BAB II

13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsumsi Garam dan Natrium Pada penelitian yang dilakukan INTERSALT tentang konsumsi garam dan tekanan darah, rata-rata konsumsi garam pada 32 negara sekitar 9,9 gr/hari (INTERSALT, 1988). Konsumsi garam bervariasi mulai dari 0,1 gr/hari di Yanamano, Brazil sampai 15 gr/hari di Tianjin, China. Di Negara berkembang, rata-rata konsumsi garam berkisar antara 9-12 gr/hari (He dan MacGregor, 2003) dan meningkat hingga 80% untuk garam yang berasal dari makanan olahan. Di Kanada, lebih dari setengah dari total asupan garam berasal dari sepuluh kelompok makanan olahan yang sering dikonsumsi (Gambar 1).

description

bab 2

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsumsi Garam dan Natrium

Pada penelitian yang dilakukan INTERSALT tentang konsumsi garam dan

tekanan darah, rata-rata konsumsi garam pada 32 negara sekitar 9,9 gr/hari

(INTERSALT, 1988). Konsumsi garam bervariasi mulai dari 0,1 gr/hari di Yanamano,

Brazil sampai 15 gr/hari di Tianjin, China. Di Negara berkembang, rata-rata

konsumsi garam berkisar antara 9-12 gr/hari (He dan MacGregor, 2003) dan

meningkat hingga 80% untuk garam yang berasal dari makanan olahan. Di Kanada,

lebih dari setengah dari total asupan garam berasal dari sepuluh kelompok makanan

olahan yang sering dikonsumsi (Gambar 1).

Gambar 1. Sumber utama asupan natrium yang berasal dari makanan olahan di Kanada (James, 1987)

Page 2: BAB II

Telah terbukti bahwa konsumsi garam yang tinggi dan tekanan darah

berhubungan dengan natrium. Sumber utama natrium berasal dari garam (NaCl).

Natrium dan garam sering diartikan sama, tetapi sebenarnya kandungan garam

tersiri dari 40% natrium dan 60% klorida, 1 gr natrium sama dengan 2,55 gr garam, 1

mmol natrium sama dengan 23 mg sodium, dan 1 gr garam sama dengan 17 mmol

natrium (Tabel 1) (Scientific Advisory Committee on Nutrition, 2003; Mohan dan

Campbell, 2009).

Natrium merupakan kation utama dalam cairan ekstraseluler yang berperan

penting dalam mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Natrium dibutuhkan

untuk mempertahankan cairan ekstraseluler dan volum plasma, transmisi impuls

saraf dan fungsi sel, keseimbangan asam dan basa, serta tekanan onkotik.

Sebagian besar fungsi dari natrium berkaitan dengan kalium (Holbrook et al, 1984;

Scientific Advisory Committee on Nutrition, 2003; Adrogue dan Madias, 2007). Saat

terpapar panas dan dalam kondisi lembab, individu hanya kehilangan sejumlah kecil

natrium melalui keringat, sedangkan saat kondisi panas yang ekstrim atau banyak

aktivitas fisik menyebabkan produksi keringat yang tinggi sehingga ekskresi natrium

melalui keringat juga meningkat. Individu dapat mengganti kebutuhan natrium

melalui konsumsi makanan tanpa perubahan diet atau suplemen (Fukumoto et al,

1988; Sawka et al, 2000).

2.1.1 Monitoring Konsumsi Garam

Pengkajian asupan garam pada populasi penting untuk memonitoring

keefektifan dari salt reduction initiatives. Metode yang dilakukan untuk pengkajian

tersebut dengan cara (a) memperkirakan asupan garam dengan menghitung

makanan yang dikonsumsi (b) memperkirakan kandungan garam pada makanan

Page 3: BAB II

sebelum dikonsumsi, dan (c) mengukur ekskresi natrium urin 24 jam. Ekskresi

natrium urin 24 jam merupakan metode gold standard (WHO, 2007), tetapi metode

tersebut tidak bisa memprediksi secara akurat saat digunakan untuk mengkaji

asupan garam harian pada individu. (Mohan dan Campbell, 2009).

2.1.2 Pedoman dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat tentang Penurunan

Konsumsi Garam

Dengan adanya peningkatan konsumsi garam yang diiringi dengan semakin

beratnya hipertensi dan penyakit kardiovaskular, World Health Organization (WHO)

merekomendasikan asupan garam kurang dari 5 gr/hari (WHO, 2007). Beberapa

negara telah mengembangkan sendiri pedoman tentang diet natrium. Di Indonesia

berdasarkan data dari INASH, asupan garam (NaCl) kurang dari 5 gr/hari dan

asupan natrium kurang dari 2 gr/hari (Usfar dan Fahmida, 2011). Di Inggris

merekomendasikan asupan garam kurang dari 6 gr/hari untuk dewasa (Whelton et

al, 2002). Di fakultas kedokteran Amerika Serikat melaporkan sebanyak 3,75 gr/hari

garam sebagai asupan yang adekuat, dan 5,8 gr/hari merupakan tingkat maksimum

asupan garam yang dapat ditoleransi oleh sebagian besar orang dewasa (Institute of

Medicine, 2004). Dari UK Consensus Action on Salt and Health melaporkan bahwa

dengan mengurangi konsumsi garam sampai 3 gr/hari dapat menurunkan sepertiga

kasus stroke, dan seperempat kasus CHD serta dapat lebih menurunkan terjadinya

kasus penyakit kardiovaskular pada populasi (He et al, 2003).

Page 4: BAB II

2.2 Endotel

2.2.1 Endotelium pada Homeostasis Vaskular Normal

Dalam keadaan normal, endotelium mampu merespon sinyal fisik dan kimia

dengan cara memproduksi berbagai faktor yang mengatur tonus pembuluh darah,

adhesi selular, thromboresistance, proliferasi sel otot polos, dan inflamasi dinding

pembuluh darah. Endothelium mampu memproduksi dan melepas beberapa molekul

vasoaktif yang menyebabkan relaksasi maupun konstriksi pembuluh darah, serta

dengan merespon dan memodifikasi mediator vasoaktif yang ada dalam sirkulasi

seperti bradikinin dan trombin. Vasomotion berperan langsung dalam keseimbangan

suplai oksigen di jaringan dan kebutuhan metabolik melalui regulasi tonus dan

diameter vaskular, dan juga terlibat dalam remodeling struktur pembuluh darah dan

perfusi organ jangka panjang (Schechter, Gladwin, 2003).

Studi yang dilakukan oleh Furchgott dan Zawadzki (1980) menunjukkan

bahwa relaxing factor yang berasal dari endotelium adalah nitric oxide (NO)

(Deanfield, 2007). NO dihasilkan dari L-arginine melalui endothelial NO syntase

(eNOS) dengan adanya kofaktor seperti tetrahydrobiopterin. NO berdifusi ke sel-sel

otot polos vaskular, kemudian mengaktifkan guanylate cyclase dan menyebabkan

vasodilatasi yang diperantarai cGMP (Forstermann, et al, 2006). Shear stress

merupakan aktivator utama eNOS dalam fisiologi normal (Corson, 1996). Selain itu,

enzim ini dapat diaktifkan oleh molekul signaling seperti bradikinin, adenosin,

vascular endothelial growth factor (dalam merespon hipoksia), dan serotonin (yang

dilepaskan selama agregasi trombosit) (Govers, Rabelink, 2001).

Endotelium juga memediasi hyperpolarisasi sel otot polos pembuluh darah

melalui jalur NO-independent, yang meningkatkan konduktansi kalium dan propagasi

yang selanjutnya diikuti depolarisasi sel-sel otot polos vaskular, untuk menjaga tonus

Page 5: BAB II

vasodilator (Busse, et al, 2002). Faktor hiperpolarisasi yang berasal dari endotelium

yang terlibat dalam proses ini hanya sebagian yang telah diketahui (seperti

cytochrome-derived factor dan mungkin C-type natriuretikc peptide), dan mungkin

berbeda diantara pembuluh darah. Namun, diakui bahwa endothelium-derived

hyperpolarizing factor dapat mengkompensasi hilangnya tonus vasodilator yang

dimediasi oleh NO, khususnya pada mikrosirkulasi, hal tersebut tampaknya penting

ketika bioavailabilitas NO berkurang (Halcox, et al, 2001). Prostacyclin, yang berasal

dari aktivitas sistem cyclooxygenase, merupakan vasodilator lain yang dihasilkan

oleh endotelium yang aktivitasnya tidak bergantung pada NO (Moncada, et al, 1977).

Meskipun prostacyclin mungkin berkontribusi pada beberapa peran regulatory

endothelium, namun prostacyclin memiliki peran yang lebih terbatas dalam

mempertahankan tonus vasodilator pada manusia (Deanfield, 2007).

Endothelium memodulasi vasomotion (gerakan pembuluh darah), tidak hanya

dengan melepas substansi-substansi vasodilator, tetapi juga dengan meningkatkan

tonus konstriktor melalui endotelin dan prostanoids vasokonstriktor, serta melalui

konversi angiotensin I menjadi angiotensin II pada permukaan endotel (Kinlay, et al,

2001). Vasokonstriktor ini terutama bekerja secara lokal, tetapi juga dapat

menimbulkan beberapa efek sistemik dan berperan dalam regulasi struktur dan

remodeling arteri.

Pada fisiologi vaskular normal, NO berperan utama dalam menjaga dinding

vaskular dalam keadaan quiescent state dengan menghambat inflamasi, proliferasi

sel, dan trombosis. Hal ini sebagian dicapai melalui s-nitrosylation residu sistein

pada berbagai protein, yang mengurangi aktivitas biologisnya (Stamler, et al, 2001).

Protein target dari NO meliputi faktor transkripsi NFκB, cell cycle–controlling proteins

Page 6: BAB II

(Ghosh & Karin, 2002). Selanjutnya, NO membatasi fosforilasi oksidatif di

mitokondria (Moncada & Erusalimsky, 2002).

2.2.2 Cara Menilai Fungsi Endotel

Semakin berkembangnya pengetahuan tentang aspek biologis dari endotel

memicu perkembangan teknik pemeriksaan klinis untuk menilai fungsi dari endotel

normal maupun yang teraktivasi (Deanfield, et al., 2005). Teknik pemeriksaan fungsi

endotel secara umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu endothelial dependent

vasomotion dan pemeriksaan marker fungsi endotel.

a. Endothelial-dependent vasomotion

Endothelial dependent vasomotion merupakan teknik yang paling sering

digunakan untuk mengkaji fungsi endotel. Pemeriksaan meliputi stimulasi pelepasan

NO dan komponen vasoaktif lainnya oleh endotel, baik secara farmakologis dan/atau

fisiologis. Selain itu, endothelium-dependent dilator seperti nitroglycerin juga sering

digunakan untuk membandingkan respon vascular. Penentuan bioavailabilitas NO

tidak hanya menggambarkan pengaruhnya terhadap tonus vascular, tetapi juga

fungsi NO lainnya, seperti thromboregulation, adhesi sel, dan proliferasi.

Studi klinis pertama untuk menilai fungsi endotel dilakukan pada sirkulasi

koroner dengan injeksi acetylcholine, kemudian dilakukan pengukuran perubahan

diameter pembuluh darah yang terjadi dengan quantitative coronary angiography

(Deanfield, et al., 2007). Acetylcholine melepas NO dari pembuluh darah normal dan

mengakibatkan vasodilatasi, namun acetylcholine akan mengakibatkan

vasokonstriksi akibat respon dari sel otot polos muskarinik pada individu dengan

disfungsi endotel (Okumura, et al., 1992). Metode ini kemudian disempurnakan

Page 7: BAB II

menggunakan Doppler flow wires untuk mengukur resistensi fungsi pembuluh darah

(Drexler & Zeiher, 1991; Deanfield, 2007). Respon terhadap agonis endotel, seperti

substance P, adenosine, dan bradikinin juga diukur beserta respon fisiologis

terhadap cold-pressor dan flow mediated dilatation (FMD) pada proximal conduit

arteries. Selain itu, penggunaan antagonis NO spesifik, seperti L-NMMA

membuktikan bahwa NO berperan dalam respon vasomotor (Goodhart & Anderson,

1998).

Walaupun mengkaji sirkulasi koroner secara langsung, namun pemeriksaan-

pemeriksaan tersebut tidak dapat dilakukan pada beberapa pasien karena

prosedurnya yang dilakukan secara invasive. Oleh karena itu, Deanfield et al. (1992)

mengembangkan teknik noninvasive berbasis ultrasonografi untuk mengkaji fungsi

vascular pada sirkulasi sistemik (Gambar 2.1). Pada teknik ini, diameter arteri

brachial diukur sebelum dan sesudah terjadi shear stress yang diinduksi oleh

reactive hyperemia (FMD). FMD terutama terjadi akibat pelepasan NO secara lokal

(Joannides, et al., 1995).

Beberapa mekanisme mungkin mendasari peningkatan NO sebagai respon

terhadap perubahan shear stress. Perubahan yang sangat akut mungkin

diperantarai oleh peningkatan kalsium intraseluler yang terjadi ketika kanal ion

dalam keadaan terbuka. Setelah beberapa menit, shear stress menginduksi

fosforilasi eNOS melalui serine/threonine protein kinase, Akt/PKB, peningkatan

aktivitas eNOS, bahkan pada konsentrasi kalsium yang rendah. Hal ini penting

dalam pelepasan NO dalam jangka waktu lama. Selain itu, beberapa modifikasi post

translasi dari enzim ini (myristilation atau palmitoylation) atau interaksi dengan

caveolin dapat mempengaruhi lokalisasi intraseluler enzim ini, sehingga

mengganggu fungsinya. Setelah waktu yang lebih lama (beberapa menit atau jam),

Page 8: BAB II

terjadi aktivasi transkripsi gen eNOS. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan

pembentukan NO secara terus menerus jika shear stress tetap dalam level yang

tinggi (Corretti, et al., 2002).

Untuk mengukur FMD, manset sphygmomanometer dipasang pada bagian

distal arteri brachial, kemudian dikembangkan (dipompa) sampai 200 mmHg. Hal ini

menyebabkan iskemia dan dilatasi pembuluh darah melalui mekanisme

autoregulasi. Selanjutnya dikendurkan setelah 4-5 menit. Pengempisan manset

menginduksi terjadinya reactive hyperemia. Peningkatan shear stress menyebabkan

arteri brachial mengalami dilatasi. Respon arteri brachial terhadap FMD berkebalikan

dengan respon terhadap endothelium-independent dilator sublingual, yaitu

nitroglycerin (Celermajer, et al., 1992).

Gambar 2.1 FMD arteri brachial. (A) pemasangan alat untuk mengukur FMD, (B) pengukuran diameter arteri brachial secara terus menerus (gambaran end-diastolic diambil setiap 3 detik) sebelum, selama, dan setelah pemompaan dan pengenduran manset sphygmomanometer pada lengan, (C) hubungan FMD dengan faktor risiko koroner pada 500 pasien dewasa asimptomatik, (D) pengaruh diet dan olah raga terhadap FMD pada remaja China dengan berat badan berlebih (Deanfield, et al., 2007).

Page 9: BAB II

b. Pemeriksaan marker fungsi endotel

Fungsi endotel juga dapat diketahui dari kadar molekul-molekul yang berasal

dari endotel dalam sirkulasi. Molekul-molekul ini termasuk produk langsung dari

endotel yang mengalami perubahan ketika endotel teraktivasi, seperti NO, sitokin

inflamasi, molekul adhesi, regulator thrombosis, serta marker-marker kerusakan dan

perbaikan endotel.

Level nitries dan nitrosylated protein dalam sirkulasi dapat menggambarkan

produksi NO oleh endotel, namun sulit untuk diukur (Rassaf, et al., 2004). Selain itu,

level nitries dan nitrosylated protein yang terukur mungkin berasal dari sumber NO

selain endotel maupun asupan NO dari makanan. Asymmetric dimethylarginine

merupakan protein endogen yang bersifat kompetitif antagonis terhadap eNOS.

Kadarnya meningkat pada individu yang memiliki faktor risiko penyakit

kardiovaskular, seperti hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan kadar asymmetric

dimethylarginine berhubungan dengan penurunan bioavailabilitas NO baik pada

penelitian dengan hewan coba maupun studi klinis (Vallance & Leiper, 2004).

Peningkatan asymmetric dimethylarginine ini disebabkan oleh penurunan aktivitas

dimethylarginine dimethylaminohydrolase, yang sangat sensitive dengan keadaan

terganggunya reaksi redox seluler (Boger, et al., 2000). Pengukuran kadar

asymmetric dimethylarginine dapat digunakan untuk menilai fungsi endotel, namun

pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang besar (Deanfield, et al., 2007).