BAB II ADITYA.doc

49
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Ulkus Dekubitus a. Definisi Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol, dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips, pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang. Bagian tubuh yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu, punggung dan kepala bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan pada bagian tubuh melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada 7

Transcript of BAB II ADITYA.doc

Page 1: BAB II ADITYA.doc

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1.Ulkus Dekubitus

a. Definisi

Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan

aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol,

dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips,

pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang. Bagian tubuh

yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat

penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu,

punggung dan kepala bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan

pada bagian tubuh melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada

usaha untuk menguranginya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang

menetap. Bila tekanan kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk

memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat

dicegah (Potter and Perry, 2005).

Menurut Webster's New Riverside University Dictionary, definisi ulkus

adalah suatu inflamasi, sering suatu lesi yang bernanah pada kulit atau

mukosa permukaan tubuh internal, seperti duodenum, yang menghasilkan

jaringan nekrosis. Menggambarkan bahwa ulkus (Latin, ulcus; Yunani,

7

Page 2: BAB II ADITYA.doc

8

heliosis) adalah suatu kerusakan pada permukaan organ atau jaringan yang

terjadi akibat inflamasi jaringan nekrosis (Arwani, 2007).

b. Etiologi dan Faktor Risiko

Terbentuknya ulkus dekubitus dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi

tekanan yang menyebabkan iskemik adalah penyebab utama. Setiap jaringan

mempunyai kemampuan untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan,

tetapi tekanan yang lama dan melewati batas pengisian kapiler akan

menyebakan kerusakan jaringan yang menetap (Mansjoer, 2001).

Penyebab ulkus dekubitus lainnya adalah kurangnya mobilitas,

kontraktur, spastisitas, berkurangnya fungsi sensorik, paralisis, insensibilitas,

malnutrisi, anemia, hipoproteinemia, dan infeksi bakteri. Selain itu, usia yang

tua, perawatan di rumah sakit yang lama, orang yang kurus, inkontinesia urin,

merokok, penurunan kesadaran mental dan penyakit lain (seperti diabetes

melitus dan gangguan vaskuler) akan mempermudah terjadinya ulkus

dekubitus (Mansjoer, 2001).

Menurut Potter, Perry (2005), berbagai faktor yang dapat menjadi

predisposisi terjadi dekubitus pada klien di antaranya:

1) Gangguan input sensorik

Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri

dan tekanan beresiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada

klien yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik

yang utuh terhadap nyeri dan tekan dapat mengetahui jika salah satu

Page 3: BAB II ADITYA.doc

9

bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar.

Sehingga ketika klien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah

posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.

2) Gangguan fungsi motorik

Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko

tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi

tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan

tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus.

3) Perubahan tingkat kesadaran

Klien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat

kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari dekubitus. Klien

bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak

mampu memahami menghilangkan tekanan itu.

4) Gips, Traksi, Alat ortotik, dan peralatan lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi klien dan ekstremitasnya,

sehingga beresiko tinggi terjadi dekubitus akibat gaya friksi eksternal

mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit atau bisa juga

akibat tekanan gips pada kulit yang terlalu ketat dikeringkan atau juga

akibat ekstremitasnya bengkak.

c. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dekubitus

Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang

mempengaruhinya. Allman dkk dalam Mansjoer (2001) membagi mekanisme

Page 4: BAB II ADITYA.doc

10

terbentuknya ulkus dekubitus berdasarkan faktor yang mempengaruhinya

menjadi patomekanikal dan patofisilogi.

1) Patomekanikal

Patomekanikal merupakan faktor ekstrisik atau faktor primer

terbentuknya ulkus dekubitus. Patomekanikal ulkus dekubitus meliputi;

a) Tekanan yang Lama

Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus dekubitus

adalah tekanan yang tidak terasa nyeri. Kosiak mengemukakan bahwa

tekanan yang lama yang melampaui tekanan kapiler jaringan pada

jaringan yang iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus

dekubitus. Hal ini karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan

oksigen dan nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan

iskemik dan hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi

(Smeltzer,2005).

b) Tekanan antar Permukaan

Tekanan antar permukaan adalah tekanan tegak lurus setiap unit

daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan antar

permukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan tubuh,

bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik pasien.

menyatakan bahwa tekanan antar permukaan yang melebihi 32 mmHg

akan menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik. Faktor

yang juga berpengaruh terhadap tekanan antar permukaan adalah

Page 5: BAB II ADITYA.doc

11

kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik lateral risiko untuk

terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena adanya penebalan kulit

dan peningkatan kolagen dan densitasnya (Mansjoer, 2001).

c) Luncuran

Luncuran adalah tekanan mekanik yang langsung paralel terhadap

permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh terhadap

terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum. gerakan

anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring akan

mempengaruhi jaringan dan pembuluh darah daerah sacrum sehingga

berisiko untuk mengalami kerusakan. Penggunaan tempat tidur yang

miring seperti pada bedah kepala dan leher akan meningkatkan

tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya ulkus dekubitus

(Defloor, dalam Arwani 2007).

d) Gesekan

Menurut Makebulst dalam Arwani (2007), gesekan adalah gaya antar

dua permukaan yang saling berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor

untuk terjadinya ulkus dekubitus karena gesekan antar penderita

dengan sandarannya akan menyebabkan trauma makroskopis dan

mikroskopis. Kelembaban, maserasi dan kerusakan jaringan akan

meningkatkan tekanan pada kulit. Kelembaban yang terjadi akibat

kehilangan cairan dan inkontinensia alvi dan urin akan menyebabkan

terjadinya maserasi jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah

Page 6: BAB II ADITYA.doc

12

menjadi rusak (Smeltzer,2001).

e) Immobilitas

Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif dan

berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan

mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.

Lindan dkk dalam Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa pada pasien

posisi telentang, tekanan eksternal 40-60 mmHg merupakan tekanan

yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus pada daerah sacrum,

maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada pasien posisi

telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada tekanan 50

mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus bila tekanan

berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischi (Smeltzer, 2001).

2) Patofisiologi

Faktor patofisiologi (faktor intrinsik atau sekunder) terbentuknya

ulkus dekubitus meliputi demam, anemia, infeksi, iskemik, hipoksemia,

hipotensi, malnutrisi, trauma medula spinalis, penyakit neurologi, kurus,

usia yang tua dan metabolisme yang tinggi.

Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat

sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990). Kandungan

kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang

sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem

kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang

Page 7: BAB II ADITYA.doc

13

kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif.

Sejumlah penyakit yang menimbulkan ulkus dekubitus seperti DM yang

menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi

kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat

oksigenisasi darah pada kulit menurun. Gizi yang kurang dan anemia

memperlambat proses penyembuhan pada ulkus dekubitus.

Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan

memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akan

menyebabkan kadar albumin darah menurun. Pada orang malnutrisi, ulkus

dekubitus lebih mudah terbentuk daripada orang normal, oleh karena itu,

faktor nutrisi ini penting dalam patofisiologi terbentuknya ulkus

dekubitus, (Smeltzer dalam Alvius,2005).

d. Gejala

Setiap bagian tubuh dapat terkena ulkus dekubitus, tetapi bagian tubuh

yang paling sering terjadi ulkus dekubitus adalah daerah tekanan dan

penonjolan tulang.

Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit yang

kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi dapat

meliputi dermis, epidermis, jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan gejala

klinis, mengklasifikasikan ulkus dekubitus menjadi empat stadium, yakni :

Page 8: BAB II ADITYA.doc

14

1) Stadium 1

Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada

kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium ini

umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.

2) Stadium 2

Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke jaringan

adiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam

10–15 hari.

3) Stadium 3

Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah

mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya

struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau

hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan

infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu .

4) Stadium 4

Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta

sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai

anemia, dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan.

Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu

ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit

sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga: (Smeltzer,2001).

Page 9: BAB II ADITYA.doc

15

1) Tipe normal

Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,50

C dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan

sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat

akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh darah sebenarnya

baik.

2) Tipe arterioskelerosis

Mempunyai beda temperatur kurang dari 10C antara daerah

ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan

aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut

perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan

perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.

3) Tipe terminal

Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak

akan sembuh. Satu hal penting yang harus diperhatikan sebagai ciri

ulkus dekubitus adalah adanya bau yang khas, sekret luka, jaringan

parut, jaringan nekrotik, dan kotoran yang berasal dari inkontinensia

urin dan alvi. Ciri tersebut dapat menunjukkan kontaminasi bakteri

pada ulkus dekubitus dan penting untuk penatalaksanaan

(Mansjoer ,2001.)

Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat

juga pada ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara

Page 10: BAB II ADITYA.doc

16

lain infeksi (sering bersifat multibakterial, baik yang aerobik atau pun

anerobik), keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis,

osteitis, osteomielitis, artritis septik, septikemia, anemia,

hipoalbuminemia, bahkan kematian.

e. Pemeriksaan

Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat

ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk

menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan

laboratorium dan penujang lainnya.

Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan

diagnosis dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah,

1) Kultur dan analisis urin

Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah

ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada

trauma medula spinalis.

2) Kultur Tinja

Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat

leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous

colitis.

3) Biopsi

Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan

pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat

Page 11: BAB II ADITYA.doc

17

apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi

bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus.

Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.

4) Pemeriksaan Darah

Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih

dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan

sepsis.

5) Keadaan Nutrisi

Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses

penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin

level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level

6) Radiologis

Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat

osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, atau scan

tulang (Potter and Perry, 2005)

f. Pencegahan dekubitus

Tahap pertama pencegahan adalah mengkaji faktor-faktor resiko klien.

Kemudian perawat mengurangi faktor-faktor lingkungan yang mempercepat

terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan panas, kelembaban, atau linen

tempat tidur yang berkerut (Potter, Perry, 2005).

Identifikasi awal pada klien beresiko dan faktor-faktor resikonya

membantu perawat mencegah terjadinya dekubitus. Pencegahan

Page 12: BAB II ADITYA.doc

18

meminimalkan akibat dari faktor-faktor resiko atau faktor yang memberi

kontribusi terjadinya dekubitus. Potter, Perry (2005), menjelaskan tiga area

intervensi keperawatan dalam pencegahan dekubitus, yaitu :

1) Higiene dan perawatan kulit

Perawat harus menjaga kulit klien tetap bersih dan kering. Pada

perlindungan dasar untuk mencegah kerusakan kulit, maka kulit klien

dikaji terus-menerus oleh perawat, daripada delegasi ke tenaga kesehatan

lainnya. Jenis produk untuk perawatan kulit sangat banyak dan

penggunaannya harus disesuaikan dengan kebutuhan klien.

Ketika kulit dibersihkan maka sabun dan air panas harus dihindari

pemakaiannya. Sabun dan lotion yang mengandung alkohol menyebabkan

kulit kering dan meninggalkan residu alkalin pada kulit. Residu alkalin

menghambat pertumbuhan bakteri normal pada kulit,dan meningkatkan

pertumbuhan bakteri oportunistik yang berlebihan, yang kemudian dapat

masuk pada luka terbuka.

2) Pengaturan posisi

Intervensi pengaturan posisi diberikan untuk mengurangi takanan

dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur

setiggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan perluang terjadinya

dekubitus akibat gaya gesek. Posisi klien immobilisasi harus diubah sesuai

dengan tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari.

Oleh karena itu standar perubahan posisi dengan interval 1 ½ sampai 2

Page 13: BAB II ADITYA.doc

19

jam mungkin tidak dapat mencegah terjadinya dekubitus pada beberapa

klien. Telah direkomendasikan penggunaan jadwal tertulis untuk

mengubah dan menentukan posisi tubuh klien minimal setiap 2 jam. Saat

melakukan perubahan posisi, alat bantu untuk posisi harus digunakan

untuk melindungi tonjolan tulang. Untuk mencegah cedera akibat friksi,

ketika mengubah posisi, lebih baik diangkat daripada diseret. Pada klien

yang mampu duduk di atas kursi tidak dianjurkan duduk lebih dari 2 jam.

3) Alas pendukung (kasur dan tempat tidur terapeutik)

Berbagai jenis alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur

khusus, telah dibuat untuk mengurangi bahaya immobilisasi pada sistem

kulit dan muskuloskeletal. Tidak ada satu alatpun yang dapat

menghilangkan efek tekanan pada kulit. Pentingnya untuk memahami

perbedaan antara alas atau alat pendukung yang dapat mengurangi tekanan

dan alat pendukung yang dapat menghilangkan tekanan. Alat yang

menghilangkan tekanan dapat mengurangi tekanan antar permukaan

(tekanan antara tubuh dengan alas pendukung) dibawah 32 mmHg

(tekanan yang menutupi kapiler). Alat untuk mengurangi tekanan juga

mengurangi tekanan antara permukaan tapi tidak di bawah besar tekanan

yang menutupi kapiler.

Potter, Perry (2005), mengidentifikasi 9 parameter yang digunakan

ketika mengevaluasi alat pendukung dan hubungannya dengan setiap tiga

tujuan yang telah dijelaskan tersebut :

Page 14: BAB II ADITYA.doc

20

1) Harapan hidup

2) Kontrol kelembaban kulit

3) Kontrol suhu kulit

4) Redistribusi tekanan

5) Perlunya servis produk

6) Perlindungan dari jatuh

7) Kontrol infeksi

8) Kemudahan terbakar api dan

9) Friksi klien/produk

g. Penatalaksanaan dekubitus

Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistik yang

menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu

kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi,

ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi.

Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan

luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara

penghilang tekanan (Doengoes, 2001).

Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus dikaji untuk lokasi,

tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, luka menembus, eksudat, jaringan

nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun

epitelialisasi. Dekubitus harus dikaji ulang minimal 1 kali per hari. Pada

perawatan rumah banyak pengkajian dimodifikasi karena pengkajian

Page 15: BAB II ADITYA.doc

21

mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan. Dekubitus yang

bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4

minggu (Doengoes, 2001).

2.Tirah Baring (Bedrest Total)

Tirah baring diartikan sebagai tinggal ditempat tidur untuk jangka waktu

yang lama dan diharuskan. Tirah baring sebenarnya bukan sesuatu yang

dilakukan dengan sukarela. Ini sebagi akibat dari adanya penyakit yang

mensyaratkan untuk istirahat total ditempat tidur seperti thypoid atau karena

faktor kelemahan dan kelumpuhan

Ada beberapa penyakit yang sering mengakibatkan gangguan

imobilisasi. "Di antaranya, pascaoperasi otak, tulang, dan penyakit kritis yang

memerlukan istirahat," Dampak imobilisasi pada sistem otot dan tulang,

misalnya, terjadi penurunan kekuatan otot, terutama otot yang bekerja

melawan gravitasi dan daya tahan tubuh menurun.

Pada sistem jantung dan pembuluh darah, dapat terjadi peningkatan

denyut dan efisiensi jantung. Sistem pernapasan pun bisa terganggu. Itu

disebabkan oleh penurunan seluruh kekuatan dan pengembangan otot-otot

antartulang iga, diagfragma, dan perut. Pada sistem pencernaan, nafsu makan

menurun dan terjadi sembelit. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan

hormon. Selain itu, ada penurunan kebutuhan metabolik, gerak usus, dan

lambung.

Page 16: BAB II ADITYA.doc

22

Dekubitus adalah salah satu bahaya yang terbesar pada tirah baring.

Dalam sehari-hari masyarakat menyebutkan sebagai "akibat tidur". Suatu luka

dekubitus disebutkan oleh karena ada tekanan pada kulit.. Tak lama kemudian

akan terlihat pada tempat-tempat yang mendapatkan tekanan, warna-warna

kulit yang memutih.Jika penekanan ini hanya berlangsung untuk waktu

sementara, maka tidak ada akibat-akibat yang merugikan bagi aliran darah.

Pada penekanan yang berlangsung waktu yang lama, maka timbul masalah

dalam peredaran zat-zat makanan dan zat asam yang harus disalurkan pada

bagian bagian kulit. Yang mengalami penekan tadi, jaringan –jaringan yang

tak mendapat cukup makanan dan zat asam tadi perlahan akan mati, dari

sinilah kemudian timbul luka-luka dekubitus (Suparyanto, 2009).

3.Konsep Perilaku

Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat

diamati secara langsung ataupun yang dapat diamati secara tidak langsung.

Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku dalam tiga

domain, yaitu domain kognitif, apektif dan psikomotor. Terbentuknya suatu

perilaku, terutama pada orang dewasa, dimulai pada domain kognitif, dalam

arti subjek tahu rangsangan, yakni obyek yang telah diketahui dan disadari

sepenuhnya kenyataan stimulus yang diterima oleh subyek dapat langsung

menimbulkan seseorang dapat bertindak tanpa terlebih dahulu mengetahui

makna dari stimulus yang diterimanya (Notoatmodjo, 2005).

Faktor perilaku adalah suatu faktor yang timbul karena ada aksi dan reaksi

Page 17: BAB II ADITYA.doc

23

seseorang atau organisme terhadap lingkungannya (Depkes RI , 2002).

Batasan tentang perilaku telah banyak diberikan oleh pakar. Menurut Sarwono

dalam Notoatmojo (2005) perilaku adalah keadaan jiwa, baik dalam hal

berpendapat, berpikir, bersikap, maupun dalam hal lain, untuk memberikan

respons terhadap situasi di luar subjek tersebut.

Berdasarkan batasan tersebut, bentuk operasional dari perilaku dapat

dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu :

1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu mengetahui situasi atau

rangsangan dari luar diri subyek.

2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap keadaan

atau rangsangan dari luar diri subyek.

3. Perilaku dalam tindakan yang sudah konkrit, berupa perbuatan

terhadap situasi atau rangsangan dari luar (Notoatmojo, 2005).

Pakar lain menyebutkanya sebagai pengetahuan (Knowledge), sikap

(attitude), dan tindakan (practice), sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara

menyebutnya dengan cipta, rasa dan karsa.

Tindakan seseorang tidak selalu tergantung pada pengetahuan dan sikap,

akan tetapi dari pengalaman. Hasil penelitian yang dilakukan Rogers dalam

Notoatmojo (2005) terbukti bahwa ”Perilaku yang didasarkan oleh

pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif terhadap obyek maka

prilaku tersebut akan langgeng”. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak

disadari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut tidak akan

Page 18: BAB II ADITYA.doc

24

berlangsung lama.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan

menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern

mencakup pengetahuan, kecerdasan, presepsi, emosi, motivasi dan

sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan

faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik

seperti iklim, manusia, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya (Notoatmodjo,

2005).

Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2005), seorang ahli psikologi

mengemukakan bahwa prilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang

(stimulus) dengan respons. Secara operasional perilaku dapat diartikan

sebagai suatu respons internal yang terjadi dalam diri manusia dan tidak

dapat terlihat secara langsung oleh orang lain, misalnya berfikir, mengetahui,

menanggapi, mengembangkan, sikap batin. Bentuk perilaku ini masih

terselubung (covert behavior). Sedangkan bentuk perilaku aktif adalah

perilaku yang jelas dapat diobservasi secara langsung dimana perilaku sudah

tampak dalam bentuk tindakan nyata (overt behavior). Sebagai bentuk

perilaku aktif dan dapat di observasi adalah perilaku kepatuhan.

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2005) mencoba menganalisa

perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan

seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor

perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior).

Page 19: BAB II ADITYA.doc

25

Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuknya dari tiga faktor

yakni :

a. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)

Faktor ini mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,

tradisi, dan sebagainya. Faktor ini merupakan antesenden terhadap perilaku

yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku, dalam arti umum kita dapat

mengatakan bahwa faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi yang dibawa

seseorang atau kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar. Preferensi

mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat. Meskipun demikian

berbagai faktor demografis seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin

dan ukuran keluarga juga penting menjadi perhatian sebagai faktor

predisposing.

b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor)

Faktor pendukung merupakan faktor antesenden terhadap perilaku yang

memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Faktor ini mencakup

potensi dan sumber daya yang ada di masyarakat dalam wujud lingkungan

fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan.

Hal ini juga menyangkut keterjangkauan berbagai sumber daya, seperti

biaya, jarak ketersediaan transportasi, keterampilan petugas dan lain-lain.

c. Faktor-faktor penguat (Reinforcing Factors)

Faktor penguat merupakan faktor penyerta. Terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas, keluarga, teman atau kelompok referensi dari perilaku

Page 20: BAB II ADITYA.doc

26

masyarakat. Faktor ini lebih ditekankan pada siapa-siapa yang dapat

mempengaruhi individu untuk mendukung pelayanan kesehatan

4.Faktor faktor Yang Mempengaruhi Perilaku

a. Pengetahuan

1) Pengertian

Pengetahuan adalah kemampuan untuk memahami dan mengerti

tentang suatu objek (Wibowo, 1998). Pengetahuan adalah merupakan hasil

dari proses belajar, yang terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).

Pengetahuan menurut Skinner seperti dikutip Notoatmodjo (2005),

yaitu apabila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai

suatu bidang tertentu dengan benar, baik secara lisan maupun tulisan maka

dapat disimpulkan bahwa ia mengetahui bidang tersebut.

Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang diperoleh dari

proses belajar selama hidup melalui penglihatan dan pendengaran

terhadap sesuatu.

2) Tingkat Pengetahuan

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 5

tingkatan yaitu :

Page 21: BAB II ADITYA.doc

27

1) Pengetahuan (Knowledge)

Pengetahuan diartikan sebagai mengetahui terminologi secara umum,

fakta yang spesifik, mengetahui konsep dasar dan konsep prinsip.

2) Pemahaman (Comprehension)

Pemahaman diartikan sebagai memahami fakta dengan

menginterpretasikan diagram dan grafik, menjustifikasikan prosedur

dan metode serta mengestimasikan kebutuhan.

3) Aplikasi (Aplication)

Aplikasi diartikan sebagai mengaplikasikan konsep dan prinsip ke

dalam situasi baru seperti memecahkan problem matematika,

menyusun grafik dan chart, mendemonstrasikan penggunaan metode

dan prosedur.

4) Analisis (Analysis)

Analisis adalah mengenal dan menggunakan logika berpikir untuk

menyampaikan suatu alasan, mengevaluasi relevansi data.

5) Evaluasi (Evaluation)

Menjustifikasikan nilai suatu pekerjaan seperti dapat merancang

kembali suatu rangkaian dengan lebih efisien.

3) Pengukuran Pengetahuan

Pengetahuan seseorang dapat diukur dengan menggunakan

pertanyaan baik secara lisan atau tulisan. Pertanyaan tersebut dapat

dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu:

Page 22: BAB II ADITYA.doc

28

a) Pertanyaan Subjektif

Misalnya pertanyaan essay, pertanyaan ini disebut subjektif karena

penilaian untuk pertanyaan ini melibatkan faktor subjektif dari penilai.

b) Pertanyaan Objektif

Misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choice), benar-salah dan

pertanyaan menjodohkan. Pertanyaan ini disebut dengan pertanyaan

objektif yang mempunyai jawaban pasti dan dapat dinilai.

b. Sikap

1)Pengertian

Sikap merupakan faktor predisposisi dari perilaku, dan tidak dapat

dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku

yang tertutup. Sikap adalah ungkapan reaksi atau respon yang masih tertutup

dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005).

Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan

atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif

tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi

merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku”

2) Komponen-komponen Sikap

Sikap mempunyai 3 komponen yaitu komponen keyakinan, komponen

emosional dan komponen kecenderungan untuk bertindak. Hal ini sesuai

dengan pendapat Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) sikap itu

mempunyai 3 komponen pokok :

Page 23: BAB II ADITYA.doc

29

1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep

terhadap suatu objek.

2) Kehidupan emosional atau evaluasi

terhadap suatu objek.

3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to

behave).

Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang

utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,

pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.

3) Tingkatan sikap

Menurut Notoatmodjo (2005) sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:

1) Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi

dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-

ceramah tentang gizi.

2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

Ketika seseorang berusaha untuk menjawab pertanyaan atau

mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar

atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

Page 24: BAB II ADITYA.doc

30

3) Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu

yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan

sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau

mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut

telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.

4) Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.

4) Pengukuran Sikap

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau

pernyataan responden terhadap suatu objek. Mengukur sikap seseorang

adalah mencoba untuk menempatkan posisinya pada suatu kontinum yang

berkisar dari “sangat positif” ke “sangat negatif” terhadap suatu objek.

Tehnik penyusunan skala pengukuran sikap menurut Likert paling banyak

digunakan karena kesederhanaanya.

Skala sikap berisi pernyataan-pernyataan sikap, yaitu suatu

penyataan mengenai objek sikap. Pernyataan sikap terdiri atas dua macam,

yaitu pernyaataan yang favorabel (mendukung atau memihak pada objek

sikap) dan pernyataan yang tidak favorabel (tidak mendukung objek

Page 25: BAB II ADITYA.doc

31

sikap) (Badriah, 2006).

Bentuk-bentuk skala sikap yang perlu diketahui dalam melakukan

penelitian. Berbagai skala sikap yang sering digunakan ada 5 macam

yaitu:

1) Skala Likert

Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi

seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial dalam

bentuk jawaban (pernyataan) yang berupa Sangat setuju (SS), setuju

(S), ragu (R), tidak setuju (TS). Setiap jawaban mempunyai skor

tersendiri sesuai dengan positif atau negatifnya item itu. Dalam

penelitian gejala sosial ini telah di tetapkan secara spesifik oleh

peneliti yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian.

2) Skala Guttman

Skala Guttman merupakan skala kumulatif jika seseorang menyisakan

pertanyaan yang berbobot lebih berat, ia akan mengiyakan pertanyaan

yang kurang berbobot lainnya. Skala guttman mengukur suatu dimensi

saja dari suatu variabel yang multidimensi.

3) Skala Diferensial Semantik

Skala differensial semantik atau skala perbedaan semantik berisikan

serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub), seperti panas-dingin,

popular tidak popular, baik tidak baik dan sebagainya.

4) Rating Scale

Page 26: BAB II ADITYA.doc

32

Berdasarkan ke 3 skala pengukuran, yaitu : skala likert, skala guttman,

dan skala perbedaan semantik, data yang diperoleh adalah data

kualitatif yang dikuantitatifkan. Sedangkan rating scale adalah data

mentah kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.

5) Skala Thurstone

Skala Thurstone meminta responden untuk memilih pertanyaan yang

ia setujui dari beberapa pertanyaan yang menyajikan pandangan yang

berbeda-beda. Pada umumnya setiap item mempunyai asosiasi nilai

antara 1 sampai dengan 10, tetapi nilai-nilainya tidak diketahui oleh

responden. Pemberian ini berdasarkan jumlah tertentu peryataan yang

dipilih oleh responden mengenai angket tersebut (Notoatmodjo, 2005).

c. Ketenagaan Keperawatan

Pada pelayanan keperawatan penataan tenaga keperawatan merupakan hal

yang penting mengingat yang berada di sisi klien adalah perawat. Baik

buruknya pelayanan keperawatan yang diberikan akan mencerminkan

kwalitas pelayanan suatu rumah sakit (Giles dalam Tyas 2010)

Dalam penerapan asuhan keperawatan jumlah tenaaga perawat yang

diperlukan tergantung dari jumlah klien dan derajat ketergantungan klien.

1) Perawatan Minimal (1 – 2 Jam / 24 Jam)

a) Keberihan diri, mandi, ganti pakaian di lakukan sendiri

b) Makan dan minum di lakukan sendiri

c) Ambulasi dengan pengawasan

Page 27: BAB II ADITYA.doc

33

d) Observasi tanda – tanda vital di lakukan setiap pergantian jaga

e) Pengobatan minimal, status psikologis stabil

f) Perawatan luka sederhana

2) Perawatan Intermediet / Partial (3 – 4 Jam / 24 Jam)

a) Kebersihan diri di bantu, makan minum di Bantu

b) Observasi tanda - tanda vital setiap 4 jam

c) Ambulasi di Bantu

d) Pengobatan dengan injeksi

e) Pasien dengan katheter urine

f) Pasien dengan infus

g) Observasi balance cairan ketat

3) Perawatan Maksimal / Total (5 – 6 Jam / 24 Jam)

a) Semua kebutuhan pasien di Bantu

b) Perubahan posisi, obnservasi tanda – tanda vital setiap 2 jam

c) Makan melalui selang lambung

d) Pengobatan intra vena “perdrip”

e) Pemakean suction

f) Gelisah / disorientasi

g) Perawatan luka kompleks

Rasio Perawat Klien (Giles dalam Tyas 2010)

Ruang Rawat inap biasa :

a) Perawat pagi dan sore : Rasio pasien : perawat : 10 : 5

Page 28: BAB II ADITYA.doc

34

b) Perawat malam : Rasio pasien : perawat : 10 : 1

c) Ruang rawat intensif : Rasio Pasien : perawat : 1 : 1

Menurut Kepmenkes No 81 tahun 2004 adalah 1 perawat melayani 2 pasien

B. Kerangka Konsep

Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposing enabling

dan reinforcing. Salah satu faktor predisposing adalah faktor pengetahuan dan

sikap. Apabila konsep tersebut diterapkan dalam penelitian ini, maka kejadian

dekubitus dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap dan perilaku perawat

dalam melaksanakan pencegahan decubitus (Notoatmodjo, 2005). Konsep

tersebut digambarkan dalam kerangka sebagai berikut :

Perilaku Pencegahan Dekubitus

Faktor PredisposingPengetahuan Sikap Karakteristikpersepsi

Faktor Enabling Petugas KeperawatanJarak Sarana dan prasarana kesehatan

Faktor Reinforcing

Dukungan Petugas KesehatanDukungan Keluarga Dukungan tokoh

Kejadian Dekubitus

Page 29: BAB II ADITYA.doc

35

Keterangan : Hurup dicetak Tebal adalah Variabel Yang diteliti

Skema 2.1Kerangka Konsep Penelitian

C. Hipotesis

1. Ada hubungan pengetahuan perawat dengan kurangnya pencegahan

dekubitus di Ruang Mawar RSUD Camis

2. Ada hubungan sikap perawat dengan kurangnya pencegahan dekubitus di

Ruang Mawar RSUD Camis

3. Ada hubungan Rasio petugas keperawatan dengan kurangnya pencegahan

dekubitus di Ruang Mawar RSUD Camis

D. Definisi Operasional

VariabelDefinisi

operasional Alat ukur

Hasil pengukuran

Skala

Pengetahuan Adalah jawaban perawat tentang cara pencegahan dan perawatan dekubitus

Kuesioner 1.Baik :Skor > 75%

2. CukupSkor 56-75%

3. KurangSkor < 56%(Arikunto, 2006)

Ordinal

Sikap Adalah tanggapan berupa pernyataan setuju atau tidak

Kuesioner 1. Positif Skor > 50%

2. Negatif Skor ≤50 %

Ordinal

Page 30: BAB II ADITYA.doc

36

setuju terhadap cara cara pencegahan dekubitus

(Arikunto, 2006)

Rasio tenaga keperawatan

Adalah perbandingan jumlah tenaga perawat dengan pasien dalam ruang keperawatan pada rawat inap biasa

Kuesioner Baik :Jika rasio minimal 1 : 2

3. KurangRasio > 1 : 2

(Permenkes 262)

Pencegahan dekubitus

Adalah pernyataan responden mengenai perilaku yang biasa dilakukan dalam mencegah terjadinya dekubitus di Ruang Mawar RSUD Ciamis

Kuesioner 1 Baik :Skor > 67 %

2. CukupSkor 34-67%

3. KurangSkor < 34%(Arikunto, 2006)

Ordinal