BAB II

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diagnosis dan intervensi komunitas Diagnosis dan intervensi komunitas adalah suatu kegiatan untuk menentukan adanya suatu masalah kesehatan di komunitas atau masyarakat dengan cara pengumpulan data di lapangan dan kemudian melakukan intervensi sesuai dengan permasalahan yang ada. Diagnosis dan intervensi komunitas merupakan suatu prosedur atau keterampilan dari ilmu kedokteran komunitas.Dalam melaksanakan kegiatan diagnosis dan intervensi komunitas perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas atau sekelompok orang sehingga dalam melaksanakan diagnosis komunitas sangat ditunjang oleh pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat (epidemiologi, biostatistik, metode penelitian, manajemen kesehatan, promosi kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kesehatan kerja dan gizi). 2.2 Konsep Perilaku 2.2.1. Pengertian Perilaku Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan dan aktivitas organisme yang bersangkutan. Pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari manusia sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal (internal 1

description

jujuj

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diagnosis dan intervensi komunitas

Diagnosis dan intervensi komunitas adalah suatu kegiatan untuk

menentukan adanya suatu masalah kesehatan di komunitas atau masyarakat

dengan cara pengumpulan data di lapangan dan kemudian melakukan intervensi

sesuai dengan permasalahan yang ada. Diagnosis dan intervensi komunitas

merupakan suatu prosedur atau keterampilan dari ilmu kedokteran

komunitas.Dalam melaksanakan kegiatan diagnosis dan intervensi komunitas

perlu disadari bahwa yang menjadi sasaran adalah komunitas atau sekelompok

orang sehingga dalam melaksanakan diagnosis komunitas sangat ditunjang oleh

pengetahuan ilmu kesehatan masyarakat (epidemiologi, biostatistik, metode

penelitian, manajemen kesehatan, promosi kesehatan masyarakat, kesehatan

lingkungan, kesehatan kerja dan gizi).

2.2 Konsep Perilaku

2.2.1. Pengertian Perilaku

Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan dan aktivitas

organisme yang bersangkutan. Pada hakikatnya adalah suatu aktifitas dari

manusia sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain :

berjalan, berbicara, bereaksi, berpakaian, bahkan kegiatan internal (internal

activity)seperti berfikir, persepsi, dan emosi juga merupakan prilaku manusia.

Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia

adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung,

maupun secraa tidak langsung (Notoatmodjo, 2011).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2011),

merumuskan bahwa perilaku merupakan hasil hubungan anatara perangsang

(stimulus) dan tanggapan dan respon.

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2011) :

1. Responden respon atau reflexive response

Responden respon ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-

rangsangan tertentu. Perangsangan-perngsangan yang semacam ini disebut

1

Page 2: BAB II

dengan eliciting stimulusi karena menimbulkan respon-respon yang relatif

tetap. Sebagai contoh makanan yang lezat menimbulkan keluarnya air liur.

Responden respon ini mencangkup juga emosi respon atau emotional

behavior. Emotional behaviorini timbul karena hal yang kurang

mengenakkan yang bersangkutan, misalnya menangis karena sedih atau

sakit.

2. Instrumen respon atau Operant response

Instrumen respon ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti

oleh perangsangan tertentu. Perangsangan ini disebut reinforcing

stimulus/reinforcerkarena perangsangan-perangsangan tersebut memperkuat

respon yang telah dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu rangsangan

mengikuti atau memperkuat suatu perilaku tertentu yang telah dilakukan.

Sebagai contoh seorang anak belajar kemudia memperoleh suatu hadiah

maka ia akan menjadi lebih giat belajar dengan kata lain responnya akan

menjadi lebih inntensif / lebih kuat lagi.

2.2.2 Prosedur Pembentukan Perilaku

Untuk membentuk suatu jenis respon atau perilaku ini perlu diciptakan adanya

suatu kondisi tertntu yang disebut operant conditioning.Prosedur pembentukan perilaku

dalam operant conditioning ini menurut skinner adalah sebagai berikut :

1. Melakukan indentifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau

reinforcer berupa hadiah-hadiah bagi perilaku yang akan terbentuk .

2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil yang

membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen

tersebut disusun dalam urutan yang tepat menuju kepada terbentuknya perilaku

yang dimaksud.

3. Dengan menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagian tujuan-

tujuan sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk masing-masing

komponen tersebut.

4. Melakukan pembentukan perilaku yang menggunakan urutan komponen yang

telah tersusun. Sampai seluruh perilaku yang diharapkan terbentuk.

2.3 Perilaku Kesehatan

2.3.1 Pengertian Perilaku Kesehatan.

2

Page 3: BAB II

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2011) adalah suatu respon

seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit

atau penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta

lingkungan.

Respon atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan

sikap) maupun bersifat aktif (tindakan nyata atau praktis). Sedangkan stimulus

terdiri dari empat unsur pokok yakini : sakit, dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan dan lingkungan

2.2.3 Klasifikasi Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan menurut Notoatmodjo (2011) ini mencakup :

1. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit.

Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia

berespon baik secraa pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsikan

penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan diluar dirinya) maupun aktif

(tindakan yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut).

Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dengan sendirinya sesuai dengan

tingkat-tingkat pencegahan penyakit yakni :

a. Perilaku sehubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan

kesehatan (health promotion behavior) misalnya makanan bergizi,

olahraga, dsb.

b. Perilaku pencegahan penyakit ( health prevention behavior) misalnya

tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk, imunisasi.

c. Perilaku sehubungan dengan pencarian pengobatan (health seeking

behavior) misal mengobati sendiri penyakitnya atau mencari

pengobatan ke puskesma, rs, dukun, dsb.

d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health

rehabilitation behavior) misal melakukan diet, mematuhi anjuran

dokter dalam rangka pemulihan kesehatan.

2. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respon seseorang

terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan kesehatan moderen

maupun tradisional. Perilaku ini menyangkut respon terhadap fasilitas

kesehatan, cara pelayanan, petugas kesehatan, obat-obatan.

3

Page 4: BAB II

3. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior)

Perilaku terhadap makanan adalah respon seseoramg terhadap makanan

sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. Unsur-unsur yang terkandung

didalamnya zat gizi, pengolahan makanan, dsb.

4. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan.

Perilaku terhadap lingkungan kesehatan adalah respon seseorang

terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Perilaku ini

mencakup air bersih, pembuangan air kotor, limbah, rumah yang sehat,

pembersihan sarang-sarang nyamuk.

Menurut Becker (1979), seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2011), mengajukan

klasifikasi prilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health related behavior) :

1. Perilaku kesehatan (health behavior)

2. Perilaku sakit (sick behavior)

3. Perilaku peran sakit (the sick behavior)

2.2.4. Domain Perilaku

Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan pada tahun 1967,

teori ini lebih memperhatikan hubungan antara kepercayaan yang berhubungan dengan

perilaku &norma, sikap, tujuan, dan perilaku. Pada tahun 1967, TRA mengalami

perkembangan (oleh Fishbein) yaitu sebuah usaha untuk mengerti/ memahami

hubungan antara sikap dan perilaku. Banyak studi sebelumnya dari hubungan ini yang

menemukan secara relative korespondensi yang rendah diantara sikap-sikap dan

perilaku, serta beberapa teori yang bertujuan menghapuskan  sikap sebagai sebuah

factor yang mendasari perilaku (Fishbein, 1993; Abelson, 1972; Wicker, 1969).

Theory of Reasoned Action mengambil sebuah rangkaian sebab musabab yang

menghubungkan kepercayaan yang berhubungan dengan perilaku dan keyakinan norma

untuk tujuan yang berhubungan dengan perilaku dan tingkah laku, melalui sikap dan

norma subjektif. Ukuran dari komponen model dan hubungan sebab musabab diantara

komponen yang ditentukan dengan jelas (Ajzen dan Fishbein, 1980).Semua tipe ukuran

menggunakan 5 atau 7 titik skala.

Dalam perkembangan selanjutnya oleh para ahli pendidikan dan untuk

kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain itu diukur dari :

1. Pengetahuan (knowlegde)

4

Page 5: BAB II

Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Tanpa pengetahuan seseorang tidak

mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan

terhadap masalah yang dihadapi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang :

a) Faktor Internal

Merupakan faktor dari dalam diri sendiri, misalnya intelegensia, minat dan

kondisi fisik.

b) Faktor Eksternal

Merupakan faktor dari luar diri, misalnya keluarga, masyarakat, atausarana.

c) Faktor pendekatan belajar

Merupakan faktor yang berhubungan dengan upaya belajar, misalnya strategi

dan metode dalam pembelajaran.

Ada enam tingkatan domain pengetahuan yaitu :

1) Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat kembali (recall) terhadap suatu materi

yang telah dipelajari sebelumnya.

2) Memahami (Comprehension)

Suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang

diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

3) Aplikasi

Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi dan kondisi yang sebenarnya

4) Analisis

Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen tetapi masih dalam suatu struktur organisasi

dan ada kaitannya dengan yang lain.

5) Sintesa

Sintesa menunjukkan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru.

6) Evaluasi

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melaksanakan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi / objek.

5

Page 6: BAB II

2. Sikap (attitude)

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang

terhadap suatu stimulus atau objek. Allport (1954) menjelaskan bahwa sikap

mempunyai tiga komponen pokok :

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan stimulus

yang diberikan (obyek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah

adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala

resiko merupakan sikap yang paling tinggi.

3. Praktik atau tindakan (practice)

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara

lain adalah fasilitas dan faktor dukungan (support) praktik ini mempunyai

beberapa tingkatan :

a. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

b. Respon terpimpin (guide response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat kedua.

c. Mekanisme (mecanism)

6

Page 7: BAB II

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mancapai praktik tingkat tiga.

d. Adopsi (adoption)

Adaptasi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik.Artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran

tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara langsung yakni dengan wawancara

terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan yang lalu

(recall). Pengukuran juga dapat dilakukan secara langsung, yakni dengan

mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

Menurut penelitian Rogers (1974) seperti dikutip Notoatmodjo (2003),

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang

tersebut terjadi proses berurutan yakni :

1. Kesadaran (awareness)

Dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu

terhadap stimulus (objek).

2. Tertarik (interest)

Dimana orang mulai tertarik pada stimulus.

3. Evaluasi (evaluation)

Menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi

dirinya.Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Mencoba (trial)

Dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

5. Menerima (Adoption)

Dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran

dan sikapnya terhadap stimulus.

2.2.5. Asumsi Determinan Perilaku

Menurut Spranger, membagi kepribadian manusia menjadi 6 macam nilai

kebudayaan. Kepribadian seseorang ditentukan oleh salah satu nilai budaya yang

dominan pada diri orang tersebut.Secara rinci perilaku manusia sebenarnya merupakan

7

Page 8: BAB II

refleksi dari berbagai gejala kejiwaan seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,

motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya.

Namun demikian realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan

tersebut dipengaruhi oleh faktor lain diantaranya adalah pengalaman, keyakinan,

sarana/fasilitas, sosial budaya dan sebagainya.

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia berangkat dari tingkat

kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor

perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes). Faktor

perilaku ditentukan atau dibentuk oleh :

1. Faktor-faktor perdisposisi (predisposing factors):

Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan

masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang

dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan lain

sebagainya. Ikhwal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Untuk perilaku kesehatan

misalnya: pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil diperlukan pengetahuan dan

kesadaran ibu tersebut tentang manfaat periksa hamil, baik bagi kesehatan ibu

sendiri dan janinnya. disamping itu kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan sistem

nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu tersebut untuk periksa

kehamilan. Misalnya orang hamil tidak boleh di suntik (periksa hamil termasuk

suntik anti tetanus), karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat.Faktor-faktor ini

terutama yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut

faktor pemudah.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors):

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat, misalnya: air bersih, temapat pembuangan sampah,

tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagainya.

Termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit,

poliklinik, posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan

sebagainya. Untuk berprilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana

pendukung, misalnya: perilaku pemeriksaaan kehamilan. ibu hamil yang mau

periksa hamil tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat perikksa hamil saja,

melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh fasilitas atau tempat

periksa hamil, misalnya : puskesmas, polindes, bidan praktek, ataupun rumah sakit.

8

Page 9: BAB II

fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku

kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung, atau faktor pemungkin.

3. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors):

Faktor-faktor ini meliputi sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh

agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan.termasuk juga disini

undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah

yang terkait dengan kesehatan. untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang

bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja,

melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh

agama, para petugas, lebih-lebih pada petugas kesehatan. disamping itu undang-

undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut seperti

perilaku periksa hamil, serta kemudahan memperoleh fasilitas periksa hamil, juga

diperlukan peraturan atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil

periksa hamil.

2.4 Demam Berdarah

Penyakit menular yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirosis group

A dan B yang bermasalah di Indonesia adalah Demam Berdarah Dengue (DBD),

Chikungunya dan Japanese Encephalitis (JE). Ketiga penyakit tersebut sama-sama

ditularkan oleh gigitan vektor nyamuk tetapi mempunyai beberapa perbedaan antara lain

jenis/spesies nyamuk penularnya, pola penyebaran, gejala penyakit, tata laksana

pengobatan maupun upaya pencegahannya.

Penyakit DBD mulai dikenal di Indonesia sejak tahun 1968 di Surabaya dan

Jakarta, dan setelah itu jumlah kasus DBD terus bertambah seiring dengan semakin

meluasnya daerah endemis DBD. Penyakit ini tidak hanya sering menimbulkan KLB

tetapi juga menimbulkan dampak buruk sosial maupun ekonomi. Kerugian sosial yang

terjadi antara lain karena menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian anggota

keluarga, dan berkurangnya usia harapan penduduk.

Pada tiga tahun terakhir (2008-2010) jumlah rata-rata kasus dilaporkan sebanyak

150.822 kasus dengan rata-rata kematian 1.321 kematian. Situasi kasus DBD tahun

2011 sampai dengan Juni 2011 dilaporkan sebanyak 16.612 orang dengan kematian

sebanyak 142 orang (CFR=0,85%). Dari jumlah kasus tersebut, proporsi penderita DBD

pada perempuan sebesar 50,33% dan laki-laki sebesar 49,67% . Disisi lain angka

kematian akibat DBD pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.

9

Page 10: BAB II

Situasi ini perlu diatasi dengan segera agar indikator kinerja/target pengendalian

DBD yang tertuang dalam dokumen RPJMN yaitu IR DBD pada tahun 2014 adalah

51/100.000 penduduk, serta ABJ sebesar 95% dapat dicapai. (Kemenkes RI, 2011)

2.5 Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah

2.5.1 Pengertian Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah

Target pengendalian DBD tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian

Kesehatan 2010-2014 dan KEPMENKES 1457 tahun 2003 tentang Standar Pelayanan

Minimal yang menguatkan pentingnya upaya pengendalian penyakit DBD di Indonesia

hingga ketingkat Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa. Melalui pelaksanaan program

pengendalian penyakit DBD diharapkan dapat berkontribusi menurunkan angka

kesakitan, dan kematian akibat penyakit menular di Indonesia.

Pengendalian DBD yang tepat adalah pemutusan rantai penularan yaitudengan

pengendalian vektornya, karena vaksin dan obat masih dalam prosespenelitian. Vektor

DBD sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, hal ini disebabkan oleh adanya

perubahan iklim global, kemajuan teknologi transportasi,mobilitas penduduk,

urbanisasi, dan infrastruktur penyediaan air bersih yang

kondusif untuk perkembangbiakan vektor DBD, serta perilaku masyarakat yang belum

mendukung upaya pengendalian.

Pengendalian vektor terpadu atau dikenal sebagai Integrated Vector

Management (IVM) adalah pengendalian vektor yang dilakukan denganmenggunakan

kombinasi beberapa metode pengendalian vektor, berdasarkanpertimbangan keamanan,

rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya sertakesinambungannya.(Kemenkes RI,

2011)

2.5.2 Metode Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah

Beberapa metode pengendalian vektor antara lain dengan:

1. Kimiawidengan insektisida dan larvasida,

Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisidamerupakan

salah satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakatdibanding dengan

cara pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadiumdewasa dan pra-dewasa.

Karena insektisida adalah racun, makapenggunaannya harus mempertimbangkan

dampak terhadap lingkungan danorganisme bukan sasaran termasuk mamalia.

10

Page 11: BAB II

Disamping itu penentuan jenisinsektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan

syarat yang penting untukdipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi

insektisida yangberulang di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi

seranggasasaran.

Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD adalah :

a. Sasaran dewasa (nyamuk) adalah :

Organophospat (Malathion, methyl pirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine,

lamda-cyhalotrine, cyflutrine,Permethrine& S-Bioalethrine). Yang ditujukan

untuk stadium dewasa yangdiaplikasikan dengan cara pengabutan panas/Fogging

dan pengabutan dingin/ULV

b. Sasaran pra dewasa (jentik) : Organophospat (Temephos).

2. Biologi dengan menggunakan musuh alamiseperti predator, bakteri dll,

Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti

predator/pemangsa, parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor

DBD. Jenis predator yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo,

gabus, guppy, dll), sedangkan larva Capung, Toxorrhyncites, Mesocyclops dapat juga

berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode yang lazim untuk

pengendalian vektor DBD.

Jenis pengendalian vektor biologi :

• Parasit : Romanomermes iyengeri

• Bakteri : Baccilus thuringiensis israelensis

Golongan insektisida biologi untuk pengendalian DBD (Insect Growth

Regulator/IGR dan Bacillus Thuringiensis Israelensis/BTi), ditujukan untuk stadium

pra dewasa yang diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.

Insect Growth Regulators (IGRs) mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk

di masa pra dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin synthesis

selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan proses perubahan pupae dan

nyamuk dewasa. IGRs memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia

(nilai LD50 untuk keracunan akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).

Bacillus thruringiensis (BTi) sebagai pembunuh jentik nyamuk/larvasida yang

tidak menggangu lingkungan. BTi terbukti aman bagi manusia bila digunakan dalam

air minum pada dosis normal. Keunggulan BTi adalah menghancurkan jentik

nyamuk tanpa menyerang predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTi

11

Page 12: BAB II

cenderung secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan pemakaian

yang berulang kali. Racunnya tidak tahan sinar dan rusak oleh sinar matahari

3. Managemen lingkungan seperti mengelola ataumeniadakan habitat

perkembangbiakan nyamuk yang terkenal dengan 3 M plus ataugerakan PSN

(pengendalian sarang nyamuk), Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-

prasarana penyediaan air, vegetasi dan musim sangat berpengaruh terhadap

tersedianya habitat perkembangbiakan dan pertumbuhan vektor DBD.Nyamuk Aedes

aegypti sebagai nyamuk pemukiman mempunyai habitat utama di kontainer buatan

yang berada di daerah pemukiman. Manajemen lingkungan adalah upaya

pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif sebagai habitat perkembangbiakan

atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus (menguras, menutup dan

memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot, memelihara ikan predator,

menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan vektor (menjaga kebersihan

lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap dan lembab di lingkungan

rumah dll)

4. Penerapan peraturan perundangan

5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengendalian vektor.

Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan

memutus rantai penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di

masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam

Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3 M plus.

Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M Plus ini harus

dilakukan secara luas/serempak dan terus menerus/berkesinambungan.Tingkat

pengetahuan, sikap dan perilaku yang sangat beragam sering menghambat suksesnya

gerakan ini.Untuk itu sosialisasi kepada masyarakat/ individu untukmelakukan

kegiatan ini secara rutin serta penguatan peran tokoh masyarakat untuk mau secara

terus menerus menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui kegiatan promosi

kesehatan, penyuluhan di media masa, serta reward bagi yang berhasil

melaksanakannya.

12

Page 13: BAB II

2.5.2.1 Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD)

dalam bentuk kegiatan 3 M plus

Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan melalui upaya Pemberantasan

Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD) dalam bentuk kegiatan 3

M plus.

Sasaran tempat perkembangbiakan nyamuk penular DBD :

• Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari

• Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari (non-TPA)

• Tempat penampungan air alamiah

PSN DBD dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu:

• Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak

mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)

• Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan,

dsb (M2)

• Memanfaatkan /mendaur ulang barang-barang bekas yang dapatmenampung

air hujan (M3).

Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:

• Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya

yang sejenis seminggu sekali.

• Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak

• Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain(dengan

tanah, dll)

• Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulitdikuras atau

di daerah yang sulit air

• Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air

• Memasang kawat kasa

• Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar

• Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai

• Menggunakan kelambu

• Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk

• Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.

13

Page 14: BAB II

Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)

Pengendalian vektor terpadu atau IVM adalah pengendalian vektor yang

dilakukan dengan menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor,

berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas dan efektivitas pelaksanaannya serta

kesinambungannya. IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh

WHO untuk mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai

institusi. IVM dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada

peningkatan peran serta sektor lain melalui kegiatan Pokjanal DBD, Kegiatan PSN anak

sekolah dll.

Alat Dan Bahan Pengendalian Vektor

Berdasarkan Permenkes Nomor : 374/Menkes/Per/III/2010 tentang

Pengendalian Vektor, memuat pedoman pengendalian vektor terpadu (PVT), peralatan

dan bahan surveilans vektor serta peralatan dan bahan pengendalian vektor.

A) Praktik pengendalian vektor dengan menggunakan mesin fog

Pengendalian vektor menggunakan mesin fog adalah metode penyemprotan

udara berbentuk asap (pengasapan/fogging) yang dilakukan untuk

mencegah/mengendalikan penyakit demam berdarah dengue (DBD) di rumah

penderita/tersangka DBD dan lokasi sekitarnya serta tempat-tempat umum (TTU)

misalnya sekolah, kantor dll, yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan

penyakit DBD. Mesin penyembur insektisida dalam bentuk asap yang terbentuk dari

evaporasi bahan pembawa (minyak tanah/solar) akibat panas yang dihasilkan oleh

tenaga listrik atau pembakaran.

B) Praktik Pengendalian Vektor dengan Menggunakan Mesin ULV

Pengendalian vektor menggunakan mesin ULV adalah metode penyemprotan

udara (aerial spraying) berbentuk kabut dengan volume yang sangat kecil (ultra low

volume) dan dilakukan di area yang cukup luas misalnya se RW, se Kelurahan, se

kecamatan atau bahkan seluruh wilayah kota yang sedang terjangkit penyakit

DBD.Mesin penyembur insektisida dalam bentuk kabut dingin dengan partikel yang

sangat kecil (Ultra Low Volume/ULV) dari pemecahan insektisida (pada Head

NOZZLE) oleh pusaran angin yang dihasilkan dari putaran blower.

Beberapa keuntungan ULV ground spraying application dibanding thermal

fogging yaitu:

14

Page 15: BAB II

Polusi udara lebih kecil. Untuk target area dan efektifitas yang sama penggunaan

pestisida (dosis) dapat lebih kecil dibanding operasional thermal foging (dapat

sampai 50%nya).

Mengurangi bahaya terhadap organisme bukan target.

Tidak ada bahaya kebakaran, karena ULV tidak memerlukan dorongan gas yang

panas

Tidak memberi dampak gangguan pada kesibukan kota dan keramaian lalu

lintas, karena fog ULV tidak mengganggu pengelihatan bila dibanding dengan

thermal fog

Biaya operasional dan penggunaan bahan-bahan lebih sedikit (efisien), namun

memberi dampak bila langsung mengenai cat minyak pada kayu dan cat mobil

pada jarak <3 meter.

C) Insektisida Untuk Pengendalian Vektor DBD

Insektisida untuk pengendalian vektor DBD adalah insektisida yang digunakan

untuk pengendalian vektor DBD yang dilakukan di daerah endemis serta daerah

lainnya.(Kemenkes RI, 2011)

2.4 Kerangka Teori

Konsep yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada teori perilaku

Lawrence Green, yang menyatakan bahwa perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3

faktor, yaitu:

15

Page 16: BAB II

Gambar 2.1. Kerangka Teori Perilaku Lawrence Green

Sumber : (Lawrence Green dalam Notoatmodjo, 2011)

1.3 Kerangka Konsep

Berdasarkan teori sebelumnya, dapat dibuat suatu kerangka konsep yang

berhubungan dengan area permasalahan yang terjadi pada keluarga binaan di

Kampung Pangkalan Desa Pangkalan, Kabupaten Tangerang. Kerangka konsep ini

terdiri dari variabel independen dari kerangka teori yang dihubungkan dengan area

permasalahan.

16

Faktor Predisposisi

Faktor Pendukung

Faktor Pendorong

Perilaku Kesehatan

Pengetahuan

Sikap

Kepercayaan

Keyakinan

Nilai-nilai

Lingkungan

Sarana dan PrasaranaPerilaku petugas

kesehatan

Page 17: BAB II

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Perilaku Pengendalian Nyamuk DBD Di Keluarga

Binaan RT 01/ RW04 Kampung Pangkalan, Desa Pangkalan, Kecamatan Teluk

Naga, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten

1.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah pengukuran atau pengamanan terhadap variabel-

variabel yang bersangkutan serta mengembangkan instrumen (alat ukur)

(Notoatmodjo, 2011). Adapun definisi operasional dalam penelitian ini sebagai

berikut:

Tabel 2.1 Definisi Operasional Diagnosis dan Intervensi Komunitas Area Masalah Perilaku Merokok pada Keluarga Binaan di RT 01 RW 04 Kampung Pangkalan Desa Pangkalan Kecamatan Teluk Naga Kabupaten Tangerang Provinsi Banten

 Variabel

 Definisi Operasional

 Alat Ukur Cara Ukur

Skala ukur

Hasil Ukur

 Variabel

1. Perilaku Pengendalian Nyamuk Demam Berdarah

Kegiatan atau aktivitas untuk menurunkan populasi nyamuk dengan pencegahan

Kuesioner

Wawancara

Ordinal Skor tiap pilihan:A=2, B=1, C=0 Baik : Bila menjawab 16-18 poin Cukup : bila

17

PENGETAHUANSIKAP

VARIABEL INDEPENDEN VARIABEL DEPENDEN

KEYAKINANLINGKUNGANSARANA DAN PRASARANA

PERILAKU PENGENDA

LIAN NYAMUK DEMAM

BERDARAH

Page 18: BAB II

atau pemberantasan vektor nyamuk

menjawab 12-15 poin Kurang : bila hanya menjawab < 12 poin

2. Pengetahuan

 

Segala sesuatu yang responden ketahui mengenai pencegahan nyamuk DBD

 Kuesioner

 Wawancara

Nominal Tiap jawaban benar, skor : 2 Baik (Skor 8-12) Buruk (Skor <8)

3. Sikap

 

Reaksi atau respon responden terhadap pengendalian nyamuk DBD

 Kuesioner

 

 Wawancara

Ordinal Skor tiap pilihan : Sgt setuju=4 Setuju=3Tidak Setuju=2 Sgt Tdk setuju=1Baik (Skor >16) Buruk (Skor ≤16)

4.  Keyakinan Sikap yang ditunjukan responden setelah merasa tahu mengenai pencegahan nyamuk DBD

 Kuesioner

 

 Wawancara

Skor tiap pilihan : Sgt setuju=1 Setuju=2 Tidak Setuju=3 Sgt Tdk setuju=4 Baik (Skor >10) Buruk (Skor ≤10)

5. Lingkungan

 

Keadaan sekitar individu yang berpengaruh terhadap pengendalian nyamuk DBD

 Kuesioner

 

Wawancara

Skor tiap pilihan : A = 2, B = 1, C = 0 Mempengaruhi (Skor ≥4) Tidak Mempengaruhi

18

Page 19: BAB II

(Skor <4) 6. Sarana dan

Prasarana Segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat serta penunjangnya yang memudahkan pengendalian nyamuk DBD

 Kuesioner

 

 Wawancara

Skor tiap pilihan : A = 1, B = 0 Mendukung (Skor ≥ 2) Tidak Mendukung (Skor <2)

19