prestasi belajar) yang

merefleksikan seberapa efektif proses belajar mengajar diselenggarakan.

Artinya, prestasi belajar ditentukan oleh tingkat efektivitas dan efisiensi proses

belajar mengajar. Prestasi belajar ditunjukkan oleh peningkatan kemampuan

dasar dan kemampuan fungsional. Kemampuan dasar meliputi daya pikir, daya

kalbu, dan daya raga yang diperlukan oleh siswa untuk terjun di masyarakat

dan untuk mengembangkan dirinya. Hasil belajar diperoleh pada akhir proses

pembelajaran dan berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menyerap tau

memahami suatu bahan yang telah diajarkan. Hasil belajar seringkali

digunakan sebagai ukuran untuk mengetahui seberapa jauh seseorang

menguasai bahan yang sudah diajarkan (Purwanto, 2011:43).

24

Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:250), hasil belajar merupakan hal

yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi

siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik

bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Dari sisi guru, adalah bagaimana

guru bisa menyampaikan pembelajaran dengan baik dan siswa bisa

menerimanya. Menurut Winkel (1996:51), mengemukakan bahwa hasil belajar

adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan

tingkah lakunya.

Sedangkan menurut Hamalik (2006:30), hasil belajar adalah bila seseorang

telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya

dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.

Berdasarkan teori Taksonomi Bloom, hasil belajar dalam rangka studi

dicapai melalui tiga kategori ranah, dua diantaranya adalah kognitif, dan

afektif. Perinciannya adalah sebagai berikut:

1. Ranah Kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri

dari aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis

dan penilaian;

2. Ranah Afektif berkenaan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi

lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi,

menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks

nilai.

Dari beberapa pengertian hasil belajar tersebut pengertian hasil belajar

terfokus pada perubahan tingkah laku belajar yang lebih baik sebagai akibat

dari proses belajar yang dilakukan oleh siswa. Hasil belajar ini biasanya

diwujudkan dalam bentuk angka, nilai, maupun huruf. Semakin tinggi hasil

belajar yang diperoleh siswa, maka berhasillah tujuan belajar yang dilakukan

siswa tersebut.

Berdasarkan kajian tentang hasil belajar, penulis mengambil kesimpulan

bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan seseorang dalam mengikuti

suatu pembelajaran yang berbentuk nilai.

2.1.5.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Hasil Belajar

Dalam pencapaian tujuan belajar perlu diciptakan adanya sistem

lingkungan belajar yang kondusif, hal ini akan bekaitan dengan faktor dari

25

luar siswa. Adapun faktor yang mempengaruhinya adalah mendapat

pengetahuan, penanaman konsep, ketrampilan, dan pembentukan sikap.

Menurut Slameto (2003:54-60) menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil belajar digolongkan menjadi dua, yaitu

1. Faktor Internal.

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari diri siswa. Faktor-faktor

yang termasuk dalam faktor internal antara lain:

a. Faktor jasmaniah (kesehatan dan cacat tubuh)

b. Faktor psikologis (intelegensi, minat, perhatian, bakat motif, dan

kematangan)

c. Faktor kelelahan (kelelahan jasmani dan kelelahan rohani).

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri individu.

Yang termasuk dalam faktor eksternal yaitu

a. Faktor keluarga (cara mendidik orang tua, relasi antaranggota

keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi, pengertian orang tua,

dan latar belakang kebudayaan)

b. Faktor sekolah (metode mengajar, relasi guru dan siswa, relasi siswa

dengan siswa, isiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar

pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar dan tugas

rumah)

c. Faktor masyarakat (keadaan siswa dalam masyarakat, massa media,

teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat).

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa ada dua faktor yang

mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal

terdiri dari faktor jasmaniah, faktor psikologis, dan faktor kelelahan.

Sedangkan faktor eksternal, terdiri dari faktor keluarga, faktor sekolah, dan

faktor masyarakat. Kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang banyak

bagi siswa.

26

2.1.6 Pendidikan Kewarganegaraan

a) Definisi Pendidikan Kewaaranegaraan

PKn atau Civic Education (Winataputra, 2007:21) adalah proses

pemahaman, penghayatan, dan pelaksanaan cita-cita, nilai, dan prinsip

demokrasi konstitusional negaranya melalui berbagai bentuk interaksi dalam

praksis demokrasi di sekolah dan dalam masyarakat.

Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional

mata pelajaran PPKn berubah menjadi PKN sebagai mata pelajaran

kewarganegaraan (citizenship). Mata pelajaran ini memfokuskan pada

pembentukan diri yang beragama (agama, sosial-kultural, bahasa, usia, dan

suku bangsa) untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil,

dan berkarakter sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Pendidikan

Kewarganegaraan berfungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara

cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara

Indonesia dengan merefleksikannya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak

sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

2.1.7 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar PKN SD

Menurut Bermawi Munthe (2009:31) standar kompetensi adalah kebulatan

pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan tingkat penguasaan yang diharapkan

tercapai dalam mempelajari suatu pembelajaran sedangkan kompetensi dasasr

adalah jabaran dari standar kompetensi, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan

sikap minimal yang harus dikuasai siswa atau dengan kata lain kompetensi

dasar adalah kometensi-kompetensi pendukung atau penentu keberhasilan

tercapainya standar kompetensi.

Didalam Permen No.22 Th 2006 tentang Standar Kompetensi dan

Kompetensi Dasar SD/MI, maka ditetapkan Standar kompetensi dan

Kompetensi dasar untuk mata pelajaran PKn SD kelas V Semester II Tahun

Pelajaran 2011/2012 sebagai berikut:

27

Tabel 2.1 Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran

Pendidikan Kewarganegaraan Kelas V Semester II Tahun

Pelajaran 2011/2012

2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan, berikut ini dikemukakan

beberapa penelitian yang ada kaitanya dengan variable penelitian yang

dilakukan. “Penerapan Pembelajaran Kontekstual dengan Teknik Learning

Community untuk Meningkatkan Motivasi dan Hasil Belajar Siswa pada Mata

Pelajaran PAI di SDN Gadang 1 Malang”. Dari data di lapangan menunjukkan

bahwa terdapat peningkatan motivasi belajar siswa yang semula nilai rata-rata

pre-test sebesar 21 meningkat menjadi 27 atau sekitar 30% pada siklus I, pada

siklus II lebih meningkat lagi menjadi 36 atau sekitar 75% dari nilai rata-rata

awal (pre test). Sedangkan peningkatan antara siklus I ke siklus II sekitar 45%,

antara siklus II ke pre test sekitar 75%. Dengan meningkatnya motivasi belajar

siswa, maka hasil belajar merekapun juga meningkat, yang semula nilai ratarata

pre test 65,4 meningkat menjadi 72,7 atau sekitar 12% pada siklus I, pada siklus

II lebih meningkat lagi menjadi 82,8 atau sekitar 29% dari nilai pre test.

Standar Kompetensi Kompetensi Dasar

3. Memahami

kebebasan

berorganisasi

3.1 Mendeskripsikan pengertian organisasi

3.2 Menyebutkan contoh organisasi di

lingkungan sekolah dan masyarakat

3.3 Menampilkan peran serta dalam memilih

organisasi di sekolah

4. Menghargai

keputusan bersama

4.1 Mengenal bentuk-bentuk keputusan

bersama

4.2 Mematuhi keputusan bersama

28

“Peningkatan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) Melalui Pembelajaran Contekxtual Teaching And

Learning (CTL) Di Kelas IX SMP Negeri I Lamala Kabupaten Banggai”, dapat

disimpulkan bahwa penerapan pembelajaran CTL meningkatkan hasil belajar

siswa hal ini dapat dilihat dari pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kelas

eksperimen yang menggunakan metode (CTL) dan kelas kontrol yang tidak

menggunakan metode (CTL) terjadi perbedaan hasil belajar yang signifikan

yaitu harga thitung = 9,69 sedangkan harga ttabel untuk 0,01 = 2,60 dan 0,05 = 1,96

Penelitian pembelajaran kontekstual dengan teknik learning community

walaupun berbeda akan tetapi masih berhubungan dengan penelitian ini, dengan

demikian penelitian di atas mendukung penelitian ini. Pada penelitian ini

menekankan penerapan pembelajaran kontekstual dengan teknik learning

community pada peningkatan minat dan hasil belajar siswa terhadap mata

pelajaran PKn.

2.3 Kerangka Berfikir

Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan dengan cara melakukan

sejumlah tindakan dengan cara mengajar menggunakan teknik learning

community dimana siswa dikondisikan dalam kelompok-kelompok kecil dan

memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar untuk mengubah gaya

mengajar guru yang monoton saat proses pembelajaran berlangsung tentang

menghargai keputusan bersama.

29

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Penerapan Pembelajaran Kontekstual Dengan Teknik Learning Community

2.4 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kerangka berfikir yang telah di uraikan dalam Gambar 1,

hipotesis dalam penelitian ini adalah “Dengan penerapan pembelajaran

kontekstual teknik learning community diharapkan dapat meningkatkan minat

dan hasil belajar siswa kelas V pada mata pelajaran PKn di SD Negeri 2

Kapuan Cepu semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012”.

KONDISI AWAL

TINDAKAN

Guru belum menerap-

kan pembelajaran kon

tekstual dengan tek-

nik learning community

Dalam pembelajaran

guru menerapkan pem- belajaran kontekstual

dengan teknik learning

community

Minat dan hasil belajar siswa pada materi

menghargai keputusan

bersama masih rendah

KONDISI AKHIR Suklus II dalam

menerapkan pembelajaran

kontekstual dengan

teknik learning community

Melalui menerapan

pembelajaran konteks

tual dengan teknik learning

communitydiharapkan

dapat meningkatkan minat dan hasil belajar

siswa

Siklus I dalam menerapkan

pembelajaran

kontekstual dengan teknik learning

community