BAB II GAMBARAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfditulis dengan nama ... dikenal juga istilah Mane Dope...
Transcript of BAB II GAMBARAN UMUM - sinta.unud.ac.id II.pdfditulis dengan nama ... dikenal juga istilah Mane Dope...
16
BAB II
GAMBARAN UMUM
Bagian ini menjelaskan secara umum objek penelitian ini. Hal-hal yang
perlu dijelaskan adalah lokasi dan lingkungan alam, letak dan keadaan geografis,
iklim, kependudukan, bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, dan sistem
religi.
2.1 Lokasi Dan Lingkungan Alam Penelitian
Pada abad ke-3 suku Rote sudah mendiami Pulau Rote. Hal ini tercatat
dalam Land Taal Volkenkunde Van Nederlands Indie (1854). Selanjutnya
diceritakan bahwa di sebelah utara timur laut Pulau Rote muncul kapal-kapal
Portugis sedang berlabuh dan mereka membutuhkan air minum. Di pantai itu
mereka bertemu dengan seorang nelayan dan bertanya: Pulau ini bentuknya
bagaimana? Nelayan ini berpikir bahwa mereka mau bertanya tentang namanya,
lalu nelayan ini menjawab; “Rote” (Rote is MijnNaam). Kapiten (nahkoda) kapal
Portugis ini menyangka bahwa bentuk pulau itu Rote (ia orang belanda sehingga
mengucapkan e dengan i), segera ia menamakan pulau itu Rote. Selanjutnya pulau
ini disebut Rote sampai sekarang.
Di dalam arsip pemerintahan pemerintahan Hindia Belanda pulau ini
ditulis dengan nama “Rotti atau Rottij” kemudian menjadi “Roti”. Akan tetapi,
masyarakat Rote mempunyai sembilan dialek seringkali mereka menyebut pulau
ini “Lote”, khususnya bagi mereka yang tidak bisa menyebut bunyi /r/, padahal
17
nama asli dari pulau ini adalah Lolo Neo Do Tenu Hatu yang dalam bahasa
Indonesia artinya gelap, selain itu ada juga yang menyebutnya Nes Do Male
artinya layu (Otta, 1990: 10), dan yang lainnya menyebut Lino Do Nes yang
artinya pulau yang sunyi dan tidak berpenghuni (Naladay, 1988:14). Perbedaan
dialek itu bersifat fonetis.Dialek-dialek Dengka dan Oenale berbeda jauh dengan
dialek-dialek lainnya (Sitbbe, CS, 1919:1). Nama-nama yang dimunculkan di atas,
nama pulau ini yang dipilih adalah Rote sampai sekarang.
Untuk menjaga keseimbangan antara kehidupan manusia dan alam
semesta, masyarakat Ba’a harus menaati norma-norma adat istiadat, yang
senantiasa dijalankan dalam upacara-upacara tradisonal. Masyarakat Ba’a percaya
dengan adanya suatu penguasa tertinggi di alam semesta, selain arwah-arwah
nenek moyang dan roh-roh baik maupun jahat yang memenuhi jagat raya ini.
Penguasa tertinggi yang menguasai alam semesta ini mereka sebut Lamatuak atau
lamatuan (Yang Maha Tinggi), yang bertugas untuk mengurus hal-hal yang
berhubung dengan adat istiadat ialah Mane Songgo (Imam). Dalam kehidupan
masyarakat Ba’a, dikenal juga istilah Mane Dope (Hakim Agung) yang bertugas
untuk mengurus semua hal yang berhubungan dengan adat. Tugas utamanya
adalah mengadili dan memutuskan semua perkara, baik perdata maupun pidana. Ia
adalah penasihat utama hakim. Dalam hukum adat tugas utamanya adalah
menyampaikan hasil musayarawarah yang telah diambil oleh masyarakat luas.
1. Dae Langgak atau tuan tanah dalam pemerintahan adat berfungsi berbeda
dengan pengertian tuan tanah pada suku lain di NTT. Tuan tanah bukanlah
seorang yang menguasai tanah-tanah yang dapat mengalihkan dan
18
menentukan hak-hak atas tanah, baik kepada perorangan maupun suku.
Figur Dae Langgak adalah seorang yang mempunyai pengetahuan yang
benar dan luas mengenai tanah-tanah di wilayah adatnya atau Nusak. Ia
adalah seorang saksi ahli.
2. Langgak Mook sama fungsinya dengan Dae Langgak pada tingkat
kampung. Mane Sio atau temukung. Istilah ini sama dengan lurah atau
kepala desa pada sistem pemerintahan sekarang. Kedudukanya dalam
pemerintahan adat di bawah Manek atau Fettor. Di bawah Mane Sio
terdapat Langgak atau kepala kampung dan sesudah Langgak terdapat
lasin-lasin yang dapat disejajarkan dengan RT (sistem pemerintahan
sekarang). Lapisan bawah adalah rakyat yang dipimpin oleh seorang
Maneleo. Segala hal yang berkaitan dengan pemerintahan adat
berdasarkan norma dan nilai yang berlaku di dalam satu nusak atau
wilayah adat. Masyarakat yang berada dalam satu nusak pada umumnya
masih terikat dalam satu keluarga (leo)
3. Fettor mengepalai sebuah wilayah yang terdiri atas gabungan antara
kampung-kampung. Wilayah yang bergabungan ini disebut kefetoran.
Manek adalah pemimpin dari gabungan kefetoran. Kedudukannya dapat
disamakan dengan seorang raja. Jabatan ini bersifat turun temurun dan
dipilih dari leo-leo.
Pada Zaman penjajahan Belanda muncul istilah swappraja (lanschap)
yang dipimpin oleh seorang Manek dibantu oleh fetor. Pemerintahan Manek dan
Fetor dibantu oleh Maneleo-Maneleo (kepala suku) dan tetua adat yang juga
19
bertindak sebagai dewan penasihat. Saran-saranya dapat juga dipakai sebagai
pertimbangan dalam mengambil keputusan.
Pulau Rote saat ini sudah merupakan salah satu kabupaten di Provinsi
Nusa Tenggara Timut (NTT) yang disebut Kabupaten Rote Ndao. Sistem
pemerintahannya berbeda dengan sistem pemerintah adat. Namun masih ada
kesamaannya. Sekarang pemimpin pemerintahan Kabupaten Rote Ndao adalah
Bupati. Ia adalah seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat. Kabupten Rote
Ndao terdiri atas 5 kecamatan, yaitu (1) Kecamatan Rote Barat Laut, (2)
Kecamatan Rote Barat Daya, (3) Kecamatan Lobalain, (4) Kecamatan Rote
Tengah, (5) Kecamatan Rote Timur.
2.2 Letak Dan Keadaan Geografis
Pada tanggal 11 Maret 2002 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam
sidang paripurna telah mengukuhkan Undang-Undang Pembentukan Kabupaten
Rote Ndao sebagai satu kabupaten yang baru di Nusa Tenggara Timur (NTT)
yang dipisahkan dari kabupaten Kupang. Di samping Pulau Rote Ndao, ada lagi
beberapa pulau kecil, yaitu Pulau Nuse, Pulau Ndana, Pulau Usu, Pulau Manuk,
Pulau Haliana, Pulau Do’o, dan Pulau Landu. Pulau Ndana yang terletak di
sebelah barat Pulau Rote dan tidak didiami oleh penduduk. Jadi, Kabupaten Rote
Ndao merupakan gugusan pulau yang yang terletak di sebelah selatan Negara
Repubik Indonesia.
20
Gambar 01
Sumber: Peta Kabupaten Rote Ndao 2014
Bentuk Pulau Rote memanjang dari timur laut menuju ke arah barat daya
dan letaknya berada di antara 10 derajat 27-11 derajat lintang selatan dan 12252
derajat dan 12329 derajat Bujur Timur. Pulau ini luasnya sekitar 1200 km persegi
dan di tengah-tengah-tengahnya terdapat tanah yang berbukit-bukit serta batu
kapur yang terbentuk pada zaman mesozoikum dan zaman yang lebiudah. Di
bagian pantainya terdapat dataran yang luas serta di sepanjang pesisir pantai laut
terdapat banyak teluk.
Dataran dan bukit tersebut tersusun dari terumbu karang (batu kapung) dan
tanah liat (laterit). Gunung tidak ada, hanya sebuah bukit yang besar dan agak
menonjol dari bukit-bukit lainnya. Masyarakat menyebutnya gunung Lakamola.
Gunung itu terletak di bagian timur Pulau Rote. Sebagian dari daratan terdiri atas
padang-pdang rumput yang ditumbuhi hutan sabana dan semak belukar.
Dataran rendah yang subur itu digunakan untuk membuat kebun dan
ladang serta sawah tadahan di musim penghujan. Sumber-sumber air yang besar
21
ialah Nii OEN di Rote Timur dan Oe Mau fidi Rote Barat serta sebuah danau di
sebut Danau Tua. Danau ini memisahkan Nusak Thie dan Nusak Dengka. Di
sekitar sumber-sumber air pada tanah yang subur ditanam dengan tanaman
perdagangan. Sawah yang diairi sangat tidak berarti bila dibandingkan dengan
luas datarannya. Sungai-sungai besar tidak ada, yang ada sungai-sungai kecil yang
mengering pada musim kemarau.
2.3 Iklim
Pulau Rote beriklim tropis. Hal ini berarti musim penghujan berlangsung
dari bulan November sampai dengan Mei. Pada bulan Nopember masyarakat Ba’a
menanam jagung, padi ladang, dan umbi-umbian. Pada bulan Juni sampai Oktober
musim kemarau berlangsung. Hal ini disampaikan oleh Bapak Manek Ndoen yang
tinggal di Ba’a. Disebutkan bahwa pada musim kemarau berhembuslah angin
muson yang kering sehingga pada malam hari pada bulan-bulan tertentu, yaitu
pada bulan Juni sampai Agustus, udaranya sangat dingin. Pada musim ini
masyarakat Ba’a mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang pada musim hujan tidak
bisa dikerjakan. Pekerjaan-pekerjaan itu adalah menyadap gula dan memasak
gula. Hasil olahan itu berupa gula batu, gula semut, dan gula air. Pada saat ini
banyak masyarakat Ba’a yang memanen rumput laut. Selain itu, kegiatan yang
juga dilakukan adalah berburu babi hutan rusa, dan mencari kepiting di tepi laut.
Angin muson barat yang bertiup pada musim hujan sangat kencang
sehingga mengakibatkan banyak kerusakan seperti yang terjadi pada bulan April
tahun 1843 yang meruntuhkan sekolah-sekolah, gereja, dan rumah masyarakat.
22
Pada waktu itu rumah kediaman “Hartig” hancur. Hartig adalah seorang
pemimpin pemerintahan Belanda di Rote sehingga ia harus mengungsi ke Kupang
(B. Koopmans, 1921: 45; Soh dan Indrayana, 2008:18)
Pelayaran antara Pulau Rote dan Timor sering terhambat karena pada
musim angin barat. Pada bulan Februari ombak di selat Pukuafu menjadi ganas
sehingga pada bulan itu nelayan tidak berani berlayar di sekitar selat itu dan orang
Rote tidak berani melakukan perjalanan ke Kupang. Pada musim itu, para nelayan
tidak berani melalut
Berdasarkan dua musim tersebut di atas, masyarakat Ba’a membuat jadwal
kerja yang harus dilaksanakan setiap bulan. Pada musiam kemarau mereka
mempersiapkan kebun, menyadap pohon lontar, dan memasak gula. Pada musim
hujan mereka menanam jagung, padi sorgum, ubi dan membersihkan kebun
sampai dengan masa panen.
Jadi, Pulau Rote khususnya masyarakat Ba’a memliki dua jenis musim,
yaitu musim panas dan musim hujan. Masim panas berlangsung dari bulan Juni
sampai dengan Oktober atau dan musim hujan berlangsung dari bulan November
sampai dengan bulan Mei. Perhatikan tablel musim yang terjadi di pulau Rote
berikut ini.
Tabel 2.1
Jenis Musim di Pulau Rote
No Jenis Musim Waktu
1. Musim Panas Bln. Juni sampai dengan bln. Oktober
2. Musim Hujan Bln. November sampai dengan bln. Mei
Sumber : Kantor Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Rote Ndao
23
2.4 Kependudukan
Penduduk pulau Rote seperti juga orang-orang yang mendiami pulau-
pulau lain di NTT tidak mengenal tulisan. Para ahli sejarah tidak menemukan
sumber-sumber tertulis seperti prasasti dan lain-lain yang dapat dipakai sebagai
bahan bukti dalam menuliskan tentang masa lampau Pulau Rote. Oleh karena itu,
gambaran tentang Pulau Rote dan penduduknya lebih banyak diperoleh dari
sumber-sumber luar negeri serta cerita-cerita rakyat yang bersumber daripada
penyair adat atau manehelo. Cerita itu berupa legenda dan mitologi. Apa yang
dituturkan oleh manehelo adalah benar tidak bisa dibantah disedikit pun.
Berdasarkan legenda atau mitologi menjelaskan bahwa Pulau Rote itu
pada mulanya tidak berpenghuni. Dikisahkan bahwa pada suatu saat datanglah
satu suku atau sekelompok orang dari sebelah utara pulau itu. Sebagian orang
mengatakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari langit. Pada umumnya
masyarakat Rote mengakui bahwa nenek moyang mereka berasal dari Sela Do
Dai, yaitu suatu negeri yang tidak diketahui di mana letaknya (Soh dan Indrayana,
2008:36).
Penduduk Kabupaten Rote Ndao saat ini merupakan turunan dari nenek
moyang yang dikisah tersebut di atas. Pada zaman kerjaan masyarakat Rote
dipimpin oleh raja-raja. Misalnya masyarakat Ba’a dipimpin oleh beberapa raja,
yaitu (1) Moeskanan Pandi (1854), (2) Yohannes Moeskanan (1855-1862), (3)
Alexander (1863- 1873), (4) Doen Moeskanan (1874- 1884), (5) Loesia Detag
(1884-1887), (6) Yasaja dae Pani (1888-1895), (7) Paulus Dae Pani (1896- 1905),
24
(8) Moeskanan Toele Foe alias Arnoldus Toele Foe (1905-1911), (9), dan terakhir
dipimpin oleh Loesia Detag (1912-1945).
Sejak kemerdekaan pulau Rote dipimpin oleh seorang Bupati. Secara
administrasi termasuk Kabupaten Kupang. Sekarang Pulau Rote telah menjadi
kabupaten sendiri. Kabupaten Rote Ndao terdiri atas 5 kecamatan, antara lain
kecamatan Lobalain ibu kotanya Ba’a. Kecamatn Lobalain mencakup berapa
keluarah, antara lain Kelurahan Ba’a terletak di ibu kota Kabupaten Rote Ndao.
Masyarakat di Kelurahan Ba’a dipimpin oleh seorang Lurah. Kelurahan Ba’a
merupakan sentral kegiatan administrasi pemerintahan kelurahan. Kelurahan Ba’a
merupakan tempat penyelenggara pemerintahan pada tingkat kelurahan melayani
semua kepentingan warga. Kelurahan memiliki struktur organisasi yang baku
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Masyarakat Ba’a terdiri atas delapan suku, yaitu (1) Ene, (2) Modok
(Fetor), (3) Suki, (4) Pelama, (5) Faisama, (6) Nggi, (7) Nggikohu, dan (8) Kunak.
Suku-suku di Ba’a terdiri atas empat suku besar, yaitu Ene, Modok, Suki, dan
Pelama. Suku-suku lain merupakan pecahan dari suku Pelama, seperti suku
Faisama, Nggi, Nggikohu, dan Kunak.
Rote Ndao dalam Angka, 2014 yang diterbitkan oleh pemerintah
Kabupaten Rote Ndao menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan penduduk
Kabupaten Rote Ndao. Semua informasi ditampilkan dalam bentuk tabel. Tabel I
menjelaskan tentang penduduk,luas wilayah, dan kepadatan penduduk menurut
kecamatan. Tabel II menjelaskan: Penduduk menurut keccamatn, jenis kelamin,
dan rasio jenis kelamin. Tabel III menjelaskan tentang jumlah kepala keluarga
25
(KK) dan Desa/kelurahan, rata-rata penduduk per KK dan desa/kelurahan di
Kabupaten Rote Ndao. Perhatikan tabel penduduk menurut jenis kelamin dan ratio
jenis kelamin di Kabupaten Rote Ndao.
Tabel 2.2
Jumlah Penduduk Rote Ndao Berdasarkan Jenis Kelamin di Setiap Kecamatan
dan Ratio Jenis kelamin
No Kecamatan Jumlah Laki-laki Jumlah Perempuan Ratio Laki-laki
Perempuan
1 Rote Barat Daya 10553 10433 101
2 Rote Barat Laut 12467 12291 101
3 Lobalain 13471 12283 110
4 Rote Tengah 4277 4063 105
5 Rote Selatan 2882 2757 105
6 Pantai Baru 6990 6923 101
7 RoteTimur 6403 5953 108
8 Rote Barat 3948 3804 104
9 Landu Leko 2385 2305 103
10 Ndao Nuse 1815 1908 95
Total 65.191 62.720 1033
Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Rote Ndao
Tabel 2.3 di atas menunjukkan bahwa jumlah perempuan dan laki-laki
berbeda pada setiap kecamatan. Kecamatan Rote Barat Daya laki-laki berjumlah
10553 orang sedangkan perempuan berjumlah 10433 dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 101. Kecamatan Rote Barat Laut, laki-laki berjumlah 12467
orang sedangkan perempuan berjumlah 12291 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 101. Kecamatan Lobalain, laki-laki berjumlah 13471 orang
sedangkan perempuan berjumlah 12283 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 110. Kecamatan Rote Tengah, laki-laki berjumlah 4277 orang
sedangkan perempuan berjumlah 4063 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 105. Kecamatan Rote Selatan laki-laki berjumlah 2882 orang
26
sedangkan perempuan berjumlah 2757 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 105. Kecamatan Pantai Baru laki-laki berjumlah 6990 orang
sedangkan perempuan berjumlah 6923 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 101. Kec. Rote Timur laki-laki berjumlah 6403 orang
sedangkan perempuan berjumlah 5953 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar108. Kec. Rote Barat laki-laki berjumlah 3948 orang
sedangkan perempuan berjumlah 3804 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar104. Kec. Landu Leko, laki-laki berjumlah 2385 orang
sedangkan perempuan berjumlah 1908 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 103. Kec. Ndao Nuse, laki-laki berjumlah 1815 orang
sedangkan perempuan berjumlah 1908 orang dan ratio antara laki-laki dan
perempuan berkisar 95. Jadi, jumlah penduduk menurut jenis kelamin dan ratio
adalah laki-laki berjumlah 65.191 orang dan perempuan 62.720 orang dan ratio
berkisar 104. Perhatikan tabel Penduduk, Luas Wilayah, dan Kepadatan Penduduk
Kabupaten Rote Ndao berikut ini.
Tabel 2.3
Penduduk, Luas Wilayah, Dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan
No Kecamatan Penduduk Luas Wilayah/Km persegi Kepadatan
1 Kec. Rote Barat Daya 20986 114,57 183
2 Kec. Rote barat Laut 24758 172,40 144
3 Kec. Lobalain 25754 145,70 177
4 Kec. Rote Tengah 8340 162,50 51
5 Kec. Rote Selatan 5639 73,38 77
6 Kec. Pantai Baru 13913 176,18 79
7 Kec. Rote Timur 12356 110,84 111
27
8 Kec. Rote Barat 7752 116.28 67
9 Kec. Landu Leko 4690 194.06 24
10 Kec. Ndao Nuse 3725 14.19 262
Total 127.911 1280,10 100
Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Rote Ndao
Informasi pada tabel 2.4 di atas menunjukkan bahwa Jumlah penduduk di
Kabupaten Rote Ndo berjumlah 127.911 orang. Kecamatan Rote Barat Daya
berjumlah 20986. Kecamatan Rote Barat Laut penduduknya berjumlah 24758
orang, Kecamatan Lobalian pendudunya berjumlah 25754 orang, Kecamatan Rote
Tengah berjumlah 8340, Kecamatan Rote Selatan berjumlah 5639 orang,
Kecamatan Pantai Baru berjumlah 13913 orang, Kecamatan Rote Timur
penduduknya berjumlah 12356 orang, Kec. Rote Barat penduduknya
berjumlah7752 orang, Kec. Landu Leko mempunyai penduduk berjumlah 4690
orang, dan Kecamatan Ndao Nuse mempunyai penduduk yang berjumlah 3725
orang. Jadi jumlah penduk yang berdiam di Kabupaten Rote Ndao adalah
berjumlah 127.911 orang. Untuk itu dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 2.4
Jumlah Kepala Keluarga (KK) Dan Desa/Kelurahan Rata-Rata Penduduk/KK
Dan Desa/Kelurahan Di Kabupaten Rote Ndao
No Kecamatan KK Desa/Kel. Rata-Rata Penduduk
KK Desa/Kel
1 Kec. Rote Barat Daya 5150 14 4 1499
2 Kec. Rote Barat Laut 6278 13 4 1904
3 Kec. Lobalain 6623 14 4 1839
4 Kec. Rote Tengah 2268 7 4 1191
5 Kec. Rote Selatan 1289 5 4 1128
28
6 Kec. Pantai Baru 3634 11 4 1265
7 Kec. Rote Timur 2993 7 4 1765
8 Kec. Rote Barat 1806 7 4 1107
9 Kec. Landu Leko 1304 6 4 782
10 Kec. Ndao Nuse 999 5 4 742
Total 32344 89 4 1457
Sumber: Kantor Statistik Kabupaten Rote Ndao
Tabel 2.5 menunjukkan bahwa setiap kecamatan di Kabupaten Rote Ndao
memiliki jumlah kepala keluarga (KK) dan jumlah desa/kelurahan. Kec. Rote
Barat Daya memiliki 5150 kepala keluarga dan 14 desa/kelurahan, Kec. Rote
Barat Laut memiliki 6278 kepala keluarga dan 13 desa/kelurahan, Kec. Lobalain
memiliki 6623 kepala keluarga dan 14 desa/kelurahan, Kec. Rote Tengah
memiliki 2268 kepala keluarga dan 7 desa/kelurahan, Kec. Rote Selatan memiliki
1289 kepala keluarga dan 5 desa /kelurahan, Kec. Pantai Baru memiliki 3634
kepala keluarga dan 11 desa/kelurahan, Kec. Rote Timur memiliki 2993kepala
keluarga dan 7 desa/kelurahan, Kec. Rote Barat memiliki 1806 kepala keluarga
dan 7 desa/kelurahan, Kec. Landu Leko memiliki 1304 Kepala Keluarga dan 6
desa/kelurahan, dan Kecamatan Ndao Nuse memiliki 999 Kepala Keluarga dan 5
desa/kelurahan. Jadi, Kabupaten Rote Ndao memiliki 32344 kepala keluarga dan
89 desa/kelurahan.
Penduduk di Kelurahan Ba’a dapat diuraikan sebagai berikut. Kelurah
Ba’a memiliki penduduk dengan jumlah 1500 orang. Laki-laki berjumlah 800
orang dan perempuan 700 orang. Laki-laki dewasa berjumlah 650 orang dan
perempuan dewasa berjumlah 500 orang. ( Data kependudukan Kelurahan Ba’ a
2014).
29
2.5 Bahasa
Bahasa Rote adalah salah satu rumpun bahasa Austronesia yang digunakan
sebagai sarana komunikasi verbal antarpenuturnya dalam percakapan sehari-hari.
Selain itu, bahasa Rote juga merupakan sarana komunikasi adat. Bahasa Rote itu
terdiri atas beberapa dialek, antara lain dialek Dela, Dengka, Bilba, Oenale,
Termanu Ndao (Bapak Nggadas seorang tokoh adat Oenale). Lihat tabel dialek
bahasa Rote berikut ini.
Tabel 2.5
Jenis Dialek Bahasa Rote
No Dialek Rote Tempat Penutur
1 Dela Nemberala Orang Dela
2 Ndao Pulau Ndao Orang Ndao
3 Oenale Oenale Orang Oenale
4 Dengka Busalangga Orang Dengka
5 Ti’i Rote selatan Orang Ti’i
6 Bilba Rote Timur Orang Bilba
Sumber: Kantor Dinas PPO Kabupaten Rote Ndao
Bahasa Rote ini hidup dan berkembang di Pulau Rote. Masyarakat Ba’a
menggunakan bahasa itu, selain sebagai sarana komunikasi setiap hari, juga
sebagai sarana untuk mengkomunikasikan semua kegiatan mereka setiap hari
termasuk kegiatan menenun. Sebagai bukti peralatan tenun ikat, nama benang, dan
motif serta hasil tenun ikat seperti kain, selendang, dan selimut diberi nama dalam
bahasa Rote.
Bahasa Rote dipandang sebagai bahasa ibu. Bahasa itu diajarkan oleh ibu
sejak kandungan sampai dewasa. Istilah bahasa ibu sering disebut sebagai bahasa
30
lokal atau bahasa daerah. Kedudukannya sebagai bahasa daerah berfungsi untuk
menopang bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia.
Sebagaimana masayarakat Rote lainnya, masyarakat Ba’a memandang
bahasa Rote sebagai unsur yang penting dalam kehidupannya. Karena tanpa
bahasa itu masyarakat Rote tidak bisa mengenal sesamanya, tidak bisa mengetahui
adat, dan tidak bisa mengenal alam sekitarnya. Walaupun demikian masyarakat
Ba’a juga bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Bahasa ini terutama
digunakan di kantor, di pasar, dan dalam percakapan biasa apabila lawan bicara
bukan penduduk Rote.
Bahasa Rote masih hidup dan berkembang dengan baik di Ba’a. Bahasa
Rote masih digunakan dalam komunikasi keluarga, antara bapak dengan anak,
bapak dengan ibu atau orang tua dengan anak, dan sarana komunikasi dengan
tetangga. Bahasa Indonesia juga hidup dan berkembang di Ba’a. Biasanya bahasa
Indonesia digunakan di sekolah, di kantor, dan di pasar. Jadi, baik bahasa Rote
maupun bahasa Indonesia dapat hidup dan berkembang secara harmonis.
2.6 Sistem Mata Pencaharian Hidup
Masyarakat Pulau Rote, khususnya masyarakat Ba’a memiliki sistem mata
pencaharian. Sejak dahulu kala masyarakat Ba’a mengenal sistem mata pencarian
seperti suku lain di Nusa Tenggara Timur. Sistem mata pencaharian diwariskan
oleh leluhur adalah (1) berburu, (2) bercocok tanam, (3) menangkap ikan, (4)
beternak, (5) menyadap pohon lontar, dan (6) budidaya pohon kelapa. Pekerjaan
itu merupakan sumber nafkah bagi masyarakat Ba’a. Sistem mata pencaharian
31
masyarakat Ba’a sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat
(2002: 358).
Pekerjaan-pekerjaan yang telah dijelaskan itu masih bersifat tradisional.
Cara kerjanya dan peralatannya masih merupakan warisan leluhur. Pekerjaan
utama adalah bertani, beternak, menyadap pohon lontar, tenun ikat, dan budidaya
pohon kelapa. Pekerjaan bertani adalah mengerjakan kebun untuk ditanam jagung,
padi, umbi-umbian, sorgum, termasuk penanaman pohon kelapa. Pekerjaan
beternak meliputi ternak kerbau, domba, kambing, dan babi. Penyadapan pohon
lontar untuk memperoleh nira atau tuak dalam bahasa Rote. Tuak bisa dikonsumsi
oleh anggota keluarga pada upacara adat dan dijual untuk mendapat uang. Nira
juga diolah secara tradisional untuk menjadi gula batu, gula semut, dan gula air.
Pekerjaan bertani bagi masyarakat Ba’a saat ini disesuaikan dengan iklim,
yaitu iklim tropis. Karena itu kegiatan pertanian hanya dilakukan sekali dalam
setahun, yaitu pada musim hujan. Setelah panen, masyarakat melakukan kegitan
sampingan seperti menangkap ikan, berburu binatang liar di padang dan hutan
seperti babi hutan, rusa, dan lain sebaginya.
Budaya penyadapan pohon lontar di Nusa Tenggara Timur hanya
dilakukan oleh dua suku, yaitu Rote dan Sabu. Bagi Kedua suku tersebut, pohon
lontar merupakan bagian dari kehidupannya. Suku Rote sudah menyatu dengan
pohon lontar sehingga dalam syair-syair adat sering dijumpai pohon lontar disebut
sebagai pohon kehidupan. Dalam siklus kehidupan manusia harus mengalami tiga
fase, yaitu lahir, hidup, dan mati. Ketiga fase itu tidak terlepas dari pohon lontar.
32
Di samping itu, pekerjaan tenun ikat merupakan salah satu pekerjaan yang
hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Ba’a. Hasil tenun ikat seperti
sarung, selendang, dan selimut digunakan untuk kepentingan sehari-hari, yaitu
pembungkus badan, kepentingan adat sebagai belis, dan kepentingan ekonomi
rumah tangga. Bahan tenun ikat adalah benang dan zat pewarna dari bahan alam.
Akan tetapi, saat ini sudah menggunakan benang tekstil dan zat pewarna yang
modern yang disebut wanteks.
Pada saat ini, kerajinan tenun ikat secara ekomonis merupakan salah satu
hasil sumber penghasilan yang dapat menopang kehidupan keluarga. Selain itu,
hasil kerajinan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan adat dan untuk
digunakan sebagai pembungkus badan.
Dalam keluarga patrilineal, pembagian tugas dalam keluarga sebagi
berikut. Ayah mengerjakan pekerjaan di luar rumah dan ibu mengerjakan
pekerjaan di dalam rumah. Demikian pula pada Masyarakat Ba’a Ayah
mengerjakan pekerjaan di luar rumah seperti bekerja kebun, beternak hewan,
menanam kelapa, dan menyadap lontar, musim tertentu memasak gula. Sedangkan
Ibu bertugas mengerjakan pekerjaan rumah tanga seperti memasak, membersihkan
rumah, mengasuh anak-anak, melaksanakan kegiatan tenun ikat.
Jenis pekerjaan yang dikerjaan sang ayah sebagai berikut: (1) beternak
hewan seperti babi, kerbau kambing, domba, dan unggas (ayam lokal dan ayam
pedaging); (2) bertani meliputi kerja kebun dan sawah, menanam pohon kelapa,
dan menyadap pohon lontar; (3) memasak gulu yang dapat menghasilkan gula
batu, gula semut, dan gula air.
33
Pekerjaan-pekerjaan yang dikerjaan sang ibu berdasarkan pada prinsip
patrilineal adalah mengasuh anak, memasak makanan, membersihkan rumah, dan
menenun ikat. Di samping itu, membantu suami untuk memasak gula dan
menghantar makanan apabila suami bekerja di kebun yang agak jauh dari rumah
atau ume dalam bahasa Rote. Sekarang ibu-ibu di pulau Rote tidak hanya
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan di atas, tetapi juga mengerjakan pekerjaan
yang jauh dari rumah, misalnya budidaya rumput laut. Sebagian kecil perempuan
di pulau Rote bekerja sebagai guru dan pegawai di kantor, dan LSM.
2.7 Organisasi Sosial
Pada hakikatnya manusia selalu hidup bersama dengan orang lain dalam
bentuk kelompok. Di kelurahan Ba’a terdapat beberapa kelompok masyarakat,
kelompok kecil, yaitu keluarga dan kelompok sedang yaitu kampung, dan yang
lebih adalah kelurahan. Kelompok kecil atau keluarga terdiri atas beberapa
anggota, yakni ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah bertugas sebagai kepala rumah
tangga dan ibu sebagai pendamping ayah serta anak-anak. Mereka yang masih
kecil tidak diberikan tugas, tetapi anak-anak yang besar dapat menolong orang tua
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang ringan seperti cuci piring,
membersihkan rumah, memotong sayur. Anak-anak harus mematuhi perintah
orang tuanya.
Kelempok sedang atau kampung memiliki anggota lebih banyak dari
keluarga. Karena kelompok itu merupakan gabungan dari beberapa keluarga di
kampung itu. Kelompok masyarakat itu dipimpin oleh seorang kepala kampung
34
atau ketua lingkungan. Biasanya kampung itu dipimpin oleh kepala lingkungan
yang dipilih secara demokratis oleh seluruh warga kampung itu. Semua warga
kampung itu harus tunduk di bawah aturan yang disepakati bersama dan aturan
umum yang diturunkan dari pemerintah pusat dan daerah. Apabila ada yang
melanggara aturan itu, dikenai sanksi sesuai aturan yang berlaku.
Kelompok yang lebih besar adalah kelurahan, yaitu Kelurahan Ba’a.
Kelurahan ini terdiri atas beberapa kampung. Jumlah warganya pasti lebih banyak
dari warga kampung dan keluarga. Semua warga harus tunduk di bawah aturun
hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah. Apabila ada warga
kelurahan yang melanggar peraturan dan melakukan tindakan pidana dan perdata,
diproses dan dikenai hukuman yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Di samping itu, hukum adat masih berlaku sampai sekarang. Biasanya
hukum adat itu masih berlaku pada kelompok kecil di desa atau kampung. Sebagai
contoh dalam keluarga ayah berkawijiban untuk melindungi anak-anak dan ibu.
Ibu harus tunduk kepada suami dan mengasuh anak-anak dengan kasih sayang.
Anak-anak harus taat kepada orang tua dan menghormati orang tua. Warisan
orang tua hanya diturunkan kepada anak laki-laki sedangkan anak perempuan
adalah di luar batas kekerabatan itu.
Di samping itu, kelompok yang lebih besar yang mendiami kampung
hukum adat masih berlaku juga, seperti masalah perkawinan. Secara adat, dalam
sekampung tidak boleh terjadi perkawinan. Kalau hal itu terjadi berarti suatu
pelanggaran hukum perkawinan adat. Untuk pelanggaran itu harus diproses dan
35
diselesaikan secara hukum adat dan diberikan sanksi adat pula. Selain itu, aturan
pembagian lahan untuk perkebunan masih berdasarkan hukum adat.
1. Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan pada masyarakat Ba’a berdasarkan pada prinsip
patrilineal. Prinsip ini mempertimbangkan hubungan kekerabatan melalui garis
bapak. Hal ini berarti anak laki-laki yang berhak tinggal di rumah apabila sudah
berkeluarga dan anak perempun harus keluar dari rumah atau ume dalam bahasa
Rote dan mengikuti suaminya. Kalau anak laki-laki sudah dewasa dan mencari
istri harus dari suku lain. Setelah melalui proses adat, istrinya menjadi anggota
keluarga sang suami dan ia berhak untuk tinggal di rumah suaminya. Anak
perempuan yang sudah dewasa biasanya dipinang oleh seorang laki-laki dari suku
lain dan dia akan menjadi anggota keluarga dari suku itu.
Dalam kekerabatan patrilineal masayarakat Ba’a, anak laki yang akan
menjadi ayah diberi tanggung jawab dan hak. Kewajiban ayah bertanggung jawab
atas seluruh kebutuhan hidup keluarga. Kebutuhan keluarga seperti perumahan,
makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan keluarga, dan kebutuhan masyarakat.
Sang ibu melaksanakan beberapa pekerjaan di rumah, seperti mengasuh
anak, memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan menenun. Seluruh
tugasnya hanya dikerjakan di dalam dan di sekitar rumah.
Di samping kewajiban, sang ayah memiliki beberapa hak. Pertama ia
diberi hak warisan berupa harta kekayaan orang tua. Harta itu terdiri atas harta
bergerak dan harta tidak bergerak. Harta bergerak adalah binatang seperti kuda,
kerbau, babi, domba, dan kambing. Harta tidak bergerak adalah tanah, rumah,
36
benda perhiasan seperti emas dan perak, kain tenun ikat, pohon lontar. Selain itu,
ayah berhak memimpin acara adat, misalnya acara perkawinan, acara masuk
minta, dan acara orang mati. Sedangkan sang ibu memiliki hak untuk dilindungi
oleh sang suami. Anak-anak berkewajiabn untuk menghormati orang tua dan
mematuhi semua perintah orang tua. Mereka berhak mendapat perlindungan orang
tua.
Masyarakat Ba’a didasarkan atas garis dari bapak (patrilineal), yang sangat
menarik dalam hubungan kekeluargaan dengan adanya istilah to’o atau paman.
To’o adalah saudara laki-laki dari pihak ibu. Hubungan antara to’o dengan
keponakannya bersifat magis, terutama di dalam hal perkawinan, kematian,
pembagian warisan, dan lain-lain. Semuanya diatur dalam norma-norma adat
istiadat yang apabila dilanggar akan mendapat sanksi.
2. Sistem Pemerintahan Adat
Masyarakat Ba’a memiliki sistem pemerintahan adat. Maneleo artinya
kepala suku. Ia bertanggung jawab atas persoalan yang dihadapi oleh warga suku.
Kekuasaan diperoleh secara turun temunrun. Lasi adalah wakil maneleo dan lasi-
lasi dibantu oleh langga. Langga terdiri atas langga mo yang bertugas untuk
mengurus kebun, hewan, dan air. Perhatikan struktur organisasi adat masyarakat
Ba’a berikut ini.
37
Bagan 2
Struktur Pemerintahan Tradisional Masyarakat Ba’a
Dalam kehidupan bermasyarakat pasti dihadapkan dengan berbagai
masalah. Pemerintah adat dapat menyelesaikan masalah-masalah yang melanda
masyarakatnya dengan hokum acara adat. Permasalahan dapat diselesaikan oleh
hakim adat, yaitu salah satu manesio yang ditugaskan oleh mane untuk
menyelesaikan masalah-masalah berdasarkan hukumm adat.
3. Stratifikasi Sosial
Masyarakat Ba’a memiliki tiga lapisan sosial. Lapisan atas adalah raja
Mane. Lapisan tengah adalah manesio. Lapisan bawah adalah langga dan
Bobonggi. Mane bertugas untuk memimpin warga masyarakat. Manesio bertugas
untuk membantu mane dalam berbagai tugas yang diemban oleh mane, yaitu
pembagian kebun, mengurus hewan, mengurus air. Untuk tugas itu Manesio
dibantu oleh langga-langga. Jadi, susunan masyarakat adat Ba'a seperti yang telah
digambarkan terdahulu (lihat bagan 2.10 struktur pemerintah tradisional
masyarakat Ba’a).
Maneleo
Lasi
Langga Langga Langga
Bobonggi
38
2.8 Sistem Pengetahuan
Pulau Rote khususnya masyarakat Ba’a telah mengenal teknologi sejak
leluhur mendiami pulau. Pada zaman batu (Paleotikum) seorang peneliti asal
Swis, Buchler melakukan penelitian tentang peralatan yang digunakan masyarakat
Rote pada zaman dahulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang Rote
sudah menggunakan alat-alat sejak zaman paleolitikum. Selain itu, ditemukan
pula alat-alat dari zaman maleolitikum. Alat-lat yang dimaksud adalah kapak
genggam, kapak lonjong, ujung mata panah, pisau, dan lain sebagainya. (Soh,
dkk., 2008:7).
Di samping itu, Glover seorang pakar kebudayaan, menyatakan bahwa
orang Rote telah mengenal sistem pertanian yang sangat sederhana dan mereka
berasal dari luar daerah pulau Rote. Alat pertanian itu dibuat dari batu, seperti
kapak untuk memotong kayu dan pisau untuk memebersihkan rumput. Hal ini
ditegaskan oleh Frits seorang ahli purbakala asal Jerman yang mengatakan bahwa
ditemukan tanda-tanda kehidupan pada zamn prasejarah orang Rote. Hal itu
dibuktikan telah ditemukannya alat-alat dari batu berupa piasu, kapak, mata
panah, dan lain-lainnya (Sarasin, 1936: 42-43; Soh,dkk., 2008:8).
Sistim teknologi yang dijelaskan di atas, menggambarkan cara
memproduksi peralatan yang digunakan untuk menghidupkan dan
mempertahankan kehidupan pulau Rote khususnya masyarakat Ba’a pada zaman
dahulu yang dikenal sebagai teknologi tradisional. Metode dan bahan dasar serta
peralatan yang digunkan masih sangat sederhana. Dalam perjalan sejarah suku
Rote, cara kerja dan bahan baku untuk memproduksi peralatan sangat dipengaruhi
39
oleh suku-suku lain dari luar daerah Rote. Misalnya bahan baku untuk membuat
pakaian, pada zaman dahulu bahan untuk membuat pakaian adalah kulit kayu,
serat gewang. Zat pewarna dibuat dari akar pohon, daun, kulit kayu, dan lain-lain.
Namun sekarang, bahan dan cara kerja sudah berbeda. Dtemukan bahwa bahan
dasar untuk memproduksi kain adalah benang toko dan zat pewarna adalah
pewarna buatan yang disebut wanteks yang terjual di toko. Hal lain yang
merupakan bukti pengaruh luar yaitu cara-cara menghias kain tenun dengan
teknik ikat dan merangkai motif pada kain tenun itu. Pada tenun ikat Rote
khususnya masyarakat Ba’a terdapat salah satu motif yang dipengaruhi oleh motif
Indi, yaitu motif patola.
Sistem pengetahuan dalam suatu kebudayaan merupakan suatu uraian
tentang cabang-cabang pengetahuan. Cabang pengetahuan itu sebaiknya dibagi
berdasarkan pokok perhatian. Dengan demikian, setiap suku bangsa di dunia
biasanya mempunyai pengetahuan tentang: (1) alam sekitarnya, (2) alam flora dan
alam fauna di tempat tinggalnya, (3) zat-zat, bahan mentah, dan benda-benda
dalam lingkungannya, (4) tubuh manusia, (5) sifat-sifat dan tingkah laku sesama
manusia, dan (6) ruang dan waktu ( Koentjaraningrat, 2002:372).
Bedasarkan penjelasan tersebut di atas, suku Rote juga memiliki sistem
pengetahuan yang meliputi alam skitarnya, alam flora dan fauna, tubuh manusia,
zat-at dan bahan mentah, benda-benda dalam lingkungannya, sifat-sifat dan
tingkah laku manusia, dan ruang dan waktu. Suku-suku di Rote mengetahui
tentang iklim. Pulau Rote khususnya Masyarakat Ba’a memiliki iklim tropis.
Mereka mengethui bahwa musim hujan sangat singkat, yaitu berlangsung selama
40
enam bulan saja, dari bulan November sampai dengan bulan Mei. Karena itu, pada
bulan September dan Oktober mereka menyiapkan lahan. Setelah itu, mereka
melakukan pekerjaan yang lain seperti mencari ikan, berburu babi hutan dan rusa,
dan menyadap pohon lontar. Bagi perempuan, menenun kain dan mengayam tikar
dan kerajinan tangan lainnya.
Masyarakat pulau Rote memiliki pengetahuan tentang flora dan fauna.
Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa pohon lontar merupakan bagian yang
tak terpisah dari kehidupan pulau Rote khususnya masyarakat Ba’a. Selain itu,
pohon gewang merupakan bahan dasar untuk membuat pakaian, batangnya untuk
dinding rumah, daunnya untuk atap rumah. Pohon tambering untuk dijadikan
bumbu makanan, pohon kelapa batangnya untuk balok rumah, buah dikeringkan
untuk menjadi kopra lalu dijual. Pohon kusambi digunakan sebagai kayu bakar
untuk memasak gula. Selain itu, pohon gewang merupakan bahan dasar untuk
membuat pakaian, batangnya untuk dinding rumah, daunnya untuk atap rumah.
Pohon tambering untuk dijadikan bumbu makanan, pohon kelapa batangnya untuk
balok rumah, buah dikeringkan untuk menjadi kopra lalu dijual. Pohon kusambi
digunakan sebagai kayu bakar untuk memasak gula.
Mereka juga memiliki pengetahuan tentang fauna. Pada bagian terdahulu
telah dijelaskan bahwa pulau Rote khususnya masyarakat Ba’a mengenal
beberapa jenis binatang, yaitu kambing domba, kerbau, sapi kuda, itik, ayam
anjing, dan kucing. Semua jenis binatang tersebut merupakan jenis binatang
peliharaan untuk kepenting manusia, misalnya untuk konsumsi, membajak sawah,
dan untuk mas kawin. Binatang-binatang liar yang hidup di hutan, seperti rusa,
41
babi hutan, kera, musang, ular, biawak, serta beberapa jenis unggas: burung
tekukur, bangau, elang, belibis, pipit, burung hantu, serta burung pelican yang
berasal dari Australia.
Masyarakat Rote memiliki pengetahuan tentang sifat-sifat bahan-bahan
mentah dan benda-benda yang ada di sekitar. Akar dan daun pohon tarum adalah
bahan mentah untuk membuat warna hitam yang digunakan mewarnai benang
tenun ikat pada masyarakat Rote.
Di samping itu, pulau Rote khususnya masyarakat Ba’a juga memiliki
pengetahuan tentang tanda-tanda alam. Pada bulan November, jenis burung
tertentu keluar dari habitatnya sambil berteriak. Semua orang merasa gembira dan
mempersiapkan kebunnya untuk ditanami. Karena suara burung itu merupakan
tanda bahwa hujan akan segera turun.
Tanda lain adalah suara aneh. Suara itu tidak dikenal dari mana datangnya
dan binatang atau manusia siapa yang bersuara. Hal itu menandakan akan segera
datang bencana alam. Tanda lain adalah tiba-tiba ayam berteriak dalam biji
kelapa, tikus gigit kucing sampai mati, dan suara anak berteriak di udara. Tanda
itu menggambarkan bahwa ada serangan musuh dan oleh karena itu harus bersiap-
siaplah. Pada tahun 1965, peristiwa G -30- S PKI, sebelum peristiwa itu terjadi,
semua masyarakt Rote melihat bintang berekor pada waktu pagi atau fajar.
2.9 Sistem Religi
Pakar Antropologi menyatakan bahwa sistem religi mencakup dua hal
pokok, yaitu religi dan ilmu gaib. Religi adalah bahwa manusia percaya kepada
42
adanya suatu kekuatan gaib yang dianggapnya lebih tinggi daripadanya. Untuk itu
manusia itu melakukan berbagai hal dengan cara-cara yang beraneka ragam.
Mereka berusaha untuk berkomunikasi dengan baik dan mencari hubungan
dengan kekuatan-kekuatan tadi. Kepercayaan kepada kekekuatan gaib tersebut
dianut oleh suku-suku di Eropa dan di luar Eropa, seperti Asia, Amerika, dan
Afrika.
Di samping itu, sistem ilmu gaib mencakupi syair suci yang dilantunkan
kepada kekuatan gaib yang diwujudkan dalam diri dewa. Manusia berusaha
melakukan hal-hal yang dapat menyenangkan dewa sehingga dewa itu senantiasa
melindungan, menjaga, dan memberi rejeki bagi kelangsungan hidup.
Sistem religi yang dijelaskan di atas berakhir ketika peradaban manusia
semakin tinggi. Sistem religi yang dianut oleh setiap suku bangsa di dunia
bergeser karena manusia dipengaruhi oleh peradaban yang tinggi tersebut. Hal ini
dibuktikan dengan munculnya agama-agama di dunia pada zaman modern.
Sejarah mencatat bahwa kehadiran agama islam, Kristen, Budha, Hindu, Kongfu
Zu, dan lain sebagainya yang mengubah sistem religi yang sudah dianut oleh
setiap siku bangsa di dunia.
Suku Rote merupakan salah satu suku atau etnis di Nusa Tenggara Timur
memiliki agama asli. Mereka percaya bahwa kekuatan gaib hanya dimiliki oleh
wujud tertingi. Sosok wujud tertinggi itu disebut dewa dalam rupa pohon
beringing dan tempat-tempat angker. Kegiatan keagamaan asli ini bertujuan untuk
menyatakan terima kasih atas perlindungan yang Mahakuasa dan memuja Tuhan
yang menciptakan langit dan bumi dan manusia.
43
Seorang penginjil asal Belanda, Coolsma mengatakan bahwa pada tahun
1662 penduduk Rote atas kehendaknya sendiri sudah berada di bawah kekuasan
Belanda. Hal ini dapat dibaca dalam buku Timor dan Orang-Orang Timor adalah
karya H. Zondervan (hlm. 35) dinyatakan bahwa kapal-kapal Belanda yang
pertama di bawah pimpinan Anton Schot tampak di Pulau Timor, juga sudah
dipastikan bahwa Raja Ti (Thie) di zaman itu diberi gelar bupati sesudah kembali
dari Jawa sebagai orang Kristen.
Pada tahun 1653 VOC berhasil menaklukkan 4 kerajaan di Pulau Rote,
yakni Bilba, Ringgou, Oepao, dan Lundu. VOC mampu menaklukkan kerajaan
Rote sehingga raja-raja Rote takluk di bawah Belanda dan sejak saat itu mereka
menerima Kristen. Raja Rote pertama yang dibabtis adalah Yeremias Messakh
yang sebelumnya bernama Mbura Messa. Yeremias Messakh adalah raja Ti
(Thie). Sejak masuk agama Kristen di Pulau Rote, agama asli perlahan-lahan
ditinggalkan. Sampai sekarang penduduk Rote menganut beberapa agama, yaitu
Kristen Protestan, agama Katolik, dan agama Islam. Mayoritas penduduk Rote
menganut agama Kristen Protestan, setelah agama Katolik, dan agama Islam. Hal
ini dibuktikan dengan ditemukannya gereja protestan di setiap kecamatan
sedangkan agama Katolik hanya ditemukan di masyarakat Ba’a kampung Ndao
Kecamatan Lobalain. Penduduk yang beragama Islam ditemukan di pesisir pantai
yang terkonsentrasi di pantai selatan di Pepela, sebagian kecilnya di kampung
Ndao.
Sebelum agama Kristen masuk di pulau Rote, masyarakat Rote percaya
bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan dan Tuhan yang mereka lihat adalah orang
44
tua yang melahirkan mereka. Oleh karena itu, keyakinan leluhur menjadi
keyakinan bagi orang Rote sampai sekarang.
Persitiwa kelahiran bagi orang Rote diyakini sebagai fase kehidupan
manusia. Seorang bayi, misalnya anak laki-laki lahir, tali pusarnya yang sudah
dipotong dibungkus sebaik mungkin dan dibawa oleh ayahnya ke atas pohon
lontar. Tali pusar diletakkan di atas puncak pohon lontar. Selain itu, ari-ari bayi
itu dibungkus dengan kain putih dan diletakan di atas pohon lontar. Biasanya
pohon lontar yang sedang disadap. Demikian pun tali pusar dan ari-ari bayi
perempuan. Setelah dibersihkan, ari-ari itu dimasukkan ke dalam kepisak (daun
lontar yang dianyam), lalu digantung di atas pohon nggainunak. Bayi yang baru
lahir diberi minuman nira dari pohon lontar, kadang-kadang nira itu sebagai
pengganti air susu ibu.
Kedua adalah fase kehidupan. Pada saat anak laki memasuki masa dewasa
ia diajarkan oleh orang tuanya cara menyadap pohon lontar. Ketika dia bisa
menyadap lontar itu berarti ia siap untuk dinikahkan dengan perempuan dalam
rangka membentuk rumah tangga. Sedangkan anak perempuan dewasa diajarkan
ibunya tentang cara menenun. Kalau mereka sudah bisa mengerjakan pekerjaan
itu mereka yakin bahwa anak gadis itu siap dipinang oleh pemuda dari suku lain
yang sudah mampu menyadap lontar untuk membentuk rumah tangga baru.
Fase terakhir adalah kematian. Mereka percaya bahwa manusia pasti mati.
Kematian adalah berakhirnya hidup di bumi dan awal kehidupan baru. Pada saat
orang meninggal harus dilakukan upacara sebagai tanda penghormatan terakhir
bagi yang bersangkutan. Pada waktu meninggal mayatnya dibungkus dengan kain
45
dan baju yang merupakan hasil tenun ikat. Selama mayat masih bersemayam di
rumah duka, beberapa ekor hewan, seperti babi dan ayam disembelih untuk
dihidangkan para tamu. Menurut kebiasaan orang Rote, seseorang sudah
meninggal harus dibuatkan upacara perpisahan atau pamitan terakhir yang disebut
upacara kenduri. Pada pesta itu disembelih beberapa ekor hewan. Jadi, ada tiga
fasa kehidupan orang Rote, yakni lahir, hidup, dan mati.