BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/65812/3/BAB II.pdf19 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian...
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/65812/3/BAB II.pdf19 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Penelitian...
19
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Multikulturalisme: Belajar dari masyarakat PerDesaan oleh Robert
Siburian
Artikel ini membahas tentang implementasi multikulturalisme oleh
masyarakat Desa Kerta Buana. Nilai-nilai multikulturalisme itu telah
diterapkan sejak pemerintah Indonesia menempatkan mereka di lokasi yang
baru itu sebagai peserta transmigrasi. Implementasi dari nilai-nilai itu penting
karena para transmigran di Desa yang jauh dari asal mereka datang dari
berbagai tempat dengan agama dan kebudayaan yang berbeda. Perbedaan itu
berpotensi menciptakan konflik apabila gagal dikelola. Tokoh dari setiap
kelompok masyarakat dan agama memahami perbedaan itu, sehingga mereka
mendorong setiap kelompok agar dapat hidup bersama. Meskipun masyarakat
di Desa Kerta Buana tidak memahami konsep multikulturalisme, secara tidak
sadar bahwa nilai-nilai multikulturalisme itu sudah mereka aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Multikultural : Studi tentang Interaksi Sosial Antara
Masyarakat Etnis Bali dan Etnis Sasak di Kota Amlapura oleh Ida
Bagus Wicaksana Herlambang, dkk
Artikel ini menjelaskan tentang faktor faktor sugesti dalam kekuasaan dan
pengaruh pihak puri yang menyebabkan pengaruh kuat antara masyarakat
etnis Bali dan mayarakat etnis Sasak di Kota Amlapura sehingga terjadi dalam
20
interaksi sosial. Besarnya pengaruh dan peran Puri Karangasem meletakan
dasar pembauran dan pemersatu kehidupan kedua masyarakat etnis tersebut.
Peran pihak puri dalam membantu etnis Sasak secara aspek ekonomi
diwujudkan dengan pemberian tanah tempat tinggal, lahan garapan, dan
sumbangan materi maupun nonmateri.
Faktor imitasi, identifikasi, dan simpati menjadi faktor terlemah yang
disebabkan tingkat kepatuhan dan pemahaman akan norma dan kaidah masih
memerlukan waktu panjang dan intervensi dari pihak puri dalam hal adaptasi
dan kerjasama antara kedua etnis tersebut. Interaksi dalam kehidupan
kemasyarakatan lebih bersifat asosiatif bukan disosiatif, karena belum pernah
terjadi pertikaian atau konflik besar. Adanya saling pengertian dan kerjasama
dari temuan simpulan, memunculkan keakraban dan kerjasama untuk
bersama-sam menjaga lingkungan keamanan yang diwujudkan dalam
organisasi jagabaya. Hal serupa hubungan simakrama menguat deang saling
menghadiri dalam upacara keagamaan seperti upacara Galungan, Lebaran,
perkawinan, sunatan, dan acara kerja bakti bersih lingkungan.
Multikulturalisme Masyarakat Perkotaan (Studi Tentang Integrasi Sosial
Antar Etnis di Kelurahan Nyamplungan Kecamatan Pabean Cantikan
Kota Surabaya) oleh Nur Syamsiah
Artikel ini menjelaskan tentang realitas sosial dalam hubungan sosial antar
etnis di kelurahan Nyamplungan dalam membangun dan menjaga integrase
sosial. Dalam konteks masyarakat majemuk, kesadaran multikultural menjadi
21
salah satu unsur yang cukup penting dalam upaya mewujudkan integrasi sosial
masyarakat. Terdapat enam indikator yang menjadi syarat terwujudnya
integrasi sosial, diantaranya : 1) Tidak mempermasalahkan adanya perbedaan;
2) Adanya kemauan untuk memberikan toleransi; 3) munculnya hibridasi
budaya dan identitas bersama; 4) Adanya kesediaan untuk bekerjasama; 5)
Adanya kemauan untuk bermusyawarah dan 6) berkembangnya solidaritas
sosial.
Interaksi Sosial Masyarakat Multikultural di Komplek Perumahan
Citraland Kecamatan Sambikerep Surabaya oleh Siti Nurul Janah
Artikel ini menjelaskan tentang Interaksi sosial pada masyarakat
multikultural seperti tolong-menolong, gotong royong, perayaan hari raya
keagamaan, bakti sosial untuk kebersihan lingkungan di komplek perumahan
Citraland Surabaya. Salah satunya adalah Garage sale yaitu pembagian
pakaian layak pakai untuk masyarakat kurang mampu, santunan anak yatim
dan kunjungan bersama ke Lapas.
Sedangkan permasalahan ekonomi menjadi faktor dominan yang
mempengaruhi interaksi sosial masyarakat multikultural di daerah setempat
adalah masalah ekonomi. Dominasi masyarakat ekonomi menengah, yang
memiliki bisnis dagang relatif lengkap, seperti supermarket, pasar tradisional,
kafe dan restoran, waterpark, kolam renang, sinema, Showroom Honda, kantor
pajak dan kantor pertanahan. Faktor agama menjadi dasar untuk saling
menghargai, toleransi, sehingga menciptakan hidup berdampingan yang baik.
22
Sedangkan sosial budaya menjadi ciri khas ciri khas pendatang, dengan cara
berbicara maupun gaya hidup masing-masing.
Membangun Kerukunan Masyarakat Multikultural oleh Ngainun Naim
Artikel ini membahas tentang Kehidupan umat beragama di Indonesia
bersifat dinamis. Relasinya tidak jarang diwarnai oleh pasang surut. Di tengah
dinamika kehidupan yang semakin kompleks, dibutuhkan pemahaman dan
kesadaran bersama terhadap keberadaan mereka yang berbeda. Karena itulah,
toleransi menjadi modal penting untuk membangun kerukunan. Pemahaman
dan kesadaran toleransi tidak bisa tumbuh secara natural. Dibutuhkan berbagai
upaya, baik secara konseptual maupun praktis, untuk menjadikan toleransi
sebagai bagian tidak terpisah dari kehidupan sehari-hari. Teologi kerukunan
dan fikih kerukunan adalah kontribusi pemikiran yang penting dalam kerangka
mewujudkan relasi antarumat beragama yang harmonis di Indonesia. Agenda
yang penting untuk ditindaklanjuti adalah rekonstruksi teologi kerukunan dan
fikih kerukunan secara lebih sistematis dan metodologis. Kerja intelektual
semacam ini tidak bisa instan. Namun jika ini mampu diwujudkan maka
gagasan semacam ini akan memperkaya khazanah pemikiran dan praktis
kehidupan keagamaan di Indonesia.
Multikulturalisme Dalam Perspektif Budaya Pesisir oleh Singgih Tri
Sulistiono
Artikel ini membahas tentang sifat kosmopolitanitas dan pluralitas
masyarakat dan budaya Perspektif multikulturalisme peradaban pesisir.
23
Jaringan interaksi global yang luas melalui pelayaran, perdagangan, migrasi,
dan sebagainya merupakan bagian yang inheren dari budaya dunia.
Sifat kosmopolitanitas berupa sifat terbuka, demokratis, toleran, dialog,
kemauan unutk berkoeksistensi damai. Sifat pluralitas masyarakat dan budaya
masyarakat pesisir sebagai akibat dari kegiatan pelayaran, perdagangan,
hubungan-hubungan politik dan budaya, diaspora, dan sebagainya.
Pengalaman hidup bersama dalam perbedaan dengan kepentingan yang sama
melahirkan mentalitas multikulturalisme menjadi ciri khas inheren peradaban
pesisir. Peradaban pesisir yang dinamis dan selalu terbuka dalam perjalanan
sejarah selalu terjadi proses pembentukan dan pembentukan kembali identitas
masyarakat yang bergantung kepada dinamika internal dan pengaruh
eksternal.
Peran Agama Dalam Multikulturalisme Masyarakat Indonesia oleh Rizal
Mubit
Dalam masyarakat modern, multikulturalisme lebih kompleks lagi. Sebab
budaya baru terus bermunculan akibat akses komunikasi dan informasi yang
tak terbendung. Saat terjadi pertemuan antara globalisasi negara-bangsa
(nation-state) dan kelompok identitas maka kemunculan dari kelompok-
kelompok identitas ini semakin menguat. Globalisasi akan mendorong
penguatan kesadaran politik dalam kelompok-kelompok ini dan membuka
kesadaran yang mendorong pentingnya identitas. Globalisasi memberikan
kesempatan kepada kelompok-kelompok identitas untuk menemukan akar
identitasnya.
24
Pemahaman agama, sebagai salah satu pilar penting dalam membentuk
masyarakat adil dan sejahtera menjadi penting untuk diperhatikan. Artinya,
kerigidan, penuhanan atas pemahaman sendiri dan menganggap yang lain
sebagai golongan sesat harus diberantas. Sebab pada hakikatnya tidak ada
kebenaran apa pun yang menginjak dan meniadakan kebenaran lain.
Kerukunan Masyarakat Multikultur Di Desa Banuroja, Gorontalo oleh
Hasanudin
Setiap suku bangsa memiliki kebudayaaan yang berbeda. Walaupun
masyarakat Banuroja memiliki keanekaragaman suku bangsa dan agama,
namun di Banuroja tidak pernah terjadi konflik. Tulisan ini mendeskripsikan
bagaimana masyarakat Banuroja menjaga kerukunan dalam menghindari
terjadinya konflik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, dan
sikap kepercayaan. Pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan
studi pustaka.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga faktor pendukung
terbangunnya kerukunan masyarakat multikultur dan agama yaitu solidaritas
dari berbagai sukubangsa dan agama dalam bentuk toleransi; para tokoh
masyarakat dalam menjaga keseimbangan dan kesetaraan masyarakat; dan
peranan Pesantren Salafiyah Syafiiyah dalam menjaga kerukunan dan
mempersatukan masyarakat. Kerukunan yang terbangun di Banuroja adalah
kerukunan dan toleransi dari paradigma pluralisme. Masyarakat Banuroja
menerima berbagai agama dan etnis dengan upaya menata keragaman dalam
25
membina kerukunan. Berdasarkan pembagian lima kategori multikulturalisme
oleh Bikhu Parekh, maka masyarakat Banuroja termasuk kategori
multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural dimana kelompok-
kelompok kultural berusaha mewujudkan kesetaraan dengan budaya dominan
dan menginginkan kehidupan dalam kerangka politik yang secara kolektif
dapat diterima.
Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Pandangan Hidup Masyarakat Adat
Kampung Kuta oleh Sukmayadi
Masyarakat adat Kampung Kuta memiliki pandangan hidup yang sampai
saat ini masih terjaga dan dilaksanakan meskipun dalam himpitan era
globalisasi. Pandangan hidup masyarakat adat Kampung Kuta terdiri dari
pandangan hidup yang berhubungan dengan manusia sebagai pribadi, manusia
dengan masyarakat, manusia dengan Tuhan dan Roh leluhur, manusia dalam
mengejar kepuasan lahiriah dan batiniah, manusia dengan alam.
Nilai-nilai karakter yang tercermin dalam pandangan hidup masyarakat
adat Kampung Kuta adalah nilai ikhlas, taat, visioner, bertanggung jawab,
pengabdian, setia, simpati, empati, kasih sayang, toleran, rela berkorban,
mengabdi, beriman, bertaqwa, sederhana, rendah hati, menghargai kesehatan,
bijaksana, dan berfikir konstruktif. Nilai-nilai karakter nasional bersumber dari
nilai-nilai kearifan lokal. Oleh karena itu, nilai-nilai yang terkandung dalam
ideologi bangsa Indonesia Pancasila, besumber dari nilai-nilai luhur budaya
bangsa.
26
Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local Wisdom) Tradisi Memitu Pada
Masyarakat Cirebon oleh Iin Wariin Basyari
Tradisi Jawa memitu (tingkeban/mitoni) merupakan bagian dari budi
pekerti Jawa yang memiliki makna filosofis dalam kehidupan. Tradisi
akulturasi budaya mempunyai nilai religi, sebagaimana hasil penelitian
penulis, walaupun tidak diajarkan dalam Islam, namun tradisi ini ada muatan
nilai yang diajarkan dalam Islam, yaitu permohonan keselamatan dan
kebahagiaan melalui laku suci (proses penyucian diri) dari berbagai kotoran
dan noda dosa kepada Allah SWT. Dari aspek religius menunjukkan adanya
suatu bentuk penghambaan seseorang untuk meningkatkan iman dan taqwa
kepada Allah SWT. Nilai unsur da’wah dalam penyelenggaraan tidak
bertentangan dengan kaidah agama, baik secara serimonial yang dipimpin oleh
seorang tokoh masyarakat yang berkedudukan sebagai ustadz atau ustadzah
atau kiai.
Kedua nilai psikologis dan kesehatan berupa faktor emosi dan aspek psikis
yang labil dan kritis karena menghadapi pengalaman pertama untuk
mempertaruhkan jiwa dan raga baik ibu maupun anaknya. Dengan adanya
tradisi ini dapat menumbuhkan ketenangan batin dan spiritual untuk
menghadapi persalinan. Ketiga nilai sosial budaya, yang terkandung dalam
nilai filosofis kehidupan dengan melestarikan tradisi leluhur untuk memohon
keselamatan. Nilai istimewa karena melestarikan budaya yang baik merupakan
kekayaan khazanah dalam kehidupan. Mitologi berperan sebagai media
pendidikan agar masyarakat memiliki identitas dan jati dirinya.
27
Keempat fungsi latency, dengan menjaga keseimbangan sosial, integritas
sosial, dan melestarikan gotong royong. Dengan demikian nilai kearifan lokal
(local wisdom), pada tradisi memitu, meliputi nilai religis, psikologi
kesehatan, nilai sosial dan nialai budaya.
Hubungan Agama dan Kearifan Lokal terhadap Perubahan Sosial
Masyarakat Banjarmasin oleh Desy A Rosyida
Tradisi suatu daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: faktor
geografis, faktor demografis, dan faktor sumber daya alam.
Sehingga melahirkan keunggulan dan keunikan tradisi yang sering kita
sebut sebagai kearifan lokal. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat
Banjarmasin beraneka ragam, diantaranya: tradisi baayun maulid, tradisi
basunat, tradisi bahumaDayakBakumpai, budaya jujuranadat perkawinan
Banjar, dan adanya pasar terapung Banjarmasin.
Kearifan lokal tersebut tidak terlepas dari ajaran agama, terutama ajaran
agama Islam. Karena mayoritas masyarakat banjarmasin beragama Islam.
Tradisi tersebut telah dilaksanakan sejak zaman nenek moyang. Namun seiring
perkembangan zaman dan teknologi, mereka tetap melaksanakan
tradisi tersebut sesuai dengan ajaran Islam. Agar anak cucu mereka bisa
mengetahui dan melestarikan tradisi tersebut tanpa mengurangi
kekhusukandalam menjalankan ibadahserta menghindari kemusyrikan.
28
Tabel 2.1
Penelitian Terdahulu
No Nama dan Judul
Penelitian
Hasil Penelitian Perbedaan dan
Persamaan
1. Robert Siburian,
2017
Implementasi Nilai-nilai
multikulturalisme itu telah
diterapkan sejak
pemerintah Indonesia
menempatkan mereka di
lokasi yang baru itu
sebagai peserta
transmigrasi. Tokoh dari
setiap kelompok
masyarakat dan agama
memahami perbedaan itu,
sehingga mereka
mendorong setiap
kelompok agar dapat hidup
bersama. Meskipun
masyarakat di Desa Kerta
Buana tidak memahami
konsep multikulturalisme,
secara tidak sadar bahwa
nilai-nilai
multikulturalisme itu sudah
mereka aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
Perbedaan:
masyarakat Desa pada
lokasi penelitian
tersebut adalah
masyarakat
transmigrant,
keberagaman yang
ada di lokasi
penelitian tersebut
disebabkan oleh
budaya yang dibawa
oleh masing-masing
kelompok masyarakat
dari daerah asal.
Persamaan : tema
penelitian yang
dilakukan Robert
sama dengan
penelitian yang
direncanakan peneliti,
tema yang diambil
adalah
Multikulturalisme di
masyarakat pedesaan.
Multikulturalisme:
Belajar dari
masyarakat
Perdesaan
2. Ida Bagus
Wicaksana
Faktor penyebeb terjadinya
interaksi sosial masyarakat
Perbedaan :
penelitian oleh Ida
29
Herlambang, dkk,
2015
etnis Bali dan mayarakat
etnis Sasak di Kota
Amlapura yang paling kuat
pengaruhnya adalah faktor
sugesti dalam kekuasaan
dan pengaruh pihak puri
terhadap masyarakat
tersebut dalam bentuk
interaksi sifat asosiatif dari
pada disosiatif.
Bagus dkk lebih
mengarah ke Interaksi
sosial yang terjalin
antara komunitas suku
bali dan suku sasak.
Persamaan :
Persamaan penelitian
oleh Ida Bagus dkk
adalah sama-sama ada
pengaruh yang
menjadikan
masyarakat hidup
rukun, jika di
penelitian Ida Bagus
menyebutkan adanya
pengaruh Puri,
sementara di Desa
Balun adanya
pengaruh dari
ketokohan Mbah
Alun.
Masyarakat
Multikultural :
Studi Tentang
Interaksi Sosial
Antara Masyarakat
Etnis Bali Dan
Etnis Sasak Di
Kota Amlapura
3. Nur Syamsiyah,
2018
Kesadaran multikultural
menjadi salah satu unsur
yang cukup penting dalam
upaya mewujudkan
integrasi sosial masyarakat.
Terdapat enam indikator
yang menjadi syarat
terwujudnya integrasi
sosial, diantaranya : 1)
Tidak mempermasalahkan
Perbedaan:
Perbedaan penelitian
oleh Nur Syamsiah
adalah, bahwa adanya
enam indikator yang
menjadi syarat
terwujudnya integrasi
sosial. Sementara
penelitian yang
direncanakan peneliti
Multikulturalisme
Masyarakat
Perkotaan (Studi
Tentang Integrasi
Sosial Antar Etnis
di Kelurahan
Nyamplungan
Kecamatan Pabean
30
Cantikan Kota
Surabaya)
adanya perbedaan; 2)
Adanya kemauan untuk
memberikan toleransi; 3)
munculnya hibridasi
budaya dan identitas
bersama; 4) Adanya
kesediaan untuk
bekerjasama; 5) Adanya
kemauan untuk
bermusyawarah dan 6)
berkembangnya solidaritas
sosial.
adalah
mendeskripsikan lima
nilai kearifan lokal
sebagai perekat
kerukunan
masyyarakat
multikultur.
Persamaan:
Persamaan dari
penelitian ini adalah,
sama-sama membahas
faktor yang
menjadikan integritas
sosial dalam
masyarakat
multikultur.
4. Siti Nurul Janah,
2018
Interaksi sosial pada
masyarakat multikultural di
komplek perumahan
Citraland Surabaya
berjalan dengan baik, hal
ini terbukti bentuk-bentuk
interaksinya seperti tolong-
menolong, gotong royong,
perayaan hari raya
keagamaan, bakti sosial
untuk kebersihan
lingkungan, garage sale
Perbedaan:
Penelitian ini
dilakukan di
Perkotaan, sementara
penelitian yang akan
dilakukan oleh
peneliti mengambil
lokasi di perDesaan.
Persamaan:
Persamaan penelitian
pada penelitian ini
adalah sama-sama
Interaksi Sosial
Masyarakat
Multikultural Di
Komplek
Perumahan
Citraland
Kecamatan
Sambikerep
Surabaya
31
yaitu membagikan pakaian
layak pakai pada
masyarakat kurang mampu,
kunjungan bersama ke
penjara-penjara, santunan
anak yatim.
membahas pola
interaksi sosial
masyarakat
multikultural disuatu
lingkungan
masyarakat.
5. Ngainun Naim,
2016
Teologi kerukunan dan
fikih kerukunan adalah
kontribusi pemikiran yang
penting dalam kerangka
mewujudkan relasi
antarumat beragama yang
harmonis di Indonesia.
Agenda yang penting untuk
ditindaklanjuti adalah
rekonstruksi teologi
kerukunan dan fikih
kerukunan secara lebih
sistematis dan metodologis.
Kerja intelektual semacam
ini tidak bisa instan.
Namun jika ini mampu
diwujudkan maka gagasan
semacam ini akan
memperkaya khazanah
pemikiran dan praktis
kehidupan keagamaan di
Indonesia.
Perbedaan:
Penelitian ini melihat
faktor pembentuk
kerukunan antar umat
beragama adalah
bersumber dari
teologi dan fikih.
Persamaan:
Persamaan pada
kerukunan antar umat
beragama yang ada
disuatu lingkungan
masyarakat.
Membangun
Kerukunan
Masyarakat
Multikultural
32
6. Singgih Tri
Sulistiono, 2017
Sifat kosmopolitanitas
yang menyebabkan
peradaban pesisir memiliki
sifat terbuka, demokratis,
toleran, dialog, kemauan
untuk berkoeksistensi
damai. Sementara itu sifat
pluralitas masyarakat dan
budaya pesisir juga tidak
dapat dilepaskan dari akan
historis. Hal ini
mengondisikan masyarakat
pesisir sebagai masyarakat
plural. Pengalaman hidup
bersama dalam perbedaan
namun memiliki
kepentingan yang sama
telah melahirkan mentalitas
multikulturalisme yang
merupakan ciri inheren
peradaban pesisir.
Persamaan :
Adanya faktor nilai
kearifan lokal yang
menjadi pengikat bagi
masyarakat pesisir
sehingga masyarakat
pesisir bertekat untuk
hidup damai dalam
perbedaan atau dalam
kondisi yang plural
dan multikultur
Perbedaan :
Seting penelitian
dilakukan di daerah
pesisir, berbeda
dengan Desa balun
yang berseting di
daerah yang jauh dari
bibir pantai
Multikulturalisme
Dalam Perspektif
Budaya Pesisir
7. Rizal Mubit, 2016 Pemahaman agama,
sebagai salah satu pilar
penting dalam membentuk
masyarakat adil dan
sejahtera menjadi penting
untuk diperhatikan.
Artinya, kerigi dan,
penuhanan atas
pemahaman sendiri dan
menganggap yang lain
Perbedaan :
Pemahaman agama
menjadi faktor
penting dalam
menjaga kerukunan
masyarakat
multikultural
Persamaan :
Penelitian yang akan
dilakukan, sama-sama
Peran Agama
Dalam
Multikulturalisme
Masyarakat
Indonesia
33
sebagai golongan sesat
harus diberantas. Sebab
pada hakikatnya tidak ada
kebenaran apa pun yang
menginjak dan meniadakan
kebenaran lain
membahas tentang
faktor yang
menjadikan
kerukunan dalam
masyarakat
multikultur
8. Hasanudin, 2018 terdapat tiga faktor
pendukung terbangunnya
kerukunan masyarakat
multikultur dan agama
yaitu solidaritas dari
berbagai sukubangsa dan
agama dalam bentuk
toleransi; para tokoh
masyarakat dalam menjaga
keseimbangan dan
kesetaraan masyarakat; dan
peranan Pesantren
Salafiyah Syafiiyah dalam
menjaga kerukunan dan
mempersatukan
masyarakat. Kerukunan
yang terbangun di
Banuroja adalah kerukunan
dan toleransi dari
paradigma pluralisme.
Perbedaan :
Lokasi penelitian
terdapat di luar pulau
jawa, sementara
penelitian berseting di
pulau jawa dan
kearifan lokal yang
ada di jawa sebagai
perekat kohesivitas
sosial masyarakat
multikultural.
Persamaan :
terdapat faktor
pendukung
terbangunnya
kerukunan
Kerukunan
Masyarakat
Multikultur Di
Desa Banuroja,
Gorontalo
9. Sukmayadi , 2018 Nilai-nilai karakter yang
tercermin dalam
pandangan hidup
masyarakat adat Kampung
Kuta adalah nilai ikhlas,
Perbedaan :
Kohesivitas
masyarakat kuta
dibentuk dengan
adanya nilai karakter
Nilai-Nilai
Kearifan Lokal
Dalam Pandangan
34
Hidup Masyarakat
Adat Kampung
Kuta
taat, visioner, bertanggung
jawab, pengabdian, setia,
simpati, empati, kasih
sayang, toleran, rela
berkorban, mengabdi,
beriman, bertaqwa,
sederhana, rendah hati,
menghargai kesehatan,
bijaksana, dan berfikir
konstruktif.
yang berasal dari nilai
kearifan lokal
nasional
Persamaan :
Nilai kearifan lokal
yang menjadi perekat
masyarakat
multikultural
10. Iin Wariin Basyari Tradisi adat Jawa memitu
(tingkeban/mitoni)
merupakan bagian dari
budi pekerti Jawa yang
memiliki makna filosofis
dalam kehidupan. Tradisi
ini memang merupakan
akulturasi budaya lokal
dengan Islam. Pertama
nilai religi, Kedua nilai
psikologis dan kesehatan,
Perbedaan :
Terdapat tradisi yang
menjadi filosofis
kehidupan bagi
masyarakat di cirebon
Persamaan :
Nilai-nilai tradisi dan
budaya yang dipegang
masyarakat menjadi
faktor pengikat
kerukunan masyarakat
Nilai-Nilai
Kearifan Lokal
(Local Wisdom)
Tradisi Memitu
Pada Masyarakat
Cirebon
11. Desy A Rosyida,
2019
Kearifan lokal yang
dimiliki masyarakat
Banjarmasin beraneka
ragam, diantaranya:
tradisi baayun maulid,
tradisi basunat, tradisi
bahuma Dayak Bakumpai,
budaya jujuran adat
perkawinan Banjar, dan
adanya pasar terapung
Perbedaan :
Tradisi yang ada di
masyarakat
Banjarmasin dibentuk
dan dipengaruhi oleh
ajaran agama
Persamaan :
Nilai kearifan lokal
yang menjadi perekat
masyarakat
Hubungan Agama
dan Kearifan
Lokal terhadap
Perubahan Sosial
Masyarakat
Banjarmasin oleh
35
Banjarmasin.
Kearifan lokal tersebut
tidak terlepas dari ajaran
agama, terutama ajaran
agama Islam. Karena
mayoritas masyarakat
banjarmasin beragama
Islam. Tradisi tersebut
telah dilaksanakan sejak
zaman nenek moyang.
Namun seiring
perkembangan zaman
dan teknologi, mereka
tetap melaksanakan
tradisi tersebut sesuai
dengan ajaran Islam.
multikultural
2.2.Kerukunan Antar Umat Beragama
2.2.1. Pengertian Kerukunan Umat Beragama
Kerukunan merupakan istilah yang mempunyai makna baik dan damai.
Menurut Magnis Suseno (2001) dalam (Hasanudin, 2018), bahwa
kerukunan berasal dari kata rukun yang diartikan berada dalam keadaan
selaras, tenang dan tentram, tanpa perselisihan dan pertentangan serta
bersatu dalam rangka untuk saling membantu. Kerukunan berkonotasi
sebagai kehidupan bersama dalam masyarakat dengan sepakat untuk tidak
menciptakan perselisihan dan konflik. Kerukunan mencerminkan
hubungan timbal balik yang bercirikan saling menerima, menghargai,
36
kebersamaan dan toleransi (Ali, dkk, 2009: 301) dalam (Hasanudin, 2018).
Kerukunan secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan
kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku,
agama, ras, dan golongan. Selain bermakna sebagai kemampuan dan
kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta
tenteram, kerukunan juga bermakna sebagai proses untuk menjadi rukun
karena sebelumnya ada ketidakrukunan. Untuk mencapai kerukunan
seperti itu, tentu diperlukan adanya proses dialog, saling terbuka, saling
menerima, saling menghargai, serta saling menanamkan rasa cinta-kasih.
Istilah kerukunan umat beragama pertama kali dikemukakan oleh
Menteri Agama, K.H. M. Dachlan, dalam pidato pembukaan Musyawarah
Antar Agama tanggal 30 Nopember 1967 antara lain menyatakan: "Adanya
kerukunan antara golongan beragama adalah merupakan syarat mutlak
bagi terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi yang menjadi program
Kabinet AMPERA. Oleh karena itu, kami mengharapkan sungguh adanya
kerjasama antara Pemerintah dan masyarakat beragama untuk menciptakan
“iklim kerukunan beragama ini, sehingga tuntutan hati nurani rakyat dan
cita-cita kita bersama ingin mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur yang dilindungi Tuhan Yang Maha Esa itu benarbenardapat
berwujud” (Rusydi et al., 2018)
2.2.2. Faktor Pembentuk Kerukunan Umat Beragama
Untuk menciptakan sebuah kerangka konseptual dan partikal
kerukunan beragama, ada beberapa aspek atau faktor yang perlu diamati.
37
Faktor yang dapat mengkondusifkan aktualisasi kerukunan diataranya
menurut (Iwan, 2013) :
a) Semua agama melalui pemuka dan umatnya dapat melaksanakan
kegiatan dengan tujuan mensejahterakan sosial masyarakat.
b) Semua agama di Indonesia bersedia mengembangkan wawasan
keagamaan yang inklusif, bersedia menerima dan menghargai
kehadiran golongan agama-agama lain di luar dirinya.
c) Hubungan kekerabatan yang dapat meredam pertentangan antar
agama.
d) Kebiasaan-kebiasaan masyarakat tradisional yang sudah
terinstitusionalisasikan untuk memelihara ketertiban masyarakat.
e) Kerjasama antara pemerintah dengan pemuka agama
f) Penggunaan media informasi yang positif.
2.3.Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Indonesia merupakan salah satu negara multi etnis, ras, suku, Bahasa, budaya
dan agama. Agama-agama di Indonesia dan berbagai aliran keprcayaan tumbuh
dan berkembang subur. Budaya Nusantara yang Bhinneka merupakan kenyataan
hidup yang tidak dapat dihindari. Kebhinnekaan ini perlu disandingkan bukan
dipertentangkan. Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia adaah sebuah
manifestasi gagasan dan nilai sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan
wawasan dalam saling apresiasi. (Radmila, 2011)
Kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan yang mengalami penguatan secara
terus menerus dan menjadi lebih baik. Kearifan lokal sebagai manifestasi
38
kebudayaan menunjukan sebagai salah satu bentuk humanisasi manusia dalam
berkebudayaan. Di kalangan antropolog ada tiga pola yang dianggap berkaitan
dengan masalah perubahan kebudayaan, tiga pola tersebut adalah evolusi, difusi
dan akulturasi. (Radmila, 2011)
Setidaknya ada lima nilai-nilai kearifan lokal yang membentuk kerukunan
dalam masyarakat multikultural, kelima nilai tersebut adalah :
a) Toleransi, Toleransi berasal dari bahasa latin tolerantia, berarti kelonggaran,
kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Secara umum istilah toleransi
mengacu pada sikap terbuka, lapang dada, suka rela dan kelembutan. (Casram,
2016)
b) Kesetaraan, masyarakat plural yang kelompok-kelompok kultural utamanya
berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif
bisa diterima. (Ana Irhandayaningsih, 2018)
c) Gotong royong, kehidupan manusia dalam masyarakat tidak terlepas dari
adanya interaksi sosial antar sesamanya. Pada dasarnya manusia sesuai dengan
fitrahnya merupakan makhluk sosial yang tidak biasa hidup sendiri melainkan
membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh sebab itu di dalam kehidupan
masyarakat diperlukan adanya kerjasama dan sikap gotong royong dalam
menyelesaikan segala permasalahan. (Irfan, 2017)
d) Kebersamaan, kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara
damai dalam perbedaan. (Suardi, 2017)
39
e) Persaudaraan, salah satu upaya dalam menciptakan keharmonisan dalam
masyarakat multikultural adalah dengan meningkatkan solidaritas dan rasa
persaudaraan antar masyarakat. (Afandi, 2018)
2.4.Pengertian Multikulturalisme
Multikulturalisme berasal dari dua kata, multi (banyak) dan cultural (budaya
atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya
yang mesti dipahami adalah bukan budaya dalam arti sempit, melainkan harus
dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupanya. Dialektika ini
akan melahirkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, Bahasa,
dan lain-lain. (Maksum, 2011)
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan
derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme
diperlukan landasan pengetahuan yang berupa konsep-konsep yang relevan dan
mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan
manusia. Dalam visi Mpu Tantular, kebhinnekaan, keragaman, atau pluralitas
terbatas hanya sebagai kenyataan fisik-biotik. (Maksum, 2011)
Multikulturalisme dijadikan sebagai acuan utama terbentuknya masyarakat
multikultural yang damai, masyarakat multikultural sangat mungkin terjadi
konflik vertikal dan horizontal yang dapat menghancurkan masyarakat tersebut.
Sebagai contoh, pertikaian yang melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga
agama terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia seperti konflik poso. (Suardi,
2017)
40
2.4.1. Ciri-ciri Masyarakat Majemuk
Sebagaimana dikemukakan oleh Berghe dalam (Rustanto, 2015)
menyebutkan ciri-ciri masyarakat majemuk antara lain :
a. Terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang
seringkali memiliki subkebudyaan yang berbeda satu sama lain.
b. Memiliki struktur sosial yang terbagi dalam lembaga yang bersifat
non-komplementer.
c. Kurang mengembangkan konsensus di antara anggota terhadap nilai-
nilai yang bersifat dasar.
d. Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik di antara
kelompok yang satu dengan yang lainya.
e. Secara relatif integrasi sosial tumbuh diatas paksaan dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-
kelompok yang lain.
2.4.2. Jenis Multikulturalisme
Menurut konfigurasi dari komunitas etnisnya, masyarakat majemuk
menurut Berghe dalam (Rustanto, 2015) membedakan menjadi empat
kategori, yaitu sebagai berikut :
a. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, yaitu masyarakat
majemuk yang terdiri dari komunitas atau kelompok etnis yang
memiliki kekuatan kompetitif seimbang.
41
b. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, yaitu masyarakat
majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis
yang kekuatan kompetitif tidak seimbang.
c. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, yaitu masyarakat
yang antara komunitas atau kelompok etnisnya terdapat kelompok
minoritas, tetapi mempunyai kekuatan kompetitif di atas yang lain,
sehingga mendominasi politik dan ekonomi.
d. Masyarakat majemuk dengan fragmatasi, yaitu masyarakat yang
terdiri atas sejumlah besar komunitas atau kelompok etnis, dan tidak
ada satu kelompok pun yang mempunyai posisi politik atau ekonomi
yang dominan
2.4.3. Faktor Penyebab Terbentuknya Multikulturalisme
Faktor-faktor yang menyebabkan kemajemukan di masyarakat adalah :
a. Letak suatu negara/ masyarakat
Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera
Pasifik, sangat memengaruhi terciptanya pluralitas agama di dalam
masyarakat Indonesia. Letak Indonesia yang berada di tengah-tengah
lalu-lintas perdagangan laut, maka masyarakat Indonesia telah sejak
lama memperoleh pengaruh-pengaruh kebudayaan asing melalui para
pedagang asing.
42
b. Keadaan geografis
Keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia kurang lebih
3000 pulau merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap
terciptanya pluralitas suku bangsa di Indonesia.
c. Iklim yang berbeda dan keadaan struktur tanah yang berbeda
Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang
menciptakan dua macam lingkungan ekologis yang berbeda di
Indonesia. Daerah pertanian (wet rice cultivation) banyak di pulau
Jawa dan Bali, sementara daerah pertanian lading (shifting culvation)
banyak dijumpai di luar pulau Jawa. Hal ini dapat menjadikan
perbedaan yang kontras antara Jawa dan luar Jawa dalam bidang
kependudukan, ekonomi, dan sosial-budaya.
2.4.4. Perkembangan Multikulturalisme
a. Kelompok sosial berdasarkan ras
Pola pergaulan di Indonesia tidak mengenal adanya rasialisme atau
superioritas satu ras di atas ras yang lainya, dalam pengertian tidak ada
ras yang di istimewakan atau dianggap unggul.
b. Kelompok sosial berdasarkan Bahasa
Bangsa Indonesia mengalami proses Panjang untuk mewujudkan suatu
persamaan pada Bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Persamaan asal
rumpun Bahasa yaitu Austronesia inilah yang menjadikan mudah
untuk dipahami oleh suku bangsa lainya.
43
c. Kelompok sosial berdasarkan suku bangsa
Masing-masing suku bangsa di Indonesia memiliki kebudayaan yang
berbeda yang tercermin pada kehidupanya. Terdapat lebih dari 366
suku bangsa yang didasarkan pada Bahasa, daerah, kebudayaan, dan
susunan masyarakat.
d. Kelompok sosial berdasrkan perbedaan agama
Masyarakat Indonesia terbagi menjadi beberapa kelompok sosial yang
diikat oleh unsur-unsur religi. Setidaknya ada lima kelompok religi
yang jumlah anggotanya cukup besar, yaitu Islam, Katolik, Protestan,
Budha dan Hindu.
44
2.5.Kerangka Teori
Pierre L. Van Den Bergh
(Rustanto, 2015: 31, 34)
Multikulturalisme
(Andre Ata Ujan, et.all)
(Ahmad Sonhaji)
Ciri-ciri Masyarakat
Majemuk
Masyarakat Desa Balun yang Multikultur
Jenis Multikulturalisme
Nilai-nilai Kearifan Lokal
Faktor Penyebab Terjadinya
Multikulturalisme
Perkembangan Multikultural
45
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosial
multikultural. Suatu perkkembangan mukhtakhir yang terkait dengan
posmodernisme khususnya penekananya pada pinggiran dan kecenderungan untuk
menumbangkan medan permainan intelektual adalah munculnya teori sosial
multikultural (Limert, 2001, Roger, 1926a dalam George Ritzer, 2012)
Kemunculan teori multikultural tersebut ditengarai oleh munculnya teori
sosiologis feminis pada tahun 1970-an. Kaum feminis mengeluhkan bahwa teori
sosiologis sebagian besar tertutup bagi suara-suara wanita, dan pada tahun-tahun
berikutnya banyak kelompok minoritas menggemakan keluhan-keluhan kaum
feiminis. Nyatanya, wanita minoritas (misalnya, wanita Amerika keturunan Afrika
dan Latin) mulai mengeluh bahwa teori feminis terbatas pada perempuan kelas
menengah kulit putih dan harusnya lebih tanggap terhadap banyak suara lainya.
Sekarang ini teori feminis sudah jauh lebih beragam, sebagaimana teori sosiologis.
Teori multikultural telah mengambil serangkaian bentuk yang beragam.
Contoh-contohnya meliputi, teori Arosentrik (Asante, 1996) studi-studi
Appalachian (Bhanks, Billings, dan Tice, 1996), teori Amerika pribumi (Buffalo
Head, 1996) dan bahkan teori-teori maskulinitas (Connell, 1996; Kimmel, 1996).
Sebagaimana dikemukakan Roges (1996b: 11-16) dalam George Ritzer (2012:
385-387) Hal-hal yang mencirikan teori multikultural antara lain :
a. Teori-teori multikultural menolak teori-teori universalistic yang cenderung
mendukung pihak yang berkuasa; teori-teori multikultural berusaha
memberdayakan orang-orang yang kurang mempunyai kekuatan.
46
b. Teori multikultural berusaha bersikap inklusif, menawarkan teori yang
memihak kepada banyak kelompok yang dilemahkan.
c. Teoritisi multikultural tidak bebas nilai; mereka sering berteori dengan
memihak orang-orang yang tidak mempunyai kuasa dan bekerja di dunia
untuk mengubah struktur sosial, kebudayaan, dan prospek-prospek untuk
individu.
d. Para teoritisi multikultural berusaha mengganggu bukan hanya dunia sosial,
tetapi juga dunia intelektual; mereka membuatnya jauh lebih terbuka dan
beragam.
e. Tidak ada usaha untuk menarik garis yang jelas antara teori dan tipe-tipe
narasi lainya.
f. Biasanya ada suatu ujung kritis bagi teori multikultural; itu adalah kritik diri
dan juga kritik atas teori-teori lain dan yang paling penting atas dunia sosial.
g. Para teoritisi multikultural mengakui bahwa karya mereka dibatasi oleh
konteks historis, sosial, dan budaya tertentu yang kebetulan merupakan tempat
tinggal mereka.
Kaitanya dengan penelitian ini adalah terdapatnya fenomena multikultural
yang ada di Desa Balun Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan, dimana Desa
tersebut memiliki masyarakat yang beragam (majemuk) yang dilandasi oleh nilai-
nilai kearifan lokal sekaligus menjadi perekat kohesivitas sosial. Oleh karena itu
diberi predikat Desa Pancasila oleh khalayak pada umumnya.
47
2.6. Kerangka Berpikir
PEMERINTAH DESA BALUN KOMUNITAS ISLAM KOMUNITAS
KRISTEN
KOMUNITAS HINDU
NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL
(CORE VALUES) :
• GOTONG ROYONG
• TOLERANSI
• KESETARAAN
• KEBERSAMAAN
• PERSAUDARAAN
MASYARAKAT DESA BALUN YANG MULTIKULTUR
TOKOH MASYARAKAT/ ADAT TOKOH AGAMA
MASYARAKAT BALUN YANG MAJEMUK
DESA PANCASILA
48