BAB II A. 1.

46
10 BAB II KAJIAN TEORI A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu tujuan Pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga Negara yang baik dan patriotik. Pendidikan kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin- disiplin ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan Pendidikan IPS. John Mahoney (Paul R. Hanna, 1962:55) dalam Drs. H. Daeng Sudirwo, M.Pd menyatakan bahwa: Civic education included and involves those teaching that type of teaching metodhe those student activities; those administrative supervisory produce which the school may utilitze purposively to make for better living together in the democratice way or (synonymously) to develop better civic behaviors Maka berdasarkan definisi diatas bahwa pendidikan kewarganegraan terdiri dan termasuk didalamnya pengajaran, tipe-tipe metode mengajar, aktivitas-aktivitas pelajar, pengawasan prosedur administrasi yang berguna untuk mencapai tujuan sekolah untuk membuat penghidupan lebih baik dengan jalan demokrasi atau untuk membangun tingkah laku warga Negara menjadi lebih baik.

Transcript of BAB II A. 1.

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai salah satu tujuan Pendidikan IPS

yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga Negara yang baik dan

patriotik.

Pendidikan kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin-

disiplin ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia

yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai

salah satu tujuan Pendidikan IPS.

John Mahoney (Paul R. Hanna, 1962:55) dalam Drs. H. Daeng Sudirwo,

M.Pd menyatakan bahwa:

Civic education included and involves those teaching that type of teaching metodhe those student activities; those administrative supervisory produce which the school may utilitze purposively to make for better living together in the democratice way or (synonymously) to develop better civic behaviors

Maka berdasarkan definisi diatas bahwa pendidikan kewarganegraan terdiri

dan termasuk didalamnya pengajaran, tipe-tipe metode mengajar, aktivitas-aktivitas

pelajar, pengawasan prosedur administrasi yang berguna untuk mencapai tujuan

sekolah untuk membuat penghidupan lebih baik dengan jalan demokrasi atau untuk

membangun tingkah laku warga Negara menjadi lebih baik.

11

Selanjutnya dipertegas oleh Prof. H. M. Nu’man Soematri M.Sc bahwa

Pendidikan Kewarganegaraan adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi

politik, yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan yang lain, positive

influence pendidikan sekolah masyarakat, orang tua, yang semuanya itu diproses

untuk melatih pelajar-pelajar berfikir kritis, analitis, bersikap dan bertindak

demokratis dalam mempersiapkan hidup demokratis.

Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli yang

mengemukakan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan (Cogan, 1999; Tollo dkk,

1998) dalam Winataputra (2007: 11) bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan

mata pelajaran dasar yang dirancang untuk mempersiapkan para pemuda warganegara

untuk dapat melakukan peran aktif dalam masyarakat, kelak setelah dewasa. Usia

sekolah lanjutan merupakan saat yang krusial dalam pengembangan peran dan

tanggungjawab warganegara. Pada usia ini siswa menemukan identitas dirinya dan

perannya dalam masyarakat sekitarnya.

Jadi berdasarkan kedua definisi tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan adalah

suatu program pendidikan untuk membentuk karakter warga Negara yang demokratis

yang didapat dari lingkungan sekitarnya serta melatih siswa untuk berfikir kritis

terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi Negara.

12

2. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Tujuan umum pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ialah mendidik

warga Negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan

warga Negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan Negara, demokratis.

Program Pendidikan Kewarganegaraan ini memandang siswa sebagai warga

Negara, sehingga program-program kompetensi atau materi yang diberikan kepada

peserta didik diarahkan untuk mempersiapkan mereka mampu hidup secara

fungsional sebagai warga masyarakat dan warga Negara yang baik. Pendidikan

kewarganegaraan ini memiliki misi sebagai berikut:

a. PKn sebagai pendidikan politik, yang berarti program pendidikan ini memberikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa agar mampu hidup sebagai warga Negara yang memiliki tingkat kemelekkan politik (political literacy) dan kesadaran berpolitik (political awareness), serta kemampuan berpartisipasi politik yang tinggi

b. PKn sebagai pendidikan hukum, yang berarti bahwa program pendidikan ini diarahkan untuk membina siswa sebagai warga Negara yang memiliki kesadaran hukum yang tinggi, yang menyadari akan hak dan kewajibannya, dan yang memiliki kepatuhan terhadap hukum yang tinggi.

c. PKn sebagai pendidikan nilai (value education), yang berarti melalui PKn diharapkan tertanam dan tertransformasikan nilai, moral, dan norma yang dianggap baik oleh bangsa dan Negara kepada diri siswa, sehingga mendukung bagi upaya nation and character building.(Bunyamin Maftuh dan Sapriya, 2005:319)

Berdasarkan misi PKn yang tersebut, maka materi dan kompetensi dalam

buku teks PKn haruslah terdiri dari konsep-konsep ilmu politik, hukum, dan disiplin

ilmu sosial lainnya. PKn sebagai pendidikan nilai, memuat nilai-nilai luhur yang

terkadung dalam falsafah tinggi Negara Indonesia yaitu Pancasila.

13

Sebagaimana dijabarkan dalam penjabaran Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan bahwa kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian

dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status,

hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Kesadaran dan wawasan

termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela Negara, penghargaan

terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa pelestarian lingkungan hidup,

kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan membayar pajak, dan

sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Selain itu tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah untuk

memberikan kompetensi-kompetensi sebagai berikut:

a) Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menganggapi isu

kewarganegaraan.

b) Berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas

dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

c) Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan

pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan

bangsa-bangsa lainnya.

d) Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung

dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Jadi, berdasarkan tujuan diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan Pendidikan

kewarganegaraan adalah untuk menyiapkan warga Negara agar dapat berpikir kritis

14

untuk mampu menanggapi permasalahan kewarganegaraan agar terbentuk rasa

tanggung jawab terhadap masyarakat, bangsa, dan Negara serta dapat menjalin

kerjasama yang baik dengan Negara-negara lain.

3. Ruang Lingkup Materi Pendidikan Kewarganegaraan

Berdasarkan standar isi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (BSNP:

2005) bahwa kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan kepribadian yang

dilaksanakan melalui kegiatan agama, akhlak mulia, kewarganegaraan, bahasa, seni,

dan budaya, serta pendidikan jasmani.

Dalam Standar Isi dijelaskan pula ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan

adalah sebagai berikut:

a. Persatuan dan kesatuan bangsa, meliputi hidup rukun dalam perbedaan, cinta

lingkungan, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, sumpah pemuda, keutuhan

negara kesatuan Republik Indonesia, partisipasi dalam pembelaan negara, sikap

positif terhadap negara kesatuan Republik Indonesia, keterbukaan dan jaminan

keadilan.

b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: tertib dalam kehidupan keluarga, tata

tertib sekolah, norma yang berlaku di masyarakat, peraturan-peraturan daerah,

norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sistem hukum dan

peradilan nasional, hukum dan peradilan internasional.

15

c. Hak asasi manusia meliputi: hak dan kewajiban anak, hak dan anggota

masyarakat, instrumen nasional dan internasional ham, pemajuan, penghormatan

dan perlindungan HAM.

d. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, harga diri sebagai warga

masyarakat, kebebasan berorganisasi, kemerdekaan mengeluarkan pendapat,

menghargai keputusan bersama, prestasi diri, persamaan kedudukan warga negara.

e. Konstitusi negara meliputi: proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,

konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, hubungan dasar negara

dengan konstitusi.

f. Kekuasaan dan politik, meliputi: pemerintahan desa dan kecamatan, pemerintahan

desa dan otonomi, pemerintahan pusat, demokrasi dan sistem politik, budaya

politik, budaya demokrasi menuju masyarakat yang madani, sistem pemerintahan,

pers dalam masyarakat demokrasi,

g. Pancasila meliputi: kedudukan pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,

proses perumusan pancasila sebagai dasar negara, pengamalan nilai-nilai pancasila

dalam kehidupan sehari-hari, pancasila sebagai ideologi terbuka.

h. Globalisasi meliputi: globalisasi di lingkungannya, politik luar negeri Indonesia di

era globalisasi, dampak globalisasi, hubungan internasional, dan organisasi

internasional dan mengevaluasi globalisasi.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hanna (Hanna, 1962: 62) dalam

Putuwiranata (2007: 185) Berdasarkan perkembangan mutakhir, dimana tujuan PKn

adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dari warga Negara dalam

16

kehidupan politik dan masyarakat baik pada tingkat lokal maupun nasional, maka

partisipasi semacam itu memerlukan penguasaan sejumlah kompetensi

kewarganegaraan. Dari sejumlah kompetensi yang diperlukan, yang terpenting adalah

(1) penguasaan terhadap pengetahuan dan pemahaman tertentu; (2) pengembangan

kemampuan intelektual dan partisipatoris; (3) pengembangan karakter dan sikap

mental tetentu; dan (4) komitmen yang benar terhadap nilai dan prinsip dasar

demokrasi konstitusional. Berdasarkan kompetensi yang perlu dikembangkan,

terdapat tiga komponen utama yang perlu dipelajari dalam PKn yaitu sebagai berikut:

a. Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge)

Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) berkaitan dengan kandungan

atau apa yang seharusnya diketahui oleh warga Negara.

b. Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skill)

Jika warganegara mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-

kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat, mereka tidak hanya

perlu menguasai pengetahuan dasar, namun merekapun perlu memiliki kecakapan-

kecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan.

c. Watak Kewarganegaraan (Civic Disposition)

Watak kewarganegaraan yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun privat

yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi kontitusional.

17

4. Metode Pengajaran PKn di SMP

Masalah metode mengajar IPS/PKn/Civics erat hubungannya dengan: (a)

tujuan program pelajaran dan tujuan pendidikan; (b) teori-teori pendidikan dan

psikologi pendidikan; (c) organisasi kurikulumnya; (d) sifat pelajar; (e) organisasi

kurikulumnya; (e) kebutuhan masyarakat setempat, nasional, dan internasional; (f)

mutu guru dan fasilitas belajar.

Unsur-unsur metode mengajar tersebut harus memiliki keselarasan sehingga

dapat mengembangkan potensi yang dimiliki siswa yang meliputi aspek kognitif,

afektif, dan psikomotor.

Menurut sejarah metode mengajar PKn sebagaimana dikemukakan oleh

Nu’man Soemantri (2001:302) terdapat dua aliran mengenai metode mengajar PKn

dikelas yaitu:

Pertama, Faculty Psikology. Aliran ini muncul pada akhir abadke 19. Menurut

aliran ini, karakter warga Negara yang baik dapat dihasilkan dengan melatih siswa

berfikir dengan cara menghafal, mengarahkan, dan menasehati mereka secara teratur

dengan bahan-bahan yang baik. Namun banyak pihak yang keberatan terhadap aliran

ini diantaranya yaitu Gerakan Civic education (1901) dan gerakan Community Civic

(1907). Penelitian terhadap masalah ini kemudian dilakukan oleh Hartshon dan May

yang kesimpulannya menyatakan keberatan terhadap praktik pembelajaran Civic/PKn

yang berorientasi pada Faculty Psychology. Orang tidak akan menjadi orang yang

baik dengan jalan terus dinasehati tanpa ada kesempatan untuk meneliti, menyelidiki,

dan menilainya.

18

Kedua, Psikologi Medan (Field Psichology). Aliran ini muncul pada tahun

1930. Aliran ini berpandangan bahwa mengajarkan secara doktriner bahan pelajaran

yang bernilai etika untuk membentuk warga Negara yang baik dianggap kurang baik.

Karena itu, aliran itu berpendapat bahwa proses belajar yang demokratis dan dinamis

dianggap lebih efektif dan akan memperoleh nilai yang sebenarnya. Aliran psikologi

ini mendorong metode mengajar civis/PKn yang berorintasi pada:

1) Mendorong partisipasi siswa secara aktif,

2) Mempunyai sifat-sifat inquiry,

3) Pendekatan pemecahan masalah.

Jadi, berdasarkan sejarah metode pngajaran civics/PKn terdapat dua aliran

yaitu aliran faculty psychology dan field psychology. Kedua aliran ini secara disadari

maupun tidak sampai saat ini masih digunakan dalam proses pembelajaran PKn di

sekolah-sekolah.

Namun, selain kedua aliran metode mengajar Civis/PKn terdapat faktor-faktor

yang turut serta berpengaruh dalam penggunaan metode mengajar yaitu faktor tujuan

program, organisasi kurikulum, dan bahan pelajaran.

Berpangkal pada tujuan PKn yang lebih menekankan pada etika pribadi, dan

kenegaraan yang dimanifestasikan dalam ciri-ciri tingkah laku (beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, cinta tanah air, jujur, toleran, menjunjung tinggi Hak

Asasi Manusia, gotong royong, dan sebagainya). Secara singkat, moral Pancasila dan

UUD 1945 yang paling mudah adalah dengan mengajarakan bahan pelajaran PKn

19

dengan menasehati para siswa dengan kosep-konsep dan generalisasi yang sudah

dianggap baik dan benar seperti tercantum dalam buku.

Berdasarkan hasil penelitian Hartshon dan May dalam Nu’man Soemantri

(2001:305) bahwa untuk memperoleh nilai-nilai yang diisyaratkan dalam tujuan PKn,

para siswa harus diberikan pengalaman hidup yang demokratis di lingkungan

sekolah, kelas, dan rumah.

B. Buku Teks

1. Pengertian Buku Teks

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Buku Teks Pelajaran Pasal 1 dinyatakan bahwa Buku teks pelajaran (textbook) adalah

buku acuan wajib untuk digunakan di sekolah yang memuat materi pembelajaran

dalam rangka meningkatkan keimanan, ketakwaan, ahlak mulia, dan kepribadian,

penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, peningkatan kepekaan dan kemampuan

estetis, peningkatan kemampuan kinestetis dan kesehatan yang disusun berdasarkan

standar nasional pendidikan.

Hall-Quest, (1915) dalam Tarigan (1986: 10) menyatakan ”bahwa buku teks

adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan

intruksional”.

Ahli yang lain menjelaskan bahwa “buku teks adalah buku standar/buku

setiap cabang khusus studi” dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok/utama

dan suplemen/tambahan (Lange, 1940).

20

Adapun ahli yang mengemukakan bahwa “buku teks adalah buku yang

dirancang buat pengguanaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para

pakar atau ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan sarana-sarana pengajaran

yang sesuai dan serasi” (Bacon, 1935)

Diperjelas kembali oleh Buckingham (Tarigan, 1986: 9) “buku teks adalah

sarana belajar yang biasa digunakan di sekolah-sekolah dan diperguruan tinggi untuk

menunjang suatu program pengajaran dalam pengertian modern dan yang umum

dipahami”.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang buku teks diatas dapat disimpulkan

bahwa buku teks merupakan sarana penunjang dalam proses pembelajaran di kelas

sehingga dapat membantu guru dalam menyampaikan materi dengan tujuan untuk

mencapai kompentensi yang dimiliki oleh siswa.

2. Fungsi Buku Teks

Banyak cara efektif yang dapat dilakukan oleh para siswa dalam

menggunakan serta memanfaatkan buku mereka, antara lain dengan cara melatih

mereka membaca intensif. Sang guru hendaklah menjelaskan bahwa nilai buku teks

tergantung atas penggunaan bagi tujuan-tujuan mempelajari keuntungan-keuntungan

khusus buku tersebut. Keuntungan-keuntungan khas itu dapat dikelompokkan sebagai

berikut ini:

a. Kesempatan mempelajarinya sesuai dengan kecepatan masing-masing

b. Kesempatan untuk mengulangi atau meninjaunya kembali

21

c. Kemungkinan mengadakan pemeriksaan atau pencekan terhadap ingatan

d. Kemudahan untuk membuat catatan-catatan bagi pemakaian selanjutnya

e. Kesempatan khusus yang dapat ditampilkan oleh sarana-sarana visual dalam

menunjang upaya belajar dari sebuah buku.

Membaca atau mempelajari suatu buku misalnya buku teks dalam mata

pelajaran tertentu, siswa ataupun pembaca dapat mengatur sendiri mengenai

kecepatannya. Bila dapat boleh dalam tempo cepat, sedang, atau juga lambat kalau

memang daya tangkap tidak begitu kuat.

Kesempatan untuk mengulang atau meninjau kembali sesuatu buku cukup

terbuka dan bebas. Waktu pembacaan kembali dapat diatur sesuka hati baik dalam

lamanya atau jam pembacaan seperti pagi, siang atau malam jumlah pengulangan pun

tidak terbatas dan dapat disesuaikan dengan keinginan pembaca.

Buku teks memberi kesempatan pada pemiliknya untuk menyegarkan ingatan.

Membaca kembali tentulah dapat memperkuat ingatan yang sudah ada. Bahkan

pembacaan kembali itu data pula dipakai sebagai pemeriksaan daya ingat seseorang

terhadap hal yang pernah dipelajarinya melalui buku teks.

Sarana-sarana khusus yang ada dalam sesuatu buku teks dapat menolong para

pembaca, untuk memahami isi buku. Sarana seperti skema, matriks, gambar-gambar

ilustrasi, dan sebagainya, berguna sekali dalam mengantar pembaca kea rah

pemahaman isi buku.

22

Greene dan Petty (1971: 540-2) telah merumuskan beberapa peranan buku

teks tersebut sebagai berikut:

a. Mencerminkan suatu sudut pandang yang tangguh dan modern mengenai pengajaran serta mendemonstrasikan aplikasinya dalam bahan pengajaran yang disajikan.

b. Menyajikan suatu sumber pokok masalah atau subject-matter yang kaya, mudah dibaca dan bervariasi, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan para siswa, sebagai dasar bagi program-program kegiatan yang disarankan di mana keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya.

c. Menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap mengenai keterampilan-keterampilan ekspresional diperoleh di bawah kondisi-kondisi yang menyerupai kehidupan yang sebenarnya.

d. Menyajikan bersama-sama dengan buku manual yang mendampinginya, metode-metode dan sarana-sarana pengajaran untuk memotivasi para siswa.

e. Menyajikan fiksasi (perasaan yang mendalam) awal yang perlu dan juga sebagai penunjang bagi latihan-latihan dan tugas-tugas praktis.

f. Menyajikan bahan atau sarana evaluasi dan remedial yang serasi dan tepat guna. Jadi suatu buku teks haruslah mencerminkan suatu sudut pandang yang jelas.

Apa prinsip-prinsip yang digunakan, pendekatan apa yang digunakan serta teknik-

teknik pelajaran yang digunakan. Buku teks sebagai pengisi bahan haruslah

menampilkan sumber bahan mantap. Susunannya teratur, sistematis. Jenisnya

bervariasi dan kaya. Daya penariknya kuat karena sesuai dengan minat siswa bahkan

memenuhi kebutuhan siswa. Lebih dari itu buku teks itu menantang, merangsang, dan

menunjang aktivitas dan kreativitas siswa.

Bahan yang terkandung dalam buku teks hendaknya tersusun rapi. Selain

tersusun dalam susunan yang sistematis maka bahan itu harus pula tersususun dalam

garadasi tertentu. Disesuaikan dengan hakekat mata pelajaran maka susunan itu

23

sebenarnya dapat beraneka ragam. Misalnya umum-khusus, mudah-sukar, bagian

keseluruhan, dan sebagainya.

Metode dan sarana penyajian bahan dalam buku teks harus memenuhi syarat-

syarat tertentu. Misalnya harus menarik, menantang, merangsang, bervariasi sehingga

siswa benar-benar termotivasi untuk mempelajari buku teks tersebut.

Buku teks juga sebaiknya menyajikan bahan secara mendalam. Ini berguna

bagi penyelesaian tugas dan latihan yang dituntut dari siswa. Tugas dan latihan ini

pada gilirannya memperdalam pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa terhadap

isi buku teks.

Di samping sebagai sumber bahan, buku teks juga berperan sebagai sumber

atau alat evaluasi dan pengajaran remedial. Artinya, disamping bahan, tersedia alat

evaluasi. Bila diperlukan sudah tersedia pula bahan pengajaran remedialnya secara

lengkap utuh.

Setiap mata pelajaran membutuhkan sejumlah buku teks. Apalagi bila mata

pelajaran itu mempunyai sub atau bagian yang dapat dianggap atau paling sedikit

diperlukan sebagai berdiri sendiri.

3. Kualitas Buku Teks

Buku memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat modern.

Banyak hal yang dapat dipelajari dari buku. Bahkan dapat dikatakan hamper semua

segi kehidupan manusia direkam dalam buku.

24

Buku adalah kunci ke arah gudang ilmu pengetahuan. Siapa yang ingin maju

dan pandai haruslah menggunakan manfaat buku. Bagi seorang pelajar atau

mahasiswa salah satu buku yang sangat diperlukan ialah buku teks atau buku

pelajaran. Buku teks berfungsi sebagai penunjang kegiatan belajar-mengajar dalam

mata pelajaran tertentu. Semakin baik kualitas buku teks maka semakin sempurna

pengajaran mata pelajaran yang ditunjangnya. Buku teks mengenai matematik yang

bermutu, jelas akan meningkatkan kualitas pengajaran matematik. Buku teks

mengenai Bahasa Indonesia bermutu tinggi akan meningkatkan kualitas pengajaran

dan hasil pengajaran bahasa Indonesia dan seterusnya.

Greene dan Petty telah menyusun cara penilaian buku teks dengan sepuluh

kriteria. Apabila sesuatu buku teks dapat memenuhi 10 persyaratan yang diajukan

maka dapat dikatakan buku teks tersebut berkualitas. Butir-butir yang harus dipenuhi

oleh suatu buku teks tersebut berkualitas. Butir-butir yang harus dipenuhi oleh suatu

buku teks, yang tergolong dalam kategori buku teks yang berkualitas tinggi, ialah:

a. Buku teks itu haruslah menarik minat anak-anak, yaitu para siswa yang

mempergunakannya.

b. Buku teks itu haruslah mampu memberi motivasi kepada para siswa yang

memakainya.

c. Buku teks itu haruslah memuat ilustrasi yang menarik hati para siswa yang

memanfaatkannya.

d. Buku teks itu seyogyanyalah mempertimbangkan aspek-aspek linguistik sehingga

sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya.

25

e. Buku teks itu isinya haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran

lainnya; lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan rencana, sehingga

semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu.

f. Buku teks itu haruslah dapat menstimulasi, merangsang aktivitas-aktivitas pribadi

para siswa yang mempergunakannya.

g. Buku teks itu haruslah dengan sadar dan tegas menghindari konsep-konsep yang

samar-samar dan tidak biasa, agar tidak sempat membingungkan para siswa yang

memakainya.

h. Buku teks itu haruslah mempunyai sudut pandangan atau “point of view” yang

jelas dan tegas sehingga juga pada akhirnya menjadi pandangan para pemakainya

yang setia.

i. Buku teks itu haruslah mampu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-nilai

anak dan orang dewasa.

j. Buku teks itu haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para siswa

pemakainya.

Buku teks berkaitan erat dengan kurikulum yang berlaku. Buku teks yang baik

haruslah relevan dan menunjang pelaksanaan kurikulum. Kriteria linguistik mengacu

kepada tujuan agar buku teks dipahami oleh siswa. Tarigan (1986: 22-23)

mengemukakan pedoman penilaian buku teks sebagai berikut:

a. Sudut Pandangan (Point of view)

26

Buku teks harus mempunyai landasan, prinsip dan sudut pandang tertentu yang

menjiwai atau melandasi buku teks secara keseluruhan. Sudut pandangan ini

dapat berupa teori dari ilmu, jiwa, bahasa, dan sebagainya.

b. Kejelasan Konsep

Konsep-konsep yang digunakan dalam suatu buku teks harus jelas dan tandas.

Keremangan-keremangan dan keamanan perlu dihindari agar siswa atau

membaca juga jelas pengertian, pemahaman dan penangkapannya.

c. Relevan dengan Kurikulum

Buku teks ditulis untuk dugunakan di sekolah. Sekolah mempunyai kurikulum.

Karena itu tidak ada pilihan lain bahwa buku teks harus relevan dengan

kurikulum yang berlaku.

d. Menarik Minat

Buku teks ditulis untuk siswa. Karena itu penulis buku teks harus

mempertimbangkan minat-minat siswa pemakai buku teks tersebut. Semakin

sesuai buku teks dengan minat siswa, semakin tinggi daya penarik buku teks

tersebut.

e. Menumbuhkan Motivasi

Motivasi berasal dari kata ‘motif’ yang berarti daya pendorong bagi seseorang

untuk melakukan sesuatu. Dengan motivasi diartikan sebagai penciptaan kondisi

yang ideal sehingga seseorang ingin, mau, senang, mengerjakan sesuatu. Buku

teks yang baik ialah buku teks yang dapat membuat siswa, ingin, mau, senang

27

mengerjakan apa yang diinstruksikan dalam buku tersebut. Apalagi bila buku

teks tersebut dapat mengiring siswa ke arah penumbuhan motivasi instrinsik.

f. Menstimulasi Aktivitas Siswa

Buku teks yang baik adalah buku teks yang merangsang, menantang, dan

menggiatkan aktivitas siswa. Di samping tujuan dan bahan, faktor metode sangat

menentukan dalam hal ini.

g. Ilustratif

Buku teks harus disertai dengan ilustrasi yang mengena dan menarik. Ilustrasi

yang cocok pastilah memberikan daya penarik tersendiri serta memperjelas hal

yang dibicarakan.

h. Dapat Dimengerti oleh siswa

Pemahaman harus didahului oleh komunikasi yang tepat. Faktor utama yang

berperan di sini ialah bahasa. Bahasa buku teks haruslah:

1) Sesuai dengan bahasa siswa

2) Kalimat-kalimatnya efektif

3) Terhindar dari makna ganda

4) Sederhana

5) Sopan

6) Menarik

i. Menunjang Mata Pelajaran Lain

Buku teks mengenai bahasa Indonesia misalnya disamping menunjang mata

pelajaran bahasa Indonesia, juga menunjang mata pelajaran lain. Melalui

28

pengajaran bahasa Indonesia pengetahuan siswa dapat bertambah dengan soal-

soal Sejarah, Ekonomi, Matematik, Geografi, Kesenian, Tarnsmigrasi, Olah raga.

Dan sebagainya.

j. Menghargai Perbedaan Individu

Buku teks yang baik tidak membesar-besarkan individu tertentu. Perbedaan

dalam kemampuan, bakat, minat, ekonomi sosial, budaya setiap individu tidak

dipermasalahkan tetapi diterima sebagaimana adanya.

k. Memantapkan Nilai-nilai

Buku teks yang baik berusaha untuk memantapkan nilai-nilai yang berlaku dalam

masyarakat. Uraian-uraian yang menjurus kepada penggoyahan nilai-nilai yang

berlaku pantas dihindarkan.

C. Keterbacaan

1. Membaca

Membaca merupakan suatu kesatuan kegiatan yang terpadu yang mencakup

beberapa kegiatan seperti mengenali huruf dan kata-kata, menghubungkannya dengan

bunyi serta maknanya, serta mengambil kesimpulan mengenai maksud bacaan.

Anderson,dkk (1985) memandang bacaan sebagai suatu proses untuk memahami

makna suatu tulisan. Kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks

yang menuntut kerja sama antara sejumlah kemampuan.

Kemampuan membaca, seperti juga kegiatan membaca, merupakan suatu

kemampuan yang kompleks, artinya banyak seginya dan banyak pula faktor yang

29

mempengaruhinya. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan yaitu motivasi, lingkungan

keluarga, dan bahan bacaan.

Motivasi untuk membaca dapat dibedakan berdasarkan sumbernya. Dalam hal

ini ada motivasi yang intrinsik, yaitu yang bersumber pada membaca itu sendiri dan

motivasi ekstrinsik, yaitu yang sumbernya terletak di luar membaca itu. Seseorang

yang memiliki motivasi tinggi atau kuat, tanpa di dorong atau disuruh membaca atau

giat membaca, sedangkan yang tidak termotivasi atau motivasinya rendah, tentunya

enggan membaca. Akan tetapi faktor motivasi ini juga dipengaruhi oleh berbagai hal

seperti kondisi ekonomi orang tua, lingkungan keluarga, teman sebaya, lingkungan

sekolah, dan lain sebagainya.

Faktor lingkungan keluarga dalam hal ini peranan orang tua yang memiliki

kesadaran akan pentingnya kemampuan membaca akan berusaha agar anak-anaknya

memiliki kesempatan untuk belajar membaca. Pembicaraan orang tua serta anggota

keluarga lainnya di rumah juga akan mempengaruhi kemampuan membaca anak.

Pembicaraan yang berisi pengalaman yang melibatkan berbagai konsep, istilah,

pandangan, dan sebagainya akan memperluas pengalaman serta wawasan yang

diperlukan dalam memahami berbagai topik bacaan. Dalam hubungan lingkungan

keluarga ini, sangat penting artinya kebiasaan bernalar di antara mereka. Pertanyaan-

pertanyaan yang mendorong anak untuk berpikir serta kebiasaan memberikan alasan

yang logis akan menumbuhkan kebiasaan bernalar secara lurus pada anak,

dampaknya akan terlihat dalam caranya menganalisis serta memahami bacaan.

30

2. Pengertian Keterbacaan

Istilah keterbacaan terdiri atas bentuk dasar terbaca dan konfiks ke-an.

Frefiks ter- yang terdapat pada bentuk dasar terbaca bermakna dapat di…. (baca).

Konfiks ke-an pada istilah keterbacaan bermakna hal yang berkenaan dengan apa

yang disebut dalam bentuk dasar, yakni terbaca. Dengan demikian maka dapat

dikatakan bahwa keterbacaan bermaknahal terbaca tidaknya suatu bahan bacaan oleh

pembacanya.

‘Keterbacaan adalah seluruh unsur yang ada dalam teks yang berpengaruh

terhadap keberhasilan pembaca dalam memahami materi yang dibacanya pada

kecepatan membaca yang optimal’ (Dale and Chall dalam Harjasujana, 1992). Mc

Laughin (1980) menambahkan bahwa ‘keterbacaan itu berkaitan dengan pemahaman

pembaca karena bacaannya itu memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan

pembacanya terus tenggelam dalam bacaan’.

Berdasarkan pendapat para ahli yang mengkaji tentang keterbacaan suatu

buku teks, (Gilliland, 1972; Klare, 1984) menyatakan bahwa keterbacaan berkaitan

dengan tiga hal, yakni kemudahan, kemenarikan, dan keterpahaman. Kemudahan

membaca berhubungan dengan bentuk tulisan, yakni tata huruf (topografi) seperti

besar huruf dan lebar spasi. Kemudahan ini berkaitan dengan kecepatan pengenalan

kata, tingkat kesalahan, jumlah fiksasi mata per detik, dan kejelasan tulisan (bentuk

dan ukuran tulisan). Kemenarikan berhubungan dengan minat pembaca, kepadatan

ide pada bacaan, dan keindahan gaya tulisan. Keterpahaman berhubungan dengan

karakteristik kata dan kalimat, seperti panjang-pendeknya dan frekuensi penggunaan

31

kata atau kalimat, bangun kalimat, dan susunan paragraf. Dan bacaan yang memiliki

tingkat keterbacaan yang baik akan memengaruhi pembacanya dalam meningkatkan

minat belajar dan daya ingat, menambah kecepatan dan efisiensi membaca, dan

memelihara kebiasaan membacanya.

Faktor keterbacaan merupakan faktor yang sangat penting dalam pemilihan

bahan bacaan. Keterbacaan ini berhubungan erat dengan taraf kesulitan bacaan.

Keterbacaan (readibility) merupakan ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan

bagi pembaca tertentu (Harjasusana, 1999 : 118). Tentu saja keterbacaan maupun

kesulitan bacaan itu berbeda-beda bagi tingkatan-tingkatan kemampuan membaca.

Demikian pula bagi satu tingkatan kemampuan membaca pun, suatu bacaan

mempunyai keterbacaan atau kesulitan yang berbeda dengan lainnya.

J.S Badudu dalam Tarigan (1999) berpendapat bahwa “keterbacaan sebuah

teks itu tinggi apabila pembacanya dapat dengan mudah memahami isi teks itu atau

pembaca tidak menemui kesukaran untuk memahaminya”. Keterbacaan sebuah teks

tergantung kepada bahasa yang digunakan untuk mengungkap (hal yang diuraikan

itu), gaya penyajian (apa yang diungkap itu), dan bacaan itu sendiri.

Sehubungan dengan keterbacaan atau kesulitan bahan dibedakan tiga

tingkatan, yaitu bebas, instruksional, dan frustasi. Suatu bahan dikatakan berada pada

tingkatan bebas jika bahan itu dapat dipahami siswa tanpa bantuan atau bimbingan

guru. Artinya, siswa dapat memahaminya secara mandiri. Jika bahan ituhanya dapat

dibaca/dipahami siswa dengan bimbingan guru, maka bahan itu termasuk tingkatan

instruksional. Seterusnya, jika bahan itu sangat sulit sehingga tidak dapat dibaca dan

32

dipahami siswa meskipun sudah dipelajari dengan bimbingan guru, maka bahan

tersebut digolongkan ke dalam tingkat frustasi.

Tinggi rendahnya tingkat keterbacaan wacana dalam buku teks akan

berdampak pula pada minat siswa untuk membaca. Sebagaimana diungkapkan oleh

Williams (1984) yang menyatakan bahwa:

Antara minat baca dan keterbacaan wacana terdapat hubungan timbal balik. Ketiadaan minat baca menyebabkan keengganan membaca pada pembacanya. Salah satu faktor yang menyebabkan keengganan membaca adalah factor keterbacaan wacana. Teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi relatif lebih mudah dibaca. Sebaliknya, teks yang memiliki tingkat keterbacaan yang rendah relatif lebih sulit dibaca. (Tn: 2005)

Maka berdasarkan pernyataan tersebut, buku teks yang sulit dipahami

dikarenakan tingkat keterbacaannya rendah akan membuat siswa enggan untuk

membaca. Begitupun sebaliknya, apabila wacana dalam buku teks tersebut dapat

mudah dipahami oleh siswa karena memiliki keterbacaan yang tinggi maka siswa

akan termotivasi untuk membaca karena mudah dipahami.

3. Mengukur Tingkat Keterbacaan

Formula keterbacaan pada dasarnya adalah instrumen untuk memprediksi

kesulitan dalam memahami bacaan. Skor keterbacaan berdasarkan formula ini didapat

dari jumlah kata yang dianggap sulit, jumlah kata dalam kalimat, dan panjang kalimat

pada sampel bacaan yang diambil secara acak.

33

Terdapat beberapa formula untuk mengukur keterbacaan suatu buku teks

diantaranya yaitu formula Spache, Dale-Chall, grafik Fry, Grafik Raygor, dan teknik

uji rumpang (uji rumpang).

a. Formula Grafik Fry

Grafik keterbacaan yang diperkenalkan Edward Fry ini merupakan formula

yang dianggap relatif baru dan mulai dipublikasikan pada tahun 1977 dalam majalah

“Journal of Reading”. Grafik yang asli dibuat pada tahun 1968.

Hal yang diukur dalam grafik fry adalah tingkat keterbacaan suatu wacana

yang sesuai untuk tingkatan kelas tertentu dan berhubungan dengan tingkatan usia

anak serta perkembangan psikologinya.

Adapun tahapan perkembangan psikologi seseorang adalah sebagai berikut:

− Masa kanak-kanak awal : antara usia 0 - 3 tahun

− Masa krisis I : antara usia 3 - 4 tahun

− Masa kanak-kanak akhir : antara usia 4 - 6 tahun

− Masa anak sekolah : antara usia 6 - 12 tahun

− Masa krisis II : antara usia 12 -13 tahun

− Masa remaja awal : antara usia 13 - 15 tahun

− Masa remaja akhir : antara usia 16 – 18 tahun

34

Abin Syamsudin (2003: 132) mengklasifikasikan karakterisrik perkembangan

psikologi pada anak usia 13-15 tahun dengan usia 16 - 18 tahun sebagai berikut:

Tabel 2.1 Perkembangan Psikologi Remaja

Usia 13 – 15 tahun (Remaja Awal)

Usia 16 – 18 tahun (Remaja Akhir)

1) Fisik dan perilaku psikomotor - Laju perkembangan secara umum

berlangsung sangat pesat - Laju perkembangan secara umum kembali menurun, sangat lambat

- Proporsi ukuran tinggi dan berat badan sering kurang seimbang (termasuk otot dan tulang belulang)

- Proporsi ukuran tinggi dan berat badan lebih seimbang mendekati kekuatan tubuh orang dewasa

- Munculnya ciri-ciri sekunder, disertai mulai aktifnya sekresi kelenjar jenis

- Siap berfungsinya organ-organ reproduktif seperti pada orang-orang yang sudah dewasa

- Gerak-gerik tampak canggung dan kurang terkoordinasikan

- Gerak-geriknya mulai mantap

- Aktif dalam berbagai jenis cabang permainan yang dicobanya

- Jenis dan jumlah cabang permaianan lebih selektif dan terbatas pada keterampilan yang menunjang kepada persiapan kerja

2) Bahasa dan perilaku kognitif - Berkembang penggunaan bahasa

sandi dan mulai tertarik mempelajari bahasa asing

- Lebih memantapkan diri pada bahasa asing tertentu yang dipilihnya

- Menggemari literatur yang bernafaskan dan mengandung segi erotik, fanatik, dan estetik

- Menggemari literature yang bernafaskan dan mengandung nilai-nilai filosofis, ethis, religius

- Pengamatan dan tanggapannya masih bersifat realisme kritis

- Lebih bersifat rasionalisme idealis

- Proses berfikirnya sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal dalam term yang bersifat abstrak (meskipun relatif terbatas)

- Sudah mampu mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal disertai kemampuannya membuat generalisasi yang lebih bersifat konklusif dan komprehensif

- Kecakapan dasar intelektual umumnya menjalani laju perkembangan yang terpesat (terutama yang belajar di sekolah)

- Tercapainya titik puncak kedewasaan (intelektual umum, yang kemudian mungkin ada pertambahan yang sangat terbatas bagi yang terus bersekolah) bahkan mungkin menjadi mapan yang

35

suatu saat (usia 50-60) menjalani deklinasi

- Kecakapan dasar khusus (bakat-bakat) atau aptitudes mulai menunjukkan kecenderungan-kecenderungan secara lebih jelas

- Kecenderungan bakat tertentu mencapai titik puncak dan kemantapannya

3) Perilaku sosial, moralitas, dan religius - Diawali dengan kecenderungan

ambivalensi keinginan menyendiri dan keinginan bergaul dengan banyak teman tetapi bersifat kontemprer

- Bergaul dengan jumlah teman yang lebih terbatas dan selektif dan lebih lama (teman dekat)

- Adanya kebergantungan yang kuat kepada sekelompok sebaya disertai semangat konformitas yang tinggi

- Kebergantungan kepada kelompok sebaya berangsur fleksibel , kecuali dengan teman dekat pilihannya yang banyak memiliki kesamaan minat, dan sebagainya

- Adanya ambivalensi antara keinginan bebas dari dominasi pengaruh orang tua dengan kebutuhan bimbingan dan bantuan dari orang tuanya

- Sudah dapat memisahkan sistem nilai-nilai dan kaidah-kaidah normatif yang universal dari para pendukungnya yang mungkin dapat berbuat keliru dan kesalahan

- Dengan sikapnya dan cara berfikirnya yang kritis mulai menguji kaidah-kaidah atau sistem nilai etis dengan kenyataannya dalam perilaku sehari-hari oleh para pendukungnya (orang dewasa)

- Sudah berangsur dapat menentukkan dan menilai tindakannya sendiri atas atas norma atau sistem nilai yang dipilih dan dianutnya sesuai dengan hati nuraninya

- Mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh moralitas yang dipandang tepat dengan tepat idolanya

- Mulai dapat memelihara jarak dan batas-batas kebebasannya mana yang harus dirundingkan dengan orangtuanya

- Mengenai eksistensinya (keberadaan) dan sifat kemurahan dan keadilan Tuhan mulai dipertanyakan secara kritis dan skeptis

- Eksistensi dan sifat kemurahan serta keadilan Tuhan mulai dipahamkan dan dihayati menurut sistem kepercayaan atau agama yang dianutnya

- Penghayatan dan pelaksanaan hidup keagamaan sehari-hari dilakukan mungkin didasarkan atas pertimbangan adanya semacam tuntutan yang memaksa dari luar dirinya

- Penghayatan dan pelaksanaan hidup keadaan sehari-hari mulai dilakukan atas dasar kesadaran dan pertimbangan hati-nuraninya sendiri yang tulus ikhlas

- Masih mencari dan mencoba menemukan pegangan hidupnya.

- Mulai menemukan pegangan hidupnya yang definitive

36

4) Perilaku afektif, konatif, dan kepribadian - Lima kebutuhan dasar (fisik, rasa

aman afiliasi sosial, penghargaan perwujudan diri) mulai menunjukkan arah kecenderungannya

- Sudah menunjukkan arah kecenderungan tertentu yang akan mewarnai pola dasar kepribadinya

- Reaksi-reaksi dan ekspresi emosinya masih labil dan belum terkendali

- Reaksi-reaksi dan ekspresi emosionalnya tampak mulai terkendali dan dapat menguasai dirinya

- Kecenderungan-kecenderungan arah sikap nilai mulai tampak (teoritis, ekonomis, estetis, sosial, politis dan religius), meskipun masih dalam taraf eksplorasi dan mencoba-coba

- Kecenderungan titik berat kearah sikap nilai tertentu sudah mulai jelas seperti yang akan ditunjukkan oleh kecenderungan minat dan pilihan karir atau pendidikan lanjutannya, yang juga akan member warna kepada tipe kepribadiannya

- Merupakan masa kritis dalam rangka menghadapi kritis identitasnya yang sangat dipengaruhi oleh kondisi psikososialnya yang akan membentuk kepribadiannya.

- Kalau kondisi psikososialnya menunjang secara positif maka mulai tampak dan ditemukan identitas kepribadiannya yang relatif definitif yang akan mewarnai hidupnya sampai hidupnya

Grafik fry mendasar pada formula keterbacaannya pada dua faktor tema yakni

panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai oleh jumlah banyak

sedikitnya suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana.

Grafik 2.1. Grafik Fry

37

Di bagian atas grafik terdapat deretan angka-angka seperti berikut: 108,112,

116, 120, dan seterusnya. Angka-angka dimaksud menunjukkan data jumlah suku

kata perseratus perkata, yakni jumlah kata dari wacana. Pertimbangan penghitungan

suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit,

yang dalam formula ini merupakan salah satu dari 2 faktor utama yang menjadi

landasan terbentuknya formula keterbacaan dimaksud. Di bagian samping kiri grafik

kita dapati seeprti angka 25.0, 20, 18.7, 14.3 dan seterusnya menunjukkan data rata-

rata jumlah kalimat perseratus perkataan. Hal ini merupakan perwujudan dari

landasan lain dari faktor penentu formula keterbacaan ini, yakni faktor panjang-

pendek kalimat.

Angka-angka yang berderet di bagian tengah grafik dan berada di antara garis-

garis penyekat dari grafik tersebut menunjukkan perkiraan peringkat keterbacaan

wacana yang diukur. Angka 1 menunjukkan 1, artinya wacana tersebut cocok untuk

pembaca dengan level peringkat baca 1; angka 2 untuk peringkat baca 2, angka 3

untuk peringkat baca 3, dan seterusnya hingga universitas.

Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut

kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid, maksudnya jika hasil pengukuran

keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang

baik karena tidak memiliki peringkat baca untuk peringkat manapun. Oleh karena itu,

wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain.

38

Adapun langkah penggunaan grafik fry adalah sebagai berikut:

1) Pilih penggalan yang representatif dari wacana yang hendak ditentukan tingkat

keterbacaannya. Kemudian hitunglah 100 buah kata dalam wacana yang terpilih

itu, mulai dengan kata pertama dalam kalimat. Yang dimaksud dengan kata dalam

hal ini ialah sekelompok lambang yang kiri dan kanannya berpembatas. Dengan

demikian Budi, IKIP, 1967, dan+, masing-masing satu perkataan.

2) Hitung jumlah kalimat dalam wacana 100 kata itu. Jika kalimat terakhir tidak

berhenti pada kata yang ke-100, hitunglah berapa bagian dari kalimat yang terakhir

itu yang terdiri atas kata-kata yang termasuk ke dalam keseratus kata. Jika kalimat

terakhir itu terdiri atas 17 perkataan, dan hanya ada satu kata yang termasuk ke

dalam 100 kata, maka bagian kalimat yang terakhir itu adalah 0,058 dibulatkan

menjadi 0,1 kalimat. Yang diperhitungkan adalah persepuluhan yang terdekat. Jika

jumlah kalimat sebelumnya ada 10 buah, maka jumlah seluruhnya ada 10,1 buah

kalimat.

3) Hitunglah jumlah suku kata. Kelompok lambang yang terdiri atas angka atau

singkatan, setiap angka dan singkatan diperhitungkan satu suku kata. Dengan

demikian, 196 terdiri atas tiga suku kata dan IKIP terdiri atas empat suku.

4) Perhatian Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata

perseratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat perseratus kata.

Pertemuan antar kolom vertical dan baris mendatar menunjukkan tingkatan atas

kelas-kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu

tanpa frustasi.

39

5) Formula keterbacaan Grafik Fry merupakan suatu perkiraan. Penyimpangan

mungkin terjadi baik ke atas maupun ke bawah. Maka untuk mengatasinya hal

tersebut yaitu dengan menambahkan (+) 1 atau mengurangi (-) hasil akhir dari

pertemuan jumlah kalimat dan jumlah suku kata.

Menurut Harjasudjana dkk dalam Tarigan (1999: 94) mengungkapkan bahwa:

Grafik fry baru dapat digunakan untuk mengukur tingkat keterbacaan wacana Bahasa Indonesia setelah diadakan penyesuaian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah suku kata bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris adalah 6 : 10. Enam suku kata dalam bahasa Inggris kira-kira sama dengan sepuluh kata dalam bahasa Indonesia. Maka diperoleh angka penyesuaian adalah 0,6.

Berdasarkan teori diatas maka untuk mengukur tingkat keterbacaan buku teks

PKN berbahasa Indonesia dengan menggunakan grafik fry harus dilakukan konversi

terlebih dahulu yaitu menggunakan rumus sebagai berikut:

Rumus = 6 x jumlah suku kata

10 atau,

Rumus = 0,6 x jumlah suku kata

Untuk wacana yang kurang dari 100 buah maka harus diukur dengan

menggunakan daftar konversi yangitu sebagai berikut:

Tabel 2.2 Daftar konversi untuk Grafik Fry

Jika jumlah kata dalam wacana itu berjumlah :

Perbanyaklah jumlah suku kata dan kalimat dengan bilangan yang berikut:

30 40 50 60 70 80 90

3.3 2.5 2.0 1.67 1.43 1.25 1.1

40

b. Formula Uji Rumpang

Uji rumpang dianggap mampu untuk untuk mengukur tingkat keterbacaan

sebuah wacana dan menggambarkan kemampuan siswa terhadap bahan bacaan.

Sebagaimana dikemukakan oleh Harjasujana at al (1992:15) bahwa metode ini

diperkenalkan oleh Wilson Taylor (1995) yang berasal dari istilah “closure” suatu

istilah dari ilmu jiwa Gestalt. Konsepnya menjelaskan kecenderungan orang untuk

menyempurnakan suatu pola yang tidak lengkap secara mental menjadi suatu

kesatuan yang utuh melalui teknnik uji rumpang, pembaca diminta untuk dapat

memahami wacana yang tidak lengkap (karena bagian-bagian tertentu mengalami

penghilangan) dengan pemahaman yang sempurna.

1) Fungsi Uji Rumpang

Teknik Klose atau uji rumpang mempunyai dua fungsi, yaitu:

a) Sebagai alat ukur

Uji rumpang sebagai alat ukur digunakan untuk menilai keterbacaan suatu

wacana bagi peringkat pembaca tertentu dan untuk menggolongkan

sekelompok pembaca yang jumlahnya cukup banyak berdasarkan kemampuan

membacanya dengan menggolongkan pembaca pada tingkat independen,

instruksional, dan frustasi. Dalam hal panjang wacana uji rumpang sebagai alat

ukur minimal 250-350 kata, jumlah ini diperoleh dari perkalian jumlah soal uji

rumpang sebesar 50 soal dengan pelepasan kata ke –n (n: 5,6,7,8). Dan jawaban

atau hasil uji rumpang bersifat pasti, jawaban selain kunci jawaban dianggap

salah.

41

b) Sebagai teknik pengajaran membaca

Uji rumpang sebagai teknik pengajaran membaca digunakan untuk memberi

variasi dalam pelaksanaan pengajaran membaca serta mengembangkan

keterampilan membaca. Uji rumpang sebagai teknik pengajaran membaca dapat

menciptakan suatu interaksi antara guru dan siswa karena hasil dari uji rumpang

tersebut kemudian didiskusikan bersama untuk mengetahui alasan pembaca

memilih jawaban tersebut. Panjang wacana untuk soal uji rumpang yaitu

maksimal 150 kata dan kata yang dilesapkan tidak tetap karena ditentukan

berdasarkan tujuan pembelajaran. Jawaban hasil uji rumpang sebagai teknik

pengajaran membaca bersifat terbuka artinya jawaban dapat berupa sinonim

atau kata yang secara terstruktur dapat menggantikan posisi kata yang

dilesapkan.

2) Kriteria Pembuatan Uji Rumpang

Wilson Taylor (1953) sebagai pencipta teknik ini, mengusulkan sebuah teknik

yang baku atau standar, yaitu sebagai berikut:

a) Memilih suatu teks yang panjangnya lebih kurang 250 kata

b) Biarkan kalimat pertama dan terakhir utuh

c) Mulailah penghilangan itu dari kalimat kedua, yakni pada kata kelima.

Pengosongan ditandai dengan garis lurus mendatar ( )

d) Jika kebetulan kata kelima jatuh pada kata bilangan, janglah melakukan delisi

pada kata tersebut. Biarkan kata itu hadir secara utuh, sebagai gantinya

mulailah kembali dengan hitungan kelima.

42

3) Prosedur Penilaian Uji Rumpang

Penilaian teknik uji rumpang ditetapkan dengan persentase. Sampai saat ini,

para ahli menetapkan dua alternatif kriteria penilaian untuk kemampuan siswa

melalui teknik uji rumpang. Pertama, hanya memberi angka kepada jawaban yang

sama persis sesuai dengan aslinya. Kata/jawaban lain yang tidak tepat benar, tidak

dapat diterima, meskipun bila ditinjau dari sudut makna tidak mengubah maksud

konteks yang dimaksud. Kedua, angka diberikan tidak hanya diberikan kepada

jawaban yang yang sama persis. Kata-kata penilaian yang dapat diterimadalam

konteks kalimat yang bersangkutan dapat dibenarkan. Kriteria penilaian cara pertama

dipergunakan untuk menilai uji rumpang yang dipergunakan sebagai alat ukur dengan

peserta tes terdiri dari sekelompok besar siswa. Cara kedua dipakai dalam fungsi uji

rumpang sebagai alat pengajaran.

Untuk mengukur persentasi hasil uji rumpang ditentukan dengan rumus:

%100×SoalJumlah

BenarJawabanJumlah

Earl F Ranking dan Joseph W. Culhane menetapkan interpretasi hasil uji

rumpang sebagai berikut:

a) Pembaca berada pada tingkat inependen/bebas, jika persentase skor tes yang

diperoleh diatas 60%.

b) Pembaca berada pada tingkat intruksional, jika persentase skor tes yang

diperoleh berkisar antara 41%-60%.

43

c) Pembaca berada pada tingkat frustasi/gagal, jika persentase skor tes yang

diperoleh sama dengan atau kurang dari 40%.

Sedangkan Zint (1972) memberi batasan yang lain terhadap penilaian hasil uji

rumpang, yaitu:

a) Pembaca yang mendapatkan presentase diatas 50%, maka digolongkan

pembaca independen

b) Pembaca yang mendapatkan presentase berkisar antara 40%-50%, maka

digolongkan pembaca instruksional

c) Pembaca yang mendapatkan presentase uji rumpangnya dibawah 50%, maka

digolongkan pembaca frustasi

Maka, dapat disimpulkan melalui prosedur isian uji rumpang, pembaca

diminta untuk dapat memahami wacana yagn tidak lengkap (karena bagian-bagian

tertentu dari wacana tersebut telah dengan sengaja dilesapkan) dengan pemahaman

yang sempurna. Tuags pembaca adalah mengisi bagian-bagain yang dilesapkan itu

dengan kata hang dianggap tepat dan sesuai dengan tuntuan maksud wacana

D. Pemahaman Membaca

Keterpahaman mengarah pada sifat bacaan yang dihadapi oleh pembaca

dalam kegiatan membaca. Dalam hal ini keterpahaman berkaitan dengan sukar,

sedang dan mudahnya sebuah teks yang dibaca. Mengerti suatu teks bacaan tidak

hanya sekedar mengerti apa yang ada, tetapi lebih dalam lagi yakni diperlukan

pemahaman.

44

Sebagaimana diungkapkan oleh Amminudin dalam Nanang Heryana (1995:

18) bahwa ”secara umum pengertian kerterpahaman adalah memahami atau mengerti

akan suatu pesan, dan dari pesan tersebut akan memperoleh suatu makna”.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli (Widdowson, 1983; Nuttal, 5; Gilliland,

1976) menyatakan bahwa suatu kegiatan dapat disebut membaca jika seseorang dapat

memahami isi sebuah teks, disamping mengerti kata, istilah, dan kalimat yang

dibacanya. Kekompleksan ide dan bahasa yang terdapat dalam suatu buku teks juga

menyebabkan buku tersebut sulit dipahami. Interaksi antara istilah dan kosakata

mempengaruhi keterpahaman itu. Jika wacana itu sendiri sukar yang disebabkan oleh

cara pengungkapan idenya, maka interaksi antara kosakata dan pengetahuan pembaca

akan mempengaruhi keterpahamannya. Dengan demikian, pemahaman dalam

membaca adalah tingkat kesukaran dan kemudahan teks bacaan. Tingkat ini akan

mempengaruhi kadar keterpahaman bacaan dalam kegiatan membaca.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Pearson, dkk (1978) terdapat faktor-

faktor yang mempengaruhi pemahaman bacaan yaitu dapat diklasifikasikan ke dalam

dua kategori sebagai berikut:

1. Faktor dalam (Internal), meliputi:

a. Kompetensi bahasa

b. Minat dan motivasi

c. Sikap dan kebiasaan

d. Intelegensi atau kemampuan

45

2. Faktor Eksternal, meliputi:

a. Unsur dalam bacaan, terdiri dari keterbacaan wacana dan organisasi teks

atau tulisan

b. Sifat lingkungan baca, terdiri dari fasilitas, guru dan model Proses Belajar

Mengajar (PBM)

Faktor bahan bacaan akan mempengaruhi seseorang dalam minat maupun

kemampuan memahaminya. Bahan bacaan yang terlalu sulit untuk seseorang

akhirnya akan mematahkan selera untuk membacanya. Terdapat dua hal yang perlu

diperhatikan sehubungan dengan bahan bacaan ini yaitu topik yang sesuai dengan

kehidupan pembaca dan keterbacaan bahan bacaan itu sendiri.

Kemampuan memahami bacaan adalah kemampuan untuk memahami

informasi yang terkandung dalam materi cetak. Kegiatan memahami informasi itu

sendiri merupakan aktivitas kognitif. Menurut Bloom dalam Suharsimi (2006: 116 ),

’Sistem berpikir seseorang sebagai cermin dari kerja kognisinya berjenjang-jenjang,

mulai dari proses berpikir sederhana hingga proses berpikir yang paling kompleks’.

Oleh karena itu, ranah kognisi menurut Bloom terbagi kedalam enam tataran berpikir.

Keenam jenjang proses berpikir itu meliputi: (a) mengingat, (b) memahami, (c)

mengaplikasi, (d) menganalisis, (e) mensintesis, dan (f) mengevaluasi. Berikut

gambaran setiap jenjang kognitif:

46

Tabel 2.3 Indikator Aspek Kognitif

Ranah kognitif Indikator-Indikator Hafalan/ingatan Dapat menyebutkan atau menunjukkan kembali

Pengertian/pemahaman Dapat menjelaskan atau mendefinisikan dengan kata-kata sendiri

Aplikasi/penggunaan Dapat memberikan contoh atau menggunakan dengan tepat untuk memecahkan masalah

Analisis Dapat menguraikan atau mengkalisifikasikan

Sintesis Dapat menghubungkan, menyimpulkan dan menggeneralisasikan

Evaluasi Dapat menginterpretasikan, memberikan kririk, memberikan pertimbangan atau penilaian

Berdasarkan konsep tersebut, untuk menilai aspek kognitif seseorang dapat

dilakukan melalui teknis tes yang kadarnya itu berjenjang-jenjang. Tingkatan-

tingkatan kognitif itu merentang dari tingkatan yang paling mudah/sederhana hingga

yang paling sulit/kompleks.

E. Kualitas Buku Teks PKn dalam Upaya Peningkatan Proses dan Hasil

Belajar

“Sebagian besar bahan pelajaran Civics/PKn disajikan dalam bentuk hafalan

dan persuasi agar para siswa menerima ide dan konsep-konsep yang tercantum dalam

buku pelajaran PKn” (Soemantri, 2001:307). Maka dari itu bahan-bahan materi yang

terkadung dalam mata pelajaran PKN hendakya memperhatikan pada faktor-faktor

motivasi dan tugas-tugas perkembangan.

Pada umumnya, isi buku teks ilmu sosial berorientasi kepada bahan pelajaran

yang formal dan diambil dari disiplin ilmu sosial. Menurut Paul Hanna dan John Lee

47

dalam Nu’man Soemantri (2001:318) mengemukakan bahwa isi buku teks itu

seyogyanya berisikan tiga unsur yaitu:

1. formal content, yaitu bahan yang diambil dari disiplin ilmu sosial, 2. Informal content,yaitu bahan yang diambil dari lingkungan masyarakat 3. Respon siswa terhadap bahan informasi maupun bahan yang formal Selain ketiga unsur tersebut, kiranya perlu diperhatikan bahwa isi buku teks harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan individu, masyarakat, dan Negara serta cara-cara mengorganisasikan bahan pelajaran mulai dari pilihan bahan yang didasarkan atas pendekatan fungsional, struktural, humanistik, dan pendekatan kewarganegaraan.

Jack Allen memiliki pendapat lain yaitu “penyusunan bahan pelajaran

Civics/PKn yang baik harus merupakan sistesis dari kebutuhan pribadi, masyarakat,

dan Negara”. Hal ini kemudian dipertegas oleh pendapat Hanna (1963:68) dalam

(Soemantri, 2001:307) yang menyatakan bahwa

Bahan pelajaran Civics/PKn harus memperhatikan kegiatan-kegiatan dasar yang manusia, yaitu melindungi jiwa, harta benda, kesehatan, membina rumah tangga, mendapatkan pekerjaan, menyampaikan implus estetika, keagamaan, pengakuan barang dan orang, kerjasama dalam kegiatan sosial dan kewarganegaraan, rekreasi dan pendidikan, pertukaran ide dan informasi, kegiatan produksi bahan makanan, dan menciptakan alat-alat untuk kebutuhan hidup lebih baik

Berdasarkan pernyataan diatas bahwa bahan pelajaran dalam pelajaran PKn

harus memperhatikan aspek-aspek dasar dalam diri manusia dan juga lingkungan

sekitarnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kokom Komalasari dalam Civicus (2005:

349), terdapat lima prinsip dalam penulisan buku teks Kewarganegaraan, yaitu

sebagai berikut:

48

1. Prinsip pembelajaran dalam penulisan buku teks

a. Kesiapan

b. Motivasi, mendorong aktifitas siswa

c. Penggunaan alat pemusat perhatian, berupa ilustrasi, gamabr warna-warni

tulisan bervariasi

d. Partisipasi aktif siswa

e. Adanya perulangan berupa rangkuman atau ringkasan

f. Adanya umpan balik

g. Visi interaksi sosial kognitif berupa pertanyaan

h. Menggunakan penilaian yang authentik untuk mengukur pemahaman siswa

i. Memberi kesempatan kepada siswa untuk menggali atau mengungkapkan

tingkat penguasaannya terhadap suatu konsep

j. Membantu siswa untuk mengembangkan life skill

k. Ada kaitanya dengan lingkungan sekitar

l. Pengalaman langsung

m. Aplikasi, siswa dapat menerapkan konsep, prinsip, dan prosedur yang dimiliki

n. Kooperasi, siswa dapat bekerjasama antar sesame siswa, guru, dan narasumber

lain

o. Alih pengetahuan dan teknologi, siswa mentransfer pengetahuan dan teknologi

yang telah dipelajari untuk memecahkan masalah-masalah baru dalam konteks

yang berbeda-beda.

49

2. Mengembangkan tujuan mata pelajaran Kewarganegaraan

Terdapat tiga tujuan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yaitu:

a. Mengembangkan civic knowledge, yaitu materi substansi yang harus berkaitan

dengan pengetahuan tentang hak dan kewajiban warga Negara.

b. Mengembngakan civic skill, keterampilan yang dikembangkan dari

pengetahuan kewarganegara, agar pengetahuan yang diperoleh menjadi sesuatu

yang bermakna, karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-

masalah kehidupan berbangsa dan bernegara

c. Membentuk civic disposition, yaitu sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga

Negara untuk mendukung partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang

sehat, berkembangnya martabat dan harga diri dan kepentingan umum

3. Prinsip-prinsip penyusunan materi buku teks

a. Akurat, artinya materi hendaknya akurat dan benar ditinjau dari segi keilmuan

b. Relevan, nateri hendaknya ada kaitan atau relevan dengan standar kompetensi

dan kompetensi dasar yang hendak dicapai

c. Cukup memadai, materi tidak kurang dan tidak lebih dalam membantu siswa

dalam mencapai kompetensi

d. Konsisten, jenis dan banyaknya materi sesuai atau konsistensi dengan

kompetensi yang hendak dicapai

e. Aktual, materi sesuai perkembangan teknologi ilmu dan teknologi

f. Struktur keilmuan, urutan penyajian materi sesuai dengan struktur keilmuan

setiap mata pelajaran

50

4. Bahasa dan Keterbacaan

a. Kalimat yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan

benar

b. Susunan kalimat hendaknya menunjukkan pola berfikir logis dan sistematis

c. Sturkur kalimat sesuai dengan tingkat penguasaan bahasa siswa

d. Kalimat yang digunakan komunikatif

5. Penampilan (Grafika)

a. Format (bentuk penampilan, tata letak uraian materi dan gambar hendaknya

didesain secara proporsional),

b. Ilustrasi gambar dan table hendaknya mampu mendukung atau memperjelas

konsep yang disajikan

Jadi berdasarkan uraian diatas bahwa kualitas penulisan buku teks PKn yang

dapat menunjang pemahaman siswa yaitu harus mengandung aspek-aspek atau

prinsip-prinsip dalam pembelajaran, relevan dengan kurikulum, memperhatikan segi

kebahasaan yang sesuai dengan pemahaman siswa, dan yang terutama yaitu buku teks

PKn tersebut haruslah dapat mengembangkan tujuan dari PKn itu sendiri. Sehingga

apabila buku teks PKn tersebut memenuhi kriteria-kriteria penulisan buku teks

tersebut, maka siswa akan mudah memahami maksud dan tujuan mata pelajaran PKn

yang terdapat dalam buku teks.

51

Berdasarkan ketentuan Penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan

mengenai kualitas buku teks PKn untuk SMP yaitu sebagai berikut:

1. Kompenen kelayakan isi, meliputi:

a. Cakupan materi,

Yaitu ruang lingkup materi pada setiap bab memuat aspek pengetahuan, sikap,

dan keterampilan kewarganegaraan secara komprehensif dalam rangka

mengembangkan warga Negara dan bangsa yang berkarakter terpuji (nation and

character building). Selain itu, materi yang disajikan minimal mencerminkan

jabaran substansi materi yang terkandung dalam Standar Kompetensi (SK) dan

Kompetensi Dasar (KD) tiap-tiap satuan pendidikan, dan materi dimulai dari

pengenalan fakta, konsep/teori, prinsip/hukum, prosedur, nilai/norma sampai

hubungan antar konsep dan pembahasan setiap materi pada setiap bab dikaitkan

dengan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

b. Akurasi materi (Kebenaran dan Ketepatan)

Yaitu fakta, konsep, teori, prinsip/hukum, prosedur dan nilai yang disajikan

sesuai dengan kenyataan empiris dan sesuai dengan materi, tidak menimbulkan

salah pengertian dan sesuai dengan kajian kewarganegaraan, dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya, memiliki legitimasi, disajikan secara

sistematis dan sesuai dengan kajian kewarganegaraan, filosofi bangsa (Pancasila)

dan sesuai dengan pokok bahasan tiap bab/subbab.

52

c. Kemutakhiran

Yaitu materi yang disajkan termasa (up to date), sesuai dengan perkembangan

ilmu PKn terkini. Uraian, contoh, latihan yang disajikan serta rujukan yang

digunakan relevan, menarik, serta mencerminkan peristiwa, kejadian atau kondisi

termasa.

d. Mengandung wawasan produktivitas

Yaitu uraian, contoh, dan latihan yang disajikan memotivasi peserta didik untuk

bekerja keras, disiplin, maju, memiliki keunggulan, menghasilkan karya yang

memiliki nilai lebih dan gagasan atau karya baru, dan tidak hanya memanfaatkan

yang sudah ada.

e. Merangsang keingintahuan

Yaitu uraian, contoh, dan latihan yang disajikan merangsang peserta didik

untuk mempelajari isi buku secara utuh dan mendalam serta menggali informasi

dari berbagai sumber dan metode.

f. Mengembangkan kecakapan hidup (life skill)

Yaitu uraian, contoh, dan latihan yang disajikan memotivasi peserta didik untuk

menggali dan memanfaatkan informasi, mampu menyelesaikan masalah, membuat

keputusan dalam kerja ilmiah, dapat mengenal kelebihan dan kekurangan, serta

mengembangkan diri sebagai pribadi, makhluk sosial, dan makhluk ciptaan Tuhan.

Selain itu memotivasi peserta didik untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan

bekerjasama dengan orang lain.

53

g. Mengembangkan wawasan kebhinekaan (sense of diversity)

Yaitu uraian dan contoh yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik

untuk mengenal dan menghargai perbedaan agama, budaya, etnik, adat istiadat,

perbedaan corak masyarakat, kelompok sosial dan pelapisan sosial sehingga dapat

memiliki semangat nasionalisme dan patriotisme, menjaga keutuhan Negara

kesatuan Republik Indonesia, menghindari SARA dan menjadi warganegara yang

baik. Selain itu, pada bab dan subab yang relevan menonjolkan kekayaan atau

potensi daerah yang ada di Indonesia dan menonjolkan penghargaan terhadap

bentuk-bentuk demokrasi, institusi, dan nilai-nilai atau kearifan lokal.

h. Mengandung wawasan konstektual

Yaitu contoh-contoh yang disajikan menampilkan kondisi, budaya, dan

peristiwa baik local, nasional, regional, maupun internasional dan memiliki

keterkaitan logis dengan materi yang disajikan.

2. Komponen kebahasan, meliputi:

a. Sesuai dengan perkembangan peserta didik

Yaitu bahasa yang digunakan, baik dalam bentuk uraian atau ilustrasi maupun

untuk menjelaskan konsep maupun aplikasi konsep, sesuai tingkat perkembangan

kognitif dan kematangan emosi sosial peserta didik pada tiap-tiap satuan

pendidikan.

b. Komunikatif dan interaktif

Yaitu pesan yang disajikan dalam bahasa yang lazim dalam komunikasi tulisan

Bahasa Indonesia sehingga mudah dan langsung dipahami peserta didik dan

54

bahasa yang digunakan menumbuhkan rasa senang ketika peserta didik

membacanya dan mendorong mereka untuk mempelajari buku tersebut secara

tuntas.

c. Lugas

Yaitu kalimat yang dipakai mewakili isi pesan yang disampaikan, mengikuti

tata kalimat yang benar dalam Bahasa Indonesia dan efisien (tidak berbelit-belit)

dan istilah yang digunakan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan/atau

istilah teknis ilmu kewarganegaraan.

d. Koherensi dan keruntutan alur pikir

Yaitu penyampaian pesan antar bab, antar bab dengan subbab, antar subbab,

dan antar alinea mencerminkan keruntutan dan keterkaitan isi. Pesan yang

disajikan dalam satu bab dan satu subbab mencerminkan kesatuan tema atau

makna dan pada pada satu alinea mencerminkan satu pokok pikiran.

e. Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia

Yaitu tata kalimat yang digunakan untuk menyampaikan pesan, mengacu pada

kaidah tata bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dan ejaan yang digunakan

mengacu pada pedoman Ejaan Yang Disempurnakan.

f. Penggunaan istilah dan simbol/lambang

Yaitu penggunaan istilah memiliki kesesuaian atau ketepatan dengan materi

yang disajikan dalam bab dan penggunaan istilah dan simbol atau lambang

menggambarkan suatu konsep, prinsip, asas, atau sejenisnya konsisten antar

bagian dalam buku.

55

3. Komponen penyajian, meliputi:

a. Teknik penyajian

Sistematika penyajian dalam setiap bab mencakup pengantar atau pendahuluan

(bersisi apersepsi, informasi pentingnya topik, tinjauan selintas awal); isi (terdiri

atas uraian, contoh atau ilustrasi, latihan atau tugas, termasuk kesimpulan antara

dan perulangan atau penegasan); serta penutup (berisi ringkasan dan tes atau

latihan untuk umpan balik) secara lengkap atau utuh. Materi dan konsep yang

disajikan sesuai dengan alur berpikir deduktif (umum ke khusus) atau induktif

(khusus ke umum) dan uraian substansi antar bab dan antar subbab (tercermin

dalam jumlah halaman) proporsional dengan pertimbangan SK dan KD.

b. Pendukung penyajian materi

Ilustrasi (teks, gambar, tabel) yang disajikan memperjelas materi yang disajikan

dan apabila mengambil dari sumber lain harus disertai dengan rujukan atau

sumber. Selain itu, setiap tabel, gambar, lampiran diberi nomor, nama, atau judul

sesuai dengan yang disebut dalam teks.

c. Penyajian pembelajaran

Penyajian materi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran,

bersifat interaktif dan partisipatif yang memotivasi peserta didik terlibat secara

mental dan emosional untuk belajar secara mandiri dan kelompok dalam

pencapaian SK dan KD, merangsang berpikir kritis, kreatif, inovatif sebagai

cerminan berpikir tingkat tinggi, dan setiap bab menyajikan soal latihan atau tugas

untuk mengetahui pemahaman peserta didik terhadap materi yang disajikan.