BAB II Antimalaria
Transcript of BAB II Antimalaria
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemanfaatan Tanaman dalam Prespektif Islam Bagi Makhluk-Nya
Tumbuhan merupakan salah satu dari ciptaan Allah SWT yang banyak
memberikan manfaat kepada manusia. Dalam Alqur’an banyak menyebutkan
tentang tumbuh-tumbuhan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Sebagaimana
Firman Allah dalam QS. Thaha : 53
“Yang telah menjadikan bagimu bumi sebagai hamparan dan yang Telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan dan menurunkan dari langit air hujan. Maka kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam (QS. Thaha : 53).
Menurut Shihab (2002: 318) dalam tafsir Al-Mishbah bahwa aneka
tumbuhan dengan bermacam-macam jenis bentuk dan rasanya itu merupakan hal-
hal yang sungguh menakjubkan lagi membuktikan betapa agung penciptanya.
Setiap macam tumbuhan diciptakan Allah untuk kemaslahatan umat manusia,
diantaranya sebagai salah satu sumber pangan bagi manusia dan dapat dipetik
hasilnya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Manfaat tumbuhan ini salah
satunya digunakan sebagai tanaman obat.
Manfaat segala macam jenis tumbuhan yang diciptakan oleh Allah ini
merupakan bentuk kekuasaan dan kebesaran Allah SWT terhadap makhluknya
dimana semuanya dapat dimanfaatkan oleh manusia jika manusia itu mau berfikir.
Kekuasaan Allah dalam tumbuh-tumbuhan terlihat pada modifikasi tumbuh-
11
12
tumbuhan sesuai dengan berbagai kondisi lingkungan. Semua tumbuhan memiliki
susunan dan bentuk luar yang berbeda dengan tumbuhan lain. Setiap tanaman
yang ditumbuhkan oleh Allah tentunya memiliki kegunaan yang berbeda-beda
(Iva, 2006). Hal ini tersirat dalam firman Allah SWT dalam Alqur’an surat asy
Syu’ara ayat 7 :
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?” (QS. Asy- Syu’ara: 7)
Tumbuhan yang baik adalah tumbuhan yang subur dan bermanfaat
(Shihab, 2002). Menurut Savitri (2008) tumbuhan yang baik dalam hal ini adalah
tumbuhan yang bermanfaat bagi makhluk hidup termasuk tumbuhan yang dapat
digunakan sebagai pengobatan. Tumbuhan yang bermacam-macam jenisnya dapat
digunakan sebagai obat berbagai penyakit dan ini merupakan anugrah dari Allah
SWT yang harus dipelajari dan dimanfaatkan, tidak terkecuali tanaman bunga
matahari yang dikenal sebagai tanaman hias. Tanaman bungan matahari ini dapat
dimanfaatkan sebagai tanaman obat, seperti halnya sabda Nabi Muhammad SAW
dalam HR. Ibnu Majah (Farooqi, 2005):
“Allah tidak menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan pula obat untuknya.
Barang siapa mengerti hal ini, ia mengetahuinya dan barang siapa tidak mengerti
hal ini, ia tidak mengetahuinya kecuali kematian.” (HR. Ibnu Majah).
Penjelasan hadits tersebut menunjukkan bahwa Allah Maha Adil dimana
apabila diciptakan suatu penyakit maka diciptakan beserta obatnya. Hal itu akan
diketahui apabila manusia mau berfikir. Allah SWT menciptakan manusia dengan
sebaik-baiknya bentuk. Manusia dibekali otak untuk memikirkan apa-apa yang
13
telah diciptakan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan hidupnya. Dengan
memikirkan segala sesuatu yang apa telah diciptakan oleh Allah ini maka akan
timbul suatu ilmu. Ilmu pengetahuanlah yang akan menuntun manusia untuk
menemukan obat-obatan dari suatu penyakit. Jika manusia tidak pernah berfikir
dan mengembangkan ilmu pengetahuan maka tidak akan pernah tahu bahwa Allah
telah menciptakan berbagai macam tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai
obat. Terdapat berbagai obat yang telah tersedia di alam dan seringkali disebut
dengan tanaman herbal termasuk tanaman bunga matahari.
2.2 Tanaman Bunga Matahari (Helianthus Annuus L.)
Bunga Matahari (Helianthus Annuus L.) berasal dari Amerika Utara, yang
ditanam pada awal abad ke 16 untuk dipakai sebagai bahan makanan lembu dan
makanan ayam. Kemudian secara besar-besaran telah di tanam di USSR dan
Eropa Timur untuk mendapatkan minyaknya. Sekarang Helianthus Annuus
merupakan tanaman kosmopolit yang banyak terdapat di Eropa, Kanada,
Amerika, Meksiko, India. Di Indonesia bunga matahari banyak ditemukan sebagai
tanaman hias. Petani Sunda biasa menanamnya di pinggir ladang atau melintasi
tengah ladang untuk menolak hama dan penyakit tanaman (Sundararaj et al., 1976
dan Simpson et al., 1986).
Bunga matahari (Helianthus Annuus L.) termasuk ke dalam famili
Compositae yang berasal dari Amerika Utara (Hoflands, 1990). H. Annuus
berhabitus perdu dan memiliki kelenjar-kelenjar minyak (Tjitrosoepomo, 1988).
Tanaman ini bersifat protandus yaitu benang sari masak terlebih dahulu sebelum
14
putiknya sehingga tanaman ini dibudidayakan dengan cara penyilangan antar
varietas dengan bantuan serangga penyerbuk (Satyanaraya, 1982).
Gambar 2.1 Bunga Matahari (Helianthus annus L.)
Pada tahun 1919, di tanam di Jawa. Tanaman ini subur di daerah
pegunungan, daerah yang memiliki kelembaban cukup dan banyak mendapatkan
sinar matahari langsung. Pohonnya tumbuh didataran rendah sampai ketinggian
1.500 meter di atas permukaan laut.
Banyak orang yang menganggap tanaman herba anual berumur pendek ini
sebagai tanaman hias saja. Karena bentuk dan warna bunganya sangat menarik
hati dan indah dipandang mata. Namun ada juga yang memanfaatkannya sebagai
obat tradisional. Tanaman ini merupakan tanaman Herba annual (umumya
pendek, kurang dari setahun), tegak, berbulu, tinggi 1-3 m, ditanam pada halaman
dan taman-taman yang cukup mendapat sinar matahari, sebagai tanaman hias.
Termasuk tanaman berbatang basah, daun tunggalberbentuk jantung, bunga
besar/bunga cawan, dengan mahkota berbentuk pita disepanjang tepi cawan,
berwarna kuning, dan di tengahnya terdapat bunga-bunga yang kecil berbentuk
tabung, warnanya coklat.
15
2.2.1 Klasifikasi Umum Bunga Matahari
Menurut Cronquist (1981), Helianthus annuus diklasifikasikan sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Subclassis : Asterid
Ordo : Asterales
Familia : Compositae
Genus : Helianthus
Species : Helianthus annuus
2.2.2 Morfologi Bunga Matahari
Helianthus annuus adalah tumbuhan yang hidup satu tahun, tumbuh tegak
dengan tinggi 1,5-6 m. Batang herbaceus, diameter batang 2,5-7,5 cm, kasar
berbulu, biasanya tanpa cabang, tetapi kadang-kadang bercabang pada ujungnya.
Daun berbentuk alternatus, kedua permukaan kasar, dan tepi daun bergerigi
dengan tangkai daun panjang 5-25 cm dan lebar 2-3 cm. Daun tunggal, berwarna
hijau muda sampai hijau tua, tumbuh berselang seling berhadapan pada batang.
Bunga biasanya terdiri atas satu bunga dalam setiap batang dan terlwtak pada
ujung batang. Bunga besar seperti mangkok, diameter 10-50 cm dengan mahkota
bunga berjumlah 40-80, berwarna kuning terang dengan bunga pinggir berwarna
coklat atau hitam. Biji terdiri atas kulit biji, testa, daging biji dan kotiledon. Kulit
16
biji biasanya berwarna hitam atau kelabu dengan strip (bilur) hitam atau coklat
(Simpson et al., 1986).
2.2.3 Kegunaan
Berdasarkan IPTEKnet (2011), menyebutkan bahwa seluruh Seluruh
bagian tanaman dari bunga matahari ini dapat digunakan, untuk penyimpanannya
pun sangat mudah, yaitu dapat dengan cara dikeringkan. Adapun manfaat dari
masing-masing tanaman adalah sebagai berikut:
Bunga: Tekanan darah tinggi, mengurangi rasa nyeri pada sakit kepala,
pusing sakit gigi, nyeri menstruasi (dysmenorrhoe), nyeri lambung
(gastric pain), radang payudara (mastitis), rheumatik (arthritis), sulit
melahirkan.
Biji : Tidak nafsu makan, lesu, disenteri berdarah, merangsang
pengeluaran rash (kemerahan) pada campak, sakit kepala.
Akar : Infeksi saluran kencing, radang saluran nafas (bronchitis), batuk
rejan (pertussis), keputihan (leucorrhoe).
Daun : Malaria.
Menurut Simpson et al., 1986, batang bunga matahari memiliki banyak
serat kulit dan mempunyai jaringan yang diduga sebagai pemberi energi. Serat
dan jaringan lunak, serta rapuh, banyak digunakan untuk membuat tali, kertas,
tekstil dan juga sering digunakan untuk bahan bakar. Biji bunga matahari
mempunyai tepung yang memiliki nutrisi tinggi dan dipakai dalam pembuatan roti
atau minyak makanan. Kulit biji dipakai sebagai campuran makanan ternak dan
17
juga sebagai bahan bakar. Biji juga dipakai sebagai diuretik dan pengobatan
penyakit saluran nafas.
2.2.4 Kandungan Kimia
Morrison (Copeland, 1976) menyatakan bahwa presentase terbesar dari
senyawa kimia yang terkandung dalam biji H. Annuus adalah lipid dan protein.
Masing-masing 25,9 persen dan 16,8 persen.
Kandungan kimia dalam bunga matahari adalah sebagai berikut:
Daun: siskuiterpen lakton (Franscisco, 1996), monoterpen (Ceccarinia,
2004 dan Verma, 2008), diterpen (Franscisco, 2008), alkaloid dan fenol (Spring,
et.al. 1982). Bunga: triterpen (Ukiya, 2007) dan saponin (Chirva et.al, 1968). Biji:
tanin (Catherine, 2011), polifenol (Kenneth et.al, 1970 dan Sripat et.al, 1982) dan
asam lemak (Peireti, 2011 dan Qasim et.al, 2009)
Fifendi (1997) telah mengkaji daun bunga matahari sebagai anti demam
berdarah dengan pengaruh ekstraknya yang diisolasi menggunakan pelarut
metanol terhadap aides aigepty. Berdasarkan penelitiannya, daun bunga matahari
yang diisolasi dengan metanol mengandung golongan senyawa seperti alkaloid,
minyak atsiri, kumarin yang salah satunya juga bisa dijadikan sebagai antimalaria.
2.3 Malaria
2.3.1 Deskripsi Malaria
18
Penyakit malaria adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit malaria,
yang merupakan suatu protozoa darah termasuk :
Filum : Apicomplexa
Klas : Sporozoa
Sub klas : Cocidiidae
Ordo : Eucoccidiidae
Sub ordo : Haemosporidiidae
Familia : Plasmodiidae
Genus : Plasmodium
Genus plasmodium secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) sub genus yaitu
sub genus plasmodium dengan spesies yang menginfeksi manusia adalah
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae, sub genus
laverania dengan spesies yang menginfeksi manusia adalah Plasmodium
falciparum dan sub genus vinckeia yang hanya menginfeksi kelelawar dan
binatang pengerat lainnya (Depkes, 1999).
Definisi penyakit malaria menurut World Health Organization (WHO)
adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit malaria (plasmodium) bentuk
aseksual yang masuk ke dalam tubuh manusia yang ditularkan oleh nyamuk
malaria (Anopheles spp) betina. Definisi penyakit malaria lainnya adalah suatu
jenis penyakit menular yang disebabkan oleh agent tertentu yang infektif dengan
perantara suatu vektor dan dapat disebarkan dari suatu sumber infeksi kepada
host. Penyakit malaria termasuk salah satu penyakit menular yang dapat
19
menyerang semua orang, bahkan mengakibatkan kematian terutama yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium falciparum (Depkes, 2003).
Malaria adalah suatu penyakit protozoa dari genus Plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina (Zein, 2005). Malaria berasal
dari bahasa Italia; mala yang berarti buruk dan Aria yang berarti udara. Jadi
malaria dapat didefinisikan sebagai penyakit infeksi dengan demam berkala yang
disebabkan oleh parasit Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk
Anopheles betina. Berbeda dengan nyamuk biasa Culex, nyamuk ini khususnya
menggigit pada malam hari pada posisi yang khas, yakni dengan bagian
belakangnya menuju keatas (Tjay dan Rahardja, 2000).
2.3.2 Epidemiologi
Di daerah mana saja yang terdapat suhu yang sesuai, yaitu melebihi isotherm
16°C, serta terdapat koeksistensi manusia dan nyamuk Anopheles sp, maka
terdapat faktor risiko untuk penularan malaria. Kelima-lima parasit Plasmodium
yang bisa menginfeksi manusia terdistribusi di tempat geografis yang berbeda.
Plasmodium falciparum paling sering ditemui di Afrika Sub-Sahara dan
Melanesia; Plasmodium vivax pula ditemui di Amerika Sentral, Amerika Selatan,
Afrika Utara, Timur Tengah, dan subkontinen India; Plasmodium Ovale ditemui
hampir secara eksklusif di Afrika Barat; Plasmodium malariae bisa ditemui di
seluruh dunia walaupun terkonsentrasi di Afrika dan Plasmodium knowlesi yang
sejak kebelakangan ini didokumentasikan di beberapa kepulauan Bornea serta di
beberapa daerah Asia Tenggara (Roe & Pasvol, 2009).
20
2.3.3 Penularan Penyakit Malaria
Secara umum penyebaran penyakit malaria sangat dipengaruhi oleh tiga
faktor yang saling mendukung yaitu host, agent dan environment sesuai teori The
Traditional (Ecological) Model yang dikemukakan oleh Dr.John Gordon (Kodim,
1999).
2.3.3.1 Faktor Host (Manusia dan Nyamuk)
Host pada penyakit malaria terbagi atas dua yaitu Host Intermediate
(manusia) dan Host Definitif (nyamuk). Manusia disebut sebagai Host
Intermediate (penjamu sementara) karena di dalam tubuhnya terjadi siklus
aseksual parasit malaria. Sedangkan nyamuk Anopheles spp disebut sebagai Host
Definitif (penjamu tetap) karena di dalam tubuh nyamuk terjadi siklus seksual
parasit malaria (Depkes, 1999).
1. Host intermediate
Pada dasarnya setiap orang dapat terinfeksi oleh agent biologis
(Plasmodium), tetapi ada beberapa faktor intrinsik yang dapat memengaruhi
kerentanan host terhadap agent yaitu usia, jenis kelamin, ras, riwayat malaria
sebelumnya, gaya hidup, sosial ekonomi, status gizi dan tingkat immunisasi.
2. Host definitif
Host definitif yang paling berperan dalam penularan penyakit malaria dari
orang yang sakit malaria kepada orang yang sehat adalah nyamuk Anopheles spp
betina. Hanya nyamuk Anopheles spp betina yang menghisap darah untuk
pertumbuhan telurnya. Host definitif ini sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu
21
perilaku nyamuk itu sendiri dan faktor-faktor lain yang mendukung (Depkes,
1999).
2.3.3.2 Faktor Agent (Plasmodium)
Pada tahun 1880 Charles Louis Alphonso Laveran di Al Jazair menemukan
parasit malaria dalam darah manusia. Selanjutnya pada tahun 1886 Golgi di Italia
menemukan Palasmodium vivax dan Plasmodium malariae, serta pada tahun 1890
Celli dan Marchiava menemukan Plasmodium falciparum (Pribadi, 1994). Parasit
malaria yang terdapat pada manusia ada empat spesies yaitu :
1. Plasmodium falciparum penyebab malaria tropika yang menyebabkan malaria
berat.
2. Plasmodium vivax penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae penyebab malaria quartana.
4. Plasmodium ovale spesies ini banyak dijumpai di Afrika dan Fasifik Barat
(Depkes, 1999).
Infeksi pada manusia diawali dari gigitan nyamuk betina dengan
memasukkan sporozoit yang ada di dalam air liurnya ke dalam aliran darah
sewaktu mengisap darah. Dalam waktu 2 jam sporozoit akan menuju hati dan
masuk ke dalam hepatosit. Setelah 1-2 minggu sporozoit akan mengalami
reproduksi aseksual berupa proses skizogoni atau proses pemisahan yang akan
menghasilkan 10 – 3000 merozoit. Kemudian merozoit akan dikeluarkan dari sel
hati dan selanjutnya akan menginfeksi darah (Wellem dan Miller, 2003).
Merozoit hasil pembentukan eksoeritrositer ini mempunyai jangka hidup
yang singkat dan harus segera masuk ke dalam eritrosit, karenanya merozoit ini
22
dapat bergerak/bersifat motil. Sewaktu merozoit ini dilepaskan dari hepatosit ke
dalam darah, dimulailah proses skizogoni eritrositik, atau reproduksi aseksual
stadium darah P. falciparum akan menginfeksi semua stadium eritrosit sehingga
dapat menginfeksi 10% - 40% dari jumlah eritrosit (Harijanto, 2000).
Penelitian ini menggunakan P. berghei sebagai parasit. Plasmodium
berghei merupakan salah satu spesies malaria yang menyerang mamalia selain
manusia, dan spesies ini adalah salah satu dari empat (4) spesies yang menyerang
rodensia di Afrika Barat. Parasit ini merupakan subyek yang praktis untuk
penelitian dan percobaan mengenai parasit mamalia serta terbukti analog dengan
malaria manusia pada segi-segi penting dari struktur, fisiologi, dan siklus hidup
(Kusumawati, dkk., 2008).
Alasan penggunaan Plasmodium berghei sebagai model penelitian
dikarenakan, yaitu (Rehena, 2011):
1. Plasmodium berghei belum pernah ditemukan dapat menyebabkan malaria
pada manusia dan dalam penelitian laboratorium umumnya ditularkan melalui
suntikan darah hewan pengerat terinfeksi ke hewan pengerat lainnya.
2. Plasmodium berghei memiliki kesamaan morfologi dengan parasit malaria
pada manusia.
3. Plasmodium berghei juga memiliki kesamaan protein permukaannya yang
berperan dalam invasi sel darah merah.
2.3.3.3 Faktor Lingkungan (Environment)
23
Faktor lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan dimana manusia dan
nyamuk berada yang memungkinkan terjadinya penularan malaria setempat
(indigenous), lingkungan tersebut terbagi atas lingkungan fisik, lingkungan kimia,
lingkungan biologik dan lingkungan sosial budaya.
1. Lingkungan fisik : meliputi suhu, kelembaban, hujan, ketinggian, angin, sinar
matahari dan arus air.
2. Lingkungan kimia : meliputi kadar garam yang cocok untuk
berkembangbiaknya
nyamuk Anopheles sundaicus.
3. Lingkungan biologik : adanya tumbuhan, lumut, ganggang, ikan kepala timah,
gambusia, nila sebagai predator jentik Anopheles spp, serta adanya ternak sapi,
kerbau dan babi akan mengurangi frekuensi gigitan nyamuk pada manusia.
4. Lingkungan sosial budaya : meliputi kebiasaan masyarakat berada di luar
rumah, tingkat kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyakit malaria dan
pembukaan lahan dengan peruntukannya yang memengaruhi derajat kesehatan
masyarakat dengan banyak menimbulkan breading places potensial untuk
berkembangbiaknya nyamuk Anopheles spp (Depkes, 2003).
2.3.4 Siklus Hidup Plasmodium
Siklus hidup Plasmodium terjadi pada tubuh nyamuk dan manusia.
Siklus seksual parasit malaria berkembang di darah manusia yang telah
terinfeksi. Nyamuk Anopheles sp. betina akan terinfeksi setelah menggigit orang
yang darahnya mengandung gametosit. Siklus perkembangan Plasmodium dalam
24
nyamuk berkisar 7-20 hari, dan akhirnya berkembang menjadi sporozoit yang
bersifat infektif. Sporozoit ini yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan
kemudian akan ditransmisi kepada manusia lainnya apabila digigit oleh nyamuk
yang terinfeksi ini. Nyamuk Anopheles yang terinfeksi ini akan bersifat infektif
sepanjang hidupnya.
Sporozoit yang telah diinokulasi pada manusia akan bermigrasi kepada
hati dan bermultiplikasi dalam hepatosit sebagai merozoit. Setelah beberapa hari,
hepatosit yang terinfeksi akan ruptur dan melepaskan merozoit ke dalam darah di
mana mereka akan menginfeksi eritrosit. Parasit akan multiplikasi dalam eritrosit
sekali lagi dan berubah dari merozoit kepada trofozoit, skizont, dan akhirnya
muncul sebagai 8-24 merozoit yang baru. Eritrosit akan pecah, dan melepaskan
merozoit untuk menginfeksi sel-sel yang lain. Setiap siklus dari proses ini, yang
dikenali sebagai skizogoni eritrositik, akan berlangsung selama 48 jam pada
Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum dan 72 jam pada
Plasmodium malariae. Dengan setiap siklus ini, parasit akan bertambah secara
logaritmik dan setiap kali sel-sel ruptur akan terjadi serangan klasik demam yang
intermiten. (Finch, R.G. et al, 2005; Bradley, 1998).
2.3.5 Resistensi Obat Antimaria
Resistensi obat malaria adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus
hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit
meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standart
maupun dengan dosis yang lebih tinggi dan masih bisa ditolerir oleh pemakai
25
obat. Mekanisme terjadinya resistensi obat belum diketahui dengan pasti tetapi
diduga resistensi terjadi karena mutasi gen dan mutasi gen ini terjadi karena
tekanan obat atau penggunaan obat dalam dosis subkuratif.
Pada umumnya bila terjadi resistensi terhadap suatu obat malaria akan
diikuti dengan resistensi obat malaria lainnya, karena diduga mekanisme resistensi
obat kloroquin sama dengan obat malaria lainnya. Resistensi terjadi karena mutasi
gen dan mutasi gen terjadi karena tekanan secara terus-menerus. Akibat mutasi
parasit tetap hidup dalam jalur metabolime lain sehingga terhindar dari pengaruh
obat. Resistensi terhadap obat kloroquin mutasi terjadi multigenik sehingga
resistensi terjadi secara perlahan-lahan.
Di Indonesia resistensi Plasmodium falciparum terhadap kloroquin
pertama kali dilaporkan di Samarinda pada tahun 1974, kemudian resistensi ini
terus menyebar dan pada tahun 1996 kasus-kasus malaria yang resistensi
kloroquin sudah ditemukan diseluuh propinsi di Indonesia. Resistensi
Plasmodium falciparum terhadap sulfadoxin-pirimetamin pertama kali dilaporkan
oleh Hutapea pada 9 kasus di Irian Jaya, kemudian Rumans dkk melaporkan
adanya 1 kasus malaria impor yang resistensi sulfadoxin-pirimetamin yang
berasal dari Irian Jaya, yang mana sebelumnya daerah itu telah dinyatakan
resistensi trhadap kloroquin pada tahun 1981 (Tarigan, 2003).
2.4 Hewan Uji
26
Penelitian terdahulu menjelaskan penggunaan hewan uji untuk penelitian
malaria menggunakan mencit sebagai hewan uji yang paling sesuai. Taksonomi
mencit adalah sebagai berikut (Anggonowati, 2008):
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Subfamili : Murinae
Genus : Mus
Spesies : Mus Musculus
Sundari dkk (1997) menyatakan beberapa keunggulan hewan pengerat
(Mencit) dapat dijadikan model penelitian malaria adalah:
a. Dasar biologi dari parasit pada manusia dan hewan pengerat adalah sama
b. Terdapat kesamaan karakteristik antara parasit pada manusia dan parasit pada
hewan pengerat dalam hal dasar molekuler sensitivitas dan resistensi obat
c. Terdapat analogi dari organisasi genom dan genetika antara parasit pada
manusia dan pada hewan pengerat.
d. Pada mencit yang diinfeksikan malaria diperoleh derajat parasitemia yang lebih
tinggi daripada binatang tikus dan hamster.
e. Cara pemeliharaannya lebih mudah.
2.5 Ekstraksi kesenyawaan Antimalaria
27
Beberapa senyawa metabolit sekunder telah terbukti bermanfaat sebagai
antimalaria. Senyawa-senyawa ini dapat digolongkan dalam tujuh golongan besar
yaitu alkaloid, quassinoid, seskuiterpen, triterpenoid, flavonoid quinon dan
senyawaan miscellaneous (Saxena et al, 2003).
Senyawa antimalaria tertua (tahun 1820) untuk mengobati demam malaria
adalah kulit pohon kina (Cinchona succirubra) dan alkaloid yang dikandungnya,
senyawa lain yang berkhasiat antimalaria dari tanaman adalah artemisinin dari
tumbuhan artemisia annua yang berasal dari cina yang dikenal sebagai qinghaosu
(Tjay dan Rahardja, 2000).
Senyawaan antimalaria di atas dapat diisolasi dengan pelarut yang sesuai
dengan sifat kepolaran. Hal ini disebut sebagai ekstraksi.
Ekstraksi merupakan proses penarikan, pemisahan, atau pengeluaran suatu
komponen campuran dari campurannya. Biasanya menggunakan pelarut yang
sesuai dengan komponen yang diinginkan, cairan pemisahan, dan kemudian
diuapkan sampai pada kepekatan tertentu (Mulyono, 2006).
Dalam metode ekstraksi bahan alam, dikenal suatu metode maserasi yaitu
perendaman. Maserasi adalah proses penyarian simplisa menggunakan pelarut
dengan perendaman dan beberapa kocokan atau pengadukan pada tempetarur
ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam
rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan
konsentrasi larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel maka larutan terpekat
didesak keluar. Proses ini berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi
antara larutan di dalam dan di luar sel. Proses maserasi sangat menguntungkan
28
dalam isolasi senyawa bahan alam karena selain murah dan mudah dilakukan,
dikhawatirkan beberapa senyawa yang terkandung dalam tanaman rosela
merupakan senyawa yang tidak tahan terhadap panas, sedangkan kerugian dari
ekstraksi maserasi sendiri adalah waktu pengerjaannya yang lama (Guanther,
1987).
Pelarut yang sering digunakan untuk mengisolasi bahan alam pada
senyawa polar yakni dengan cara ekstraksi maserasi menggunakan pelarut yang
polar juga yakni pelarut etanol.
2.5.1 Flavonoid
Senyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol yang
mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan
menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-
senyawa flavonoid adalah senyawa 1,3 diaril propana, senyawa isoflavonoid
adalah senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa neoflavonoid
adalah 1,1 diaril propana.
Istilah flavonoid diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang
berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu
jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom
karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada
tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon
adalah bentuk yang mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah
29
dan dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-
senyawa ini. (Manitto, 1981)
Gambar 2.2 Struktur Senyawa Flavonoid
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil yang tak tersulih atau suatu gula, sehingga akan larut dalam pelarut polar
seperti etanol, metanol, butanol, aseton, dimetilsulfoksida, dimetilformamida, dan
air. Adanya gula yang terikat pada flavonoid cenderung menyebabkan flavonoid
lebih mudah larut dalam air dan dengan demikian campuran pelarut di atas dengan
air merupakan pelarut yang lebih baik untuk glikosida. Sebaliknya, aglikon yang
kurang polar seperti isoflavon, flavanon, dan flavon serta flavonol yang
termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam pelarut seperti eter dan
kloroform (Markham, 1988).
Fitria dkk. (2009) mengisolasi flavonoid dari buah tumbuhan mempelas
menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan diklorometana. Jimmy dkk.
(2002) mengisolasi flavonoid dari kulit batang rengas menggunakan pelarut
nheksana.
2.5.2 Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuh-
30
tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid
mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan
dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik
(Achmad, 1986). Penggolongan alkaloid dilakukan berdasarkan sistem cincinnya,
misalnya piridina, piperidina, indol, isokuinolina, dan tropana. Senyawa ini
biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai senyawa organik dan
sering ditangani di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan
asam sulfat (Robinson, 1995).
NH
Gambar 2.3 Contoh Struktur Senyawa Alkaloid (Robinson, 1995)
Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstrasi bahan tumbuhan
memakai asam yang melarutkan alkaloid sebagai garam, atau bahan tumbuhan
dapat dibasakan dengan natrium karbonat dan sebagainya lalu basa bebas
diekstraksi dengan pelarut organik seperti kloroform, eter, dan sebagainya.
Beberapa alkaloid jadian/sintesis dapat terbentuk jika kita menggunakan pelarut
reaktif. Untuk alkaloid yang dapat menguap seperti nikotina dapat dimurnikan
dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Larutan dalam air yang
bersifat asam dan mengandung alkaloid dapat dibasakan kemudian alkaloid
diekstraksi dengan pelarut organik sehingga senyawa netral dan asam yang mudah
larut dalam air tertinggal dalam air (Robinson, 1995). Menurut Harborne (1987),
sebagai basa alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol
31
yang bersifat asam lemah (HCl 1 M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan
dengan amoniak pekat.
Adapun struktur senyawa dari golongan senyawa alkaloid yang umum
dijadikan sebagai antimalaria diantaranya adalah (Simanjuntak, 1995):
Paeantin
KuininKuinidin
Febrifugin
Alstonin
Piknamin4-metoksi-1vinil-β-karbolin
32
Gambar 2.4. Beberapa Senyawa Kimia Alkaloid yang Mempunyai Bioaktif Antimalaria
2.5.3 Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6
satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang kebanyakan berupa alkohol,
aldehida, atau asam karboksilat (Harborne, 1987). Senyawa ini paling umum
ditemukan pada tumbuhan berbiji, bebas dan sebagai glikosida. Triterpenoid
alkohol monohidroksi dalam tumbuhan tidak bersamaan dengan pigmen,
sedangkan triterpenadiol berada bersama-sama dengan karotenoid dan triterpenoid
asam dengan flavonoid (Robinson, 1995).
usamberansin
atalafilin
33
Gambar 2.5 Struktur Senyawa Triterpenoid
2.5.4 Artemisin
Artemisinin, obat yang sangat berkhasiat terhadap Plasmodium, baik P.
falciparum ataupun P.vivax, termasuk yang resisten terhadap obat antimalaria
konvensional. Artemisinin merupakan suatu free radical generating antimalaria
karena merupakan senyawa endoperoksida siklik (sesquisterpene endoperoxide)
yang akan mengoksidasi heme membentuk radikal bebas sehingga mencegah
polimerisasi heme lebih lanjut menjadi hemozoin yang tidak toksik. Radikal bebas
yang terbentuk ini akan merusak membran plasma parasit dan mengganggu enzim
parasit sehingga menimbulkan kematian parasit tersebut.