BAB II - repository.uksw.edu€¦ · Bab III ini ingin menjelaskan terkait dengan arti penting...

35
65 BAB III ARTI PENTING PENGADILAN ADAT BAGI MASYARAKAT HUKUM ADAT Bab III ini ingin menjelaskan terkait dengan arti penting Pengadilan Adat bagi masyarakat adat dengan mengkaji perbedaan peradilan dan pengadilan, eksistensi Pengadilan Adat di Indonesia, dan peran Pengadilan Adat bagi masyarakat hukum adat. A. Perbedaan Peradilan dan Pengadilan Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda maksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam menegakan hukum dan keadilan. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosoedibio, pengertian peradilan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penggunaan istilah Peradilan (rechtspraak/judiciary) menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakan hukum (het rechtspreken), sedangkan pengadilan ditujukan kepada badan

Transcript of BAB II - repository.uksw.edu€¦ · Bab III ini ingin menjelaskan terkait dengan arti penting...

65

BAB III

ARTI PENTING PENGADILAN ADAT BAGI

MASYARAKAT HUKUM ADAT

Bab III ini ingin menjelaskan terkait dengan arti penting

Pengadilan Adat bagi masyarakat adat dengan mengkaji

perbedaan peradilan dan pengadilan, eksistensi Pengadilan Adat

di Indonesia, dan peran Pengadilan Adat bagi masyarakat hukum

adat.

A. Perbedaan Peradilan dan Pengadilan

Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan

rechspraak dalam bahasa Belanda maksudnya adalah segala

sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam

menegakan hukum dan keadilan. Menurut R. Subekti dan R.

Tjitrosoedibio, pengertian peradilan adalah segala sesuatu

yang berhubungan dengan tugas negara untuk menegakkan

hukum dan keadilan. Penggunaan istilah Peradilan

(rechtspraak/judiciary) menunjuk kepada proses untuk

memberikan keadilan dalam rangka menegakan hukum (het

rechtspreken), sedangkan pengadilan ditujukan kepada badan

66

atau wadah yang memberikan peradilan. Jadi pengadilan

bukanlah merupakan satu satunya wadah yang

menyelenggarakan peradilan. Pengertian peradilan menurut

Sjachran Basah, adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan

tugas dalam memutus perkara dengan menerapkan hukum,

menemukan hukum in concreto dalam mempertahankan dan

menjamin ditaatinya hukum materil, dengan menggunakan

cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.1

Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah

segala sesuatu mengenai perkara peradilan. Peradilan juga

dapat diartikan suatu proses pemberian keadilan di suatu

lembaga. Dalam kamus Bahasa Arab disebut dengan istilah

qadha yang berarti menetapkan, memutuskan,

menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah

penyelesaian sengketa antara dua orang yang bersengketa,

yang mana penyelesaiannya diselesaikan menurut ketetapan-

ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul. Sedangkan

pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh

1 Sjachran Basah, Mengenal Peradilan di Indonesia, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1995, h. 9.

67

negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-

perselisihan hukum.2

Terkait dengan pengadilan sebagai suatu lembaga dan

peradilan sebagai suatu proses sebagai pemberi keadilan

dapat diambil contoh terkait dengan Peradilan Umum yang

dapat dilihat dari Undang-undang Republik Indonesia No. 2

Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menyebutkan bahwa

salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat

pencari keadilan pada umumnya. Dalam mencapai keadilan,

esensi, dan eksistensi Peradilan Umum itu sendiri harus

mampu mewujudkan kepastian hukum sebagai sesuatu nilai

yang sebenarnya telah terkandung dalam peraturan hukum

yang bersangkutan itu sendiri. Tetapi di samping kepastian

hukum, untuk dapat tercapainya keadilan tetap juga

diperlukan adanya kesebandingan atau kesetaraan hukum,

yang pada dasarnya juga telah terkandung dalam peraturan

hukum yang bersangkutan dan dalam hal ini juga harus

mampu diwujudkan oleh Peradilan Umum. Anasir kepastian

2 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia, PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2003, h. 2.

68

hukum yang bersangkutan secara sama bagi semua orang,

tanpa terkecuali, sedangkan anasir kesebandingan atau

kesetaraan hukum pada hakikatnya merupakan anasir yang

mewarnai keadaan berlakunya hukum itu bagi tiap-tiap pihak

yang bersangkutan, sebanding atau setara dengan

kasus/keadaan perkara mereka masing-masing.

Aristoteles mengemukakan bahwa keadilan ialah

tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu banyak

dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah memberikan

sesuatu kepada setiap orang sesuai dengan memberi apa yang

menjadi haknya. Pengertian keadilan menurut Frans Magnis

Suseno yang mengemukakan pendapatnya mengenai

pengertian keadilan ialah keadaan antar manusia yang

diperlakukan dengan sama, yang sesuai dengan hak serta

kewajibannya masing-masing. Thomas Hubbes

mengemukakan bahwa pengertian keadilan ialah sesuatu

69

perbuatan yang dikatakan adil jika telah didasarkan pada

suatu perjanjian yang telah disepakati.3

Sehubungan dengan penjelasan di atas maka terkait

dengan Masyarakat Hukum Adat sebagai kelompok

masyarakat yang tradisional juga memiliki kesepakatan-

kesepakatan terkait dengan tata prilaku yang telah di buat

turun temurun yang biasa disebut dengan aturan-aturan adat

atau hukum adat dimana masyarakat hukum adat mencari

keadilan ataupun kepastian hukum terkait permasalahan-

permasalahan pelanggaran hukum adat. Sehubungan dengan

penyelesaian permasahan-pemasasalahan hukum adat tersebut

maka dibutuhkan Pengadilan Adat sebagai suatu lembaga

atau organisasi di lingkungan masyarkat hukum adat sebagai

penafsir aturan-aturan adat atau pemberi keputusan terkait

permasalahan-permasalahan hukum adat tersebut.

3 A. Ridwan Halim, Pokok-pokok Peradilan Umum di Indonesia

dalam Tanya Jawab, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, h. 41-42.

70

B. Eksistensi Pengadilan Adat di Indonesia

1. Sejarah Pengakuan Pengadilan Adat

a. Pengakuan Pengadilan Adat Pada Masa

Kolonial4

Sungguh berbeda dengan pemerintahan

republik, pemerintahan kolonial menyadari bahwa

kaki-tangannya tidak bisa sampai berjejak secara

efektif sampai ke kampung-kampung. Oleh karena itu,

untuk menjamin ketertiban tetap berjalan, institusi-

institusi lokal diakui keberadaannya. Perundang-

undangan Pemerintah Hindia-Belanda mewariskan

lima jenis Pengadilan, yaitu Pengadilan Gubenemen,

Pengadilan Pribumi (Peradilan Adat), Pengadilan

Swapraja, Pengadilan Agama dan Pengadilan Desa

(Hadikusuma;1989; Laudjeng, 2003) :

1. Pengadilan Gubernemen (Gouvernements-

rechtspraak) ialah pengadilan yang

dilaksanakan oleh Hakim Pemerintah atas

4 Hilman Hadikusuma. Peradilan Adat di Indonesia. CV Miswar. Jakarta.

(Selanjutnya ditulis H. Hilman Hadikusuma I) . 1989. h 42

71

nama Raja/Ratu Belanda dengan tatahukum

Eropa untuk seluruh daerah Hindia-Belanda.

2. Pengadilan Pribumi atau Pengadilan Adat

(Inheemsche rechtspraak) adalah pengadilan

yang dilaksanakan Hakim Eropa dan juga

Hakim Indonesia, tidak atas nama Raja/Ratu

dan tidak berdasarkan tata hukum Eropa, tetapi

dengan tata hukum adat yang ditetapkan oleh

Residen dengan persetujuan Direktur

Kehakiman di Batavia. Daerah-daerah dimana

dilaksanakan Pengadilan Pribumi atau

Pengadilan Adat adalah: Aceh, Tapanuli,

Sumatera Barat, Jambi, Palembang, Bengkulu,

Riau, Kalimantan, Sulawesi, Manado,

Lombok, dan Maluku. Kewenangan mengadili

peradilan ini adalah terhadap orang-orang

pribumi yang berdomisili di daerah peradilan,

yang dijadikan Tergugat atau Tersangka.

Adapun Penggugat boleh saja yang bukan

72

penduduk setempat termasuk misalnya orang

Eropa yang merasa dirugikan. Pengadilan ini

menggunakan hukum acara sendiri yang

khusus berupa peraturan peradilan dari

Residen, misalnya: Peraturan Musapat Aceh

Besar dan Singkel (1934), Peraturan

Mahkamah Riaw (1933), Peraturan Rapat

Palembang (1933), Peraturan Kerapatan

Kalimantan Selatan danTimur (1934),

Peraturan Gantarang, Matinggi dan Laikan

(Sulawesi Selatan 1933) dan sebagainya.

3. Pengadilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak)

ialah pengadilan yang dilaksanakan oleh para

Hakim Swapraja. Di Jawa Madura

kewenangan peradilan ini terbatas untuk

mengadili kerabat Raja yang sedarah atau

semenda sampai sepupu keempat dan para

pegawai tinggi swapraja dalam posisi sebagai

Tergugat baik dalam perkara perdata maupun

73

perkara pidana yang ringan. Di Luar Jawa-

Madura kewenangan peradilan ini terbatas

pada untuk mengadili kaula sendiri. Hakim

Swapraja melaksanakan tugasnya berdasarkan

peraturan swapraja yang isinya mencontoh

peraturan peradilan peribumi/peradilan adat.

4. Pengadilan Agama (Godsdienstige

Rechtspraak) adalah pengadilan yang

dilaksanakan oleh Hakim Agama atau Hakim

Pribumi atau Hakim Gubernemen untuk

menyelesaikan perkara yang menyangkut

Hukum Islam.

5. Pengadilan Desa (Dorpjustitie) ialah

pengadilan yang dilaksanakan oleh Hakim

Desa baik dalam lingkungan peradilan

gubernemen, pengdilan pribumi atau

Pengadilan Adat maupun pengadilan swapraja

di luar Jawa-Madura. Pengadilan ini

berwewenang mengadili perkara-perkara kecil

74

yang merupakan urusan adat atau urusan desa,

seperti perselisihan tanah, pengairan,

perkawinan, mas kawin, perceraian,

kedudukan adat dan lain-lain perkara yang

timbul dalam masyarakat adat bersangkutan.

Para hakim desa tidak boleh menjatuhkan

hukuman sebagaimana yang diatur dalam

KUHP dan apabila para pihak yang berselisih

tidak puas dengan keputusan hakim desa ia

dapat mengajukan perkaranya kepada hakim

gubernemen. Organisasi pengadilan desa tidak

diatur dalam perundang-undangan, tetapi

diserahkan kepada hukum adat setempat.

Penguasa kolonial mengakui keberadaan

Peradilan Adat dan Peradilan Desa. Adapun dasar

berlakunya Pengadilan Adat ditentukan dalam Pasal

130 Indische Staatsregeling, yang menentukan bahwa

di mana-mana sepanjang rakyat Indonesia tidak

dibiarkan mempunyai peradilan sendiri, maka di

75

Indonesia dilakukan peradilan atas nama raja. Ini

berarti bahwa di samping pengadilan-pengadilan oleh

negara, diakui dan dibiarkan berlakunya pengadiIan-

pengadilan asli. Pengadilan asli itu ada dua macam,

yaitu: (a) Pengadilan Adat di sebagian daerah yang

langsung ada dibawah pemerintahan Hindia-Belanda;

dan (b) pengadilan swapraja.

Lebih lanjut, pengakuan terhadap institusi

Peradilan Rakyat pribumi dilakukan diberbagai tempat

di Nusantara dengan mengeluarkan berbagai

Staatblaad, seperti Stb. 1881 No. 83 untuk Aceh

Besar, Stb. 1886 No. 220 untuk Pinuh (Kalimantan

Barat), Stb. 1889 No. 90 untuk daerah Gorontalo, Stb.

1906 No. 402 untuk Kepulauan Mentawai, Stb.1908

No. 231 untuk daerah Hulu Mahakam, Stb. 1908 No.

234 untuk daerah Irian Baratdan Stb. 1908 No. 269

untuk daerah Pasir. Kemudian pada tahun 1932,

tepatnya tanggal 18 Februari, pemerintah kolonial

mengeluarkan Stb. No. 80 yang mencabut dan

76

menggantikan berbagai ketentuan atau Stb. yang

memberikan pengakuan terhadap peradilan adat yang

disebutkan diatas dan memberikan pengakuan untuk

daerah-daerah baru. Pasal 1 Stb. ini menyebutkan

pengakuannya terhadap peradilan adat pada daerah-

daerah yang disebutkan, dengan pelaksana

peradilannya adalah hakim dari masyarakat pribumi.

Pemberlakuan peraturan baru ini dilakukan secara

bertahap. Untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur

dimulai pada tanggal 1 April 1934 dengan Stb. 1934

No. 116 dan Stb. No. 340, untuk Aceh pada tanggal 1

September 1934 dengan Stb. 1934 No. 517, untuk

Tapanuli pada tanggal 1 Oktober 1934 dengan Stb.

1935 No. 465, Untuk Kalimantan Barat dan Maluku

pada tanggal 1 Januari 1936 melalui Stb. 1936 No.

490 dan pada tanggal 1 Januari 1937 untuk Bali dan

Lombok.

Namun dengan peraturan ini tidak berarti

bahwa peradilan adat hanya ada di tempat-tempat

77

yang disebutkan oleh Stb. tersebut. Karena peradilan

adat tersebut ditemukan di banyak tempat lain di

Indonesia. Pengakuan yang diberikan Stb. ini juga

tidak berarti bahwa pemerintah kolonial membiarkan

utuh dan menghormati bentuk peradilan adat ini.

Berbagai bentuk campur tangan seperti yang

dilakukannya terhadap peradilan governemen juga

berlangsung terhadap peradilan adat di daerah-daerah

tersebut. Kemudian juga terdapat dalam Stb. 1935 No.

102. Di dalam statblaad terakhir ini, disisipkan Pasal

3a ke dalam Rechterlijke Organisatie (R.O) yang

mengatur mengenai kewenangan hakim-hakim dari

masyarakat-masyarakat hukum kecil untuk memeriksa

dan mengadili perkara-perkara adat yang menjadi

kewenangannya.

Kewenangan hakim ini tidak mengurangi

kewenangan para pihak untuk setiap saat

menyerahkan perkaranya kepada putusan hakim.

Dengan disisipkanya Pasal ini kedudukan peradilan

78

desa diakui. Sehingga kemudian selama pemerintahan

kolonial, dikenal 2 bentuk peradilan bagi orang

pribumi, yaitu peradilan adat dan peradilan desa yang

tidak memiliki dasar perbedaan yang prinsipil.

Diakuinya peradilan untuk orang pribumi, yaitu

peradilan adat dan peradilan desa karena penguasa

kolonial menyadari bahwa mereka tidak bisa

menyelesaikan sendiri seluruh persoalan yang

dihadapi oleh penduduk Hindia-Belanda dengan

menggunakan peradilan Eropa. Peradilan Eropa

sendiri telah diadopsi di Hindia-Belanda sejak masa

berkuasanya VOC pada abad 17, yang mula-mulanya

dibentuk di Batavia (sekarang Jakarta) dan disusul

pada beberapa daerah lainnya di Jawa. Politik hukum

identitas dengan membeda-bedakan penduduk

berdasarkan ras juga turut menjadikan keberadaan

peradilan adat dan peradilan desa menjadi penting.

Pada masa kolonial Belanda membagi penduduk

menjadi Golongan Penduduk Eropa, Golongan

79

Penduduk Pribumi dan Golongan Penduduk Timur

Asing. Untuk orang pribumi maka permasalahannya

diselesaikan melalui peradilan adat maupun peradilan

desa, kecuali dalam hal-hal tertentu sehingga diadili di

pengadilan kolonial (lanraad, raad van justitie sampai

pada Hoogerechtshof). Pada masa itu sudah dikenal

adanya pengadilan agama, yang masih bertahan

sampai hari ini.

b. Pengakuan Pengadilan Adat Masa Republik

Kontras dengan penguasa kolonial yang

mengakui lembaga dan mekanisme peradilan adat,

penguasa republik hendak menghapus orde-orde

hukum lokal yang beragam dengan menciptakan

lembaga dan mekanisme peradilan negara yang lebih

mudah dikontrol. Pada masa Republik Indonesia

Serikat, badan-badan peradilan yang ada seperti badan

peradilan umum tetap dipertahankan, termasuk juga

Peradilan Swapraja tetap dilanjutkan, kecuali

peradilan Swapraja di Jawa dan Sumatra telah

80

dihapuskan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun

1947. Pengadilan Adat tetap dipertahankan demikian

juga peradilan agama. Tetapi ketika kembali menjadi

Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun

1960, dilakukan upaya untuk mengontrol kekuasaan

yang lebih luas. Salah satunya dilakukan dengan

penghapusan terhadap sejumlah jenis peradilan

dilakukan dengan dikeluarkannya UU Darurat No. 1

tahun 1951 pada tanggal 13 Januari 1951, yang

mengatur mengenai tindakan-tindakan sementara

untuk menyelenggarakan kesatuan susunan,

kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil.

Melalui ketentuan ini dipertegas niatan untuk

mewujudkan unifikasi sistem peradilan. Undang-

undang ini berisi 4 hal pokok, yaitu: (1) Penghapusan

beberapa peradilan yang tidak lagi sesuai dengan

susunan negara kesatuan; (2) Penghapusan secara

berangsur-angsur peradilan swapraja di daerah-daerah

tertentu dan semua Pengadilan Adat; (3) Melanjutkan

81

peradilan agama dan peradilan desa, sepanjang

peradilan tersebut merupakan bagian yang tersendiri

atau terpisah dari Pengadilan Adat; Pembentukan

pengadilan negeri dan kejaksaan di tempat-tempat

dimana landgerecht dihapuskan; (4) Untuk

melaksanakan undang-undang ini terkait dengan

penghapusan Pengadilan Adat, pemerintah

mengeluarkan ketentuan-ketentuan untuk

menghapuskan pengadilan swapraja dan Pengadilan

Adat di Sulawesi, Lombok, Kalimantan, dan Irian

Barat. Untuk melaksanakan UU ini, terutama

penghapusan Pengadilan Adat, pemerintah

mengeluarkan ketentuan-ketentuan berikut5:

1. Melalui Peraturan Mentri Kehakiman tanggal

21 Agustus 1952 No. J.B.4/3/17 (TLN276),

dihapuskan pengadilan-pengadilan swapraja

dan Pengadilan Adat di seluruh Sulawesi.

5 Dominikus Rato, Hukum Adat, Laksbang Press Indo, Yogyakarta,

2011, h.121.

82

2. Melalui Keputusan Menteri Kehakiman

tanggal 30 September 1953 No.J.B.4/4/7

(TLN462) dihapuskan Pengadilan Adat di

seluruh Lombok.

3. Melalui Peraturan Menteri Kehakiman tanggal

21 Juni 1954 No. J.B.4/3/2 (TLN641) jo. Surat

Penetapan Menteri Kehakiman tanggal 18

Agustus 1954 No. J.B.4/4/20(TLN.642)

dihapuskan pengadilan swapraja dan

Pengadilan Adat di seluruh Kalimantan.

4. Melalui Peraturan Presiden No. 6 tahun 1966

dihapuskan Pengadilan Adat dan swapraja

serta dibentuk Pengadilan Negeri di Irian

Barat. Selanjutnya pada tahun 1964 keluar UU

No. 19 (LN. 1964 No. 107) tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini

menyebutkan bahwa peradilan di wilayah

Republik Indonesia adalah peradilan Negara

83

yang ditetapkan dengan undang-undang.

Undang-undang ini dicabut dan digantikan

oleh Undang-undang No. 14 tahun 1970 (LN.

1970 no. 74). Dalam Pasal 3 ayat (1),

disebutkan bahwa semua peradilan di wilayah

Republik Indonesia adalah peradilan negara

dan ditetapkan dengan undang-undang.

Di Pasal 39 Undang-Undang No. 14 Tahun

1970 disebutkan juga mengenai penghapusan

Pengadilan Adat dan swapraja yang dilakukan oleh

pemerintah. Dengan demikian, sejak hadirnya undang-

undang ini maka pengadilan swapraja dan peradilan

adat di Indonesia tidak diakui lagi. Ketentuan ini

merupakan wujud dari upaya untuk melakukan

unifikasi hukum yang melemahkan keberadaan

peradilan adat. Unifikasi sistem peradilan yang

dibangun oleh pemerintah republik didasarkan atas

dalih untuk mewujudkan kepastian hukum. Hal

nampak dalam setiap napas peraturan perundang-

84

undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah, yang tidak memberi ruang gerak kepada

peradilan adat untuk menunjukan nilai-nilai keadilan

substantifnya.6

Gawing lebih lanjut menyebutkan bahwa

penyeragaman dalam pembentukan, penerapan serta

penegakannya ini, semakin berdiri angkuh dengan

segala keadilan normatif yang terkandung di dalamnya

seperti yang terpancar dari setiap bunyi bab serta

Pasal-Pasal yang terkodifikasi dengan rapi.

Pemaksaan unifikasi yang mengharamkan

keberagaman di negara ini, sesungguhnya telah

merenggut peradilan adat dari habitat sesungguhnya

yaitu masyarakat adat. Sehingga kehancuran sistem

asli masyarakat adat terjadi hampir di semua

komunitas adat di negeri ini. Meskipun peradilan adat

telah dinyatakan dibubarkan melalui undang-undang,

keberadaan peradilan adat tidak pernah benar-benar

6 Laurensius Gawing, Peradilan Adat di Indonesia, CV Miswar,

Jakarta, 2006, h. 27.

85

mati. Di berbagai tempat peradilan adat masih menjadi

“primadona” masyarakat dalam menyelesaikan

perkara yang dihadapinya. Sejak masa reformasi,

banyak pemerintah daerah berupaya menjadi

pendukung bagi pelaksanaan peradilan adat dengan

merevitalisasi keberadaan peradilan adat. Hal itu

misalkan terjadi di Papua, Aceh, Sumatra Barat,

Sulawesi Tengah, Bali dan berbagai daerah lainnya.

Sehingga, penguatan yang dilakukan oleh pemerintah

melalui kebijakan dan peraturan daerah merupakan

langkah penting bagi pengakuan keberadaan peradilan

adat.7

Pengakuan keberadaan peradilan adat melalui

kebijakan dan peraturan daerah bukanlah merupakan

suatu pelanggaran terhadap undang-undang. Inisiatif

daerah ini perlu dipandang sebagai tuntutan zaman

atas diperlukannya penguatan peradilan adat. Bila

dahulu keberadaan peradilan adat diakui oleh

7Laurensius Gawing, Peradilan Adat di Indonesia, CV Miswar,

Jakarta, 2006, h. 28.

86

penguasa kolonial dan peraturan perundang-undangan

pada masa awal republik, sebelum kemudian

dihapuskan, sekarang trendnya adalah pengakuan

terhadap keberadaan peradilan adat melalui kebijakan

dan peraturan daerah. Trend inilah yang sedang

berlangsung di beberapa daerah dengan

memanfaatkan ruang terbuka dari desentralisasi

pemerintahan.

2. Peran Pengadilan Adat Bagi Masyarakat Hukum

Adat

a. Pengadilan Adat Sebagai Pemberi Keputusan

Terkait Hukum Adat

Kewenangan menyelenggarakan peradilan

desa adat atau peradilan adat di dalam lembaga

Pengadilan Adat adalah kewenangan dari Desa adat

sebagai komunitas masyarakat hukum adat dalam

Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 dimana desa asal

87

usul yang mempunyai kewenangan berdasarkan hak

asal usul yakni Hak Asasi Masyarakat adat tersebut.

Ada tujuh kewenangan desa adat berdasarkan

hak asal usul diatur dalam Pasal 103 Undang-Undang

No. 6 Tahun 2014 yang berbunyi: Kewenangan desa

adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 19 huruf a meliputi8:

1. Pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan

berdasarkan susunan asli

2. Pengaturan dan pengurusan ulayat atau

wilayah atau wilayah adat

3. Pelestarian nilai sosial budaya desa adat

4. Penyelesaian sengketa adat berdasarkan

hukum adat yang berlaku di desa adat dalam

wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi

manusia dengan mengutamakan penyelesaian

secara musyawarah

8 Pasal 19 Huruf a Undang-Undang No. 6 Tahun 2014.

88

5. Penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan

desa adat sesuai dengan ketentuan peraturan

perudangan-undangan

6. Pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban

masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat

yang berlaku di desa adat.

7. Pengembangan kehidupan hukum adat sesuai

dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa

adat.

Dari Pasal 103 diatas, terdapat beberapa hal

yang bisa dikaitkan dengan eksistensi hukum

Pengadilan Adat sebagai lembaga yang mengadili

segala perkara atau pelanggaran hokum adat, terutama

yang terdapat dalam rumusan Pasal 103 huruf a, d,

dan e. ini mengelaborasi hal-hal tersebut, yaitu

tentang: dasar kewenangan penyelenggaran peradilan

desa adat, fungsi pengadilan desa adat, kelembagaan

pengadilan desa adat, yurisdiksi Pengadilan Adat.

89

Dengan melihat Pasal 103 Undang-Undang

No. 6 Tahun 2014 huruf d dan e9 desa adat melekat

kewenangan untuk Pertama, menyelenggarakan

penyelesaian sengketa adat dan kedua, sidang

perdamaian peradilan desa adat. Pasal tersebut tidak

menjelaskan dengan jelas, kapan penyelesaian

sengketa adat dilakukan dan kapan perdamaian

peradilan desa adat dilakukan. Bila dilihat Pasal 103

huruf d yang menyebutkan Klausul: “penyelesaian

sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di

desa adat atau komunitas adat tersebut,” maka model-

model penyelesaian sengketa adat yang ada di desa

adat diakui, dan hukum adat adalah sumber hukum

dalam penyelesaian sengketa adat tersebut, sehingga

segala hal yang terkait dengan penyelesaian sengketa

adat berdasarkan hukum adat baik itu terkait jenis-

jenis sengketa adat, tata cara penyelesaian sengketa

adat, dan kelembagaan penyelesaian sengketa adat.

9 Pasal 103 d dan e Undang-Undang No. 6 Tahun 2014

90

Selanjutnya, Pasal 103 huruf d menyebutkan

bahwa penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum

adat “dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak

asasi manusia dan dengan mengutamakan

musyawarah,” sehingga, pertama, tata cara

penyelesaian sengketa adat mesti mengutamakan

musyawarah dan kedua, jenis-jenis sengketa adat, tata

cara penyelesaian sengketa adat dan hukum adat

sebagai sumber penyelesaian sengketa adat tidak

boleh bertentangan dengan hak asasi manusia. Namun,

Pasal ini tidak menyebutkan secara jelas, apa saja

unsur-unsur dalam penyelesaian sengketa adat yang

bertentangan dengan Hak Asasi Manusia.

Dalam penanganan sengketa adat ditingkat

kaum dilakukan dengan cara musyawarah untuk

mencapai mufakat yang dihadari oleh pihak-pihak

bersengketa dan pemangku adat kaum, sehingga cara

penyelesaian sengketanya mencari perdamaian dan

putusan Pengadilan Adat bersifat final. Tata cara

91

penyelesaian sengketa adat tetap mengutamakan cara

mencari perdamaian kedua belah pihak melalui

musyawarah untuk mufakat, namun apabila

perdamaian tidak dapat dihasilkan, maka pemangku

adat (penghulu) ditingkat nagari dapat memutus

perkara tersebut berdasarkan norma-norma hukum

adat.

Dari praktek Pengadilan Adat di atas terlihat

bahwa; berdasarkan hukum adat, Pengadilan Adat

bersifat mendamaikan dan juga memutus sengketa-

sengketa adat. Bila dikaitkan dengan rumusan Pasal

103 huruf d, maka klausul yang menyebutkan

“penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat

adalah” dapat dijelaskan sebagai: pertama,

kewenangan untuk memutus sengketa adat

berdasarkan hukum adat dan kedua, kewenangan

mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat.

Selanjutnya, kewenangan mendamaikan sengketa adat

selaras dengan Pasal 103 huruf e tentang pengaturan

92

kewenangan desa adat dalam melaksanakan sidang

perdamaian peradilan adat.

b. Pengadilan Adat Sebagai Penafsir Hukum Adat

Pengadilan Adat adalah pengadilan yang juga

memiliki kewenangan atau peran terkait penafsiran

aturan-aturan adat atau hukum adat yang berlaku di

lingkungan masyarakat hukum adat. Sehingga apabila

ada permasalahan-permasalahan terkait pelanggaran

hukum adat, maka Pengadilan Adat yang merupakan

bagian dari lembaga adat dimana struktur didalamnya

ada hakim adat yang terdiri dari orang yang dituakan

dilingkungan adat atau para pemimpinan adat seperti

raja atau kepala adat.

Pengadilan Adat melalukan penafsiran aturan-

aturan adat atau hukum adat yang bersumber dari

aturan-aturan terkait tingkah laku yakni hukum adat

dalam menyelesaikan sengketa atau pelanggaran yang

berada dilingkungan masyarakat hokum adat. Disini

Pengadilan Adat dipandang sebagai komponen

93

penting dalam sistem kemasyarakatan dalam

mendistribusikan keadilan.10

Peran penting Pengadilan Adat dalam

menafsir aturan-aturan yang berlaku dilingkungan

masyarakat hukum adat dalam mendistribusikan

keadilan dengan tujuan pengendalian sosial sangat

dibutuhkan. Dibutuhkannya Pengadilan Adat dalam

menafsirkan aturan-aturan hukum adat dalam rangka

masyarakat adat dapat mematuhi aturan-aturan adat

yang telah disepakati didalam lingkungan masyarakat

hukum adat. Pengendalian sosial merupakan suatu

mekanisme untuk mencegah terjadinya penyimpangan

sosial11

dengan kata lain mencegah terjadi pelangaran-

pelanggaran terhadap aturan-aturan adat sehingga

dapat mengarahkan masyarakat hukum adat untuk

berprilaku atau bersikap sesuai dengan aturan-aturan

yang berlaku dilingkungan masyarakat hukum adat.

10

Arfan Faiz Muhzili, Bantuan Hukum Melalui Mekanisme Nonlitigasi

Sebagai Saluran Penguatan Peradilan Informal Bagi Masyarakat Adat. Jurnal

Rechtvinding, Jakarta, 2013. h.28 11

A.Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat,Prenadamedia Grup, Jakarta, 2014,

h. 95.

94

Dalam kehiudpan sehari-hari apabila masyarakat

hukum adat dapat menataati aturan-aturan adat yang

berlaku akan dapat dipastikan bahwa kehidupan

masyarakat hukum adat akan lancar dan tertib.

c. Pengadilan Adat Sebagai Lembaga

Membahas Pengadilan Adat tidak akan

terlepas dari Lembaga Adat. Lembaga Adat

merupakan kata yang berasal dari gabungan antara

kata lembaga dan kata adat. Kata lembaga dalam

bahasa Inggris disebut dengan institution yang berarti

pendirian, lembaga, adat dan kebiasaan. Dari

pengertian literatur tersebut, lembaga dapat diartikan

sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola

perilaku manusia yang mapan terdiri dari interaksi

sosial yang memiliki struktur dalam suatu kerangka

nilai yang relevan. Sehingga lembaga adat adalah pola

perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari

interaksi sosial yang memiliki struktur dalam suatu

kerangka nilai adat yang relevan. Menurut ilmu

95

budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk

organisasi adat yang tersusun relatif tetap atas pola-

pola kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi yang

terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas

formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya

kebutuhan-kebutuhan dasar.

Lembaga Adat berfungsi bersama pemerintah

merencanakan, mengarahkan, mensinergikan program

pembangunan agar sesuai dengan tata nilai adat

istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang

dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan,

keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan

masyarakat. Selain itu, Lembaga adat berfungsi

sebagai alat kontrol keamanan, ketenteraman,

kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif

maupun represif, antara lain menyelesaikan masalah

sosial kemasyarakatan dan penengah (Hakim

Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul di

masyarakat

96

Pengadilan Adat yang juga tidak akan terlepas

dari komunitas masyarakat adat atau desa adat adalah

quasi – negara yang menjalankan kewenangan

pemerintahan desa, sekaligus menjalankan

kewenangan berdasarkan hak asal usul. Desa adat

adalah perpaduan sistem pemerintahan modern

dengan tradisional, sehingga dalam konteks tersebut,

kelembagaan desa adat dalam derajat tertentu dapat

mengadopsi kelembagaan tradisional.

Terkait dengan kelembagaan Pengadilan Adat

adalah bagian dari kelembagaan tradisional desa adat

yang dalam definisi hukum disebut dengan “susunan

asli”. Maka, kelembagaan Pengadilan Adat

merupakan pengadilan yang hidup dalam praktek

sehari-hari di desa adat (masyarakat hukum adat).

Posisi Undang-Undang Desa adalah mengakui

keberadaan kelembagaan pengadilan desa adat

tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 103 huruf a yang

menyebutkan bahwa; “pengaturan dan pelaksanaan

97

pemerintahan oleh desa adat berdasarkan susunan

asli.” Susunan asli sendiri dalam penjelasan Pasal 103

huruf a adalah: sistem organisasi kehidupan

masyarakat adat yang dikenal di wilayah-wilayah

masing-masing. Dengan merujuk rumusan Pasal 103

huruf a dan dikaitkan dengan Pasal 103 d & e, maka

kelembagaan pengadilan desa adat adalah Pengadilan

Adat yang dikenal oleh masyarakat hukum adat, baik

yang berfungsi memutus, maupun yang berfungsi

mendamaikan sengketa adat berdasarkan hukum adat.

Artinya, Pengadilan-pengadilan yang dikenal oleh

masyarakat hukum adat itulah yang kemudian diakui

menjadi pengadilan desa adat dalam rumusan Undang-

Undang ini.

Dengan demikian setelah membahas peran

Pengadilan Adat bagi masyarkat hukum adat memiliki

arti penting didalam keberlangsungan kehidupan yang

harmonis didalam lingkungan masyarkat hukum adat.

Melihat peran Pengadilan Adat sebagi penafsir hukum

98

adat, sekaligus sebagai pemberi keputusan terkait

dengan permaslahan-permasalahan adat dan sekaligus

sebagai lembaga yang mampu mendistribusikan

keadilan bagi masyarakat hukum adat, maka dapat

disimpulkan masyarakat hukum adat tanpa Pengadilan

Adat akan banyak timbul kekacauan.

Peran penting Pengadilan Adat sebagai

pemberi keputusan dan penafsir aturan-aturan hukum

adat dalam rangka pengendalian sosial dilingkungan

masyarakat hukum adat sesuai dengan penjelasan

Prof. Koentjaraningrat menyebutkan sekurang-

kurangnya ada lima macam pengendalian sosial,

yaitu12

:

1. Mempertabal masyarakat tentang kebaikan

norma

2. Memberikan imbalan kepada warga yang

mentaati norma

3. Mengembangkan rasa malu

12

A.Suriyaman Mustari Pide, Hukum Adat, Prenadamedia Grup,

Jakarta, 2014, h. 96.

99

4. Mengembangkan rasa takut

5. Menciptakan sistem hukum

Terkait dengan hal ini maka masyarakat

hukum adat dapat mengerti makna atau tujuan baik

dari aturan-aturan adat, masyarakat hukum adat akan

memiliki rasa malu dan takut apabila melakukan

pelanggaran terhadap aturan-aturan yang berlaku.

Pengadilan Adat merupakan lembaga yang berada di

lingkungan masyarakat hukum adat dalam

menciptakan kepastian hukum dalam rangka memberi

rasa keadilan dimana pengadilan memiliki fungsi

sebagai penafsir aturan-aturan hukum adat sekaligus

pemberi keputusan terkait permasalahan-

permasalahan adat.