BAB II

download BAB II

of 30

description

bab 2

Transcript of BAB II

BAB IIPENDAHULUAN

2.1 Konsep Dasar Pola AsuhPengertian pola asuh Orang tua mempunyai peran dan fungsi yang bermacam-macam, salah satunya adalah mendidik anak. Menurut (Edwards, 2006), menyatakan bahwa Pola asuh merupakan interaksi anak dan orang tua mendidik, membimbing, dan mendisplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan seluruh cara perlakuan orang tua yang diterapkan pada anak. Banyak ahli mengatakan pengasuhan anak adalah bagian penting dan mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik. Terlihat bahwa pengasuhan anak menunjuk kepada pendidikan umum yang diterapkan. Pengasuhan terhadap anak berupa suatu proses interaksi antara orang tua dengan anak. Interaksi tersebut mencakup perawatan seperti dari mencukupi kebutuhan makan, mendorong keberhasilan dan melindungi, maupun mensosialisasi yaitu mengajarkan tingkah laku umum yang diterima oleh masyarakat. Pendampingan orang tua diwujudkan melalui pendidikan cara-cara orang tua dalam mendidik anaknya. Cara orang tua mendidik anaknya disebut sebagai pola pengasuhan. Interaksi anak dengan orang tua, anak cenderung menggunakan cara-cara tertentu yang dianggap paling baik bagi anak. Disinilah letaknya terjadi beberapa perbedaan dalam pola asuh. Disatu sisi orang tua harus bisa menetukan pola asuh yang tepat dalam mempertimbangkan kebutuhan dan situasi anak, disisi lain sebagai orang tua juga mempunyai keinginan dan harapan untuk membentuk anak menjadi seseorang yang dicita-citakan yang tentunya lebih baik dari orang tuanya (Jas dan Rachmadiana,2007).Setiap upaya yang dilakukan dalam mendidik anak, mutlak didahului oleh tampilnya sikap orang tua dalam mengasuh anak meliputi:a. Perilaku yang patut dicontoh Artinya setiap perilaku tidak sekedar perilaku yang bersifat mekanik, tetapi harus didasarkan pada kesadaran bahwa perilakunya akan dijadikan lahan peniru dan identifikasi bagi anak-anaknya. b. Kesadaran diri Ini juga harus ditularkan pada anak-anak dengan mendororng mereka agar perilaku kesehariannya taat kepada nilai-nilai moral. Oleh sebab itu orang tua senantiasa membantu mereka agar mampu melakukan observasi diri melalui komunikasi dialogis, baik secara verbal maupun non verbal tentang perilaku. c. Komunikasi Komunikasi dialogis yang terjadi antara orang tua dan anak-anaknya, terutama yang berhubungan dengan upaya membantu mereka untuk memecahkan permasalahanya.

Faktor- faktor yang mempengaruhi pola asuh Menurut Edwards (2006), faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh anak adalaha. Pendidikan orang tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak. Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini, 2010). b. Lingkungan Lingkungan banyak mempengaruhi perkembangan anak, maka tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan yang diberikan orang tua terhadap anaknya.

c. Budaya Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengasuh anak, kebiasaan-kebiasaan masyarakat disekitarnya dalam mengasuh anak. Karena pola-pola tersebut dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat dengan baik, oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam mengasuh anak juga mempengaruhi setiap orang tua dalam memberikan pola asuh terhadap anaknya (Anwar,2010). Macam-macam pola asuh1) Pola asuh otoritative (otoriter)Cenderung tidak memikirkan apa yang terjadi di kemudian hari, fokus lebih pada masa kini. Untuk kemudahan orang tua dalam pengasuhan. Menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orang tua.Efek pola asuh otoriter terhadap perilaku belajar anak :anak menjadi tidak percaya diri, kurang spontan ragu-ragu dan pasif, serta memiliki masalah konsentrasi dalam belajar. Ia menjalankan tugas-tugasnya lebih disebabkan oleh takut hukuman. Di sekolah memiliki kecenderungan berperilaku antisosial, agresif, impulsive dan perilaku mal adatif lainnya. Anak perempuan cenderung menjadi dependen. Hal ini yang kadang mengantarkan anak pada kenakalan remaja, misalnya merokok.

2) Pola asuh permisive (pemanjaan)Segala sesuatu terpusat pada kepentingan anak, dan orang tua / pengasuh tidak berani menegur, takut anak menangis dan khawatir anak kecewa.Efek pola asuh permisif terhadap perilaku belajar anak. Anak memang menjadi tampak responsif dalam belajar, namun tampak kurang matang (manja), impulsive dan mementingkan diri sendiri, kurang percaya diri (cengeng) dan mudah menyerah dalam menghadapi hambatan atau kesulitan dalam tugas-tugasnya. Tidak jarang perilakunya disekolah menjadi agresif.3) Pola asuh indulgent (penelantaran)Menelantarkan secara psikis. Kurang memperhatikan perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan berkembang sendiri. Orang tua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri karena kesibukan.Efek pola asuh indulgent terhadap perilaku belajar anak : Anak dengan pola asuh ini paling potensial telibat dalam kenakalan remaja seperti penggunaan narkoba, merokok diusia dini dan tindak kriminal lainnya. Impulsive dan agresif serta kurang mampu berkonsentrasi pada suatu aktivitas atau kegiatan. Anak memiliki daya tahan terhadap frustrasi rendah.4) Pola asuh autoritatif (demokratis)Menerima anak sepenuh hati, memiliki wawasan kehidupan masa depan yang dipengaruhi oleh tinakan-tidakan masa kini. Memprioritaskan kepentingan anak, tapi tidak ragu-ragu mengendalikan anak. Membimbing anak kearah kemandirian, menghargai anak yang memiliki emosi dan pikirannya sendiri.Efek pola asuh autoritatif terhadap perilaku belajar anak: Anak lebih mandiri, tegas terhadap diri sendiri dan memiliki kemampuan introspeksi serta pengendalian diri.Mudah bekerjasama dengan orang lain dan kooperatif terhadap aturan. Lebih percaya diri akan kemampannya menyelesaikan tugas-tugas.Mantap, merasa aman dan menyukai serta semangat dalam tugas-tugas belajar. Memiliki keterampilan sosial yang baik dan trampil menyelesaikan permasalahan. Tampak lebih kreatif dan memiliki motivasi berprestasi.

2.2 Konsep Dasar Perilaku Agresif2.2.1 Pengertian Perilaku Agresif Menurut Scheneiders (2006), mengatakan bahwa agresif merupakan luapan emosi sebagai reaksi terhadap kegagalan Individu yang ditampakkan dalam bentuk pengrusakan terhadap orang atau benda dengan unsur kesengajaan yang diekspresikan dengan katakata (verbal) dan perilaku (non-verbal). Teori tersebut diperkuat oleh pendapat Hanito, dkk (2008: 12) yang mengatakan bahwa perilaku agresif yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (non-verbal) maupun kata-kata (verbal), perilaku ini merupakan suatu bentuk terhadap rasa kecewa karena tidak terpenuhi keinginan dan kebutuhannya.Perilaku agresif adalah bentuk tindakan kekerasan dengan maksud melukai orang lain misalnya tindakan memukul, menendang, berkelahi, menghina antar sesama teman, dan merusak fasilitas sekolah yang kini tidak jarang kita temukan pada siswa di sekolah. Perilaku agresif juga disebabkan karena adanya luapan emosi akibat kegagalan individu mendapatkan keinginan atau kebutuhannya, sehingga diekspresikan dalam bentuk verbal atau non-verbal, ini dapat dilihat dari pengertian yang diungkapkan pendapat ahli. Agresifitas juga merupakan perilaku sosial yang menyimpang, terlihat dari pendapat Mappiare (2006: 191) yang menyebutkan bahwa: Perilaku agresif merupakan bentuk-bentuk tingkah laku sosial yang menyimpang, cenderung merusak, melanggar peraturan, dan menyerang. Ruang lingkup bidang yang dilanggar meliputi hak milik (mencuri dan merusak hak milik), bidang seks, dan hubungan dengan orang lain (menyerang dengan tiba-tiba dan berkelahi).Dari beberapa pendapat ahli tersebut mengenai perilaku agresif, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif merupakan salah satu bentuk perilaku sosial yang menyimpang karena perilaku agresif adalah suatu tindakan dengan maksud melukai atau menyakiti orang lain dengan sengaja. Sehingga agresifitas juga dapat dikatakan sebagai bentuk perilaku yang dapat merugikan orang lain.

2.2.2 Teori-Teori Agresifitas a. Teori Bawaan Teori bawaan atau bakat terdiri atas teori naluri dan teori biologi. 1. Teori Naluri Freud (dalam Suryabrata, 2008) dalam teori psikoanalisis klasiknya mengemukakan bahwa agresif adalah satu dari dua naluri dasar manusia. Kedua naluri tersebut berada dalam alam ketidaksadaran, khususnya pada bagian dari kepribadian yang disebut id yang pada prinsipnya selaku ingin agar kemauannya dituruti (prinsip kesenangan atau pleasure principle). Akan tetapi, tidak semua keinginan id dapat terpenuhi. Kendalinya terletak pada bagian lain dari kepribadian yang dinamakan super-ego yang mewakili norma-norma yang ada dalam masyarakat dan ego yang berhadapan dengan kenyataan. 2. Teori Biologi Moyer (dalam Sarwono, 2010) berpendapat bahwa perilaku agresif ditentukan oleh proses tertentu yang terjadi di otak dan susunan syaraf pusat. Demikian pula hormon laki-laki (testoteron) dipercaya sebagai pembawa sifat agresif. b. Teori Belajar Sosial Berbeda dari teori bawaan dan teori frustasi agresif yang menekankan faktor-faktor dorongan dari dalam, teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor tarikan dari luar. Bandura (dalam Sarwono, 2010) mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa.

2.2.3 Bentuk-Bentuk Perilaku Agresif Setiap manusia memiliki kecenderungan untuk bertingkah laku agresif, namun manifestasi dan tingkah laku agresif tersebut akan berbeda pada individu yang satu dengan individu yang lainnya. Perasaan agresif adalah keadaan internal dalam diri individu yang tidak dapat diamati secara langsung. Ketika perasaan ini muncul dan tidak dicegah atau malah mendapat penguatan, maka akan timbul dorongan bagi individu untuk melakukan tindakan agresi.Secara umum, telah diketahui bahwa tingkah laku agresif mempunyai ciri-ciri dan bentuk serta tujuan, seperti yang dikemukakan Breakwell (2008: 19), hal tersebutlah yang dibedakan dalam dua macam, yaitu instrumental aggression dan hostile aggression. Hostille Aggression disebut juga sebagai agresi emosional yang bertujuan untuk menyakiti orang lain karena seseorang tersinggung sehingga berusaha menyakiti atau melukai orang lain yang meliputi penyerangan fisik seperti memukul, menendang, mengekang, dan melempar. Instrument Aggression merupakan bentuk perilaku agresif yang merupakan sarana menuju suatu tujuan yang lain seperti menjambret barang dari orang lain dan pelaku (agresor) hanya tertarik dengan barang dari orang tersebut bukan melukai atau mendominasi orang lain (Breakwell, 2008: 19).Bentuk-Bentuk agresif lainnya dikemukakan oleh Buss dan Perry (Sarwono, 2010: 297) yang mengelompokkan perilaku agresif menjadi 4 kategori, yaitu: 1. Physical Aggression (PA) Merupakan agresi overt (terlihat). Tendensi individu melakukan serangan secara fisik untuk mengekspresikan kemarahan atau agresi. Bentuk serangan fisik tersebut seperti mendorong, memukul, mencubit, menendang, dan lainnya.

2. Verbal Aggression (VA) Tendensi menyerang orang lain atau memberikan stimulus yang merugikan dan menyakitkan secara verbal, melalui kata-kata atau penolakan. Bentuk serangan verbal tersebut meliputi cacian, makian, mengumpat, penolakan. 3. Anger (A) Perasaan marah, kesal, sebal, dan bagaimana cara mengontrol hal tersebut. Termasuk didalamnya adalah irritability , yaitu mengenai tempramental, kecenderungan untuk cepat marah, dan kesulitan mengendalikan amarah. 4. Hostility (H) Tergolong perilaku covert (tidak terlihat). Hostility terdiri dari dua bagian, yaitu resenment yaitu perasaan iri dan cemburu terhadap orang lain, dan supicion seperti adanya ketidakpercayaan, kekhawatiran, dan proyeksi dari rasa permusuhan terhadap orang lain.Jadi dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk perilaku agresif pada remaja adalah perilaku menyerang secara fisik, seperti memukul, mendorong, menggigit, meninju, melempar, perilaku secara verbal, seperti mengancam, memburuk-burukkan orang lain, dan menggunakan kata-kata kasar, penyerangan terhadap suatu objek, dan pelanggaran terhadap hak milik orang lain. 2.2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku AgresifSecara garis besar beberapa ahli memandang bahwa faktorfaktor penyebab timbulnya perilaku agresif ada dua faktor, yaitu:

a. Faktor Internal 1. HormonKetika bahaya atau ancaman dirasakan, kelenjar-kelenjar adrenal dipicu oleh hypothalamus dalam otak untuk memasukkan suatu bahan kimia yang disebut adrenalin ke dalam aliran darah. Menurut teori biologi, hormon testosteron pada laki-laki dipercaya sebagai pembawa sifat agresif. Hal tersebut juga dinyatakan oleh tim American Psychological Association (Sarwono, 2012: 303) bahwa kenakalan remaja seperti tawuran lebih banyak terdapat pada remaja laki-laki.2. FrustasiFrustasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan sehingga menyebabkan individu marah dan akibatnya menjadi frustasi (Sears, dkk, 2006)3. StressStres dapat memicu munculnya sikap agresif antara lain karena kepadatan penduduk, ketidakbebasan irama kehidupan rutin atau monoton (Koeswara, 2009).b. Faktor Eksternal1.FaktorKeluargaFaktor keluarga yang dapat menyebabkan anak berperilaku agresif yaitu pola asuh orang tua yang salah. Pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan. Pengasuhan ini berarti orang tua mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan serta melindungi anak untuk mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku, dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, dan ditiru oleh anaknya yang kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya dan kemudian menjadi kebiasaan pula bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum mengadakan identifikasi dengan orang lain.2.FaktorSekolahBeberapa anak dapat mengalami masalah emosi atau perilaku sebelum mereka mulai masuk sekolah, sedangkan beberapa anak yang lainnya tampak mulai menunjukkan perilaku agresif ketika mulai bersekolah. Faktor sekolah yang berpengaruh antara lain: 1) teman sebaya, lingkungan sosial sekolah, 2) para guru, dan 3) disiplin sekolah.3.FaktorBudayaPengaruh budaya yang negatif mempengaruhi pikiran melalui penayangan kekerasan yang ditampilkan di media, terutama televisi dan film. Menurut Bandura (dalam Masykouri, 2005: 12.10) mengungkapkan beberapa akibat penayangan kekerasan di media, sebagai berikut.a) Mengajari anak dengan tipeperilaku agresifdan ide umum bahwa segala masalah dapat diatasi dengan perilaku agresif.b) Anda menyaksikan bahwa kekerasan bisa mematahkan rintangan terhadap kekerasan dan perilaku agresif, sehingga perilaku agresif tampak lumrah dan bisa diterima.c) Menjadi tidak sensitif dan terbiasa dengan kekerasan dan penderitaan (menumpulkan empati dan kepekaan sosial).d) Membentuk citra manusia tentang kenyataan dan cenderung menganggap dunia sebagai tempat yang tidak aman untuk hidup.Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku agresif pada anak adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari hormon, frustasi, serta stres. Faktor eksternal terdiri dari suasana keluarga yang tidak sehat, interaksi teman sebaya. 2.2.5 Dampak Perilaku Agresif Dampak utama dari perilaku agresif ini adalah anak tidak mampu berteman dengan anak lain atau bermain dengan temantemannya. Keadaan ini menciptakan lingkungan yang kurang baik karena anak tidak diterima oleh teman-temannya, maka makin menjadilah perilaku agresif yang ditampilkannya. Maka dari itu kita harus mengetahui faktor penyebab anak berperilaku agresif. Perilaku agresif biasanya ditunjukkan untuk menyerang, menyakiti atau melawan orang lain, baik secara fisik maupun verbal. Hal itu bisa berbentuk pukulan, tendangan, dan perilaku fisik lainnya, atau berbentuk cercaan, makian/ejekan, bantahan, dan semacamnya. Perilaku agresif dianggap sebagai suatu gangguan perilaku bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Bentuk perilaku luar biasa, bukan hanya berbeda sedikit dari perilaku yang biasa. Misalnya, memukul itu termasuk perilaku yang biasa, tetapi bila setiap kali ungkapan tidak setuju dinyatakan dengan memukul, maka perilaku tersebut dapat diindikasikan sebagai perilaku agresif atau bila memukulnya menggunakan alat yang tidak wajar misalnya memukul dengan menggunakan tempat minuman. b. Masalah ini bersifat kronis artinya perilaku ini bersifat menetap, terus-menerus, dan tidak menghilang dengan sendirinya. c. Perilaku tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan norma sosial atau budaya. Untuk dapat mengetahui anak yang berperilaku negatif kita dapat mengenali gejala serta karakteristik anak yang berperilaku agresif. Perilaku agresif dapat ditampilkan oleh anak individu (Agresif Tipe Soliter) maupun secara berkelompok (Agresif Tipe Group). Pada perilaku agresif yang dilakukan berkelompok/group, biasanya ada anak yang merupakan ketua kelompok dan memerintahkan temanteman sekelompoknya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Pada tipe ini biasanya anak-anak yang bergabung mempunyai masalah yang hampir sama lalu memberikan kesempatan pada salah satu anak untuk menjadi ketua kelompok. Pada tipe ini sering terjadi perilaku agresif dalam bentuk fisik. Sedangkan pada tipe soliter, perilaku agresif dapat berupa fisik maupun verbal, biasanya dimulai oleh seseorang yang bukan bagian dari tindakan kelompok. Tidak ada usaha si anak untuk menyembunyikan perilaku tersebut. Anak tipe ini sering kali menjauhkan diri dari orang lain sehingga lingkungan juga menolak keberadaannya. Tidak jarang anak-anak ini, baik secara individual atau berkelompok, membuat anak lain mengikuti kemauan mereka dengan cara-cara yang agresif. Akibatnya ada anak atau sekelompok anak yang menjadi korban dari anak lain yang berperilaku agresif.2.2.6 Upaya Yang Dilakukan Dalam Mengurangi Perilaku AgresifMenurut Rahman (2013), pelatihan metode yang efektif dalam mengatasi konflik secara berkesinambungan merupakan hal yang utama dan bermanfaat bagi anak yang agresif.a. Menciptakan lingkungan nonagresifJika kita bermaksud untuk mengurangi timbulnya perilaku agresif pada anak, maka kita harus membebaskan lingkungan sekitar dari perilaku-perilaku agresif, menghilangkan rangsangan-rangsangan yang dapat menumbuhkan perilaku agresif. Misalnya dengan menghilangkan tontonan, bacaan, yang memperlihatkan kekerasan, keberutalan, kesadisan dsb, terutama film-film adegan-adengan yang ada pada TV, komik, dan bacaan lainnya.b. Mengembangkan sikap empatiAnak-anak prasekolah dan individu sangat agresif lain bisa tidak berempati dengan korban-korban mereka. Mereka mungkin tidak merasa menderita walaupun merugikan orang lain (berperilaku agresif).Kita dapat membantu mengembangkan sikap empati mereka melalui contoh kegiatan, seperti:1) Menunjukan konsekuensi-konsekuensi yang berbahaya dari tindakan-tindakan anak yang agresif,2) Menempatkan anak di tempat kejadian korban dan membayangkan bagaimana rasanya menjadi korbanc. HukumanApabila pendekatan-pendekatan di atas tidak efektif, maka dapat dilakukan dengan memberi hukuman yang bersifat mendidik dan manusiawi. Adapun pedoman yang harus dijadikan acuan apabila memberi hukuman yaitu:1) Gunakan hukuman hanya setelah metode koreksi positif telah gagal dan ketika membiarkan perilaku tersebut berlanjut akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi negatif yang lebih serius daripada tingkat hukuman yang dilakukan.2) Hukuman harus digunakan hanya oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dan penuh kasih sayang terhadap anak ketika tingkah lakunya dapat diterima dan yang menawarkan banyak dukungan positif untuk perilaku non-agresif.3) Menghukum seperti apa adanya, tanpa kejengkelan, ancaman, atau melanggar moral.4) Hukuman harus bersifat adil, konsisten dan segera.5) Hukuman harus intens secara akal dan proporsional.6) Bila memungkinkan, hukuman harus melibatkan biaya respons (kehilangan hak-hak istimewa atau hadiah atau menarik diri dari perhatian) daripada perlakuan permusuhan.7) Bila memungkinkan, hukumannya harus terkait langsung dengan perilaku agresif, memungkinkan anak untuk membuat restitusi, dan/atau mempraktekkan perilaku alternatif yang lebih adaptif.8) Jangan langsung memberikan penguatan positif segera setelah hukuman, anak mungkin belajar berperilaku agresif kemudian menanggung hukuman untuk mendapatkan dukungan.9) Menghentikan hukuman jika tidak segera efektif.

2.3 Konsep Dasar Remaja2.3.1 PengertianMasa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan sosial. Remaja sering kali didefinisikan sebagai periode transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa, atau masa usia belasan tahun, atau seseorang yang menunjukkan tingkah laku tertentu seperti susah diatur, mudah tersinggung perasaannya dan sebagainya.Menurut Heri Purwanto (2006), masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa.Menurut Arif Gunawan (2010), masa remaja merupakan sebuah periode dalam kehidupan manusia yang batasannya usia maupun peranannya seringkali tidak terlalu jelas. Pubertas yang dahulu dianggap sebagai tanda awal keremajaan ternyata tidak lagi valid sebagai patokan atau batasan untuk pengkategorian remaja.

2.3.2 Tingkat perkembangan masa remajaMenurut Heri Purwanto (2006) tingkat-tingkat perkembangan masa remaja dapat dibagi dengan berbagai cara. Salah satu pembagian yang dilakukan oleh Stolz adalah sebagai berikut :1. Masa prapuber : satu atau dua tahun sebelum masa remaja yang sesungguhnya. Anak menjadi gemuk, pertumbuhan tinggi badan terhambat sementara.2. Masa puber atau masa remaja : perubahan-perubahan sangat nyata dan cepat. Anak wanita lebih cepat memasuki masa ini daripada pria. Masa ini lamanya berkisar antara 2,5 3,5 tahun.3. Masa postpuber : pertumbuhan yang cepat sudah berlalu, tetapi perubahan-perubahan tetap berlangsung pada beberapa bagian badan.4. Masa akhir puber : melanjutkan perkembangan sampai mencapai tanda-tanda kedewasaan.2.3.3 Karakteristik masa remajaMenurut Arif Gunawan (2010), masa remaja ini memiliki karakteristik yang khas jika dibanding dengan periode-periode perkembangan lainnya. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :1. Masa remaja adalah periode yang penting.Periode ini dianggap masa penting karena memiliki dampak langsung dan dampak jangka panjang dari apa yang terjadi pada masa ini. Selain itu, periode ini pun memiliki dampak penting terhadap perkembangan fisik dan psikologi individu, dimana terjadi perkembangan fisik dan psikologi yang cepat. Kondisi inilah yang menuntut individu untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan melihat pentingnya menetapkan suatu sikap, nilai-nilai, dan minat yang baru.2. Masa remaja adalah masa peralihan.Periode ini menuntut seorang anak untuk meninggalkan sifat-sifat kekanak-kanakannya dan harus mempelajari pola-pola perilaku dan sikap-sikap baru untuk menggantikan dan meninggalkan pola-pola perilaku sebelumnya. Selama peralihan dalam periode ini, seringkali seseorang merasa bingung dan tidak jelas mengenai perang yang dituntut oleh lingkungan. Misalnya, pada saat individu menampilkan perilaku anak-anak maka mereka akan diminta untuk berperilaku sesuai dengan usianya, namun pada kebalikannya jika individu mencoba untuk berperilaku seperti orang dewasa sering dikatakan bahwa mereka berperilaku terlalu dewasa untuk usianya.3. Masa remaja adalah periode perubahan.Perubahan yang terjadi pada periode ini berlangsung secara cepat, perubahan fisik yang cepat membawa konsekuensi terjadinya perubahan sikap dan perilaku yang juga cepat. Terdapat karakteristik perubahan yang khas dalam periode ini yaitu:a. Peningkatan emosionalitas.b. Perubahan cepat yang menyertai kematangan seksual.c. Perubahan tubuh, minat dan peran yang dituntut oleh lingkungan yang menimbulkan masalah baru.d. Karena perubahan minat dan pola perilaku maka terjadi pula perubahan nilai, dane. Kebanyakan remaja merasa ambivalent terhadap perubahan yang terjadi.4. Masa remaja adalah usia bermasalah.Pada periode ini membawa masalah yang sulit untuk ditangani baik bagi anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan oleh dua alasan yaitu : pertama, pada saat anak-anak paling tidak sebagian masalah diselesaikan oleh orang tua atau guru, sedangkan sekarang individu dituntut untuk bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Kedua, karena mereka dituntut untuk mandiri maka seringkali menolak untuk dibantu oleh orang tua atau guru, sehingga menimbulkan kegagalan dalam menyelesaikan persoalan tersebut.5. Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri.Pada periode ini, konformitas terhadap kelompok sebaya memiliki peran penting bagi remaja. Mereka mencoba mencari identitas diri dengan berpakaian, berbicara, dan berperilaku sebisa mungkin sama dengan kelompoknya. Salah satu cara remaja untuk meyakinkan dirinya yaitu dengan menggunakan simbol status, seperti mobil, pakaian dan benda-benda lainnya yang dapat dilihat oleh orang lain.6. Masa remaja adalah usia yang ditakutkan.Masa remaja ini seringkali ditakuti oleh individu itu sendiri dan lingkungan. Gambaran-gambaran negatif yang ada dibenak masyarakat mengenai perilaku remaja mempengaruhi cara mereka berinteraksi dengan remaja. Hal ini membuat para remaja merasa takut untuk menjalankan perannya dan enggan meminta bantuan orang tua ataupun guru untuk memecahkan masalahnya.7. Masa remaja adalah masa yang tidak realistis.Remaja memiliki kecenderungan untuk melihat hidup secara kurang realistis, mereka memandang dirinya dan orang lain sebagaimana mereka inginkan dan bukannya sebagai ia sendiri. Hal ini terutama terlihat pada aspirasinya, aspirasi yang tidak realistis ini tidak sekedar untuk dirinya sendiri namunbagi keluarga dan teman. Semakin tidak realistis aspirasi mereka maka akan semakin marah dan kecewa apabila aspirasi tersebut tidak dapat mereka capai.8. Masa remaja adalah ambang dari masa dewasa.Pada saat remaja mendekati masa dimana mereka dianggap dewasa secara hukum, mereka merasa cemas dengan stereotype remaja dan menciptakan impresi bahwa mereka sudah dewasa. Mereka merasa bahwa berpakaian dan berperilaku seperti orang dewasa seringkali tidak cukup, sehingga mereka mulai untuk memperhatikan perilaku atau simbol yang berhubungan dengan status orang dewasa seperti merokok. 2.3.4 Tugas perkembangan remajaMenurut Karima (2011), setiap tahapan usia seseorang, selalu melewati tahap tugas-tugas perkembangannya.Bila seseorang gagal melewati tugas perkembangan pada usia yang sebenarnya (sesuai dengan usia kalendernya), maka pada tahap perkembangan berikutnya akan terjadi suatu masalah pada diri seseorang tersebut. Untuk mengenal lebih jauh tentang kepribadian remaja perlu diketahui tugas-tugas perkembangannya. Tugas-tugas perkembangan tersebut antara lain:1. Remaja dapat menerima keadaan fisiknya dan dapat memanfaatkannya secara efektif.Sebagian besar remaja tidak dapat menerima keadaan fisiknya. Hal tersebut terlihat dari penampilan remaja yang cenderung meniru penampilan orang lain atau tokoh tertentu. Misalnya si Ani merasa kulitnya tidak putih seperti bintang film, maka Ani akan berusaha sekuat tenaga untuk memutihkan kulitnya. Perilaku Ani yang demikian tentu menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri dan orang lain. Mungkin Ani akan selalu menolak bila diajak ke pesta oleh temannya sehingga lama-kelamaan Ani tidak memiliki teman, dan sebagainya.2. Remaja dapat memperoleh kebebasan emosional dari orangtua.Usaha remaja untuk memperoleh kebebasan emosional sering disertai perilaku "pemberontakan" dan melawan keinginan orangtua. Bila tugas perkembangan ini sering menimbulkan pertentangan dalam keluarga dan tidak dapat diselesaikan di rumah , maka remaja akan mencari jalan keluar dan ketenangan di luar rumah. Tentu saja hal tersebut akan membuat remaja memiliki kebebasan emosional dari luar orangtua sehingga remaja justru lebih percaya pada teman-temannya yang senasib dengannya. Jika orangtua tidak menyadari akan pentingnya tugas perkembangan ini, maka remaja Anda dalam kesulitan besar.

3. Remaja mampu bergaul lebih matang dengan kedua jenis kelamin.Pada masa remaja, remaja sudah seharusnya menyadari akan pentingnya pergaulan. Remaja yang menyadari akan tugas perkembangan yang harus dilaluinya adalah mampu bergaul dengan kedua jenis kelamin maka termasuk remaja yang sukses memasuki tahap perkembangan ini. Ada sebagaian besar remaja yang tetap tidak berani bergaul dengan lawan jenisnya sampai akhir usia remaja. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakmatangan dalam tugas perkembangan remaja tersebut.4. Mengetahui dan menerima kemampuan sendiri.Banyak remaja yang belum mengetahui kemampuannya. Bila remaja ditanya mengenai kelebihan dan kekurangannya pasti mereka akan lebih cepat menjawab tentang kekurangan yang dimilikinya dibandingkan dengan kelebihan yang dimilikinya. Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja tersebut belum mengenal kemampuan dirinya sendiri. Bila hal tersebut tidak diselesaikan pada masa remaja ini tentu saja akan menjadi masalah untuk tugas perkembangan selanjutnya (masa dewasa atau bahkan sampai tua sekalipun).5. Memperkuat penguasaan diri atas dasar skala nilai dan norma.Skala nilai dan norma biasanya diperoleh remaja melalui proses identifikasi dengan orang yang dikaguminya terutama dari tokoh masyarakat maupun dari bintang-bintang yang dikaguminya. Dari skala nilai dan norma yang diperolehnya akan membentuk suatu konsep mengenai harus menjadi seperti siapakah "aku" ?, sehingga hal tersebut dijadikan pegangan dalam mengendalikan gejolak dorongan dalam dirinya.Menurut Soetjiningsih (2010), mengemukakan tugas-tugas perkembangan remaja itu sebagai berikut:1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa.2. Memperoleh peranan sosial.3. Menerima keadaan tubuhnya dan menggunakan secara efektif.4. Memperoleh kebebasan emosional dari orang tua.5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri.6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga.8. Mengembangkan dan membentuk konsep-konsep moral.

2.4 Konsep Dasar Single Parent2.4.1 PengertianSingle ParentMenurutHurlock (dikutip dalamPsychologymania, 2013), Single parentadalah orangtua yang telah menduda atau menjanda entah bapak atau ibu, mengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara anak-anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah. (Para. 2) Sedangkan menurutHammer & Turner (dikutip dalamPsychologymania, 2013, para. 3), A single parent family consist of one parent with dependent children living in the same household.Sejalan dengan pengertian menurut Sager et al. single parentadalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya. (Psychologymania, 2013). Kesimpulannya,single parentadalah keluarga dengan hanya satu ayah atau satu ibu saja, secara sendirian membesarkan anak, memelihara, mempertahankan dan bertanggung jawab atas rumah tangganya sendiri.2.4.2 PenyebabSingle Parent1. Pada keluarga Saha. Perceraian.Adanya ketidakharmonisan dalam kelurga yang disebabkan adanya perbedaan persepsi atau perselisihan yang tidak mungkin ada jalan keluar, masalahekonomi / pekerjaan, salah satu pasangan selingkuh, kematangan emosional yangkurang, perbedaan agama, aktifitas suami istri yang tinggi di luar rumah sehingga kurang komunikasi, problem seksual dapat merupakan faktor timbulnya perceraian.b. Orang Tua Meninggal.Takdir hidup dan mati manusia di tangan Tuhan. Manusiahanya bisa berdoa dan berupaya. Adapun sebab kematian ada berbagai macam. Antaralain karena kecelakaan, bunuh diri, pembunuhan, musibah bencana alam, kecelakaankerja, keracunan, penyakit dan lain-lain.c. Orang Tua Masuk Penjara.Sebab masuk penjara antara lain karena melakukan tindak kriminal seperti perampokan, pembunuhan, pencurian, pengedar narkoba atau tindak perdata seperti hutang, jual beli, atau karena tindak pidana korupsi sehingga sekian lama tindak berkumpul dengan keluarga.

d. Study ke Pulau lain atau ke Negara Lain.Tuntutan profesi orang tua untuk melanjutkan study sebagai peserta tugas belajar mengakibatkan harus berpisah dengan keluarga untuk sementara waktu, atau bisa terjadi seorang anak yang meneruskan pendidikan di pulau lain atau luar negeri dan hanya bersama ibu saja sehingga menyebabkan anak untuk sekian lama tidak didampingi oleh ayahnya yang harus tetap kerja di negara atau pulau atau kota kelahiran.e. Kerja di Luar Daerah atau Luar Negeri.Cita-cita untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik lagi menyebabkan salah satu orang tua meninggalkan daerah, terkadang ke luar negeri.2. Pada Keluarga Tidak SahDapat terjadi pada kasus kehamilan di luar nikah, pria yang menghamili tidak bertanggung jawab. Rayuan manis saat pacaran menyebabkan perempuan terbuai dan terpedaya pada sang pacar. Setelah hamil, tidak dikawini, dan ditinggal pergi sehingga perempuan membesarkan anaknya sendirian. Kasus yang lain pada perempuan korbanperkosaan yang akhirnya menerima kehamilannya ataupun perempuan WTS yang mempunyai anak menyebabkan anak tidak pernah mengenal dan mendapatkan kasih ayah.2.4.3 DampakSingle Parentterhadap Perkembangan Psikososial AnakPeran orang tua sangatcrucialdalam perkembangan psikososial anak. Baik sosok ayah maupun sosok ibu, dua-duanya sama pentingnya. Struktur keluargasingle parentyang berbeda dari keluarga pada umumnya, tentunya menimbulkan dampak-dampak baik yang positif ataupun negatif bagi perkembangan anak.Dampak negatif.Terdapat tiga dampak negatif dari peransingle parentterhadap perkembangan psikososial anak. Tiga dampak negative tersebut adalaha. Perubahan perilaku anak.Children of divorce when compared to those of intact families, have higher rates of emotional and behavioral problems, higher rates of delinquency for boys, and higher levels of anxiety and depression among preschool children(Reiss & Lee, dikutip dalam Feltey, 2006). Sifat nakal, tidak sopan dan depresi dapat terjadi karena kurangnya waktu orang tua dengan anaknya untuk menanamkan adat istiadat atau meluangkan waktu bersama untuk bertukar pikiran. (Efek Negatif dari Single Parent, 2014)b. Terganggunya fungsi sosial anak.Tentunya dalam lingkungan masyarakat, baik lingkungan tempat tinggal ataupun sekolah, status orang tua tidak benar-benar bisa disembunyikan. Maka besar kemungkinan terjadi adanya cemooh ataupun ejekan dari teman-teman ataupun tetangga-tetangga. Bahkan bisa berujung pada bullying yang akhirnya merusak mental si anak, menjadi kurang percaya diri atau minder, mudah depresi dan kurang interaksi dengan lingkungan sekitar. (Efek Negatif dari Single Parent, 2014)

c. Tersesat figuritas.Figur seorang ayah penting bagi anak perempuan dan figure seorang ibu juga penting bagi anak laki-laki. Sebagai contoh, anak laki-laki mempelajari peran ayah dari ibunya atau wanita lain, yang mampu berakibat buruk. Misalnya, si anak laki-laki menjadi kewanita-wanitaan atau lembut gemulai seperti ibunya, bisa juga karena tidak terbiasa dengan hadirnya laki-laki, si anak menjadi takut atau membenci laki-laki.(Efek Negatif dari Single Parent, 2014).Dampak positif.Terdapat tiga dampak positif dari peransingle parentterhadap perkembangan psikososial anak. Dua dampak positif tersebut adalaha. Anak terhindar dari pertengkaran orang tua.Menonton pertengkaran orang tua mampu menganggu kondisi mental seorang anak, apalagi pertengkarang yang rutin dilakukan. Anak darisingle parenttidak perlu melalui moment-moment buruk seperti ini.b. Anak menjadi lebih mandiri dan memiliki kepribadian kuat.Single parentakan lebih sering menyibukkan diri untuk bekerja mencari nafkah daripada mengurusi anaknya di rumah. Sehingga si anak sudah terbiasa untuk melakukan segalanya serba sendiri, tanpa harus didampingi. Sikap mandiri ini akan memudahkan pribadi si anak untuk kedepannya, yaitu lebih siap untuk mengarungi dunia luar yang keras.

2.5 Kerangka KonseptualKerangka konseptual adalah penyusunan kerangka konsep yang akan membantu kita untuk membuat hipotesis, menguji hubungan tertentu, dan membantu peneliti dalam menghubungkan hasil penemuan dengan teori yang hanya dapat diamati atau diukur melalui konstruk atau variabel (Nursalam, 2008)Faktor Internal1. Hormon2. Frustasi3. Stress

Faktor Eksternal1. Faktor Keluarga

2. Faktor Sekolaha. Teman sebayab. Para guruc. Disiplin sekolah3. Faktor Budaya

Perilaku Agresif pada Remaja

a. Pola asuh orang tua

Keterangan :: Diteliti

: Tidak diteliti: Arah hubungan

Gambar 2.1 Kerangka konsep pola asuh orang tua terhadap perilaku agresif remaja pada keluarga single paent di SMA Negeri 5 Pamekasan Tahun 2015

2.6 HipotesisHipotesis merupakan jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini hipotesisnya adalahH0 : Tidak ada pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku agresivitas remaja pada keluarga single parent.H1 : Ada pengaruh pola asuh orang tua terhadap perilaku agresivitas remaja pada keluarga single parent.