BAB II DASAR TEORI II.pdf7 Untuk membantu menganalisa gerak dari Quadcopter, dibentuk 2 sistem...

42
6 BAB II DASAR TEORI 2.1. Sistem Gerak Quadcopter Quadcopter memiliki empat baling-baling penggerak yang diposisikan tegak lurus terhadap bidang datar seperti pada Gambar 2.1. Gambar 2.1. Bentuk Dasar Quadcopter Masing-masing rotor (baling-baling dan motor penggeraknya) menghasilkan daya angkat dan memiliki jarak yang sama terhadap pusat massa pesawat. Dengan daya angkat masing-masing rotor sebesar lebih dari seperempat berat keseluruhan, memungkinkan Quadcopter untuk terbang.

Transcript of BAB II DASAR TEORI II.pdf7 Untuk membantu menganalisa gerak dari Quadcopter, dibentuk 2 sistem...

  • 6

    BAB II

    DASAR TEORI

    2.1. Sistem Gerak Quadcopter

    Quadcopter memiliki empat baling-baling penggerak yang diposisikan tegak lurus

    terhadap bidang datar seperti pada Gambar 2.1.

    Gambar 2.1. Bentuk Dasar Quadcopter

    Masing-masing rotor (baling-baling dan motor penggeraknya) menghasilkan daya

    angkat dan memiliki jarak yang sama terhadap pusat massa pesawat. Dengan daya angkat

    masing-masing rotor sebesar lebih dari seperempat berat keseluruhan, memungkinkan

    Quadcopter untuk terbang.

  • 7

    Untuk membantu menganalisa gerak dari Quadcopter, dibentuk 2 sistem koordinat

    kartesian 3 dimensi yaitu sistem koordinat lokal pesawat (body frame, Qb) dan sistem

    koordinat bumi (ground frame, Qg), seperti Gambar 2.2.

    Gambar 2.2. Ground Frame dan Body Frame

    Ground frame merupakan kerangka tetap yang berada di bumi yang dijadikan acuan

    terhadap body frame yang terdapat pada pesawat. Orientasi atau arah hadap dari pesawat

    dapat direpresentasikan sebagai kerangka acuan pesawat (body frame) yang dirotasi oleh

    matrix rotasi R.

    xg

    yg

    zg

    Fg

    Xb

    Yb

    Zb

    ψ

    φ

    θ

    Fp4

    Fp3 Fp2

    Fp1

    R

  • 8

    Gambar 2.3. Gaya Dorong dan Yawing Moment

    Analisis gaya yang bekerja pada setiap rotor dapat ditunjukan pada Gambar 2.3.

    Dengan berputarnya rotor menimbulkan efek aerodinamik yang menyebabkan gaya dorong

    keatas yang berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan angular rotor tersebut [13]:

    2

    p f pF k

    dimana kf adalah konstanta rotor yang diperoleh dari percobaan. Semakin cepat putaran rotor

    menyebabkan gaya dorong tersebut semakin besar. Setiap baling-baling memberikan gaya dorong keatas sebesar Fp yang tegak lurus

    terhadap kerangka pesawat (body frame) atau searah sumbu zb. Sementara gaya gravitasi

    bekerja pada pusat massa Quadcopter atau pada sumbu -zg. Jika ��⃗ adalah vektor posisi dari

    quadcopter dan m adalah massa dari quadcopter dengan rotasi matrik R didapatkan:

    (2.1)

    (2.2)

    Fg

    Xb

    Yb

    Zb

    Fp4

    F p3 Fp2

    Fp1

    M1

    M2 M3

    M4

    φ θ

    ψ L

  • 9

    2

    2

    0 00 0d r

    dtm R

    mg Fp

    Perbedaan gaya dorong ke atas pada masing-masing rotor menyebabkan gerak rotasi

    dengan pusat rotasi O (pusat massa Quadcopter). Jika jarak antara pusat masa O dengan

    pusat rotor adalah L maka:

    4 2res p p

    res

    F F F

    L F

    1 3res p p

    res

    F F F

    L F

    dimana �⃗θ adalah torsi yang bekerja searah sudut θ (roll) dan �⃗φ adalah torsi yang bekerja

    searah sudut φ (pitch).

    Sesuai dengan hukum III Newton tentang aksi dan reaksi, pada setiap rotor timbul

    yawing moment yang berlawanan dengan arah putar propeller rotor tersebut [13], seperti

    pada Gambar 2.3. Yawing moment ini berbanding lurus dengan kuadrat kecepatan angular

    rotor sesuai dengan persamaan 2.8.

    2

    m pM k

    Pada persamaan 2.8, km merupakan konstanta yawing moment yang diperoleh dari percobaan.

    Berdasarkan konfigurasi arah putar rotor pada Gambar 2.3, rotor 2 dan 4 berputar searah

    dengan sudut ψ positif, sedangkan rotor 1 dan 3 berputar berlawanan arah atau sudut ψ

    (2.3)

    (2.4)

    (2.5)

  • 10

    negatif. Sehingga rotor 2 dan 4 memberikan yawing moment searah sudut ψ negatif, dan

    sebaliknya, rotor 1 dan 3 memberikan yawing moment searah sudut ψ positif. Sehingga bila

    dikehendaki sudut ψ diam, atau = 0, maka:

    2 4 1 3 0M M M M

    Gerak dari Quadcopter ditentukan oleh kombinasi dari setiap gaya keatas (searah

    sumbu zp) yang ditimbulkan oleh masing-masing rotor. Sehingga dengan mengatur

    kombinasi kecepatan putar masing-masing rotor, gerak dari quadcopter dapat diarahkan.

    Sebagai contoh, jika diasumsikan Fp1 – Fp3 = 0, atau Quadcopter tidak melakukan rotasi pada

    sudut φ dan sudut φ = 0, maka dengan memberikan kombinasi kecepatan angular yang

    berbeda pada rotor 3 dan rotor 1, akan menyebabkan sudut θ ≠ 0, seperti pada Gambar 2.4.

    Gambar 2.4. Resultan Gaya Akibat Sudut θ ≠ 0

    (2.6)

    Fp2 cos(θ) xp

    xg

    zp

    zg

    θ

    Fg = mg

    Fp2 sin(θ)

    Fp2

    Fp4 sin(θ)

    Fp2 cos(θ)

    Fp4

    O

    Fp2 sin(θ) + Fp4 sin(θ)

    Fp2 cos(θ) + Fp4 cos(θ)

    θ

  • 11

    Berdasarkan Gambar 2.4, pada pusat massa O timbul gaya resultan searah sumbu xg

    positif yang menyebabkan Quadcopter bergerak searah dengan gaya tersebut. Semakin besar

    sudut θ menyebabkan gaya searah sumbu xg semakin besar. Jika diharapkan Quadcopter

    bergerak datar searah sumbu xg, maka besarnya kombinasi gaya yang searah dengan sumbu

    zg harus sama dengan besarnya �⃗g. Hal yang sama pula dapat berlaku pada sudut θ. Dengan

    mengatur kombinasi kedua sudut tersebut didapatkan resultan gaya yang dapat bergerak ke

    segala arah.

    2.2. Motor BLDC (Brushless Direct Current)

    Quadcopter membutuhkan penggerak berupa baling-baling yang diputar oleh motor.

    Spesifikasi yang harus dipenuhi oleh sistem gerak ini adalah torsi, efisiensi dan getaran yang

    ditimbulkan oleh berputarnya motor dan baling-baling. Motor dengan getaran yang terlalu

    besar dapat mengganggu sensor-sensor yang digunakan pada AHRS. Efisiensi motor

    berkaitan dengan durabilitas terbang dari pesawat, mengingat sumber daya (battery) yang

    digunakan terbatas.

    Brushless Direct Current Motor atau biasa disebut BLDC adalah motor DC yang

    proses komutasinya tidak menggunakan sikat seperti motor DC pada umumnya.

    Dibandingkan dengan motor DC dengan sikat, BLDC memiliki beberapa kelebihan yaitu:

    efisiensi tinggi, kecepatan dan torsi yang tinggi, respon dinamis yang tinggi, masa operasi

    yang panjang dan operasi tanpa noise [15]. Sehingga dengan kelebihan-kelebihan tersebut,

    BLDC banyak digunakan pada aplikasi aeromodelling dan termasuk pada quadcopter.

    Motor BLDC adalah tipe motor sinkron. Artinya, medan magnet yang dihasilkan oleh

    stator dan medan magnet yang dihasilkan oleh rotor mempunyai frekuensi yang sama. Rotor

  • 12

    (bagian motor yang berputar) pada BLDC terdiri dari magnet permanen, sedangkan stator

    terdiri dari kumparan. Berbeda dengan motor DC dengan sikat, di mana rotor berupa lilitan

    dan stator berupa magnet tetap.

    Pada umumnya, motor BLDC yang banyak tersedia adalah tipe 3 fasa. Gambar 2.5

    menunjukan gambar mekanik dan koneksi elektrik dari motor BLDC 3 fasa. Pengkabelan

    kumparan stator tergabung menjadi 4 koneksi: A, B, C dan common1. Setiap fasa terdiri dari

    dua buah kumparan identik yang terpisah.

    Gambar 2.5. Struktur Mekanis dan Elektik Motor BLDC 3 fasa[18]

    Untuk berputar penuh, motor BLDC memiliki 6 langkah komutasi. Setiap langkah

    komutasi melibatkan 2 kutub yang dieksitasi. Permasalahan yang timbul dalam menjalankan

    langkah-langkah komutasi ini adalah pendeteksian posisi rotor, karena posisi rotor

    menentukan langkah komutasi yang harus dilakukan. Ada dua jenis metode yang digunakan,

    yaitu dengan beberapa hall effect sensor dan metode tanpa sensor (sensorless) yang

    memanfaatkan BEMF (Back Electromotive Force).

    1 Umumnya koneksi common merupakan koneksi didalam motor dan tidak dikeluarkan atau dihubungkan dengan kabel keluar.

  • 13

    Pendeteksian posisi rotor dengan hall effect sensor memanfaatkan kepekaan sensor

    ini dalam mendeteksi medan magnet permanen pada rotor. Beberapa hall effect sensor

    diletakan sedemikian rupa hingga setiap posisi rotor dapat didteksi.

    Metode sensorless memanfaatkan arus listrik yang dihasilkan kumparan yang tidak

    tereksitasi yang diukur dari common dan kutub yang tidak tereksitasi, karena pada prinsipnya

    kutub yang tidak tereksitasi merupakan kumparan yang dapat menghasilkan arus listrik jika

    ada medan magnet menyinggungnya.

    BLDC yang digunakan pada aeromodelling adalah BLDC sensorless 3 fasa. Untuk

    menggerakannya digunakan ESC (Electronics Speed Controller). ESC merupakan

    pengendali kecepatan BLDC dengan input berupa modulasi lebar pulsa (PWM). Dengan

    antarmuka PWM, kecepatan motor dapat diatur dengan mudah oleh pengendali seperti

    mikrokontroler. BLDC pada aeromodelling biasanya memiliki satuan kV, 1000 kV = 1000

    RPM per Volt.

    2.3. Baling-Baling (Propeller)

    Baling-baling adalah alat yang mengubah gerak putar menjadi daya dorong. Daya

    dorong inilah yang dimanfaatkan pesawat terbang dan kapal laut sebagai penghasil daya

    dorong utama. Pembahasan baling-baling pada tugas akhir ini dibatasi hanya pada parameter

    baling-baling yang digunakan dalam RC (Radio Control) aeromodelling.

    Ada beberapa parameter penting yang dimiliki baling-baling pada RC aeromodelling.

    Parameter-parameter ini bisa dijadikan pedoman untuk memilih baling-baling sesuai dengan

    kebutuhan[11]:

  • 14

    1. Diameter dan pitch

    Semua baling-baling RC yang tersedia memiliki 2 buah ukuran, yaitu diameter

    dan pitch. Diameter dihitung berdasarkan diameter lingkaran yang dibentuk saat baling-

    baling berputar. Jika baling-baling dianalogikan sebagai sebuah sekrup, pitch merupakan

    jarak yang ditempuh oleh baling-baling jika diputar 1 putaran penuh. Semakin panjang

    diameter dan pitch baling-baling semakin banyak pula udara yang disapu dan semakin

    besar pula daya dorong yang dihasilkan. Tapi diameter dan pitch dari baling-baling ini

    harus disesuaikan dengan motor dan sumber daya yang digunakan. Biasanya produsen

    motor sudah memeberikan spesifikasi baling-baling untuk motor-nya.

    Satuan dari diameter dan pitch dari baling-baling RC adalah inch. Baling-baling

    dengan ukuran 10x4.5 memiliki diameter 10 inch dan pitch 4.5 inch.

    2. Jumlah bilah

    Umumnya, jumlah bilah pada baling-baling RC aeromodelling adalah 2 bilah.

    Tetapi ada beberapa yang menggunakan 3 bilah dan 4 bilah. Semakin banyak bilah pada

    baling-baling menyebabkan semakin banyak udara yang disapu sehingga menghasilkan

    daya dorong yang lebih besar. Semakin banyak bilah juga menuntut motor dengan torsi

    yang lebih besar. Biasanya penambahan jumlah bilah bertujuan untuk memperkecil

    diameter baling-baling, tentunya untuk menghasilkan performa yang sama (dengan

    motor yang sama) pitch-nya harus dikurangi.

  • 15

    Gambar 2.6. Baling-baling dengan Bermacam Jumlah Bilah

    3. Arah putar

    Dengan arah gaya dorong yang sama, baling-baling RC aeromodelling memiliki

    dua jenis arah putaran: searah jarum jam (CW, clockwise) dan berkebalikan arah jarum

    jam (CCW, counter clockwise). Arah putar ini menentukan yawing moment yang

    dihasilkan dari baling-baling. Pada Quadcopter, dibutuhkan sepasang baling-baling CW

    dan CCW agar yawing moment saling menghilangkan.

    Gambar 2.7. Baling-baling CW(a) dan CCW(b)

    a

    b

  • 16

    2.4. Attitude Heading Reference System (AHRS)

    Informasi orientasi pesawat sangat penting untuk diketahui oleh sistem pengendali

    utama pesawat. Informasi ini akan menjadi sumber masukan bagi pengendali utama untuk

    mengendalikan kecepatan motor demi mempertahankan sudut orientasi yang telah

    ditentukan.

    Untuk mengetahui orientasi pesawat dalam ruang, Quadcopter membutuhkan sebuah

    piranti elektronik yang disebut Attitude Heading Reference System (AHRS). AHRS

    merupakan integrasi dari beberapa sensor dan menggunakan perhitungan tertentu untuk

    memadukan data dari sensor-sensor tersebut.

    Pada bagian selanjutnya akan dibahas teori dasar yang digunakan untuk membangun

    AHRS. Pembahasan dimulai dengan sensor-sensor yang digunakan, teori rotasi matrik dan

    algoritma yang dipakai untuk mendapatkan informasi orientasi yang akurat.

    2.4.1. Akselerometer

    Akselerometer adalah sensor yang digunakan untuk mengukur percepatan atau

    perubahan kecepatan terhadap waktu. Sensor ini dipasang bersama benda yang akan diukur

    akselerasinya, seperti mengukur perubahan kecepatan roket yang meluncur atau digunakan

    untuk analisis getaran (vibration analysis) pada mesin, serta digunakan untuk mendeteksi

    gerak dan kemiringan pada smart phone.

    Pada aplikasinya dalam AHRS, akselerometer digunakan sebagai sensor pendeteksi

    arah percepatan gravitasi yang nantinya akan diolah menjadi sudut kemiringan pesawat

    terhadap bidang horisontal permukaan bumi

  • 17

    2.4.1.1. Konsep Akselerometer: Sistem Massa-Pegas

    Akselerometer dapat dianalogikan sebagai sebuah sistem massa-pegas (mass spring

    system) yang bekerja berdasarkan Hukum Newton dan Hukum Hooke. Prinsip kerja dari

    sensor ini akan dijelaskan sebagai berikut.

    Gambar 2.8. Sistem Massa-Pegas sebagai Akselerometer

    Hukum Newton II menyatakan jika massa m dan mengalami percepatan sebesar a,

    maka ada gaya yang bekerja pada massa tersebut sesuai dengan persamaan 2.7:

    F ma

    Hukum Hooke menyatakan jika pegas dengan konstanta pegas k

    direnggangkan sehingga berubah panjangnya sebesar Δx, maka ada gaya F yang bekerja pada

    pegas tersebut dinyatakan dalam persamaan 2.8:

    F k x

    Pada Gambar 2.8, diilustrasikan sebuah sistem dengan massa m1 yang bebas

    bergerak secara horisontal pada sebuah bidang berdinding m2. Massa m1 dihubungkan ke

    dinding bidang m2 oleh sebuah pegas. Awalnya bidang m2 diam (Gambar 2.8a) dan pegas

    dalam kondisi tidak merenggang. Pada Gambar 2.8b, ada percepatan horisontal a yang

    (2.7)

    (2.8)

  • 18

    bekerja pada sistem ini yang menyebabkan pegas merenggang sebesar Δx. Renggangnya

    pegas ini dikarenakan adanya gaya yang bekerja pada m1 akibat percepatan a. Dengan

    menggabungkan Hukum Newton dan Hukum Hooke didapatkan:

    Dimana,

    k=konstanta pegas (N/m)

    Δx=perenggangan pegas (m)

    a=akselerasi sistem (m/s2)

    Sehingga percepatan yang dialami oleh sistem sebesar:

    ka x

    m

    Dengan persamaan 2.10, jika konstanta pegas dan massa diketahui, alat ukur

    percepatan dapat dibuat hanya dengan mengukur perubahan panjang dari pegas.

    2.4.1.2. Sensor Akselerometer Elektronik dengan Teknologi MEMS

    Sensor akselerometer elektronik adalah sensor akselerometer yang hasil pengukuran

    akselerasinya dinyatakan dalam tegangan atau data digital. Seperti dijelaskan sebelumnya,

    bahwa akselerometer dapat dibangun dengan massa yang dikaitkan dengan pegas,

    akselerometer elektronik memiliki prinsip yang sama dalam mengukur percepatan. Hanya

    saja tidak mungkin untuk membuat sensor dengan ukuran yang relatif besar seperti Gambar

    2.8. Hingga pada akhir abad 20 dikembangkan teknologi MEMS (Micro-Electro-Mechanical

    Systems), yang mampu menerapkan prinsip akselerometer massa-pegas ke dalam sebuah

    chip.

    (2.9)

    (2.10)

    ma k x

  • 19

    Akselerometer dengan teknologi MEMS memanfaatkan perubahan kapasitansi dua

    buah plat terhadap perubahan jarak antar plat tersebut karena pengaruh akselerasi dari luar.

    Prinsip kerja dari akselerometer kapasitif ini dijelaskan sebagai berikut.

    Pada Gambar 2.9, terdapat plat yang tetap (Y) dan plat yang dapat bergerak secara

    elastis (X). Saat sistem mendapatkan akselerasi (Gambar 2.9b), jarak antara kedua plat ini

    akan berubah dan menyebabkan kapasitansi kedua plat juga berubah. Selanjutnya dengan

    rangkaian elektronik perubahan kapasitansi ini diubah menjadi tegangan yang proporsional

    dengan akselerasi eksternal yang dirasakan oleh sistem. Gambar 2.10 menunjukan foto

    mekanika pengindraan percepatan dari sebuah chip akselerometer dengan teknologi MEMS.

    Gambar 2.9. Struktur Akselerometer Elektronik

    X Y

    Pegas Pegas

    Akselerasi

    a) Jarak X-Y merenggang karena

    akselerasi

    Y X

    b) Posisi normal tanpa percepatan

  • 20

    Gambar 2.10. Foto Mikroskopik Mekanik Akselerometer

    dengan Teknologi MEMS

    2.4.1.3. Percepatan Statis dan Dinamis pada Akselerometer

    Ada dua jenis percepatan yang dapat dideteksi oleh akselerometer, yaitu percepatan

    statis dan percepatan dinamis. Percepatan dinamis adalah percepatan yang dialami oleh

    benda bergerak, sedangkan percepatan statis adalah percepatan yang dialami oleh benda

    diam.

    Setiap benda dalam medan gravitasi bumi mendapatkan gaya tarik ke pusat bumi atau

    disebut gaya berat. Sebagai contoh, meskipun batu pada permukaan tanah kelihatan diam,

    tetapi ada percepatan statis yang bekerja pada batu tersebut karena pengaruh gaya tarik bumi.

    Dalam mengukur percepatan dengan akselerometer, perlu ditilik apakah percepatan

    statis atau dinamis yang bekerja pada sensor ini, karena hasil pengukuran akselerometer

    merupakan gabungan antara kedua percepatan ini. Misalnya benda yang mula-mula diam dan

  • 21

    bergerak mendatar terhadap permukaan bumi. Benda tersebut mendapatkan dua percepatan,

    yaitu percepatan gerak (dinamis) dan percepatan gravitasi yang arahnya ke bawah (statis).

    Gambar 2.11. Percepatan Statis dan Dinamis pada Akselerometer Massa-Pegas

    Pada Gambar 2.11 diperlihatkan akselerometer massa pegas untuk menjelaskan

    fenomena ini. Jika akselerometer massa pegas ini digerakkan searah tanda panah pada

    akselerometer (Gambar 2.11a) maka pegas akan merenggang karena ada pengaruh gaya yang

    menimbulkan percepatan. Dengan asumsi bahwa ada gaya gravitasi yang bekerja menuju

    pusat bumi, jika akselerometer kita arahkan ke tanah (arah panah pada sensor menunjuk

    a

    g

    b. pegas merenggang

    karena ada percepatan

    dinamis (a )

    a. massa-pegas dalam

    keadaan normal

    c. pegas mengerut

    karena ada percepatan

    statis (gravitasi)

  • 22

    pusat bumi, Gambar 2.11b ) pegas tidak akan merenggang tetapi mengerut. Respon pegas

    terhadap percepatan statis (gaya berat) berlawanan dengan respon pegas terhadap percepatan

    dinamis meskipun kedua percepatan memiliki arah yang sama.

    2.4.1.4. Sumbu Pengukuran Akselerometer

    Dalam mengukur percepatan, akselerometer memiliki sumbu pengukuran (axis).

    Percepatan yang searah dengan sumbu ini memiliki nilai maksimum, tetapi jika arah

    percepatan ini membentuk sudut maka besarnya percepatan yang terukur merupakan

    proyeksi percepatan yang bekerja terhadap sumbu pengukuran.

    Gambar 2.12. Pengukuran Percepatan yang Membentuk Sudut

    Terhadap Sumbu Pengukuran.

    Gambar 2.12 menunjukan proyeksi percepatan dinamis pada akselerometer yang

    hanya memiliki satu sumbu pengukuran. Akselerometer yang banyak tersedia biasanya

    memiliki lebih dari satu sumbu pengukuran yang saling tegak lurus. Sumbu pengukuran ini

    sama dengan sumbu pada sistem koordinat kartesian.

    akselerometer

    Sumbu pengukuran

    α

    a

    cosa

    percepatan dari luar membentuk

    sudut α

    percepatan yang dirasakan oleh

    akselerometer

  • 23

    Gambar 2.13. Akselerometer dengan 3 sumbu pengukuran.

    Jumlah dari sumbu pengukuran akselerometer menentukan kapabilitas dari sensor ini.

    Untuk mendeteksi besar dan arah percepatan pada satu bidang dibutuhkan dua sumbu

    pengukuran, dan jika dalam ruang dibutuhkan tiga sumbu pengukuran.

    Pada pengaplikasiannya dalam AHRS, digunakan akselerometer 3 sumbu pengukuran

    untuk mendeteksi arah percepatan gravitasi dalam ruang. Karena percepatan gravitasi

    merupakan percepatan statis, maka sumbu pengukuran harus disesuaikan, mengingat arah

    percepatan statis berkebalikan dengan percepatan dinamis jika diukur oleh akselerometer.

    Sehingga akselerometer pada Gambar 2.13 memiliki sumbu pengukuran dinamis dan statis

    seperti pada Gambar 2.14.

    Gambar 2.14. Sumbu pengukuran percepatan dinamis dan statis

    x

    y

    z

    x

    z

    y

    sumbu pengukuran

    dinamis

    sumbu pengukuran

    statis

  • 24

    2.4.1.5. Parameter Akselerometer

    Ada beberapa parameter penting yang dimiliki akselerometer yang tersedia di pasar.

    Parameter ini penting untuk diperhatikan dalam memilih tipe akselerometer untuk

    diaplikasikan dalam sebuah sistem.

    1. Jumlah sumbu pengukuran (axis)

    Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa jumlah sumbu pengukuran ini

    menentukan kapabilitas akselerometer dalam mengukur besar dan arah percepatan. Sebagai

    contoh akselerometer ADXL202 produksi Analog Device[] memiliki dua sumbu pengukuran,

    sedangkan LIS3LV02DL produksi ST Microelectronics memiliki tiga sumbu pengukuran.

    2. Nilai skala penuh (full scale)

    Nilai skala penuh merupakan percepatan maksimum yang dapat diukur oleh

    akselerometer. Nilai skala penuh biasanya mempunyai jangkauan positif dan negatif .

    Parameter ini penting untuk menentukan efektif tidaknya akselerometer yang akan dipilih

    terhadap aplikasi dimana akselerometer digunakan. Sebagai contoh, untuk mengukur

    akselerasi roket dengan percepatan maksimum 60g (588 m/s2, 1g=9.8 m/s2) akan sangat

    tidak efektif jika menggunakan ADXL202 yang memiliki skala penuh ±10g.

    3. Antarmuka

    Dalam pengaplikasiannya akselerometer dihubungkan ke unit pemroses seperti

    mikrokontroler atau mikroprosesor. Ada dua jenis sistem antarmuka akselerometer untuk

    berhubungan dengan unit pengolah, yaitu analog dan digital. Pada antarmuka analog, hasil

    pengukuran percepatan direpresentasikan dalam tegangan keluaran sedangkan pada

    antarmuka digital percepatan hasil pengukuran direpresentasikan dengan data digital.

    Akselerometer dengan antarmuka digital menggunakan protokol komunikasi yang banyak

  • 25

    dipakai dalam sistem benam seperti I2C (Inter-Integrated Circuit), SPI (Serial Peripheral

    Interface) dan PWM (Pulse Width Modulation). Di dalam akselerometer dengan keluaran

    data digital sudah terdapat ADC (Analog Digital Converter) internal sehingga tidak

    diperlukan lagi ADC tambahan.

    4. Frekuensi cuplik

    Besarnya frekuensi cuplik akselerometer merupakan kemampuan akselerometer

    untuk memperbarui data percepatan dalam periode waktu tertentu. Parameter ini penting

    untuk diperhitungkan pada aplikasi akselerometer untuk mengukur jarak atau navigasi.

    2.4.2. Giroskop Elektronik

    Sensor giroskop adalah sensor yang dapat mengukur kecepatan angular dari sebuah

    objek di mana sensor ini terpasang. Sensor ini sering digunakan pada sistem navigasi pesawat

    untuk menentukan arah hadap.

    Pembahasan giroskop pada tugas akhir ini hanya dibatasi pada giroskop elektronik

    (prinsip kerjanya dan parameter-parameternya), agar pembahasan tidak melebar.

    2.4.2.1. Prinsip Kerja Giroskop Garpu Tala

    Ada banyak metode untuk mendeteksi kecepatan sudut, antara lain vibrating ring

    gyroscope, tuning fork gyroscope, macro laser ring gyroscope dan piezoelectric plate

    gyroscope. Metode yang paling banyak digunakan dan diproduksi sampai sekarang adalah

    giroskop garpu tala Draper2 (Draper tuning fork).

    2 Charles Stark Draper Laboratory adalah organisasi riset non profit yang fokus terhadap perancangan dan pengembangan

    teknologi mutakhir untuk solusi masalah keamanan nasional, eksplorasi ruang angkasa, kesehatan dan energi. Berlokasi di Cambridge, Massachusetts. Dibangun oleh Charles Stark Draper (1902-1987) pada tahun 1930.

  • 26

    Giroskop garpu tala dibuat dengan memanfaatkan resonansi dari dua buah resonantor

    yang bergetar yang disebabkan oleh efek Coriolis3. Efek Coriolis adalah defleksi yang timbul

    pada kerangka acuan rotasi yang besarnya berbanding lurus dengan kecepatan rotasi.

    Fenomena ini dijelaskan sebagai berikut:

    Gambar 2.15. Meriam pada Piring Besar yang Berputar.

    Misal ada sebuah meriam pada pusat sebuah piring besar yang dapat berputar seperti

    pada Gambar 2.15. Saat piring besar tersebut tidak berputar dan peluru ditembakan dari pusat

    piring, pada umumnya peluru tersebut bergerak lurus dari pusat piring. Tetapi ketika piring

    besar tersebut berputar dan meriam menembakan sebuah peluru, maka peluru tersebut tidak

    memiliki lintasan lurus (seperti saat piring besar tidak berputar) tetapi berbelok. Hal ini

    disebabkan karena adanya pengaruh rotasi piring terhadap gerak dari peluru. Semakin cepat

    piring berputar, semakin besar pula pembelokan peluru yang terjadi. Fenomena inilah yang

    disebut dengan efek Coriolis.

    3 Coriolis efect, pertama kali dikemukakan oleh seorang ilmuwan Perancis bernama Gaspard-Gustave Coriolis

    (1792-1843).

  • 27

    Gambar 2.16. Efek Coriolis pada Giroskop Garpu Tala.

    Pada Gambar 2.16, jika ada benda bergerak dengan kecepatan v

    searah sumbu y, dan

    mendapat pengaruh rotasi dengan kecepatan sudut

    pada sumbu z maka akan timbul

    akselerasi Coriolis cor

    yang searah dengan sumbu x:

    2cor v

    MEMS Gyroscope dibangun berdasarkan prinsip Coriolis pada sebuah garpu tala

    yang bergetar seperti pada Gambar 2.16. Jika garpu tala pada Gambar 2.16 digetarkan pada

    sumbu y dan garpu tala tersebut diputar pada sumbu z, maka dengan prinsip Coriolis akan

    timbul getaran juga pada arah sumbu x. Semakin cepat garpu tala ini diputar, maka akan

    semakin besar getaran yang dirasakan pada sumbu x. Selanjutnya dengan rangkaian

    elektronik getaran pada sumbu x ini dikonversikan ke dalam besaran elektrik sehingga

    kecepatan putar dapat dengan mudah diukur dan diolah.

    (2.11)

    v

    cor

    y

    x

    z

    vibrasi

    rotasi yang diukur

    respon efek Coriolis

  • 28

    Dengan teknologi MEMS, sangat dimungkinkan untuk membuat giroskop dalam

    ukuran sangat kecil, meskipun di dalamnya terdapat sistem mekanik yang rumit. Gambar[]

    menunjukan foto mekanik giroskop garpu tala Draper dengan teknologi MEMS.

    Gambar 2.17. Prototipe Pertama MEMS Gyroscope Garpu Tala Draper Laboratory

    Seiring dengan berkembang pesatnya teknologi MEMS, membuat MEMS gyroscope

    menjadi semakin kecil, kompak dan murah. Banyak produsen komponen elektronik yang

    mengembangkan MEMS gyro ini, diantaranya adalah ST Microelectronics, Analog Device

    dan InvenSense.

    2.4.2.2. Sumbu Pengukuran Giroskop

    Sama halnya dengan akselerometer, giroskop memiliki sumbu pengukuran. Rotasi

    dideteksi berdasarkan sumbu pengukuran yang menjadi poros rotasi.

    Ada banyak giroskop yang tersedia di pasar dan beberapa diantaranya memiliki lebih

    dari satu sumbu pengukuran yang artinya ada lebih dari satu giroskop dalam sebuah chip.

    Sumbu-sumbu rotasi pengukuran tersebut saling tegak lurus sehingga posisi masing-masing

    giroskop didalamnya juga saling tegak lurus.

  • 29

    Pada penggunaannya dalam AHRS pada Tugas Akhir ini digunakan giroskop dengan

    tiga sumbu pengukuran seperti pada Gambar 2.18.

    Gambar 2.18. Sumbu Pengukuran Digital Gyroscope ITG3205[4]

    2.4.2.3. Parameter Sensor Giroskop

    Sensor gyroscope memiliki beberapa parameter yang menentukan karakteristik dan

    kualitas dari sensor ini:

    1. Resolusi

    Resolusi dari gyroscope merupakan kecepatan putar minimum yang dapat dideteksi

    oleh sensor. Pada gyroscope dengan keluaran data digital, resolusi dinyatakan dalam satuan

    bit terkecil per kecepatan putar atau LSB/(°/s). Giroskop dengan resolusi tinggi dapat

    mendeteksi perubahan orientasi yang kecil.

    2. Full-scale Range

    Full-scale Range merupakan jangkauan maksimum besarnya kecepatan putar yang

    dapat dideteksi oleh sensor. Sebagai contoh, sensor gyroscope ITG3205[..] memiliki full-

    scale range sebesar ±2000°/s. Artinya, sensor ini dapat mendeteksi kecepatan putar

    maksimum 2000° dalam satu detik atau 34.8894 rad/s.

  • 30

    3. ZRO (Zero Rate Output)

    Zero Rate Output pada sensor gyroscope merupakan besarnya keluaran sensor saat

    diam (tidak berotasi). Dalam implementasinya untuk mengukur arah hadap, yaitu dengan

    mengintegralkan kecepatan sudut (keluaran gyroscope), keluaran giroskop harus di-offset

    dengan ZRO-nya terlebih dahulu agar nilai ZRO ini tidak ikut diintegralkan dari waktu ke

    waktu.

    4. Short- or Long-term Drift

    Pada saat diam, meskipun sudah di-offset dengan ZRO, data keluaran sensor

    gyroscope tidak akan tetap 0°/s, tapi berubah-ubah. Perubahan ini kecil dan dengan frekwensi

    yang lambat, akan tetapi sangat terasa nantinya jika diintegralkan dalam jangka waktu yang

    lama. Short- or Long-term Drift merupakan nilai peak-to-peak dari keluaran giroskop saat

    tidak ada rotasi.

    5. Jumlah sumbu pengukuran

    Ada banyak gyroscope yang diproduksi yang memiliki lebih dari satu sumbu

    pengukuran. Misalnya LPY503AL produksi ST Microelectronics[20] memiliki 2 sumbu

    pengukuran dan ITG3205 produksi Invensense[19] memiliki 3 sumbu pengukuran.

    Jumlah sumbu pengukuran menentukan kapabilitas dari giroskop dalam mendeteksi

    rotasi. Misalnya, giroskop dengan hanya dua sumbu pengukuran tidak cukup untuk

    menentukan arah hadap dalam ruang. Untuk mengukur rotasi atau arah hadap dalam ruang

    dibutuhkan 3 sumbu pengukuran.

  • 31

    2.4.3. Orientasi Kinematik

    Pada bagian ini akan membahas perhitungan kinematis dari orientasi pesawat

    terhadap bumi yang direpresentasikan dengan rotasi matrik.

    2.4.3.1. Sistem Koordinat

    Orientasi kinematik selalu berkaitan dengan perhitungan orientasi relatif dari sistem

    koordinat lokal pesawat (body frame) ke sistem koordinat bumi (ground frame)[12]. Setiap

    sensor pada pesawat baik akselerometer maupun giroskop bekerja pada sistem koordinat

    lokal pesawat, sedangkan orientasi dari pesawat yang berkaitan erat dengan gaya gravitasi

    bumi ditilik dari sistem koordinat bumi.

    Gambar 2.19. Body Frame dan Ground Frame

    Pada pembahasan ini, titik asal kedua sistem koordinat dipertemukan pada titik yang

    sama untuk memudahkan analisis rotasi. Sistem koordinat bumi menggunakan notasi OXYZ

    dan sistem koordinat lokal pesawat dinotasikan sebagai Oxyz. Vektor satuan untuk sistem

    koordinat bumi (OXYZ) adalah I, J dan K. Sedangkan vektor satuan untuk sistem koordinat

    lokal pesawat adalah i, j dan k. Dua sistem koordinat ini divisualisasikan pada Gambar 2.19.

  • 32

    Pada sistem koordinat bumi, vektor satuan I, J dan K ditulis sebagai:

    1 0 0

    0 , 1 , 0

    0 0 1

    I J K

    Pada sistem koordinat lokal, vektor satuan i, j dan k ditulis sebagai:

    1 0 0

    0 , 1 , 0

    0 0 1

    i j k

    2.4.3.2. Representasi Orientasi dengan Rotasi Matrik

    Pada bagian ini akan dibahas bagaimana merepresentasikan vektor pada sistem

    koordinat lokal ke sistem koordinat bumi dan sebaliknya.

    Vektor i jika dilihat dari sistem koordinat bumi dinotasikan sebagai Gi

    :

    Gx

    G Gy

    Gz

    i

    i i

    i

    Selanjutnya, G

    xi pada sistem koordinat bumi merupakan proyeksi vektor i

    ke sumbu X pada

    sistem koordinat bumi:

    cos( , )Gxi i X i

    cos( , )Gxi i I i

    Di mana cos( , )X i

    merupakan nilai kosinus sudut yang dibentuk vektor I

    dan i

    .

    (2.12)

    (2.13)

    (2.14)

    (2.15)

    (2.16)

  • 33

    Karena panjang vektor satuan I

    dan i

    bernilai 1, maka:

    cos( , )Gxi I i

    atau bisa ditulis:

    cos( , )Gxi I i I i

    Gxi I i

    Dengan cara yang sama pada G

    yi dan G

    zi diperoleh:

    Gyi J i

    Gzi K i

    Sehingga vektor Gi

    dapat ditulis:

    G

    I i

    i J i

    K i

    Dengan cara yang sama pada Gj

    dan Gk

    didapatkan:

    G

    I j

    j J j

    K j

    , G

    I k

    k J k

    K k

    Selanjutnya dibentuk matrik GR dari vektor Gi

    ,

    Gj

    dan Gk

    :

    G G G GR i j k

    (2.17)

    (2.18)

    (2.19)

    (2.20)

    (2.21)

    (2.22)

    (2.23)

  • 34

    G

    I i I j I k

    R J i J j J k

    K i K j K k

    cos( , ) cos( , ) cos( , )

    cos( , ) cos( , ) cos( , )

    cos( , ) cos( , ) cos( , )

    G

    I i I j I k

    R J i J j J k

    K i K j K k

    Dengan cara yang sama, vektor satuan pada sistem koordinat bumi (GI

    ,GJ

    ,GK

    ) jika

    ditilik dari sistem koordinat lokal dapat diperoleh dengan mengganti notasi I, J, K menjadi i,

    j, k:

    B

    I i

    I I j

    I k

    , B

    J i

    J J j

    J k

    , B

    K i

    K K j

    K k

    Sehingga, jika dibentuk dalam sebuah matrik BR menjadi:

    B B B BR I J K

    B

    I i J i K i

    R I j J j K j

    I k J k K k

    cos( , ) cos( , ) cos( , )

    cos( , cos( , ) cos( , )

    cos( , cos( , ) cos( , )

    B

    I i J i I i

    R I j J j J j

    I k J k K k

    (2.24)

    (2.25)

    (2.26)

    (2.27)

    (2.28)

    (2.29)

  • 35

    Matrik BR dan GR merupakan Direction Cosine Matrix (DCM) karena berisi

    kosinus dari semua kemungkinan kombinasi vektor satuan pada sistem koordinat bumi dan

    sistem koordinat lokal. DCM disebut juga matrik rotasi karena mendefinisikan rotasi dari

    kerangka acuan satu ke kerangka acuan lainnya.

    Dengan DCM, vektor pada sistem koordinat lokal dapat didefinisikan pada sistem

    koordinat bumi dan sebaliknya. Ditinjau vektor r

    pada sistem koordinat lokal:

    Bx

    B By

    Bz

    r

    r r

    r

    Vektor r

    akan dihitung pada sistem koordinat bumi dengan memanfaatkan DCM. Pada

    sistem koordinat bumi vektor r

    dinotasikan:

    Gx

    G Gy

    Gz

    r

    r r

    r

    Ditinjau salah satu komponen vektor G

    xr sebagai proyeksi vektor r

    terhadap sumbu X

    (koordinat bumi):

    cos( , )G G G Gxr r I r

    Karena rotasi tidak mengubah panjang vektor dan sudut antara dua vektor, maka:

    G Br r

    (2.30)

    (2.31)

    (2.32)

    (2.33)

    (2.34)

  • 36

    1G BI I

    cos( , ) cos( , )G G B BI r I r

    Sehingga persamaan 2.32 dapat ditulis:

    cos( , )G B B B Bxr I r I r

    G B B

    xr I r

    Berdasarkan persamaan 2.21:

    Gx

    G Gx y

    Gz

    I i r

    r I j r

    I k r

    ( ) ( ) ( )G B B Bx x y zr I i r I j r I k r

    Dengan cara yang sama didapatkan:

    ( ) ( ) ( )G B B By x y zr J i r J j r J k r

    ( ) ( ) ( )G B B Bz x y zr K i r K j r K k r

    Sehingga jika dituliskan dengan matrik:

    (2.35)

    (2.36)

    (2.37)

    (2.38)

    (2.39)

    (2.40)

    (2.41)

  • 37

    Bx

    G By

    Bz

    I i I j I k r

    r J i J j J k r

    K i K j K k r

    G G Br R r

    Pada persamaan 2.43 dapat dicermati bahwa vektor r

    pada sistem koordinat lokal (

    Br

    ) dirotasikan oleh GR menjadi vektor Gr

    pada sistem koordinat bumi. Vektor r

    yang

    bekerja pada sistem koordinat lokal pesawat bisa berupa kecepatan translasi, kecepatan

    sudut, gaya, percepatan dan vektor-vektor lainnya.

    Untuk mempermudah penulisan dan membedakan setiap komponen pada GR dan

    BR , digunakan notasi sebagai berikut:

    Xx Xy Xy

    GYx Yy Yz

    Zx Zy Zz

    r r r

    R r r r

    r r r

    ( )Xx Yx Zx

    B G TXy Yy Zy

    Xz Yz Zz

    r r r

    R R r r r

    r r r

    (2.42)

    (2.43)

    (2.44)

    (2.45)

  • 38

    2.4.3.3. Rotasi Matrik dan Sudut Euler

    Sudut Euler adalah 3 sudut yang membentuk rotasi sebuah objek dalam ruang (3 ).

    Sehingga dibutuhkan 3 parameter untuk merepresentasikan orientasi sebuah objek pada

    sistem 3 dimensi Sudut-sudut itu antara lain:

    rotasi dengan sumbu rotasi sumbu x, disebut dengan roll (φ)

    rotasi dengan sumbu rotasi sumbu y, disebut dengan pitch (θ)

    rotasi dengan sumbu rotasi sumbu z, disebut dengan yaw (ψ)

    Dalam kaitannya dengan rotasi matrik, ketiga sudut Euler ini dapat membentuk rotasi

    matrik dengan persamaan 2.46:

    cos cos sin cos cos cos sin cos sin cos sin sin

    cos sin sin sin sin cos sin sin sin cos

    sin sin cos cos cos

    R

    Hal yang perlu diperhatikan pada pembentukan rotasi matrik dengan 3 sudut Euler

    (atau sebaliknya) adalah urutan rotasi, karena urutan rotasi yang berbeda membentuk

    orientasi yang berbeda, meskipun besarnya sudut-sudut pembentuk sama besarnya. Pada

    persamaan 2.46, urutan yang dipakai adalah z-y-x atau yaw-pitch-roll.

    2.4.4. Algoritma DCM-IMU (Direction Cosine Matrix Inertial Measurement

    Unit)

    Peran utama dari AHRS adalah mengolah data-data sensor untuk menghasilkan tiga

    sudut Euler (roll, pitch dan yaw) yang tepat dan akurat. Sudut-sudut ini merupakan

    representasi orientasi pesawat di udara terhadap kerangka acuan bumi. Selanjutnya, data tiga

    sudut ini dimanfaatkan oleh pengendali gerak motor sebagai masukan umpan balik dari

    sistem kendali loop tertutup.

    (2.46)

  • 39

    Sebenarnya, sensor akselerometer dapat digunakan untuk mengukur sudut roll dan

    pitch, dengan menghitung arah percepatan gravitasi. Namun, ada tiga alasan yang

    menyebabkan sensor ini tidak bisa langsung digunakan sebagai sumber informasi tunggal

    untuk orientasi pesawat:

    1. Pengaruh percepatan dinamis

    Percepatan yang bekerja pada pesawat bukan hanya percepatan gravitasi, tetapi juga

    percepatan dinamis. Pesawat tidak akan hanya melayang dan diam (hovering), tetapi juga

    bergerak dan timbul percepatan dinamis yang dirasakan oleh akselerometernya. Sehingga

    percepatan dinamis akan mengganggu pengukuran percepatan statis (gravitasi bumi), yang

    mengakibatkan pengukuran arah percepatan gravitasi menjadi tidak akurat.

    Akan tetapi, pesawat tidak akan selalu mengalami percepatan atau perlambatan. Ada

    kondisi di mana pesawat bergerak dengan kecepatan konstan. Pada kondisi ini, arah

    percepatan gravitasi dapat diukur, karena tidak ada percepatan dinamis yang bekerja pada

    akselerometer.

    2. Pengaruh vibrasi

    Akselerometer peka terhadap getaran yang ditimbulkan oleh sistem mekanik pesawat

    seperti motor dan baling-baling. Hal ini mengakibatkan pengukuran arah percepatan statis

    gravitasi menjadi terganggu akibat percepatan dinamis dari getaran. Meskipun demikian,

    vibrasi pada akselerometer dapat diatasi dengan beberapa metode filter digital seperti LPF

    (Low Pass Filter), MA (Moving Average) dan tapis Kalman.

  • 40

    3. Keterbatasan pengukuran sudut yaw

    Akselerometer hanya mendeteksi arah percepatan gravitasi untuk mendapatkan sudut

    roll dan pitch. Pada saat akselerometer dalam kondisi mendatar, tidak ada proyeksi

    percepatan gravitasi untuk mendapatkan sudut yaw.

    Berbeda dengan akselerometer, giroskop hampir tidak terpengaruh oleh getaran dan

    percepatan dinamis translasi. Keluaran dari giroskop merupakan kecepatan sudut, integral

    terhadap waktu dari keluaran giroskop ini adalah sudut. Namun karena giroskop memiliki

    short-or-long term drift, semakin lama hasil integral tidak akan menghasilkan sudut yang

    tepat.

    Algoritma DCM-IMU[16] menggabungkan kedua sensor ini untuk mendapatkan

    informasi orientasi pesawat yang akurat. Algoritma ini bekerja menggunakan rotasi matrik

    yang selanjutnya diubah menjadi sudut-sudut Euler. Rotasi matrik dibentuk dari kecepatan

    angular giroskop. Selanjutnya, dengan arah vektor gravitasi bumi oleh akselerometer, drift

    dari rotasi matrik hasil pembentukan giroskop dideteksi dan menghasilkan drift error. Drift

    error ini diumpankan balik dengan kontrol PI (Proposional Integral) sebagai koreksi error

    yang terjadi. Gambar 2.20 menunjukan blok diagram dari proses algoritma DCM-IMU.

  • 41

    Gambar 2.20. Blok Diagram Algoritma DCM-IMU

    2.4.4.1. Pembentukan Rotasi Matrik dari Kecepatan Sudut Giroskop

    Rotasi matrik dapat dibentuk dengan perubahan sudut sesuai dengan persamaan 2.47:

    0

    ( ) ( ) ( ) 0

    0

    z y

    G G G z x

    y x

    d d

    R t dt R t R t d d

    d d

    1

    ( ) ( ) 1

    1

    z y

    G G z x

    y x

    d d

    R t dt R t d d

    d d

    karena,

    d dt

    maka,

    (2.47)

    (2.48)

    (2.49)

    giroskop +

    -

    ω update rotasi matrik

    normalisasi R R R→Euler

    roll(φ)

    pitch(θ)

    yaw(ψ)

    kontrol PI

    detektor drift akselerometer

    magnetometer

    drift error vektor gravitasi

    arah utara magnet bumi

  • 42

    1

    ( ) ( ) 1

    1

    z y

    G G z x

    y x

    dt dt

    R t dt R t dt dt

    dt dt

    dimana,

    RG= matrik rotasi

    x =kecepatan sudut pada sumbu x

    y =kecepatan sudut pada sumbu y

    z =kecepatan sudut pada sumbu z

    Dengan persamaan 2.50, rotasi matrik dapat dibentuk dengan data kecepatan sudut

    pada giroskop. Namun, karena adanya kemungkinan numerical error pada pembacaan sensor

    giroskop, menyebabkan rotasi yang dibentuk tidak memenuhi orthogonalitas matrik rotasi.

    Sehingga perlu dilakukan koreksi orthogonalitas dan normalisasi.

    Matrik rotasi memiliki vektor-vektor baris yang saling tegak lurus. Seharusnya,

    perkalian dot antar vektor baris pada matrik rotasi bernilai 0, karena adanya numerical error

    pada pembacaan giroskop menyebabkan vektor-vektor baris (juga berlaku pada kolom) dari

    matrik rotasi tidak saling tegak lurus dan perkalian dot antar vektor baris ini ≠ 0.

    Xx

    Xy

    Xz

    r

    X r

    r

    ,

    Yx

    Yy

    Yz

    r

    Y r

    r

    ,

    Zx

    Zy

    Zz

    r

    Z r

    r

    (2.50)

    (2.51)

  • 43

    Yx

    Yy

    Yz

    Xx

    Xy

    Xz

    r

    r

    r

    r

    error X Y r

    r

    Selanjutnya untuk mengatasi kondisi ini, setengah dari error dibagikan kepada kedua vektor

    baris:

    2

    Yx

    orthogonalYy

    Yz orthogonal

    rerror

    r Y Y X

    r

    Untuk memperoleh Zorthogonal, digunakan cross product dari kedua vektor baris yang sudah

    orthogonal:

    orthogonal orthogonal orthogonalZ X Y

    Langkah selanjutnya adalah menjaga magnitude dari masing-masing vektor agar

    bernilai 1. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membagi setiap vektor baris dengan

    magnitude-nya. Cara ini kurang efektif jika diimplementasikan dalam mikrokontroler dengan

    keterbatasan memori dan kecepatan, karena melibatkan operasi akar dalam mencari

    (2.52)

    (2.53)

    (2.54)

    (2.55)

    2

    Xx

    orthogonalXy

    Xz orthogonal

    rerror

    r X X Y

    r

  • 44

    magnitude. Cara alternatif yang dapat dipakai adalah dengan menggunakan ekspansi Taylor

    untuk memastikan magnitude dari setiap vektor baris agar bernilai 1.

    1 32

    norm orthogonal orthogonal orthogonalX X X X

    1 32

    norm orthogonal orthogonal orthogonalY Y Y Y

    1 32

    norm orthogonal orthogonal orthogonalZ Z Z Z

    2.4.4.2. Koreksi Drift

    Pada proses sebelumnya telah didapatkan matrik rotasi bentukan giroskop yang

    orthogonal. Namun, matrik rotasi ini belum akurat untuk merepresentasikan orientasi

    pesawat terhadap kerangka acuan bumi, karena orientasi pesawat pada saat sistem mulai

    bekerja belum diketahui. Masalah kedua adalah drift dan error kuantisasi dari pembacaan

    giroskop menyebabkan rotasi matrik merambat berubah tidak sesuai dengan kenyataan fisik.

    Untuk mengatasi masalah tersebut digunakan akselerometer sebagai referensi arah

    percepatan gravitasi.

    Jika diasumsikan tidak ada percepatan dinamis yang bekerja pada pesawat, dari data

    akselerometer didapatkan vektor gravitasi yang terukur pada sistem koordinat lokal pesawat:

    Bx

    B By

    Bz

    A

    A A

    A

    (2.56)

    (2.57)

    (2.58)

    (2.59)

  • 45

    Berdasarkan rotasi matrik yang telah terbentuk, vektor gravitasi pada sistem koordinat bumi

    jika dilihat dari sistem koordinat lokal adalah:

    0

    0

    1

    B BG R

    0

    0

    1

    Xx Yx Zx

    BXy Yy Zy

    Xz Yz Zz

    r r r

    G r r r

    r r r

    Zx

    BZy

    Zz

    r

    G r

    r

    Seharusnya vektor BA

    dan BG

    akan sama jika rotasi matrik yang dibentuk adalah tepat.

    Tetapi karena adanya error yang telah disinggung sebelumnya, error pitch roll diperoleh

    dengan cross product dari kedua vektor:

    _B B

    roll pitcherror A G

    Kesalahan pada sudut roll dan pitch dapat dideteksi dengan menggunakan persamaan

    2.63. Selanjutnya untuk mendeteksi error yaw digunakan arah hadap dari kompas digital.

    (2.60)

    (2.61)

    (2.62)

    (2.63)

  • 46

    Jika vektor BM

    merupakan vektor arah utara magnet bumi pada sistem koordinat lokal

    pesawat:

    Bx

    B By

    Bz

    M

    M M

    M

    Dan vektor GU

    merupakan vektor arah utara pada sistem koordinat bumi:

    1

    0

    0

    GU

    Maka dengan cara yang sama error yaw diperoleh:

    B Byawerror M U

    Selanjutnya error keseluruhan didapatkan:

    _ _ _roll pitch yaw roll pitch yawerror error error

    Untuk mengkompensasi kesalahan rotasi matrik yang terbentuk, error yang dideteksi

    melalui perhitungan sebelumnya diumpankan ke proses pembentukan matrik rotasi dengan

    kontrol PI (propotional-integral). Penggunaan kontrol loop tertutup ini bertujuan untuk

    mendapatkan koreksi yang cepat dan tepat terhadap rotasi matrik yang dibentuk.

    (2.64)

    (2.65)

    (2.66)

    (2.67)

  • 47

    2.4.4.3. Perhitungan 3 Sudut Euler dari Matrik Rotasi

    Sudut-sudut Euler merupakan representasi orientasi yang tepat dan mudah

    diiplementasikan sebagai input kendali gerak pesawat. Sebagai contoh, untuk menjaga

    keseimbangan pesawat saat dalam kondisi hovering (melayang diam), sistem kendali gerak

    harus menjaga sudut pitch dan roll agar tetap 0° (datar terhadap permukaan bumi).

    Setelah matrik rotasi sudah terbentuk dan terkoreksi, selanjutnya dengan persamaan

    4, dari matrik rotasi ini didapatkan sudut-sudut Euler:

    arctan Zy

    Zz

    r

    r

    arcsin Zxr

    arctan Yx

    Zx

    r

    r

    (2.68)

    (2.69)

    (2.70)