BAB II

33
BAB II TINJAUAN UMUM 2.1 APOTEK 2.1.1 Definisi Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi, Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. 3 Pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. 2 2.1.2 Landasan Hukum Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat, diatur dalam: 1. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. 2. Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. 3. Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika 4. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek. 5. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 184/MENKES/PER/II/1995. 6. Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian 4

description

FARMASI

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 APOTEK 2.1.1 Definisi

Menurut keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi, Apotek

adalah tempat tertentu, tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian dan

penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada

masyarakat.3 Pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah

pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan

obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.2

2.1.2 Landasan Hukum

Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan masyarakat, diatur dalam:

1. Undang-Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

2. Undang-Undang RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

3. Undang-Undang RI No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika

4. Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 tentang Apotek.

5. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin

Kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan

No. 184/MENKES/PER/II/1995.

6. Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 tentang

Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian

4

Page 2: BAB II

5

8. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002

tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.

922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara

Pemberian Izin Apotek.

9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

No.1027/Menkes/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian

di Apotek

.

2.1.3 Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 pasal 2, tugas dan

fungsi apotek adalah sebagai berikut:

a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan.

2. Sarana farmasi yang melakukan pengubahan bentuk dan penyerahan

obat atau bahan obat.

3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyalurkan obat yang

diperlukan masyarakat secara luas dan merata.

4. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi kepada

masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.4

2.1.4 Persyaratan Apotek

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah apotek berdasarkan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/

IX/2004 adalah : 3

2.1.4.1 Sarana dan Prasarana

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh

masyarakat. Pada halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas

tertulis kata apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh

masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat

terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainya untuk

menunjukan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko

kesalahan penyerahan, dan apoteker mudah memberikan informasi

Page 3: BAB II

6

obat dan konseling. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya,

apotek harus bebas dari hewan pengerat dan serangga. Apotek memiliki

suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

Apotek harus memiliki:

a. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.

b. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk

penempatan brosur atau materi informasi.

c. Ruang tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan

meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi

pasien.

d. Ruang racik.

e. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak

penyimpan obat dan barang-barang lain tersusun dengan rapi,

terlindungi dari debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan serta

diletakan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah

ditetapkan. 2.1.4.2 Tenaga Kefarmasian di Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 tahun

2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, tenaga kefarmasian adalah tenaga

yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas apoteker dan

tenaga teknis kefarmasian. Tujuan pengaturan pekerjaan kefarmasian

untuk:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam

memperoleh dan/atau menetapkan sediaan farmasi dan jasa

kefarmasian;

b. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan

Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundangan-undangan;

Page 4: BAB II

7 c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan Tenaga

Kefarmasian.

Tenaga kefarmasian: a. Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker

dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker dan untuk

melakukan pekerjaan kefarmasiannya diwajibkan memiliki :

1. Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) yaitu bukti tertulis

yang diberikan oleh Menteri Kesehatan melalui Komite Farmasi

Nasional (KFN) kepada apoteker yang telah diregistrasi

2. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) yaitu surat izin yang

diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan

kefarmasian pada apotek. b. Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker

dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas sarjana

farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga menengah

farmasi/asisten apoteker.

Dalam melaksanakan tugas pelayanan kefarmasian,

Apoteker dapat dibantu oleh apoteker pendamping yang wajib

memiliki STRA dan SIPA dan/atau tenaga teknis kefarmasian yang

wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian

(STRTTK) yang dikeluarkan oleh menteri kesehatan melalui Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi.

Setiap tenaga kefarmasian yang melaksanakan pekerjaan

kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga

kefarmasian bekerja. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek,

surat izin tersebut dapat berupa SIPA bagi apoteker dan apoteker

pendamping. Surat izin tersebut batal demi hukum apabila

Page 5: BAB II

8

pekerjaan kefarmasian dilakukan pada tempat yang tidak sesuai dengan

yang tercantum dalam surat izin.

2.1.5 Tata Cara Perizinan Apotek

Izin suatu apotek didapatkan, bila Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang

bekerja sama dengan pemilik sarana telah siap dengan tempat,

perlengkapan, juga perbekalan farmasi dan perbekalan lainnya. Surat Izin

Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan oleh Menteri Kesehatan RI

kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan Pemilik Sarana

Apotek (PSA) untuk membuka apotek di suatu tempat tertentu. Untuk

mendapatkan izin apotek, APA yang bekerja sama dengan pemilik sarana

yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan

termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik

sendiri atau milik pihak lain.

Berdasarkan KEPMENKES RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal

7 tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah sebagai berikut : 5

1. Permohonan izin apotek diajukan apoteker kepada Kepala Dinas

Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir

model APT-1, dengan menyertakan lampiran sebagai berikut:

a. Salinan/fotokopi Surat Izin Kerja/Surat Penugasan Apoteker.

b. Salinan/fotokopi Kartu Tanda Penduduk Pemilik Sarana Apotek

(PSA) dan Apoteker Pengelola Apotek (APA).

c. Salinan/fotokopi denah bangunan.

d. Surat yang mengatakan status bangunan dalam bentuk akte hak

milik/sewa/kontrak.

e. Daftar asisten apoteker dengan mencantumkan nama, alamat,

tanggal lulus dan nomor surat izin kerja.

f. Asli dan salinan/fotokopi daftar terperinci alat perlengkapan

Apotek.

Page 6: BAB II

9

g. Surat pernyataan dari Apoteker Pengelola Apotek bahwa tidak

bekerja tetap pada perusahaan farmasi lain dan tidak menjadi

Apoteker Pengelola Apotek di Apotek lain.

h. Asli dan salinan/fotokopi surat izin atasan bagi pemohon pegawai

negeri, anggota ABRI dan pegawai Instansi Pemerintah lainnya

i. Akte perjanjian kerja sama Apoteker Pengelola Apotek dengan

Pemilik Sarana Apotek.

j. Surat pernyataan Pemilik Sarana tidak terlibat pelanggaran

peraturan perundang-undangan di bidang obat.

2. Dengan menggunakan formulir Model APT-2 Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah

menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan untuk melakukan

pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan

kegiatan. 3. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja

setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan

menggunakan contoh formulir model APT-3. 4. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3)

tidak dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan

siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas

Propinsi dengan menggunakan contoh formulir model APT-4. 5. Dalam jangka waktu dua belas (12) hari kerja setelah diterima laporan

hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3) atau pernyataan

dimaksud ayat (4), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat

mengeluarkan Surat Izin Apotek (SIA) dengan menggunakan contoh

formulir model APT-5.

Page 7: BAB II

10

6. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

atau Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dimaksud ayat

(3) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja

mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan contoh formulir

model APT-6.

7. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6),

apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum

dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak

tanggal surat penundaan.

Pada pasal 9, tertulis : ”Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata

tidak memenuhi persyaratan dimaksud pasal 5 dan atau pasal 6, atau lokasi

apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 (dua

belas) hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai alasan-

alasannya dengan menggunakan contoh formulir model APT-7.

Berdasarkan PERMENKES RI No.922/MENKES/PER/X/1993 pasal 8,

apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain maka : 6

1. Penggunaan sarana dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja

sama antara apoteker dan pemilik sarana.

2. Pemilik sarana yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi

persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan

perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam

Surat Pernyataan yang bersangkutan.

2.1.6 Pencabutan Surat Izin Apotek (SIA)

Apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1332/MENKES/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila : 5

Page 8: BAB II

11 1. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Apoteker Pengelola

Apotek dan atau, 2. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan

dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin

keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan

perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang

digunakan (pasal 12) dan mengganti obat generik yang ditulis dalam

resep dengan obat paten (pasal 15 ayat 2) dan atau, 3. Apoteker Pengelola Apoteker berhalangan melakukan tugasnya lebih

dari 2 tahun secara terus-menerus dan atau, 4. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras No. St. 1937

No. 541, Undang-Undang No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan,

Undang-Undang No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-

Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta ketentuan

peraturan perundang-undangan lainnya, 5. Surat Izin Kerja (SIK) Apoteker Pengelola Apotek tersebut dicabut dan

atau, 6. Pemilik Sarana Apotek terbukti dalam pelanggaran Perundang-

undangan di bidang obat dan, 7. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan setelah dikeluarkan

peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3

(tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua)

bulan. Pembekuan izin apotek ditetapkan untuk jangka waktu selama-

lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkan penetapan pembekuan kegiatan

apotek. Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila Apotek

telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan

dalam peraturan. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan

pemeriksaan dari Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.

Page 9: BAB II

12

Apabila Surat Izin Apotek dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib

mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan dilakukan dengan cara

sebagai berikut :

1. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotik, obat

keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di

apotek.

2. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang

tertutup dan terkunci.

3. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi

wewenang tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi

yang dimaksud di atas.

2.1.7 Apoteker Pengelola Apotek

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah

mengucapkan sumpah jabatan apoteker. Apoteker Pengelola Apotek (APA)

di apotek dapat berperan sebagai tenaga profesional, manager dan retailer

karena bertanggung jawab untuk menyediakan dan menjual obat, serta

memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu

berkomunikasi baik kepada pasien maupun antar profesi, menempatkan diri

sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan mengelola

sumber daya secara efektif, selalu belajar sepanjang karier dan membantu

memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan

pengetahuan sesuai dengan karakter farmasis, “ Eight Stars Pharmacist :

Care giver, Communicator, Teacher, Leader, Manager, Decision-maker,

Life-Long learner dan Researcher”.

Sebelum melaksanakan kegiatannya, Apoteker Pengelola Apotek

wajib memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yang berlaku untuk seterusnya

selama apotek masih aktif melakukan kegiatan dan APA dapat melakukan

pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan.

Page 10: BAB II

13

Sesuai dengan PERMENKES RI No. 922/MENKES/PER/X/1993, untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek (APA) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

6

1. Ijasahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan

2. Telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker

3. Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan

4. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan

tugasnya sebagai apoteker 5. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker

Pengelola Apotek di apotek lain.

Seorang APA bertanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup apotek

yang dipimpinnya, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal jika bekerja

sama dengan pemilik sarana apotek. Tugas dan kewajiban apoteker di apotek

adalah sebagai berikut : 7

1. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non

teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang

berlaku 2. Mengatur, melaksanakan dan mengawasi seluruh kegiatan administrasi

3. Mengusahakan agar apotek yang dipimpinnya dapat memberikan hasil

yang optimal dan sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan

omset, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah

mungkin 4. Melakukan pengembangan usaha apotek.

5. Memastikan bahwa jumlah dan jenis produk yang dibutuhkan senantiasa

tersedia dan diserahkan kepada yang membutuhkan.

2.1.8 Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek merupakan seluruh upaya dan kegiatan apoteker untuk

melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan di apotek. Banyak kegiatan dan

Page 11: BAB II

14 aspek yang harus dikelola oleh apoteker untuk dapat menjalankan fungsi

apotek dengan baik sehingga dicapai hasil yang efektif dan efisien.

Beberapa aspek diantaranya adalah sebagai berikut: 2.1.8.1 Pengelolaan Sumber Daya Manusia

1

Sumber daya manusia yang mendukung kegiatan suatu apotek terdiri

dari Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping, Asisten

Apoteker, Juru Resep, Kasir dan Pegawai Administrasi/ Tata Usaha.

1. Apoteker Pengelola Apotek yaitu apoteker yang telah diberi Surat

Izin Apotek (SIA). Seorang Apoteker Pengelola Apotek

bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup apotek yang

dipimpinnya, juga bertanggung jawab kepada pemilik modal (jika

berkerja sama dengan pemilik sarana apotek).

2. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek

disamping Apoteker Pengelola Apotek dan atau menggantikannya

pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek.

3. Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, berhak melakukan pekerjaan

kefarmasian sebagai Asisten Apoteker dibawah pengawasan

Apoteker Pengelola Apotek atau APA.

4. Juru Resep adalah petugas yang membantu pekerjaan Asisten

Apoteker dalam menyiapkan obat menurut resep.

5. Kasir adalah petugas yang bertugas mencatat penerimaan dan

pengeluaran yang dilengkapi dengan kwitansi, nota, dan tanda

setoran.

6. Pegawai Administrasi/ Tata Usaha adalah petugas yang

melaksanakan kegiatan administrasi apotek dan membuat laporan

pembelian, penjualan, dan keuangan di apotek.

Dalam mengelola suatu apotek, Apoteker sangat berperan dan

memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Oleh karena itu, Apoteker

pengelola apotek sebelum melaksanakan tugasnya wajib memiliki Surat

Izin Apotek, Surat Izin Apotek ini akan berlaku selama apotek masih

Page 12: BAB II

15 aktif menjalankan kegiatan dan Apoteker Pengelola Apotek dapat

melakukan pekerjaannya serta masih memenuhi persyaratan.

Dalam KEPMENKES No. 1332/MENKES/SK/X/2002 pasal 19

dan pasal 24, disebutkan beberapa ketentuan mengenai pelimpahan

tanggung jawab pengelola apotek, yaitu: 5

Pasal 19 : 1. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada

jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek dapat menunjuk

Apoteker Pendamping. Apoteker Pendamping adalah Apoteker

yang bekerja di apotek disamping Apoteker Pengelola Apotek dan

atau menggantikannya pada jam-jam tertentu pada hari buka

apotek. 2. Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping

karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker

Pengelola Apotek dapat menunjuk Apoteker Pengganti. Apoteker

Pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker pengelola

apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak berada

ditempat lebih dari 3 (tiga) bulan secara terus-menerus, telah

memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker

Pengelola di apotek lain. 3. Penunjukkan dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus dilaporkan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan

kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan

menggunakan contoh formulir model APT-9. 4. Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi

persyaratan yang dimaksud dalam pasal 5. 5. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan

tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus menerus, Surat Izin

Apotek atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.

Page 13: BAB II

16

Pasal 24 :

1. Apabila Apoteker Pengelola Apotek meninggal dunia, dalam

jangka waktu dua kali dua puluh empat jam, ahli waris Apoteker

Pengelola Apotek wajib melaporkan kejadian tersebut secara

tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

2. Apabila pada apotek tersebut tidak terdapat Apoteker Pendamping,

pada pelaporan dimaksud ayat (1) wajib disertai penyerahan resep,

narkotika, psikotropika, obat keras dan kunci tempat penyimpanan

narkotika dan psikotropika.

Pada penyerahan dimaksud ayat (1) dan (2), dibuat Berita Acara

Serah Terima sebagaimana dimaksud pasal 23 ayat (2) dengan Kepala

Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan menggunakan

contoh formulir model APT-11, dengan tembusan Kepala Badan/Balai

Pengawas Obat dan Makanan setempat.

2.1.8.2 Pengelolaan Perbekalan Farmasi

Cakupan pengelolaan perbekalan farmasi di apotek meliputi:

perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,

pengendalian, pelaporan dan evaluasi. Tujuan pengelolaan perbekalan

farmasi untuk menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi sesuai

dengan kebutuhan pelayanan kesehatan di apotek. Tahapan

perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi meliputi3,8

:

1. Pemilihan

Fungsi pemilihan adalah untuk menentukan apakah perbekalan

farmasi benar-benar di perlukan sesuai dengan jumlah

pasien/kunjungan di apotek.

2. Pengadaan

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan

obat di apotek yang telah direncanakan dan disetujui. Tujuan

pengadaan adalah mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga

yang layak, dengan mutu yang baik, pengiriman yang tepat waktu,

proses berjalan lancar dan tidak butuh tenaga dan waktu berlebih.

Page 14: BAB II

17

Pengadaan sediaan dan perbekalan farmasi harus melalui jalur

resmi sesuai peraturan perundang-undangan. 3. Penerimaan barang :

a. Barang diterima oleh apotek lalu dilakukan pemeriksaan

apakah sesuai dengan pemesanan, memeriksa tanggal expired

date, jumlah, adakah kerusakan atau tidak.

b. Jika barang sudah dinyatakan sesuai maka barang diterima

oleh petugas di apotek dengan mencantumkan tanda terima.

c. Jika barang tidak sesuai atau mengalami kerusakan ataupun

tanggal expired date terlalu dekat maka dilakukan retur. 4. Pencatatan

Pencatatan dilakukan di buku Barang Masuk dan dicatat dikartu

stok. Pencatatan juga dilakukan dengan menggunakan sistem

komputerisasi. 5. Penyimpanan

Penyimpanan dilakukan pada rak-rak di apotek dengan

mengelompokkan obat-obat berdasarkan jenisnya dan secara

alfabetis. Obat tablet diletakkan bersamaan dengan obat-obat tablet.

Begitu juga halnya obat-obatan dalam bentuk larutan dan alat-alat

kesehatan. Dan penyimpanan obat harus merujuk kepada

farmakope. 6. Distribusi :

Sistem pengeluaran obat-obatan dilakukan berdasarkan dua sistem

yaitu sistem FIFO (First In First Out) dan sistem FEFO (First

Expired First Out). Sistem FIFO adalah sistem penyimpanan obat

dimana obat yang diterima terlebih dahulu akan dikeluarkan lebih

dulu. Sedangkan sistem FEFO adalah sistem penyimpanan obat

dimana obat yang expired date lebih dekat dikeluarkan lebih

dahulu. Pengeluaran barang ditulis di daftar mutasi barang dan

dilakukan pencatatan di kartu stok dan secara komputerisasi. 7. Pelaporan

Page 15: BAB II

18

Pelaporan dilakukan setiap bulan yang dibuat oleh apoteker

pengelola dan disetujui oleh apoteker penanggung jawab.

2.1.8.3 Pengelolaan non teknis kefarmasian yaitu administrasi, meliputi:

1. Administrasi Umum

Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan

dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Administrasi Pelayanan

Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien,

pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

2.1.9 Perbekalan Farmasi

Perbekalan farmasi terdiri dari obat, bahan obat, obat tradisional, kosmetika

dan alat kesehatan. Namun, jenis perbekalan farmasi yang paling

diutamakan adalah obat. Obat digolongkan menjadi empat bagian yaitu obat

bebas, obat bebas terbatas, obat keras serta obat narkotika dan psikotropika.

2.1.9.1 Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dapat dibeli tanpa resep dokter. Pada

kemasan ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan

berwarna hijau yang dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.1.

Dalam kemasan obat disertakan brosur yang berisi nama obat, nama dan

isi zat berkhasiat, indikasi, dosis dan aturan pakai, nomor batch, nomor

registrasi, nama dan alamat pabrik, serta cara penyimpanannya.

Gambar 2.1. Penandaan obat bebas.

2.1.9.2 Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas yaitu obat yang digunakan untuk mengobati

penyakit ringan yang dapat dikenali oleh penderita sendiri. Obat bebas

terbatas termasuk obat keras dimana pada setiap takaran yang

Page 16: BAB II

19 digunakan diberi batas dan pada kemasan ditandai dengan lingkaran

hitam mengelilingi bulatan berwarna biru serta sesuai dengan Surat

Keputusan Menteri Kesehatan No. 6355/Dirjen/SK/69 tanggal 5

November 1975 ada tanda peringatan P. No 1 sampai P. No 6 dan harus

ditandai dengan etiket atau brosur yang menyebutkan nama obat yang

bersangkutan, daftar bahan berkhasiat serta jumlah yang digunakan,

nomor batch, tanggal kadaluarsa, nomor registrasi, nama dan alamat

produsen, petunjuk penggunaan, indikasi, cara pemakaian, peringatan

serta kontra indikasi. Penandaan terhadap obat bebas terbatas beserta

etiketnya dapat dilihat pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.3.

Gambar 2.2. Penandaan obat bebas terbatas.

Gambar 2.3. Berbagai macam tanda peringatan pada obat bebas terbatas

Page 17: BAB II

20

2.1.9.3 Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep

dokter, dimana pada bungkus luarnya diberi tanda bulatan dengan

lingkaran hitam dengan dasar merah yang didalamnya terdapat huruf

“K” yang menyentuh garis tepi. Tanda dapat dilihat pada Gambar 4.

Obat yang masuk ke dalam golongan obat keras ini adalah obat yang

dibungkus sedemikian rupa yang digunakan secara parenteral, baik

dengan cara suntikan maupun dengan cara pemakaian lain dengan jalan

merobek jaringan, obat baru yang belum tercantum dalam

kompendial/farmakope terbaru yang berlaku di Indonesia serta obat-

obat yang ditetapkan sebagai obat keras melalui keputusan Menkes RI.

Gambar 2.4. Penandaan obat keras.

2.1.9.4 Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku. Psikotropika termasuk dalam golongan obat keras,

sehingga dalam kemasannya memiliki tanda yang sama dengan obat

keras seperti pada gambar 2.4.

2.1.9.5 Obat Narkotika

Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika,

dalam Bab I pasal 1 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari

tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat

menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan. Obat narkotika memiliki tanda berupa lambang swastika.1,5

Gambar 2.5. Logo obat narkotika

Page 18: BAB II

21

2.1.10 Pelayanan Apotek

Peraturan yang mengatur tentang Pelayanan Apotek adalah Keputusan

Menteri Kesehatan Nomor 1027/MENKES/SK/2004 meliputi :

3

2.1.10.1 Pelayanan resep

1. Skrining resep

a. Persyaratan administratif, seperti nama, SIK, dan alamat

dokter; tanggal penulisan resep, nama, alamat, umur, jenis

kelamin, dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis,

jumlah yang diminta, cara pemakaian yang jelas dan

informasi lainnya.

b. Kesesuaian farmasetika : bentuk sediaan, dosis, potensi,

stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

c. Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,

kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain).

2. Penyiapan obat

a. Peracikan yang merupakan kegiatan menyiapkan,

menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket

pada wadah.

b. Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

c. Kemasan obat yang diserahkan harus rapi dan cocok

sehingga terjaga kualitasnya.

d. Penyerahan obat pada pasien harus dilakukan pemeriksaan

akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep dan

penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian

informasi obat dan konseling kepada pasien.

e. Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, dan

mudah di mengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan

terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya

meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat,

jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan

minuman yang harus dihindari selama terapi.

Page 19: BAB II

22

f. Apoteker harus memberikan konseling kepada pasien

sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien.

Konseling terutama ditujukan untuk pasien penyakit kronis

(hipertensi, diabetes melitus, TBC, asma dan lain-lain).

g. Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus

melaksanakan pemantauan penggunaan obat. 3. Promosi dan edukasi

Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang ingin

melakukan upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi) untuk

penyakit yang ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan

apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ini.

4. Pelayanan residensial (home care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan

pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya

untuk kelompok lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Untuk

kegiatan ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien

(medication record).

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.922/MENKES/SK/X/2002, pelayanan apotek meliputi :

6

1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan

keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. 2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis

dalam resep dengan obat paten. 3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang ditulis di dalam

resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan

obat yang lebih tepat. 4. Apotek wajib memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak

memenuhi syarat ketentuan yang berlaku dengan membuat berita

acara. Pemusnahan yang dilakukan dengan cara dibakar atau

ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan Kepala Badan POM.

Page 20: BAB II

23 5. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan

penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien, penggunaan obat

secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat. 6. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat

kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus

memberitahukan kepada dokter penulis resep, bila dokter tetap

pada pendiriannya dokter wajib menyatakan secara tertulis atau

membubuhkan tanda tangan di atas resep. 7. Salinan resep harus ditanda tangani oleh Apoteker. 8. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di Apotek dengan baik

dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun. 9. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter

penulis atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan,

petugas kesehatan atau petugas lainnya yang berwenang menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. 10. Apoteker Pengelola Apotek, Apoteker Pendamping, atau Apoteker

Pengganti diizinkan menjual obat keras tanpa resep dokter yang

dinyatakan sebagai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA), yang

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. 11. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugas

pada jam buka Apotek, Apoteker Pengelola Apotek dapat

menunjuk Apoteker Pendamping. 12. Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping

karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker

Pengelola Apotek dapat menunjuk Apoteker Pengganti dan harus

dilaporkan pada Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II dengan

tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Tingkat I dan kepala

Badan POM. 13. Apoteker Pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi

persyaratan administratif yang berhubungan dengan izin kerjanya

sebagai Apoteker.

Page 21: BAB II

24

14. Dalam pelaksanaan pengelolaan apotek, Apoteker Pengelola

Apotek dapat dibantu oleh Asisten Apoteker.

15. Asisten Apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek

dibawah pengawasan Apoteker.

2.1.11 Pengelolaan Narkotik

Narkotika menurut Undang-Undang No. 35 tahun 2009, merupakan zat atau

obat yang berasal dari tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang

dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa

mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan yaitu 9

:

1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan

untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak untuk terapi,

serta mempunyai potensi sangat tinggi dan dapat mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: opium, heroin dan kokain.

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat dalam

pengobatan yang digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat

digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi yang dapat mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: morfin dan petidin.

3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat dalam

pengobatan dan akan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: kodein dan dionin.

PT. Kimia Farma (Persero), Tbk. merupakan satu-satunya

perusahaan yang diizinkan oleh pemerintah untuk mengimpor,

memproduksi, dan mendistribusikan narkotika di wilayah Indonesia. Hal ini

dimaksudkan untuk mempermudah pengawasan oleh pemerintah, karena

sifat negatifnya yang dapat menyebabkan ketergantungan yang sangat

merugikan.

Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan:

Page 22: BAB II

25 1. Pemesanan narkotika

Pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan oleh Pedagang Besar

Farmasi (PBF) Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek

ditandatangani oleh APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap

empat, dimana tiap jenis pemesanan narkotika menggunakan satu surat

pesanan yang dilengkapi dengan nomor SIK apoteker dan stempel

apotek. 2. Penyimpanan narkotika

Ketentuan Menteri Kesehatan dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang

Narkotika bahwa apotek harus mempunyai tempat khusus untuk

menyimpan narkotik.

Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

a. Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat.

b. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.

c. Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang

berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin,

petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan

bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya

yang dipakai sehari-hari.

d. Apabila tempat tersebut berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm,

maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.

Selain itu, pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

28/Menkes/Per/I/1978 dinyatakan bahwa : 10

a. Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 28/Menkes/Per/I/1978.

b. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang

lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

c. Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau

pegawai lain yang diberi kuasa.

Page 23: BAB II

26

d. Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh

terlihat oleh umum. 3. Pelayanan resep mengandung narkotika

Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter

dengan ketentuan antara lain: 11

a. Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat 2 Undang-Undang nomor 9 tahun

1976 tentang narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang

mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani

sebagian atau belum dilayani sama sekali.

b. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum

dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi

salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek menyimpan

resep aslinya.

c. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh

dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah

tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika. 4. Pelaporan narkotika

Industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan

farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,

balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib

membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai

pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam

penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika

dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di

tandatangani oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan

SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan kepada

Kepala Dinas Kesehatan RI Propinsi setempat dengan tembusan

kepada:

a. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jaya.

b. Balai Besar POM DKI Jaya.

c. Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma Tbk.

Page 24: BAB II

27

d. Arsip.

Laporan yang ditandatangani oleh APA meliputi:

a. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika.

b. Laporan penggunaan bahan baku narkotika.

c. Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin.

Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim

selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya. 5. Pemusnahan narkotika

Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal:

a. Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku

dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi.

b. Kadaluarsa.

c. Tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan

kesehatan dan atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan

d. Berkaitan dengan tindak pidana.

Pemusnahan narkotika ini dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau

badan usaha yang bertanggung jawab atas produksi dan atau peredaran

narkotika, sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan

dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan

RI.

Pemegang izin khusus dan atau APA dapat memusnahkan

narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat. Pemegang izin

khusus atau APAyang memusnahkan narkotika harus membuat berita

acara pemusnahan paling sedikit 3 rangkap. Berita acara pemusnahan

tersebut memuat:

a. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.

b. Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek.

c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari

apotek tersebut.

d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.

e. Cara pemusnahan.

Page 25: BAB II

28

f. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.

6. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotika

Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan pelaporan

narkotika dapat dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan,

yang berupa: teguran, peringatan, denda administratif, penghentian

sementara kegiatan atau pencabutan izin. 9,12

2.1.12 Pengelolaan Psikotropika

Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika,

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

susunan 20 saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas

mental dan perilaku. 13

Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan :

1. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam

terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: lisergida dan meskalina.

2. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma

ketergantungan. Contoh: amfetamin & metamfetamin.

3. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi, dan atau untuk tujuan

ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan

sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentobarbital dan

pentazosina.

4. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat

pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi, dan atau untuk

tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan

Page 26: BAB II

29

mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: barbital, alprazolam

dan diazepam.

Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala yang

berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi yang

mengakibatkan ketergantungan. Tujuan dari pengaturan psikotropika ini

sama dengan narkotika, yaitu: 1. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan

kesehatan dan ilmu pengetahuan. 2. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. 3. Memberantas peredaran gelap psikotropika. Pengelolaan psikotropika di apotek meliputi kegiatan-kegiatan: 1. Pemesanan Psikotropika

Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat

Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan

mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua

dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis

psikotropika 2. Penyimpanan Psikotropika

Obat golongan psikotropika disimpan terpisah dengan obat-obat lain

dalam suatu rak atau lemari khusus dan tidak harus dikunci. Pemasukan

dan pengeluaran psikotropika dicatat dalam kartu stok psikotropika. 3. Penyerahan Psikotropika

Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat

dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai

pengobatan dan dokter kepada pengguna atau pasien berdasarkan resep

dokter. 4. Pelaporan Psikotropika

Pelaporan psikotropika dilakukan setahun sekali dengan ditandatangani

oleh APA dilakukan secara berkala yaitu setiap tahun kepada Kepala

Dinas Kesehatan Propinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas

Kesehatan setempat dan Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Page 27: BAB II

30

5. Pemusnahan psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika,

pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak

pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang

berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses psikotropika,

kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan

kesehatan dan atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

a. Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan

oleh pejabat yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat

kepastian. Berita acara pemusnahan tersebut memuat : Hari,

tanggal, bulan dan tahun pemusnahan

b. Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek

c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari

apotek tersebut

d. Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan

e. Cara pemusnahan

f. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi. 12,13

2.1.13 Obat Wajib Apotek

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 347 tahun 1990, Obat Wajib

Apotek adalah sebagai berikut : 14

1. Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh

apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.

2. Obat yang termasuk dalam Obat Wajib Apotek ditetapkan Menteri

Kesehatan.

3. Obat yang tercantum dalam Surat Keputusan ini dapat diserahkan oleh

apoteker di apotek dan selanjutnya disebut Obat Wajib Apotek No. 1.

Obat Wajib Apotek ini dapat ditinjau kembali dan disempurnakan setiap

waktu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Page 28: BAB II

31

4. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 919 tahun 1993 pasal 2,

kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep adalah sebagai berikut:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil,

anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberi resiko

pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang

harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya

tinggi di Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki ratio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

5. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat

Wajib Apotek diwajibkan:

a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang

disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c. Memberinya informasi meliputi dosis dan aturan pakainya,

kontraindikiasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan

oleh pasien. 14

2.1.14 Pelanggaran Apotek

Berdasarkan berat dan ringannya pelanggaran, maka pelanggaran di apotek

dapat dikategorikan dalam dua macam. Kegiatan yang termasuk

pelanggaran berat apotek meliputi:

1. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi.

2. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap.

3. Pindah alamat apotek tanpa izin.

4. Menjual narkotika tanpa resep dokter.

Page 29: BAB II

32

5. Kerjasama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang

tidak berhak dalam jumlah besar.

6. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti pada

waktu APA keluar daerah.

Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan apotek meliputi : 1. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu APA tidak bisa

hadir pada jam buka apotek (apotek yang buka 24 jam). 2. Mengubah denah apotek tanpa izin. 3. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak. 4. Melayani resep yang tidak jelas dokternya. 5. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum

dimusnahkan. 6. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada. 7. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh apoteker. 8. Melayani salinan resep narkotika dari apotek lain. 9. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat. 10. Resep narkotika tidak dipisahkan. 11. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa. 12. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui

dengan jelas asal usul obat tersebut.

Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat

dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi

administratif yang diberikan menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI

No.1332/MENKES/SK/X/2002,Permenkes No.922/MENKES/PER/X/1993

adalah : 5,6

1. Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 (tiga) kali berturut-turut

dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan. 2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam)

bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek.

Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas

Page 30: BAB II

33

Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Menteri

Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.

3. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek

tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan

dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah

dipenuhi.

Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila

terdapat pelanggaran terhadap :

1. Undang–Undang Obat Keras (St.1937 No.541).

2. Undang–Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

3. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.

4. Undang–Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotik.

2.2 Seven Star Plus One of Pharmacist

Untuk menjadi anggota tim tenaga kesehatan yang efektif, apoteker butuh

ketrampilan dan sikap yang memungkinkan mereka untuk dapat menjalankan

berbagai fungsi yang berbeda. Konsep dari "Seven Star Pharmacist"

diperkenalkan oleh WHO dan diambil oleh FIP pada tahun 2000 dalam

pernyataan kebijakan pada Farmasi memiliki peran: caregiver, decision-maker,

communicator, manager,life-long learner, teacher and leader serta telah ada

penambahan fungsi apoteker sebagai researcher: dijelaskan sebagai berikut:

1. Caregiver: Apoteker memberikan layanan peduli. Mereka harus melihat

praktek mereka sebagai suatu tindakan terpadu dan berkelanjutan dari sistem

perawatan kesehatan dan dengan profesional kesehatan lainnya. Pelayanan

yang diberikan harus berkualitas tinggi.

2. Decision Maker: Penggunaan yang tepat, berkhasiat, aman dan biaya yang

efektif pada sumber daya (misalnya, personil, obat-obatan, bahan kimia,

peralatan, prosedur, praktek) harus menjadi dasar dari pekerjaan apoteker.

Apoteker berperan dalam pengaturan kebijakan obat-obatan. Guna mencapai

tujuan ini memerlukan kemampuan untuk mengevaluasi, mensintesis data

dan informasi dan memutuskan program studi yang paling tepat tindakan.

Page 31: BAB II

34

3. Communicator: apoteker berada dalam posisi yang ideal untuk menyediakan

link antara resep dan pasien, dan untuk berkomunikasi dalam pemberian

informasi tentang kesehatan dan obat-obatan kepada masyarakat. Apoteker

harus berpengetahuan dan percaya diri ketika berinteraksi dengan

profesional kesehatan lain dan masyarakat. Komunikasi melibatkan verbal,

non verbal, mendengarkan dan keterampilan menulis.

4. Manager: Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (manusia, fisik dan

keuangan) dan informasi mengenai obat-obatan dan produk terkait serta

memastikan kualitas mereka secara efektif.

5. Life Long Learner: Konsep, prinsip dan komitmen untuk belajar seumur

hidup harus dimulai ketika menghadiri sekolah farmasi dan harus didukung

sepanjang karier apoteker. Apoteker harus belajar bagaimana menjaga

pengetahuan dan keterampilan secara up to date.

6. Teacher: Apoteker memiliki tanggung jawab untuk membantu dalam hal

pendidikan dan pelatihan generasi masa depan apoteker dan masyarakat.

Berpartisipasi sebagai guru tidak hanya mengajarkan pengetahuan kepada

orang lain, tetapi juga menawarkan kesempatan bagi praktisi untuk

mendapatkan pengetahuan baru dan untuk menyempurnakan keterampilan

yang ada.

7. Leader: Kepemimpinan melibatkan kasih sayang dan empati serta visi dan

kemampuan untuk membuat keputusan, berkomunikasi, dan mengelola

secara efektif. Seorang apoteker yang kepemimpinannya berperan untuk

diakui harus memiliki visi dan kemampuan untuk memimpin

8. Researcher: Sebagai peneliti, apoteker dapat meningkatkan aksesibilitas

kesehatan secara objektif mengenai obat-obatan yang berhubungan dengan

informasi kepada para tenaga kesehatan profesional kesehatan lainnya dan

masyarakat.16

2.3 Swamedikasi

Swamedikasi merupakan upaya pengobatan terhadap keluhan pada diri sendiri

dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau toko obat atas inisiatif

Page 32: BAB II

35 sendiri tanpa nasehat dokter. Biasanya swamedikasi dilakukan untuk mengatasi

gangguan kesehatan ringan mulai dari batuk, pilek, demam, sakit kepala, maag,

gatal-gatal hingga iritasi ringan pada mata. Konsep modern pengertian

swamedikasi adalah upaya pencegahan terhadap penyakit, dengan

mengkonsumsi vitamin dan food suplement untuk meningkatkan daya tahan

tubuh.

Self-medication adalah satu unsur dari self-care. Self-care adalah tindakan

individu yang dilakukan untuk diri mereka sendiri dalam rangka menjaga dan

memelihara kesehatan, mencegah maupun berhadapan dengan penyakit. Salah

satu unsure self care adalah self medication yang lebih dikenal dengan istilah

UPDS (Upaya Pengobatan Diri Sendiri).

Berkembangnya swamedikasi dikalangan masyarakat, dilatarbelakangi

adanya harga obat yang relatif tinggi dan biaya pelayanan kesehatan yang makin

mahal hingga menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif mengobati dirinya

sendiri dengan obat-obat yang tersedia dipasar tanpa melalui konsultasi dengan

dokter terlebih dahulu. Umumnya obat-obat tersebut termasuk golongan OTC,

OWA, dan herbal. Selain itu sebagian masyarakat memiliki paradigma baru

dalam dunia pengobatan dengan mengikuti pergeseran pola pengobatan diri dari

kuratif- rehabilitatif ke arah preventif-promotif. Peran apoteker dalam swamedikasi diantaranya : 1. Memberikan informasi, edukasi dan pelayanan berdasarkan bukti akurat,

terkini dan bukti ilmiah yang terpercaya. 2. Menggali informasi dari pasien untuk memastikan bahwa kegiatan

swamedikasi yang dilakukan aman dan sesuai dengan kondisi pasien

tersebut. 3. Memberikan edukasi dan informasi yang cukup agar pasien mampu

mengontrol diri guna keberhasilan swamedikasi yang dilakukan 4. Memastikan pasien menerima edukasi dan perhatian media yang cukup 5. Mempunyai catatan pengobatan pasien dari setiap pertemuan dan edukasi

yang diberikan.

Page 33: BAB II

36

Untuk lebih mengarahkan ketepatan pemilihan obat pada saat melakukan

pelayanan swamedikasi, konseling pra pelayanan swamedikasi dapat dilakukan

kepada pasien dengan 5 arahan pertanyaan penuntun yaitu:

W : who (untuk siapa obat tersebut). W : what symptoms (gejala apa yang dirasakan). H : how long (sudah berapa lama gejala tersebut berlangsung). A : action (tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut).

M : medicine (obat-obat apa saja yang sedang digunakan oleh pasien)

Layanan swamedikasi cukup potensial jika dikembangkan dengan

profesional. Pelayanan swamedikasi tidak lepas dari aktivitas menanggapi gejala

yang dikeluhkan pasien maupun jenis dan nama produk yang digunakan.

Persiapan yang matang perlu dilakukan agar apoteker dapat mengembangkan

swamedikasi menjadi keunggulan dari suatu pelayanan apotek sebagai salah satu

sumber penyediaan obat untuk keperluan swamedikasi. 17