BAB II DBD
-
Upload
siti-chairunnisa -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
description
Transcript of BAB II DBD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeniadan diathesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom
renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok(4)
2.2. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus
merupakan virus dengan diameter 30nm terdiri dari asam ribonukleat rantai
tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4
yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue
keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype
terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain
seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan West Nile virus(4)
2.3. Epidemiologi
Penyakit demam berdarah biasanya didahului dengan adanya demam
tinggi, nyeri pada kepala dan otot. Dilaporkan sebanyak 5% dari kasus DBD
cenderung akan mengalami perdarahan. Transmisi penyakit DBD berawal dari
gigitan nyamuk Aedes Aegypti yang mengandung virus dengue sebagai penyebab
demam berdarah(5)
Epidemiologi perubahan vektor penyakit merupakan ancaman bagi
kesehatan manusia, salah satunya adalah penyakit demam berdarah dengue.
Penyakit ini terus menyebar luas di negara tropis dan subtropis. Sekitar 2,5 milyar
orang (2/5 penduduk dunia) mempunyai risiko untuk terkena infeksi virus dengue.
Lebih dari 100 negara tropis dan subtropis pernah mengalami letusan demam
berdarah dengue, lebih kurang 500.000 kasus setiap tahun dirawat di rumah sakit
dengan ribuan orang diantaranya meninggal dunia(6)
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat
dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh
wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000
penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar
biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas
DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999(4)
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes
(terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya
berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi
nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan
tempat penampungan air lainnya)(4)
2.4. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue
dan sindrom renjatan dengue(4)
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
a) Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam proses
netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan sitotoksisitas yang
dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat
replikasi virus pad monosit atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody
dependent enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon
imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan
memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2
memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi
antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus
dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous
infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang
virus dengue dengan tipe yang berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi
anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang
tinggi(4)
Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang
me-fagositosis kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi
di makrofag. Terjadinya infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan
aktivasi T helper dan T sitotoksik sehingga diprosuksi limfokin dan interferon
gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit sehingga disekresi
berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor),
IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan
terjadi kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh
kompleks virus-antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma(4).
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme :
1) Supresi sumsum tulang, dan
2) Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan
keadaan hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan
terjadi peningkatan proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar
tromobopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan
kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi tromobositopenia. Destruksi
trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibody VD,
konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP,
peningkatan kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda
degranulasi tromobosit(4)
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang
menyebabkan disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya
koagulopati konsumtif pada demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi
koagulasi pada demam berdarah dengue terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik
(tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan melalui aktivasi factor Xia
namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor complex) (4)
2.5. Manifestasi klinis dan perjalanan penyakit
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik, atau
dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah dengue
atau sindrom syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti oleh
fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan
tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan
tidak adekuat(4)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini di
bawah ini dipenuhi :
• Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
• Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
- Uji bendung positif.
- Petekie, ekimosis, atau purpura.
- Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan
dari tempat lain.
- Hematemesis atau melena.
• Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai
berikut :
- Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan
jenis kelamin.
- Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan
dengan nilai hematokrit sebelumnya.
- Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD
adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma(4)
Sindrom Syok Dengue (SSD).
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan manifestasi
nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg), hipotensi
dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta gelisah(4)
2.9. Derajat penyakit infeksi virus dengue
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel: (4)
2.6. Pemeriksaan penunjang
2.6.1. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka
demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit,
jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis
relative disertai gambaran limfosit plasma biru(4)
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture)
ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve
Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena teknik yang lebih
rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya antibody spesifik terhadap
dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase syok
akan meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai
pada hari ke-3 demam.
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan
pembekuan darah.
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan
transfusi darah atau komponen darah.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari. IgG: pada infeksi primer, IgG mulai
terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari
ke-2.
Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang
dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan surveilans(4)
Pemeriksaan hematologis rutin merupakan perhitungan untuk menilai
berat DBD, dan uji serologis dapat digunakan sebagai pengenalan dini penyakit
DBD, terutama pada infeksi sekunder. Penanganan DBD terutama infeksi
sekunder harus diwaspadai, kecenderungan ke arah DSS lebih besar. Dengan
demikian uji serologis sebaiknya dilakukan sebagai sarana diagnosis dini DBD
dan perhitungan untuk penanganan penderita. Perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut untuk menekan angka kesakitan maupun kematian penderita akibat penyakit
DBD(7)
2.6.2. Pemeriksaan radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan
tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada
kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral
dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan USG(4)
2.15. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik untuk demam dengue, prinsip utamanya adalah
terapi suportif. Dengan terapi suportif yang adekuat angka kematian dapat
diturunkan samapi kurang dari 1 %. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi
merupakan tindakan yang paling penting dalam penanganan kasus DBD. Asupan
cairan pasien harus tetap dijaga terutama cairan oral. Jika asupan cairan oral tidak
dapat dipertahankan maka dibutuhkan suplemen cairan melalui intravena untuk
mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi(4)
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama
dengan devisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi
Medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia telah menyusun protokol
penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa berdasarkan kriteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai
atas indikasi
Praktis dalam pelaksanaanya
Mempertimbangkan cost of effectiveness(4)
Protokol 1. Penanganan tersangka DBD dewasa tanpa syok
Untuk memberiksan pertolonga pertama pada DBD atau yang diduga DBD di
IGD dan juga dipakai untuk memutuskan indikasi rawat sebagai berikut:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000
dapat rawat jalan dan kontrol di poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya
(dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, leukosit dan trombosit tiap 24 jam) atau
bila keadaanya memburuk segera kembali ke IGD
Hb dan Ht normal tapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk rawat inap
Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk
rawat(4)
Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat
Pasien DBD tanpa perdarahan masif dan syok maka di ruang inap diberirikan
cairan infus kristaloid dengan jumlah sesuai rumus berikut ini:
Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan sesuai rumus berikut:
1500 + (20 x (BB dalam kg – 20))
Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb dan Ht setiap 24 jam:
Bila Hb dan Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah cairan
tetap seperti rumus diatas dan pemantauan Hb, Ht dan trombosit setiap 12
jam
Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian
cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan
Ht > 20%
Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%
Keadaan ini menunjukan tubuh mengalami defisit cairan > 5% dan diterapi
dengan memberikan cairan infus kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam lalu dipantau
selama 3-4 jam. Bila terjadi perbaikan ditandai dengan hematokrit turun, frekuensi
nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan
infus dikurangi menjadi 5 mg/kg/jam. Dua jam kemudian dipantau kembali dan
bila keadaan membaik jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 mg/kg/jam. Bila
dalam pemantaun keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat
dihentikan dalan 24-48 jam kemudain(4)
Bila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kg/jam keadaan tidak
membaik yang ditandai dengan hematokrit dan frekuensi nadi meningkat serta
tekanan darah turun <20 mmHg dan produksi urin turun maka kita tingkatkan
jumlah infus menjadi 10 ml/kg/jam. Dua jam kemudain dipantau dan bila telah
menunjukan perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam tetapi
bila tidak menunjukan perbaikan maka cairan infus dinaikan menjadi 15
ml/kg/jamdan bila dalam perkembanganya memburuk dan didapatkan tanda-tanda
syok maka ditangani dengan tatalaksana syok sindrom dengue pada dewasa. Bila
syok teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi pemberian cairan
awal(4)
Protokol 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa
Perdarahan spontan dan masif adalah: epistaksis yang tak terkendali
walaupun dengan tampon hidung, hematemesis, melenea, hematokesia, hematuria,
perdarahan otak dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kg/jam. Jumlah dan
kecepatan pemberian cairan tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainya.
Pemberian heparin deiberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskular deseminata(4)
Protokol 5. Tatalaksana syok sidrom dengue pada dewasa
Pada kasus ini pemebrian cairan kristaloid adalah pilihan utama. Pasien
juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pada fase awal cairan kristaloid diguyur
sebanyak 10-20 ml/kgBB dan evaluasi setelah 15-30 menit. Bola syok teratasi
yang ditandai dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg dan tekanan nadi lebih
dari 20 mmHg, frekusnsi nadi kurang dari 100 kali per menit, akral hangat dan
kulit tidak pucat serta diuresis 0.5-1 ml/kgBB maka jumlah cairan dikurangi
menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kg/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
terasatasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka
infus dapat dihentikan karena jika reabsosrbsi cairan plasma yang mengalami
ekstravasasi telah terjadi ditandai dengan turunya hematokrit, cairan infus terus
diberikan maka keadaan hipervolemi, edema paru dan gagal jantung dapat
terjadi(4)
2.17. Kriteria memulangkan pasien
Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa
pemberian antipiretik, nafsu makan membaik, tampak terdapat perbaikan secara
klinis, Ht stabil, tiga hari setelah syok teratasi, jumlah trombosit >50.000/ul dan
cenderung meningkat, serta tidak dijumpai distress pernafasan yang biasanya
disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis