BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · laywan tanĕm tuwuh ing jawi ingkang warni marica cabe...
Transcript of BAB II ANALISIS DATA - abstrak.uns.ac.id · laywan tanĕm tuwuh ing jawi ingkang warni marica cabe...
29
BAB II
ANALISIS DATA
2.1. Keterkaitan Antarunsur Cerita dalam Serat Babad Sunan Prabu
Analisis struktural pada dasarnya bertujuan memaparkan secermat
mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara
bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Analisis struktural tidak
cukup dilakukan hanya sekedar mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi,
misalnya peristiwa, plot tokoh, latar atau yang lain. Namun, yang lebih
penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan
sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna
keseluruhan yang ingin dicapai (Burhan Nurgiyantoro, 2000: 37).
Analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi, mengkaji dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan
antarunsur intrinsik karya sastra yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995: 37).
Roman Ingarden (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 15)
menganalisis norma-norma puisi sebagai berikut: lapis suara/bunyi, lapis arti,
lapis objek yang dikemukakan, lapis dunia, dan lapis metafisis.
2.1.1. Lapis Bunyi
Puisi berupa satuan-satuan suara: suara suku kata, kata, dan
berangkai merupakan seluruh bunyi/suara sajak: suara frasa dan suara
kalimat. Dalam puisi analisis lapis bunyi ditujukan pada bunyi-bunyi
atau pola bunyi yang bersifat “istimewa” atau khusus, yaitu yang
30
dipergunakan untuk mendapatkan efek puitis atau nilai seni. Berikut
ini merupakan analisis lapis bunyi dari Serat Babad Sunan Prabu.
Serat Babad Sunan Prabu menggunakan satu bentuk konvensi
sastra, yaitu: bentuk puisi terikat, konvensi atau bait yang digunakan
dalam Serat Babad Sunan Prabu adalah konvensi tembang macapat,
karya ini terikat oleh konvensi tembang secara umum. Konvensi atau
aturan tersebut meliputi aturan fisik yang terdiri: (a) guru gatra,
banyaknya gatra ‘gatra’ dalam satu pada ‘bait’, (b) guru wilangan,
yakni banyaknya wanda ‘suku kata’ pada masing-masing baris serta
(c) guru lagu yakni ketentuan bunyi vokal pada suku kata terakhir tiap
baris. Selain itu terdapat konvensi atau aturan batin yaitu, tiap bait
memiliki fungsi pemakaian yang berbeda. Hal ini berhubungan
dengan watak masing-masing tembang.
Aturan dalam tembang macapat, terutama dalam guru lagu
menunjukkan pentingnya unsur bunyi pada tembang. Dengan kata lain,
lapis bunyi di dalam tembang macapat termuat dalam konvensi guru
lagu. Meskipun demikian tidak tertutup kemungkinan adanya lapis
bunyi yang direalisasikan melalui sarana-sarana lain, misalnya
asonansi dan aliterasi.
Serat Babad Sunan Prabu secara keseluruhan menampilkan bait
tembang macapat yang terbagi dalam 8 pupuh. Terdapat 4 macam
metrum yang digunakan dalam Serat Babad Sunan Prabu yakni:
Dhandhanggula, Mijil, Durma, Sinom.
31
Metrum pertama, yakni Dhandhanggula terdiri dari 4 pupuh
yaitu pupuh 1, 3, 5, dan 8, pupuh 1 terdiri 8 bait, pupuh 3 terdiri 25
bait, pupuh 5 terdiri 32 bait, pupuh 8 terdiri 43 bait. Terikat pada
konvensi 10i, 10a, 8e, 7u, 9i, 7a, 6u, 8a, 12i dan 7a. Tembang
Dhandhanggula terdiri atas sepuluh baris. Baris pertama terdiri atas 10
suku kata dan vocal terakhir berupa huruf (i), baris kedua juga
memiliki 10 suku kata dengan huruf vocal akhir (a), baris ketiga
terdiri atas 8 suku kata dan huruf vocal terakhir (e), baris ke-empat
memiliki 7 suku kata dengan huruf vocal akhir (u), baris kelima terdiri
atas 9 suku kata dan huruf vocal akhir (i), baris ke-enam mempunyai
jumlah suku kata 7 dan huruf vocal akhir (a), baris ke-tujuh memiliki
6 suku kata dengan dan huruf vocal akhir (u), baris kedelapan
mempunyai 8 suku kata dengan huruf vocal akhir (a), baris
kesembilan mempunyai jumlah suku kata sebanyak 12 dan huruf
vocal akhir (i), baris terakhir mempunyai 7 suku kata dan vocal akhir
(a). Berikut ini kutipan tembang Dhandhanggula yang terdapat dalam
Serat Babad Sunan Prabu:
Kutipan:
(h. 2) Ingkang putra wus dangu neng ngarsi
pĕpak sowan dagane kang rama
garwa bĕndara putri len
pyayi sak dalĕm agung
tan adangu mafad narpati
tangis umyang gumrĕrah
tuwin Kangjĕng Ratu
Kĕncana sumungkĕm pada
putra wayah karuna samya nungkĕmi
ing pada dĕlamakan. (pupuh 1 bait 1 hal. 13)
32
Terjemahan:
Yang putra sudah lama di depan
lengkap datang ke jasat sang ayah
istri keturunan tuan putri
semua orang dalam keluarga besar
tidak lama meninggalnya raja
tangis yang menderu-deru
termasuk Kanjeng Ratu
Kencana disembah oleh
anak cucu semua pada sungkem
di telapak kaki.
Bait pertama baris petama mengandung asonansi [ a u ] baris
kedua terdapat asonansi [a e] baris ketiga terdapat asonansi [ a ] baris
ke-empat terdapat asonansi [ a ] baris lima terdapat asonansi [ a, u,
dan i] baris ke-enam terdapat asonansi [ i dan a ] disertai alitrasi [ng]
yang mempuyai arti suasana haru, baris ketujuh terdapat asonansi [a,
u] baris kedelapan terdapat asonansi [a, u] baris kesembilan terdapat
asonansi [a, u, i] baris kesepuluh terdapat asonansi [a].
Kutipan:
Gumrĕ tangis wong sajroning puri
para bĕndara miwah parĕkan
tan adangu lah ing kono
dan siniraman sampun
Ki Pangulu wus dentimbali
sayid myang kancanira
lan suranata wus
layon dalĕm tinabĕla
tuwin Kangjĕng Gusti Pangeran Dipati
ngrĕngga layoning rama. (pupuh 1 bait 2 hal. 13)
Terjemahan:
Suara tangis orang-orang dari dalam keraton
semua keluarga dan kerabat menangis disitu
tidak lama lah disitu
dan setelah pemandian selesai
ustad sudah dipanggil
33
sayid ke temannya
dan abdi dalem sudah
jenazah dimaksukkan kedalam peti
dan Kanjeng Gusti Pangeran Dipati
menunggui jenazah sang ayah.
Baris pertama bait kedua mengandung asonansi [i] disertai alitrasi
[n], baris kedua mengandung asonansi [a], baris ketiga mengandung
asonansi [a] disertai alitrasi [n], baris ke-empat mengandung alitrasi
[s], baris kelima terdapat asonansi [u] dan [i], baris ke-enam terdapat
asonansi [a], baris krtujuh juga mengandung asonansi [a], baris
kedelapan terdapat alitrasi [l], baris kesembilan terdapat asonansi [i]
dan alitrasi [n], baris kesepuluh terdapat asonansi [a].
Kutipan:
Senapati Ngalaga di Murti
Ratu Bagus tus trahing kusuma
sĕmana ing sĕngkalane
taun Jimakiripun
angkanira punika ngarsi
1642 pĕksa pat ngoyag jagat
sayid lan pangulu
ngula- (h. 13) ma angestrenana
tur sandika saur kukila prasami
tandya Kapitin Jaswa. (bait 9 pupuh 3 hal. 20)
Terjemahan:
Senapati Ngalaga di Murti
Raja tampan asli keturunan luhur begitu disengkalannya
Tahun Jimakir
angkanya itu di depan
1642 burung empat mengejar dunia
utusan dan imam
ulama memberi restu
juga patuh bagai burung yang sesautan
tanda Kapten Jaswa
34
Baris petama mengandung asonansi [i] baris kedua terdapat
asonansi [ u ] dan alitrasi [s] baris ketiga terdapat asonansi [ a ] baris
ke-empat terdapat asonansi [ u ] dan alitrasi [n] baris kelima terdapat
asonansi [ a, i] baris ke-enam terdapat asonansi [ a ] disertai aritrasi [t]
yang memberi kesan tegas dam jelas, baris ketujuh terdapat asonansi
[a] baris kedelapan terdapat asonansi [a] dan alitrasi [n] baris
kesembilan terdapat asonansi [a] dan alitrasi [s] baris kesepuluh
terdapat asonansi [a] yang mempunyai kesan nada rendah.
Kutipan:
Ingkang kaping kalih ing prakawis
mĕnggah luluse ing tĕtumbasan
panĕmpur ingkang warni wos
ping katri bĕnangipun
laywan tanĕm tuwuh ing jawi
ingkang warni marica
cabe myang kumukus
wiji sawi singat sangsam
kang punika akathah bayar Kumpĕni
General ing Jĕng Sunan. (pupuh 3 bait 15 hal. 21)
Terjemahan:
Yang kedua dalam perkara
perihal jual beli
penjualan yang berupa beras
yang ketiga benangnya
dengan tumbuh-tumbuhan (hasil bumi) di Jawa
yang berupa merica
cabai serta kemukus
biji sawi tanduk rusa
yang semuanya dibayar Kompeni
General kepada Jeng Sunan.
Baris pertama bait 15 ini terdapat asonansi [i] dan alitrasi [ng],
baris kedua terdapar asonansi [a], bait ketiga terdapat asonansi [a],
baris ke-empat terdapat asonansi [i], baris kelima terdapat alitrasi [w],
35
baris ke-enam terdapat asonansi [a], baris ketujuh terdapat asonansi
[u], baris kedelapan terdapat asonansi [i] dan [a], baris kesembila
terdapat asonansi [a] dan litrasi [k], baris kesepuluh tersapat asonansi
[a].
Kutipan:
Garwa Kandha kang ngadon-adoni
angaturi angrĕbata pura
nungswa Jawa padha duwe
punapa kaotipun
tuwin wĕling dalĕm kang swargi
ing nĕgara sajawa
singa ingkang mĕngku
putra kĕkalih punika
salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti
kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh 5 bait 9 hal. 28)
Terjemahan:
Garwa Kandha yang mengadu domba
memberitahu keseluruh pura
Orang Jawa sama mempunyai
apa yang berhubungan
dengan wasiat dari almarhum raja
di negara seluruh Jawa
Raja yang mempunyai
anak keduanya itu
sebenarnya aduh Tuhan ikutlah mulia
keterlaluan kakaknya
Baris pertama terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat
asonansi [a], baris ketiga terdapat asonansi [a], baris ke-empat
terdapat alitrasi [p], baris kelima terdapat asonansi [i], baris ke-enam
terdapat asonansi [a], baris kutujuh terdapat alitrasi [ng], baris
kedelapan terdapat asonansi [a], baris kesembilan terdapat asonansi [i
dan a], kesepuluh terdapat asonansi [a].
36
Kutipan:
Alun-alun pan sampun aradin
wadya punggawanya amĕlatar
pinrĕrapat pakuwone
wong Sokawati suyud
pan akathah jinunjung linggih
myang wong kalang akathah
kang dadya Tumĕnggung
Dipati Sasranĕgara
wus anuduh marang sagunging prajurit
samya ngĕlar jajahan. (pupuh 5 bait 26 hal. 31)
Terjemahan:
Alun-alun yang sudah ramai
bala tentara memenuhi
dirapatkan barisannya
Orang Sukowati tersisih
sudah banyak diangkat duduk
kepada orang banyak dikepung
yang menjadi Tumenggung
Dipati Sasranegara
sudah menunjuk kepada seluruh prajurit
bersama-sama memulai jajahan
Baris pertama terdapat alitrasi [n], baris kedua terdapat asonansi
[a], baris ketiga terdapat alitrasi [p], baris ke-empat terdapat alitrasi
[s], baris kelima terdapat asonansi [a, u, i], baris ke-enam terdapat
alitrasi [ng], baris kutujuh terdapat alitrasi [ng], baris kedelapan tidak
terdapat asonansi dan alitrasi, kesembila terdapat alitrasi [ng], baris
kesepuluh terdapat asonansi [a].
Kutipan:
Pasliyun saking nagri Bĕtawi
ngaturi Panĕmbahan Purbaya
sĕngadi General mangke
ingkang arsa tĕtĕmu
lan Nĕmbahan Purbaya tuwin
gandhek dalĕm sĕmana
37
praptane anuju
amundhut Pangeran Harya
lah ing ngriku gandhek Pasliyun nyarĕngi
angkate kur-ungkuran. (pupuh 8 bait 1 hal. 102)
Terjemahan:
Pasliyun dari negara Betawi
Memberitahu Panembahan Purbaya
Tuan besar Jendral nanti
Yang menginginkan bertemu
Dan Nembahan Purbaya juga
Gandhek yang begitu
Pertemuannya bertujuan
Mengambil Pangeran Harya
Dan disitulah gandhek Pasliyun mengikuti
Berangkatnya bersamaan
Baris pertama terdapat asonansi [i]. Baris kedua terdapat alitrasi
[p], baris ketiga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris ke-empat
tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kelima terdapat alitrasi [n],
baris ke-enam terdapat asonansi [e], baris ketujuh tidak terdapat
asonansi dan alitrasi, baris kedelapan juga tidak terdapat asonansi
maupun alitrasi, baris kesembilan terdapat asonansi [i], baris
kesepuluh terdapat asonansi [u].
Kutipan:
Ginadhang-gadhang gumantya aji
mring kang ibu Ratwagĕng kang nama
milane kasĕbut dene
Jĕng Ratwagĕng kang wau
dene karsa bungah Sang Aji
kinarang ngulu dera
kang rayi Jĕng Ratu
Kĕncana ngrĕnggani pura
pan kĕkalih pasĕbutanira nĕnggih
Ratu Gĕng Kadipatyan. (pupuh 8 bait 27 hal. 106)
38
Terjemahan:
Diharapkan menggantikan raja
oleh sang ibu Ratu Ageng yang nama
maka tersebutkan sedangkan
Kangjeng Ratu Ageng yang tadi
jika ingin bahagia sang raja
dilarang memakan hak
sang adik Kangjeng Ratu
Kencana merawat keraton
yang keduanya dijuluki yaitu
Ratu Ageng Kadipaten
Baris pertama terdapat alitrasi [ng], baris kedua juga terdapat
alitrasi [ng], baris ketiga terdapat asonansi [e], baris ke-empat terdapat
alitrasi [ng], baris kelima tidak terdapat asonansi maupun alitrasi,
baris ke-enam juga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris ketujuh
tidak terdapat asonansi maupun alitrasi, baris kedelapan terdapat
asonansi [a], baris kesembilan terdapat asonansi [i], baris kesepuluh
tidak terdapat asonansi maupun alitrasi.
Metrum kedua, yaitu Mijil terdapat 2 pupuh yaitu pupuh 2 dan 4,
pupuh 2 terdiri 23 bait, pupuh 4 terdiri 31 bait, terikat pada konvensi
10i, 6o, 10e, 10i, 6i dan 6u. Bait pertama mempunyai 10 suku kata dan
huruf vocal akhir (i), bait kedua terdiri atas 6 suku kata dengan huruf
vocal akhir (o), bait ketiga memiliki 10 suku kata dan huruf vocal
akhir (e), bait ke-empat mempunyai 10 suku kata dengan vocal akhir
(i), bait kelima memiliki jumlah suku kata sebanyak 6 dengan huruf
vocal akhir (i), bait terakhir terdiri atas 6 suku kata dengan huruf vocal
akhir (u). Bait 12 pupuh 2 ini menampilkan tembang sebagai berikut :
39
Kutipan:
Rumiyin wontĕn nagri Sĕmawis
Kangjĕng Sang Akatong
sayĕkti kang rama surud mangke
Kangjĕng Gusti Pangeran Dipati
pantĕs anggĕntosi
dhasar putra sĕpuh.(pupuh 2 bait 12 hal. 17)
Terjemahan:
Dahulu di negara Semawis (Semarang)
Kangjeng Sang Akatong
setelah nanti ayahnya meninggal
Kanjeng Gusti pangeran Dipati
pantas menggantikan ayahnya
dengan dasar anak tertua.
Baris pertama bait 12 terdapat asonansi [i], baris kedua terdapat
alitrasi [ng], baris ketiga terdapat asonansi [a] dan alitrasi [ng], baris
ke-empat terdapat asonansi [i], baris kelima terdapat alitrasi [s], baris
ke-enam terdapat asonansi [a].
Kutipan:
Gunging Wĕlandi ciptaning ati
Jĕng Gusti rinajong
kang mugi kados ramanta rajeng
Kumpĕni myang pra rat pĕni muji
witnenipun kaki
General Gurnadur. (pupuh 2 bait 14 hal. 17)
Terjemahan:
Kehebatan Belanda menciptakan hati
Jeng Gusti memayungi
yang semoga menjadi ayah raja
Kompeni pergi para jagat bagus berdoa
sabar kakek
Jenderal Gurnadur.
Baris pertama mengandung asonansi [i] dan alitrasi [ng], baris
kedua mengandung alitrasi [ng] yang memberi bunyi parau, baris
40
ketiga mengandung alitrasi [k, r dan ng], baris ke-empat mengnadung
asonansi [a dan i], baris kelima mengandung asonansi [i], baris ke-
enam mengandung asonansi [a] disertai alitrasi [g].
Kutipan:
Surya biseka rema bĕk sari
rikala ri Sĕpton
wusdene yen umarak bĕn sore
dene yen umarĕk wanci enjing
tan supe tĕtasik
konyoh lan cĕcundhuk. (pupuh 4 bait 14 hal. 24)
Terjemahan:
matahari menyinari rambut yang indah
ketika hari Sabtu
apalagi ketika menjelang setiap sore
juga ketika menjelang waktu pagi
tidak lupa berdandan
lulur dan hiasan kepala
Baris pertama bait ke 14 terdapat asonansi [a], baris kedua
terdapat asonansi [i] dan alitrasi [r], baris ketiga terdapat asonansi [e],
baris ke-empat terdapat asonansi [e] dan [i], baris kelima terdapat
asonansi [a] dan alitrasi [t], baris ke-enam terdapat alitrasi [k].
Kutipan:
Mung kenging seredan sinjang nĕnggih
myang buntaring sĕmbong
sayĕktine pan sangking kathahe
ywan nuju marĕk pĕpakan sami
ingkang wontĕn wingking
ing sakkajĕngipun. (pupuh 4 bait 20 hal. 25)
Terjemahan:
Hanya boleh bertaruh kain yaitu
ke ujung kain
sejatinya tidak dari banyaknya
jangan menuju ke makanan sesama
41
yang terdapat di belakang
yang semestinya
Baris pertama bait 20 mengandung alitrasi [ng], baris kedua
terdapat alitrasi [ng], baris ketiga terdapat asonansi [e] dan alitrasi [s],
baris ke-empat terdapat asonansi [a]. Baris kelima terdapat alitrasi
[ng], bari ke-enam terdapat [alitrasi [ng].
Metrum ketiga, yaitu Durma terdapat 1 pupuh yaitu pupuh 6
terdiri 243 bait, terikat pada konvensi 12a, 71, 6a, 7a, 8i, 5a dan 7i.
Baris pertama terdiri atas 12 suku kata dengan vocal akhir (a). Baris
kedua memiliki jumlah suku kata sebanyak 7 dan huruf vocal akhir (i).
Baris ketiga mempunyai 6 suku kata dengan vocal akhir (a). Baris ke-
empat memiliki jumlah suku kata 7 dengan huruf vocal akhir (a).
Baris kelima berisikan 8 suku kata dengan huruf vocal akhir (i). Baris
ke-enam mempunyai suku kata sebanya 5 dan huruf vocal akhir (a).
baris terakhir terdiri atas 7 suku kata dengan vocal akhr (i). Berikut
salah satu bait tembang Durma dalam Serat Babad Sunan Prabu. Bait
pertama pupuh 6 ini menampilkan tembang sebagai berikut :
Kutipan:
Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa
para lurah nambungi
ki gĕndara desa
lawan pun anggĕndara
jaladara lawan malih
kang mangundara
subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)
42
Terjemahan:
Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan
para lurah mengikuti
para pemimpin desa
juga menjadi pengikutnya
mendung dan juga
yang membentuk mendung
prajurit dan prajurit.
Baris pertama mengandung asonansi [a] dan alitrasi [ng]. Baris
kedua terdapat asonansi [a i], baris ketiga terdapat asonansi [a]. Baris
ke-empat terdapat asonansi [a u], baris kelima terdapat asonansi [a]
dan alitrasi [l], baris ke-enam terdapat asonansi [a] dan alitrasi [ng],
baris ketujuh terdapat asonansi [a i] dan alitrasi [s dan l].
Kutipan:
Atmral Britman sĕmana arsa panggia
pan sampun mardana glis
marang gĕdhong gyanya
Ki Patih Cakrajaya
Atmral angrĕs ingkang ati
wus tĕtabeyan
Atmral ĕluhe mijil. (pupuh 6 bait 115 hal. 45)
Terjemahan:
Atmral Baritman begitu ingin bertemu
Yang sudah menjemput
Ke tempat tinggalnya
Ki Patih Cakrajaya
Atmral miris dalam hatinya
Sudah bertemu
Atmral air matanya menetes
Baris pertama terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat
asonansi [a], baris ketiga terdapat alitrasi [ng], baris ke-empat terdapat
asonansi [a], baris kelima tidak terdapat terdapat asonansi dan alitrasi,
43
baris ke-enam juga tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris ketujuh
terdapat alitrasi [l].
Metrum ke-empat, yakni Sinom terdapat 1 pupuh yaitu pupuh 7
terdiri dari 278 bait, terikat pada konvensi 8a, 8i, 8a, 8i, 7i, 7u, 8u, 7a,
8i dan 12a. Baris pertama 8 suku kata dengan akhiran vokal (a) bait
kedua 8 suku kata diakhiri vokal (i) bait ketiga terdiri 8 suku kata
diakhiri vokal (a) bait ke-empat terdiri atas 8 suku kata dengan huruf
vocal akhir (i). Baris kelima mempunyai 7 suku kata dengan vocal
akhir (i). Baris ke-enam jumlah suku katanya 8 dan vocal akhirnya
(u). Baris ke-tujuh memiliki 7 suku kata dan vocal akhir (a). Baris
kedelapan mempunyai jumlah suku kata sebanyak 8 dengan vocal
akhir (i). Baris terkahir terdiri atas 12 suku kata dengan vocal akhir
(a). Pupuh sinom memiliki keunikan lain yaitu di setiap baris genap
mempunyai suku kata sebanyak 8. Berikut kutipan tembang sinom
dalam Serat Babad Sunan Prabu:
Kutipan:
Adipati Mangkupraja
kacarita kawan latri
saha lawan Tuwan Atmral
rĕrĕb aneng Kartasari
rĕmbagira sarehning
Ki Dipati alon muwus
dhumatĕng Tuwan Atmral
lah tuwan dawĕg ungsir
sarapane Pangeran kalih punika. (bait 1 pupuh 7 hal. 60)
Terjemahan:
Adipati Mangkupraja
diceritakan empat malam
44
juga dengan Tuwan Atmral
beristirahat di Kartasura
perbincangan karena
Ki Dipati pelan berujar
kepada tuan Amral
lah tuan sudah selesai diusir
sarapannya Pangeran dengan ini.
Baris pertama terdapat asonansi [a], baris kedua terdapat
asonansi [a i] dan alitrasi [r], baris ketiga terdapat asonansi [a] dan
alitrasi [n], baris ke-empat terdapat asonansi [e i], baris kelima
terdapat asonansi [i] dan alitrasi [g], baris ke-enam terdapat asonansi
[i u], baris ketujuh terdapat asonansi [a], baris kedelapan terdapat
asonansi [a i], baris kesembilan terdapat asonansi [a e] dan alitrasi [p].
Kutipan:
Nanging benjing ingkang wayah
Panĕmbahan Purbaya di
mĕsthi yen jumĕnĕng nata
kĕdhatone Sri Bupati
Ngadipala ing benjing
sangsara wiwitanipun
luhur ingkang wĕkasan
langkung sĕsamining aji
Kandhuruhan nulya wau aputusan. (pupuh 7 bait 63 hal. 69)
Terjemahan:
Tetapi nanti cucu
Panembahan Purbaya
pasti jika menjadi raja di
Kerajaannya Sri Bupati
Ngadipala jika nanti
menderita awalannya
luhur pada akhirnya
kurang lebih sama seperti raja
Kandhuruhan tadi yang disampaikan
Baris pertama terdapat alitrasi [ng], baris kedua terdapat
asonanso [a] dan alitrasi [p], baris ketiga terdapat asonansi [e], baris
45
ke-empat tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kelima terdapat
alitrasi [ng], baris ke-enam terdapat asonansi [a dan i], baris kutujuh
tidak terdapat asonansi dan alitrasi, baris kedelapan juga tidak terdapat
asonansi dan alitrasi, baris kesembilan terdapat asonansi [u].
Lapis bunyi yang terdapat dalam Serat Babad Sunan Prabu
yaitu mengandung asonansi [a, i dan u] terdapat juga alitrasi [g, l, n, r,
s, dan ng], namun yang dominan dalam Serat Babad Sunan Prabu
yaitu asonansi [a] yang digunakan untuk memperindah bahasa dan
memberikan estetika dalam tembang.
2.1.2. Lapis Arti
Lapis arti berupa rangkaian fonem, suku kata, frase dan kalimat.
Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab dan totalitas puisi.. Berikut ini
lapis arti dalam Serat Babad Sunan Prabu:
Kutipan:
Sĕnadyan tĕmbe wibawa mukti
mangsa padha tinunggu wong tuwa
ywan tan arjana wĕkase
sĕmantĕn kang
Sinuhun surudira densĕngkalani
Tri Papat Rasa Tunggal bawaning prajagung
ruharaning tyas wong susah
pahosing krĕraton gangsal wĕlas warsi
antawis laminira. (bait 8 pupuh 1 hal. 16)
Terjemahan:
Walaupun baru merasakan kekuasaan
pada waktu ditunggu orang tua
jika tidak jangka terakhir
segini yang
Sinuhun meninggal diberi sengkalan
tiga empat rasa (6) satu
dibawah pemerintahan kerajaan besar
46
pengembira hati orang yang kesusahan
lamanya keraton lima belas tahun
sekitar itu lamanya
Bait tersebut menunjukan arti sengkalan meninggalnya Sinuhun
(Pakubawana I) sengkalan tersebut berbunyi Tri Papat Rasa Tunggal
yang mempunyai arti tri = 3, papat = 4, rasa = 6, dan tunggal = 1,
dalam pembacaan sengkalan 1643. Bait ini menunjukan arti peristiwa
penting karena adanya sengkalan, karena dalam masyarakat Jawa
sengkalan ditujukan untuk memperingati atau menandai peristiwa
penting, dalam bait ini yaitu bertujuan untuk menandai tahun
meninggalnya Sinuhun Paku Buwana I yaitu 1643 tahun Jawa yang
merupakan peristiwa penting bagi Kerajaan Kartasura.
Kutipan:
Senapati Ngalaga di Murti
Ratu Bagus tus trahing kusuma sĕmana ing sĕngkalane
taun Jimakiripun
angkanira punika ngarsi
1642 pĕksa pat ngoyak jagat
sayid lan pangulu
ngula-(h. 13) ma angestrenana
tur sandika saur kukila prasami tandya Kapiting Jaswa.
(pupuh III bait 9 hal. 20)
Terjemahan:
Pemimpin prajurit berperang pada diri
Raja tampan asli keturunan luhur begitu disengkalannya
Tahun Jimakir
angkanya itu di depan
1642 burung empat mengejar dunia
utusan dan imam
ulama memberi restu
juga patuh bagai burung yang sesautan tana Kapiting Jaswa.
47
Bait ini juga menunjukan arti peristiwa penting di Kerajaan
Kartasura yaitu Pangeran Dipati diangkat menjadi raja menggantikan
ayahnya Sinuhun Paku Buwana I yang diberi sengkalan pĕksa pat
ngoyak jagat, pĕksa = 2, pat = 4, ngoyak = 6, jagat = 1, dibaca secara
konvensi pembacaan sengkalan yaitu 1642 tahun Jawa.
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhangannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.(pupuh V bait 6 hal 27)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Kata upacara dalam bait ini mempunyai arti barang-barang
pribadi milik pangeran, arti dari bait ini yaitu barang-barang pribadi
milik Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar di ambil untuk
kepentingan naik tahta Pangeran Dipati memimpin Kerajaan
Kartasura.
48
Kutipan:
(42) Surud dalĕm Kangjĕng Sri Bupati
Sĕptu Wage tanggal ping pitulas
nuju Ruwah ing sasine
wukune Julung Arum
ing sĕngkalanipun
Sirna Tata Rasa Tunggal 1650
layon dalĕm wus rawuh ing Imagiri
sumare ing Jimatan. (bait 42 pupuh 8 hal 108)
Terjemahan:
Kematian dalam Kanjeng Sri Bupati
Sabtu Wag tanggal tujuh belas
bertepatan dengan bulan ruwah
wukunya JulungWangi
sengkalannya (angka tahun dalam kata-kata)
hilang aturan rasa satu 1650
jasad Raja sudah sampai di Imogiri
dimakamkan di Jimatan
Bait 42 pupuh 8 ini mengandung arti yang pertama pada baris
kedua yang berbunyi Sĕptu Wage tanggal ping pitulas yang memiliki
arti hari sabtu wage tanggal tujuh belas, selanjutnya baris ketiga
berbunyi nuju Ruwah ing sasine yang berarti bulan Ruwah, baris ke-
empat berbunyi wukune Julung Arum yang memiliki arti tahun
Jimakir, dan di baris ke-enam terdapat kata yang berbunyi Sirna Tata
Rasa Tunggal, Sirna = 0, Tata = 5, Rasa = 6, Tunggal = 1, yang
dibaca 1650 tahun Jawa. Bait ini memiliki arti di kerajaan Kartasura
terdapat peristiwa penting yaitu meninggalnya Prabu Amangkurat
pada hari sabtu wage tanggal 17 bulan Ruwah tahun Jimakir dengan
sengkalan 1650 tahun jawa dan dimakamkan di Imogiri.
Kutipan:
Putranira Kangjĕng Pangran Balitar
radyan putra ing mangkin
49
tan arsa kantuna
ing nagri Kartasura
kĕdah tumut mring Matawis
trĕsna ing Paman
mangkya sinung wĕwangi. (pupuh 6 bait 45 hal. 37)
Terjemahan:
Putranya Kangjeng Pangeran Blitar
anak laki-laki yang nanti
tidak ingin tertinggal
di negara Kartasura
harus ikut ke Mataram
cinta kepada Paman
jadi diberi pewangian.
Bait di atas terdapat kata Metawis, kata Metawis memiliki arti
Mataram. Kata Metawis digunakan untuk mengganti kata Mataram
karena untuk memperindah kata atau estetika dalam tembang, selain
untuk estetika tembang kata Metawis juga digunakan untuk memenuhi
konvensi tembang.
Kutipan:
Sultan Panĕmbahan sĕmantĕn utusan
dhatĕng ing Sokawati
kang raka ngaturan
Pangeran Herucakra
mring nĕgara Kartasari
suwawi rĕmbug
amamong ingkang rayi.(pupuh 6 bait 125 hal. 46)
Terjemahan:
Sultan Panembahan begini utusannya
ke Sokawati (Sragen)
yang kakak mengundang
Pangeran Herucakra
di negara Kartasari (Kartasura)
menjawab diskusi
mengasuh adiknya.
50
Bait 125 pupuh 6 terdapat kata Sokawati dan Kartasari, kata
Sokawati memiliki arti Sragen, Sokawati merupakan nama lain dari
Sragen. Sokawati dipilih untuk menggantikan kata Sragen karena
untuk meperindah dan memberi estetika dalam tembang dan juga
digunakan untuk memenuhi konvensi tembang. Kata Kartasari dalam
bait ini memiliki arti Kartasura, Kartasari dipilih untuk menggantikan
kata Kartasura juga untuk alasan memberikan estetika dan untuk
memenuhi konvensi tembang Durma bait 125 halaman 46.
Kutipan:
Animbali Kyai Patih Cakrajaya
miwah wadya Kumpĕni
sira Tuwan Atmral
caraka sampun prapta
ing nĕgari Surawesthi
nĕdhakkĕn surat
(h. 59: kosong) (h. 60) dhatĕng Rĕkyana Patih.(bait 70 pupuh 6
hal. 40)
Terjemahan:
Memanggil Kyai Patih Cakrajaya
juga prajurit Kompeni
juga Tuwan Atmral
utusan sudah bertemu
di negara Surawesthi (Semarang)
memberikan surat
kepada Rekyana Patih.
Bait 70 pupuh enam tembang Durma di atas terdapat kata
Surawesthi yang memiliki arti Surabaya, kata Surawesthi dipilih untuk
menggantikan kata Surabaya yaitu bertujuan untuk memberikan
keindahan atau estetika tembang dan juga untuk memenuhi konvensi
tembang Durma yaitu 8i.
51
Kutipan:
Rumiyin wontĕn nagri Sĕmawis
Kanjĕng Sang Akatong
sayĕkti kang rama surud mangke
Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati
pantĕs anggĕntosi
dhasar putra sĕpuh.” (Pupuh II bait 12 hal. 17)
Terjemahan:
Dahulu di negara Semawis (Semarang)
Kanjeng Sang Akatong
setelah nanti ayahnya meninggal
Kanjeng Gusti pangeran Dipati
pantas menggantikan ayahnya
dengan dasar anak tertua.
Bait 12 pupuh 2 terdapat kata Semawis yang memiliki arti
Semarang, dalam bait ini kata Semarang diganti dengan Kata Semawis
yang bertujuan untuk memeperindah bahasa yang memberikan
estetika dalam tembang Mijil ini. Kata Semawis juga dipilih untuk
menggantikan kata Semarang dengan alasan untuk memenuhi
konvensi tembang Mijil baris pertama pada bait 12 yang memiliki
aturan konvensi tembang 10i.
2.1.3. Lapis Objek
Lapis satuan arti menimbulkan lapis yang ketiga, berupa objek-
objek yang dikemukakan, latar, pelaku, dan dunia pengarang. Pelaku
atau tokoh, latar waktu, latar tempat. Dunia pengarang adalah
ceritanya, yang merupakan dunia yang diciptakan oleh pengarang. Ini
merupakan gabungan dan jalinan antara objek-objek yang
dikemukakan, latar, pelaku, serta struktur cerita (alur). Lapis objek
dalam Serat Babad Sunan Prabu seperti berikut.
52
2.1.3.1. Tokoh
Pelaku atau tokoh utama dalam naskah ini yaitu Pangeran
Dipati/Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya, Pangeran Blitar,
Atmral Baritman, Garwa Kandha, Pangeran Harya
Matawis/Pangeran Harya Mataram, Pangeran Pancawati,
Kangjeng Ratu Ageng/Ibu Prabu Amangkurat, Pangeran
Purbaya dan Pangeran Blitar, Pangeran Herucakra, KI Dipati
Lumarap, Tumenggung Wira Negara, Ngabehi Tohjaya, Kyai
Patih Cakrajaya, Ragum, dapat dilihatl pada kutipan-kutipan
berikut:
Kutipan:
(12) Rumiyin wontĕn nagri sĕmawis
Kanjĕng Sang Akatong
sayĕkti kang rama surud mangke
Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati pantĕs anggĕntosi
dhasar putra sĕpuh.” (Pupuh 2 bait 12 hal. 17)
Terjemahan:
dulu di negara semarang
Kanjeng Sang Akatong
setelah nanti ayahnya meninggal
Kanjeng Gusti pangeran Dipati
pantas menggantikan ayahnya
dengan dasar anak tertua.
Bait 12 pupuh II di atas dapat ditemukan nama tokoh yang
merupakan salah satu dari lapis objek yaitu Kangjeng Gusti
Pangeran Dipati atau Prabu Amangkurat.
53
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhangannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Bait di atas dapat ditemukan nama tokoh yaitu Pangeran
Adipati Purbaya dan Pangeran Adipati Blitar
Kutipan:
Atmral Britman umiyat kĕlangkung suka
anulya tinut wuri
myang sagung dipatya
umiringi marang Atmral
prapteng ngarsaning surambi
Atmral umiyat
mring Pangeran Pancawati. (pupuh VI bait 98 hal. 43)
Terjemahan:
Atmral Britman dengan cekatan lebih bahagia
segera mengikuti dibelakang
kepada semua adipati
mengiringi kepada Amral
tiba di depan serambi
54
Amral dengan cekatan menuju
kepada Pangeran Pancawati
Kutipan di atas dapat ditemukan nama tokoh yaitu Atmral
Britman yang merupakan pemimpin dari pasukan Kompeni.
Kutipan:
Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa
para lurah nambungi
ki gĕndara desa
lawan pun anggĕndara
jaladara lawan malih
kang mangundara
subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)
Terjemahan:
Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan
para lurah mengikuti
para pemimpin desa
juga menjadi pengikutnya
mendung dan juga
yang membentuk mendung
prajurit dan prajurit.
Kutipan di atas menunjukan nama tokoh yaitu Garwa
Kandha.
Kutipan:
Sinumbaga abra sinang
pasisir kang cĕlak sami
wus dhatĕng aneng Sĕmarang
kang bang wetan dereng prapti
Pangran Harya Matawis
nĕnggih kang dadi pakewuh
sampun rawuh Santĕnan
nĕdya jumĕnĕng pribadi
Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.
65)
55
Terjemahan:
Tersinari cahaya merah bersinar
pesisir yang terdekat semua
sudah datang di Semarang
yang daerah timur belum datang
Pangeran Harya Mataram
yang menjadi sungkan
sudah datang Santenan (Pathi)
segera duduk disinggasana
Sunan kuning itu namanya.
Kutipan di atas menunjukkan nama tokoh yaitu Pangeran
Harya Matawis/Pangeran Harya Mataram.
Kutipan:
Mĕdal sangking pakuwon Kumpĕni prapta
Pangeran Pancawati
binendrong sĕnjata
wonge saya keh pĕjah
mangsah nĕdya ngamuk wani
nanging kasĕsa, ing gurnat gutuk api. (pupuh 6 bait 96 hal.
43)
Terjemahan:
Keluar dari markas Kompeni bertemu
Pangeran Pancawati
ditembak senjata
orang semakin banyak yang mati
maju perang niyat mengamuk berani
tetapi terburu
di dom.
Kutipan di atas menunjukan nama toko yaitu Pangeran
Pancawati.
56
Kutipan:
Malbeng pura malih sing kidul kewala
nulya mundur tumuli
sawadya lon-lonan
sĕmantĕn pan meh ĕbyar
Kangjĕng Ratu Agĕng nĕnggih
dupi miyarsa
amuwun kuntrang-kantring. (pupuh 6 bait 17 hal. 34)
Terjemahan:
Masuk ke dalam Pura yang letaknya di sebelah selatan
sering mundur kemudian
berjalan bergandengan
hanya beberapa yang akan bubar
Kangjeng Ratu Ageng melihat
semua itu
kemudian menangis tersedu-sedu.
Kutipan di atas menunjukan nama toko yaitu Kangjeng
Ratu Ageng ibu dari Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya dan
Pangeran Blitar.
Kutipan:
Sultan Panĕmbahan sĕmantĕn utusan
dhatĕng ing Sokawati
kang raka ngaturan
Pangeran Herucakra
mring nĕgara Kartasari
suwawi rĕmbug
amamong ingkang rayi.(pupuh 6 bait 125 hal. 46)
Terjemahan:
Sultan Panembahan seperti itu memerintah
ke Sokawati (Sragen)
yang kakak diundang
Pangeran Herucakra
di negara Kartasari (Kartasura)
menjawab diskusi
mengasuh adiknya.
57
Kutipan di atas menunjukan nama tokoh yaitu Panembahan
Herucakra.
Kutipan:
Ki Dipati Lumarap sampun sumĕkta
wadya kang sampun dhimin
rame kang sĕnjata
sira Tumĕnggung Wira
Nĕgara sawadya aglis
sangking ing kanan
ramya campuh kang jurit. (pupuh 6 bait 174 hal. 52)
Terjemahan:
Ki Dipati Lumarap sudah selesai
Prajurit yang sudah dahulu
Ramai dengan senjata
Dia Tumenggung Wira
Negara berprajurit cepat
Dari sisi kanan
Ramai berpapasan yang perang
Kutipan di atas menunjukkan nama tokoh yaitu Ki Dipati
Lumarap dan Tumenggung Wira Negara.
Kutipan:
Sira Ngabehi Tohjaya
anglancangi marang ngarsa
angiringi sarowangira
barise manca nĕgari
ingkang tinĕmpuh wingwrin
sumyur pan padha lumayu
angungsi wurinira
Panĕmbahan Purbaya glis
pan ingungsir dening bala Lamongan. (pupuh VII bait 154
hal. 82)
Terjemahan:
Dia Ngabehi Tohjaya
bertindak lancang di depan
mengiringi balaku
barisnya mancanegara
yang dilewati miris/takut
58
hancur yang pada berlari
mengungsi ke belakangnya
Panembahan Purbaya segera
Yang diusir oleh bala Lamongan.
Kutipan di atas menunjukkan nama tokoh yaitu Ngabehi
Tohjaya.
Kutipan:
Animbali Kyai Patih Cakrajaya
miwah wadya Kumpĕni
sira Tuwan Atmral
caraka sampun prapta
ing nĕgari Surawesthi
nĕdhakkĕn surat
(h. 59: kosong) (h. 60) dhatĕng Rĕkyana Patih.(bait 70
pupuh 6 hal. 40)
Terjemahan:
Memanggil Kyai Patih Cakrajaya
juga prajurit Kompeni
juga Tuwan Atmral
utusan sudah bertemu
di negara Surawesthi (Semarang)
memberikan surat
kepada Rekyana Patih.
Kutipan di atas menunjukkan tokoh yaitu Kyai Patih
Cakrajaya.
Kutipan:
Garwa Kandha anake aneng kunjara
inggal dennya marani
kunjara binubrah
sira Ragum wus mĕdal
Ki Garwa Kandha manangis
dhuh anak ingwang
tan nyana lamun urip.(pupuh 6 bait 8 hal. 33)
59
Terjemahan:
Garwa Kandha anaknya berada di penjara
cepat dirinya datang ke
penjara dirusak
dia ragum sudah keluar
Ki Garwa Kandha menangis
dhuh anakku
tidak menyangka kalau hidup
Kutipan di atas menunjukkan nama toko yaitu Ragum yang
merupakan anak dari Garwa Kandha.
Kutipan:
Wus mangkana tan antawis lami
wau ta ing kono
Kapitan Jaswa wus tur uningeng
srat dalĕm kuntrak pĕngangkat prapti
sangking ing Bĕtawi
palkat surat agung. (pupuh 2 bait 10 hal. 17)
Terjemahan:
Sudah begitu tidak begitu lama
tadi di situ
Kapitan Jaswa sudah juga tahu
surat rumah kontrak pengangkat datang
dari betawi
palkat surat besar
kutipan di atas menunjukkan nama toko yaitu Kapitan
Jaswa/Kapten Jaswa.
2.1.3.2. Latar Tempat
Latar tempat dalam Serat Babad Sunan Prabu ditunjukan
dalam kutipan-kutipan berikut:
Kutipan:
Tumĕnggung Wiranĕgara
lan Arya Danupayadi
barise sampun mangetan
(h. 106) nĕgara Kartasura di
60
sampun kinĕpung baris
rusak tĕpisniringipun
di dalĕm Kartasura
susah prihatining ati
kan Sinuhun sakĕlangkung dening sungkawa. (pupuh VII
bait 21 hal. 62)
Terjemahan:
Tumenggung Wiranegara
dan Arya Danupadiya
barisnya sudah mengarah ke timur
di Negara Kartasura
sudah dikepung barisan
rusak besi batas
di dalam kerajaan Kartasura
susah prihatin di hati
sang Sinuhun lebih-lebih berdukanya
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Negara
Kartasura atau Kerajaan Kartasura.
Kutipan:
Samya angalĕm ing nala
sĕmantĕn antawis lami
bitingira Panĕmbahan
kinĕpung dhatĕng Kumpĕni
antawis wolung sasi
mangkana ngriku winuwus
ika Jĕng Panĕmbahan
arsa kondur mring Matawis
ingkang putra kinen tĕngga pabitingan. (pupuh VII bait 79
hal. 71)
Terjemahan:
Semua bersamaan memuji di hati
begitu sekiranya agak lama
betengnya Panembahan
dikepung oleh Kumpeni
sekitar delapan bulan
begitu disana diceritakan
itu Kanjeng Panembahan
akan pulang ke Mataram
anaknya diminta untuk menunggu beteng.
61
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Metawis atau
Mataram.
Kutipan:
Sinumbaga abra sinang
pasisir kang cĕlak sami
wus dhatĕng aneng Sĕmarang
kang bang wetan dereng prapti
Pangran Harya Matawis
nĕnggih kang dadi pakewuh
sampun rawuh Santĕnan
nĕdya jumĕnĕng pribadi
Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.
65)
Terjemahan:
Tersinari cahaya merah bersinar
pesisir yang terdekat semua
sudah datang di Semarang
yang daerah timur belum datang
Pangeran Harya Mataram
yang menjadi sungkan
sudah datang Santenan (Pathi)
segera duduk disinggasana
Sunan kuning itu namanya.
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Semarang
Kutipan:
Wondene putra-putranya
angĕlar jajahan sami
Rahadyan Surya Taruna
lan Rahaden Singasari
Dyan Jayapuspita di
miwah ingkang para mantu
gitik mancanĕgara
ing Jipang Kudus wus sami
lan ing Dĕmak kang tumut ing Kartasura. (pupuh VII bait
41 hal. 65)
Terjemahan:
Sedangkan anak-anaknya
yang meggelar jajahan
62
Raden Surya Taruna
dan Raden Singasari
raden jayasupita
juga para menantu
tongkat keci diluar negara
di Jipang Kudus sudah bersama
dan di Demak yang ikut di Kartasura.
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Jipang,
Kudus dan Demak.
Kutipan:
Panĕmbahan ingaturan
dhatĕng Raden Surapati
anjog nĕgari ing Malang
Kĕdhiri wus denanciki
dhatĕng bala Kumpĕni
pan akarya biting sampun
Atmral mring Surabaya
mĕdal ing Japan nĕgari
sami nungkul punggawa mancanĕgara. (pupuh VII bait 168
hal. 84)
Terjemahan:
Panembahan diundang
oleh Raden Surapati
ke Negara di Malang
Kediri sudah dikuasai
oleh bala kumpeni
juga sudah bekerja membuat beteng
Amral menuju Surabaya
keluar di Negara Japan
bersama-sama menundukan kepala punggawa mancanegara
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Malang dan
Surabaya
Kutipan:
Saha Kumpĕni sumahab
Kapopongan dennya jurit
Jĕng Sultan karoban lawan
inggal mundur dipunungsir
dening wadya Kumpĕni
63
Sultan minggah marang gunung
antang anjog ing Malang
kang bujung wus wangsul sami
mring Kĕdhiri lajĕng samya pamondhokan. (pupuh VII bait
171 hal. 82)
Terjemahan:
Kumpeni juga berkelompok banyak
Kapopongan berperangnya
Kanjeng Sultan kebanjiran lawan
segera mundur diusir
oleh bala tentara Kumpeni
Sultan naik ke gunung
antang sampai ke Malang
yang keburu sudah pulang
ke Kediri lalu segera beristirahat.
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Kediri
Kutipan:
Sampun mangkat saha bala
Pangeran Hamangkubumi
neng Kĕlathen barisira
sigra wong Mataram prapti
rame dennya ajurit
gĕnti ilih arug
langkung sudiraning prang
Pangeran Hamangkubumi
wong Mataram akathah longe kang pĕjah. (pupuh VII bait
23 hal. 63)
Terjemahan:
Sudah berangkat dengan pasukan
Pangeran Hamangkubumi
di Klaten pasukannya
segera orang Mataram datang
ramai olehnya berperang
berganti-ganti lawannya
apalagi darah peperangan
Pangeran Hamangkubumi
orang Mataram banyak yang mati.
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu Klaten.
64
Kutipan:
Ngĕlih nama Pangran Harya mangkin
Mangkunĕgara ing Kartasura
kocap malih lah ing kono
ingkang lumakyeng nglaut
sampun prapta nagri Bĕtawi
Panĕmbahan Purbaya
lan sarowangipun
Panĕmbahan Herucakra
pan binucal dhatĕng pulo Kap anunggil.
(h. 181) rakanya sĕpuh pyambak. (pupuh VIII bait 4 hal.
102)
Terjemahan:
Berganti nama Pangeran Harya nanti
Mangkunegara di Kartasura
diceritakan berubahlah di sana
yang berjalan di laut
sudah sampai Negara Betawi
Panembahan Purbaya
dan kawan-kawannya
Pangeran Harucakra
akan dibuang ke pulau Kap
bersatu kakaknya tertua sendiri.
Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu Negara
Betawi/Jakarta
Kutipan:
Gumrĕ tangis wong srajoning puri
para bĕndara miwah parĕkan
tan adangu lah ing kono
dan siniraman sampun
Ki Pangulu wus dentimbali
sayid myang kancanira
lan suranata wus
layon dalĕm tinabĕla
tuwin Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati
ngrĕngga layoning rama.(pupuh I, bait 2 hal. 15)
65
Terjemahan:
Suara tangis orang-orang dari dalam keraton
semua keluarga dan kerabat menangis disitu
tidak lama lah disitu
dan setelah pemandian selesai
ustad sudah dipanggil
sayid ke temannya
dan abdi dalem sudah
jenazah dimaksukkan kedalam peti
dan Kanjeng Gusti Pangeran Dipati
menunggui jenazah sang ayah.
Kutipan di atas menunjukan latar tempat yaitu di dalam
Puri/Kerajaan.
Kutipan:
Sinumbaga abra sinang
pasisir kang cĕlak sami
wus dhatĕng aneng Sĕmarang
kang bang wetan dereng prapti
Pangran Harya Matawis
nĕnggih kang dadi pakewuh
sampun rawuh Santĕnan
nĕdya jumĕnĕng pribadi
Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.
65)
Terjemahan:
Tersinari cahaya merah bersinar
pesisir yang terdekat semua
sudah datang di Semarang
yang daerah timur belum datang
Pangeran Harya Mataram
yang menjadi sungkan
sudah datang Santenan (Pathi)
segera duduk disinggasana
Sunan kuning itu namanya.
Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu di pesisir.
Kutipan:
Kangjĕng Sultan Balitar wus aparentah
siyagaa ngajurit
66
wus samya sumĕkta
sakĕpraboning yuda
ing alun-alun abaris
sanggyeng punggawa
asaos pancaniti. (pupuh 6 bait 200 hal. 55)
Terjemahan:
Kangjeng Sultan Balitar sudah memeribtah
bersiagalah perang
sudah semua siap
beserta kerajaan perang
di alun-alun berbaris
semua punggawa (pemimpin)
menjaga singgah sanah
Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu alun-alun.
Kutipan:
Garwa Kandha anake aneng kunjara
inggal dennya marani
kunjara binubrah
sira Ragum wus mĕdal
Ki Garwa Kandha manangis
dhuh anak ingwang
tan nyana lamun urip. (pupuh 6 bait 8 hal. 33)
Terjemahan:
Garwa Kandha anaknya ada di penjara
cepat dirinya datang ke
penjara dirusak
dia ragum sudah keluar
Ki Garwa Kandha menangis
dhuh anakku
tidak menyangka kalau hidup
Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu penjara.
Kutipan:
Samangkana Kangjĕng Ratu lajĕng minggah
dhumatĕng Gunung Kunthi
Pangeran Balitar
prapta ing Purubaya
ngidul sawadyanira glis
67
kang ibu mirsa
ngawe nguwuh anjĕlih. (pupuh 6 bait 19 hal. 34)
Terjemahan:
Begitulah Kangjeng Ratu kemudian naik
menuju Gunung Kunthi
Pangeran Balitar
bertemu dengan Purubaya
menuju ke selatan dengan tergesa-gesa bersama teman-
temannya
Sang Ibu mengetahui
melambaikan tangan berseru memanggil.
Kutipan di atas menunjukkan latar tempat yaitu Gunung
Kunthi.
2.1.3.3. Latar Suasana
Latar suasana dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu
tercermin dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Gumrĕ tangis wong srajoning puri
para bĕndara miwah parĕkan
tan adangu lah ing kono
dan siniraman sampun
Ki Pangulu wus dentimbali
sayid myang kancanira
lan suranata wus
layon dalĕm tinabĕla
tuwin Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati
ngrĕngga layoning rama.(pupuh I, bait 2 hal. 15)
Terjemahan:
Suara tangis orang-orang dari dalam keraton
semua keluarga dan kerabat menangis disitu
tidak lama lah disitu
dan setelah pemandian selesai
ustad sudah dipanggil
sayid ke temannya
dan abdi dalem sudah
68
jenazah dimaksukkan kedalam peti
dan Kanjeng Gusti Pangeran Dipati
menunggui jenazah sang ayah.
Kutipan di atas dapat dilihat latar suasana yaitu suasana
haru dan sedih di dalam keraton, karena Paku Buwana I telah
meninggal dunia, semua orang dalam keraton menangisi
kepergian Paku Buwana I.
Kutipan:
Mĕdal sangking pakuwon Kumpĕni prapta
Pangeran Pancawati
binendrong sĕnjata
wonge saya keh pĕjah
mangsah nĕdya ngamuk wani
nanging kasĕsa, ing gurnat gutuk api. (pupuh 6 bait 96 hal.
43)
Ginarujug ing mimis drĕse lir udan
Pangeran Pancawati
wus anandhang brana
baunira kang kiwa
mundur mring sakidul kali
wus denrĕrompa
binĕkta mring surambi. (pupuh 6 bait 96 hal. 43)
Terjemahan:
Keluar dari markas Kompeni bertemu
Pangeran Pancawati
ditembak senjata
orang semakin banyak yang mati
maju perang niyat mengamuk berani
tetapi terburu
di dom.
Dirtumpahi di peluru derasnya seperti hujan
Pangeran Pancawati
sudah mendapatkan luka
lengannya yang kiri
mundur ke selatan sungai
sudah dibopong
dibawak ke serambi.
69
Kutipan di atas dapat dilihat suasana kisruh peperangan,
yaitu pasukan Pangeran Pancawati telah dihujani peluru dan
meriam oleh Kompeni. Pangeran Pancawati juga mendapatkan
luka di lengan kirinya karena terkena tembakan.
2.1.3.4. Latar Waktu
Kutipan:
Enjing budhal tan winarna lampahira
prapteng nagri Matawis
saha wadyanira
pan ing Kartawinata
kang arsa den kĕdhatoni
ngalihkĕn aran
kutha ing Kartasari. (pupuh 6 bait 35 hal. 35)
Terjemahan:
Pagi pergi tidak disampaikan tujuan perjalanan
sampai di negara Metawis (Mataram)
dengan prajuritnya
sudah di Kartasura
yang ingin di kuasai
menyingkirkan nama
kota di Kartasari (Kartasura).
Kutipan di atas terdapat latar waktu yaitu menunjukkan
latar waktu pagi hari.
Kutipan:
Sinumbaga abra sinang
pasisir kang cĕlak sami
wus dhatĕng aneng Sĕmarang
kang bang wetan dereng prapti
Pangran Harya Matawis
nĕnggih kang dadi pakewuh
sampun rawuh Santĕnan
nĕdya jumĕnĕng pribadi
70
Sunan Kuning wau ing jĕjalukira. (pupuh VII bait 40 hal.
65)
Terjemahan:
Tersinari cahaya merah bersinar
pesisir yang terdekat semua
sudah datang di Semarang
yang daerah timur belum datang
Pangeran Harya Mataram
yang menjadi sungkan
sudah datang Santenan (pathi)
segera duduk disinggasana
Sunan kuning itu namanya.
Kutipan di atas menunjukan latar waktu sore hari, kata abra
sinang ( cahaya merah bersinar) identik dengan warna pada
waktu sore hari yaitu saat matahari akan tenggelam maka
sinarnya berwarna merah kekuning-kuningan.
Kutipan:
Kang akĕmit baris ing jro pĕlataran
ngatyati smu kuwatir
samya kibir ing tyas
sagung wong Kablitaran
narka bĕdhah ing jro puri
dalu punika
akeh kawijil ing ngling. (pupuh 6 bait 6 hal. 32)
Terjemahan:
Yang berjaga baris di dalam pekarangan
berhati-hati sedikit kuwatir
pada berharap di hati
semua orang Kablitaran
mengira masuk ke dalam kerajaan
malam itu
Banyak keluar yang berbicara
Kutipan di atas menunjukan latar waktu yaitu malam,
diceritakan kondisi orang di kablitaran pada malam hari.
71
2.1.3.5. Dunia Pengarang
Dunia pengarang merupakan cerita yang diungkap oleh
pengarang. Dunia pengarang dapat tercermin dalam berbagai
aspek di intensitas penghayatan pembaca seperti tema, amanat,
karakter, alur, bahasa, ironi, kekompleksan cerita, tokoh,
keterlibatan emosi pembaca, dan imajiasi. Dunia pengarang
yang diambil dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu tema. Tema
dalam karya sastra ini dapat diambil dari kesimpulan setelah
membaca isi karya sastra yaitu bertemakan tentang peristiwa
yang terjadi pada masa kepemimpinan Amangkurat IV,
penulis/pengarang adalah orang yang tahu semua tentang masa
kepemimpinan Amangkurat IV.
2.1.4. Lapis Dunia
Lapis dunia yang tidak usah dinyatakan atau dikemukakan,
tetapi sudah implisit dalam cerita ataupun karya sastra yang
disampaikan. Serat Babad Sunan Prabu berisi gambaran umum
peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa Prabu Amangkurat IV.
Teks diawali dengan peristiwa wafatnya Paku Buwana I dan
dilanjutkan dengan pengangkatan Pangeran Dipati yang selanjutnya
bergelar Prabu Amangkurat Senapati Ngalaga di Murti menggantikan
Paku Buwana I. Teks dilanjutkan dengan masa bertahtanya Prabu
Amangkurat IV, yaitu cara untuk mempertahankan kepemimpinannya
salah satunya dengan mencabut sejumlah benda kehormatan milik
72
kedua adiknya yaitu Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar sehingga
menimbulkan perlawanan dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.(pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi paleler bojasmara.
(pupuh V bait 7 hal. 27)
Garwa Kandha kang ngadon-adoni
angaturi angrĕbata pura
nungswa Jawa padha duwe
punapa kaotipun
tuwin wĕling dalĕm kang swargi
ing nĕgara sajawa
singa ingkang mĕngku
putra kĕkalih punika
salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti
kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh V bait 9 hal. 28)
(h. 37) Garwa Kandha marmanya sru mamrih
ing mangke kinunjara
pun Ragum ika arane
Gĕdhong Tĕngĕn genipun
dosanira asaba puri
kados yen Garwa Kandha
sangĕt aturipun
sĕmantĕn Pangeran Balitar
anuruti abdine pinĕpak nuli
73
siyaga ing ngayuda. (pupuh V bait 28 hal. 31)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan.
Garwa Kandha yang memanas-manasi
memberitahu disekeliling pura
manusia jawa semua memiliki
apa berlebih
juga wasiat Raja yang telah meninggal
di Negara seluruh Jawa
singa yang memimpin
kedua putra itu
sebenarnya dhuh Gusti ikutlah mukti
kebangetan kakakmu.
Garwa Kandha rasa keras menghasut
saat ini dipenjara
Ragum itu namanya
Gedung Kanan tempatnya
dosanya keluar puri
seperti yang Garwa Kandha
sangat kata-katanya
begitu Pangeran Blitar
menuriti abdinya yang dipilih sebelumnya
siap dalam peperangan.
74
Selanjutnya dikisahkan juga intrik-intrik dan perlawanan yang
dilakukan oleh Kompeni di bawah komando Tuan Atmral Baritman
yang memihak kepada Prabu Amangkurat IV. Kerjasama Prabu
Amangkurat IV dengan Kompeni untuk melawan kedua pangeran
berhasil, yaitu mereka telah berhasil mengasingkan Pangeran Purbaya
ke Pulau Kap, dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Pasliyun saking nagri Bĕtawi
ngaturi Panĕmbahan Purbaya
sĕngadi General mangke
ingkang arsa tĕtĕmu
lan Nĕmbahan Purbaya tuwin
gandhek dalĕm sĕmana
praptane (h. 180) anuju
amundhut Pangeran Harya
lah ing ngriku gandhek Pasliyun nyarĕngi
angkate kur-ungkuran. (pupuh VIII bait 1 hal. 102)
Sampun layar sangking ing Sĕmawis
Panĕmbahan lan sarowangira
parestri lara tangise
asangĕt ing gĕgĕtun
tamtunipun kĕna ing sandi
ngomadaka Wĕlanda
maleca ing wuwus, sĕdyarasa sami ngamuka
pan wus kasep gĕgamane wus denpeki
yata gantya winarna. (pupuh VIII bait 2 hal. 102)
Ngĕlih nama Pangran Harya mangkin
Mangkunĕgara ing Kartasura
kocap malih lah ing kono
ingkang lumakyeng nglaut
sampun prapta nagri Bĕtawi
Panĕmbahan Purbaya
lan sarowangipun
Panĕmbahan Herucakra
pan binucal dhatĕng pulo Kap anunggil.
(h. 181) rakanya sĕpuh pyambak. (pupuh VIII bait 4 hal. 102)
Pangran Bei tinarka marahi
dene Adipati Natapura
tanapi Surapatine
75
myang Suradilaga wus
miwah Jaka Tangkĕban tuwin
sampun samya binucal
dhatĕng Selong wau
Panĕmbahan Purubaya
aneng beteng alang-alang dera wrĕgil
lan putra garwanira. (pupuh VIII bait 5 hal. 102)
Terjemahan:
Pasliyun dari negara Betawi
mengundang Panembahan Purbaya
Jendral yang bersemangat bertemu nanti
yang ingin bertemu
dan Nembahan Purbaya dengan
abdi dalem segitu
kedatangannya menuju
mengambil pangeran harya
nah di situ abdi dalem Pasliyun mengikuti
angkatannya banyak.
Sudah berlayar dari Semarang
Panembahan dan pasukannya
para sakit tangisnya
yang sangat kecewa
tentunya terkena jebakan
oleh Belanda
berubah pada perkataan
berniat rasa sama marah
tapi sudah terlambat senjatanya sudah diminta
kemudian berganti jenis.
Berganti nama Pangeran Harya nanti
Mangkunegara di Kartasura
diceritakan berubahlah di sana
yang berjalan di laut
sudah sampai Negara Betawi
Panembahan Purbaya
dan kawan-kawannya
Pangeran Harucakra
akan dibuang ke pulau Kap
bersatu kakaknya tertua sendiri.
Pangeran Bei berfikiran penyebab
sedangkan adipati Natapura
diteripa Surapatinya
sudah ke Surabaya
dan juga Jaka Tangkeban
76
sudah sama-sama dibuang
ke Selong tadi
Panembahan Purabaya
ada di beteng alang-alang oleh terakhir
dan anak istrinya.
Cerita diakhiri dengan meninggalnya Amangkurat, namun
sebelum Amangkurat meninggal, Prabu Amamngkurat menunjuk
putra terbaiknya untuk penggantinya dalam memimpin kerajaan
Kartasura. Prabu Amangkurat menunjuk empat putranya yang pantas
untuk menggantikannya memimpin kerajaan Kartasura yaitu Pangeran
Harya Mangkunegara, Ki Ngabehi, Ki Dipati dan Ki Buminata, selain
ke-empat nama itu dilarang untuk menjadi penggantinya. Prabu
Amangkurat memang menyiapkan penerus yang terbaik untuk
kerajaan Kartasura beliau hanya memilih empat kandidat untuk
penggantinya padahal Prabu Amangkurat memiliki 20 orang putra dan
8 orang putri. Sebelum Amangkurat IV meninggal beliau meminta
kepada Kangjeng Ratu Ageng agar memberikan keris pusaka kepada
Pangeran Harya Mangkunegara. Kemungkinan secara simbolis
Amangkurat memilih Pangeran Harya Mangkunegara sebagai
penggantinya untuk memimpin kerajaan, dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Kutipan:
Grĕrah dalĕm saya manglayadi
jroning pura saya aruwara
putra garwa pyayi kabeh
nalika nĕbda Prabu
mring Jĕng Ratu Agĕng kang wĕling
bok ratu maringĕna
77
kang pusaka dhuwung
mring putranira Ki Harya
Kangjĕng Ratu pamuwune sru ngrĕs ati
dhuwung wus tinampenan.(pupuh 9 bait 38 hal. 108)
Terjemahan:
Sakit sang raja semakin menjadi
di dalam pura semakin tidak karuan
anak istri priyayi semua
ketika berkata Prabu
kepada Kanjeng Ratu Agung yang berwasiat
ibu Ratu memberikan
yang pusaka keris
kepada anaknya Ki Harya
Kangjeng Ratu kata-katanya keras membuat hati trenyuh
keris sudah diterima.
Lapis dunia dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu hal yang
terkait dengan keduniawian, yaitu sebagai berikut:
2.1.4.1. Pertentangan
Pertentangan merupakan proses sosial yaitu pada waktu
individu atau kelompok berusaha memenuhi kebutuhan atau
tujuan dengan jalan menentang dari pohak lawan yang disertai
dengan ancaman atau kekerasan. Pertetangan dalam Serat
Babad Sunan Prabu yaitu pertetangan yang dilakukan oleh
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar karena tidak terima
dengan perilaku Prabu Amangkurat yang mengambil paksa
semua benda kehormatan pangeran (upacara) dari Pangeran
Purbaya dan Pangeran Blitar. Pertentangan yang dilakukan
oleh kedua pangeran yaitu dengan cara memberontak dan
menyerang Kerajaan Kartasura. Penyerangan terhadap
Kerajaan Kartasura dapat dilihat dalam kutipan berikut:
78
Kutipan:
Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa
para lurah nambungi
ki gĕndara desa
lawan pun anggĕndara
jaladara lawan malih
kang mangundara
subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)
Terjemahan:
Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan
para lurah mengikuti
para pemimpin desa
juga menjadi pengikutnya
mendung dan juga
yang membentuk mendung
prajurit dan prajurit.
Kutipan di atas menunjukan bentuk perlawanan atau
pertentangan yang dilakukan oleh Pangeran Purbaya dan Blitar
yang menyerang Kerajaan Kartasura, adanya pertentangan dan
penyerangan yang dilakukan oleh Pangeran Purbaya dan Blitar
dikomando oleh Garwa Kandha.
2.1.4.2. Politik
Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk
mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di dalam
masyarakat. Politik dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu
perjanjian politik yang dilakukan oleh Prabu Amangkurat
dengan Kompeni yaitu perihal hubungan sosial antara Orang
Jawa dengan Belanda, dan perjanjian politik perihal
perdagangan hasil bumi. Perjanjian politik yang disepakati
oleh Kerajaan Kartasura dengan Belanda dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
79
Kutipan:
Sawab wus trĕrang sangking Kumpĕni
prĕjangji (h. 16) gĕng kadi ywana ingkang
wujud ro dadi sawiyos
tĕmĕn tulung-tinulung
wong Wĕlanda lawan wong Jawi
mila mangkya Jĕng Sunan
sajumĕnĕngipun
pami samad-sinamadan
yen wontĕna sangking bab prakawis jurit
Kumpĕni den andĕlna. (pupuh III bait 14 hal. 21)
Ingkang kaping kalih ing prakawis
mĕnggah luluse ing tĕtumbasan
panĕmpur ingkang warni wos
ping katri bĕnangipun
lawan tanĕm tuwuh ing jawi
ingkang warni marica
cabe myang kumukus
wiji sawi singat sangsam
kang punika akathah bayar Kumpĕni
General ing Jĕng Sunan. (pupuh III bait 15 hal. 21)
Terjemahan:
Sudah jelas dari Kompeni
perjanjian agung seperti yang
berwujud dan jadi satu
suka tolong-menolong
orang Belanda dan orang Jawa
jadi saat ini Kanjeng Sunan
kepemerintahannya
dengan penuh keterbukaan dan keakraban
jika ada sangkutnya dengan bab perang
Kompeni yang diandalkan.
Yang kedua dalam perkara
perihal jual beli
penjualan yang berupa beras
yang ketiga benangnya
dengan tumbuh-tumbuhan (hasil bumi) di Jawa
yang berupa merica
cabai serta kemukus
biji sawi tanduk rusa
yang semuanya dibayar Kompeni
General kepada Jeng Sunan.
80
Kutipan di atas menunjukkan kerjasama antara Kartasura
dengan Kompeni oleh Paku Buwana I, dengan perjanjian-
perjanjian yang telah disepakati antara kerajaan dengan
Kompeni. Perjanjian berisi tentang bagaimana hubungan
kerajaan dengan Kompeni yaitu Kompeni menunjukkan
kebesaran dan kekuasaan Raja Negeri Belanda terhadap negeri
bawah angin, serta agar terjalin suatu kemanunggalan antara
orang Jawa dan Belanda dengan jalan saling memberi
dukungan, tolong-menolong dan apabila terjadi peperangan
Kompeni dapat diandalkan, dalam hal perdagangan, Kompeni
akan membayar banyak kepada kanjeng Sunan atas komoditi
beras, benang, merica, cabe, kemukus, sawi, dan tanduk rusa.
Perjanjian tersebut telah disepakati keduabelah pihak demi
berlangsungnya tahta kerajaan. Perjanjian-perjanjian itu
merupakan strategi politik Kompeni untuk menguasai
Kartasura.
2.1.4.3. Kasih Sayang
Kasih sayang merupakan sikap saling menghormati dan
mengasihi semua ciptaan Tuhan baik mahkluk hidup maupun
benda mati seperti rasa kasih sayang ibu terhadap anaknya
berdasarkan hati nurani yang luhur. Seperti yang terdapat
dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu kasih sayang yang
dimiliki oleh Kangjeng Ratu Ageng yang menyayangi ketiga
putranya yaitu Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya dan
81
Pangeran Blitar. Terlihat saat terjadi peperangan antarsaudara
Kangjeng Ratu Ageng sangat bersedih karena melihat ketiga
putra yang sangat disayangi terlibat dalam perang. Kangjeng
Ratu Ageng sangat khawatir terhadap Pangeran Purbaya dan
Blitar saat terjadi peperangan kedua pangeran mengalami
kekalahan, Kangjeng Ratu Ageng sangat khawatir dan dengan
rasa kasih sayang beliau memastikan untuk melihat kedua
putranya apakah baik-baik saja. Kekhawatiran dan kasih
sayang Kangjeng Ratu Ageng dapat dilihat pada kuitipan
berikut:
Kutipan:
Malbeng pura malih sing kidul kewala
nulya mundur tumuli
sawadya lon-lonan
sĕmantĕn pan meh ĕbyar
Kangjĕng Ratu Agĕng nĕnggih
dupi miyarsa
amuwun kuntrang-kantring. (pupuh 6 bait 17 hal. 34)
Masambat kang raka Jĕng Sinuhun Swarga
dhuh lah e Sri Bupati
tan sagĕd kawula
tĕngga putra paduka
Sunan gawanĕn ngĕmasi
putra paduka
(h. 42) sami bĕrwala jurit.(pupuh 6 bait 18 hal. 34)
Samangkana Kangjĕng Ratu lajĕng minggah
dhumatĕng Gunung Kunthi
Pangeran Balitar
prapta ing Purubaya
ngidul sawadyanira glis
kang ibu mirsa
ngawe nguwuh anjĕlih. (pupuh 6 bait 19 hal. 34)
Asta tĕngĕn angawe-awe kang putra
astane ingkang kering
82
angusapi waspa
dhuh kulup dipuninggal
ngungsia kangmasmu nuli
Ki Purubaya
dhuh kulup poma aglis. (pupuh 6 bait 20 hal. 34)
Terjemahan:
Masuk ke dalam Pura yang letaknya di sebelah selatan
sering mundur kemudian
berjalan bergandengan
hanya beberapa yang akan bubar
Kangjeng Ratu Ageng melihat
semua itu
kemudian menangis tersedu-sedu.
Sang kakak Mengeluh kepada Kangjeng Sinuhun Swarga
dhuh lah e Sri Bupati
aku tidak bisa
menunggu putra raja
Sunan bawalah mati
putra paduka
(h.42) prajurit saling berperang.
Begitulah Kangjeng Ratu kemudian naik
menuju Gunung Kunthi
Pangeran Balitar
bertemu dengan Purubaya
menuju ke selatan dengan tergesa-gesa bersama teman-
temannya
Sang Ibu mengetahui
melambaikan tangan berseru memanggil.
Tangan kanan melambai-lambai sang anak
tanganya yang kiri
mengusapi air mata
duh ikut ditinggal
menyikir kakakmu cepat
Ki Purbaya
duh ikut cepat.
Kutipan di atas sangat jelas rasa kasih sayang Kangjeng
Ratu Ageng terhadap putranya, terbukti sangat sedih dan
khawatir melihat ketiga putranya terlibat perang saudara.
83
Beliau bersedih karena tidak bisa menjaga putranya dengan
baik, merasa gagal dalam mendidik anak dan merasa bersalah
kepada Paku Buwana I karena setelah meninggalnya Paku
Buwana kerajaan menjadi ricuh penuh peperangan. Kangjeng
Ratu Ageng begitu besar kasih sayangnya terhadap Paku
Buwana I, beliau juga mendoakan Paku Bawana I supaya
mendapatkan tempat yang nyaman di surga. Kutipan di atas
juga menunjukkan betapa Kangjeng Ratu Ageng menyayangi
dan mengkhawatirkan Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar
supaya mereka melarikan diri untuk berlindung.
2.1.4.4. Harta
Harta merupakan segala hal yang dimiliki oleh manusia,
dalam hal ini harta yang dimaksud ialah kekayaan yang
dimiliki oleh Prabu Amangkurat dalam Serat Babad Sunan
Prabu. Harta atau kekayaan yang dimiliki Kerajaan Kartasura
mengalami penurunan terbukti pada saat Prabu Amangkurat
ingin naik tahta beliau harus mengambil benda-benda
kehormatan pangeran yaitu Pangeran Purbaya dan Blitar yang
menimbulkan perpecahan diantar mereka. Pengambilan harta
benda yang dilakukan Prabu Amangkurat dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
84
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi
paleler bojasmara.” (pupuh V bait 7 hal. 27)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan
Kutipan di atas dapat dilihat pengambilan harta benda
atau benda kehormatan kepangeranan (upacara) untuk
keperluan naik tahta Prabu Amangkurat menjadi Raja.
85
Diambilnya harta benda milik Pangeran Purbaya dan Blitar
mengakibatkan pemberontakan.
2.1.4.5. Kekuasaan
Kekuasaan merupakan kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi seseorang atau kelompok lain
menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan yang mempunyai
kekuasaan. Kekuasaan dalam Serat Babad Sunan Prabu sangat
jelas dikuasai oleh Prabu Amangkurat karena beliaulah yang
memimpin Kerajaan Kartasura, sehingga beliau berkuasa atas
semua hal tentang Kerajaan Kartasura termasuk dalam hal
harta benda. Prabu Amangkurat menggunakan kekusaanya
yang pertama yaitu pada waktu naik tahta menjadi raja beliau
mengambil semua harta benda dari kedua adiknya yaitu
Pangeran Purbaya dan Blitar, sehingga menimbulkan
pemberontakan dan perebutan daerah kekuasaan. Terbukti
dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
86
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi
paleler bojasmara.” (pupuh V bait 7 hal. 27)
Terjemahan:
Begitulah Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan
Kutipan di atas menunjukan kekuasaan yang
diperlihatkan oleh Prabu Amangkurat yaitu beliau mengambil
harta benda milik kedua adiknya untuk kepentingan tahtanya
dan kekuasaannya. Selanjutnya Prabu Amangkurat meperluas
daerah kekuasaannya dengan memperluas daerah jajahan atau
merebut daerah kekuasaan Mataram, Prabu Amangkurat
mengutus Dipati Sampang dan Ngabehi Tohjaya untuk
87
menyerang negeri Madiun yang merupakan daerah kekuasaan
Mataram, terbukti dalam kutipan berikut:.
Kutipan:
Sira Ngabehi Tohjaya
anglancangi marang ngarsa
angiringi sarowangira
barise manca nĕgari
ingkang tinĕmpuh wingwrin
sumyur pan padha lumayu
angungsi wurinira
Panĕmbahan Purbaya glis
pan ingungsir dening bala Lamongan. (pupuh VII bait 154
hal. 82)
Terjemahan:
Kamu Ngabehi Tohjaya
bertindak lancang di depan
mengiringi balaku
barisnya mancanegara
yang dilewati miris/takut
hancur yang pada berlari
mengungsi ke belakangnya
Panembahan Purbaya segera
Yang diusir oleh bala Lamongan.
Kutipan di atas menunjukan Prabu Amangkurat memilih
Ngabehi Tohjaya untuk menyerang dan memperluas daerah
kekuasaan.
2.1.4.6. Perjuangan
Perjuangan merupakan usaha individu atau kelompok
untuk menggapai sesuatu. Perjuangan dalam Serat Babad
Sunan Prabu yaitu tercermin dalam usaha yang dilakukan oleh
Pangeran Purbaya dan Blitar untuk merebut kembali apa yang
menjadi hak mereka dengan cara melakukan pemberontakan
88
terhadap Kerajaan Kartasura yang dipimpin oleh Prabu
Amangkurat. Pemberontakan yang merupakan salah satu
perjuangan yang dilakukan oleh Pangeran Purbaya dan Blitar
untuk merebut kembali haknya dipimpin oleh Garwa Kadha
yang terbukti dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa
para lurah nambungi
ki gĕndara desa
lawan pun anggĕndara
jaladara lawan malih
kang mangundara
subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)
Terjemahan:
Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan
para lurah mengikuti
para pemimpin desa
juga menjadi pengikutnya
mendung dan juga
yang membentuk mendung
prajurit dan prajurit.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perjuangan yang
dilakukan oleh Pangeran Purbaya dan Blitar dipimpin oleh
Garwa Kandha, para lurah dan pemimpin desa juga menjadi
pengikutnya untuk berjuang merebut kembali hak yang
dimiliki Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar.
2.1.5. Lapis Metafisis
Lapis metafisis adalah lapis yang menyebabkan pembaca
berkontemplasi/merenung dengan apa yang disampaikan dalam karya
sastra. Lapis metafisis dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu tentang
89
kepemimpinan, dalam Serat Babad Sunan Prabu ini menceritakan
pewarisan tahta atau suksesi kepemimpinan dari Paku Buwana I
kepada Amangkurat IV. Cerita dalam Serat Babad Sunan Prabu ini
diakhiri dengan meninggalkan Amangkurat IV, beliau belum sempat
menunjuk dengan jelas siapa yang berhak menggantikan beliau
sebagai raja di Kartasura. Sebelum Amangkurat meninggal, Prabu
Amangkurat menunjuk putra terbaiknya untuk penggantinya dalam
memimpin kerajaan Kartasura. Prabu Amangkurat menunjuk empat
putranya yang pantas untuk menggantikannya memimpin kerajaan
Kartasura yaitu Pangeran Harya Mangkunegara, Ki Ngabehi, Ki
Dipati dan Ki Buminata, selain ke-empat nama itu dilarang untuk
menjadi penggantinya. Prabu Amangkurat memang menyiapkan
penerus yang terbaik untuk kerajaan Kartasura beliau hanya memilih
empat kandidat untuk penggantinya padahal Prabu Amangkurat
memiliki 20 orang putra dan 8 orang putri. Sebelum Amangkurat IV
meninggal beliau meminta kepada Kangjeng Ratu Ageng agar
memberikan keris pusaka kepada Pangeran Harya Mangkunegara,
pemberian keris ini membuat kita merenung dan berfikir apa makna
dari Prabu Amangkurat yang memberikan keris kepada Pangeran
Harya Mangkunegara, hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Kutipan:
Grĕrah dalĕm saya manglayadi
jroning pura saya aruwara
putra garwa pyayi kabeh
90
nalika nĕbda Prabu
mring Jĕng Ratu Agĕng kang wĕling
bok ratu maringĕna
kang pusaka dhuwung
mring putranira Ki Harya
Kangjĕng Ratu pamuwune sru ngrĕs ati
dhuwung wus tinampenan.(pupuh 9 bait 38 hal. 108)
Terjemahan:
Sakit sang raja semakin menjadi
di dalam pura semakin tidak karuan
anak istri priyayi semua
ketika berkata Prabu
kepada Kanjeng Ratu Agung yang berwasiat
ibu Ratu memberikan
yang pusaka keris
kepada anaknya Ki Harya
Kangjeng Ratu kata-katanya keras membuat hati trenyuh
keris sudah diterima.
Kutipan di atas menunjukkan Prabu Amangkurat memberikan
keris kepada Pangeran Harya Mangkunegara sebelum beliau wafat.
Prabu Amangkurat sebelum meninggal, beliau telah menunjuk empat
putranya yang berhak menggantikannya menjadi raja di Kartasura,
namun beliau belum sempat menentukan siapa yang menjadi raja di
Kartasura. Sebelum Prabu Amangkurat menghebuskan nafas terakhir,
beliau menyuruh Kangjeng Ratu Ageng untuk menyerahkan Keris
kepada Pangeran Harya Mangkunegara, kemungkinan pemberian
keris terhadap Pangeran Harya Mangkunegara mengandung simbolis
bahwa Prabu Amangkurat memilih Pangeran Harya Mangkunegara
untuk menjadi raja di Kerajaan Kartasura.
Berdasarkan struktural puisi Roman Ingarden yang terdiri lapis bunyi,
lapis arti, lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis Serat Babad Sunan
91
Prabu memiliki keseluruhan unsur-unsur tersebut. Unsur-unsur struktural itu
menunjukkan bahwa karya sastra Serat Babad Sunan Prabu mampu
memenuhi norma-norma puisi berdasarkan teori Roman Ingarden.
Kelengkapan unsur yang ada menunjukkan bahwa karya sastra ini tergolong
sebagai karya sastra yang baik. Unsur struktural juga menunjukkan kepada
pembaca tentang berbagai macam informasi mengenai kebahasaan seperti :
lapis bunyi menunjukkan pola-pola persajakan dalam karya sastra yang
berbentuk tembang, lapis arti menunjukkan makna ataupun arti dari isi karya
sastra, lapis objek menunjukkan unsur-unsur instrinsik karya sastra berupa
tokoh dan latar yang ada dalam karya sastra, lapis dunia menunjukkan
penggunaan imajinasi dan hal-hal lainnya yang ada dalam pandangan dunia
pengarang, dan lapis metafisis berisikan ajaran ataupun nilai moral yang
dapat diambil dalam karya sastra.
2.2. Analisis Latar Belakang Terjadinya Suksesi Kepemimpinan dalam Serat
Babad Sunan Prabu.
Suksesi kepemimpinan terdiri dari dua kata yaitu suksesi yang berarti
suatu proses pergantian dan kepemimpinan yang berarti cara memimpin
(KBBI, 1992). Arianto Sam (2008) mengatakan Suksesi adalah suatu proses
perubahan, berlangsung satu arah secara teratur yang terjadi pada suatu
komunitas dalam jangka waktu tertentu hingga terbentuk komunitas baru
yang berbeda dengan komunitas semula. Suksesi mengisyaratkan terjadinya
pergantian kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang (golongan)
untuk mempengaruhi orang (golongan) lain (KBBI, 1988: 468). Arti yang
92
lebih tegas, kekuasaan adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak pada
orang lain, untuk membuat orang lain melakukan tindakan-tindakan seperti
yang dikehendaki oleh pemegang kekuasaan itu (Suseno, 1984: 98).
Makna pokok kekuasaan itu terjadi karena kekuasaan itu tidak dapat
dibagi rata kepada semua anggota masyarakat (Soemardjan, 1984: 337).
Dalam paham Jawa, pembagian kekuasaan itu memang dapat berubah
(Suseno, 1984: 100). Perubahan pembagian kekuasaan itulah yang merupakan
bentuk suksesi. Kepemimpinan merupakan sikap dari seorang individu yang
memimpin berbagai kegiatan dari suatu kelompok menuju suatu tujuan yang
ingin dicapai bersama-sama (Hemhill dan Coon, 1995). Teori Kartini Kartono
(1994 : 48) Kepemimpinan itu karakternya khas, spesifik, dibutuhkan pada
satu situasi tertentu. Sebab di dalam sebuah kelompok yang melakukan
kegiatan-kegiatan tertentu & memiliki sebuah tujuan serta berbagai macam
peralatan yang khusus. Pemimpin sebuah kelompok dengan ciri-ciri yang
karakteristik adalah fungsi dari situasi tertentu. Suksesi kepemimpinan yaitu
suatu proses peralihan dari suatu generasi ke generasi yang lain, selanjutnya
untuk memimpin sekelompok orang dalam satu wilayah atau lokal tertentu
dan untuk jangka waktu tertentu.
Serat Babad Sunan Prabu berisi gambaran umum peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa Prabu Amangkurat IV. Teks diawali dengan peristiwa
wafatnya Paku Buwana I dan dilanjutkan dengan pengangkatan Pangeran
Dipati yang selanjutnya bergelar Prabu Amangkurat Senapati Ngalaga di
Murti menggantikan Paku Buwana I. Teks dilanjutkan dengan masa
bertahtanya Prabu Amangkurat IV, yaitu cara untuk mempertahankan
93
kepemimpinannya salah satunya dengan mencabut sejumlah benda
kehormatan milik kedua adiknya yaitu Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar
sehingga menimbulkan perlawanan. Dikisahkan juga intrik-intrik dan
perlawanan yang dilakukan oleh Kompeni di bawah komando Tuan Atmral
Baritman yang memihak kepada Prabu Amangkurat IV. Kerjasama Prabu
Amangkurat IV dengan Kompeni untuk melawan kedua pangeran berhasil,
mereka telah berhasil mengasingkan Pangeran Purbaya ke Pulau Kap.
Latar belakang terjadiya suksesi kepemimpinan dalam Serat Babad
Sunan Prabu yaitu dipengaruhi oleh beberapa hal.
2.2.1. Politik
Politik yang paling banyak mempengaruhi terjadinya Suksesi
Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu, dalam sebuah
Kerajaan pastinya pewarisan kepemimpinan sudah jelas menganut
sistem pewarisan tradisional yaitu yang berhak menggantikan Raja
dalam memimpin Kerajaan yaitu anak laki-laki dari Raja, jika Raja
tidak memiliki anak laki-laki atau putra mahkota maka yang berhak
menggantikannya adalah adik laki-laki dari Raja. Di Kerajaan Kartasura
yang berhak menggantikan Paku Buwana I ialah Pangeran Dipati
karena beliau adalah anak laki-laki tertua Paku Buwana I. Kanjeng
Gusti Pangeran Dipati sesuai aturan diangkat sebagai raja oleh
Kompeni untuk menggantikan sang ayah. Kanjeng Gusti Pangeran
Dipati pantas menggantikan tahta ayahnya karena Pangeran Dipati
adalah anak tertua yang lahir dari permaisuri, dan sesuai dengan wasiat
Paku Buwana I yang disampaikan dihadapan kerabat dan didisaksikan
94
oleh Kompeni sebelum beliau meninggal, dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Kutipan:
Rumiyin wontĕn nagri Sĕmawis
Kanjĕng Sang Akatong
sayĕkti kang rama surud mangke
Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati
pantĕs anggĕntosi
dhasar putra sĕpuh.” (Pupuh II bait 12 hal. 17)
Miyos sangking garwa dalem padmi
sarta wĕling Katong
ing sakwontĕne ingkang sedherek
samya pinarcayakakĕn Kumpĕni
Kumpĕni nglangkungi
terimakasih agung (pupuh II bait 13 hal. 17)
Terjemahan:
Dulu di negara Semawis (Semarang)
Kanjeng Sang Akatong
setelah nanti ayahnya meninggal
Kanjeng Gusti pangeran Dipati
pantas menggantikan ayahnya
dengan dasar anak tertua.
Lahir dari rahim permaisuri
serta wasiat Katong
yang dibacakan dihadapan keluarga
serta disaksikan oleh Kompeni
kompeni mendahului
terimakasih banyak.
Dari kutipan di atas juga dapat dilihat betapa berpengaruhnya
Kompeni dalam penentuan penerus tahta Kerajaan, terbukti dalam
pembacaan surat wasiat Kompeni juga ikut menyaksikan. Kompeni
juga ikut andil dalam pengangkatan Pangeran Dipati menjadi Raja
Kartasura. Kerjasama dengan Kompeni oleh Paku Buwana I, dengan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati antara kerajaan dengan
95
Kompeni. Perjanjian berisi tentang bagaimana hubungan kerajaan
dengan Kompeni yaitu Kompeni menunjukkan kebesaran dan
kekuasaan Raja Negeri Belanda terhadap negeri bawah angin, serta
agar terjalin suatu kemanunggalan antara orang Jawa dan Belanda
dengan jalan saling memberi dukungan, tolong-menolong dan apabila
terjadi peperangan Kompeni dapat diandalkan, dalam hal perdagangan,
Kompeni akan membayar banyak kepada kanjeng Sunan atas
komoditi beras, benang, merica, cabe, kemukus, sawi, dan tanduk rusa.
Perjanjian tersebut telah disepakati keduabelah pihak demi
berlangsungnya tahta kerajaan. Perjanjian-perjanjian itu merupakan
strategi politik Kompeni untuk menguasai Kartasura.
2.2.2. Ekonomi
Ekonomi dalam Serat Babad Sunan Prabu memang sejak dulu
sudah dipengaruhi oleh Kompeni, waktu terjadi suksesi kepemimpinan
kondisi ekonomi kerajaan Kartasura sudah tidak bagus karena pada
waktu kepemimpinan Paku Buwana I sudah menjalin kerjasama dengan
Kompeni, dimana Kompeni sudah memonopoli perdangan hasil bumi
yang merupakan sumber penghasilan kerajaan. Keadaan ekonomi
kerajaan terbukti kurang bagus yaitu pertama karena demi kepentingan
naik tahta Pangeran Dipati maka upacara atau benda kehormatan
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar diambil. Diambilnya benda-
benda kehormatan kedua pangeran dapat disimpulkan bahwa keadaan
ekonomi Kerajaan saat itu sedang tidak baik, karena untuk naik tahta
Prabu Amangkurat harus merampas hak milik kedua adiknya, kalau
96
kondisi ekonomi baik maka Prabu Amangkurat tidak akan mengambil
benda kerhomatan kedua Pangeran. Pengambilan upacara atau benda
kehormatan Pangeran dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi
paleler bojasmara.” (pupuh V bait 7 hal. 27)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
97
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan
Perjanjian antara Kerajaan Kartasura dengan Kompeni mengenai
bagi hasil dalam perihal perdagangan, Kompeni akan membayar banyak
kepada kanjeng Sunan atas komoditi beras, benang, merica, cabe,
kemukus, sawi, dan tanduk rusa. Kompeni sangat pintar dalam hal
perdangan maka Kerajaan Kartasura mejalin kerjasama demi
perekonomian Kerajaan. Perjanjian perihal perdangan dapat dilihat pada
kutipan berikut:
Kutipan:
Ingkang kaping kalih ing prakawis
mĕnggah luluse ing tĕtumbasan
panĕmpur ingkang warni wos
ping katri bĕnangipun
lawan tanĕm tuwuh ing jawi
ingkang warni marica
cabe myang kumukus
wiji sawi singat sangsam
kang punika akathah bayar Kumpĕni
General ing Jĕng Sunan. (pupuh III bait 15 hal. 21)
Terjemahan:
Yang kedua dalam perkara
perihal jual beli
penjualan yang berupa beras
yang ketiga benangnya
dengan tumbuh-tumbuhan (hasil bumi) di Jawa
yang berupa merica
cabai serta kemukus
biji sawi tanduk rusa
yang semuanya dibayar Kompeni
General kepada Jeng Sunan.
98
Kutiapan di atas menujukkan bahwa Kompeni memiliki andil
dalam perdagangan hasil bumi, Kompeni sangat mahir dalam
memonopoli perdagangan di Indonesia, berjanji membayar banyak
kepada pihak kerajaan padahal hal itu hanyalah iming-iming Belanda
supaya bisa menguasai perdagangan di Indonesia dan membuat
Kerajaan Kartasura terikat dan selalu membutuhkan Belanda dalam hal
perdagangan. Ekonomi kerajaan terbukti menurun pada waktu Pangeran
Dipati akan naik tahta menjadi raja, beliau harus mengambil benda
kehormatan kepangeranan adiknya untuk naik tahta, hal pengambilan
benda kehormatan pangeran juga merupakan saran dari Kompeni.
2.2.3. Sosial
Hubungan sosial dalam Serat Babad Sunan Prabu juga
dipengaruhi oleh Kompeni, dalam hal melindungi rakyatnya Prabu
Amangkurat telah melanjutkan perjanjian sebelumnya yang dilakukan
Paku Buwana I dengan Kompeni yaitu perihal hubungan Orang Jawa
dengan Orang Belanda, agar terjalin suatu kemanunggalan antara orang
Jawa dan Belanda dengan jalan saling memberi dukungan, tolong-
menolong dan apabila terjadi peperangan Kompeni dapat diandalkan,
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Sawab wus trĕrang sangking Kumpĕni
prĕjangji (h. 16) gĕng kadi ywana ingkang
wujud ro dadi sawiyos
tĕmĕn tulung-tinulung
wong Wĕlanda lawan wong Jawi
mila mangkya Jĕng Sunan
sajumĕnĕngipun
99
pami samad-sinamadan
yen wontĕna sangking bab prakawis jurit
Kumpĕni den andĕlna. (pupuh III bait 14 hal. 21)
Terjemahan:
Sudah jelas dari Kompeni
perjanjian agung seperti yang
berwujud dan jadi satu
suka tolong-menolong
orang Belanda dan orang Jawa
jadi saat ini Kanjeng Sunan
kepemerintahannya
dengan penuh keterbukaan dan keakraban
jika ada sangkutnya dengan bab perang
Kompeni yang diandalkan.
Kutipan di atas menunjukkan perjanjian besar antara Kerajaan
Kartasura dengan Belanda perihal hubungan sosial antara Orang Jawa
dengan Orang Belanda, antara Orang Jawa dengan Belanda harus penuh
keterbukaan dan keakraban, saling tolong-menolong, dalam hal perang
maka Kompeni dapat diandalkan.
Ketiga hal di atas dapat digambarkan mengenai latar belakang
terjadinya Suksesi Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu
sebagai berikut:
Latar belakang terjadinya Suksesi kepemimpinan yaitu setelah Paku
Buwana I meninggal, meninggalnya Paku Buwana I dapat dilihat dari kutipan
berikut:
Kutipan:
Gumrĕ tangis wong srajoning puri
para bĕndara miwah parĕkan
tan adangu lah ing kono
dan siniraman sampun
Ki Pangulu wus dentimbali
sayid myang kancanira
100
lan suranata wus
layon dalĕm tinabĕla
tuwin Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati
ngrĕngga layoning rama.(pupuh I, bait 2 hal. 15)
Terjemahan:
Suara tangis orang-orang dari dalam keraton
semua keluarga dan kerabat menangis disitu
tidak lama lah disitu
dan setelah pemandian selesai
ustad sudah dipanggil
sayid ke temannya
dan abdi dalem sudah
jenazah dimaksukkan kedalam peti
dan Kangjeng Gusti Pangeran Dipati
menjaga jenazah sang ayah.
Kanjeng Gusti Pangeran Dipati sesuai aturan diangkat sebagai
raja oleh Kompeni untuk menggantikan sang ayah. Kanjeng Gusti
Pangeran Dipati pantas menggantikan tahta ayahnya karena Pangeran
Dipati adalah anak tertua yang lahir dari permaisuri, dan sesuai dengan
wasiat Paku Buwana I yang disampaikan dihadapan kerabat dan
didisaksikan oleh Kompeni sebelum beliau meninggal dapat dilihat dari
kutipan berikut:
Kutipan:
Rumiyin wontĕn nagri Sĕmawis
Kanjĕng Sang Akatong
sayĕkti kang rama surud mangke
Kanjĕng Gusti Pangeran Dipati
pantĕs anggĕntosi
dhasar putra sĕpuh.” (Pupuh II bait 12 hal. 17)
Miyos sangking garwa dalem padmi
sarta wĕling Katong
ing sakwontĕne ingkang sedherek
samya pinarcayakakĕn Kumpĕni
Kumpĕni nglangkungi
terimakasih agung (pupuh II bait 13 hal. 17)
101
Terjemahan:
Dahulu di negara Semawis (Semarang)
Kanjeng Sang Akatong
setelah nanti ayahnya meninggal
Kanjeng Gusti pangeran Dipati
pantas menggantikan ayahnya
dengan dasar anak tertua.
Lahir dari rahim permaisuri
serta wasiat Katong
yang dibacakan dihadapan keluarga
serta disaksikan oleh Kompeni
kompeni mendahului
terimakasih banyak.
Seseorang yang dianggap pantas menggantikan Paku Buwana I
adalah Pangeran Dipati, Pangeran Dipati naik tahta menggantikan
ayahnya, dengan gelar Prabu Amangkurat Senapati Ngalaga di Murti
dengan sengkalan “Peksa Pat Ngoyak Jagad” dengan arti 1642 tahun
Jawa dapat dilihat dari kutipan berikut:
Kutipan:
Senapati Ngalaga di Murti
Ratu Bagus tus trahing kusuma sĕmana ing sĕngkalane
taun Jimakiripun
angkanira punika ngarsi
1642 pĕksa pat ngoyak jagat
sayid lan pangulu
ngula-(h. 13) ma angestrenana
tur sandika saur kukila prasami tandya Kapiting Jaswa.
(pupuh III bait 9 hal. 20)
Terjemahan:
Pemimpin prajurit berperang pada diri
Raja tampan asli keturunan luhur begitu disengkalannya
Tahun Jimakir
angkanya itu di depan
1642 burung empat mengejar dunia
utusan dan imam
ulama memberi restu
102
juga patuh bagai burung yang sesautan tana Kapiting Jaswa
Pangeran Dipati bertahta menggantikan ayahnya dengan gelar
Parbu Amangkurat, dia berkuasa memimpin kerajaan dan tetap
melanjutkan kerjasama dengan Kompeni sesuai dengan yang dilakukan
ayahnya sebelumnya. Kompeni juga memiliki andil dalam
pengangkatan Prabu Amangkurat naik tahta. Kompeni membacakan
surat pengangkatan dan perjanjian dari Kompeni, yang isinya antara
lain menunjukkan kebesaran dan kekuasaan Raja Negeri Belanda
terhadap negeri bawah angin, serta agar terjalin suatu kemanunggalan
antara orang Jawa dan Belanda dengan jalan saling memberi dukungan,
tolong-menolong dan apabila terjadi peperangan Kompeni dapat
diandalkan, dalam hal perdagangan, kompeni akan membayar banyak
kepada kanjeng Sunan atas komoditi beras, benang, merica, cabe,
kemukus, sawi, dan tanduk rusa. Kontrak dan perjanjian dengan
Kompeni dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
Kutipan:
Kang srat kuntrak ungĕle puniki
nĕnggih sangking gĕnggĕnging pangawasa
Kumpni bawah angin kabeh
dening kuwasanipun
ing Kumpeni wus sami ugi
lan kang angsung pangawasa
Ngasardam nagryagung
Sĕpanyol Frisfan nyuranyah
gih punika Kanjĕng Raja Nagri Wlandi
wus nyerenkĕn pangwasa. (pupuh III bait 12 hal. 20-21)
Sawab wus trĕrang sangking Kumpĕni
prĕjangji (h. 16) gĕng kadi ywana ingkang
wujud ro dadi sawiyos
tĕmĕn tulung-tinulung
103
wong Wĕlanda lawan wong Jawi
mila mangkya Jĕng Sunan
sajumĕnĕngipun
pami samad-sinamadan
yen wontĕna sangking bab prakawis jurit
Kumpĕni den andĕlna. (pupuh III bait 14 hal. 21)
Ingkang kaping kalih ing prakawis
mĕnggah luluse ing tĕtumbasan
panĕmpur ingkang warni wos
ping katri bĕnangipun
lawan tanĕm tuwuh ing jawi
ingkang warni marica
cabe myang kumukus
wiji sawi singat sangsam
kang punika akathah bayar Kumpĕni
General ing Jĕng Sunan. (pupuh III bait 15 hal. 21)
Terjemahan:
Yang surat kontrak bunyinya seperti ini
yaitu di dalam kekuasaan
Kompeni membawahi semua
oleh kuasanya
di Kompeni juga sudah sama
dan yang memberikan kekuasaan
Ngasardam raja agung
Spanyol Frisfan berkata
yaitu tuan raja dari Negara Belanda
sudah menerahkan kekuasaan.
Sudah jelas dari Kompeni
perjanjian agung seperti yang
berwujud dan jadi satu
suka tolong-menolong
orang Belanda dan orang Jawa
jadi saat ini Kanjeng Sunan
kepemerintahannya
dengan penuh keterbukaan dan keakraban
jika ada sangkutnya dengan bab perang
Kompeni yang diandalkan.
Yang kedua dalam perkara
perihal jual beli
penjualan yang berupa beras
yang ketiga benangnya
dengan tumbuh-tumbuhan (hasil bumi) di Jawa
yang berupa merica
104
cabai serta kemukus
biji sawi tanduk rusa
yang semuanya dibayar Kompeni
General kepada Jeng Sunan.
Perselisihan timbul antara keturunan dari almarhum Paku Buwana I,
perselisihan dimulai pada saat upacara (barang-barang pribadi) termasuk
sawah milik Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar dicabut demi
kepentingan bertahtanya Prabu Amangkurat, serta sikap Garwa Kandha
yang memanas-manasi Pangeran Blitar untuk merebut keraton, padahal
perbuatan Garwa Kandha itu mengandung misi lain yaitu untuk
membebaskan anaknya yang telah dipenjara di dalam keraton, hal
tersebut terlihat dalam kutipan-kutipan berikut:
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi
paleler bojasmara.” (pupuh V bait 7 hal. 27)
Garwa Kandha kang ngadon-adoni
105
angaturi angrĕbata pura
nungswa Jawa padha duwe
punapa kaotipun
tuwin wĕling dalĕm kang swargi
ing nĕgara sajawa
singa ingkang mĕngku
putra kĕkalih punika
salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti
kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh V bait 9 hal. 28)
Garwa Kandha marmanya sru mamrih
ing mangke kinunjara
pun Ragum ika arane
Gĕdhong Tĕngĕn genipun
dosanira asaba puri
kados yen Garwa Kandha
sangĕt aturipun
sĕmantĕn Pangeran Balitar
anuruti abdine pinĕpak nuli
siyaga ing ngayuda. (pupuh V bait 28 hal. 31)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan.
Garwa Kandha yang memanas-manasi
memberitahu disekeliling pura
manusia jawa semua memiliki
106
apa berlebih
juga wasiat Raja yang telah meninggal
di Negara seluruh Jawa
singa yang memimpin
kedua putra itu
sebenarnya dhuh Gusti ikutlah mukti
kebangetan kakakmu.
Garwa Kandha rasa keras menghasut
saat ini dipenjara
Ragum itu namanya
Gedung Kanan tempatnya
dosanya keluar puri
seperti yang Garwa Kandha
sangat kata-katanya
begitu Pangeran Blitar
menuriti abdinya yang dipilih sebelumnya
siap dalam peperangan.
Pada kutipan di atas juga dapat dilihat konflik antara Pangeran
Dipati/Prabu Amangkurat dengan kedua adiknya (Pangeran Purbaya dan
Pangeran Blitar), mengakibatkan terjadinya penyerangan terhadap Prabu
Amangkurat oleh kedua adiknya yang dipimpin oleh Garwa Kandha.
Garwa Kandha setelah sampai di alun-alun Kartasura mereka segera
menyerbu dan masuk ke dalam keraton, orang-orang di dalam keraton
merasa ketakutan, disitulah Prabu Amangkurat harus tetap
mempertahankan tahtanya dan kekuasaanya, serta melindungi rakyatnya
dari serangan kedua adiknya demi menjalankan amanat dari ayahnya untuk
memimpin kerajaan. Prabu Amangkurat menyusun strategi dan bekerja
sama dengan Kompeni untuk melawan kedua adiknya. Pemberontakan
dari kedua pangeran itulah yang merupakan dampak dari Suksesi
Kepemimpinan yang memicu beberapa permasalahan.
Serat Babad Sunan Prabu berisi gambaran umum peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa Prabu Amangkurat IV tentang adanya suksesi
107
kekuasaan yang dilakukan oleh sang raja. Hal-hal yang melatarbelakangi
terjadinya suksesi antara lain adalah politik, ekonomi, dan sosial. Faktor
politik yang melatarbelakangi berupa sistem pemindahan kekuasaan kerajaan
yaitu putra mahkota sebagai pewaris tahta dilakukan secara turun-temurun.
Faktor ekonomi yang mempengaruhi adanya suksesi adalah keadaan kerajaan
Kartasura yang sedang tidak stabil dan dikuasai oleh Kumpeni sehingga
dalam mempertahankan kekuasaan diperlukan hubungan kerjasama dengan
kumpeni. Faktor selanjutnya adalah faktor sosial berupa dalam hal
melindungi rakyatnya Prabu Amangkurat telah melanjutkan perjanjian
sebelumnya yang dilakukan Paku Buwana I dengan Kompeni yaitu perihal
hubungan Orang Jawa dengan Orang Belanda, agar terjalin suatu
kemanunggalan antara orang Jawa dan Belanda.
2.3. Dampak Suksesi Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu.
Perang saudara dalam Serat Babad Sunan Prabu dilatar belakangi oleh
pewarisan kepemimpinan yang menimbulkan pemberontakan dan perebutan
daerah kekuasaan. Perang kekuasaan antara Prabu Amangkurat dengan
Pangeran Purbaya dan Blitar yang mengakibatkan penderitaan yang dialami
oleh rakyat dan juga oleh pihak kerajaan itu sendiri. Rakyat dan prajurit
banyak yang meninggal. Penderitaan yang dirasakan rakyat Kartasura dan
Mataram bila ditinjau pada masalah saat ini hampir sama seperti yang tetjadi
di Indonesia yaitu penderitaan yang dirasakan oleh rakyat disebabkan oleh
masalah kemiskinan dan kebodohan.
108
Jika dilihat dalam hal perang maka peperangan pada Serat Babad Sunan
Prabu berbeda dengan peperangan yang dialami Indonesia sekarang ini,
dalam Serat Babad Sunan Prabu peperangan terjadi karena perebutan
kekuasaan yang di sebabkan olek suksesi kepemimpinan. Peperangan yang
dialami Indonesia pada waktu sekarang jelas berbeda, peperangan sekarang
ini yang terjadi di Indonesia yaitu peperangan melawan kemiskinan yang
merupakan masalah bagi negara Indonesia. Di Indonesia masih banyak
penduduk yang miskin, hal tersebut bisa dilihat karena masih adanya
pembagian beras miskin (raskin), jika penduduk di Indonesia sudah banyak
yang kaya maka program raskin juga tidak ada, karena untuk memenuhi
kebutuhan hidup tidak lagi rakyat Indonesia mengharapkan bantuan raskin.
Perang melawan kemiskinan merupakan perang yang saat ini dialami oleh
Indonesia, kemiskinan juga merupakan lawan yang berat bagi Negara
Indonesia karena banyak rakyat Indonesia yang digolongkan rakyat yang
miskin. Perang melawan kemiskinan dapat dilihat pada kutipan berikut:
Kutipan:
Ketua Dewan Harian Angkatan 45 Cabang Pasaman, Sumatera Barat,
Muchtazar M, menyatakan tujuan kemerdekaan yang diperjuangkan para
pahlawan saat ini belum tercapai sepenuhnya, sebab saat ini bangsa
Indonesia masih berjuang untuk memberantas kemiskinan.
"Saat ini perjuangan sekaligus tantangan bangsa di semua aspek mulai
dari pendidikan, ekonomi, dan lainnya serta yang mendesak penanganan
kemiskinan," ucap Muchtazar di Lubuk Sikaping, Senin (17/8).
Dikatakan, kesejahteraan bagi seluruh masyarakat menjadi tugas generasi
penerus bangsa, sebab hingga sekarang masih terjadi ketimpangan antara
daerah, masih banyak jurang pemisah yang terjadi, sehingga kemiskinan
masih banyak dijumpai meski kita telah merdeka dari penjajahan.
Salah satu indikator masih terjadinya kemiskinan di negara ini, menurut
angkatan 45 tersebut, yakni masih adanya beras miskin (Raskin) yang
109
tiap tahun dianggarkan oleh pemerintah, untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat.
Adanya program raskin ini menandakan masih banyak masyarakat yang
belum menikmati kemerdekaan ini seutuhnya, dan hal tersebut
merupakan tantangan yang harus bisa diselesaikan oleh bangsa ini.
Permasalahan dibidang lain yang juga tidak kalah pentingnya demi
kemajuan Indonesia dimasa yang akan datang, dan perjuangan yang telah
dilakukan para pahlawan tidak sia-sia, jelasnya.
Sehubungan dengan itu, angakatan 45 tersebut juga menilai, masih
banyaknya pelaku korupsi merupakan salah satu penyebab pembangunan
bangsa ini belum sepenuhnya dapat terwujud, sehingga jurang pemisah
antara yang kaya dan miski tetap tumbuh, meski kemerdekaan telah
diperjuangkan denga segenap jiwa raga oleh para pehlawan.
"Korupsi merupakan salah satu yang kami lihat menjadi penghalang
kemajuan bangsa ini, seba itu, tindakan hukum yang tegas terhadap
pelaku korupsi ini perlu untuk terus dilakukan," jelasnya.
Sehubungan dengan itu, Muchtazar, juga menyoroti penegakan hukum
yang terjadi saat ini, dimana ia menilai, sampai sekarang penegakan
hukum belum berlaku semestinya, dimana, hukum hanya "tajam
kebawah, dan tumpul keatas".
"Untuk penagakan hukum, aparat yang ada seharusnya dapat benar-benar
menjalankan fungsinya dengan baik, dimana hukum tidak hanya berlaku
bagi kalangan bawah, namun juga dapat ditegakan dengan tegas terhadap
kalangan atas," katanya.
Angkatan 45 didaerah itu, dari data yang ada berjumlah 116 orang,
dimana salah seorang anggotanya tepat pada hari kemerdekaan ke 70 RI,
harus dirawat di RSUD Lubuk Sikaping, atas nama Rusli. (elshita.com.
17 Agustus 2015)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa Indonesia sedang mengalami
peperangan melawan kemiskinan, kemiskinan yang diindikatori dengan
masih adanya beras miskin (raskin) dan korupsi merupakan penyebab
terjadinya kemiskinan di Indonesia. Selain perang melawan kemiskinan di
Indonesia juga mengalami perang terhadap kebodohan, karena masih banyak
kebodohan yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada kutipan berikut:
110
Kutipan:
CURUP, BE- Wakil Bupati Rejang Lebong, H Iqbal Bastari SPd MM
mengungkapkan bahwa tantangan dalam mengisi kemerdaan saat ini
berbeda dengan tantangan saat merebut kemerdekaaan. Salah satu yang
menjadi tantangan dan musuh nyata masyarakat Indonesia saat ini adalah
kemiskinan dan kebodohan.
“Sekarang kita tidak dituntut untuk perang di medan perang, namun
cukup belajar dengan giat karena sesungguhnya musuh kita saat ini
adalah kemiskinan dan kebodohan,” ungkap Wabup saat memimpin rapat
persiapan HUT Kemerdekaan RI di Ruang Pola Pemkab Rejang Lebong
Selasa (19/7) kemarin.
Menurut Wabup, belajar dengan giat merupakan salah satu jalan untuk
memerangi kebodohan dan kemiskinan. Selain itu menurut Wabup,
belajar dengan giat juga bagian dari mewujudkan cita-cita bangsa serta
sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan yang telah berjuang
merebut kemerdekaan
“Kita harus meneladani para pejuang kita, salah satunya pantang
menyerah termasuk pantang menyerah untuk menggapai cita-cita,”
terang Wabup
Sementara itu, terkait dengan pelaksanaan peringatan HUT RI di Rejang
Lebong pada 17 Agustus mendatang. Kabag Kesra Sekretariat
Pemerintah Kabupate Rejang Lebong, Shalahudin selain akan ada
upacara bendera kegiatan lainya yang akan dilakukan yakni perlombaan
olah raga, pesta rakyat dan kegiatan-kegiatan lainya.
“Banyak kegiatan yang akan kita laksanakan, mulai olah raga, upacara,
pesta rakyat dan lainya, dan rapat ini nanti akan dibahas kembali agar
lebih matang,” singkat Shalahudin.
Rapat yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB kemarin selain dihadiri oleh
Wakil Bupati Rejang Lebong, juga dihadiri oleh unsur FKPD dan SKPD
Kabupaten Rejang Lebong serta sejumlah pihak terkait lainnya.
(bengkuluekpress.com, 20 Juli 2016)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa perang yang dialami Indonesia saat
ini adalah perang melawan kebodohan dan kemiskinan, jika perang jaman
dahulu menunggunakan senjata perang maka untuk memerangi kebodohan
dan kemiskinan senjatanya adalah dengan giat belajar.
111
Bentuk perang pada Serat Babad Sunan Prabu dengan perang yang
dialami oleh Indonesia pada waktu sekarang berbeda, jika di dalam Serat
Babad Sunan Prabu peperangan terjadi antara Prabu Amangkurat dengan
Pangeran Purbaya dan Blitar terjadi di medan perang yang menimbulkan
penderitaan bagi rakyat, namun peperangan di Indonesia saat ini bukanlah
perang di medan perang melainkan perang melawan kebodohan dan
kemiskinan yang merupakan sumber penderitaan bagi rakyat. Perang dalam
Serat Babad Sunan Prabu menggunakan senjata perang tetapi perang dalam
melawan kebodohan dengan cara belajar dengan giat.
Dampak dari Suksesi Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu
yaitu akibat yang timbul setelah pewarisan kepemimpinan dari Paku Buwana
I kepada Prabu Amamngkurat. Akibat yang timbul setelah pewarisan
kepemimpian yaitu perpecahan kerajaan, pemberontakan, peperangan,
penderitaan, pembunuhan, kesedihan dan pengasingan.
2.3.1. Perpecahan Kerajaan
Perpecahan Kerajaan timbul antara keturunan dari almarhum
Paku Buwana I, perselisihan dimulai pada saat upacara (barang-
barang pribadi) termasuk sawah milik Pangeran Purbaya dan Pangeran
Blitar dicabut demi kepentingan bertahtanya Prabu Amangkurat, serta
sikap Garwa Kandha yang memanas-manasi Pangeran Blitar untuk
merebut keraton, padahal perbuatan Garwa Kandha itu mengandung
misi lain yaitu untuk membebaskan anaknya yang telah dipenjara di
dalam keraton, hal tersebut terlihat dalam kutipan-kutipan berikut:
112
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi
paleler bojasmara.” (pupuh V bait 7 hal. 27)
Garwa Kandha kang ngadon-adoni
angaturi angrĕbata pura
nungswa Jawa padha duwe
punapa kaotipun
tuwin wĕling dalĕm kang swargi
ing nĕgara sajawa
singa ingkang mĕngku
putra kĕkalih punika
salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti
kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh V bait 9 hal. 28)
Garwa Kandha marmanya sru mamrih
ing mangke kinunjara
pun Ragum ika arane
Gĕdhong Tĕngĕn genipun
dosanira asaba puri
kados yen Garwa Kandha
sangĕt aturipun
sĕmantĕn Pangeran Balitar
anuruti abdine pinĕpak nuli
siyaga ing ngayuda. (pupuh V bait 28 hal. 31)
113
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan.
Garwa Kandha yang memanas-manasi
memberitahu disekeliling pura
manusia jawa semua memiliki
apa berlebih
juga wasiat Raja yang telah meninggal
di Negara seluruh Jawa
singa yang memimpin
kedua putra itu
sebenarnya dhuh Gusti ikutlah mukti
kebangetan kakakmu.
Garwa Kandha rasa keras menghasut
saat ini dipenjara
Ragum itu namanya
Gedung Kanan tempatnya
dosanya keluar puri
seperti yang Garwa Kandha
sangat kata-katanya
begitu Pangeran Blitar
menuriti abdinya yang dipilih sebelumnya
siap dalam peperangan.
114
Kutipan-kutipan di atas menunjuknya awal mula terjadinya
perpecahan kerajaan yang disebabkan oleh Prabu Aamangkurat
karena mengambil benda kehormatan kedua pangeran demi naik
tahta menjadi raja, dan sifat Garwa Kandha yang memanasi-manasi
Pangeran Purbya dan Pangeran Blitar untuk segera memberontak
Prabu Amangkurat, karena sakit hati dan merasa telah dizolimi
kedua pangeran melakukan pemberontakan yang mengakibatkan
terjadinya perpecahan.
2.3.2. Pemberontakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pemberontakan
adalah proses, cara, perbuatan memberontak; penentangan terhadap
kekuasaan yg sah. Pemberontakan, dalam pengertian umum, adalah
penolakan terhadap otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam
berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil
disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya
meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan
untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang
berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa
kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan
disebut sebagai pemberontak.
Pemberontakan dalam Serat Babad Sunan Prabu diawali
karena Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar tidak terima jika
upacara atau benda kehormatan Pangeran diambil semuanya demi
kepentingan naik tahta Pangeran Dipati/Prabu Amangkurat dan juga
115
dipengaruhi oleh Garwa Kandha yang memanas-manasi kedua
pangeran untuk melakukan pemberontakan, dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
Kutipan:
Sĕmantĕn Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Balitar
pinundhut upacarane
duk panjĕnĕnganipun
ingkang rama putra kĕkalih
kĕndhagannya gotongan
pĕngawinanipun
gangsal ingkang munggeng ngarsa
wus pinundhut rĕnggan pangran badhe aji
upacara kaputran.” (pupuh V bait 6 hal 27)
Mung upacara sĕntana mĕksih
ingkang rayi kalih tan lĕnggana
nanging anjarĕm galihe
myang gĕgadhuhanipun
Jagasura wus denpundhuti
wusdene ing Balora
gih sampun pinundhut
mila saya sangĕt susah
Bĕndara Pangran Balitar ngulig abdi
paleler bojasmara.” (pupuh V bait 7 hal. 27)
Garwa Kandha kang ngadon-adoni
angaturi angrĕbata pura
nungswa Jawa padha duwe
punapa kaotipun
tuwin wĕling dalĕm kang swargi
ing nĕgara sajawa
singa ingkang mĕngku
putra kĕkalih punika
salĕrĕse dhuh gusti tumuta mukti
kĕsangĕtĕn rakanta. (pupuh V bait 9 hal. 28)
Garwa Kandha marmanya sru mamrih
ing mangke kinunjara
pun Ragum ika arane
Gĕdhong Tĕngĕn genipun
dosanira asaba puri
kados yen Garwa Kandha
116
sangĕt aturipun
sĕmantĕn Pangeran Balitar
anuruti abdine pinĕpak nuli
siyaga ing ngayuda. (pupuh V bait 28 hal. 31)
Terjemahan:
Begitu Pangeran Adipati
Purbaya Adipati Blitar
diambil upacaranya (benda kehormatan pangeran)
ketika mereka
yang ayahnya dua anak itu
petinya digotong
pengiringnya
lima yang berada di depan
sudah diambil dipakai untuk menjadi raja
upacara kaputran.
Hanya upacara keluarga kerajaan masih
yang adik keduanya tidak menerima
tetapi berbekas dihati
kepada kekacauannya
Jagasura sudah diambil
beserta yang di Balora
juga sudah diambil
maka semakin sangat susah
Bendara Pangran Blitar mengelus abdi
Memberikan makanan.
Garwa Kandha yang memanas-manasi
memberitahu disekeliling pura
manusia jawa semua memiliki
apa berlebih
juga wasiat Raja yang telah meninggal
di Negara seluruh Jawa
singa yang memimpin
kedua putra itu
sebenarnya dhuh Gusti ikutlah mukti
kebangetan kakakmu.
Garwa Kandha rasa keras menghasut
saat ini dipenjara
Ragum itu namanya
Gedung Kanan tempatnya
dosanya keluar puri
seperti yang Garwa Kandha
sangat kata-katanya
begitu Pangeran Blitar
117
menuriti abdinya yang dipilih sebelumnya
siap dalam peperangan.
Kutipan-kutipan di atas dapat dilihat bagaimana mulanya
pemberontakan yang dilakukan Pangeran Purbaya dan Pangeran
Blitar disebabkan karena upacara kedua pangeran telah diambil
untuk kepentingan naik tahta Prabu Amangkurat. Sementara itu
Garwa Kandha juga ikut memanas-manasi Pangeran Purbaya dan
Blitar supaya melakukan pemberontakan terhadap Prabu
Amangkurat, padahal tujuan Garwa Kandha memanas-manasi
memiliki tujuan lain yaitu dia ingin membebaskan anaknya yang
telah dipenjara di dalam Keraton. Rasa kecewa yang besar terhadap
Prabu Amangkurat dan telah termakan oleh pengaruh dari Garwa
Kandha maka Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar melakukan
pemberontakan.
2.3.3. Peperangan
Teori Thomas Hobbes (1651), manusia dapat menjadi
serigala bagi sesamanya Hal ini dilandasi tiga hal yaitu keuntungan,
kemanan danreputasi. Konsekuensi logis dari naluri yang mendasar
ini, manusia akan melakukantindakan bertahan untuk menjamin
kelangsungan hidupnya. Negara adalah lingkuplebih besar yang
merupakan wujud dari individu manusia. !etiap Negara memiliki
kepentingan nasional untuk menjamin kelangsungan berbangsa dan
bernegara. Upaya kepentingan nasionalnya terpenuhi, pada suatu
titik kulminasi tertentu dimana cara-cara normatif tidak mencapai
118
hasil, suatu Negara akan menyerang Negara lainnya. Implikasi yang
ditimbulkan adalah suatu Negara akan berusaha mempertahankan
dirinya dari serangan Negara lain sehingga timbulah perang.
Peperangan timbul antara keturunan Paku Buwana I,
peperangan diawali karena Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar
tidak terima jika upacara atau benda kehormatan Pangeran diambil
semuanya demi kepentingan naik tahtanya Pangeran Dipati/Prabu
Amangkurat. Perang berkecamuk karena Pangeran Purbaya dan
Pangeran Blitar tidak terima apa yang dilakukan kakaknya
kepadanya, sedangkan Prabu Amangkurat mau tidak mau beliau
harus meladeni pemberontakan yang dilakukan oleh kedua adiknya
demi melindungi tahtanya. Prabu Amangkurat juga melakukan
penyerangan kepada kedua adiknya demi menjaga kepemimpinannya.
Serangan Pangeran Blitar dan Pangeran Purbaya terhadap Prabu
Amangkurat yang dipimpin oleh Garwa Kandha. Serangan yang
dipimpin oleh Garwa Kandha dapat dilihat dari kutipan berikut:
Kutipan:
Garwa Kandha kang dadya cucuking ngarsa
para lurah nambungi
ki gĕndara desa
lawan pun anggĕndara
jaladara lawan malih
kang mangundara
subala lan subali. (bait 1 pupuh 6 hal. 32)
Terjemahan:
Garwa Kandha yang menjadi pemimpin di depan
para lurah mengikuti
para pemimpin desa
juga menjadi pengikutnya
119
mendung dan juga
yang membentuk mendung
prajurit dan prajurit.
Prabu Amangkurat memimta bantuan Kompeni yang
dikomando oleh Tuan Atmral Baritman untuk mengatasi serangan
dari kedua adiknya terhadap Kartasura, dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Kutipan:
Lutnan myarsa wuwuse Mangun Nĕgara
kagyat wadya Kumpĕni
pan sampun sadhiya
inggal dhatĕng pamĕkang
mung Wĕlanda rong Kumpĕni
prapteng pamĕngkang
lan mungsuh wus ajurit. (pupuh VI bait 11 hal. 13)
Terjemahan:
Letnan menyimak laporan Mangun Nagara
kaget bala Kompeni
tetapi sudah bersiap
segera menuju tempat
hanya Belanda dua kumpeni
sampai ke tempat
dan musuh sudah berperang
Peperangan terjadi antara Prabu Amangkurat dengan Pangeran
Purbaya dan Pangeran Blitar
Kutipan:
Sarta atĕngara umung sampun cĕlak
Kumpĕni sarĕng bĕdhil
kang para ngulama
samya mamuk mring ngarsa
sampun karsaning Ywang Widi
tumpĕs sĕdaya
santri kĕdhik kang kari. (pupuh 6 bait 224 hal. 57)
120
Kathah pĕjah ing prang sabil lawan kopar
sigra sagunging mantri
myang para punggawa
sami tĕtulung yuda
nanging gugup ingkang jurit
Kumpĕni eca
alumbungan kang baris. (pupuh 6 bait 225 hal. 57)
Pra punggawa Kablitaran tuna dungkap
kaclĕkuthak ing jurit
suda manahira
binendrong ing sĕnjata
akathah longe kang mati
Sultan Balitar
kĕsisaning ngajurit.(pupuh 6 bait 226 hal. 58)
Terjemahan:
Serta tanda-tanda ramai sudah dekat
kumpeni lalu menembak
yang para ulama
segera melihat ke depan
sudah kehendak Tuhan
tumpas semua
sedikit santri yang tertinggal.
Banyak yang mati dalam perang sabil melawan orang kafir
segera seluruh mantri
dan para punggawa
saling menolong dalam perang
tetapi gugup yang berperang
kumpeni enak
banyak yang berbaris.
Para punggawa Kablitaran kurang mencukupi
terkapar dalam perang
berkurang hatinya
diserang dengan senjata
banyak berkurang karena mati
Sultan Blitar
kehabisan prajurit.
Kutipan di atas menunjukan peperangan antara Kompeni
dengan pasukan Pangeran Blitar, pasukan Pangeran Blitar banyak
yang mati, seluruh mantri dan para punggawa saling menolong
121
dalam perang tetapi barisan Kompeni sangat kuat, para punggawa
Kablitaran kurang mencukupi dan terkapar dalam perang. Kompeni
menembaki pasukan Kablitaran yang akhirnya membuat Pangeran
Blitar kehabisan prajurit.
2.3.4. Penderitaan
Penderitaan berasal dari kata derita. Kata derita berasal dari
bahasa sansekerta dhar yang artinya menahan atau menangung.
Derita artinya menanggung atau merasakan sesuatu yang tidak
menyenangkan. Penderitaan itu dapat berbentuk lahir atau batin,
keduanya termasuk penderitaan ialah keluh kesah, kesengsaraan,
kelaparan dan lain-lain (Achmad Rosyidi, 2007).
Penderitaan, rasa sakit, dan tersiksa adalah bagian hidup
manusia. Tiap manusia pernah dan akan mengalaminya, meskipun
kadar penderitaanya, rasa sakit dan rasa tersiksa itu tidak sama.
Suksesi Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu juga
membawa penderitaan. Penderitaan pertama kali dirasakan oleh
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar pada waktu semua barang
kehormatan pangeran diambil oleh Prabu Amangkurat untuk naik
tahta, sehingga membawa penderitaan tersendiri bagi keduanya.
Penderitaan terutama dirasakan oleh prajurit karena prajurit banyak
yang meninggal. Kesensaraan juga dirasakan oleh masyarakat kecil,
karena adanya peperangan masyarakat kecil menjadi ketakutan.
Penderitaan yang paling dirasakan adalah pada waktu Pangeran
122
Blitar dan pengikutnya terkena pagebluk atau terkena wabah
penyakit setelah kalah perang dengan Kerajaan Kartasura.
Kutipan:
Pangran Purbaya mangsuli aris
witne paman kula langkung awrat
nanging yen emut wĕlinge
swargi Rakanta Prabu
ing kawula mawanti-wanti
tuwin dhatĕng putranta
Ki Lurah puniku
gih winĕling pyambak-pyambak
nitipakĕn sĕdhereke kang wuragil
samurwate wiryaa. (pupuh 5 bait 22 hal. 30)
Pangran Balitar nambungi aris
pan kawula paman botĕn ĕsak
upacara sĕkathahe
pinundhutan sĕdarum
kula sampun ngraos yen alit
dene tĕkan gadhuhan
sabin kang pinundhut
kang kula tĕdha punapa
bocah kula langkung sangking gangsal biting
saksrik sangĕt awirang. (pupuh 5 bait 23 hal. 30)
Terjemahan:
Pangeran Purbaya menjawab pelan
emosi paman saya lebih berat
tetapi kalau ingat pesan
almarhum Rakanta Prabu
pada diri saya yang berhati-hati
juga terhadap anak
Ki Lurah itu
ya pesan sendiri-sendiri
menitipkan saudara yang terakhir
dibuat luhur.
Pangeran Blitar membalas pelan
tetapi saya paman tidak bagus
upacara sebanyaknya
diambil semua
saya sudah merasa kalau kecil
karena sampai warisan
sawah yang dipundut
123
yang saya makan apa
anak saya lebih dari lima orang
kantong sangat sedih.
Kutipan di atas menujukkan betapa bersedihnya Pangeran
Purbaya dan Pangeran Blitar karena benda-benda miliknya telah
diambil Prabu Amangkurat. Pangeran Purbaya emosi dan merasa
susah, dia juga merasa gagal tidak bisa menjaga amanah dari
ayahnya untuk menjaga adik bungsunya. Pangeran Blitar juga
merasakan penderitaan dia merasa kecil karena sudah tidak memiliki
apa-apa, segala hartanya telah diambil termasuk warisan dan
sawahnya, padahal dia juga mempunyai anak banyak, dengan apa
harus membiayai anaknya jika semua hartanya diambil.
Kutipan:
Duk sĕmana wong cilik ing Kartasura
wus wĕdi mring Matawis
angladosi lunga
myang para mantrinira
minggat prasamya abaris
milyeng Mataram
lorodan sabĕn latri. (pupu 6 bait 61 hal. 39)
Terjemahan:
Pada waktu itu orang kecil di Kartasura
sudah takut terhadap Matawis (Mataram)
melayani pergi
ke para mantri
pergi pada mulai berbaris
ke Mataram
turunan sertiap lumpur.
Kutipan di atas menunjukan bahwa orang kecil di Kartasura
ikut merasakan pederitaan yang disebabkan oleh perang antarsaudara
124
dampak dari suksesi kepemimpinan. Rakyat kecil di Kartasura
ketakutan dengan Mataram karena melakukan penyerangan terhadap
Kartasura, rakyat kecil lebih memilih untuk pergi meninggalkan
Kartasura untuk menghidari peperangan tersebut.
Kutipan:
Sampun mangkat saha bala
Pangeran Hamangkubumi
neng Kĕlathen barisira
sigra wong Mataram prapti
rame dennya ajurit
gĕnti dennya silih arug
langkung sudiraning prang
Pangeran Hamangkubumi
wong Mataram akathah longe kang pĕjah.(pupuh 7 bait 23 hal.
63)
Terjemahan:
Sudah berangkat dengan prajurit
Pangeran Hamangkubumi
di Klaten Berbaris
kemudian orang Mataram datang
ramai dengan peperangan
berganti orang berganti lawan
lewat keberanian perang
Pangeran Hamangkubumi
orang Mataram banyak orangya yang mati.
Kutipan di atas menunjukan penderitaan yang dialami oleh
prajurit Mataram karenan terjadi peperangan di Klaten yang
membuat prajurit Mataram banyak yang meninggal, sebenarnya
kalau tidak terjadi peperangan antara Kartasura dengan Mataram
mungkin prajurit Mataram tidak banyak yang meninggal.
125
Penederitaan juga dirasakan oleh Pangeran Blitar dan
rakyatnya di Malang karena terserang Pageblug setelah kalah perang
dengan pasukan Kompeni, dapat dilihat pad kutipan berikut:
Kutipan:
Sampun samya mĕsanggrahan
neng lĕbak kuwune nĕnggih
nuntĕn wontĕn wĕlak prapta
wong cilik akeh kang grĕring
sakite mutah mising
sadina satus kang lampus
Tuwan Atmral wus budhal
nĕgara Malang ginitik
datan suwe prĕrange Malang wus bĕdhah.(pupuh 7 bait 173 hal.
85)
Sultan Balitar gya tĕdhak
wangsul dhatĕng Malang malih
mĕsanggrahan Kali Gangsa
Kangjĕng Sultan ing samangkin
gĕrah sangĕt nglangkungi
Sultan lajĕng sedanipun
pra garwane karuna
bubar mantrine kang abdi
kang sawĕneh nusul marang Panĕmbahan. Pupuh 7 bait 178 hal.
85)
Terjemahan:
Sudah pada tinggal
di lembah tempat tinggal yaitu
kemudian ada kesensaraan datang
orang kecil banyak yang kurus
sakitnya muntah dan berak
sehari seratus yang mati
Tuwan Atmral sudah pergi
negara Malang menysup
tidak lama perangnya Malang sudah kalah.
Sultan Blitar segera turun
kembali ke Malang lagi
bertempat tinggal Sungai Gangsa
Kangjeng Sultan kemudian
126
sakit sekali mendahului
Sultan kemudian kematiannya
para istrinya menangis
bubar prajurit yang mengabdi
yang diwaktu itu menyusul kepada Panembahan.
Kutipan di atas menunjukan penderitaan yang dialami oleh
Pangeran Blitar dan prajuritnya karena setelah kalah pernag dengan
Kartasuran, Pangeran Blitar pergi ke Malang dan tinggal disana
bersama rakyat dan pengikutnya, mereka terserang wabah penyakit
muntah berak atau pageblug. Banyak rakyat kecil yang kurus kering
terserang penyakit muntah berak dan sehari seratus orang meninggal,
tak luput Pangeran Blitar juga terserang penyakit yang akhirnya
meninggal dunia, istrinya menangisi kepergian Pangeran Blitar, para
abdi dan prajuritnya kemudian menyusul Pangeran Purbaya.
Penderitaan terserang pageblug ini merupakan dampak dari suksesi
kepemimpinan, misal tidak terjadi suksesi kepemimpinan dan
pemberontakan maka hal ini mungkin tidak akan menimpa Pangeran
Blitar dan rakyatnya.
2.3.5. Pembunuhan
Pembunuhan berarti perkosa, membunuh atau perbuatan bunuh.
Peristiwa pembunuhan minimal ada dua orang yang terlibat, orang
yang dengan sengaja menghilangkan atau mematikan nyawa disebut
pembunuh, sedangkan orang yang dimatikan atau yang dihilangkan
nyawanya disebut korban (Purwadarminta, 1976:169).
127
Pembunuhan dalam Suksesi kepemimpinan pada Serat Babad
Sunan Prabu ini tidak dapat dipungkiri, karena adanya peperangan
maka banyak yang saling membunuh, misalnya pembunuhan yang
dilakukan oleh Tuan Atmral Baritman terhadap Pangeran Pancawati,
terlihat dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Atmral Britman umiyat kĕlangkung suka
anulya tinut wuri
myang sagung dipatya
umiringi marang Atmral
prapteng ngarsaning surambi
Atmral umiyat
mring Pangeran Pancawati. (pupuh VI bait 98 hal. 43)
Gulangsaran pinĕrpĕkan dening Atmral
asru denira nangling
heh tabe Pangeran lu mau jadhi raja
Amangkurat Tanah Jawi
mĕngapa lukak
putus tangannya kering.(pupuh VI bait 99 hal. 43)
Mari bangun aku angkat jadhi raja
Pangeran Pancawati
nangis mĕgap-mĕgap
angranuhi brananya
Atmral suka denirangling
anarik pĕdhang
guwa akasih baik. (pupuh VI bait 100 hal. 43-44)
Terjemahan:
Atmral Britman pergi dengan gembira
selanjutnya di buntuti
kepada seluruh adipati
mengiringi kepada Atmral
sampai ke depan serambi
Atmral pergi
ke Pangeran Pancawati.
Terkapar dikelilingi oleh Atmral
128
dengan keras dirinya berbicara
heh Kangjeng Pangeran kamu mau jadi raja
Amangkurat tanah Jawa
mengapa luka
putus tangan kirinya.
Mari bangun aku angkat jadi raja
Pangeran Pancawati
menangis tersedu-sedu
merasa sedih kesakitan
Atmral senang membuat sakit
menarik pedang
aku masih baik.
Dari kutipan di atas dapat dilihat pembunuhan yang dilakukan
Atmral Baritman kepada Pangeran Pancawati, pembunuhan
Pangeran Pancawati sangat dramatis karena tuan Atmral membunuh
Pangeran Pancawati penuh dengan ambisi untuk membunuh, Atmral
sangat pintar memainkan kata-kata dia seolah-olah menawarkan
Pangeran Pancawati untuk menjadi raja tapi yang dilakukan
hanyalah untuk mengolok-olok ketidak berdayaan Pangeran
Pancawati, dengan kondisi yang tidak berdaya Pangeran Pancawati
hanya bisa menangis dan menerima takdir hidupnya yang berada
ditangan Atmral Baritman. Setelah Atmral puas mengolok-olok
Pangeran Pancawati dia langsung membunuh Pangeran Pancawati
dengan pedangnya.
2.3.6. Kesedihan
Kesedihan adalah salah satu dari bentuk emosi yang di
dalamnya meliputi pedih, sedih, muram, suram, melankolis,
mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa dan depresi (Daniel
Goleman, 1995).
129
Kesedihan dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu sangat
dirasakan oleh Ratu Ageng yaitu ibunda Prabu Amangkurat,
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar. Sosok ibu pasti akan sedih
jika melihat anaknya tidak akur, seperti halnya Kanjeng Ratu Ageng
yang sangat sedih melihat perang saudara yang melibatkan Prabu
Amangkurat dengan Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar,
kesedihan yang dirasakan Kangjeng Ratu Ageng dapat dilihat dalam
kutipan berikut:
Kutipan:
Malbeng pura malih sing kidul kewala
nulya mundur tumuli
sawadya lon-lonan
sĕmantĕn pan meh ĕbyar
Kangjĕng Ratu Agĕng nĕnggih
dupi miyarsa
amuwun kuntrang-kantring. (pupuh 6 bait 17 hal. 34)
Masambat kang raka Jĕng Sinuhun Swarga
dhuh lah e Sri Bupati
tan sagĕd kawula
tĕngga putra paduka
Sunan gawanĕn ngĕmasi
putra paduka
sami bĕrwala jurit.(pupuh 6 bait 18 hal. 34)
Samangkana Kangjĕng Ratu lajĕng minggah
dhumatĕng Gunung Kunthi
Pangeran Balitar
prapta ing Purubaya
ngidul sawadyanira glis
kang ibu mirsa
ngawe nguwuh anjĕlih. (pupuh 6 bait 19 hal. 34)
Asta tĕngĕn angawe-awe kang putra
astane ingkang kering
angusapi waspa
dhuh kulup dipuninggal
ngungsia kangmasmu nuli
130
Ki Purubaya
dhuh kulup poma aglis. (pupuh 6 bait 20 hal. 34)
Terjemahan:
Masuk ke dalam Pura yang letaknya di sebelah selatan
sering mundur kemudian
berjalan bergandengan
hanya beberapa yang akan bubar
Kangjeng Ratu Ageng melihat
semua itu
kemudian menangis tersedu-sedu.
Sang kakak Mengeluh kepada Kangjeng Sinuhun Swarga
dhuh lah e Sri Bupati
aku tidak bisa
menunggu putra raja
Sunan bawalah mati
putra paduka
prajurit saling berperang.
Begitulah Kangjeng Ratu kemudian naik
menuju Gunung Kunthi
Pangeran Balitar
sampai di Purubaya
menuju ke selatan dengan tergesa-gesa bersama teman-temannya
Sang Ibu mengetahui
melambaikan tangan berseru memanggil.
Tangan kanan melambai-lambai sang anak
tanganya yang kiri
mengusapi air mata
duh ikut ditinggal
menyikir kakakmu cepat
Ki Purbaya
duh ikut cepat.
Dari kutipan di atas sangat jelas Kangjeng Ratu Ageng sangat
sedih dan khawatir melihat ketiga putranya terlibat perang saudara.
Beliau bersedih karena tidak bisa menjaga putranya dengan baik,
merasa gagal dalam mendidik anak dan merasa bersalah kepada Paku
Buwana I karena setelah meninggalnya Paku Buwana kerajaan
131
menjadi ricuh penuh peperangan. Kangjeng ratu begitu sedihnya dan
mengeluh, beliau juga mendoakan Pakubawana I supaya
mendapatkan tempat yang nyaman di surga. Kutipan di atas juga
menunjukkan betapa Kangjeng Ratu Ageng mengkhawatirkan
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar supaya mereka melarikan diri
untuk berlindung.
Kesedihan juga dirasakan oleh Pangeran Harya Mataram
selaku paman dari Prabu Amangkurat, Pangeran Purbaya dan
Pangeran Blitar, beliau sedih karena keadaan yang terjadi diantara
Prabu Amangkurat dengan Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar,
kesedihan Pangeran Harya Mataram dapat dilihat dalam kutipan
berikut:
Kutipan:
Pangran Harya Mataram asĕdhih
adhuh angger sakarsa andika
lamun mĕkatĕn kanthane
bubuhane wong jimbun
yen kanggoa amĕmalangi
tog-togane neng tĕngah
nora milu-milu
sapa ingkang kaserenan
ing nurbuwat wong tuwa amung dhĕdhumpil
punika ywan pun paman. (pupuh 5 bait 17 hal. 29)
Terjemahan:
Pangeran Harya Mataram bersedih
adhuh setiap keinginan yang kusampaikan
seperti ini tidak ada hasilnya
susahnya orang pikun
kalaulah digunakan untuk menghalangi
akhirnya menengahi
tidak ikut-ikutan
siapa yang berhenti
132
berbakti kepada orangtua tetapi hanya menumpang hidup,
itulah Paman.
Kutipan di atas dapat dilihat jika Pangeran Harya Mataram
selaku paman dari Prabu Amamangkurat, Pangeran Purbaya, dan
Pangeran Blitar bersedih melihat terjadinya peperangan antarsaudara
tersebut. Pangeran Harya Mataram merasa tidak ada hasilnya
memberi nasihat kepada keturunan Paku Buwana I karena nasihatnya
telah dilupakan dan tidak dihiraukan terbukti terjadi peperangan
antarsaudara.
2.3.7. Pengasingan
Pengasingan adalah tindakan membuang atau menyingkirkan
seseorang jauh dari peradaban yang bertujuan untuk memberi
hukuman. Pengasingan dalam Serat Babad Sunan Prabu yaitu
dilakukan oleh Prabu Amangkurat terhadap Pangeran Purbaya
karena Prabu Amangkurat kecewa terhadap perbuatan yang
dilakukan Pangeran Purbaya yang memberontak terhadap Kerajaan
Kartasura, hal ini merupakan hukuman bagi Pangeran Purbaya dan
pengikutnya.
Siasat licik dijalankan dengan sangat hati-hati yaitu dengan
mendatangkan seorang utusan dari Betawi yang bertugas menjemput
Pangeran Purbaya untuk mempertemukan dengan Jendral di Betawi,
disinilah Pangeran Purbaya dan Panembahan Herucakra dibuang di
Pulau Kap, sedangkan Adipati Natapura, Surapati, Suradilaga, Jaka
133
Tangkeban dibuang ke Selong, terbukti dalam kutipan-kutipan
berikut:
Kutipan:
Pasliyun saking nagri Bĕtawi
ngaturi Panĕmbahan Purbaya
sĕngadi General mangke
ingkang arsa tĕtĕmu
lan Nĕmbahan Purbaya tuwin
gandhek dalĕm sĕmana
praptane anuju
amundhut Pangeran Harya
lah ing ngriku gandhek Pasliyun nyarĕngi
angkate kur-ungkuran. (pupuh 8 bait 1 hal. 102)
Sampun layar sangking ing Sĕmawis
Panĕmbahan lan sarowangira
parestri lara tangise
asangĕt ing gĕgĕtun
tamtunipun kĕna ing sandi
ngomadaka Wĕlanda
maleca ing wuwus
sĕdyarasa sami ngamuka
pan wus kasep gĕgamane wus denpeki
yata gantya winarna. (pupuh 8 bait 2 hal. 102)
Ngĕlih nama Pangran Harya mangkin
Mangkunĕgara ing Kartasura
kocap malih lah ing kono
ingkang lumakyeng nglaut
sampun prapta nagri Bĕtawi
Panĕmbahan Purbaya
lan sarowangipun
Panĕmbahan Herucakra
pan binucal dhatĕng pulo Kap anunggil.
rakanya sĕpuh pyambak. (pupuh 8 bait 4 hal. 102)
Pangran Bei tinarka marahi
dene Adipati Natapura
tanapi Surapatine
myang Suradilaga wus
miwah Jaka Tangkĕban tuwin
sampun samya binucal
dhatĕng Selong wau
Panĕmbahan Purubaya
134
aneng beteng alang-alang dera wrĕgil
lan putra garwanira. (pupuh 8 bait 5 hal. 102)
Terjemahan:
Pasliyun dari negara Betawi
mengundang Panembahan Purbaya
Jendral yang bersemangat bertemu nanti
yang ingin bertemu
dan Nembahan Purbaya dengan
abdi dalem segitu
kedatangannya menuju
mengambil pangeran harya
nah di situ abdi dalem Pasliyun mengikuti
angkatannya banyak.
Sudah berlayar dari Semarang
Panembahan dan pasukannya
para sakit tangisnya
yang sangat kecewa
tentunya terkena jebakan
oleh Belanda
berubah pada perkataan
berniat rasa sama marah
tapi sudah terlambat senjatanya sudah diminta
kemudian berganti jenis.
Berganti nama Pangeran Harya nanti
Mangkunegara di Kartasura
diceritakan berubahlah di sana
yang berjalan di laut
sudah sampai Negara Betawi
Panembahan Purbaya
dan kawan-kawannya
Pangeran Harucakra
akan dibuang ke pulau Kap
bersatu kakaknya tertua sendiri.
Pangeran Bei berfikiran penyebab
sedangkan adipati Natapura
diteripa Surapatinya
sudah ke Surabaya
dan juga Jaka Tangkeban
sudah sama-sama dibuang
ke Selong tadi
Panembahan Purabaya
ada di beteng alang-alang oleh terakhir
dan anak istrinya.
135
Kutipan di atas dapat dilihat siasat licik yang dilakukan oleh
Prabu Amangkurat yang bekerja sama dengan Kompeni. Pertama
Pasliyun dari Batawi mengundang Pangeran Purbaya ke
Betawi/Jakarta untuk melakukan diskusi dengan Jenderal, namun
sebenarnya itu hanyalah jebakan yang disusun oleh Kompeni untuk
menjebak Pangeran Purbaya dan pasukannya. Waktu Pangeran
Purbaya melakukan perjalanan menuju Betawi disitulah siasat licik
pengasingan dilakukan. Pangeran Purbaya dan Panembahan
Herucakra dibuang di Pulau Kap, sedangkan Adipati Natapura,
Surapati, Suradilaga, Jaka Tangkeban dibuang ke Selong.
Pengasingan ini merupakan dampak terakhir dari suksesi
kepemimpinan, karena setelah pengasingan kerajaan Kartasura
menjadi tentram dan damai tidak ada gangguan dan penyerangan lagi.
Dampak dari Suksesi Kepemimpinan dalam Serat Babad Sunan Prabu
menimbulkan perpecahan kerajaan, pemberontakan, perang, pederitaan,
pembunuhan, kesedihan dan pengasingan. Perpecahan kerajaan timbul setelah
Prabu Amangkurat mengambil upacara atau benda kehormatan Pangeran
Purbaya dan Blitar, karena tidak terima dengan hal tersebut maka Pangeran
Purbaya dan Blitar melakukan pemberontakan yang mengakibatkan
perpecahan kerajaan. Pemberontakan juga disebabkan oleh garwa Kandha
yang memanas-manasi supaya melakukan pemberontakan. Perang antara
kubu Amangkurat dengan Pangeran Purbaya dan Blitar pun tak dapat
dihindari. Peperangan menimbulkan penderitaan bagi rakyat Kartasura
maupun Mataram, rakyat banyak yang ketakutan dan prajurit juga banyak
136
yang meninggal, dan pederitaan sangat dirasakan oleh Pangeran Blitar yang
mengalami pajeblug atau wabah penyakit, rakyatnya banyak yang meninggal
begitu pula dengan Pangeran Blitar yang mengalami sakit parah, pada
akhirnya meninggal dunia. Pembunuhanpun tidak dapat dihindari, banyak
yang saling membunuh demi memenangkan peperangan. Dampak kesedihan
sangat dirasakan oleh Kangjeng Ratu Ageng ibu dari Prabu Amangkurat,
Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar karena melihat ketiga putranya terlibat
perang kekuasaan. Pengasingan merupakan dampak terakhir setelah
timbulnya peperangan yaitu Prabu Amangkurat bekerja sama dengan
Kompeni membuang Pangeran Purbaya ke Pulau Kap.
Kisruh tentang suksesi kepemimpinan tidak hanya terjadi pada masa
lampau dalam Serat Babad Sunan Prabu namun kisruh tentang pewaris
kepemimpinan atau suksesi kepemimpinana juga dialami oleh Keraton
Kasunanan Surakarta. Jika kisruh dalam Serat Babad Sunan Prabu
diakibatkan karena Prabu Amangkurat mengambil benda kehormatan
pangeran milik Pangeran Purbaya dan Blitar demi naik tahta Prabu
Amangkurat menjadi raja yang menimbulkan pemberontakan dan terjadi
peperangan antarsaudara, namun kisruh dalam Keranton Kasunanan
Surakarta disebabkan Paku Buwana XII tidak memiliki putra mahkota untuk
menggantikannya. Kisruh memunculkan dualisme kepemimpinan di
Keraton dan dualisme itu muncul setelah meninggalnya Paku Buwana XII
pada 11 Juni 2004. Keraton terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama di
bawah kepemimpinan PB XIII Hangabehi dengan tinggal di Keraton
137
Kasunanan Surakarta. Kubu kedua di bawah kepemimpinan PB XIII
Tedjowulan yang menetap di kawasan Kota Barat, Solo.
Perselisihan dua raja tersebut muncul setelah masing-masing
mengklaim sebagai pewaris sah tahta keraton. Dampaknya, setiap acara
budaya keraton digelar, selalu saja muncul dua versi, dan itu sudah
berlangsung selama delapan tahun. Konflik Keraton Kasunanan Surakarta
dapat dilihat dalam kutipan berikut:
Kutipan:
Liputan6.com, Surakarta: Suksesi pemegang kekuasaan Keraton Surakarta,
Jawa Tengah, sarat intrik dan konflik. Bahkan keluarga pecah menjadi dua
kubu. Mereka "berperang" untuk memperebutkan tahta di Kasunanan
Surakarta Hadiningrat. Begitu pula setelah Sunan Paku Buwono XII
mangkat pada 11 Juni 2004. Perang memperebutkan tahta kekuasaan
keraton sudah dimulai. Dan besar kemungkinan, konflik ini akan berakhir
dengan melahirkan raja kembar.
Sepekan setelah mangkatnya Susuhunan Paku Buwono XII, hubungan
kerabat Keraton Surakarta mulai meruncing. Penentuan siapa pengganti
Susuhunan PB XII ini muncul karena adanya tarik-menarik antara dua
kubu kerabat keraton, Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi
dan KGPH Tedjowulan.
Penolakan terhadap Hangabehi dimotori KGPH Dipo Kusumo. Akhirnya,
bersama tiga pengageng keraton, Dipo mencuatkan nama KGPH
Tedjowulan sebagai pengganti PB XII. Kubu Tedjowulan berada di luar
keraton mempercepat penobatan pada 30 Agustus 2004 [baca: KGPH
Tedjowulan Dinobatkan Sebagai Raja Solo]. Keluarga KGPH Tedjowulan
antara lain putra-putri yang dilahirkan garwo ampil atau selir pertama
GRAy Mandayaningrum, garwo ampil tiga GRAy Rio Rogasmara, dan
garwo ampil keenam GRAy Retnodiningrum. Tedjowulan adalah putra
kedua dari GRAy Retnodiningrum.
Kubu Hangabehi yang berada di dalam keraton secara sistematis
mempersiapkan penobatan KGPH Hangabehi sebagai PB XIII pada 10
September nanti. Keluarga KGPH Hangabehi merupakan keturunan PB
XII dari garwo ampil kedua GRAy Pradapaningrum. Hangabehi adalah
anak tertua laki-laki tertua di antara seluruh keluarga karena garwo ampil
pertama tidak menurunkan anak laki-laki.
138
Upaya mempertemukan seluruh kerabat keraton masih menemui jalan
buntu. Perebutan tahta kali ini dinilai karena PB XII tidak mempunyai
permaisuri, sehingga tidak ada putra mahkota. Di sisi lain adanya nuansa
perebutan aset fisik maupun nonfisik di keraton, seperti prospek bisnis,
sosial, dan politik. Namun sejak masa Mataram. (Liputan6.com, 5
September 2004).
Kutipan di atas menunjukan bahwa konflik yang timbul dalam Keraton
Kasunanan Surakarta disebabkan oleh suksesi kepemimpinnan begitu pula
konflik yang timbul dalam Serat Babad Sunan Prabu juga disebabkan oleh
suksesi kepemimpinan. Kesimpulan dari kedua kasus bahwa suksesi
kepemimpinan dapat memicu timbulnya konflik dalam kerajaan.