bab II jadii.rtf
-
Upload
abu-hanifah -
Category
Documents
-
view
18 -
download
2
Transcript of bab II jadii.rtf
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Sastra
Sastra sebagai istilah yang menunjuk pada suatu ilmu dengan bahasan
yang luas, yang meliputi teori sastra. Menurut Teew (dalam Ratna
2011:4) sastra berasal dari bahasa sansekerta, yaitu “sas” berarti
mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, dan intruksi. Akhiran “tra”
berarti alat, sarana. Jadi secara leksikal sastra berarti kumpulan alat
untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Dalam
perkembangan berikutnya kata sastra sering dikombinasikan dengan
awalan “su”, sehingga menjadi susastra yang diartikan sebagai hasil
ciptaan yang baik dan indah. Sastra sendiri memiliki banyak definisi
menurut sudut pandang masing-masing.
Sebagai bahan dasar sastra (kesusasteraan) adalah bahasa. Bahasa yang
digunakan dalam kesusasteraan memang berbeda dengan bahasa
keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Bentuk karya
sastra juga ada beberapa macam, meliputi; (1) Karya sastra yang
berbentuk prosa, (2) karya sastra yang berbentuk puisi dan (3) karya
sastra yang berbentuk drama. Bicara mengenai sastra tidak lepas dari
fungsi dan sifatnya. Karya sastra lebih berfungsi untuk menghibur dan
1
sekaligus memberi pengajaran sesuatu terhadap manusia. Sastra juga
berfungsi untuk mengungkapkan adanya nilai keindahan (yang indah),
nilai manfaat (berguna), dan mengandung nilai moralitas (pesan moral).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1369) disebutkan bahwa
“sastra adalah bahasa, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai di kitab-kitab
bukan bahasa sehari-hari”, sedangkan menurut Wellek dan Warren
(1993: 109) “sastra adalah intuisi sosial yang memakai medium bahasa”.
Lebih lanjut Wellek menyatakan bahwa sastra merupakan suatu kegiatan
kreatif, sebuah karya seni. Setiap karya sastra pada dasarnya bersifat
umum dan sekaligus bersifat khusus, atau lebih tepatnya lagi
individual dan umum sekaligus. Setiap karya sastra mempunyai
sifat-sifat yang sama dengan karya seni lainnya. Senada dengan
pendapat tersebut Jakob Sumardjo dan Saini K.M (1988: 3) berpendapat
bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,
pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk
konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat dipahami bahwa sastra
adalah suatu karya manusia berupa karya tulis yang merupakan
pengungkapan realitas kehidupan masarakat, pengalaman, pemikiran,
2
perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran
kongkrit yang memiliki ciri keindahan dengan alat bahasa.
Berbicara masalah sastra maka tidak dapat terlepas dari istilah
kebudayaan, seperti pendapat Sumardjo (2004:8) yang menyatakan
bahwa “sastra merupakan bagian dari kebudayaan karena diciptakan dan
dinikmati oleh manusia”. Sastra telah menjadi bagian dari pengalaman
hidup manusia, baik dari aspek manusia yang memanfaatkannya bagi
pengalaman hidupnya, seperti penggunaan bentuk-bentuk mantra dan
mitos dalam upacara-upacara religi maupu aspek penciptaanya yang
mengekspresikan pengalaman batinnya mengenai kehidupan masyarakat
dalam kurun waktu dan situasi budaya tertentu.
Hal di atas semakin diperjelas dengan pendapat Damono (1978: 2)
bahwa “sastra merupakan cerminan dari masyarakat". Novel sebagai
salah satu bentuk karya sastra yang di dalamnya banyak mengandung
aspek kahidupan terutama aspek budaya. Dalam sebuah karya sastra
seperti novel, banyak menampilkan berbagai peristiwa kehidupan
masyarakat pada suatu zaman dan karya sastra tidak lahir dari
kekosongan budaya yang dialami oleh tokoh atau pelaku dalam suatu
novel.
3
2. Pengertian Novel
Kata novel berasal dari bahasa Italia, yaitu novellus yang diturunkan
dari kata noveus yang berarti baru. Kata novel ini kemudian
berkembang di Inggris dan Amerika Serikat, sedangkan istilah roman
berasal dari genre romance dari Abad Pertengahan yang merupakan
cerita panjang tentang kepahlawanan dan percintaan. Istilah roman
berkembang di Jerman, Belanda, Perancis, dan bagianbagian Eropa
daratan lain. Berdasarkan asal-usul istilah tersebut, perbedaan antara
roman dan novel terletak pada bentuk, yaitu novel lebih pendek
dibanding dengan roman, tetapi ukuran luasnya unsur cerita hampir
sama.
Jassin (dalam Nurgiyantoro, 2010: 16) mendefinisikan novel sebagai
“suatu cerita yang bermain dalam dunia manusia dan benda yang ada di
sekitar kita, tidak mendalam, lebih banyak melukiskan satu saat dari
kehidupan seseorang, dan lebih mengenai sesuatu episode.” Pengertian
novel menurut Sudjiman (1984: 53) adalah “prosa rekaan yang panjang,
yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian
peristiwa dan latar secara tersusun”.
Novel cenderung bersifat meluas dan kompleks. Dalam arti luas novel
adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang
luas dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, karakter
yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang beragam, dan
latar (setting) cerita yang beragam pula. Namun, ukuran luas ini pun
4
tidak mutlak, bisa terjadi hanya salah satu unsur fiksi saja, misalnya
tema, sedangkan karakter, latar, dan lain-lainnya bersifat tunggal.
Sebagai bentuk sastra, novel (bahasa Jerman) adalah sebuah bentuk
Dichtung; dan dalam bentuknya yang paling sempurna, novel
merupakan epic modern (Wellek dan Warren, 1995: 276). Ada juga yang
beranggapan bahwa novel dianggap sebagai dokumen atau kasus
sejarah, sebagai pengakuan (karena ditulis dengan sangat meyakinkan),
sebagai sebuah cerita kejadian sebenarnya, sebagai sejarah hidup
seseorang dan zamannya. Dengan demikian, novel merupakan cerita
yang menampilkan suatu kejadian luar biasa pada kehidupan pelakunya
yang menyebabkan perubahan sikap hidup atau menentukan nasibnya.
Novel merupakan salah satu karya yang mengisahkan kehidupan
manusia, dicirikan oleh adanya konflik-konflik yang akhirnya
menyebabkan perubahan para tokohnya. Perubahan jalan hidup sang
tokoh ini tidak harus selalu diakhiri keberhasilan, tetapi terkadang juga
kegagalan. Di samping beberapa pengertian di atas, ada juga yang
mengatakan bahwa kata novel berasal dari kata Latin, yaitu noveltus
yang diturunkan dari kata novies yang berarti baru. “Dikatakan baru
karena kalau dibandingkan dengan jenis sastra lainnya seperti puisi dan
drama”. (Tarigan, 1984: 164). Novel merupakan karya fiksi yang
mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan
disajikan dengan halus. Novel (Novella) diartikan sebuah barang baru
yang kecil, kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk
prosa.
5
Di samping itu pula, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 4)
berpendapat bahwa “novel merupakan cerita fiksi dalam bentuk tulisan
atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan ekstrinsik”. Novel
sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia, dunia yang berisi
model kehidupan yang diidealkan, dunia imajinatif, yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, plot, tokoh
(penokohan), latar, sudut pandang, dan lain-lain yang kesemuanya tentu
saja, juga bersifat imajinatif.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 1079), novel adalah
“karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan
watak dan sifat setiap pelaku”. Novel adalah salah satu bentuk dari
sebuah karya sastra. Selain itu, novel merupakan cerita fiksi dalam
bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur instrinsik dan
ekstrinsik.
Dari beberapa pendapat di atas, akhirnya dapat disimpulkan bahwa
novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran
yang luas di sini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks,
karakter yang banyak, tema yang kompleks, suasana cerita yang
beragam, dan setting cerita yang beragam pula.
3. Ciri-Ciri Novel
6
Sebagai salah satu hasil karya sastra, novel memiliki ciri khas tersendiri
bila dibandingkan dengan karya sastra yang lain. Dari segi jumlah kata
ataupun kalimat, novel lebih mengandung banyak kata dan kalimat
sehingga dalam proses pemaknaannya relative jauh lebih mudah
daripada memaknai sebuah puisi yang cenderung mengandung beragam
bahasa kias. Berkaitan dengan masalah tersebut, Sumardjo memberikan
ciri-ciri novel sebagai berikut: (1) Plot sebuah novel berbentuk tubuh
cerita, dirangkai dengan plot-plot kecil yang lain, karena struktur bentuk
yang luas ini maka novel dapat bercerita panjang dengan persoalan yang
luas, (2) Tema dalam sebuah novel terdapat tema utama dan pendukung,
sehingga novel mencakup semua persoalan, (3) Dari segi karakter,
dalam novel terdapat penggambaran karakter yang beragam dari tokoh-
tokoh hingga terjalin sebuah cerita yang menarik.
Brook (dalam Tarigan, 1984:185) memberikan ciri-ciri novel sebagai
berikut:
a. Novel bergantung pada tokoh, yaitu sebuah novel bergantung pada
tokoh yang diperankannya dan bagaimana pengarang memainkan
tokoh yang nanti akan diceritakannya.
b. Novel menyajikan lebih dari satu impresi, yaitu sebuah novel
menyajikan lebih dari satu impresi artinya sebuah novel biasanya
menyajikan lebih dari satu kesan dari pembaca maupun pengarang.
c. Novel menyajikan lebih dari satu efek, yaitu sebuah novel lebih dari
satu efek yang artinya menyebabkan akibat, kesan, dan pengaruh
dalam sebuah novel.
7
d. Novel menyajikan lebih dari satu emosi, yiatu sebuah novel
menyajikan lebih dari satu emosi yang artinya suatu perasaan yang
nanti akan timbul dalam sebuah cerita.
Novel sebagai sebuah karya sastra merupakan sebuah karangan yang
menceritakan kehidupan seseorang dengan lingkungan sosialnya yang
saling berkaitan sehingga karangan tersebut lebih utuh dan kompleks,
karena itu cerita dalam novel biasanya lebih panjang dari pada cerpen.
Hal tersebut di tegaskan oleh Nurgiyantoro (2007: 11) yang
menyebutkan beberapa ciri novel, diantaranya:
a. Novel memiliki bentuk cerita yang lebih panjang dan jumlahhalaman berjumlah ratusan halaman.
b. Novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebasc. Cerita yang disajikan lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan
lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebihkompleks.
Sejalan dengan pendapat di atas Semi (2004: 32) menyebutkan beberapa
ciri-ciri dari novel yaitu: a) Novel mengungkapkan suatu konsentrasi
kehidupan pada saat tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. b)
Novel merupakan karya fiksi yang mengungkapkan aspek-aspek
kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan bahasa yang
halus. c) Novel diartikan sebagai memberikan konsentrasi kehidupan
yang lebih tegas.
8
Berbeda dengan pendapat tersebut, Tarigan (1984: 170-171)
menjelaskan bahwa novel dibagi atas beberapa ciri, yaitu:
a. Novel jumlah katanya mencapai lebih dari 35.00 kata
b. Jumlah halaman novel minimal 100 halaman kuarto.c. Jumlah waktu rata-rata yang digunakan untuk membaca yang
paling pendek diperlukan waktu 2 jam.d. Novel tergantung pada pelaku dan mungkin lebih dari satu
pelakue. Novel menyajikan lebih dari efek artinya banyak pengaruh serta
kesan yang ditimbulkan sebuah karya sastra novel terhadappikiran pembaca
f. Novel menyajikan lebih dari satu impresi artinya bahwa sebuahkarya sastra novel itu tidak hanya menceritakansatu peristiwaataupun satu karakter tokoh melainkan beberapa tokoh.
g. Novel menyajikan lebih dari satu emosih. Skala novel lebih luasi. Seleksi dalam novel lebih luasj. Kelajuan dalam novel kurang cepat.
Dari beberapa pendapat di atas, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa ciri-ciri novel yaitu memiliki cerita yang pajang, terdiri dari
minimal 35.000 kata, memiliki halaman yang ratusan serta
mengemukan sesuatu secara bebas, menyajikan permasalahan yang
lebih komplek, dan isi dalam novel lebih rinci serta lebih detail
dibandingkan karya sastra yang lainya.
4. Unsur-Unsur Novel
Sebuah novel merupakan sebuah tolalitas, suatu keseluruhan yang
bersifat artistik. Sebagai sebuah keutuhan, novel mempuyai unsur
9
pembangun yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur
tersebut saling dengan erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu
dengan yang lain. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya
sastra dari dalam. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada
di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi
bangunan atau sistem organisasi karya sastra.
Wellek dan Austin Warren (1990: 159) mendefinisikan struktur sebagai
berikut: The work of structure includes contain and form as far it has
the esthetical function. Artinya struktur karya sastra mencakup isi dan
bentuk, sejauh mempunyai fungsi estetis. Struktur di dalam karya sastra
bisa disejajarkan dengan faktor pembentuk karya sastra itu sendiri yaitu
unsur intrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun
karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya
sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan
dijumpai jika orang membaca karya sastra.
Menurut Stanton dalam Nurgiyantoro (2010: 25), unsur pembangun
sebuah novel terdiri dari tiga bagian, yaitu fakta, tema, dan sarana
cerita. Fakta cerita meliputi tokoh, alur, dan latar. Tema adalah sesuatu
yang menjadi dasar cerita. Sarana cerita atau sarana kesastraan (literary
10
divices) adalah teknik yang dipergunakan oleh pengarang untuk
memilih dan menyusun detil-detil cerita (peristiwa dan kejadian)
menjadi pola yang bermakna. Sarana sastra yang dimaksud antara lain
berupa sudut pandang penceritaan, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme,
dan ironi.
Pemahaman terhadap sebuah novel dapat dilakukan melalui pendekatan
intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah upaya memahami
sebuah novel melalui unsur-unsur yang ada dalam novel itu. Sedangkan
pendekatan ekstrinsik dilakukan melalui unsur-unsur atau aspek-aspek
yang berada di luar novel itu tetapi banyak mempengaruhi proses
penciptaan novel itu.
a. Unsur Intrinsik
Menurut Nurgiyantoro (2010: 23) unsur intrinsik sebuah novel
adalah “unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun
cerita”. Unsur yang dimaksud adalah peristiwa, cerita, plot,
penokohan, tema, latar, sudut pandang penceritaan, bahasa atau gaya
bahasa, dan lain-lain.
Untuk membatasi agar penelitian tidak meluas, penulis hanya
menjabarkan unsur-unsur novel yang mendukung tentang aspek
budaya yang terkandung dalam novel Aku Tidak Membeli Cintamu
11
karya Desni Intan Suri. Unsur-unsur tersebut meliputi tema, latar,
tokoh, dan amanat.
1) Tema
Pembahasan mengenai makna yang terdapat di dalam sebuah
karya sastra (novel), berarti sedang membicarakan mengenai
tema. Tema berarti kandungan umum dari isi yang ada di dalam
karya sastra tersebut atau juga disebut dengan ide dari cerita
yang dimaksud. Istilah tema menurut Scharbach dalam
Aminuddin (2009: 91) berasal dari bahasa Latin yang berarti
“tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena
tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga
berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam
memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
Stanton dalam Nurgiyantoro (2010: 70) mengartikan tema
sebagai ”makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan
sebagian besar unsurnya dengan cara yang sederhana”. Tema
menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama
(central idea) dan tujuan utama (central purpose). Sementara
itu, Nurgiyantoro (2010: 70) memandang tema sebagai dasar
cerita, gagasan dasar umum sebuah karya novel. Menurutnya
gagasan dasar umum inilah-yang tentunya telah ditentukan
sebelumnya oleh pengarang-yang dipergunakan untuk
mengembangkan cerita. Dengan kata lain, cerita tentunya akan
”setia” mengikuti gagasan dasar umum yang telah ditetapkan
12
sebelumnya sehingga berbagai peristiwa-konflik dan pemilihan
berbagai unsur intrinsik yang lain seperti penokohan, pelataran,
dan penyudutpandangan diusahakan mencerminkan gagasan
dasar umum tersebut. Shipley dalam Nurgiyantoro (2010: 80)
membedakan tema-tema karya sastra ke dalam lima tingkatan.
Kelima tingkatan tema tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam
tingkat kejiwaan) molekul, man as molecul. Tema karya sastra
pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan atau ditunjukkan
oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaan. Unsur latar
dalam novel dengan penonjolan tingkat ini mendapat penekanan.
Kedua, tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam
tingkat kejiwaan) protoplasma, man as protoplasm. Tema karya
sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan atau
mempersoalkan masalah seksualitas-suatu aktivitas yang hanya
dapat dilakukan oleh makhluk hidup. Berbagai persoalan
kehidupan seksual manusia mendapat penekanan dalam novel
dengan tema tingkat ini.
Ketiga, tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial,
man as socious. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan
tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan dengan
13
lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik,
dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.
Keempat, tema tingkat egoik, manusia sebagai individu, man as
individualism. Di samping sebagai makhluk sosial, manusia
sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
”menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya. Dalam
kedudukannya sebagai makhluk individu, manusia pun
mempunyai banyak permasalahan dan konflik, misalnya yang
berwujud reaksi manusia terhadap masalah-masalah sosial yang
dihadapinya.
Kelima, tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat
tinggi yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau
mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini
adalah masalah hubungan manusia dengan Sang Pencipta,
masalah religiusitas atau berbagai masalah yang bersifat filosofis
lainnya, seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Nurgiyantoro (2010: 82)
mengelompokkan tema ke dalam tema utama (mayor) dan tema
tambahan (minor). Tema mayor adalah makna pokok cerita yang
menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan
tema minor adalah makna yang hanya terdapat pada bagian-
bagian tertentu cerita.
14
Berdasarkan perkembangan sejarahnya, tema menjadi ciri dari
perkembangan karya sastra itu berkembang. Pada abad ke-18
misalnya terjadi pembagian klasik antara lirik, epik, dan
dramatik. Tiga jenis sastra itu dikaitkan dengan beberapa tema
yang memang penting bagi sejarah kebudayaan Eropa Barat. Di
dalam lirik pengungkapan perasaan pribadi dipandang sebagai
tema terpenting. Dalam drama perbuatan yang memuncak dalam
sebuah konflik dianggap pokok, sedangkan dalam epik
perbuatan dahsyat seorang leluhur yang menentukan nasib tokoh
remaja keturunannya.
Jadi, secara eksplisit, tema bisa dikatakan berfungsi atau
berhubungan sebagai fungsi kultural yang berbeda-beda sesuai
dengan perkembangan budaya yang berlangsung di dalam suatu
peradaban tertentu. Tematik dari berbagai jenis sastra ini, pasti
berubah dari zaman ke zaman dan menyesuaikan diri dengan
perubahan dalam fungsi, keadaan, publik, dan medium. Munurut
Nurgiyantoro (2010: 68) tema dalam banyak hal bersifat
“mengikat” kehadiran atau ketidakhadiran peristiwa-konflik-
situasi tertentu, termasuk berbagai unsur intrinsik yang lain,
karena hal-hal tersebut haruslah bersifat mendukung kejelasan
tema yang ingin disampaikan. Tema menjadi dasar
pengembangan seluruh cerita, maka ia pun bersifat menjiwai
seluruh bagian cerita itu. Tema mempunyai generalisasi yang
umum, lebih luas, dan abstrak.
15
2) Tokoh dan Penokohan
Tokoh atau penokohan adalah salah satu unsur yang terpenting
dalam cerita. Dalam penelitian ini pun yang menjadi fokus
analisis adalah tokoh dan penokohan karena berkaitan langsung
dengan unsur budaya yang biasanya terwujud dalam diri si
tokoh. Kehadiran tokoh ikut menentukan apakah ia mempunyai
peran baik atau buruk, yaitu sebagai tokoh yang dipuja atau
dipuji (protagonis). Konflik yang mendasari plot cerita
merupakan konflik jiwa protagonisnya. Kejadian cerita berpusat
pada konflik watak tokoh utamanya.
a) Pengertian dan Hakikat Penokohan
Dalam membicarakan sebuah karya fiksi, sering digunakan
istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan
perwatakan atau karakter dan karakterisasi secara bergantian
dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah
tokoh dalam hal ini merujuk pada pelaku yang ada dalam
cerita tersebut. Istilah tokoh dalam sebuah cerita, menunjuk
pada penempatan atau pelukisan gambaran tokoh-tokoh
tertentu dengan watak tertentu. Nurgiyantoro (2007: 164-
165) berpendapat bahwa: Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita.Sedangkan watak, perwatakan dan karakter menunjuk padasifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembacalebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh.
16
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa tokoh merupakan
para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi
ialah ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan
gambaran dari orang-orang yang hidup di alam nyata. Oleh
karena itu, dalam sebuah fiksi tokoh hendaknya dihadirkan
secara ilmiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan”
atau berciri “hidup” atau memiliki derajat lifelikeness.
Tidak ada cerita yang tidak memiliki tokoh, sekalipun tokoh
tersebut tidak berupa manusia. Tokoh cerita dapat berupa hewan
dan tumbuhan yang dipersonalisasikan. Contoh personalisasi
tokoh hewan dan tumbuhan biasanya muncul dalam sebuah
fabel. Tokoh cerita dapat didefinisikan sebagai subjek sekaligus
objek peristiwa dan pelaku yang berperan dalam sebuah cerita.
Seperti telah disebutkan di atas bahwa definisi singkat tokoh
merujuk pada pelaku cerita, sedangkan definisi penokohan lebih
merujuk pada penggambaran tokoh-tokoh cerita yang
mempunyai watak-watak tertentu.
Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat dipahami bahwa tokoh
cerita (character) merupakan orang-orang yang ditampilkan
dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang
dilakukan dalam tindakan. Para tokoh yang terdapat dalam suatu
17
cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Seorang tokoh yang
memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh inti
atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak
penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani,
mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh
pembantu.
Aminudin (2002:80) membagi tokoh menjadi dua jenis yaitu
tokoh utama (protagonis) adalah tokoh yang memiliki watak
baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh lawan (antagonis)
adalah tokoh yang memiliki watak jahat sehingga tidak disukai
pembaca. Berdasarkan fungsinya dalam cerita, tokoh dibedakan
menjadi dua yaitu tokoh sentral atau tokoh utama dan tokoh
bawahan.
Istilah ‘penokohan’ mempunyai pengertian yang lebih luas
daripada pengertian ‘tokoh’. Nurgiyantoro (2010: 166)
mengatakan bahwa penokohan menyangkut masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakannya, bagaimana penempatan dan
pelukisnya dalam cerita sehingga mampu memberikan gambaran
yang jelas bagi pembaca. Dengan demikian, Nurgiyantoro lebih
lanjut lagi menjelaskan bahwa ’penokohan’ lebih luas
pengertiannya daripada ’tokoh’ dan ’perwatakan’ sebab ia
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana
perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya
18
dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran
yang jelas kepada pembaca.
Tokoh cerita dalam sebuah cerita menempati posisi strategis
sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau
sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Tokoh
kalau dilihat secara gamblang, merupakan gambaran umum dari
kehidupan manusia itu sendiri yang terdiri atas darah dan
daging, yang mempunyai pikiran dan perasaan.
Dilihat proses pelukisan penokohan di atas, sangat jelas bahwa
characters atau tokoh dalam sebuah peristiwa cerita bisa
dikatakan bahwa hasil dari representasi pengarang terhadap
kehidupan yang dilakoninya, sehingga tokoh yang tersaji
menjadi seperti apa yang ada di dalam realitas itu sendiri.
b) Pembedaan Tokoh
Menurut Nurgiyantoro (2010: 176) “tokoh-tokoh cerita dalam
sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis penamaan
berdasarkan sudut pandang dan tinjauan tertentu”. Berdasarkan
pembedaan sudut pandang dan tinjauan, seseorang dapat saja
dikategorikan ke dalam beberapa jenis penamaan sekaligus,
misalanya sebagai tokoh utama-protagonis, berkembang-tipikal.
(1) Tokoh Utama dan Tokoh Tambahan
19
Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya, tokoh
dalam sebuah cerita ada tokoh yang tergolong penting dan
ditampilkan terus-menerus sehingga terasa mendominasi
sebagian besar cerita, dan sebaliknya, ada tokoh yang hanya
dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita. Tokoh-
tokoh tersebut dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan
tokoh tambahan.
Tokoh utama cerita (main character, central character)
adalah tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan terus-
menerus sehingga terkesan mendominasi sebagian besar
cerita. Adapun tokoh tambahan (peripheral character)
adalah tokoh hanya dimunculkan sesekali atau beberapa kali
dalam cerita, dan dalam porsi penceritaan yang relative
pendek.
Menurut Nurgiyantoro (2010:176) “tokoh utama merupakan
tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku
kejadian maupun yang dikenai kejadian”. Bahkan pada
novel-novel tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam
setiap kejadian dan dapat ditemui dalam tiap halaman novel
yang bersangkutan. Tokoh utama sangat menentukan
perkembangan plot secara keseluruhan karena ia paling
banyak diceritakan dan selalu berhubungan dengan tokoh-
tokoh lain.
20
Adapun pemunculan tokoh-tokoh tambahan dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit dan kehadirannya hanya jika
ada keterkaitannya dengan tokoh utama secara langsung atau
pun tidak langsung. Tokoh yang seperti itu merupakan tokoh
yang disebut dengan istilah tokoh datar; mencerminkan
tokoh yang wataknya sederhana, yang dilukiskan satu segi
wataknya saja, dan watak ini tidak atau kurang berkembang
Menurut (Nurgiyantoro, 2010:178) pembedaan seorang
tokoh dalam cerita fiksi bersifat gradasi. Artinya, kadar
keutamaan tokoh-tokoh tersebut bertingkat. Ada tokoh utama
(yang) utama, utama tambahan, tokoh tambahan utama,
tokoh tambahan (yang) tambahan. Hal inilah yang
menyebabkan pembaca sering berbeda pendapat dalam
menentukan tokoh-tokoh utama sebuah cerita fiksi.
(2) Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis
Pengembangan tokoh dalam sebuah cerita, tidak hanya
menjelaskan mengenai pengenalan tokoh berdasarkan peran
keterlibatannya dalam peristiwa melainkan faktor psikis
tokoh pun dalam sebuah cerita menjadi ciri tersendiri. Bila
dilihat dari fungsi penampilan tokoh, maka ada yang disebut
tokoh protagonis dan tokoh antagonis.
21
Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi, yaitu tokoh
yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai
yang ideal bagi kita. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu
yang sesuai dengan pandangan dan harapan pembaca, yang
seolah-olah memiliki kesamaan, baik permasalahan maupun
cara menyikapinya. Tokoh antagonis adalah tokoh yang
berseberangan (oposisi) dengan tokoh protagonis, baik
secara langsung maupun tak langsung, baik secara fisik
maupun batin. Tokoh antagonis merupakan penyebab
terjadinya konflik, khususnya yang dialami tokoh
protagonist (Nurgiyantoro, 1995: 179).
Konflik yang dialami oleh tokoh protagonis tidak hanya
disebabkan oleh tokoh antagonis. Konflik juga dapat
disebabkan oleh hal-hal lain yang di luar individualitas
seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan
alam dan sosial, aturan-aturan sosial, nilai-nilai moral,
kekuasaan dan kekuatan yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Penyebab konflik yang tidak dilakukan oleh seorang tokoh
disebut sebagai kekuatan antagonistis, antagonistic force
(Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2010: 179). Konflik juga
dapat disebabkan oleh diri sendiri, misalnya seorang tokoh
akan memutuskan sesuatu yang penting dan masing-masing
memiliki konsekuensi sehingga terjadi pertentangan dalam
diri sang tokoh tersebut.
22
Menentukan tokoh-tokoh cerita ke dalam protagonis dan
antagonis kadang-kadang tidak mudah. Luxemburg dkk
dalam Nurgiyantoro (2010: 145) menjelaskan, tokoh yang
mencerminkan harapan dan atau norma ideal kita, memang
dapat dianggap sebagai tokoh protagonis. Akan tetapi tidak
jarang muncul tokoh yang tidak membawakan nilai-nilai
moral pembaca atau berada di pihak yang berlawanan, justru
yang diberi simpati dan empati oleh pembaca. Jika terdapat
dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi
kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang
kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati dari
pembaca.
Pembedaan antara tokoh utama dan tambahan dengan tokoh
protagonist dan antagonis sering digabungkan, sehingga
menjadi tokoh utama protagonis, tokoh utama antagonis,
tokoh tambahan protagonis, dan seterusnya. Pembedaan
secara pasti antara tokoh utama protagonis dengan tokoh
utama antagonis juga tidak mudah dilakukan. Pembedaan
tersebut sebenarnya lebih bersifat penggradasian. Apalagi
tokoh cerita pun sering kali berubah, khususnya pada tokoh
yang berkembang, sehingga tokoh yang semula diberi rasa
antipasti belakangan justru menjadi diberi simpati oleh
pembaca, atau sebaliknya.
23
Menurut Aminudin (2000: 80-81), upaya memahami watak
pelaku dapat ditelusuri melalui:
(a) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya;
(b) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran
lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian;
(c) menunjukkan bagaimana perilakunya;
(d) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya
sendiri;
(e) memahami bagaimana jalan pikirannya;
(f) melihat bagaimana tokoh lain berbicara dengannya;
(g) melihat bagaimana tokoh-tokoh lain memberikan reaksi
terhadapnya, dan
(h) melihat bagaimana tokoh itu mereaksi tokoh yang
lainnya.
(3) Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat
Berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke
dalam tokoh sederhana (simple or flat character) dan tokoh
kompleks (complex or round character). Tokoh sederhana
adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi
tertentu, satu sifat atau watak tertentu saja. Sifat dan tingkah
laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, dan
hanya mencerminkan satu watak tertentu. Watak yang telah
pasti itu mendapat penekanan dan terus-menerus terlihat
24
dalam cerita. Perwatakan tokoh sederhana, dapat dirumuskan
hanya dengan sebuah kalimat atau sebuah frasa.
Kenny dalam Nurgiyantoro (2010: 182), tokoh sederhana
dapat saja melakukan berbagai tindakan, tetapi semua
tindakannya tersebut akan kembali pada perwatakan yang
dimiliki dan telah diformulakan sebelumnya. Dengan
demikian, pembaca dengan mudah memahami watak dan
tingkah laku tokoh sederhana. Tokoh sederhana mudah
dipahami, lebih familiar, dan cenderung stereotipe.
Berhadapan dengan tokoh sebuah karya fiksi, mungkin
sekali kita merasa seolah-olah telah mengenal, telah akrab
atau telah bisaa dengannya. Padahal sebenarnya, yang telah
kita kenal adalah perwatakan, tingkah laku, tindakan, atau
kepribadiannya, yang memiliki kesamaan pola dengan watak
dan tingkah laku tokoh cerita novel lain yang telah kita baca
sebelumnya. Tokoh cerita yang demikian adalah tokoh yang
bersifat stereotip, klise.
Tokoh bulat atau tokoh kompleks merupakan tokoh yang
diungkapkan memiliki berbagai kemungkinan sisi
kehidupan, sisi kepribadian, dan jati dirinya. Tokoh bulat
dapat saja memiliki watak tertentu yang diformulasikan,
tetapi ia juga dapat menampilkan watak dan tingkah laku
bermacam-macam bahkan mungkin watak yang saling
25
bertentangan dan sulit diduga. Oleh karena itu,
perwatakannya pun pada umumnya sulit dideskripsikan
secara tepat.
Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2010:183),
dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih
menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya karena
di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan
tindakan, ia juga sering memberikan kejutan. Dengan
demikian, tokoh kompleks terasa lebih sulit dipahami,
kurang familiar karena yang ditampilkan adalah tokoh-tokoh
yang kurang akrab dan kurang familiar. Perilaku yang
dilukiskan terhadap tokoh ini, sering tidak terduga dan selalu
memberikan efek kejutan pada pembaca.
Adapun keberfungsian dari tokoh sederhana itu sangat
diperlukan kehadirannya dalam sebuah novel. Penghadiran
tokoh-tokoh sederhana dalam sebuah cerita dapat menambah
tingkat intensitas kekompleksan tokoh lain yang memang
dipersiapkan sebagai tokoh bulat. Sementara tokoh bulat
secara intensitasnya memerlukan daya kreativitas yang
tinggi, bagaimana menciptakan tokoh yang mampu bersikap
dan berwatak bermacam-macam, menarik, mengejutkan,
namun tetap bersifat plausible.
26
(4) Tokoh Statis dan Tokoh Berkembang
Altenbernd & Lewis dalam Nurgiyantoro (2010: 188)
menggambarkan kriteria tokoh statis dan tokoh berkembang.
Berdasarkan kriteria, berkembang atau tidaknya perwatakan
tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya fiksi, tokoh dapat
dibedakan menjadi tokoh statis (static character) dan tokoh
berkembang (developing character).
Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak
mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan
sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Tokoh jenis ini tampak seperti kurang terlibat dan tak
terpengaruh oleh adanya perubahan-perubahan lingkungan
yang terjadi karena adanya hubungan antarmanusia. Tokoh
statis memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tidak
berkembang dari awal sampai akhir cerita.
Adapun tokoh berkembang merupakan tokoh cerita yang
mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan
sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa
atau plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif
berinteraksi dengan lingkungannya, baik di lingkungan
sosial atau pun lingkungan alam yang kesemuanya itu akan
mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.
27
Lebih lanjut Nurgiyantoro (2010: 189-190) melakukan
pembedaan terhadap tokoh-tokoh ini. Pembedaan tokoh
statis dan berkembang kiranya dapat dihubungkan dengan
pembedaan tokoh sederhana dan kompleks sebagaimana
telah dijelaskan di atas. Tokoh statis, entah hitam atau putih,
adalah tokoh yang sederhana, datar, karena ia tidak diungkap
mengenai berbagai keadaan sisi kehidupannya. Ia memiliki
satu kemungkinan watak saja. Tokoh berkembang sebaliknya
akan cenderung menjadi tokoh yang kompleks. Hal itu
disebabkan adanya berbagai perubahan dan perkembangan
sikap, watak, dan tingkah lakunya itu dimungkinkan sekali
dapat terungkapkannya berbagai sisi kejiwaannya.
(5) Tokoh Tipikal dan Tokoh Netral
Berdasarkan kemungkinan pencerminan tokoh cerita
terhadap (sekelompok) manusia dalam realitas kehidupan
yang sebenarnya, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi
tokoh tipikal dan tokoh netral. “Tokoh tipikal adalah tokoh
yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya
dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau ketokoh
remajaannya”. (Altenbernd dalam Nurgiyantoro, 2010: 190).
Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau
penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang
terikat dalam suatu lembaga, atau seorang individu sebagai
28
bagian dari suatu lembaga yang ada di dunia nyata.
Penggambaran tersebut bersifat tidak langsung dan tidak
menyeluruh, dan pada pihak pembacalah yang
menafsirkannya berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan
persepsinya terhadap tokoh di dunia nyata dan
pemahamannya terhadap tokoh cerita di dunia fiksi.
Sementara di sisi lain, tokoh netral adalah tokoh cerita yang
bereksistensi demi cerita itu sendiri. Tokoh netral merupakan
benar-benar tokoh imajiner yang hanya hidup dan
bereksistensi dalam dunia fiksi. Tokoh ini hadir atau
digambarkan semata-mata demi cerita atau bahkan dialah
sebenarnya yang empunya cerita, pelaku cerita, dan yang
diceritakan.
Penokohan terhadap tokoh secara tipikal pada hakikatnya
dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, penerimaan, dan
tafsiran pengarang terhadap tokoh manusia di dunia nyata.
Tanggapan tersebut mungkin bernada negatif, positif, atau
pun netral. Tanggapan yang bernada negatif misalnya terlihat
dalam karya yang bersifat menyindir, mengritik, bahkan
mengecam, karikatural atau setengah karikatural. Tanggapan
yang bernada positif misalnya terlihat pada karya-karya yang
berisi pujian-pujian tertentu. Adapun tanggapan yang
bernada netral artinya pengarang melukiskan seperti apa
29
adanya tanpa disertai sikap subjektivitas yang cenderung
memihak.
Penokohan yang tipikal maupun bukan berkaitan erat dengan
makna, makna intensional, makna yang tersirat yang ingin
disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Melalui tokoh
tipikal, pengarang tidak sekadar memberikan reaksi atau
tanggapan, tetapi sekaligus memperlihatkan sikapnya
terhadap tokoh, permasalahan tokoh, atau sikap dan tindakan
tokohnya itu sendiri.
Tokoh tipikal dalam sebuah novel, bisaanya hanya seorang
atau beberapa orang saja, misalnya tokoh utama atau pun
tokoh tambahan. Ketipikalan seorang tokoh tidak harus
meliputi seluruh kediriannya, melainkan hanya beberapa
aspek yang menyangkut kediriannya.
3) Latar
Latar dapat berarti sebagai landas tumpu yang menyaran pada
pengertian tempat, waktu, dan lingkungan sosial tempat
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Nurgiyantoro yang mengatakan bahwa:
Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelasyang sangat penting untuk memberikan kesan realistiskepada pembaca, menciptakan suasana tertentuyang seolah-olah sungguh-sungguh ada dan terjadi. (Nurgiyantoro, 2010:217)
30
Latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk
memberikan kemiripan kenyataan dalam hal menimbulkan
kesungguhan. Stanton dalam Nurgiyantoro (2010: 216)
mengelompokkan latar bersama dengan tokoh dan plot, ke
dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi
dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca
cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung
membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita
kejadian-kejadian yang bersebab-akibat, dan itu perlu pijakan, di
mana dan kapan.
Menurut Nurgiyantoro (2010: 227), latar dalam cerita dapat
dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu “tempat, waktu, dan
sosial”. Dijelaskan bahwa latar tempat adalah latar menyaran
pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah
cerita. Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-
tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, atau
mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas. Latar waktu
berhubungan dengan ‘kapan’ terjadinya peristiwa-peristiwa di
dalam cerita. Malahan ‘kapan’ tersebut bisaanya dihubungkan
dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya dengan
peristiwa sejarah. Latar sosial menyaran pada hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat di suatu
tempat yang diceritakan dalam cerita.
31
4) Amanat
Menurut Nurgiyantoro (2007: 322) “Amanat adalah pesan atau
hikmah yang dapat di ambil dari sebuah cerita untuk dijadikan
sebagai cermin maupun panduan hidup.” Melalui cerita, sikap
dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat
mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan
dan yang diamanatkan. Menurut Kaka Rosdiyanto dan Sumarti
(2007:102) ajaran moral atau pesan dikatis yang hendak
disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu
disebut amanat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Suprapto
(2003: 11) menyatakan bahwa, dalam amanat gagasan yang
mendasari karya sastra dan sekaligus pesan yang ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar lewat
karyanya.
Dari pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan amanat
merupakan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembacanya melalui karyanya.
b. Unsur Ekstrinsik Novel
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra
itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau
system organisme karya sastra. Secara lebih khusus unsur ekstrinsik
dapat dikatakn sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun
32
cerita sebuah karya sastra, tetapi tidak ikut menjadi bagian di
dalamnya.
Menurut Nurgiyantoro (2007: 24), “unsur ekstrinsik novel adalah
unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan sistem organisme karya sastra”. Sejalan
dengan pendapat tersebut, Wellek dan Warren (dalam Nurgiyantoro,
2007: 24) menyatakan bahwa unsur yang dimaksud antara lain
adalah “subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu akan
mempengaruhi karya yang ditulisnya”. Pendek kata, unsur sosiologi,
biografi pengarang, keadaan lingkungan ekonomi, sosial, dan
budaya dapat menentukan ciri karya sastra yang dihasilkan oleh
pengarang. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup
suatu bangsa.
Sejalan dengan pendapat tersebut, di atas, Atar Semi (1988: 35)
berpendapat bahwa “struktur luar (ekstrinsik) adalah segala unsur
yang berada di luar novel tersebut misalnya faktor sosial, ekonomi,
politik, agama, dan tata nilai yang dianut masyarakat”.
1) Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai-nilai yang berkenaan dengan kehidupan
masyarakat, contohnya adat yang hidup dalam kelompok
33
masyarakat tertentu, belum tepat untuk diterapkan di masyarakat
kita.
2) Nilai Kejiwaan
Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai kebatinan atau kerohanian.
Contohnya mendalami jiwa orang lain adalah penting, untuk
dapat bergaul dengan masyarakat secara baik.
3) Nilai Moral
Nilai moral adalah nilai-nilai mengenani ajaran baik, buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kejiwaan. Contoh
mengenai akhlak, budi pekerti, susila dan lain-lain.
4) Nilai Ekonomi
Nilai ekonomi adalah nilai-nilai yang mementingkan khayal atau
fantasi untuk menunjukan keindahan dan kesempurnaan
meskipun tidak sesuai dengan kenyataan, contohnya sayang,
suatu pekerjaan tidak atau kurang diperjuangkan sungguh-
sungguh, sehingga belum tampak hasilnya ditinggalkan pergi.
5) Nilai Politik atau Perjuangan
Nilai politik atau perjuangan adalah nilai-nilai tentang salah satu
wujud interaksi sosial, termasuk persaingan, pelanggaran dan
34
konflik. Contohnya persaingan anatara kelas soisal yang tinggi
dengan kelas yang rendah.
6) Nilai Filosofis
Nilai filosofis adalah nilai yang berdasarkan pengetahuan dan
penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang
ada, sebab, asal, dan hukumnya. Contohnya kesengsaraan itu
yang menjadikan orang putus asa dan mereka celaka.
7) Nilai Didaktis
Nilai didaktis adalah nilai yang berkaitan dengan perubahan
sikap dan tingkah laku kearah yang lebih baik.
8) Nilai Budaya
Nilai budaya adalah nilai yang disepakati dan tertanam dalam
suatu masyarakat, lingkungan organisasi, lingkungan masyarakat
yang mengakar pada suatu kebiasaan.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
unsur ekstrinsik yang tidak secara langsung mempengaruhi
pembangunan hasil karya sastra yang dihasilkan karena melibatkan
35
sudut pandang pengarang yang memiliki perbedaan lingkungan
ekonomi, sosial, dan budaya.
5. Pengertian Budaya
Menurut Koentjaraningrat (dalam Ratna, 2010: 4) kata “budaya” berasal
dari bahasa Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Demikianlah “budaya” adalah “daya dan
budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah
hasil dari cipta, karsa, dan rasa itu. Dalam penelitian ini, perbedaan
kedua istilah tersebut ditiadakan. Kata culture merupakan kata asing
yang sama artinya dengan “kebudayaan”. Berasal dari kata Latin colere
yang berarti “mengolah, mengerjakan,” terutama mengolah tanah atau
bertani. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai “segala daya upaya
serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam.”
Menurut pandangan antropologi, Koentjoroningrat berpendapat bahwa:Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan,serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupanbermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan belajar. Dengandemikian hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan.(Koentjraningrat, 2009:4).
Taylor (dalam Ratna, 2010: 5) berpendapat bahwa “budaya adalah
keseluruhan aktivitas manusia termasuk pengetahuan, kepercayaan,
seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain”.
Senada dengan pendapat tersebut, menurut Harris (dalam Ratna, 2010:
5) “kebudayaan merupakan seluruh aspek kehidupan manusia dalam
masyarakat yang diperoleh dengan cara belajar termasuk pikiran dan
36
tingkah laku”. Jika ditinjau dari sudut ini, kebudayaan suatu bangsa
merangkumi keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan adat
istidat, sistem, dan cara hidupnya yang sebagian besar diwarisi zaman
sebelumnya. Kebudayaan itu juga jelas usaha manusia yang berakal dan
beradab, baik masyarakat pada zamannya, maupun masyarakat
sebelumnya.
Berbeda dengan pendapat di atas, Hussein (dalam Hun, 2011: 151)
membagi pengertian kebudayaan ke dalam dua wilayah yaitu budaya
dalam pengertian sempit dan budaya dalam pengertian luas.
Menurutnya budaya dalam pengertian sempit berarti segala aspek
kehidupan yang dianggap sebagai bertaraf tinggi seperti kesenian dan
adat isdiadat yang teristimewa. Kebudayaan dalam pengertian luas
bermakna segala kegiatan dan perbuatan manusia yang dilakukan
sebagai usaha mencari penyesuaian dan kesempurnaan hidup di dunia.
Jadi kebudayaan dalam arti sempit merujuk pada kebendaan, sedangkan
kebudayaan dalam arti luas berarti budi.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah dan nilai
sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
dalam arti luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi, kebatinan,
kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi jiwa manusia
yang hidup sebagai anggota masyarakat. Selanjutnya, cipta merupakan
37
kemampuan mental, berpikir orangorang yang hidup bermasyarakat
yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan
cipta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial
culture).
6. Unsur-unsur Budaya
Honigmann dalam Koentjaraningrat (2009: 150) membedakan adanya
tiga “gejala kebudayaan”, yaitu (1) ideas, (2) activities, dan (3)
artifacts. Menurutnya, kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu:
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai,
norma, peraturan dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan. Sifatnya abstrak,
tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala atau
dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat tempat
kebudayaan bersangkutan itu hidup. Ide dan gagasan manusia banyak
yang hidup bersama dalam suatu masyarakat, memberi jiwa kepada
masyarakat itu. Gagasan itu satu dengan yang lain selalu berkaitan
menjadi suatu sistem. Para ahli antropologi dan sosiologi menyebut
sistem ini sistem budaya atau culture system. Dalam bahasa Indonesia
38
menurut Koentjaraningrat (2009: 151) terdapat juga istilah lain yang
sangat tepat untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini, yaitu adat
atau adat-istiadat untuk bentuk jamaknya.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau sosial system,
mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini
terdiri atas aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan,
dan bergaul satu sama lain menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan
adat tata kelakuan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Berupa seluruh
hasil fisik dan aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat. Sifatnya paling konkret dan berupa benda-benda atau hal-
hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
7. Aspek Budaya dalam Karya Sastra
Pengertian sastra tidak hanya terlepas dari permasalahan bahwa karya
sastra itu bersifat imajinatif saja. Berdasarkan teori mimesis yang
menyatakan bahwa karya sastra itu merupakan tiruan dari alam,
menandakan bahwa karya sastra tidak terlepas dari peranan pendukung
yang ada di dalam karya sastra tersebut. Faktor pendukung tersebut
adalah masyarakat itu sendiri karena kebudayaan merupakan fenomena
39
sosial, dan tidak dapat dilepaskan dari perilaku dan tindakan warga
masyarakat yang mendukung atau menghayatinya.
Ratna (2007: 448) mengemukakan bahwa “pada gilirannya, sastra
menyebarkan berbagai pesan kepada masyarakat, yang secara
keseluruhan disebut sebagai pesan kebudayaan”. Pesan kebudayaan
yang dimaksud adalah nilai-nilai kebudayaan yang terkandung dalam
karya sastra yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
masyarakat. Karya sastra pada gilirannya menjadi pusat pesan
kebudayaan oleh karena karya sastra itu sendiri sudah berubah menjadi
dunia, dunia kata-kata, yang secara komprehensif berhak untuk
memasukkan aspek-aspek masyarakat menjadi aspek-aspek yang
otonom. Sejalan dengan pendapat tersebut, Wellek & Warren (dalam
Nurgiyantoro, 2010: 24) mengemukakan bahwa “karya sastra tak
muncul dari situasi kekosongan budaya.” Maksudnya, karya sastra
terlahir karena adanya kebudayaan yang melingkupinya melihat karya
sastra merupakan wujud dari kebudayaan itu sendiri. Dalam hal ini
pengarang mengejewantahkan imajinasi yang diilhami realitas
kebudayaan dengan menggunakan media bahasa sebagai alat
penyampainya.
Gagasan atau wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang
berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan, dan sebagainya yang sifatnya abstrak; tidak dapat diraba atau
disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di
40
alam pemikiran warga masyarakat. Aktivitas (tindakan) adalah wujud
kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling
berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya
menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.
Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat diamati
dan didokumentasikan. Artefak (karya) adalah wujud kebudayaan fisik
yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia
dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret di antara ketiga
wujud kebudayaan. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara
wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud
kebudayaan yang lain. Sebagai contoh: wujud kebudayaan ideal
mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya
(artefak) manusia.
Dalam kaitanya dengan kebudayaan, Koentjoroningrat (2009: 164)
memberi penjelasan bahwa unsur-unsur kebudayaan meliputi bahasa,
organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem peralatan hidup dan
teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian.
41
Berdasarkan pendapat tersebut, berikut akan dijelaskan unsur
kebudayaan yang meliputi:
a. Bahasa
Bahasa digunakan oleh manusia sebagai anggota masyarakat
tertentu masing-masing memiliki kebudayaan yang khas. Ada
kecenderungan bahwa individu berbeda-beda dalam caranya
menggunakan bahasa, seperti kelas dan status orang yang
mempenaruhi caranya berbicara. Selain itu, orang memilih kata-
kata sedemikan rupa sehingga dapat menyampaikan sesuatu yang
berarti dalam kebudayaan orang lain. Dalam kenyataanya, cara
menggunakan bahasa itu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
kebudayaan. Bahasa adalah alat komunikasi antar anggota
masyarakat, berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia (Keraf, 2004:16). Dengan bahasa manusia dapat
menuangkan ide dan pikirannya kepada orang lain baik secara lisan
maupun tulisan. Dengan bahasa pula apa yang dipikirkan,
diinginkan atau dirasakannya dapat diterima oleh pendengar atau
orang yang diajak bicara.
Bahasa juga diartikan sebagai alat atau perwujutan budaya yang
digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan,
baik lewat tulisan, lisan atau gerakan (bahasa isyarat) dengan tujuan
menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya.
Melalui bahasa manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat
istiadat, tingkah laku, kemasyarakatan, dan sekaligus mudah
42
membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa
memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum
dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat
untuk ekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan
integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara
khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan
sehari-hari mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah
kuno, dan mengeksplotasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Contoh :
Kupandangi lintang dengan pandangan kagum yang takpernah lindap dalam hatiku sejak hari pertama kamisebangku di sekolah. Ialah Isaac Newton-ku, qui genushumanum ingenio superavit. (Cinta di Dalam Gelas : 194).
b. Organisasi Sosial
Menurut Wikipedia (dalam http://www.wikipedia.org) organisasi
sosial adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat,
baik yang berbadan hukum mapun tidak, yang berfungsi sebagai
sarana partisipasi masyarakat dalam pembangunan bangsa dan
Negara. Sejalan dengan pendapat tersebut, Koentjoroningrat (2009:
168-169) berpendapat bahwa organisasi sosial ini dapat dibagi
mengenai subunsur seperti: sistem kekerabatan, sistem komuniti,
sistem pelapisan sosial, sistem pimpinan, sistem politik. Sistem
kekerabatan disini termasuk pula sistem perkawinan dan sistem
pemberian mas kawin.
43
Sistem organisasi sosial ini erat hubunganya dengan sistem
kekerabatan yang merupakan bagian terpenting dalam struktur sosal.
System kekerabatan dalam masyarakat dapat dipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.
Contoh :
Pada malam pernikahan Ania, aku terpana melihat ketulusanyang ditunjukan seorang kakak. Dengan bersimbah air mata,Ania menyerahkan sehelai baju muslimah pada enongsebagai pelangkah. Ia memohon maaf sampai tersuruk-surukke dalam pelukan kakaknya itu. (Cinta di Dalam Gelas: 10)
Sepanjang remaja yang telah akil balig dipasang-pasangkanorangtua mereka lalu dinikahkan secara Islam. (Cinta diDalam Gelas: 100).
c. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia
tentang benda, sifat, keadaan dan harapan-harapan.
Koentjoroningrat (2009: 291) berpendapat bahwa bahwa sistem
pengetahuan meliputi pengetahuan tentang:1) alam sekitar;2) alam flora di darah tempat tinggalnya;3) alam fauna di darah tempat tinggalnya;4) zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda dalam
lingkunganya;5) tubuh manusia;6) sifat-sifat dan tingkah laku sesama manusia; dan7) ruang dan waktu.
Jadi sistem pengetahuan adalah pengetahuan tentang alam,
pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan dan hewan, pengetahuan
44
tentang tubuh manusia, pengetahuan tentang sifat dan tingkah laku,
dan pengetahuan tentang ruang dan waktu.
Contoh :
Seperti dugaanku, jika hujan pertama jatuh pada 23Oktober sampai Maret tahun berikutnya, ia masih akanberinai-rinai, namun pudar menjelang pukul tiga sorebersama redupnya alunan azan asar. Setelah itu matahariakan kembali merekah. (Cinta di Dalam Gelas: 1).
d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan hidup dan teknologi terus mengalami
perkembangan seiring dengan laju perkembangan budaya manusia.
Dari teknologi yang sederhana sampai ke tenologi yang lebih
kompleks. Menurut Dhohiri (2006: 55) teknologi merupakan
aplikasi dari prinsip-prinsip ilmu pengeahuan sehingga
menghasilkan sesuatu yang berarti bagi kebudayaan manusia.
Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Wikipedia (dalam
http://www.wikipedia.org) teknologi menyangkut teknik
memprioduksi, memakai, serta memelihara segala pralatan dan
perlengkapan. Teknologi muncul dalam cara-cara manusia
mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan
rasa keindahan atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.
Masyarakat kecil yang pindah-pindah atau masyarakat pedesaan
yang hidup dari pertanian paling sedikit mengenal delapan macam
45
teknologi tradisional, meliputi: alat-alat produktif, senjata, wadah,
alat-alat menyalakan api, makanan, pakaian, tempat berlindung dan
perumahan, serta alat-alat transportasi.
Contoh :
“ini yang paling penting. Kau kuberi amanah untukmengoperasikan alat ini.” Paman mengusap-usap blenderitu
“…misalnya kalau kita kehabisan kopi dan harusmenggambil keputusan secara cepat. Maka, kau giling kopidengan alat ini…”(Cinta di Dalam Gelas: 135).
e. Sistem Mata Pencaharian Hidup
Sistem mata pencaharian hidup dari suatu masyarakat semakin lama
semakin bertambah banyak macamnya dan mengalami perubahan
dari zaman ke zaman. Perbedaan dalam system mata pencaharian
hidup ini disebabkan adanya perbedaan perbedaan sifat, bakat dan
kemampuan serta tingkat kebudayaan setempat. Sistem mata
pencaharian hidup adalah cara yang dilakukan oleh sekelompok
orang sebagai kegiatan sehari-hari guna usaha pemenuhan
kebutuhan dan menjadi pokok pemenuhan kebutuhan. Dengan kata
lain, Sistem mata pencaharian adalah cara yang dilakukan oleh
sekelompok orang sebagai kegiatan sehari-hari guna usaha
pemenuhan kehidupan dan menjadi pokok penghidupan baginya.
Menurut Koentjoroningrat (2009: 2950) sistem mata pencaharian
hidup adalah sebagai berikut: berburu dan meramu, bercocok tanam
46
di lading, dan bercocok tanam menetap. Perhatian para ilmuan pada
Sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata
pencaharian tradisional saja, di antaranya berburu dan meramu,
berternak, bercocok tanam dan menangkap ikan.
Contoh :
Enong bekerja keras menjadi pendulang timah sejakusianya baru 14 tahun. Enong berusaha sedapat-dapatnyamemenuhi apa yang diperlukan ketiga adiknya dariseorang ayah. (Cinta di Dalam Gelas: 9).
Enong tetap bekerja sebagai pendulang timah. Namun, iatak lagi satu-satunya perempuan. Sekarang denganmudah dapat ditemukan perempuan di ladang tambang.Enonglah yang mulai semua itu. (Cinta di Dalam Gelas:16).
f. Sistem Religi
Religi menurut Gazalba (dalam Dhoiri, 2006: 32) berasal dari
bahasa Latin Relegere atau Religare. Relegere artinya berhati-hati
dan berpegeng teguh pada aturan-aturan dasar. Menurut anggapan
orang Romawi, Religere berarti keharusan manusia untuk berhati-
hati terhadap yang kudus (suci) dan tabu. Adapun istilah Religare
berarti mengikat manusia dengan kekuatan gaib. Berdasarkan
pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa religi mengandung arti
kecenderungan batin (rohani) manusia dengan hal-hal gaib, suci
(kekuatan alam), dan tabu. Dengan kata lain sistem religi adalah
kepercayaan kepada tuhan dan keyakinan akan adanya penguasa
47
tertinggi dari sistem jagat raya ini, yang juga mengendalikan
manusia sebagai salah satu bagian dari jagat raya. Sehubungan
dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat,
manusia tidak dapat dipisahkan dari religi atau sistem kepercayaan.
Contoh :
Hatiku berbulu-bulu karena cemas. Aku teringat betapagalaknya Modim. Dulu, kalau bacaan tajwid kami salah.Sering biru betisku dan Dedektif M. Nur dibabatnya pakairotan (Cinta di Dalam Gelas: 85).
”alasanku menolak Maryamahadalah karena pertimbangan syariat. Tak perlu aku berpanjang-panjang dalih. Tak perlu kusitir ayat-ayatnya. Di dalam Islam, perempuan tak boleh lama-lama bertatapan dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Dalam pertandingan catur, hal itu akan terjadi,dan hal itu nyata melanggar hokum agama. (Cinta di Dalam Gelas: 96).
g. Kesenian
Menurut Dhohiri (2006: 67) seni adalah penggunaan kreatif
imajinasi untuk menerangkan, memahami, dan menikmati
kehidupan. Kesenian pada nilai keindahan (estetika) yang berasal
dari ekspresi hasrat manusia akan keindahan yang dinikmati dengan
mata atau pun telinga. Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa
tinggi, manusia mengusulkan berbagai corak kesenian mulai dari
yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks.
Dipandang dari sudut cara kesenian atau ekspresi hasrat manusia
48
hasil seni meliputi seni rupa, seni patung, seni ukir, seni rias, seni
suara, dan seni sastra.
Contoh :
“Mencuci gelas saja kau tak becus! Bagaimana kusuruh hallain yang lebih penting? Beh obo deh odoh, itulah dirimu, bodoh! Menantu Muhlas namanya Sami’un, mencuci gelashanya ilmu katun!” adalah hal yang tak mungkin Midah tak benar mencuci gelas. Namun, hebatnya Paman, di dalam marah masih sempat-sempatnya ia berpantun. Ilmu katun, maksudnya ilmu yang otomatis dikuasai orang tanpaharus sekolah. (Cinta di Dalam Gelas:79).
“….Ia tak perlu pandang pada siapa pun! Mertua A Nyannamanya Toha, lelaki perempuan, sama saja!....” (Cinta DiDalam Gelas:98)
B. Kerangka Pikir
Kerangka pikir pada penelitian ini yaitu novel Aku Tidak Membeli Cintamu
(ATMC) karya Desni Intan Suri sebagai sumber penelitian diperlakukan
dengan sebuah proses identifikasi data, sebagai hasil dari rangkaian
pembacaan dan penelaahan dengan seksama. Kemudian, novel Aku Tidak
Membeli Cintamu (ATMC) karya Desni Intan Suri sebagai sebuah cerita
rekaan (novel) diteliti unsur-unsur intrinsiknya meliputi tema, tokoh dan
penokohan, latar, dan amanat. Selanjutnya penelitian dilakukan pada aspek
budaya meliputi bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem
peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi,
dan kesenian.
49
Untuk menegetahui aspek budaya yang terkandung dalam novel Aku Tidak
Membeli Cintamu (ATMC) karya Desni Intan Suri langkah awal yang
dilakukan peneliti adalah menganalisis unsur intrinsik yang meliputi tema,
tokoh dan penokohan, latar dan amanat. Setelah penelitian unsur-unsur
intrinsik, dilanjutkan dengan penelitian tentang aspek budaya pada novel
Aku Tidak Membeli Cintamu (ATMC) karya Desni Intan Suri, maka
kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut.
Gambar 1 Bagan Kerangka Pikir
50
Novel Aku Tidak Membeli Cintamu(ATMC) karya Desni Intan Suri
Unsur Intrinsik
1. Tema2. Tokoh3. Setting/latar4. Amanat
Analisis Novel Aku Tidak Membeli Cintamu(ATMC) karya Desni Intan Suri yang meliputi:
1. Bahasa,2. Organisasi sosial,3. Sistem pengetahuan,4. Sistem peralatan hidup dan teknologi,5. Sistem mata pencaharian hidup,6. Sistem religi,7. Kesenian.
51