BAB II aldi

42
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pasar Modal Pasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), ekuiti (saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan demikian, pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan terkait lainnya. Undang-Undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan pasar modal sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang 7

description

skripsi aldino

Transcript of BAB II aldi

10

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1.Landasan Teori2.1.1. Pasar ModalPasar modal (capital market) merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik surat utang (obligasi), ekuiti (saham), reksa dana, instrumen derivatif maupun instrumen lainnya. Pasar modal merupakan sarana pendanaan bagi perusahaan maupun institusi lain (misalnya pemerintah), dan sebagai sarana bagi kegiatan berinvestasi. Dengan demikian, pasar modal memfasilitasi berbagai sarana dan prasarana kegiatan jual beli dan kegiatan terkait lainnya. Undang-Undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal mendefinisikan pasar modal sebagai kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.Salah satu instrumen yang diperdagangkan di pasar modal adalah saham. Saham adalah tanda kepemilikan dari perusahaan yang mewakilkan kepada manajemen untuk menjalankan operasi perusahaan (Jogiyanto, 2000:88). Harga saham suatu perusahaan dapat mencerminkan nilai perusahaan di mata investor. Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham. Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Harga saham merupakan harga yang terjadi pada saat saham diperdagangkan di pasar (Fakhruddin & Hadianto, 2001). Selain itu, nilai perusahaan juga mencerminkan kemakmuran para pemegang saham atau pemilik. Karena kemakmuran pemegang saham dapat diperlihatkan dengan semakin tingginya harga saham, yang merupakan pencerminan dari keputusan-keputusan investasi, pendanaan dan kebijakan dividen.2.1.2.`Nilai PerusahaanMeningkatkan nilai perusahaan adalah tujuan dari setiap perusahaan, karena semakin tinggi nilai perusahaan maka akan diikuti pula oleh tingginya kemakmuran pemegang saham. Nilai perusahaan yang tinggi dapat meningkatkan kemakmuran bagi para pemegang saham, sehingga para pemegang saham akan menginvestasikan modalnya kepada perusahaan tersebut (Haruman, 2007).Nilai perusahaan memberikan gambaran kepada manajemen mengenai persepsi investor mengenai kinerja masa lalu dan prospek perusahaan dimasa yang akan datang (Brigham dan Houston, 2006). Sujoko dan Soebiantoro (2007) menjelaskan bahwa nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham. Nilai perusahaan berperan penting dalam memproyeksikan kinerja perusahaan sehingga dapat mempengaruhi investor dan calon investor terhadap suatu perusahaan (Mulianti, 2010 dalam Setiaji, 2011).Nilai perusahaan pada dasarnya diukur dari beberapa aspek, salah satunya adalah harga pasar saham perusahaan, karena harga pasar saham perusahaan mencerminkan penilaian investor atas keseluruhan ekuitas yang dimiliki (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Semakin tinggi harga saham, maka nilai perusahaan dan kemakmuran pemegang saham juga akan meningkat. Menurut Van Horne (dalam Diyah dan Erman, 2009). Value is represented by the maket price of the companys common stock which in turn, is a function of firms investment, financing and dividend decision. Nilai perusahaan dapat direfleksikan melalui harga pasar di mana harga pasar merupakan barometer dari kinerja perusahaan. Rika dan Ishlahudin (2008), mendefinisikan nilai perusahaan sebagai nilai pasar. Alasannya karena nilai perusahaan dapat memberikan kemakmuran atau keuntungan bagi pemegang saham jika harga perusahaan meningkat.2.1.3.Harga SahamNilai perusahaan (memaksimalkan kemakmuran pemegang saham) diukur dari harga saham perusahaan. Harga saham perusahaan merupakan refleksi dari keputusan investasi, pendanaan, dan kebijakan dividen. (Harjito dan Martono, 2001:12). Harga saham menurut Jogiyanto (2000:8) adalah Harga saham yang terjadi di pasar bursa pada saat tertentu yang ditentukan oleh pelaku pasar dan ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham yang bersangkutan di pasar modal.Harga saham merupakan salah satu indikator pengelolaan perusahaan. Keberhasilan dalam menghasilkan keuntungan akan memberikan kepuasan bagi investor yang rasional. Harga saham yang cukup tinggi akan memberikan keuntungan berupa capital gain dan citra yang lebih baik bagi perusahaan sehingga memudahkan bagi manajemen untuk mendapatkan dana dari luar perusahaan.2.1.4.Jenis Harga SahamHarga saham menurut Widiatmojo (2005), dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu :1. Harga nominal, merupakan nilai yang ditetapkan oleh emiten untuk menilai setiap lembar saham yang dikeluarkannya. Harga nominal ini tercantum dalam lembar saham tersebut.2. Harga Perdana, merupakan harga sebelum harga tersebut dicatat di bursa efek. Besarnya harga perdana ini tergantung dari persetujuan antara emiten dan penjamin emisi.3. Harga Pasar, adalah harga jual dari investor yang satu ke investor yang lain. Harga pasar terjadi setelah saham tersebut dicatat di bursa efek.4. Harga Pembukaan, adalah harga yang diminta penjual dari pembeli pada saat jam bursa dibuka.5. Harga Penutupan, merupakan harga yang diminta oleh penjual dan pembeli saat akhir buka.6. Harga Tertinggi, harga saham tidak hanya sekali atau dua kali dalam satu hari, tetapi bisa berkali-kali dan tidak terjadi pada harga saham yang lama. Dari harga-harga yang terjadi tentu ada harga yang paling tinggi pada satu hari bursa tersebut, harga itu disebut harga tertinggi.7. Harga Terendah, merupakan kebalikan dari harga tertinggi, yaitu harga yang paling rendah pada satu hari bursa.8. Harga Rata-rata. merupakan rata-rata dari harga tertinggi dan terendah. Harga ini bisa dicatat untuk transaksi haria, bulanan atau tahunan.2.1.5.Penilaian Harga SahamSebelum menginvestasikan dananya investor melakukan analisis terhadap kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan. Investor juga berkepentingan atas informasi yang berhubungan dengan kondisi atau kinerja keuangan perusahaan sebagai pedoman untuk melakukan investasi, agar dana yang diinvestasikan tersebut mampu menghasilkan nilai tambah di masa mendatang dalam bentuk dividen atau capital gain. Terdapat tiga jenis penilaian saham yaitu :1. Nilai buku, merupakan nilai yang dihitung berdasarkan pembukuan perusahaan penerbit saham (emiten).2. Nilai pasar, merupakan nilai pasar saham di pasar, yang ditunjukkan oleh harga saham tersebut di pasar.3. Nilai intrinsik atau teoritis, merupakan nilai saham yang sebenarnya atau seharusnya terjadi.2.1.6.Struktur ModalStruktur modal adalah perimbangan atau perbandingan antara modal asing dan modal sendiri. Modal asing diartikan dalam hal ini adalah hutang baik jangka panjang maupun dalam jangka pendek, sedangkan modal sendiri bisa terbagi atas laba ditahan dan bisa juga dengan penyertaan kepemilikan perusahaan. Struktur modal merupakan masalah penting dalam pengambilan keputusan mengenai pembelanjaan perusahaan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi struktur modal yaitu:

1. Struktur Aktiva (Tangibility)Kebanyakan perusahaan industri yang sebagian besar modalnya tertanam dalam aktiva tetap , akan mengutamakan pemenuhan modalnya dari modal yang permanent yaitu modal sendiri, sedangkan hutang bersifat pelengkap. Perusahaan yang semakin besar aktivanya terdiri dari aktiva lancer akan cenderung mengutamakan pemenuhan kebutuhan dana dengan utang. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh struktur aktiva terhadap struktur modal suatu perusahaan.2. Growth OpportunityGrowth Opportunity adalah kesempatan perusahaan untuk melakukan investasi pada hal-hal yang menguntungkan. Teori agency menggambarkan hubungan yang negatif antara growth opprtunity dan leverage. Perusahaan dengan tingkat leverage yang tinggi cenderung akan melewatkan kesempatan dalam berinvestasi pada kesempatan investasi yang menguntungkan.3. Ukuran Perusahaan (Firm Size)Perusahaan besar cenderung akan melakukan diversifikasi usaha lebih banyak dari pada perusahaan kecil. Oleh karena itu kemungkinan kegagalan dalam menjalankan usaha atau kebangkrutan akan lebih kecil. Ukuran perusahaan sering dijadikan indikator bagi kemungkinan terjadinya kebangkrutan bagi suatu perusahaan, dimana perusahaan dalam ukuran lebih besar dipandang lebih mampu menghadapi krisis dalam menjalankan usahanya.4. ProfitabiltasTeori Pecking Order mengatakan bahwa perusahaan lebih menyukai internal funding. Perusahaan dengan frofitalitas yang tinggi tentu memiliki dana internal yang lebih banyak dari pada perusahaan dengan profitalitas rendah. Perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi investasi menggunakan utang yang relative kecil (Bringham & Houston, 2001).Tingkat pengembalian yang tinggi memungkinkan untuk membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan dengan dana yang dihasilkan secara internal. Hal ini menunjukkan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap struktur modal perusahaan. Semakin tinggi keuntungan yang diperoleh berarti semakin rendah utang.5. Risiko Bisnis Risiko Bisnis akan mempersulit perusahaan dalam melaksanakan pendanaan eksternal, sehingga secara teori akan berpengaruh negatif terhadap leverage perusahaan.2.1.7. Keputusan Pendanaan (Financing Decision)Keputusan pendanaan dapat pula diartikan sebagai keputusan yang menyangkut struktur keuangan perusahaan (financial structure). Struktur keuangan perusahaan merupakan komposisi dari keputusan pendanaan yang meliputi hutang jangka pendek, hutang jangka panjang dan modal sendiri. Setiap perusahaan akan mengharapkan adanya struktur modal optimal, yaitu struktur modal yang dapat memaksimalkan nilai perusahaan (value of the firm) dan meminimalkan biaya modal (cost of capital).Menurut Modigliani dan Miller (1963) dalam Haruman (2007) menyatakan bahwa pendanaan dapat meningkatkan nilai perusahaan apabila pendanaan didanai melalui hutang, peningkatan tersebut terjadi akibat dari efek tax deductible yang berarti perusahaan yang memiliki hutang akan membayar bunga pinjaman yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak, yang dapat memberi manfaat bagi pemegang saham. Selain itu, penggunaan dana eksternal akan menambah pendapatan perusahaan yang nantinya akan digunakan untuk kegiatan investasi yang menguntungkan bagi perusahaan.Terdapat beberapa teori yang berkenaan dengan struktur modal, yaitu tradeoff theory dan pecking order theory. Model tradeoff theory menggambarkan bahwa struktur modal yang optimal dapat ditentukan dengan menyeimbangkan manfaat dari penggunaan utang (taxshield benefit of leverage) dengan biaya yang dikeluarkan dari penggunaan hutang. Myers dan Majluf (1984) mengenalkan pecking order theory yang menggambarkan sebuah hirarki dalam pencarian dana perusahaan dimana perusahaan lebih memilih menggunakan internal equity untuk membayar dividen dan mengimplementasikannya sebagai peluang pertumbuhan.2.1.8. The Trade Off ModelModel trade-off mengasumsikan bahwa struktur modal perusahaan merupakan hasil trade-off dari keuntungan pajak dengan menggunakan hutang dengan biaya yang akan timbul sebagai akibat dari penggunaan hutang tersebut (Hartono, 2003). Esensi trade-off theory dalam struktur modal adalah menyeimbangkan manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai akibat penggunaan hutang. Sejauh manfaat lebih besar, tambahan hutang masih diperkenankan. Apabila pengorbanan karena penggunaan hutang sudah lebih besar, maka tambahan hutang sudah tidak diperbolehkan. Trade-off theory telah mempertimbangkan berbagai faktor seperti corporate tax, biaya kebangkrutan, dan personal tax dalam menjelaskan mengapa suatu perusahaan memilih suatu struktur modal tertentu (Husnan, 2002). Kesimpulannya adalah penggunaan hutang akan meningkatkan nilai perusahaan tetapi hanya pada sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan hutang justru menurunkan nilai perusahaan (Hartono, 2003).Walaupun model ini tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal, namun model tersebut memberikan kontribusi penting yaitu:1. Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi, sebaiknya menggunakan sedikit hutang2. Perusahaan yang membayar pajak tinggi sebaiknya lebih banyak menggunakan hutang dibandingkan dengan perusahaan yang membayar pajak rendah.2.1.9. Pecking Order TheoryTeori ini diperkenalkan pertama kali oleh Donaldson tahun 1961, sedangkan penamaan pecking order theory dilakukan oleh Myers pada tahun 1984. Teori ini disebut pecking order karena teori ini menjelaskan mengapa perusahaan akan menentukan hierarki sumber dana yang paling disukai. Secara ringkas teori tersebut menyatakan bahwa:1.Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan).2.Apabila perusahaan memerlukan pendanaan dari luar (external financing), maka perusahaan akan menerbitkan sekuritas yang paling aman terlebih dahulu, yaitu dimulai dengan penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti obligasi konversi), baru akhirnya apabila masih belum mencukupi, saham baru diterbitkan.Menurut Myers dalam Kartika (2009) perusahaan lebih menyukai penggunaan pendanaan dari modal internal, yaitu dana yang berasal dari aliran kas dan laba ditahan. Urutan penggunaan sumber pendanaan menurut pecking order theory adalah: internal fund (dana internal, debt (hutang), dan equity (modal sendiri) (Kaaro, 2003 dalam Kartika, 2009).Dana internal lebih disukai karena memungkinkan perushaan untuk tidak memperoleh sorotan dari publik akibat penerbitan saham baru (Kartika, 2009). Dana eksternal lebih disukai dalam bentuk hutang daripada modal sendiri karena dua alasan yaitu pertimbangan biaya emisi, dimana biaya emisi obligasi lebih murah dibandingkan biaya emisi saham baru. Hal ini disebabkan karena penerbitan saham baru akan menurunkan harga saham lama. Alasan kedua adalah adanya kekhawatiran manajer bahwa penerbitan saham baru dapat ditafsirkan sebagai kabar buruk oleh pemodal.2.1.10. Signalling TheoryMenurut Brigham dan Houston (2006) isyarat atau signal adalah suatu tindakan yang diambil perusahaan untuk memberi petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Sinyal ini berupa informasi mengenai apa yang sudah dilakukan oleh manajemen untuk merealisasikan keinginan pemilik. Sinyal dapat berupa informasi yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut lebih baik daripada perusahaan lain (Ratna dan Zuhrotun, 2006). Informasi yang dikeluarkan oleh perusahaan merupakan hal yang penting, karena pengaruhnya terhadap keputusan investasi pihak diluar perusahaan. Informasi tersebut penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran, baik untuk keadaan masa lalu, saat ini maupun masa yang akan datang bagi kelangsungan hidup perusahaan dan bagaimana efeknya pada perusahaan.Integritas informasi laporan keuangan yang mencerminkan nilai perusahaan merupakan sinyal positif yang dapat mempengaruhi opini investor dan kreditor atau pihak-pihak lain yang berkepentingan. Laporan keuangan seharusnya memberikan informasi yang berguna bagi investor dan kreditor untuk membuat keputusan investasi, kredit dan keputusan sejenis.Signalling theory menyatakan pengeluaran investasi memberikan sinyal positif tentang pertumbuhan perusahaan dimasa yang akan datang, sehingga meningkatkan harga saham sebagai indikator nilai perusahaan (Hasnawati, 2005). Peningkatan utang diartikan oleh pihak luar sebagai kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban di masa yang akan datang atau adanya risiko bisnis yang rendah, hal tersebut akan direspon secara positif oleh pasar.Penggunaan dividen sebagai isyarat berupa pengumuman yang menyatakan bahwa suatu perusahaan telah memutuskan untuk menaikkan dividen per lembar saham mungkin diartikan oleh penanam modal sebagai sinyalyang baik, karena dividen per saham yang lebih tinggi menujukkan bahwa perusahaan yakin arus kas masa mendatang akan cukup besar untuk menanggung tingkat dividen yang tinggi (Weston dan Copeland, 1995).2.1.11. Debt to Equity Ratio (DER)Keputusan pendanaan berkaitan dengan sumber dana, baik yang berasal dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal). Penciptaan suatu struktur modal dapat mempengaruhi kebijakan dimana selanjutnya dapat mempengaruhi pengambilan keputusan strategis. Keputusan modal yang tepat sangat penting bagi perusahaan karena adanya kebutuhan untuk memaksimalkan keuntungan pada berbagai macam organisasi bisnis, keputusan tersebut juga berdampak pada suatu kemampuan perusahaan untuk dapat berjalan dengan lingkungan persaingannya (Restiyani, 2006).Debt to Equity Ratio selain digunakan untuk melihat struktur permodalan perusahaan juga bisa digunakan untuk melihat tingkat solvabilitas (penggunaan hutang) terhadap total shareholders equity (Ang, 1997). DER yang tinggi menandakan modal usaha lebih banyak dibiayai oleh hutang dibandingkan dengan penggunaan modal sendiri. Secara matematis DER dapat dirumuskan sebagai berikut (Ang, 1997):DER = Salah satu hal yang mempengaruhi tingkat return yang diperoleh oleh investor adalah financial risk. Tingkat financial risk menyatakan variabilitas laba yang akan diterima pemegang saham. Dan financial leverages adalah salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat financial risk. Semakin banyak penggunaan financial leverages maka semakin banyak penggunaan biaya tetap (jangka panjang) yang dibutuhkan oleh perusahaan, sehingga laba operasional akan semakin kecil karena digunakan untuk menutup biaya jangka panjang dan beban bunganya. Hal ini menjelaskan bahwa semakin tinggi nilai rasio DER maka akan menyebabkan meningkatnya nilai hutang yang akan menyebabkan penurunan laba bersih yang pada akhirnya akan mengurangi laba yang diterima oleh pemegang saham (Sartono, 2001).2.1.12.Kebijakan Deviden (Dividend Policy)Dividen merupakan pembayaran dari perusahaan kepada para pemegang saham atas keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya dividen yang dibagikan dan besarnya saldo laba yang ditahan untuk kepentingan perusahaan (Sutrisno, 2001). Menurut Hin (2001), pengertian dividen adalah pembagian bagian keuntungan kepada para pemegang saham. Besarnya dividen yang dibagikan perusahaan ditentukan oleh para pemegang saham pada saat berlangsungnya RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).Kebijakan dividen adalah keputusan mengenai apakah laba yang diperoleh perusahaan akan dibagikan kepada para pemegang saham sebagai dividen atau akan ditahan dalam bentuk laba ditahan guna pembiayaan investasi dimasa yang akan datang. Dalam kebijakan dividen terdapat trade off dan merupakan pilihan yang tidak mudah antara membagikan laba sebagai dividen atau diinvestasikan kembali. Apabila perusahaan memilih membagikan laba sebagai dividen maka tingkat pertumbuhan akan berkurang dan berdampak negatif terhadap saham. Disisi lain, apabila perusahaan tidak membagikan dividen maka pasar akan memberikan sinyal negatif kepada prospek perusahaan. peningkatan dividen memberikan sinyal perubahan yang menguntungkan pada harapan manajer dan penurunan dividen menunjukkan pandangan pesimis prospek perusahaan dimasa yang akan datang (Aharony dan Swary, 1980 dalam Sartono dan Prasetyanta, 2005).Gitman (2003) memberikan definisi kebijakan dividen sebagai suatu perencanaan tindakan perusahaan yang wajib ditaati ketika keputusan dividen dibuat. Lee dan Finerty (1990) dalam Adriani (2011) mengartikan kebijakan dividen sebagai suatu keputusan perusahaan dalam menentukan apakah akan membagikan earnings yang dihasilkan kepada pemegang saham atau untuk kegiatan reinvestasi perusahaan. Keputusan dividen menyangkut keputusan tentang penggunaan laba yang menjadi hak para pemegang saham. Dividen yang dibagikan dapat berupa dividen tunai (cash dividend) atau dividen dalam bentuk saham (stock dividend). Dividen tunai umumnya dibagikan secara reguler, baik triwulanan, semesteran atau tahunan. Disisi lain, stock dividend dapat mengakibatkan jumlah lembar saham bertambah dan umumnya akan menurunkan harga per lembar saham (Purnamasari dkk, 2009).2.1.13. Dividend Payout Ratio (DPR)Menurut Hin (2001) dalam Deitiana (2011) dividend payout ratio adalah perbandingan dividen yang diberikan ke pemegang saham dan laba bersih per saham. Menurut Arifin dan Fakhrudin (2001), yang dimaksud dividend payout ratio adalah persentase laba yang dibayarkan secara tunai kepada para pemegang saham.Menurut Riyanto (2001), mengemukakan bahwa dividend payout ratio adalah persentase pendapatan yang akan dibayarkan kepada para pemegang saham sebagai dividen kas. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dividend payout ratio yang ditetapkan oleh perusahaan, maka semakin kecil dana yang tersedia untuk ditanamkan oleh perusahaan. Menurut Keown (2008), rasio pembayaran dividen adalah jumlah dividen yang dibayarkan relatif terhadap pendapatan bersih perusahaan atau pendapatan tiap lembar. Dari definisi-dfinisi mengenai dividend payout ratio dapat disimpulkan bahwa :(1) Rasio pembayaran dividen ini menunjukkan persentase laba yang dibagikan kepada pemegang saham, (2) laba bersih perusahaan, (3) perbandingan antara dividen per lembar saham dengan laba per lembar saham, (4) besaran angka dividen diumumkan dan ditetapkan pada saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). 2.1.14. Residual Dividend TheoryTeori ini menjelaskan keadaan dimana dividen dibayar tinggi oleh perusahaan karena perusahaan tidak memiliki proyek investasi baru yang menguntungkan (prospek yang kurang bagus), sehingga keuntungan perusahaan dibagikan dalam bentuk dividen. Teori dividen yang dinamakan residual dividend theory ini, seperti yang dikutip dari Keown, Martin, dan Scott Jr. (2003), menyatakan bahwa dividen yang dibayarkan seharusnya sejumlah modal yang tersisa dari alokasi pendanaan proyek atau investasi yang dirasa menguntungkan. Van Horne (2002) menyatakan bahwa teori ini juga menyatakan bahwa dividen tidak relevan, karena mengasumsikan investor memiliki preferensi yang sama antara kas yang dijadikan dividen atau yang ditahan perusahaan. Jika proyek atau investasi yang ditargetkan perusahaan menjanjikan return yang lebih besar daripada required return, maka investor akan senang jika perusahaan menahan kas daripada memberikannya sebagai dividen. Lebih lanjut Keown, Martin, dan Scott Jr. (2003) memberikan kesimpulan bahwa pada teori ini, kebijakan dividen dipengaruhi oleh (1) kesempatan investasi perusahaan, (2) struktur modal dan (3) ketersediaan dari modal yang dihasilkan sendiri atau internal (internally generated capital). Menurut teori ini, kebijakan dividen merupakan pengaruh pasif karena tidak memiliki pengaruh langsung pada harga pasar saham.2.1.15. Dividend Irrelevance Theory (Dividen Tidak Relevan)Beberapa kalangan berpendapat bahwa kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh terhadap harga saham perusahaan maupun terhadap biaya modalnya. Jika kebijakan dividen tidak mempunyai pengaruh yang signifikan, maka hal tersebut tidak relevan. Pendukung dari tidak relevannya kebijakan dividen adalah Modigliani-Miller (1958).Mereka berpendapat bahwa bagaimanapun kebijakan dividen itu memang tidak mempengaruhi harga saham maupun kemakmuran pemegang saham. Lebih lanjut MM berpendapat bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh earning power dan asset perusahaan tersebut. Dengan demikian nilai perusahaan ditentukan oleh keputusan investasi. Sementara itu keputusan apakah laba yang diperoleh akan dibagikan dalam bentuk dividen atau akan ditahan tidak mempengaruhi nilai perusahaan.MM menyatakan bahwa dividen tidak relevan berdasarkan asumsi-asumsi di bawah ini:1.Pasar modal sempurna, di mana para investor mempunyai kesamaan informasi, tidak ada biaya transaksi dan tidak ada pajak.2.Para investor bersifat rasional.3.Semua peserta pasar bersifat price-taker.4.Adanya unsur ketidakpastian bagi arus pendapatan masa datang dan para investor mempunyai informasi yang sama.5.Manajer dalam pengambilan keputusannya mengenai produksi dan investasinya disesuaikan dengan informasi tersebut.6.Untuk memisahkan pengaruh dividen dan pengaruh leverage, maka semua perusahaan dianggap memiliki rasio D/S sama.7.Perusahaan-perusahaan semestinya memiliki kelas risiko yang sama.8.Perusahaan dengan produksi yang sekarang memiliki yield yang sama.2.1.16. Bird in The Hand TheoryTeori ini dikemukakan oleh Gordon (1959) dan Lintner (1956) yang berpendapat bahwa ekuitas atau nilai perusahaan akan turun apabila rasio pembayaran dividen dinaikkan, karena para investor kurang yakin terhadap penerimaan keuntungan modal (capital gain) yang dihasilkan dari laba yang ditahan dibandingkan seandainya para investor menerima dividen. Gordon dan Lintner berpendapat bahwa sesungguhnya investor jauh lebih menghargai pendapatan yang diharapkan dari dividen daripada pendapatan yang diharapkan dari keuntungan modal.MM dalam hal ini tidak setuju bahwa ekuitas atau nilai perusahaan tidak tergantung pada kebijakan dividen, yang menyiratkan bahwa investor tidak peduli antara dividen dengan keuntungan modal. MM menamakan pendapat Gordon-Lintner sebagai kekeliruan bird-in-the-hand, yakni: mendasarkan pada pemikiran bahwa investor memandang satu burung di tangan lebih berharga dibandingkan seribu burung di udara. Dengan demikian, perusahaan yang mempunyai dividend payout ratio yang tinggi akan mempunyai nilai perusahaan yang tinggi pula.Namun menurut pandangan MM, kebanyakan investor merencanakan untuk menginvestasikan kembali dividen mereka dalam saham dari perusahaan bersangkutan atau perusahaan sejenis, dan dalam banyak kasus, tingkat risiko dari arus kas perusahaan bagi investor dalam jangka panjang hanya ditentukan oleh tingkat risiko arus kas operasinya, bukan oleh kebijakan pembagian dividen.2.1.17. Teori Preferensi PajakAda tiga alasan yang berkaitan dengan pajak untuk beranggapan bahwa investor mungkin lebih menyukai pembagian dividen yang rendah dari pada yang tinggi (Brigham dan Houston, 2006), yaitu:1.Keuntungan modal dikenakan tarif pajak lebih rendah dari pada pendapatan dividen. Untuk itu investor yang kaya (yang memiliki sebagian besar saham) mungkin lebih suka perusahaan menahan dan menanamkan kembali laba ke dalam perusahaan. Pertumbuhan laba mungkin dianggap menghasilkan kenaikkan harga saham, dan keuntungan modal yang pajaknya rendah akan menggantikan dividen yang pajaknya tinggi.2.Pajak atas keuntungan tidak dibayarkan sampai saham terjual, sehingga ada efek nilai waktu.3.Jika selembar saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, sama sekali tidak ada pajak keuntungan modal yang terutang.Karena adanya keuntungan-keuntungan pajak ini, para investor mungkin lebih suka perusahaan menahan sebagian besar laba perusahaan. Jika demikian para investor akan mau membayar lebih tinggi untuk perusahaan yang pembagian dividennya rendah daripada untuk perusahaan sejenis yang pembagian dividennya tinggi.2.1.18.Struktur KepemilikanStruktur kepemilikan dalam hal ini adalah kepemilikan institusional dalam peran monitoring management, kepemilikan institusional merupakan pihak yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan karena sifatnya sebagai pemilik saham mayoritas, selain itu kepemilikan institusional merupakan pihak yang memberi kontrol terhadap manajemen dalam kebijakan keuangan perusahaan. Menurut Brealey, Myers, dan Marcus (2007) kepemilikan institusional adalah beberapa saham dipegang langsung oleh para investor individu tetapi proporsi yang besar dimiliki oleh lembaga keuangan seperti reksadana, dana pensiun dan perusahaan asuransi.Kepemilikan institusional (Institutional Ownership) merupakan proporsi pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi lain yang memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan asosiasi). Perusahaan dengan kepemilikian institusional yang besar (lebih dari 5%) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan (Faizal,2004).Pengukuran struktur kepemilikan institusional ini mengacu pada Ituriaga dan Sanz (1998) dalam Wahyudi dan Hartini (2006), adalah sebagai berikut : Struktur kepemilikan institusional diukur sesuai dengan proporsi kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemilik institusi dan kepemilikan oleh blockholder.

2.1.19. Teori Keagenan (Agency Theory)Pemisahan kepemilikan dan pengendalian dalam perusahaan modern mengakibatkan potensi konflik antara pemilik dan manajer. Secara khusus, tujuan dari pihak manajemen dapat berbeda dari tujuan pemegang saham. Manajemen bertindak untuk kepentingannya sendiri daripada kepentingan pemegang sahamnya. (Van Horne dan Wachowicz, 2005:7).Menurut Jensen dan Meckeling dalam (Van Horne dan Wachowicz, :2005) adalah yang pertama mengembangkan teori komprehensif mengenai perusahaan dalam situasi agensi (agency). Mereka menunjukan bahwa para pemegang saham dapat meyakinkan diri mereka sendiri bahwa para manajer akan membuat keputusan yang optimal hanya jika insentif yang tepat diberikan serta hanya jika para manajer diawasi. Insentif dapat meliputi opsi saham, bonus dan penghasilan tambahan (kenyamanan seperti mobil perusahaan dan kantor yang mahal) dan seluruh hal ini harus secara langsung berhubungan dengan seberapa dekat keputusan manajemen dengan kepentingan para pemegang saham. Pengawasan dilakukan denga mengikat para agen, secara sistematis mengkaji penghasilan tambahan pihak manajemen, mengaudit laporan keuangan, dan membatasi keputusan pihak manajemen. Berbagai aktivitas pengawasan ini sudah pasti melibatkan biaya, yang merupakan akibat tidak terhindarkan dari pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Semakin sedikit persentase kepemilikan para manajer semakin sedikit kecenderungan mereka akan bertindak konsisten untuk memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham dan semakin besar kebutuhan pengawasan atas aktivitas manajemen bagi para pemegang saham.2.1.20. Pendekatan Modigliani-Miller (MM)Selama ini teori struktur modal didasarkan atas perilaku investor dan bukannnya studi formal secara matematis. Franco Modigliani dan Merton Miller (Brigham dan Houston, 2006) memperkenalkan model teori ini secara matematis, scientific dan atas dasar penelitian yang terus menerus. Perlu diperhatikan bahwa MM memperkenalkan teori struktur modal dengan beberapa asumsi sebagai berikut :a. Risiko bisnis perusahaan dapat diukur dengan standar deviasi laba sebelum bunga dan pajak dan perusahaan yang memiliki resiko bisnis sama dikatakan berada dalam kelas yang sama.b. Semua investor dan investor potensial memiliki estimasi sama terhadap EBIT perusahaan di masa datang. Dengan demikian semua investor memiliki harapan yang sama atau homogeneous expectations tentang laba perusahaan dan tingkat resiko perusahaan.c. Saham dan obligasi diperdagangkan dalam pasar modal yang sempurna atau perfect capital market.d. Seluruh aliran kas adalah perpetuitas (sama jumlahnya setiap periode hingga waktu tak terhingga). Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan adalah nol atau EBIT selalu sama.2.1.21. Pendekatan Modigliani dan Miller (MM) Tanpa PajakTeori struktur modal modern yang pertama adalah teori Modigliani dan Miller (teori MM) yang berpendapat bahwa strukur modal tidak relevan atau tidak mempengaruhi nilai perusahaan. MM mengajukan beberapa asumsi untuk membangun teori mereka (Brigham dan Houston, 2006:33) yaitu :a. Tidak terdapat agency cost.b. Tidak ada pajak.c. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perusahaan.d. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depan.e. Tidak ada biaya kebangkrutan.f. EBIT (Earning Before Interest and Taxes) tidak dipengaruhi oleh penggunaan dari hutang.g. Para investor adalah price-takers.h. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).Adapun beberapa tambahan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang mengangkat permasalahan yang sama yaitu:1. Wijaya dan Bandi (2010) Penelitian yang dilakukan oleh Wijaya dan Bandi (2010) meneliti hubungan antara keputusan investasi, keputusan pendanaan dan kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan. Penelitian ini mengggunakan sampel sebanyak 130 perusahaan manufaktur di Indonesia. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah keputusan investasi, keputusan pendanaan dan kebijakan dividen berpengaruh positif terhadap nilai perusahan.2. Tendi Haruman (2007)Penelitian yang dilakukan oleh Haruman (2007) dengan sampel perusahaan manufaktur, menunjukkan bahwa keputusan pendanaan, keputusan investasi, dan kebijakan dividen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Sedangkan kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap nilai perusahaan.3. Wahyudi dan Pawestri (2006)Wahyudi dan Pawestri (2006) meneliti tentang implikasi struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening dan hasil yang didapatkan adalah struktur kepemilikan institutional tidak berpengaruh terhadap keputusan keuangan maupun nilai perusahaan, keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai investasi, tetapi nilai investasi tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan struktur kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan dan keputusan pendanaan.2.2. Kerangka Pemikiran Teoritis dan Perumusan Hipotesis2.2.1 Pengaruh Keputusan Pendanaan terhadap Nilai PerusahaanKeputusan pendanaan diproksikan melalui Debt to Equity Ratio (DER). Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio yang menunjukkan perbandingan antara pembiayaan dan pendanaan melalui hutang dengaan pendanaan melalui ekuitas (Brigham dan Houston, 2006). Bursa Efek Indonesia menyebutkan bahwa DER sering disebut dengan istilah rasio leverage karena menggambarkan struktur modal yang dimiliki oleh perusahaan. Apabila DER yang tinggi memperlihatkan nilai hutang yang besar, dimana hutang tersebut dapat dijadikan modal untuk memutar kegiatan perusahaan untuk mendapatkan laba yang nantinya akan meningkatkan nilai perusahaan.Masulis (1980) dalam Wijaya dan Bandi (2010) menemukan bahwa terdapat kenaikan abnormal returns sehari sebelum dan sesudah peningkatan proporsi hutang, sebaliknya terdapat penurunan abnormal return pada saat penurunan proporsi hutang. Fama dan French (1998) menemukan bahwa investasi yang dihasilkan dari leverage memiliki informasi positif tentang perusahaan di masa yang akan, selanjutnya berdampak positif pada nilai perusahaan. Hasnawati (2005) menemukan bahwa keputusan pendanaan berpengaruh terhadap nilai perusahaan secara positif sebesar 16%. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis pertama yang diajukan adalah :H1 : Debt to Equity Ratio berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan2.2.2.Pengaruh Kebijakan Dividen Terhadap Nilai PerusahaanKebijakan dividen (dividend policy) merupakan keputusan seberapa besar laba yang diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham sebagai dividen kas atau disimpan dalam bentuk laba ditahan sebagai sumber pendanaan perusahaan (Brigham dan Houston, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Haruman (2007) dengan sampel perusahaan manufaktur, menunjukkan bahwa keputusan pendanaan, keputusan investasi, dan kebijakan dividen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis kedua yang diajukan adalah :H2 : Dividend Payout Ratio berpengaruh negatif terhadap Nilai Perusahaan2.2.3. Pengaruh Struktur Kepemilikan Institusional (Institutional Ownership) terhadap Nilai PerusahaanMenurut penelitian Jennings (2002) kepemilikan institusional tidak berhasil meningkatkan nilai perusahaan, karena kepemilikan institusional menurunkan nilai perusahaan. Hal ini disebabkan investor institusional bukan pemilik mayoritas sehingga tidak mampu memonitor kinerja manajer secara baik. Keberadaan institusional justru menurunkan kepercayaan publik terhadap perusahaan. Akibatnya pasar saham mereaksi negatif yang berupa turunnya volume perdagangan saham dan harga saham, sehingga menurunkan nilai pemegang saham.Wahyudi dan Pawesti (2006) tentang implikasi struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening dengan sampel perusahaan non keuangan yang terdaftar di BEJ tahun 2002 dan tahun 2003 sebagai komperasinya yang menemukan bahwa kepemilikan manajemen berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis ketiga yang diajukan adalah :H3 : Kepemilikan Institusional berpengaruh negatif terhadap Nilai Perusahaan.

Keputusan Pendanaan (X1)Debt to Equity RatioBerdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan, kajian teoritis, dan tinjauan penelitian terdahulu digambarkan kerangka pemikiran di bawah ini:

Kebijakan Dividen (X2) Dividend Payout RatioNilai Perusahaan (Y) Harga SahamH1 (+)

Struktur Kepemilikan (X3) Kepemilikan Institusional H2 (-) H3 (-)

Gambar 2.1Kerangka Pemikiran7