BAB II Imunisasi.docx
-
Upload
zul-achmad-fauzan-lubis -
Category
Documents
-
view
22 -
download
1
description
Transcript of BAB II Imunisasi.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Unicef menyatakan sekitar 24.000 anak di Indonesia meninggal setiap hari
termasuk yang meninggal karena penyakit yang sebenarnya dapat dicegah oleh
imunisasi seperti tuberkulosis, campak, pertusis, difteri, dan tetanus (Juniatiningsih,
2007). Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
“Paradigma Sehat” dilaksanakan melalui beberapa kegiatan antara lain pemberantasan
penyakit. Salah satu upaya pemberantasan penyakit menular adalah upaya pengebalan
(imunisasi) (Kemenkes, 2005).
Program imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Dengan
upaya imunisasi terbukti bahwa penyakit cacar telah terbasmi dan Indonesia
dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Dan mulai tahun 1977, upaya
imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI) dalam rangka
pencegahan terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yaitu
tuberkulosis, difteri, pertusis, campak, polio, tetanus, dan hepatitis-B (Kemenkes,
2005).
Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1611/MENKES/SK/XI/2005 tentang pedoman oenyelenggaraan imunisasi disebutkan
bahwa salah satu tujuan dari program imunisasi adalah tercapainya target Universal
Child Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi minimal 80% secara merata pada
bayi di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010. Hal tersebut juga tertuang dalam
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 741/MENKES/PER/VII/2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota. Universal
Child Immunization (UCI) adalah suatu keadaan tercapainya imunisasi dasar secara
lengkap pada semua bayi (anak < 1 tahun) (Kemenkes, 2005).
Pada tahun 2005-2006 di Indonesia terjadi wabah penyakit polio yang
menyebabkan 385 anak lumpuh permanen, tahun 2009-2010 terjadi wabah campak
yang menyebabkan 816 anak di rawat di rumah sakit, dan 56 orang meninggal dunia
(Soedjatmiko, 2012).
Data Kementerian Kesehatan RI tahun 2012 yang dirilis oleh Perkumpulan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), setiap hari sebanyak 175 orang
meninggal dunia karena tuberkulosis, yang berarti dalam setahun bisa mencapai
64.000 jiwa meninggal karena penyakit tuberkulosis (PPTI, 2012).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2010 di Indonesia, presentase anak umur
12 – 23 bulan yang mendapat imunisasi dasar untuk BCG sebanyak 77,9%, campak
74,4%, polio 66,7%, dan DPT-HB yaitu 61,9%. Kemudian presentase yang
mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap adalah 53,8%, yang tidak lengkap
sebanyak 33,5% dan yang tidak imunisasi sebanyak 12,7%. Di DKI Jakarta sendiri
presentase anak umur 12 – 23 bulan yang mendapatkan imunisasi dasar lengkap
adalah 53,2%, 41,1% yang tidak lengkap dan 5,7% yang tidak mendapatkan
imunisasi.
Keberhasilan program imunisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :
sarana dan prasarana, petugas kesehatan, dukungan lintas program, dukungan lintas
sektor, dan dukungan peran serta masyarakat (Depkes RI, 2002). Di tingkat rumah
tangga berdasarkan beberapa penelitian, diketahui variabel-variabel yang
mempengaruhi cakupan imunisasi adalah pengetahuan ibu, pendidikan ibu, usia ibu
dan jumlah kunjungan antenatal serta status ekonomi rumah tangga. (Ayubi, 2009).
Pengetahuan merupakan faktor pencetus yang kuat untuk mendorong
seseorang berperilaku tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Ayubi mengenai
kontribusi pengetahuan ibu terhadap status imunisasi anak di tujuh provinsi di
Indonesia tahun 2009, menemukan bahwa anak yang mempunyai ibu dengan
pengetahuan baik mempunyai peluang untuk memperoleh imunisasi lengkap sebesar
2,39 kali daripada anak dengan ibu berpengetahuan rendah. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Lisnawati (2013) di Puskesmas Titue
Kabupaten Pidie bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan
kelengkapan imunisasi pada anak 1 – 5 tahun. Kemudian Khotimah dan Rusnelly
(2008) dalam penelitiannya yang dilakukan di desa Sugih Waras kecamatan Rambang
kabupaten Muara Enim, menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara ilmu
pengetahuan dengan peran serta ibu membawa anaknya untuk diimunisasi.
Penelitian yang dilakukan Paridawati et al. (2012) mengenai faktor yang
berhubungan dengan tindakan ibu dalam pemberian imunisasi dasar pada bayi di
wilayah kerja puskesmas Bajeng kecamatan Bajeng kabupaten Gowa menyebutkan
bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan dan sikap ibu dengan
tindakan pemberian imunisasi dasar.
Pada data pemberian imunisasi dasar di Puskesmas Kecamatan Koja tahun
2013 pada anak dengan umur lebih dari 9 bulan diperoleh sebanyak 33,78% anak
yang telah mendapat imunisasi dasar secara lengkap dan sebanyak 66,2% tidak
lengkap . Untuk presentase kelengkapan imunisasi dasar pada setiap kelurahannya
adalah sebanyak 33,3% di Tugu Selatan, 31,7% di Tugu Utara, 27,27% di Rawabadak
Utara, 27,06% Rawabadak Selatan, 25% Koja, dan 47,05% di Lagoa.
Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa pencapaian Universal Child
Immunization (UCI) masih jauh dari yang ditargetkan yaitu cakupan imunisasi
minimal 80% secara merata pada bayi di 100% desa/kelurahan. Maka dari itu peneliti
tertarik untuk meneliti hubungan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan
pemberian imunisasi dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja
Jakarta Utara.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana gambaran pemberian imunisasi dasar pada anak di Puskesmas
Kecamatan Koja Jakarta Utara?
b. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian imunisasi
dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara?
c. Bagaimana gambaran sikap ibu mengenai pemberian imunisasi dasar secara
lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara?
d. Apakah terdapat hubungan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan
pemberian imunisasi dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan
Koja Jakarta Utara?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan pemberian
imunisasi dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja
Jakarta Utara.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran pemberian imunisasi dasar pada anak di
Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara.
2. Diketahuinya gambaran tingkat pengetahuan ibu tentang pemberian
imunisasi dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja
Jakarta Utara.
3. Diketahuinya gambaran sikap ibu mengenai pemberian imunisasi dasar
secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara.
4. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan
pemberian imunisasi dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas
Kecamatan Koja Jakarta Utara.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Ibu
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada ibu
mengenai pentingnya memberikan imunisasi dasar secara lengkap pada anak
agar anak dapat terhindar dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Dan diharapkan anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
1.4.2 Bagi Penulis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan ilmu dan pengalaman
kepada penulis mengenai hubungan tingkat pengetahuan dengan sikap ibu
dengan pemberian imunisasi dasar secara lengkap pada anak.
1.4.3 Bagi Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai
hubungan tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan pemberian imunisasi
dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja sehingga
program imunisasi dapat terselengara dengan lebih baik dan optimal.
1.4.4 Bagi Peneliti Lain
Dapat memberikan informasi serta menjadi referensi mengenai hubungan
tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan pemberian imunisasi dasar secara
lengkap pada anak.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian dilakukan pada seluruh ibu yang berkunjung ke Puskesmas Kecamatan
Koja Jakarta Utara dan memiliki anak umur 12 – 23 bulan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Imunisasi Dasar
2.1.1 Pengertian
Imunisasi adalah suatu cara untuk menimbulkan/meningkatkan
kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak
ia terpapar dengan penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut.
Imunisasi dasar adalah pemebrian imunisasi awal untuk mencapai kadar
kekebalan di atas ambang perlindungan (Kemenkes, 2005).
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk
mencegah terhadap penyakit tertentu (Aziz, 2008).
Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Jadi imunisasi adalah
suatu tindakan untuk memberikan kekebalan dengan cara memasukkan vaksin
ke dalam tubuh manusia. Sedangkan kebal adalah suatu keadaan dimana tubuh
mempunyai daya kemampuan mengadakan pencegahan penyakit dalam rangka
menghadapi serangan kuman tertentu. Kebal atau resisten terhadap suatu
penyakit belum tentu kebal terhadap penyakit lain (Aziz, 2008).
Imunisasi adalah pemberian satu atau lebih anti gen yang infeksius
pada seorang individu untuk merangsang sistem imun dan memproduksi anti
bodi yang akan mencegah infeksi (Schwartz, 2004).
2.1.2 Tujuan Imunisasi
Tujuan diberikannya imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal
terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat
dicegah dengan imunisasi (Aziz, 2008).
Berdasarkan Kemenkes (2005) tujuan umum diselenggarakan
imunisasi adalah turunnya angka kesakitan, kecacatan dan kematian bayi
akibat Penyakit Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I). Kemudian salah
satu tujuan khususnya adalah tercapainya target Universal Child Immunization
(UCI) yaitu cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi
di 100% desa/kelurahan pada tahun 2010.
2.1.3 Manfaat Imunisasi
Untuk anak : mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit
dan kemungkinan cacat atau kematian.
Untuk keluarga : menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan
bila anak sakit. Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua
yakin bahwa anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
Untuk negara : memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa
yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan negara
(Panjaitan, 2012)
2.1.4 Kerugian Tidak Imunisasi
Kalau anak tidak diberikan imunisasi dasar lengkap, maka tubuhnya
tidak mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap penyakit tersebut. Bila
kuman berbahaya yang masuk cukup banyak maka tubuhnya tidak mampu
melawan kuman tersebut sehingga bisa menyebabkan sakit berat, cacat atau
meninggal (Soedjatmiko, 2009).
Anak yang tidak diimunisasi akan menyebarkan kuman-kuman
tersebut ke adik, kakak dan teman lain disekitarnya sehingga dapat
menimbulkan wabah yang menyebar kemana-mana menyebabkan cacat atau
kematian lebih banyak. Oleh karena itu, bila orangtua tidak mau anaknya
diimunisasi berarti bisa membahayakan keselamatan anaknya dan anak-anak
lain disekitarnya, karena mudah tertular penyakit berbahaya yang dapat
menimbulkan sakit berat, cacat atau kematian (Soedjatmiko, 2009).
2.1.5 Jenis Imunisasi
Berdasarkan proses atau mekanisme tubuh, imunisasi terbagi 2 jenis yaitu:
- Imunisasi Pasif
Imunisasi Pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin), yaitu suatu
zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma
manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga
sudah masuk ke dalam tubuh yang terinfeksi (Aziz, 2008)
Imunisasi pasif terbagi 2, yaitu imunisasi pasif alamiah atau bawaan
(terdapat pada bayi hingga usia 5 bulan, bayi mendapatkan zat antibodi dari
ibu sewaktu di dalam kandungan yaitu melalui jalan darah menembus plasenta,
yaitu campak) dan imunisasi pasif buatan (kekebalan diperoleh setelah
mendapat suntikan zat penolakan, misalnya ATS) (Endife, 2007).
- Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif merupakan pemberian zat sebagai antigen yang
diharapkan akanterjadi suatu proses buatan, sehingga tubuh mengalami reaksi
imunologi spesifik yang akan menghasilkan respons seluler dan humoral serta
dihasilkannya cell memory. Jika benar-benar terjadi infeksi maka tubuh secara
cepat akan merespons (Aziz, 2008).
2.1.6 Macam-Macam Imunisasi
Imunisasi BCG
Imunisasi BCG adalah imunisasi untuk mencegah penyakit TB
(Tuberkulosis). BCG singkatan dari Bacille Calmette Guerin. Imunisasi BCG
tidak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadinya
tuberkulosis berat seperti meningitis TB (Penyakit radang selaput otak oleh
kuman TB). Efektifitas imunisasi BCG bervariasi antara 0% - 80%. Hal ini
berhubungan dengan beberapa faktor yang mutu vaksin yang dipakai dan
kondisi anak itu sendiri seperti umur, keadaan gizi, dan lai-lain. Efek proteksi
akan timbul setelah 8-12 minggu setelah penyuntikan (IDAI, 2008).
Cara imunisasi BCG adalah imunisasi yang paling menyakitkan bagi
anak karena cara penyuntikan vaksinnya yang harus intradermal (Vaksin harus
disuntikkan ke dalam lapisan kulit saja, tidak boleh terlalu dalam hingga
menembus lapisan kulit). Karena disuntikkan ke dalam lapisan kulit yang
penuh dengan reseptor syaraf maka suntikan imunisasi BCG akan lebih sakit
daripada imunisasi yang lainnya. Imunisasi BCG biasanya disuntikkan di
daerah lengan kanan atas. Vaksin BCG diberikan secara intradermal sebanyak
0,1 ml pada anak, dan 0,05 ml pada bayi. Jadwal imunisasi BCG ini diberikan
pada bayi dengan usia kurang dari 3 bulan, dan jika lebih maka harus
dilakukan tes mantoux terlebih dahulu (IDAI, 2008).
Pasca dilakukannya imunisasi BCG sekitar 3-6 minggu biasanya akan
menimbulkan bekas berupa jaringan parut berdiameter 4-8 mm akibat proses
penyembuhan luka atau borok. Borok itu akan sembuh sendiri dalam waktu 2-
3 bulan tanpa terapi apapun. Pasca imunisasi tanpa luka atau borok pun bukan
berarti imunisasinya gagal (IDAI, 2008).
Anak yang tidak boleh dilakukan imunisasi BCG jika hasil mantoux
lebih dari 5 mm, menderita infeksi HIV, sedang minum obat imunosupresi
atau sedang mendapat radioterapi, menderita gizi buruk, dan menderita demam
tinggi (IDAI, 2008).
Imunisasi Campak
Imunisasi campak diberikan untuk mencegah anak terkena penyakit
campak (measles atau morbili). Imunisasi campak merupakan salah satu
imunisasi yang termasuk program pemerintah dalam program pengembangan
imunisasi (PPI) (IDAI, 2008).
Jadwal Imunisasi campak berdasar Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) diberikan 2 kali yaitu pada anak saat umur 9 bulan karena antibodi
maternal (antibodi anti campak milik ibu yang masuk ke bayi ketika masih
dalam kandungan) sudah hilang, dan usia 6 tahun ketika anak masuk SD
(IDAI, 2008).
Imunisasi campak oleh WHO untuk kesehatan anak masih tetap
dianjurkan diberikan di negara berkembang pada bayi berumur 9 bulan karena
angka kejadian campak yang masih tinggi. Saat ini ada 2 macam vaksin
campak, yaitu : vaksin campak yang berisi virus campak yang telah
dilemahkan, dan vaksin campak yang telah dimatikan. Yang banyak dipakai
adalah vaksin campak yang berisi virus campak yang telah dilemahkan (IDAI,
2008).
Imunisasi campak diberikan secara subkutan atau intramuskular.
Imunisasi campak kadang 5% - 15% kasus menimbulkan demam di hari ke 5-6
pasca imunisasi, dan hanya berlangsung selama 2 hari. Dan 5% kasus juga
menimbulkan ruam (bintik-bintik merah) di hari ke 6-7 pasca imunisasi, dan
hanya berlangsung 2 hari. Reaksi berat seperti ensefalitis sangat jarang (1 : 1
milyar dosis) (IDAI, 2008).
Imunisasi Polio
Imunisasi polio dapat diberikan untuk mencegah anak terjangkit
penyakit polio. Penyakit polio dapat menyebabkan anak menderita
kelumpuhan pada kedua kakinya dan otot-otot wajah. Imunisasi polio ada 2
macam, yaitu vaksin virus polio oral diberikan dengan cara diteteskan ke
mulut bayi, dan vaksin polio inactivater artinya vaksin jenis ini berisi virus
polio yang sudah tidak aktif. Pemberiannya dilakukan dengan cara suntikan.
Diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak 2 bulan (IDAI, 2008).
Imunisasi polio diberikan pada bayi baru lahir sebagai dosis awal dan
diteruskan dengan imunisasi dasar mulai umur 2-3 bulan dengan interval
waktu 6-8 minggu. Biasanyanya diberikan bersamaan dengan imunisasi DPT
karena waktu yang bersamaan. Jika ketika diberikan imunisasi polio oral dan
bayi muntah, maka pemberian diulang pada 10 menit berikutnya (IDAI, 2008).
Setelah anak diberikan imunisasi polio maka pada tinja anak akan ada
virus polio selama 6 minggu setelah pemberian imunisasi. Karena itu, harus
dijaga kebersihan tangannya, dan selalu mencuci tangan terutama setelah
mengganti popok bayi (IDAI, 2008).
Imunisasi ulang polio diberikan ketika sebelum masuk kuliah yaitu
bersamaan dengan imunisasi DPT (IDAI, 2008).
Setelah dilakukannya imunisasi polio, sebagian anak akan mengalami
gejala pusing, diare ringan, dan nyeri otot (IDAI, 2008).
Anak tidak boleh diberikan imunisasi polio jika demam tinggi diatas
37,5 derajat celcius, anak sedang diare atau muntah, anak yang sedang
mendapat pengobatan yang menurunkan kekebalan tubuh, anak yang
menderita kanker atau penyakit hipogamaglobulin, dan anak yang punya
riwayat alergi neomisin, polimiksin, dan streptomisin (IDAI, 2008).
Imunisasi DPT
Imunisasi DPT bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap 3
penyakit penting yaitu difteri, tetanus, dan pertusis. Jadwal imunisasi DPT
termasuk salah satu imunisasi dasar di Indonesia. Imunisasi ini doberikan
sebanyak 3 kali. Diberikan pada anak usia lebih dari 6 minggu dengan interval
1-2 bulan untuk imunisasi yang kedua. Imunisasi ini tidak dianjurkan pada
anak usia 6 minggu karena respon pertusis yang tidak optimal (IDAI, 2008).
Imunisasi DPT ulangan diberikan 1 kali ketika usia 18 bulan. Dan
diulang lagi ketika usia 5 tahun (IDAI, 2008).
Pemberian imunisasi ini disuntikkan di otot anak, biasanya dilakukan
di otot paha (IDAI, 2008).
Imunisasi DPT terdapat 2 jenis, yang pertama vaksin kombo (satu
vaksin mengandung beberapa jenis vaksin) dengan kandungan seluruh sel
kuman pertusis, vaksin ini biasanya tersedia di puskesmas dan posyandu, tapi
cenderung anak menjadi demam. Dan yang kedua vaksin aseluler pertusis,
vaksin ini tidak mengandung kuman pertusis tapi berisi komponen spesifik
toksin dari kuman pertusis, vaksin ini juga mempunyai angka kejadian
komplikasi yang lebih sedikit dari yang vaksin kombo, artinya lebih sedikit
bikin demam, bengkak, nyeri, dll. Namun harga untuk vaksin aseluler ini
relatif mahal (IDAI, 2008).
Komplikasi dari imunisasi DPT adalah reaksi lokal pada bekas tempat
penyuntikan berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri, dan kejadian ini terjadi
42,9% dari seluruh penerima imunisasi DPT, demam ringan namun hanya
2,2% kasus saja, anak menjadi gelisah dan nangis terus menerus pasca
suntikan imunisasi, kejang demam namun hanya 0,06% kasus, dan reaksi
alergi dan ensefalopati tapi sangat jarang (IDAI, 2008).
Anak tidak boleh dilakukan imunisasi DPT jika pemberian imunisasi
DPT sebelumnya menunjukkan reaksi alergi berat yang disebut anafilaksis,
dan anak yang menderita gangguan otak pasca imunisasi yang pertama (IDAI,
2008).
Imunisasi Hepatitis B
Infeksi virus hepatitis B menyebabkan sedikitnya satu juta kematian
tiap tahun. Indonesia termasuk daerah dengan banyak penderita hepatitis B.
Untuk mengurangi jumlah penderita hepatitis B, vaksinasi pada bayi baru lahir
merupakan upaya yang paling efektif dalam menurunkan jumlah penderita
hepatitis B (IDAI, 2008).
Yang harus mendapat imunisasi hepatitis B adalah bayi baru lahir,
orang yang berisiko dapat tertular hepatitis B, orang yang menjalani cuci
darah, orang yang menderita penyakit yang membutuhkan tranfusi darah
berulang (pasien thalasemia), pemakai narkoba suntik, dan orang yang tinggal
serumah dengan pengidap hepatitis B (IDAI, 2008).
Imunisasi ini pertama diberikan segera setelah lahir, dilanjutkan ketika
usia 1 bulan, dan 6 bulan. imunsasi ini minimal pemberian 3 kali disuntikkan
di otot paha. Interval pemberian imunisasi yang pertama dan yang kedua
adalah satu bulan, jika lebih itu tidak mempengaruhi antibodi yang terbentuk.
imunisasi ketiga itu sebagai penentu respon antibodi. Semakin panjang jarak
imunisasi hepatitis B kedua dengan ketiga mempengaruhi jumlah antibodi
yang terbentuk. Jarak minimal imunisasi kedua dan ketiga ini minimal 2 bulan.
Jika anak terlambat melakukan imunisasi, bisa kapan saja selama anak siap
diimunisasi (IDAI, 2008).
Efektivitas imunisasi hepatitis B dalam mencegah infeksi virus
hepatitis B adalah 90% - 95%. Tingkat proteksi setelah imunisasi ini dapat
diketahui dengan memeriksa kadar anti HBs dalam darah. Bila kadar anti HBs
di atas 10 mIU/mL maka dianggap masih memiliki efek proteksi. Namun pada
bayi dan anak, pemeriksaan kadar anti HBs ini dapat dilakukan dalam waktu
yang dianjurkan (IDAI, 2008).
Efek samping imunisasi hepatitis B ini ringan, bisa hanya berupa
kemerahan di daerah bekas suntikan, atau bisa demam ringan 1-2 hari (IDAI,
2008).
2.1.7 Jadwal Imunisasi
Tabel 1 Jadwal Imunisasi (IDAI, 2011)
Jenis Vaksin
Umur Pemberian Vaksin
Bulan Tahun
Lhr 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 10 12 18
Hepatitis B
1 2 3
Polio 0 1 2 3 4 5
BCG 1
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td) 7 (Td)
HiB 1 2 3 4
Campak 1
2.1.8 Faktor-Faktor Lain Yang Mempengaruhi Pemberian Imunisasi Dasar Pada Anak
1. Petugas Kesehatan
Menurut UU RI no. 36 tahun 2009 bab I pasal I ayat 6, Tenaga kesehatan
adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Menurut pengertian tersebut, petugas kesehatn memiliki peran dalam bidang promosi
kesehatan baik di layanan primer maupun sekunder sehingga dapat mengedukasi
pasien dengan tujuan untuk menurunkuan angka morbiditas.
2. Pendidikan Ibu
Menurut Jurnal Pembangunan Manusia Vol. 7 no. 1 April 2009, semakin
tinggi pendidikan seorang ibu, maka semakin tinggi tingkat pengetahuan ibu tentang
imunisasi. Hal ini dapat dindikasikan bahwa mereka yang semakin lama seseorang
mengenyam bangku pendidikan, semakin besar pula orang tersebut terpapar oleh
berbagai informasi termasuk informasi kesehatan.
3. Fasilitas Kesehatan
Menurut UU RI no. 36 tahun 2009, Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu
alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan
kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Fasilitas kesehatan akan
menunjang kualitas kesehatan seseorang salah satunya dalam bidang promotif.
Tindakan promotif akan lebih meningkatkan pengetahuan seseorang tentang informasi
kesehatan sehingga tindakan preventif dapat segera dilakukan baik oleh petugas
kesehatan maupun dari asyarakat itu sendiri.
4. Sosial Ekonomi
Pengertian sosial ekonomi jarang dibahas secara bersamaan. Pengertian sosial
dan pengertian ekonomi sering dibahas secara terpisah. Pengertian sosial dalam ilmu
sosial menunjuk pada objeknya yaitu masyarakat. Sedangkan pada departemen sosial
menunjukkan pada kegiatan yang ditunjukkan untuk mengatasi persoalan yang
dihadapi oleh masyarakat dalam bidang kesejahteraan yang ruang lingkup pekerjaan
dan kesejahteraan sosial.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sosial berarti segala sesuatu yang
berkenaan dengan masyarakat (KBBI,1996:958). Sedangkan dalam konsep sosiologi,
manusia sering disebut sebagai makhluk sosial yang artinya manusia tidak dapat
hidup wajar tanpa adanya bantuan orang laindisekitarnya. Sehingga kata sosial sering
diartikan sebagai hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat.
Sementara istilah ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “oikos” yang
berarti keluarga atau rumah tangga dan “nomos” yaitu peraturan, aturan, hukum.
Maka secara garis besar ekonomi diartikan sebagai aturan rumah tangga atau
manajemen rumah tangga.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan
masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-
lain. Pemenuhan kebutuhan tersebut berkaitan dengan penghasilan.
2.2 Pengetahuan
2.2.1 Pengertian
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penghidu, perasa,
dan peraba. Tetapi sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan
telinga. Pengetahuan kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam
membuat tindakan seseorang (overt behavior) (Makhfudli, 2009).
Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif, mencakup 6
tingkatan yaitu :
a. Tahu
Tahu merupakan tingkatan paling rendah. Tahu artinya dapat
mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah berupa dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.
Contoh : - Dapat menyebutkan 5 imunisasi dasar pada bayi
- Dapat menguraikan unsur H2O
- Dapat mendefinisikan arti imunisasi
- Dapat menyatakan kegunaan imunisasi
b. Memahami
Kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar
tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu
harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.
Contoh : - Jelaskan maksud imunisasi DPT
- Berikan contoh dari imunisasi aktif
- Mahasiswa dapat menyimpulkan materi kuliah ilmu kesehatan
anak
c. Penerapan
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus,
metode dalam situasi nyata.
Contoh : - Mahasiswa dapat menggunakan rumus statistik untuk tugas
akhir
- Mahasiswa dapat menggunakan metode penelitian dengan
tepat
a. Analisis
Kemampuan menguraikan objek ke dalam bagian-bagian yang lebih
kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut. dan masih terkait
satu sama lain. Ukuran kemampuan ialah ia dapat menggambarkan, membuat
bagan, membedakan, memisahkan.
Contoh : - membuat bagan jadwal imunisasi dasar secara lengkap
- Dapat membedakan imunisasi BCG dan DPT
e. Sintesis
Suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam
suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuan yaitu ia
dapat menyusun, meringkaskan, merencanakan, dan menyesuaikan, suatu teori
atau rumusan yang telah ada.
Contoh : - Seorang ibu dapat menyusun rencana imunisasi dalam satu
tahun ke depan dalam bentuk catatan
- Ibu-ibu dapat meringkas hasil penyuluhan mengenai imunisasi
menjadi intisarinya
f. Evaluasi
Kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek.
Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.
Contoh :
Seorang perawat dapat membedakan gejala TBC dengan gejala batuk
rejan
Perawat dapat membedakan asuhan keperawaan yang baik dan benar
pada pasien pascaoperasi apendiktomi
Seorang bidan desa dapat menafsirkan penyebab mengapa ibu-ibu
ditempat ia bekerja tidak mau mengimunisasikan anak-anaknya
(Sunaryo, 2004).
2.3 Sikap
2.3.1 Pengertian
Sikap di definisikan sebagai reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Di sini dapat di simpulkan
bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat di tafsirkan terlebih dahulu dari
perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya
kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari
merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap
belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi
tertutup bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka.
Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan
tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek. (Notoatmodjo, 2003)
` Sikap dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu (Notoatmodjo, 2003) :
(a) Sikap positif : sikap yang menunjukkan menerima atau mengakui,
menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku di tempat individu
tersebut berada.
(b) Sikap negatif : sikap yang menolak atau tidak menyetujui terhadap
norma-norma yang berlaku di tempat individu tersebut berada
2.3.2 Komponen Sikap
Menurut Allport 1954 (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan bahwa
sikap itu mempuyai 3 komponen pokok yaitu :
1) Kepercayaan atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya
bagaimana keyakinan dan pendapat atau pemikiran seseorang terhadap
objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek. Artinya
bagaimana penilaian (terkandung didalamnya faktor emosi) orang
tersebut terhadap objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Artinya sikap adalah
merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku
terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku
terbuka (tindakan).
2.3.3 Tingkatan Sikap
Ada beberapa sikap menurut Notoatmodjo (2003) berdasarkan
intensitasnya, yaitu :
1) Menerima (Recieving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan
memperhatikan stimulus yang di berikan (objek). Misal sikap
seseorang terhadap perilaku kesehatan terlihat dari kesediaan
dan perhatian seseorang terhadap segala bentuk promosi
kesehatan yang ada seperti penyuluhan.
2) Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan,
danmenyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas
dari pekerjaan itubenar atau salah, adalah berarti bahwa orang
menerima ide tersebut.
3) Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan dan mendiskusikan
suatu masalah.
4) Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah di pilihnya
dengan segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
2.4 Kerangka Teori
Pada penelitian mengenai “Hubungan Tingkat Pengetahuan dan Sikap Ibu
Dengan Pemberian Imunisasi Dasar Secara Lengkap Pada Anak Di Puskesmas
Kecamatan Koja Jakarta Utara” didapatkan kerangka teori:
Gambar 3. Kerangka Teori
Sikap Ibu
Pengetahuan Ibu
Fasilitas Kesehatan
Petugas Kesehatan
Pendidikan Ibu
Sosial Ekonomi
Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap
2.5 Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
Ada hubungan antara tingkat pengetahuan dan sikap ibu dengan pemberian imunisasi
dasar secara lengkap pada anak di Puskesmas Kecamatan Koja Jakarta Utara.
Gambar 4. Kerangka Konsep
Pengetahuan Ibu
Sikap Ibu
Kelengkapan Imunisasi Dasar Pada Anak