BAB | II LANDASAN TEORI II 1 BAB II LANDASAN TEORI Konsep ...
BAB II ADITYA.doc
-
Upload
gumilar-nopriatna -
Category
Documents
-
view
64 -
download
5
Transcript of BAB II ADITYA.doc
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka
1.Ulkus Dekubitus
a. Definisi
Ulkus dekubitus adalah kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan
aliran darah dan iritasi pada kulit yang menutupi tulang yang menonjol,
dimana kulit tersebut mendapatkan tekanan dari tempat tidur, kursi roda, gips,
pembidaian atau benda keras lainnya dalam jangka panjang. Bagian tubuh
yang sering mengalami ulkus dekubitus adalah bagian dimana terdapat
penonjolan tulang, yaitu sikut, tumit, pinggul, pergelangan kaki, bahu,
punggung dan kepala bagian belakang. Ulkus dekubitus terjadi jika tekanan
pada bagian tubuh melebihi kapasitas tekanan pengisian kapiler dan tidak ada
usaha untuk menguranginya sehingga terjadi kerusakan jaringan yang
menetap. Bila tekanan kurang dari 32 mmHg atau ada usaha untuk
memperbaiki aliran darah ke daerah tersebut maka ulkus dekubitus dapat
dicegah (Potter and Perry, 2005).
Menurut Webster's New Riverside University Dictionary, definisi ulkus
adalah suatu inflamasi, sering suatu lesi yang bernanah pada kulit atau
mukosa permukaan tubuh internal, seperti duodenum, yang menghasilkan
jaringan nekrosis. Menggambarkan bahwa ulkus (Latin, ulcus; Yunani,
7
8
heliosis) adalah suatu kerusakan pada permukaan organ atau jaringan yang
terjadi akibat inflamasi jaringan nekrosis (Arwani, 2007).
b. Etiologi dan Faktor Risiko
Terbentuknya ulkus dekubitus dipengaruhi oleh banyak faktor, tetapi
tekanan yang menyebabkan iskemik adalah penyebab utama. Setiap jaringan
mempunyai kemampuan untuk mengatasi terjadinya iskemik akibat tekanan,
tetapi tekanan yang lama dan melewati batas pengisian kapiler akan
menyebakan kerusakan jaringan yang menetap (Mansjoer, 2001).
Penyebab ulkus dekubitus lainnya adalah kurangnya mobilitas,
kontraktur, spastisitas, berkurangnya fungsi sensorik, paralisis, insensibilitas,
malnutrisi, anemia, hipoproteinemia, dan infeksi bakteri. Selain itu, usia yang
tua, perawatan di rumah sakit yang lama, orang yang kurus, inkontinesia urin,
merokok, penurunan kesadaran mental dan penyakit lain (seperti diabetes
melitus dan gangguan vaskuler) akan mempermudah terjadinya ulkus
dekubitus (Mansjoer, 2001).
Menurut Potter, Perry (2005), berbagai faktor yang dapat menjadi
predisposisi terjadi dekubitus pada klien di antaranya:
1) Gangguan input sensorik
Klien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri
dan tekanan beresiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada
klien yang sensasinya normal. Klien yang mempunyai persepsi sensorik
yang utuh terhadap nyeri dan tekan dapat mengetahui jika salah satu
9
bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar.
Sehingga ketika klien sadar dan berorientasi, mereka dapat mengubah
posisi atau meminta bantuan untuk mengubah posisi.
2) Gangguan fungsi motorik
Klien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko
tinggi terjadi dekubitus. Klien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi
tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan
tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus.
3) Perubahan tingkat kesadaran
Klien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari dekubitus. Klien
bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak
mampu memahami menghilangkan tekanan itu.
4) Gips, Traksi, Alat ortotik, dan peralatan lain
Gips dan traksi mengurangi mobilisasi klien dan ekstremitasnya,
sehingga beresiko tinggi terjadi dekubitus akibat gaya friksi eksternal
mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit atau bisa juga
akibat tekanan gips pada kulit yang terlalu ketat dikeringkan atau juga
akibat ekstremitasnya bengkak.
c. Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Dekubitus
Ulkus dekubitus dapat terbentuk karena ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya. Allman dkk dalam Mansjoer (2001) membagi mekanisme
10
terbentuknya ulkus dekubitus berdasarkan faktor yang mempengaruhinya
menjadi patomekanikal dan patofisilogi.
1) Patomekanikal
Patomekanikal merupakan faktor ekstrisik atau faktor primer
terbentuknya ulkus dekubitus. Patomekanikal ulkus dekubitus meliputi;
a) Tekanan yang Lama
Faktor yang paling penting dalam pembentukan ulkus dekubitus
adalah tekanan yang tidak terasa nyeri. Kosiak mengemukakan bahwa
tekanan yang lama yang melampaui tekanan kapiler jaringan pada
jaringan yang iskemik akan mengakibatkan terbentuknya ulkus
dekubitus. Hal ini karena tekanan yang lama akan mengurangi asupan
oksigen dan nutrisi pada jaringan tersebut sehingga akan menyebabkan
iskemik dan hipoksia kemudian menjadi nekrosis dan ulserasi
(Smeltzer,2005).
b) Tekanan antar Permukaan
Tekanan antar permukaan adalah tekanan tegak lurus setiap unit
daerah antara tubuh dan permukaan sandaran. Tekanan antar
permukaan dipengaruhi oleh kekakuan dan komposisi jaringan tubuh,
bentuk geometrik tubuh yang bersandar dan karakteristik pasien.
menyatakan bahwa tekanan antar permukaan yang melebihi 32 mmHg
akan menyebabkan mudahnya penutupan kapiler dan iskemik. Faktor
yang juga berpengaruh terhadap tekanan antar permukaan adalah
11
kolagen. Pada penderita sklerosis amiotropik lateral risiko untuk
terjadinya ulkus dekubitus berkurang karena adanya penebalan kulit
dan peningkatan kolagen dan densitasnya (Mansjoer, 2001).
c) Luncuran
Luncuran adalah tekanan mekanik yang langsung paralel terhadap
permukaan bidang. Luncuran mempunyai pengaruh terhadap
terbentuknya ulkus dekubitus terutama pada daerah sakrum. gerakan
anguler dan vertikal atau posisi setengah berbaring akan
mempengaruhi jaringan dan pembuluh darah daerah sacrum sehingga
berisiko untuk mengalami kerusakan. Penggunaan tempat tidur yang
miring seperti pada bedah kepala dan leher akan meningkatkan
tekanan luncuran sehingga memudahkan terjadinya ulkus dekubitus
(Defloor, dalam Arwani 2007).
d) Gesekan
Menurut Makebulst dalam Arwani (2007), gesekan adalah gaya antar
dua permukaan yang saling berlawanan. Gesekan dapat menjadi faktor
untuk terjadinya ulkus dekubitus karena gesekan antar penderita
dengan sandarannya akan menyebabkan trauma makroskopis dan
mikroskopis. Kelembaban, maserasi dan kerusakan jaringan akan
meningkatkan tekanan pada kulit. Kelembaban yang terjadi akibat
kehilangan cairan dan inkontinensia alvi dan urin akan menyebabkan
terjadinya maserasi jaringan sehingga kulit cenderung lebih mudah
12
menjadi rusak (Smeltzer,2001).
e) Immobilitas
Seorang penderita immobil pada tempat tidurnya secara pasif dan
berbaring diatas kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan
mencapai 60-70 mmHg dan daerah tumit mencapai 30-45 mmHg.
Lindan dkk dalam Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa pada pasien
posisi telentang, tekanan eksternal 40-60 mmHg merupakan tekanan
yang paling berpotensi untuk terbentuk ulkus pada daerah sacrum,
maleolus lateralis dan oksiput. Sedangkan pada pasien posisi
telungkup, thoraks dan genu mudah terjadi ulkus pada tekanan 50
mmHg. Pada pasien posisi duduk, mudah terjadi ulkus bila tekanan
berkisar 100 mmHg terutama pada tuberositas ischi (Smeltzer, 2001).
2) Patofisiologi
Faktor patofisiologi (faktor intrinsik atau sekunder) terbentuknya
ulkus dekubitus meliputi demam, anemia, infeksi, iskemik, hipoksemia,
hipotensi, malnutrisi, trauma medula spinalis, penyakit neurologi, kurus,
usia yang tua dan metabolisme yang tinggi.
Selama penuaan, regenerasi sel pada kulit menjadi lebih lambat
sehingga kulit akan tipis (tortora & anagnostakos, 1990). Kandungan
kolagen pada kulit yang berubah menyebabkan elastisitas kulit berkurang
sehingga rentan mengalami deformasi dan kerusakan. Kemampuan sistem
kardiovaskuler yang menurun dan sistem arteriovenosus yang kurang
13
kompeten menyebabkan penurunan perfusi kulit secara progresif.
Sejumlah penyakit yang menimbulkan ulkus dekubitus seperti DM yang
menunjukkan insufisiensi kardiovaskuler perifer dan penurunan fungsi
kardiovaskuler seperti pada sistem pernapasan menyebabkan tingkat
oksigenisasi darah pada kulit menurun. Gizi yang kurang dan anemia
memperlambat proses penyembuhan pada ulkus dekubitus.
Hipoalbuminemia yang mempermudah terjadinya dekubitus dan
memperjelek penyembuhan dekubitus, sebaliknya bila ada dekubitus akan
menyebabkan kadar albumin darah menurun. Pada orang malnutrisi, ulkus
dekubitus lebih mudah terbentuk daripada orang normal, oleh karena itu,
faktor nutrisi ini penting dalam patofisiologi terbentuknya ulkus
dekubitus, (Smeltzer dalam Alvius,2005).
d. Gejala
Setiap bagian tubuh dapat terkena ulkus dekubitus, tetapi bagian tubuh
yang paling sering terjadi ulkus dekubitus adalah daerah tekanan dan
penonjolan tulang.
Gejala klinik yang tampak oleh penderita, biasanya berupa kulit yang
kemerahan sampai terbentuknya suatu ulkus. Kerusakan yang terjadi dapat
meliputi dermis, epidermis, jaringan otot sampai tulang. Berdasarkan gejala
klinis, mengklasifikasikan ulkus dekubitus menjadi empat stadium, yakni :
14
1) Stadium 1
Ulserasi terbatas pada epidermis dan dermis dengan eritema pada
kulit. Penderita dengan sensibilitas baik akan mengeluh nyeri. Stadium ini
umumnya reversibel dan dapat sembuh dalam 5 - 10 hari.
2) Stadium 2
Ulserasi mengenai epidermis, dermis dan meluas sampai ke jaringan
adiposa.Terlihat eritema dan indurasi. Stadium ini dapat sembuh dalam
10–15 hari.
3) Stadium 3
Ulserasi meluas sampai ke lapisan lemak subkutis, dan otot sudah
mulai terganggu dengan adanya edema, inflamasi, infeksi dan hilangnya
struktur fibril. Tepi ulkus tidak teratur dan terlihat hiper atau
hipopigmentasi dengan fibrosis. Kadang-kadang terdapat anemia dan
infeksi sistemik. Biasanya sembuh dalam 3-8 minggu .
4) Stadium 4
Ulserasi dan nekrosis meluas mengenai fasia, otot, tulang serta
sendi. Dapat terjadi artritis septik atau osteomielitis dan sering disertai
anemia, dapat sembuh dalam 3 - 6 bulan.
Berdasarkan waktu yang diperlukan untuk penyembuhan dari suatu
ulkus dekubitus dan perbedaan temperatur dari ulkus dengan kulit
sekitarnya, dekubitus dapat dibagi menjadi tiga: (Smeltzer,2001).
15
1) Tipe normal
Mempunyai beda temperatur sampai dibawah lebih kurang 2,50
C dibandingkan kulit sekitarnya dan akan sembuh dalam perawatan
sekitar 6 minggu. Ulkus ini terjadi karena iskemia jaringan setempat
akibat tekanan, tetapi aliran darah dan pembuluh darah sebenarnya
baik.
2) Tipe arterioskelerosis
Mempunyai beda temperatur kurang dari 10C antara daerah
ulkus dengan kulit sekitarnya. Keadaan ini menunjukkan gangguan
aliran darah akibat penyakit pada pembuluh darah (arterisklerotik) ikut
perperan untuk terjadinya dekubitus disamping faktor tekanan. Dengan
perawatan, ulkus ini diharapkan sembuh dalam 16 minggu.
3) Tipe terminal
Terjadi pada penderita yang akan meninggal dunia dan tidak
akan sembuh. Satu hal penting yang harus diperhatikan sebagai ciri
ulkus dekubitus adalah adanya bau yang khas, sekret luka, jaringan
parut, jaringan nekrotik, dan kotoran yang berasal dari inkontinensia
urin dan alvi. Ciri tersebut dapat menunjukkan kontaminasi bakteri
pada ulkus dekubitus dan penting untuk penatalaksanaan
(Mansjoer ,2001.)
Komplikasi sering terjadi pada stadium 3 dan 4 walaupun dapat
juga pada ulkus yang superfisial. Komplikasi yang dapat terjadi antara
16
lain infeksi (sering bersifat multibakterial, baik yang aerobik atau pun
anerobik), keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis,
osteitis, osteomielitis, artritis septik, septikemia, anemia,
hipoalbuminemia, bahkan kematian.
e. Pemeriksaan
Diagnosis ulkus dekubitus biasanya tidak sulit. Diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Tetapi untuk
menegakkan diagnosis ulkus dekubitus diperlukan beberapa pemeriksaan
laboratorium dan penujang lainnya.
Beberapa pemeriksaan yang penting untuk membantu menegakkan
diagnosis dan penatalaksanaan ulkus dekubitus adalah,
1) Kultur dan analisis urin
Kultur ini dibutuhakan pada keadaan inkontinensia untuk melihat apakah
ada masalah pada ginjal atau infeksi saluran kencing, terutama pada
trauma medula spinalis.
2) Kultur Tinja
Pemeriksaan ini perlu pada keadaan inkontinesia alvi untuk melihat
leukosit dan toksin Clostridium difficile ketika terjadi pseudomembranous
colitis.
3) Biopsi
Biopsi penting pada keadaan luka yang tidak mengalami perbaikan dengan
pengobatan yang intensif atau pada ulkus dekubitus kronik untuk melihat
17
apakah terjadi proses yang mengarah pada keganasan. Selain itu, biopsi
bertujuan untuk melihat jenis bakteri yang menginfeksi ulkus dekubitus.
Biopsi tulang perlu dilakukan bila terjadi osteomyelitis.
4) Pemeriksaan Darah
Untuk melihat reaksi inflamasi yang terjadi perlu diperiksa sel darah putih
dan laju endap darah. Kultur darah dibutuhkan jika terjadi bakteremia dan
sepsis.
5) Keadaan Nutrisi
Pemeriksaan keadaan nutrisi pada penderita penting untuk proses
penyembuhan ulkus dekubitus. Hal yang perlu diperiksa adalah albumin
level, prealbumin level, transferrin level, dan serum protein level
6) Radiologis
Pemeriksaan radiologi untuk melihat adanya kerusakan tulang akibat
osteomyelitis. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan sinar-X, atau scan
tulang (Potter and Perry, 2005)
f. Pencegahan dekubitus
Tahap pertama pencegahan adalah mengkaji faktor-faktor resiko klien.
Kemudian perawat mengurangi faktor-faktor lingkungan yang mempercepat
terjadinya dekubitus, seperti suhu ruangan panas, kelembaban, atau linen
tempat tidur yang berkerut (Potter, Perry, 2005).
Identifikasi awal pada klien beresiko dan faktor-faktor resikonya
membantu perawat mencegah terjadinya dekubitus. Pencegahan
18
meminimalkan akibat dari faktor-faktor resiko atau faktor yang memberi
kontribusi terjadinya dekubitus. Potter, Perry (2005), menjelaskan tiga area
intervensi keperawatan dalam pencegahan dekubitus, yaitu :
1) Higiene dan perawatan kulit
Perawat harus menjaga kulit klien tetap bersih dan kering. Pada
perlindungan dasar untuk mencegah kerusakan kulit, maka kulit klien
dikaji terus-menerus oleh perawat, daripada delegasi ke tenaga kesehatan
lainnya. Jenis produk untuk perawatan kulit sangat banyak dan
penggunaannya harus disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Ketika kulit dibersihkan maka sabun dan air panas harus dihindari
pemakaiannya. Sabun dan lotion yang mengandung alkohol menyebabkan
kulit kering dan meninggalkan residu alkalin pada kulit. Residu alkalin
menghambat pertumbuhan bakteri normal pada kulit,dan meningkatkan
pertumbuhan bakteri oportunistik yang berlebihan, yang kemudian dapat
masuk pada luka terbuka.
2) Pengaturan posisi
Intervensi pengaturan posisi diberikan untuk mengurangi takanan
dan gaya gesek pada kulit. Dengan menjaga bagian kepala tempat tidur
setiggi 30 derajat atau kurang akan menurunkan perluang terjadinya
dekubitus akibat gaya gesek. Posisi klien immobilisasi harus diubah sesuai
dengan tingkat aktivitas, kemampuan persepsi, dan rutinitas sehari-hari.
Oleh karena itu standar perubahan posisi dengan interval 1 ½ sampai 2
19
jam mungkin tidak dapat mencegah terjadinya dekubitus pada beberapa
klien. Telah direkomendasikan penggunaan jadwal tertulis untuk
mengubah dan menentukan posisi tubuh klien minimal setiap 2 jam. Saat
melakukan perubahan posisi, alat bantu untuk posisi harus digunakan
untuk melindungi tonjolan tulang. Untuk mencegah cedera akibat friksi,
ketika mengubah posisi, lebih baik diangkat daripada diseret. Pada klien
yang mampu duduk di atas kursi tidak dianjurkan duduk lebih dari 2 jam.
3) Alas pendukung (kasur dan tempat tidur terapeutik)
Berbagai jenis alas pendukung, termasuk kasur dan tempat tidur
khusus, telah dibuat untuk mengurangi bahaya immobilisasi pada sistem
kulit dan muskuloskeletal. Tidak ada satu alatpun yang dapat
menghilangkan efek tekanan pada kulit. Pentingnya untuk memahami
perbedaan antara alas atau alat pendukung yang dapat mengurangi tekanan
dan alat pendukung yang dapat menghilangkan tekanan. Alat yang
menghilangkan tekanan dapat mengurangi tekanan antar permukaan
(tekanan antara tubuh dengan alas pendukung) dibawah 32 mmHg
(tekanan yang menutupi kapiler). Alat untuk mengurangi tekanan juga
mengurangi tekanan antara permukaan tapi tidak di bawah besar tekanan
yang menutupi kapiler.
Potter, Perry (2005), mengidentifikasi 9 parameter yang digunakan
ketika mengevaluasi alat pendukung dan hubungannya dengan setiap tiga
tujuan yang telah dijelaskan tersebut :
20
1) Harapan hidup
2) Kontrol kelembaban kulit
3) Kontrol suhu kulit
4) Redistribusi tekanan
5) Perlunya servis produk
6) Perlindungan dari jatuh
7) Kontrol infeksi
8) Kemudahan terbakar api dan
9) Friksi klien/produk
g. Penatalaksanaan dekubitus
Penatalaksanaan klien dekubitus memerlukan pendekatan holistik yang
menggunakan keahlian pelaksana yang berasal dari beberapa disiplin ilmu
kesehatan. Selain perawat, keahlian pelaksana termasuk dokter, ahli fisiotrapi,
ahli terapi okupasi, ahli gizi, dan ahli farmasi.
Beberapa aspek dalam penatalaksanaan dekubitus antara lain perawatan
luka secara lokal dan tindakan pendukung seperti gizi yang adekuat dan cara
penghilang tekanan (Doengoes, 2001).
Selama penyembuhan dekubitus, maka luka harus dikaji untuk lokasi,
tahap, ukuran, traktusinus, kerusakan luka, luka menembus, eksudat, jaringan
nekrotik, dan keberadaan atau tidak adanya jaringan granulasi maupun
epitelialisasi. Dekubitus harus dikaji ulang minimal 1 kali per hari. Pada
perawatan rumah banyak pengkajian dimodifikasi karena pengkajian
21
mingguan tidak mungkin dilakukan oleh pemberi perawatan. Dekubitus yang
bersih harus menunjukkan proses penyembuhan dalam waktu 2 sampai 4
minggu (Doengoes, 2001).
2.Tirah Baring (Bedrest Total)
Tirah baring diartikan sebagai tinggal ditempat tidur untuk jangka waktu
yang lama dan diharuskan. Tirah baring sebenarnya bukan sesuatu yang
dilakukan dengan sukarela. Ini sebagi akibat dari adanya penyakit yang
mensyaratkan untuk istirahat total ditempat tidur seperti thypoid atau karena
faktor kelemahan dan kelumpuhan
Ada beberapa penyakit yang sering mengakibatkan gangguan
imobilisasi. "Di antaranya, pascaoperasi otak, tulang, dan penyakit kritis yang
memerlukan istirahat," Dampak imobilisasi pada sistem otot dan tulang,
misalnya, terjadi penurunan kekuatan otot, terutama otot yang bekerja
melawan gravitasi dan daya tahan tubuh menurun.
Pada sistem jantung dan pembuluh darah, dapat terjadi peningkatan
denyut dan efisiensi jantung. Sistem pernapasan pun bisa terganggu. Itu
disebabkan oleh penurunan seluruh kekuatan dan pengembangan otot-otot
antartulang iga, diagfragma, dan perut. Pada sistem pencernaan, nafsu makan
menurun dan terjadi sembelit. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan
hormon. Selain itu, ada penurunan kebutuhan metabolik, gerak usus, dan
lambung.
22
Dekubitus adalah salah satu bahaya yang terbesar pada tirah baring.
Dalam sehari-hari masyarakat menyebutkan sebagai "akibat tidur". Suatu luka
dekubitus disebutkan oleh karena ada tekanan pada kulit.. Tak lama kemudian
akan terlihat pada tempat-tempat yang mendapatkan tekanan, warna-warna
kulit yang memutih.Jika penekanan ini hanya berlangsung untuk waktu
sementara, maka tidak ada akibat-akibat yang merugikan bagi aliran darah.
Pada penekanan yang berlangsung waktu yang lama, maka timbul masalah
dalam peredaran zat-zat makanan dan zat asam yang harus disalurkan pada
bagian bagian kulit. Yang mengalami penekan tadi, jaringan –jaringan yang
tak mendapat cukup makanan dan zat asam tadi perlahan akan mati, dari
sinilah kemudian timbul luka-luka dekubitus (Suparyanto, 2009).
3.Konsep Perilaku
Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme, baik yang dapat
diamati secara langsung ataupun yang dapat diamati secara tidak langsung.
Menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku dalam tiga
domain, yaitu domain kognitif, apektif dan psikomotor. Terbentuknya suatu
perilaku, terutama pada orang dewasa, dimulai pada domain kognitif, dalam
arti subjek tahu rangsangan, yakni obyek yang telah diketahui dan disadari
sepenuhnya kenyataan stimulus yang diterima oleh subyek dapat langsung
menimbulkan seseorang dapat bertindak tanpa terlebih dahulu mengetahui
makna dari stimulus yang diterimanya (Notoatmodjo, 2005).
Faktor perilaku adalah suatu faktor yang timbul karena ada aksi dan reaksi
23
seseorang atau organisme terhadap lingkungannya (Depkes RI , 2002).
Batasan tentang perilaku telah banyak diberikan oleh pakar. Menurut Sarwono
dalam Notoatmojo (2005) perilaku adalah keadaan jiwa, baik dalam hal
berpendapat, berpikir, bersikap, maupun dalam hal lain, untuk memberikan
respons terhadap situasi di luar subjek tersebut.
Berdasarkan batasan tersebut, bentuk operasional dari perilaku dapat
dikelompokkan dalam 3 jenis, yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yaitu mengetahui situasi atau
rangsangan dari luar diri subyek.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggapan batin terhadap keadaan
atau rangsangan dari luar diri subyek.
3. Perilaku dalam tindakan yang sudah konkrit, berupa perbuatan
terhadap situasi atau rangsangan dari luar (Notoatmojo, 2005).
Pakar lain menyebutkanya sebagai pengetahuan (Knowledge), sikap
(attitude), dan tindakan (practice), sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara
menyebutnya dengan cipta, rasa dan karsa.
Tindakan seseorang tidak selalu tergantung pada pengetahuan dan sikap,
akan tetapi dari pengalaman. Hasil penelitian yang dilakukan Rogers dalam
Notoatmojo (2005) terbukti bahwa ”Perilaku yang didasarkan oleh
pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif terhadap obyek maka
prilaku tersebut akan langgeng”. Sebaliknya apabila perilaku itu tidak
disadari oleh pengetahuan dan kesadaran, maka perilaku tersebut tidak akan
24
berlangsung lama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya perilaku dibedakan
menjadi dua, yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern
mencakup pengetahuan, kecerdasan, presepsi, emosi, motivasi dan
sebagainya yang berfungsi untuk mengolah rangsangan dari luar. Sedangkan
faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik maupun non fisik
seperti iklim, manusia, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya (Notoatmodjo,
2005).
Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2005), seorang ahli psikologi
mengemukakan bahwa prilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang
(stimulus) dengan respons. Secara operasional perilaku dapat diartikan
sebagai suatu respons internal yang terjadi dalam diri manusia dan tidak
dapat terlihat secara langsung oleh orang lain, misalnya berfikir, mengetahui,
menanggapi, mengembangkan, sikap batin. Bentuk perilaku ini masih
terselubung (covert behavior). Sedangkan bentuk perilaku aktif adalah
perilaku yang jelas dapat diobservasi secara langsung dimana perilaku sudah
tampak dalam bentuk tindakan nyata (overt behavior). Sebagai bentuk
perilaku aktif dan dapat di observasi adalah perilaku kepatuhan.
Menurut Green dalam Notoatmodjo (2005) mencoba menganalisa
perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan. Bahwa kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior).
25
Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuknya dari tiga faktor
yakni :
a. Faktor-faktor Predisposisi (predisposing factors)
Faktor ini mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, nilai-nilai,
tradisi, dan sebagainya. Faktor ini merupakan antesenden terhadap perilaku
yang menjadi dasar atau motivasi bagi perilaku, dalam arti umum kita dapat
mengatakan bahwa faktor predisposisi sebagai preferensi pribadi yang dibawa
seseorang atau kelompok ke dalam suatu pengalaman belajar. Preferensi
mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat. Meskipun demikian
berbagai faktor demografis seperti status sosial ekonomi, umur, jenis kelamin
dan ukuran keluarga juga penting menjadi perhatian sebagai faktor
predisposing.
b. Faktor-faktor pendukung (enabling factor)
Faktor pendukung merupakan faktor antesenden terhadap perilaku yang
memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana. Faktor ini mencakup
potensi dan sumber daya yang ada di masyarakat dalam wujud lingkungan
fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan.
Hal ini juga menyangkut keterjangkauan berbagai sumber daya, seperti
biaya, jarak ketersediaan transportasi, keterampilan petugas dan lain-lain.
c. Faktor-faktor penguat (Reinforcing Factors)
Faktor penguat merupakan faktor penyerta. Terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas, keluarga, teman atau kelompok referensi dari perilaku
26
masyarakat. Faktor ini lebih ditekankan pada siapa-siapa yang dapat
mempengaruhi individu untuk mendukung pelayanan kesehatan
4.Faktor faktor Yang Mempengaruhi Perilaku
a. Pengetahuan
1) Pengertian
Pengetahuan adalah kemampuan untuk memahami dan mengerti
tentang suatu objek (Wibowo, 1998). Pengetahuan adalah merupakan hasil
dari proses belajar, yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Pengetahuan menurut Skinner seperti dikutip Notoatmodjo (2005),
yaitu apabila seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai
suatu bidang tertentu dengan benar, baik secara lisan maupun tulisan maka
dapat disimpulkan bahwa ia mengetahui bidang tersebut.
Dari pendapat-pendapat para ahli di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa pengetahuan adalah sekumpulan informasi yang diperoleh dari
proses belajar selama hidup melalui penglihatan dan pendengaran
terhadap sesuatu.
2) Tingkat Pengetahuan
Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai 5
tingkatan yaitu :
27
1) Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan diartikan sebagai mengetahui terminologi secara umum,
fakta yang spesifik, mengetahui konsep dasar dan konsep prinsip.
2) Pemahaman (Comprehension)
Pemahaman diartikan sebagai memahami fakta dengan
menginterpretasikan diagram dan grafik, menjustifikasikan prosedur
dan metode serta mengestimasikan kebutuhan.
3) Aplikasi (Aplication)
Aplikasi diartikan sebagai mengaplikasikan konsep dan prinsip ke
dalam situasi baru seperti memecahkan problem matematika,
menyusun grafik dan chart, mendemonstrasikan penggunaan metode
dan prosedur.
4) Analisis (Analysis)
Analisis adalah mengenal dan menggunakan logika berpikir untuk
menyampaikan suatu alasan, mengevaluasi relevansi data.
5) Evaluasi (Evaluation)
Menjustifikasikan nilai suatu pekerjaan seperti dapat merancang
kembali suatu rangkaian dengan lebih efisien.
3) Pengukuran Pengetahuan
Pengetahuan seseorang dapat diukur dengan menggunakan
pertanyaan baik secara lisan atau tulisan. Pertanyaan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu:
28
a) Pertanyaan Subjektif
Misalnya pertanyaan essay, pertanyaan ini disebut subjektif karena
penilaian untuk pertanyaan ini melibatkan faktor subjektif dari penilai.
b) Pertanyaan Objektif
Misalnya pertanyaan pilihan ganda (multiple choice), benar-salah dan
pertanyaan menjodohkan. Pertanyaan ini disebut dengan pertanyaan
objektif yang mempunyai jawaban pasti dan dapat dinilai.
b. Sikap
1)Pengertian
Sikap merupakan faktor predisposisi dari perilaku, dan tidak dapat
dilihat langsung tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku
yang tertutup. Sikap adalah ungkapan reaksi atau respon yang masih tertutup
dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2005).
Menurut Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) sikap merupakan kesiapan
atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku”
2) Komponen-komponen Sikap
Sikap mempunyai 3 komponen yaitu komponen keyakinan, komponen
emosional dan komponen kecenderungan untuk bertindak. Hal ini sesuai
dengan pendapat Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) sikap itu
mempunyai 3 komponen pokok :
29
1) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep
terhadap suatu objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi
terhadap suatu objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to
behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting.
3) Tingkatan sikap
Menurut Notoatmodjo (2005) sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi
dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-
ceramah tentang gizi.
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Ketika seseorang berusaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar
atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
30
3) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya: seorang ibu
yang mengajak ibu yang lain (tetangganya, saudaranya, dan
sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu, atau
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut
telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
4) Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau
pernyataan responden terhadap suatu objek. Mengukur sikap seseorang
adalah mencoba untuk menempatkan posisinya pada suatu kontinum yang
berkisar dari “sangat positif” ke “sangat negatif” terhadap suatu objek.
Tehnik penyusunan skala pengukuran sikap menurut Likert paling banyak
digunakan karena kesederhanaanya.
Skala sikap berisi pernyataan-pernyataan sikap, yaitu suatu
penyataan mengenai objek sikap. Pernyataan sikap terdiri atas dua macam,
yaitu pernyaataan yang favorabel (mendukung atau memihak pada objek
sikap) dan pernyataan yang tidak favorabel (tidak mendukung objek
31
sikap) (Badriah, 2006).
Bentuk-bentuk skala sikap yang perlu diketahui dalam melakukan
penelitian. Berbagai skala sikap yang sering digunakan ada 5 macam
yaitu:
1) Skala Likert
Skala likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi
seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala sosial dalam
bentuk jawaban (pernyataan) yang berupa Sangat setuju (SS), setuju
(S), ragu (R), tidak setuju (TS). Setiap jawaban mempunyai skor
tersendiri sesuai dengan positif atau negatifnya item itu. Dalam
penelitian gejala sosial ini telah di tetapkan secara spesifik oleh
peneliti yang selanjutnya disebut sebagai variabel penelitian.
2) Skala Guttman
Skala Guttman merupakan skala kumulatif jika seseorang menyisakan
pertanyaan yang berbobot lebih berat, ia akan mengiyakan pertanyaan
yang kurang berbobot lainnya. Skala guttman mengukur suatu dimensi
saja dari suatu variabel yang multidimensi.
3) Skala Diferensial Semantik
Skala differensial semantik atau skala perbedaan semantik berisikan
serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub), seperti panas-dingin,
popular tidak popular, baik tidak baik dan sebagainya.
4) Rating Scale
32
Berdasarkan ke 3 skala pengukuran, yaitu : skala likert, skala guttman,
dan skala perbedaan semantik, data yang diperoleh adalah data
kualitatif yang dikuantitatifkan. Sedangkan rating scale adalah data
mentah kemudian ditafsirkan dalam pengertian kualitatif.
5) Skala Thurstone
Skala Thurstone meminta responden untuk memilih pertanyaan yang
ia setujui dari beberapa pertanyaan yang menyajikan pandangan yang
berbeda-beda. Pada umumnya setiap item mempunyai asosiasi nilai
antara 1 sampai dengan 10, tetapi nilai-nilainya tidak diketahui oleh
responden. Pemberian ini berdasarkan jumlah tertentu peryataan yang
dipilih oleh responden mengenai angket tersebut (Notoatmodjo, 2005).
c. Ketenagaan Keperawatan
Pada pelayanan keperawatan penataan tenaga keperawatan merupakan hal
yang penting mengingat yang berada di sisi klien adalah perawat. Baik
buruknya pelayanan keperawatan yang diberikan akan mencerminkan
kwalitas pelayanan suatu rumah sakit (Giles dalam Tyas 2010)
Dalam penerapan asuhan keperawatan jumlah tenaaga perawat yang
diperlukan tergantung dari jumlah klien dan derajat ketergantungan klien.
1) Perawatan Minimal (1 – 2 Jam / 24 Jam)
a) Keberihan diri, mandi, ganti pakaian di lakukan sendiri
b) Makan dan minum di lakukan sendiri
c) Ambulasi dengan pengawasan
33
d) Observasi tanda – tanda vital di lakukan setiap pergantian jaga
e) Pengobatan minimal, status psikologis stabil
f) Perawatan luka sederhana
2) Perawatan Intermediet / Partial (3 – 4 Jam / 24 Jam)
a) Kebersihan diri di bantu, makan minum di Bantu
b) Observasi tanda - tanda vital setiap 4 jam
c) Ambulasi di Bantu
d) Pengobatan dengan injeksi
e) Pasien dengan katheter urine
f) Pasien dengan infus
g) Observasi balance cairan ketat
3) Perawatan Maksimal / Total (5 – 6 Jam / 24 Jam)
a) Semua kebutuhan pasien di Bantu
b) Perubahan posisi, obnservasi tanda – tanda vital setiap 2 jam
c) Makan melalui selang lambung
d) Pengobatan intra vena “perdrip”
e) Pemakean suction
f) Gelisah / disorientasi
g) Perawatan luka kompleks
Rasio Perawat Klien (Giles dalam Tyas 2010)
Ruang Rawat inap biasa :
a) Perawat pagi dan sore : Rasio pasien : perawat : 10 : 5
34
b) Perawat malam : Rasio pasien : perawat : 10 : 1
c) Ruang rawat intensif : Rasio Pasien : perawat : 1 : 1
Menurut Kepmenkes No 81 tahun 2004 adalah 1 perawat melayani 2 pasien
B. Kerangka Konsep
Menurut Green perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposing enabling
dan reinforcing. Salah satu faktor predisposing adalah faktor pengetahuan dan
sikap. Apabila konsep tersebut diterapkan dalam penelitian ini, maka kejadian
dekubitus dipengaruhi oleh faktor pengetahuan, sikap dan perilaku perawat
dalam melaksanakan pencegahan decubitus (Notoatmodjo, 2005). Konsep
tersebut digambarkan dalam kerangka sebagai berikut :
Perilaku Pencegahan Dekubitus
Faktor PredisposingPengetahuan Sikap Karakteristikpersepsi
Faktor Enabling Petugas KeperawatanJarak Sarana dan prasarana kesehatan
Faktor Reinforcing
Dukungan Petugas KesehatanDukungan Keluarga Dukungan tokoh
Kejadian Dekubitus
35
Keterangan : Hurup dicetak Tebal adalah Variabel Yang diteliti
Skema 2.1Kerangka Konsep Penelitian
C. Hipotesis
1. Ada hubungan pengetahuan perawat dengan kurangnya pencegahan
dekubitus di Ruang Mawar RSUD Camis
2. Ada hubungan sikap perawat dengan kurangnya pencegahan dekubitus di
Ruang Mawar RSUD Camis
3. Ada hubungan Rasio petugas keperawatan dengan kurangnya pencegahan
dekubitus di Ruang Mawar RSUD Camis
D. Definisi Operasional
VariabelDefinisi
operasional Alat ukur
Hasil pengukuran
Skala
Pengetahuan Adalah jawaban perawat tentang cara pencegahan dan perawatan dekubitus
Kuesioner 1.Baik :Skor > 75%
2. CukupSkor 56-75%
3. KurangSkor < 56%(Arikunto, 2006)
Ordinal
Sikap Adalah tanggapan berupa pernyataan setuju atau tidak
Kuesioner 1. Positif Skor > 50%
2. Negatif Skor ≤50 %
Ordinal
36
setuju terhadap cara cara pencegahan dekubitus
(Arikunto, 2006)
Rasio tenaga keperawatan
Adalah perbandingan jumlah tenaga perawat dengan pasien dalam ruang keperawatan pada rawat inap biasa
Kuesioner Baik :Jika rasio minimal 1 : 2
3. KurangRasio > 1 : 2
(Permenkes 262)
Pencegahan dekubitus
Adalah pernyataan responden mengenai perilaku yang biasa dilakukan dalam mencegah terjadinya dekubitus di Ruang Mawar RSUD Ciamis
Kuesioner 1 Baik :Skor > 67 %
2. CukupSkor 34-67%
3. KurangSkor < 34%(Arikunto, 2006)
Ordinal