bab II jadii.rtf

51
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Sastra Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan yang luas, yang meliputi teori sastra. Menurut Teew (dalam Ratna 2011:4) sastra berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “sas” berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Akhiran “tra” berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Dalam perkembangan berikutnya kata sastra sering dikombinasikan dengan awalan “su”, sehingga menjadi susastra yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Sastra sendiri memiliki banyak definisi menurut sudut pandang masing-masing. Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Bentuk karya sastra juga ada beberapa macam, meliputi; (1) Karya sastra yang berbentuk prosa, (2) karya sastra yang berbentuk puisi dan (3) karya sastra yang berbentuk drama. Bicara mengenai sastra tidak lepas dari fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan 1

Transcript of bab II jadii.rtf

Page 1: bab II jadii.rtf

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Sastra

Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan

yang luas, yang meliputi teori sastra. Menurut Teew (dalam Ratna

2011:4) sastra berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “sas” berarti

mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Akhiran “tra”

berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti kumpulan alat

untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Dalam

perkembangan berikutnya kata sastra sering dikombinasikan dengan

awalan “su”, sehingga menjadi susastra yang diartikan sebagai hasil

ciptaan yang baik dan indah. Sastra sendiri memiliki banyak definisi

menurut sudut pandang masing-masing.

Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang

digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa

keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Bentuk karya

sastra juga ada beberapa macam, meliputi; (1) Karya sastra yang

berbentuk prosa, (2) karya sastra yang berbentuk puisi dan (3) karya

sastra yang berbentuk drama. Bicara mengenai sastra tidak lepas dari

fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan

1

Page 2: bab II jadii.rtf

sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga

berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah),

nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1369) disebutkan bahwa

“sastra adalah bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai di kitab-kitab

bukan bahasa sehari-hari”, sedangkan menurut Wellek dan Warren

(1993: 109) “sastra adalah intuisi sosial yang memakai medium bahasa”.

Lebih lanjut Wellek menyatakan bahwa sastra merupakan suatu kegiatan

kreatif, sebuah karya seni. Setiap karya sastra pada dasarnya bersifat

umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepatnya lagi

individual dan umum sekaligus. Setiap karya sastra mempunyai

sifat-sifat yang sama dengan karya seni lainnya. Senada dengan

pendapat tersebut Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1988: 3) berpendapat

bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,

pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk

konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa sastra

adalah suatu karya manusia berupa karya tulis yang merupakan

pengungkapan realitas kehidupan masarakat, pengalaman, pemikiran,

2

Page 3: bab II jadii.rtf

perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran

kongkrit yang memiliki ciri keindahan dengan alat bahasa.

Berbicara masalah sastra maka tidak dapat terlepas dari istilah

kebudayaan, seperti pendapat Sumardjo (2004:8) yang menyatakan

bahwa “sastra merupakan bagian dari kebudayaan karena diciptakan dan

dinikmati oleh manusia”. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman

hidup manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi

pengalaman hidupnya, seperti penggunaan bentuk-bentuk mantra dan

mitos dalam upacara-upacara religi maupu aspek penciptaanya yang

mengekspresikan pengalaman batinnya mengenai kehidupan masyarakat

dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu.

Hal di atas semakin diperjelas dengan pendapat Damono (1978: 2)

bahwa “sastra merupakan cerminan dari masyarakat". Novel sebagai

salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya banyak mengandung

aspek kahidupan terutama aspek budaya. Dalam sebuah karya sastra

seperti novel, banyak menampilkan berbagai peristiwa kehidupan

masyarakat pada suatu zaman dan karya sastra tidak lahir dari

kekosongan budaya yang dialami oleh tokoh atau pelaku dalam suatu

novel.

3

Page 4: bab II jadii.rtf

2. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novellus yang diturunkan

dari kata noveus yang berarti baru. Kata novel ini kemudian

berkembang di Inggris dan Amerika Serikat, sedangkan istilah roman

berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan yang merupakan

cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman

berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan bagianbagian Eropa

daratan lain. Berdasarkan asal-usul istilah tersebut, perbedaan antara

roman dan novel terletak pada bentuk, yaitu novel lebih pendek

dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir

sama.

Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2010: 16) mendefinisikan novel sebagai

“suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di

sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari

kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode.” Pengertian

novel menurut Sudjiman (1984: 53) adalah “prosa rekaan yang panjang,

yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian

peristiwa dan latar secara tersusun”.

Novel cenderung bersifat meluas dan kompleks. Dalam arti luas novel

adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang

luas dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter

yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan

latar (setting) cerita yang beragam pula. Namun, ukuran luas ini pun

4

Page 5: bab II jadii.rtf

tidak mutlak, bisa terjadi hanya salah satu unsur fiksi saja, misalnya

tema, sedangkan karakter, latar, dan lain-lainnya bersifat tunggal.

Sebagai bentuk sastra, novel (bahasa Jerman) adalah sebuah bentuk

Dichtung; dan dalam bentuknya yang paling sempurna, novel

merupakan epic modern (Wellek dan Warren, 1995: 276). Ada juga yang

beranggapan bahwa novel dianggap sebagai dokumen atau kasus

sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan),

sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup

seseorang dan zamannya. Dengan demikian, novel merupakan cerita

yang menampilkan suatu kejadian luar biasa pada kehidupan pelakunya

yang menyebabkan perubahan sikap hidup atau menentukan nasibnya.

Novel merupakan salah satu karya yang mengisahkan kehidupan

manusia, dicirikan oleh adanya konflik-konflik yang akhirnya

menyebabkan perubahan para tokohnya. Perubahan jalan hidup sang

tokoh ini tidak harus selalu diakhiri keberhasilan, tetapi terkadang juga

kegagalan. Di samping beberapa pengertian di atas, ada juga yang

mengatakan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus

yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. “Dikatakan baru

karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi dan

drama”. (Tarigan, 1984: 164). Novel merupakan karya fiksi yang

mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan

disajikan dengan halus. Novel (Novella) diartikan sebuah barang baru

yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk

prosa.

5

Page 6: bab II jadii.rtf

Di samping itu pula, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 4)

berpendapat bahwa “novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan

atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik”. Novel

sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi

model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun

melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh

(penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu

saja, juga bersifat imajinatif.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1079), novel adalah

“karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan

watak dan sifat setiap pelaku”. Novel adalah salah satu bentuk dari

sebuah karya sastra. Selain itu, novel merupakan cerita fiksi dalam

bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan

ekstrinsik.

Dari beberapa pendapat di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa

novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran

yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks,

karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang

beragam, dan setting cerita yang beragam pula.

3. Ciri-Ciri Novel

6

Page 7: bab II jadii.rtf

Sebagai salah satu hasil karya sastra, novel memiliki ciri khas tersendiri

bila dibandingkan dengan karya sastra yang lain. Dari segi jumlah kata

ataupun kalimat, novel lebih mengandung banyak kata dan kalimat

sehingga dalam proses pemaknaannya relative jauh lebih mudah

daripada memaknai sebuah puisi yang cenderung mengandung beragam

bahasa kias. Berkaitan dengan masalah tersebut, Sumardjo memberikan

ciri-ciri novel sebagai berikut: (1) Plot sebuah novel berbentuk tubuh

cerita, dirangkai dengan plot-plot kecil yang lain, karena struktur bentuk

yang luas ini maka novel dapat bercerita panjang dengan persoalan yang

luas, (2) Tema dalam sebuah novel terdapat tema utama dan pendukung,

sehingga novel mencakup semua persoalan, (3) Dari segi karakter,

dalam novel terdapat penggambaran karakter yang beragam dari tokoh-

tokoh hingga terjalin sebuah cerita yang menarik.

Brook (dalam Tarigan, 1984:185) memberikan ciri-ciri novel sebagai

berikut:

a. Novel bergantung pada tokoh, yaitu sebuah novel bergantung pada

tokoh yang diperankannya dan bagaimana pengarang memainkan

tokoh yang nanti akan diceritakannya.

b. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, yaitu sebuah novel

menyajikan lebih dari satu impresi artinya sebuah novel biasanya

menyajikan lebih dari satu kesan dari pembaca maupun pengarang.

c. Novel menyajikan lebih dari satu efek, yaitu sebuah novel lebih dari

satu efek yang artinya menyebabkan akibat, kesan, dan pengaruh

dalam sebuah novel.

7

Page 8: bab II jadii.rtf

d. Novel menyajikan lebih dari satu emosi, yiatu sebuah novel

menyajikan lebih dari satu emosi yang artinya suatu perasaan yang

nanti akan timbul dalam sebuah cerita.

Novel sebagai sebuah karya sastra merupakan sebuah karangan yang

menceritakan kehidupan seseorang dengan lingkungan sosialnya yang

saling berkaitan sehingga karangan tersebut lebih utuh dan kompleks,

karena itu cerita dalam novel biasanya lebih panjang dari pada cerpen.

Hal tersebut di tegaskan oleh Nurgiyantoro (2007: 11) yang

menyebutkan beberapa ciri novel, diantaranya:

a. Novel memiliki bentuk cerita yang lebih panjang dan jumlahhalaman berjumlah ratusan halaman.

b. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebasc. Cerita yang disajikan lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan

lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebihkompleks.

Sejalan dengan pendapat di atas Semi (2004: 32) menyebutkan beberapa

ciri-ciri dari novel yaitu: a) Novel mengungkapkan suatu konsentrasi

kehidupan pada saat tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. b)

Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek

kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan bahasa yang

halus. c) Novel diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan

yang lebih tegas.

8

Page 9: bab II jadii.rtf

Berbeda dengan pendapat tersebut, Tarigan (1984: 170-171)

menjelaskan bahwa novel dibagi atas beberapa ciri, yaitu:

a. Novel jumlah katanya mencapai lebih dari 35.00 kata

b. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman kuarto.c. Jumlah waktu rata-rata yang digunakan untuk membaca yang

paling pendek diperlukan waktu 2 jam.d. Novel tergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu

pelakue. Novel menyajikan lebih dari efek artinya banyak pengaruh serta

kesan yang ditimbulkan sebuah karya sastra novel terhadappikiran pembaca

f. Novel menyajikan lebih dari satu impresi artinya bahwa sebuahkarya sastra novel itu tidak hanya menceritakansatu peristiwaataupun satu karakter tokoh melainkan beberapa tokoh.

g. Novel menyajikan lebih dari satu emosih. Skala novel lebih luasi. Seleksi dalam novel lebih luasj. Kelajuan dalam novel kurang cepat.

Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan

bahwa ciri-ciri novel yaitu memiliki cerita yang pajang, terdiri dari

minimal 35.000 kata, memiliki halaman yang ratusan serta

mengemukan sesuatu secara bebas, menyajikan permasalahan yang

lebih komplek, dan isi dalam novel lebih rinci serta lebih detail

dibandingkan karya sastra yang lainya.

4. Unsur-Unsur Novel

Sebuah novel merupakan sebuah tolalitas, suatu keseluruhan yang

bersifat artistik. Sebagai sebuah keutuhan, novel mempuyai unsur

9

Page 10: bab II jadii.rtf

pembangun yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur

tersebut saling dengan erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu

dengan yang lain. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya

sastra dari dalam. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada

di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi

bangunan atau sistem organisasi karya sastra.

Wellek dan Austin Warren (1990: 159) mendefinisikan struktur sebagai

berikut: The work of structure includes contain and form as far it has

the esthetical function. Artinya struktur karya sastra mencakup isi dan

bentuk, sejauh mempunyai fungsi estetis. Struktur di dalam karya sastra

bisa disejajarkan dengan faktor pembentuk karya sastra itu sendiri yaitu

unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun

karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya

sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan

dijumpai jika orang membaca karya sastra.

Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (2010: 25), unsur pembangun

sebuah novel terdiri dari tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana

cerita. Fakta cerita meliputi tokoh, alur, dan latar. Tema adalah sesuatu

yang menjadi dasar cerita. Sarana cerita atau sarana kesastraan (literary

10

Page 11: bab II jadii.rtf

divices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk

memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian)

menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra yang dimaksud antara lain

berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme,

dan ironi.

Pemahaman terhadap sebuah novel dapat dilakukan melalui pendekatan

intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah upaya memahami

sebuah novel melalui unsur-unsur yang ada dalam novel itu. Sedangkan

pendekatan ekstrinsik dilakukan melalui unsur-unsur atau aspek-aspek

yang berada di luar novel itu tetapi banyak mempengaruhi proses

penciptaan novel itu.

a. Unsur Intrinsik

Menurut Nurgiyantoro (2010: 23) unsur intrinsik sebuah novel

adalah “unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun

cerita”. Unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot,

penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya

bahasa, dan lain-lain.

Untuk membatasi agar penelitian tidak meluas, penulis hanya

menjabarkan unsur-unsur novel yang mendukung tentang aspek

budaya yang terkandung dalam novel Aku Tidak Membeli Cintamu

11

Page 12: bab II jadii.rtf

karya Desni Intan Suri. Unsur-unsur tersebut meliputi tema, latar,

tokoh, dan amanat.

1) Tema

Pembahasan mengenai makna yang terdapat di dalam sebuah

karya sastra (novel), berarti sedang membicarakan mengenai

tema. Tema berarti kandungan umum dari isi yang ada di dalam

karya sastra tersebut atau juga disebut dengan ide dari cerita

yang dimaksud. Istilah tema menurut Scharbach dalam

Aminuddin (2009: 91) berasal dari bahasa Latin yang berarti

“tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena

tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga

berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam

memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.

Stanton dalam Nurgiyantoro (2010: 70) mengartikan tema

sebagai ”makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan

sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema

menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama

(central idea) dan tujuan utama (central purpose). Sementara

itu, Nurgiyantoro (2010: 70) memandang tema sebagai dasar

cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel. Menurutnya

gagasan dasar umum inilah-yang tentunya telah ditentukan

sebelumnya oleh pengarang-yang dipergunakan untuk

mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan

”setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan

12

Page 13: bab II jadii.rtf

sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan

berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran,

dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan

dasar umum tersebut. Shipley dalam Nurgiyantoro (2010: 80)

membedakan tema-tema karya sastra ke dalam lima tingkatan.

Kelima tingkatan tema tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam

tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra

pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan

oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Unsur latar

dalam novel dengan penonjolan tingkat ini mendapat penekanan.

Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam

tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya

sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau

mempersoalkan masalah seksualitas-suatu aktivitas yang hanya

dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan

kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel

dengan tema tingkat ini.

Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial,

man as socious. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan

tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan

13

Page 14: bab II jadii.rtf

lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik,

dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.

Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as

individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia

sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa

”menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam

kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun

mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang

berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang

dihadapinya.

Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat

tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau

mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini

adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta,

masalah religiusitas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis

lainnya, seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Sejalan

dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2010: 82)

mengelompokkan tema ke dalam tema utama (mayor) dan tema

tambahan (minor). Tema mayor adalah makna pokok cerita yang

menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan

tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-

bagian tertentu cerita.

14

Page 15: bab II jadii.rtf

Berdasarkan perkembangan sejarahnya, tema menjadi ciri dari

perkembangan karya sastra itu berkembang. Pada abad ke-18

misalnya terjadi pembagian klasik antara lirik, epik, dan

dramatik. Tiga jenis sastra itu dikaitkan dengan beberapa tema

yang memang penting bagi sejarah kebudayaan Eropa Barat. Di

dalam lirik pengungkapan perasaan pribadi dipandang sebagai

tema terpenting. Dalam drama perbuatan yang memuncak dalam

sebuah konflik dianggap pokok, sedangkan dalam epik

perbuatan dahsyat seorang leluhur yang menentukan nasib tokoh

remaja keturunannya.

Jadi, secara eksplisit, tema bisa dikatakan berfungsi atau

berhubungan sebagai fungsi kultural yang berbeda-beda sesuai

dengan perkembangan budaya yang berlangsung di dalam suatu

peradaban tertentu. Tematik dari berbagai jenis sastra ini, pasti

berubah dari zaman ke zaman dan menyesuaikan diri dengan

perubahan dalam fungsi, keadaan, publik, dan medium. Munurut

Nurgiyantoro (2010: 68) tema dalam banyak hal bersifat

“mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-

situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain,

karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan

tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar

pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai

seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang

umum, lebih luas, dan abstrak.

15

Page 16: bab II jadii.rtf

2) Tokoh dan Penokohan

Tokoh atau penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting

dalam cerita. Dalam penelitian ini pun yang menjadi fokus

analisis adalah tokoh dan penokohan karena berkaitan langsung

dengan unsur budaya yang biasanya terwujud dalam diri si

tokoh. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia mempunyai

peran baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau

dipuji (protagonis). Konflik yang mendasari plot cerita

merupakan konflik jiwa protagonisnya. Kejadian cerita berpusat

pada konflik watak tokoh utamanya.

a) Pengertian dan Hakikat Penokohan

Dalam membicarakan sebuah karya fiksi, sering digunakan

istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan

perwatakan atau karakter dan karakterisasi secara bergantian

dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah

tokoh dalam hal ini merujuk pada pelaku yang ada dalam

cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah cerita, menunjuk

pada penempatan atau pelukisan gambaran tokoh-tokoh

tertentu dengan watak tertentu. Nurgiyantoro (2007: 164-

165) berpendapat bahwa: Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.Sedangkan watak, perwatakan dan karakter menunjuk padasifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembacalebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.

16

Page 17: bab II jadii.rtf

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tokoh merupakan

para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi

ialah ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan

gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh

karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan

secara ilmiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan”

atau berciri “hidup” atau memiliki derajat lifelikeness.

Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh

tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan

dan tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi

tokoh hewan dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah

fabel. Tokoh cerita dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus

objek peristiwa dan pelaku yang berperan dalam sebuah cerita.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa definisi singkat tokoh

merujuk pada pelaku cerita, sedangkan definisi penokohan lebih

merujuk pada penggambaran tokoh-tokoh cerita yang

mempunyai watak-watak tertentu.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat dipahami bahwa tokoh

cerita (character) merupakan orang-orang yang ditampilkan

dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca

ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang

dilakukan dalam tindakan. Para tokoh yang terdapat dalam suatu

17

Page 18: bab II jadii.rtf

cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang

memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti

atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak

penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani,

mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh

pembantu.

Aminudin (2002:80) membagi tokoh menjadi dua jenis yaitu

tokoh utama (protagonis) adalah tokoh yang memiliki watak

baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh lawan (antagonis)

adalah tokoh yang memiliki watak jahat sehingga tidak disukai

pembaca. Berdasarkan fungsinya dalam cerita, tokoh dibedakan

menjadi dua yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh

bawahan.

Istilah ‘penokohan’ mempunyai pengertian yang lebih luas

daripada pengertian ‘tokoh’. Nurgiyantoro (2010: 166)

mengatakan bahwa penokohan menyangkut masalah siapa tokoh

cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan

pelukisnya dalam cerita sehingga mampu memberikan gambaran

yang jelas bagi pembaca. Dengan demikian, Nurgiyantoro lebih

lanjut lagi menjelaskan bahwa ’penokohan’ lebih luas

pengertiannya daripada ’tokoh’ dan ’perwatakan’ sebab ia

sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana

perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya

18

Page 19: bab II jadii.rtf

dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran

yang jelas kepada pembaca.

Tokoh cerita dalam sebuah cerita menempati posisi strategis

sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau

sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh

kalau dilihat secara gamblang, merupakan gambaran umum dari

kehidupan manusia itu sendiri yang terdiri atas darah dan

daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan.

Dilihat proses pelukisan penokohan di atas, sangat jelas bahwa

characters atau tokoh dalam sebuah peristiwa cerita bisa

dikatakan bahwa hasil dari representasi pengarang terhadap

kehidupan yang dilakoninya, sehingga tokoh yang tersaji

menjadi seperti apa yang ada di dalam realitas itu sendiri.

b) Pembedaan Tokoh

Menurut Nurgiyantoro (2010: 176) “tokoh-tokoh cerita dalam

sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan

berdasarkan sudut pandang dan tinjauan tertentu”. Berdasarkan

pembedaan sudut pandang dan tinjauan, seseorang dapat saja

dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus,

misalanya sebagai tokoh utama-protagonis, berkembang-tipikal.

(1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan

19

Page 20: bab II jadii.rtf

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh

dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong penting dan

ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi

sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya

dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh-

tokoh tersebut dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan

tokoh tambahan.

Tokoh utama cerita (main character, central character)

adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-

menerus sehingga terkesan mendominasi sebagian besar

cerita. Adapun tokoh tambahan (peripheral character)

adalah tokoh hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali

dalam cerita, dan dalam porsi penceritaan yang relative

pendek.

Menurut Nurgiyantoro (2010:176) “tokoh utama merupakan

tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku

kejadian maupun yang dikenai kejadian”. Bahkan pada

novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam

setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman novel

yang bersangkutan. Tokoh utama sangat menentukan

perkembangan plot secara keseluruhan karena ia paling

banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-

tokoh lain.

20

Page 21: bab II jadii.rtf

Adapun pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam

keseluruhan cerita lebih sedikit dan kehadirannya hanya jika

ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau

pun tidak langsung. Tokoh yang seperti itu merupakan tokoh

yang disebut dengan istilah tokoh datar; mencerminkan

tokoh yang wataknya sederhana, yang dilukiskan satu segi

wataknya saja, dan watak ini tidak atau kurang berkembang

Menurut (Nurgiyantoro, 2010:178) pembedaan seorang

tokoh dalam cerita fiksi bersifat gradasi. Artinya, kadar

keutamaan tokoh-tokoh tersebut bertingkat. Ada tokoh utama

(yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama,

tokoh tambahan (yang) tambahan. Hal inilah yang

menyebabkan pembaca sering berbeda pendapat dalam

menentukan tokoh-tokoh utama sebuah cerita fiksi.

(2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Pengembangan tokoh dalam sebuah cerita, tidak hanya

menjelaskan mengenai pengenalan tokoh berdasarkan peran

keterlibatannya dalam peristiwa melainkan faktor psikis

tokoh pun dalam sebuah cerita menjadi ciri tersendiri. Bila

dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka ada yang disebut

tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

21

Page 22: bab II jadii.rtf

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, yaitu tokoh

yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai

yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu

yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca, yang

seolah-olah memiliki kesamaan, baik permasalahan maupun

cara menyikapinya. Tokoh antagonis adalah tokoh yang

berseberangan (oposisi) dengan tokoh protagonis, baik

secara langsung maupun tak langsung, baik secara fisik

maupun batin. Tokoh antagonis merupakan penyebab

terjadinya konflik, khususnya yang dialami tokoh

protagonist (Nurgiyantoro, 1995: 179).

Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak hanya

disebabkan oleh tokoh antagonis. Konflik juga dapat

disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas

seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan

alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral,

kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya.

Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang tokoh

disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic force

(Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2010: 179). Konflik juga

dapat disebabkan oleh diri sendiri, misalnya seorang tokoh

akan memutuskan sesuatu yang penting dan masing-masing

memiliki konsekuensi sehingga terjadi pertentangan dalam

diri sang tokoh tersebut.

22

Page 23: bab II jadii.rtf

Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan

antagonis kadang-kadang tidak mudah. Luxemburg dkk

dalam Nurgiyantoro (2010: 145) menjelaskan, tokoh yang

mencerminkan harapan dan atau norma ideal kita, memang

dapat dianggap sebagai tokoh protagonis. Akan tetapi tidak

jarang muncul tokoh yang tidak membawakan nilai-nilai

moral pembaca atau berada di pihak yang berlawanan, justru

yang diberi simpati dan empati oleh pembaca. Jika terdapat

dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi

kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang

kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati dari

pembaca.

Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan dengan tokoh

protagonist dan antagonis sering digabungkan, sehingga

menjadi tokoh utama protagonis, tokoh utama antagonis,

tokoh tambahan protagonis, dan seterusnya. Pembedaan

secara pasti antara tokoh utama protagonis dengan tokoh

utama antagonis juga tidak mudah dilakukan. Pembedaan

tersebut sebenarnya lebih bersifat penggradasian. Apalagi

tokoh cerita pun sering kali berubah, khususnya pada tokoh

yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa

antipasti belakangan justru menjadi diberi simpati oleh

pembaca, atau sebaliknya.

23

Page 24: bab II jadii.rtf

Menurut Aminudin (2000: 80-81), upaya memahami watak

pelaku dapat ditelusuri melalui:

(a) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;

(b) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran

lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian;

(c) menunjukkan bagaimana perilakunya;

(d) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya

sendiri;

(e) memahami bagaimana jalan pikirannya;

(f) melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya;

(g) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi

terhadapnya, dan

(h) melihat bagaimana tokoh itu mereaksi tokoh yang

lainnya.

(3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke

dalam tokoh sederhana (simple or flat character) dan tokoh

kompleks (complex or round character). Tokoh sederhana

adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi

tertentu, satu sifat atau watak tertentu saja. Sifat dan tingkah

laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan

hanya mencerminkan satu watak tertentu. Watak yang telah

pasti itu mendapat penekanan dan terus-menerus terlihat

24

Page 25: bab II jadii.rtf

dalam cerita. Perwatakan tokoh sederhana, dapat dirumuskan

hanya dengan sebuah kalimat atau sebuah frasa.

Kenny dalam Nurgiyantoro (2010: 182), tokoh sederhana

dapat saja melakukan berbagai tindakan, tetapi semua

tindakannya tersebut akan kembali pada perwatakan yang

dimiliki dan telah diformulakan sebelumnya. Dengan

demikian, pembaca dengan mudah memahami watak dan

tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh sederhana mudah

dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotipe.

Berhadapan dengan tokoh sebuah karya fiksi, mungkin

sekali kita merasa seolah-olah telah mengenal, telah akrab

atau telah bisaa dengannya. Padahal sebenarnya, yang telah

kita kenal adalah perwatakan, tingkah laku, tindakan, atau

kepribadiannya, yang memiliki kesamaan pola dengan watak

dan tingkah laku tokoh cerita novel lain yang telah kita baca

sebelumnya. Tokoh cerita yang demikian adalah tokoh yang

bersifat stereotip, klise.

Tokoh bulat atau tokoh kompleks merupakan tokoh yang

diungkapkan memiliki berbagai kemungkinan sisi

kehidupan, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh bulat

dapat saja memiliki watak tertentu yang diformulasikan,

tetapi ia juga dapat menampilkan watak dan tingkah laku

bermacam-macam bahkan mungkin watak yang saling

25

Page 26: bab II jadii.rtf

bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu,

perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan

secara tepat.

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:183),

dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih

menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya karena

di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan

tindakan, ia juga sering memberikan kejutan. Dengan

demikian, tokoh kompleks terasa lebih sulit dipahami,

kurang familiar karena yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh

yang kurang akrab dan kurang familiar. Perilaku yang

dilukiskan terhadap tokoh ini, sering tidak terduga dan selalu

memberikan efek kejutan pada pembaca.

Adapun keberfungsian dari tokoh sederhana itu sangat

diperlukan kehadirannya dalam sebuah novel. Penghadiran

tokoh-tokoh sederhana dalam sebuah cerita dapat menambah

tingkat intensitas kekompleksan tokoh lain yang memang

dipersiapkan sebagai tokoh bulat. Sementara tokoh bulat

secara intensitasnya memerlukan daya kreativitas yang

tinggi, bagaimana menciptakan tokoh yang mampu bersikap

dan berwatak bermacam-macam, menarik, mengejutkan,

namun tetap bersifat plausible.

26

Page 27: bab II jadii.rtf

(4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang

Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro (2010: 188)

menggambarkan kriteria tokoh statis dan tokoh berkembang.

Berdasarkan kriteria, berkembang atau tidaknya perwatakan

tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi, tokoh dapat

dibedakan menjadi tokoh statis (static character) dan tokoh

berkembang (developing character).

Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak

mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan

sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tak

terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan

yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh

statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak

berkembang dari awal sampai akhir cerita.

Adapun tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang

mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan

sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa

atau plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif

berinteraksi dengan lingkungannya, baik di lingkungan

sosial atau pun lingkungan alam yang kesemuanya itu akan

mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.

27

Page 28: bab II jadii.rtf

Lebih lanjut Nurgiyantoro (2010: 189-190) melakukan

pembedaan terhadap tokoh-tokoh ini. Pembedaan tokoh

statis dan berkembang kiranya dapat dihubungkan dengan

pembedaan tokoh sederhana dan kompleks sebagaimana

telah dijelaskan di atas. Tokoh statis, entah hitam atau putih,

adalah tokoh yang sederhana, datar, karena ia tidak diungkap

mengenai berbagai keadaan sisi kehidupannya. Ia memiliki

satu kemungkinan watak saja. Tokoh berkembang sebaliknya

akan cenderung menjadi tokoh yang kompleks. Hal itu

disebabkan adanya berbagai perubahan dan perkembangan

sikap, watak, dan tingkah lakunya itu dimungkinkan sekali

dapat terungkapkannya berbagai sisi kejiwaannya.

(5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral

Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita

terhadap (sekelompok) manusia dalam realitas kehidupan

yang sebenarnya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi

tokoh tipikal dan tokoh netral. “Tokoh tipikal adalah tokoh

yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya

dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau ketokoh

remajaannya”. (Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2010: 190).

Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau

penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang

terikat dalam suatu lembaga, atau seorang individu sebagai

28

Page 29: bab II jadii.rtf

bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata.

Penggambaran tersebut bersifat tidak langsung dan tidak

menyeluruh, dan pada pihak pembacalah yang

menafsirkannya berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan

persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan

pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi.

Sementara di sisi lain, tokoh netral adalah tokoh cerita yang

bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan

benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup dan

bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini hadir atau

digambarkan semata-mata demi cerita atau bahkan dialah

sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang

diceritakan.

Penokohan terhadap tokoh secara tipikal pada hakikatnya

dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, dan

tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata.

Tanggapan tersebut mungkin bernada negatif, positif, atau

pun netral. Tanggapan yang bernada negatif misalnya terlihat

dalam karya yang bersifat menyindir, mengritik, bahkan

mengecam, karikatural atau setengah karikatural. Tanggapan

yang bernada positif misalnya terlihat pada karya-karya yang

berisi pujian-pujian tertentu. Adapun tanggapan yang

bernada netral artinya pengarang melukiskan seperti apa

29

Page 30: bab II jadii.rtf

adanya tanpa disertai sikap subjektivitas yang cenderung

memihak.

Penokohan yang tipikal maupun bukan berkaitan erat dengan

makna, makna intensional, makna yang tersirat yang ingin

disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Melalui tokoh

tipikal, pengarang tidak sekadar memberikan reaksi atau

tanggapan, tetapi sekaligus memperlihatkan sikapnya

terhadap tokoh, permasalahan tokoh, atau sikap dan tindakan

tokohnya itu sendiri.

Tokoh tipikal dalam sebuah novel, bisaanya hanya seorang

atau beberapa orang saja, misalnya tokoh utama atau pun

tokoh tambahan. Ketipikalan seorang tokoh tidak harus

meliputi seluruh kediriannya, melainkan hanya beberapa

aspek yang menyangkut kediriannya.

3) Latar

Latar dapat berarti sebagai landas tumpu yang menyaran pada

pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat

terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Hal ini sejalan

dengan pendapat Nurgiyantoro yang mengatakan bahwa:

Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelasyang sangat penting untuk memberikan kesan realistiskepada pembaca, menciptakan suasana tertentuyang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. (Nurgiyantoro, 2010:217)

30

Page 31: bab II jadii.rtf

Latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk

memberikan kemiripan kenyataan dalam hal menimbulkan

kesungguhan. Stanton dalam Nurgiyantoro (2010: 216)

mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot, ke

dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi

dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca

cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung

membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita

kejadian-kejadian yang bersebab-akibat, dan itu perlu pijakan, di

mana dan kapan.

Menurut Nurgiyantoro (2010: 227), latar dalam cerita dapat

dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu “tempat, waktu, dan

sosial”. Dijelaskan bahwa latar tempat adalah latar menyaran

pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah

cerita. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-

tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau

mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Latar waktu

berhubungan dengan ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa di

dalam cerita. Malahan ‘kapan’ tersebut bisaanya dihubungkan

dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan

peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang

berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu

tempat yang diceritakan dalam cerita.

31

Page 32: bab II jadii.rtf

4) Amanat

Menurut Nurgiyantoro (2007: 322) “Amanat adalah pesan atau

hikmah yang dapat di ambil dari sebuah cerita untuk dijadikan

sebagai cermin maupun panduan hidup.” Melalui cerita, sikap

dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat

mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan

dan yang diamanatkan. Menurut Kaka Rosdiyanto dan Sumarti

(2007:102) ajaran moral atau pesan dikatis yang hendak

disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu

disebut amanat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suprapto

(2003: 11) menyatakan bahwa, dalam amanat gagasan yang

mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin

disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar lewat

karyanya.

Dari pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan amanat

merupakan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan

pengarang kepada pembacanya melalui karyanya.

b. Unsur Ekstrinsik Novel

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra

itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau

system organisme karya sastra. Secara lebih khusus unsur ekstrinsik

dapat dikatakn sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun

32

Page 33: bab II jadii.rtf

cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di

dalamnya.

Menurut Nurgiyantoro (2007: 24), “unsur ekstrinsik novel adalah

unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung

mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra”. Sejalan

dengan pendapat tersebut, Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro,

2007: 24) menyatakan bahwa unsur yang dimaksud antara lain

adalah “subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,

keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan

mempengaruhi karya yang ditulisnya”. Pendek kata, unsur sosiologi,

biografi pengarang, keadaan lingkungan ekonomi, sosial, dan

budaya dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh

pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup

suatu bangsa.

Sejalan dengan pendapat tersebut, di atas, Atar Semi (1988: 35)

berpendapat bahwa “struktur luar (ekstrinsik) adalah segala unsur

yang berada di luar novel tersebut misalnya faktor sosial, ekonomi,

politik, agama, dan tata nilai yang dianut masyarakat”.

1) Nilai Sosial

Nilai sosial adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan kehidupan

masyarakat, contohnya adat yang hidup dalam kelompok

33

Page 34: bab II jadii.rtf

masyarakat tertentu, belum tepat untuk diterapkan di masyarakat

kita.

2) Nilai Kejiwaan

Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai kebatinan atau kerohanian.

Contohnya mendalami jiwa orang lain adalah penting, untuk

dapat bergaul dengan masyarakat secara baik.

3) Nilai Moral

Nilai moral adalah nilai-nilai mengenani ajaran baik, buruk yang

diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kejiwaan. Contoh

mengenai akhlak, budi pekerti, susila dan lain-lain.

4) Nilai Ekonomi

Nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang mementingkan khayal atau

fantasi untuk menunjukan keindahan dan kesempurnaan

meskipun tidak sesuai dengan kenyataan, contohnya sayang,

suatu pekerjaan tidak atau kurang diperjuangkan sungguh-

sungguh, sehingga belum tampak hasilnya ditinggalkan pergi.

5) Nilai Politik atau Perjuangan

Nilai politik atau perjuangan adalah nilai-nilai tentang salah satu

wujud interaksi sosial, termasuk persaingan, pelanggaran dan

34

Page 35: bab II jadii.rtf

konflik. Contohnya persaingan anatara kelas soisal yang tinggi

dengan kelas yang rendah.

6) Nilai Filosofis

Nilai filosofis adalah nilai yang berdasarkan pengetahuan dan

penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang

ada, sebab, asal, dan hukumnya. Contohnya kesengsaraan itu

yang menjadikan orang putus asa dan mereka celaka.

7) Nilai Didaktis

Nilai didaktis adalah nilai yang berkaitan dengan perubahan

sikap dan tingkah laku kearah yang lebih baik.

8) Nilai Budaya

Nilai budaya adalah nilai yang disepakati dan tertanam dalam

suatu masyarakat, lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat

yang mengakar pada suatu kebiasaan.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

unsur ekstrinsik yang tidak secara langsung mempengaruhi

pembangunan hasil karya sastra yang dihasilkan karena melibatkan

35

Page 36: bab II jadii.rtf

sudut pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan

ekonomi, sosial, dan budaya.

5. Pengertian Budaya

Menurut Koentjaraningrat (dalam Ratna, 2010: 4) kata “budaya” berasal

dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang

berarti “budi” atau “akal”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dan

budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah

hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam penelitian ini, perbedaan

kedua istilah tersebut ditiadakan. Kata culture merupakan kata asing

yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata Latin colere

yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau

bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya

serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”

Menurut pandangan antropologi, Koentjoroningrat berpendapat bahwa:Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan,serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupanbermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengandemikian hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.(Koentjraningrat, 2009:4).

Taylor (dalam Ratna, 2010: 5) berpendapat bahwa “budaya adalah

keseluruhan aktivitas manusia termasuk pengetahuan, kepercayaan,

seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain”.

Senada dengan pendapat tersebut, menurut Harris (dalam Ratna, 2010:

5) “kebudayaan merupakan seluruh aspek kehidupan manusia dalam

masyarakat yang diperoleh dengan cara belajar termasuk pikiran dan

36

Page 37: bab II jadii.rtf

tingkah laku”. Jika ditinjau dari sudut ini, kebudayaan suatu bangsa

merangkumi keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan adat

istidat, sistem, dan cara hidupnya yang sebagian besar diwarisi zaman

sebelumnya. Kebudayaan itu juga jelas usaha manusia yang berakal dan

beradab, baik masyarakat pada zamannya, maupun masyarakat

sebelumnya.

Berbeda dengan pendapat di atas, Hussein (dalam Hun, 2011: 151)

membagi pengertian kebudayaan ke dalam dua wilayah yaitu budaya

dalam pengertian sempit dan budaya dalam pengertian luas.

Menurutnya budaya dalam pengertian sempit berarti segala aspek

kehidupan yang dianggap sebagai bertaraf tinggi seperti kesenian dan

adat isdiadat yang teristimewa. Kebudayaan dalam pengertian luas

bermakna segala kegiatan dan perbuatan manusia yang dilakukan

sebagai usaha mencari penyesuaian dan kesempurnaan hidup di dunia.

Jadi kebudayaan dalam arti sempit merujuk pada kebendaan, sedangkan

kebudayaan dalam arti luas berarti budi.

Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah dan nilai

sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan

dalam arti luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan,

kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia

yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan

37

Page 38: bab II jadii.rtf

kemampuan mental, berpikir orangorang yang hidup bermasyarakat

yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan

cipta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial

culture).

6. Unsur-unsur Budaya

Honigmann dalam Koentjaraningrat (2009: 150) membedakan adanya

tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3)

artifacts. Menurutnya, kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu:

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,

norma, peraturan dan sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan

berpola dari manusia dalam masyarakat.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,

tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau

dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat

kebudayaan bersangkutan itu hidup. Ide dan gagasan manusia banyak

yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada

masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan

menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut

sistem ini sistem budaya atau culture system. Dalam bahasa Indonesia

38

Page 39: bab II jadii.rtf

menurut Koentjaraningrat (2009: 151) terdapat juga istilah lain yang

sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat

atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.

Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau sosial system,

mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini

terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan,

dan bergaul satu sama lain menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan

adat tata kelakuan.

Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh

hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam

masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-

hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.

7. Aspek Budaya dalam Karya Sastra

Pengertian sastra tidak hanya terlepas dari permasalahan bahwa karya

sastra itu bersifat imajinatif saja. Berdasarkan teori mimesis yang

menyatakan bahwa karya sastra itu merupakan tiruan dari alam,

menandakan bahwa karya sastra tidak terlepas dari peranan pendukung

yang ada di dalam karya sastra tersebut. Faktor pendukung tersebut

adalah masyarakat itu sendiri karena kebudayaan merupakan fenomena

39

Page 40: bab II jadii.rtf

sosial, dan tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan warga

masyarakat yang mendukung atau menghayatinya.

Ratna (2007: 448) mengemukakan bahwa “pada gilirannya, sastra

menyebarkan berbagai pesan kepada masyarakat, yang secara

keseluruhan disebut sebagai pesan kebudayaan”. Pesan kebudayaan

yang dimaksud adalah nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam

karya sastra yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada

masyarakat. Karya sastra pada gilirannya menjadi pusat pesan

kebudayaan oleh karena karya sastra itu sendiri sudah berubah menjadi

dunia, dunia kata-kata, yang secara komprehensif berhak untuk

memasukkan aspek-aspek masyarakat menjadi aspek-aspek yang

otonom. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wellek & Warren (dalam

Nurgiyantoro, 2010: 24) mengemukakan bahwa “karya sastra tak

muncul dari situasi kekosongan budaya.” Maksudnya, karya sastra

terlahir karena adanya kebudayaan yang melingkupinya melihat karya

sastra merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini

pengarang mengejewantahkan imajinasi yang diilhami realitas

kebudayaan dengan menggunakan media bahasa sebagai alat

penyampainya.

Gagasan atau wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang

berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,

peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau

disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di

40

Page 41: bab II jadii.rtf

alam pemikiran warga masyarakat. Aktivitas (tindakan) adalah wujud

kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam

masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.

Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling

berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya

menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati

dan didokumentasikan. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik

yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia

dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,

dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga

wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara

wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud

kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal

mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya

(artefak) manusia.

Dalam kaitanya dengan kebudayaan, Koentjoroningrat (2009: 164)

memberi penjelasan bahwa unsur-unsur kebudayaan meliputi bahasa,

organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup dan

teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.

41

Page 42: bab II jadii.rtf

Berdasarkan pendapat tersebut, berikut akan dijelaskan unsur

kebudayaan yang meliputi:

a. Bahasa

Bahasa digunakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat

tertentu masing-masing memiliki kebudayaan yang khas. Ada

kecenderungan bahwa individu berbeda-beda dalam caranya

menggunakan bahasa, seperti kelas dan status orang yang

mempenaruhi caranya berbicara. Selain itu, orang memilih kata-

kata sedemikan rupa sehingga dapat menyampaikan sesuatu yang

berarti dalam kebudayaan orang lain. Dalam kenyataanya, cara

menggunakan bahasa itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

kebudayaan. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota

masyarakat, berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia (Keraf, 2004:16). Dengan bahasa manusia dapat

menuangkan ide dan pikirannya kepada orang lain baik secara lisan

maupun tulisan. Dengan bahasa pula apa yang dipikirkan,

diinginkan atau dirasakannya dapat diterima oleh pendengar atau

orang yang diajak bicara.

Bahasa juga diartikan sebagai alat atau perwujutan budaya yang

digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan,

baik lewat tulisan, lisan atau gerakan (bahasa isyarat) dengan tujuan

menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya.

Melalui bahasa manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat

istiadat, tingkah laku, kemasyarakatan, dan sekaligus mudah

42

Page 43: bab II jadii.rtf

membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa

memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum

dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat

untuk ekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan

integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara

khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan

sehari-hari mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah

kuno, dan mengeksplotasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Contoh :

Kupandangi lintang dengan pandangan kagum yang takpernah lindap dalam hatiku sejak hari pertama kamisebangku di sekolah. Ialah Isaac Newton-ku, qui genushumanum ingenio superavit. (Cinta di Dalam Gelas : 194).

b. Organisasi Sosial

Menurut Wikipedia (dalam http://www.wikipedia.org) organisasi

sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat,

baik yang berbadan hukum mapun tidak, yang berfungsi sebagai

sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan

Negara. Sejalan dengan pendapat tersebut, Koentjoroningrat (2009:

168-169) berpendapat bahwa organisasi sosial ini dapat dibagi

mengenai subunsur seperti: sistem kekerabatan, sistem komuniti,

sistem pelapisan sosial, sistem pimpinan, sistem politik. Sistem

kekerabatan disini termasuk pula sistem perkawinan dan sistem

pemberian mas kawin.

43

Page 44: bab II jadii.rtf

Sistem organisasi sosial ini erat hubunganya dengan sistem

kekerabatan yang merupakan bagian terpenting dalam struktur sosal.

System kekerabatan dalam masyarakat dapat dipergunakan untuk

menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

Contoh :

Pada malam pernikahan Ania, aku terpana melihat ketulusanyang ditunjukan seorang kakak. Dengan bersimbah air mata,Ania menyerahkan sehelai baju muslimah pada enongsebagai pelangkah. Ia memohon maaf sampai tersuruk-surukke dalam pelukan kakaknya itu. (Cinta di Dalam Gelas: 10)

Sepanjang remaja yang telah akil balig dipasang-pasangkanorangtua mereka lalu dinikahkan secara Islam. (Cinta diDalam Gelas: 100).

c. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia

tentang benda, sifat, keadaan dan harapan-harapan.

Koentjoroningrat (2009: 291) berpendapat bahwa bahwa sistem

pengetahuan meliputi pengetahuan tentang:1) alam sekitar;2) alam flora di darah tempat tinggalnya;3) alam fauna di darah tempat tinggalnya;4) zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam

lingkunganya;5) tubuh manusia;6) sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia; dan7) ruang dan waktu.

Jadi sistem pengetahuan adalah pengetahuan tentang alam,

pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan, pengetahuan

44

Page 45: bab II jadii.rtf

tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku,

dan pengetahuan tentang ruang dan waktu.

Contoh :

Seperti dugaanku, jika hujan pertama jatuh pada 23Oktober sampai Maret tahun berikutnya, ia masih akanberinai-rinai, namun pudar menjelang pukul tiga sorebersama redupnya alunan azan asar. Setelah itu matahariakan kembali merekah. (Cinta di Dalam Gelas: 1).

d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Sistem peralatan hidup dan teknologi terus mengalami

perkembangan seiring dengan laju perkembangan budaya manusia.

Dari teknologi yang sederhana sampai ke tenologi yang lebih

kompleks. Menurut Dhohiri (2006: 55) teknologi merupakan

aplikasi dari prinsip-prinsip ilmu pengeahuan sehingga

menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kebudayaan manusia.

Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Wikipedia (dalam

http://www.wikipedia.org) teknologi menyangkut teknik

memprioduksi, memakai, serta memelihara segala pralatan dan

perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia

mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan

rasa keindahan atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

Masyarakat kecil yang pindah-pindah atau masyarakat pedesaan

yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam

45

Page 46: bab II jadii.rtf

teknologi tradisional, meliputi: alat-alat produktif, senjata, wadah,

alat-alat menyalakan api, makanan, pakaian, tempat berlindung dan

perumahan, serta alat-alat transportasi.

Contoh :

“ini yang paling penting. Kau kuberi amanah untukmengoperasikan alat ini.” Paman mengusap-usap blenderitu

“…misalnya kalau kita kehabisan kopi dan harusmenggambil keputusan secara cepat. Maka, kau giling kopidengan alat ini…”(Cinta di Dalam Gelas: 135).

e. Sistem Mata Pencaharian Hidup

Sistem mata pencaharian hidup dari suatu masyarakat semakin lama

semakin bertambah banyak macamnya dan mengalami perubahan

dari zaman ke zaman. Perbedaan dalam system mata pencaharian

hidup ini disebabkan adanya perbedaan perbedaan sifat, bakat dan

kemampuan serta tingkat kebudayaan setempat. Sistem mata

pencaharian hidup adalah cara yang dilakukan oleh sekelompok

orang sebagai kegiatan sehari-hari guna usaha pemenuhan

kebutuhan dan menjadi pokok pemenuhan kebutuhan. Dengan kata

lain, Sistem mata pencaharian adalah cara yang dilakukan oleh

sekelompok orang sebagai kegiatan sehari-hari guna usaha

pemenuhan kehidupan dan menjadi pokok penghidupan baginya.

Menurut Koentjoroningrat (2009: 2950) sistem mata pencaharian

hidup adalah sebagai berikut: berburu dan meramu, bercocok tanam

46

Page 47: bab II jadii.rtf

di lading, dan bercocok tanam menetap. Perhatian para ilmuan pada

Sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata

pencaharian tradisional saja, di antaranya berburu dan meramu,

berternak, bercocok tanam dan menangkap ikan.

Contoh :

Enong bekerja keras menjadi pendulang timah sejakusianya baru 14 tahun. Enong berusaha sedapat-dapatnyamemenuhi apa yang diperlukan ketiga adiknya dariseorang ayah. (Cinta di Dalam Gelas: 9).

Enong tetap bekerja sebagai pendulang timah. Namun, iatak lagi satu-satunya perempuan. Sekarang denganmudah dapat ditemukan perempuan di ladang tambang.Enonglah yang mulai semua itu. (Cinta di Dalam Gelas:16).

f. Sistem Religi

Religi menurut Gazalba (dalam Dhoiri, 2006: 32) berasal dari

bahasa Latin Relegere atau Religare. Relegere artinya berhati-hati

dan berpegeng teguh pada aturan-aturan dasar. Menurut anggapan

orang Romawi, Religere berarti keharusan manusia untuk berhati-

hati terhadap yang kudus (suci) dan tabu. Adapun istilah Religare

berarti mengikat manusia dengan kekuatan gaib. Berdasarkan

pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa religi mengandung arti

kecenderungan batin (rohani) manusia dengan hal-hal gaib, suci

(kekuatan alam), dan tabu. Dengan kata lain sistem religi adalah

kepercayaan kepada tuhan dan keyakinan akan adanya penguasa

47

Page 48: bab II jadii.rtf

tertinggi dari sistem jagat raya ini, yang juga mengendalikan

manusia sebagai salah satu bagian dari jagat raya. Sehubungan

dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat,

manusia tidak dapat dipisahkan dari religi atau sistem kepercayaan.

Contoh :

Hatiku berbulu-bulu karena cemas. Aku teringat betapagalaknya Modim. Dulu, kalau bacaan tajwid kami salah.Sering biru betisku dan Dedektif M. Nur dibabatnya pakairotan (Cinta di Dalam Gelas: 85).

”alasanku menolak Maryamahadalah karena pertimbangan syariat. Tak perlu aku berpanjang-panjang dalih. Tak perlu kusitir ayat-ayatnya. Di dalam Islam, perempuan tak boleh lama-lama bertatapan dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Dalam pertandingan catur, hal itu akan terjadi,dan hal itu nyata melanggar hokum agama. (Cinta di Dalam Gelas: 96).

g. Kesenian

Menurut Dhohiri (2006: 67) seni adalah penggunaan kreatif

imajinasi untuk menerangkan, memahami, dan menikmati

kehidupan. Kesenian pada nilai keindahan (estetika) yang berasal

dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan

mata atau pun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa

tinggi, manusia mengusulkan berbagai corak kesenian mulai dari

yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.

Dipandang dari sudut cara kesenian atau ekspresi hasrat manusia

48

Page 49: bab II jadii.rtf

hasil seni meliputi seni rupa, seni patung, seni ukir, seni rias, seni

suara, dan seni sastra.

Contoh :

“Mencuci gelas saja kau tak becus! Bagaimana kusuruh hallain yang lebih penting? Beh obo deh odoh, itulah dirimu, bodoh! Menantu Muhlas namanya Sami’un, mencuci gelashanya ilmu katun!” adalah hal yang tak mungkin Midah tak benar mencuci gelas. Namun, hebatnya Paman, di dalam marah masih sempat-sempatnya ia berpantun. Ilmu katun, maksudnya ilmu yang otomatis dikuasai orang tanpaharus sekolah. (Cinta di Dalam Gelas:79).

“….Ia tak perlu pandang pada siapa pun! Mertua A Nyannamanya Toha, lelaki perempuan, sama saja!....” (Cinta DiDalam Gelas:98)

B. Kerangka Pikir

Kerangka pikir pada penelitian ini yaitu novel Aku Tidak Membeli Cintamu

(ATMC) karya Desni Intan Suri sebagai sumber penelitian diperlakukan

dengan sebuah proses identifikasi data, sebagai hasil dari rangkaian

pembacaan dan penelaahan dengan seksama. Kemudian, novel Aku Tidak

Membeli Cintamu (ATMC) karya Desni Intan Suri sebagai sebuah cerita

rekaan (novel) diteliti unsur-unsur intrinsiknya meliputi tema, tokoh dan

penokohan, latar, dan amanat. Selanjutnya penelitian dilakukan pada aspek

budaya meliputi bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem

peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi,

dan kesenian.

49

Page 50: bab II jadii.rtf

Untuk menegetahui aspek budaya yang terkandung dalam novel Aku Tidak

Membeli Cintamu (ATMC) karya Desni Intan Suri langkah awal yang

dilakukan peneliti adalah menganalisis unsur intrinsik yang meliputi tema,

tokoh dan penokohan, latar dan amanat. Setelah penelitian unsur-unsur

intrinsik, dilanjutkan dengan penelitian tentang aspek budaya pada novel

Aku Tidak Membeli Cintamu (ATMC) karya Desni Intan Suri, maka

kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut.

Gambar 1 Bagan Kerangka Pikir

50

Novel Aku Tidak Membeli Cintamu(ATMC) karya Desni Intan Suri

Unsur Intrinsik

1. Tema2. Tokoh3. Setting/latar4. Amanat

Analisis Novel Aku Tidak Membeli Cintamu(ATMC) karya Desni Intan Suri yang meliputi:

1. Bahasa,2. Organisasi sosial,3. Sistem pengetahuan,4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,5. Sistem mata pencaharian hidup,6. Sistem religi,7. Kesenian.

Page 51: bab II jadii.rtf

51