BAB II

46
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan tentang Mahasiswa 1. Mahasiswa Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di Universitas maupun insistut atau akademi, mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008). Sedangkan menurut Wingkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang usia dari 18 sampai dengan 19 tahun sampai 24 sampai dengan 25 tahun. Rentang usia ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18 sampai dengan 19 tahun sampai 20 sampai dengan 21 tahun yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan semester IV dan periode usia 21 sampai dengan 22 tahun sampai 24 sampai dengan 25 tahun yaitu dari mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII (Fadillah, 2013).

description

narkoba

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Mahasiswa

1. Mahasiswa

Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di

Universitas maupun insistut atau akademi, mereka yang terdaftar sebagai murid

di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008).

Sedangkan menurut Wingkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang usia dari

18 sampai dengan 19 tahun sampai 24 sampai dengan 25 tahun. Rentang usia

ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18 sampai dengan 19 tahun sampai 20

sampai dengan 21 tahun yaitu mahasiswa dari semester I sampai dengan

semester IV dan periode usia 21 sampai dengan 22 tahun sampai 24 sampai

dengan 25 tahun yaitu dari mahasiswa semester V sampai dengan semester VIII

(Fadillah, 2013).

Mahasiswa tergolong usia remaja akhir. Remaja adalah anak berusia 10-

19 tahun (Walker, 2002). Menurut Wong’s dan Hockenberry (2007) usia

remaja dibagi menjadi 3 fase yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja

menengah (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-20 tahun).

Wingkel (1997) mengatakan tugas perkembangan yang dihadapi

mahasiswa adalah pada dasarnya mahasiswa semester awal harus menyesuaikan

diri dengan pola kehidupan dikampus dan diluar kampus, baik yang

menyangkut hal-hal akademis maupun non akademis mahasiswa di semester

Page 2: BAB II

tinggi harus menentapkan diri dalam mengajar cita-cita di bidang studi

akademik di pekerjaan dan di bidang kehidupan. Beraneka kesulitan yang

timbul dapat di bagi atas dua kelompok kesulitan ini berpengaruh terhadap yang

lain kesulitan di bidang akademis misalnya: kurang menguasai cara belajar

mandiri, kurang mampu mengatur waktu yang baik, salah pilih program studi,

hubungan dengan dosen renggang atau jenuh. Sedangkan dibidang non

akademis misalnya: kesulitan menanggung biaya pendidikan. Kurang dalam

fasilitas belajar asupan makan yang kurang bergizi ketegangan dalam bergaul

dengan teman atau rasa bosan.

Kegagalan dalam beradaptasi terhadap perubahan fisik, emosional,

interlektual, spiritual dan ketidakefektifan mekanisme koping dapat memicu

remaja untuk berperilaku negative seperti merokok, alkohol, tawuran, seks

bebas bahkan penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).

Remaja akhir tidak lagi menerima pemikiran yang kaku, sederhana, dan

absolute yang diberikan kepada mereka tanpa bantahan. Remaja mulai

membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah popular berkenaan

dengan lingkungan mereka, misalnya politik, ekonomi, kemanusiaan dan

keadaan sosial (Potter dan Perry, 2005). Remaja mulai mempertanyakan

keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak

alternatifnya. Kondisi tersebut juga memicu stres, terutama pada mahasiswa

yang lebih sering terpapar masalah tersebut.

Page 3: BAB II

Kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan tuntutan akademik,

penundaan dalam penyelesaian tugas, prestasi akademik yang rendah dan

masalah kesehatan merupakan indikator bahwa terdapat gangguan psikologis

yang sering dialami mahasiswa. Gangguan psikologis tersebut erat kaitannya

dengan kehidupan akademik yang dialami oleh pelajar dimana seseorang

tersebut mencari ilmu pengetahuan.

2. Peran Teman Sebaya

Siswa SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan mahasiswa sesuai dengan usia

perkembangannya berada pada masa remaja. Pada masa ini, ketertarikan

dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini

antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat memahami

mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu kelompok yang

eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling memahami. Sebagian

(besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-masalah serius mereka

dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua, guru pembimbing atau

dosen pembimbing . Untuk masalah yang sangat seriuspun (misalnya,

hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah, dan keinginan melakukan

aborsi) mereka bicarakan dengan teman, bukan dengan orang tua atau guru

mereka. Kalaupun terdapat beberapa siswa yang akhirnya menceritakan

kehamilan atau hubungan seksual mereka kepada orang tua atau guru

pembimbing, biasanya karena sudah terpaksa (pembicaraan dan upaya

Page 4: BAB II

pemecahan masalah bersama teman sebaya mengalami jalan buntu). (Suwarjo,

2008).

Dalam segala segi remaja mengalami perubahan dan perubahan-

perubahan yang sangat cepat sering menimbulkan kegoncangan dan ketidak-

pastian. Goncangan dan ketidak pastian juga muncul dari lingkungan yang

sedang dan akan terus cepat berubah. Dalam menghadapi badai

perkembangan ("storm and stress"). Banyak remaja yang berhasil mengatasi

berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan dan berbagai kegagalan

sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih keberhasilan,

membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada akhirnya

berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar. Keeratan,

keterbukaan dan perasaan senasib yang muncul diantara sesama remaja dapat

menjadi peluang bagi upaya fasilitasi perkembangan remaja.

Tidak diragukan lagi bahwa keluarga merupakan salah satu konteks

sosial yang penting bagi perkembangan individu. Meskipun demikian

perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam

konteks sosial yang lain seperti relasi dengan teman sebaya. Laursen (2005)

menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen

dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen

seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan

teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).

Page 5: BAB II

Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004) menunjukkan

bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya

meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan

remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester

dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005) bahwa pada masa remaja

komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih

kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan

(attachment). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan

membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga

membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi

masalah, butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius,

dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti

rasa marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000).

Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan

atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok

teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi

tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak

menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka.

Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari

pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak

lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena

Page 6: BAB II

saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya)

(Santrock, 2004).

3. Definisi Belajar

Defini belajar menurut para ahli adalah :

a. Hilgard dan Bower, dalam Theories of Learning (1997) mengemukakan “belajar

berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap suatu situasi

tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya yang berulang-ulang dalam situasi

itu.” Dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dijelaskan atas dasar

kecenderungan respon bawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat

seseorang.

b. Morgan, dalam Introduction to Psychology (1978) mengemukakan bahwa

belajar adalah setiap perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku

yang terjadi sebagai suatu hasil dari latihan atau pengalaman (Morgan

dalam Widosari, 2010).

4. Fase-Fase Belajar

a. Menurut Wiltig (1981) dalam Psychology of Learning, proses belajar

berlangsung dalam tiga tahapan:

1) Acquasition (perolehan atau penerimaan informasi)

2) Storage (penyimpanan informasi)

3) Retrieval (mendapatkan kembali informasi)

b. Menurut Jerome S. Brunner, juga terdapat 3 fase yaitu:

1) Fase informasi (penerimaan materi)

2) Fase transformasi (pengubahan materi)

Page 7: BAB II

3) Fase evaluasi (penilaian materi)

5. Faktor yang Mempengaruhi Belajar

Faktor yang mempengaruhi belajar dibedakan menjadi 2 macam:

a. Faktor internal

1) Aspek fisiologis

Kondisi umum jasmani dan torus (tegangan otot) yang menandai

tingkat hubungan organ-organ tubuh dan sendi sendinya dapat

mempengaruhi semangat dan intensitas belajar.

2) Aspek psikologis

Banyak faktor psikologis yang mempengaruhi kualitas dan

kuantitas belajar. Namun faktor-faktor yang esensial adalah tingkat

kecerdasan, sikap, bakat, minat, dan motivasi.

b. Faktor eksternal

1) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial mahasiswa contohnya dosen, staf administrasi,

teman-teman kuliah, masyarakat, tetangga, serta teman-teman di kost.

Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar

adalah orang tua dari mahasiswa.

2) Lingkungan non-sosial

Contoh lingkungan non-sosial adalah gedung tempat belajar dan

letaknya, rumah tinggal dan letaknya, alat-alat belajar, serta keadaan

cuaca dan waktu belajar yang digunakan (Widosari, 2010).

Page 8: BAB II

B. Tinjauan Faktor yang Mempengaruhi Respon Psikologis

1. Pelaksanaan Proses Perkuliahan

Perkuliahan adalah proses belajar di perguruan tinggi. Jadi dapat diartikan

bahwa perkuliahan adalah segala proses atau usaha yang dilakukan secara

sadar, sengaja, aktif, sistematis dan integrativ untuk menciptakan perubahan-

perubahan dalam dirinya menuju kearah kesempurnaan hidup yang dilakukan di

perguruan tinggi atau universitas.

Pelaksanaan proses perkuliahan adalah pelaksanaan proses pembelajaran

di perguruan tinggi dan hal-hal yang terkait dengan proses pembelajaran

tersebut . Yang terdiri dari civitas akademik, jadwal kuliah, pelaksanaan jadwal

kuliah.

2. Lingkungan kampus atau lingkungan perkuliahan

Lingkungan kampus adalah lingkungan dimana mahasiswa menjalani

proses belajar dan melakukan aktivitas. Pengertian lingkungan kerja dapat

memberikan kesamaan defenisi dari pengertian lingkugan kampus. Sari (2008)

menyatakan bahwa: “lingkungan kerja adalah faktor-faktor di luar manusia baik

fisik maupun non fisik dalam suatu organisasi. Faktor fisik mencakup peralatan

kerja, suhu di tempat kerja, kesesakan dan kepadatan, kebisingan, luas ruang

kerja sedangkan non fisik mencakup hubungan kerja yang terbentuk di

perusahaan antara atasan dan bawahan serta antara sesame karyawan”.

Lingkungan kampus yang kondusif dapat meningkatkan motivasi belajar

mahasiswa dalam rangka meningkatkan prestasi belajar mereka. Lingkungan

kampus yang kondusif yang meliputi hubungan yang baik antara sesama

Page 9: BAB II

mahasiswa serta hubungan antara mahasiswa dengan dosen,lingkungan fisik

seperti ukuran kelas, suhu udara didalam ruang kelas, pengendalian kebisingan,

kebersihan kampus. Lingkungan kampus yang kondusif dapat mempengaruhi

prestasi belajar mahasiswa. Lingkungan yang tidak sehat akan membuat siswa

merasa stres dan pada akhirnya menurunkan motivasi belajar mahasiswa yang

pada akhirnya mempengaruhi prestasi belajarnya.

3. Individu dan Keluarga

Setiap individu adalah unik, artinya bahwa manusia yang satu berbeda

dengan manusia yang lain dan tidak ada manusia yang sama persis dimuka

bumi ini walaupun dilahirkan kembar (Puspitawati, 2012). Manusia sebagai

makhluk holistik merupakan makhluk yang utuh atau paduan dari unsur

biologis, psikologis, sosial dan spritual. Sebagai makhluk biologis, manusia

tersusun atas sistem organ tubuh yang digunakan untuk mempertahankan

hidupnya. Sebagai makhluk psikologis, manusia mempunyai struktur

kepribadian, tingkah laku sebagai manifestasi kejiwaan dan kemampuan

berpikir serta kecerdasan. Manusia sebagai makluk sosial berarti manusia

berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Sedangkan manusia sebagai

makhluk spiritual yaitu makhluk yang memiliki pandangan hidup, dorongan

hidup yang sejalan dengan keyakinan yang dianutnya.

Keluarga menurut sejumlah ahli adalah sebagai unit sosial-ekonomi

terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi,

merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang

mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan

Page 10: BAB II

perkawinan, dan adopsi (UU Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10 dalam

Puspitawati, 2012). Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun 2000 keluarga

terdiri atas orang-orang yang hidup dalam satu rumahtangga (Newman dan

Grauerholz 2002 dalam Puspitawati, 2012).

Menurut Ahmadi (2002) keluarga merupakan suatu kelompok yang

berhubungan kekerabatan, tempat tinggal, atau hubungan emosional yang

sangat dekat yang memperlihatkan empat hal (yaitu interdepensi intim,

memelihara batas-batas yang terseleksi, mampu untuk beradaptasi dengan

perubahan dan memelihara identitas sepanjang waktu, dan melakukan tugas-

tugas keluarga).

Definisi lain menurut Settels Sussman dan Steinmetz tahun 1987 keluarga

juga diartikan sebagai suatu abstraksi dari ideologi yang memiliki citra

romantis, suatu proses, sebagai satuan perlakukan intervensi, sebagai suatu

jaringan dan tujuan/peristirahatan akhir (Puspitawati, 2012).

Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family,

Private Property, and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan

keluarga mempunyai hubungan antara struktur sosial-ekonomi masyarakat

dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan pada sistem patriarkhi

(Ihromi 1999 dalam Puspitawati, 2012). Sebagai unit terkecil dalam

masyarakat, keluarga memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan-

kebutuhan anaknya yang meliputi agama, psikologi, makan dan minum, dan

sebagainya.

Page 11: BAB II
Page 12: BAB II

Rice (1992) mengatakan bahwa stress adalah suatu kejadian atau stimulus

lingkungan yang menyebabkan individu merasa tegang. Stres adalah suatu

keadaan tertekan baik secara fisik maupun psikologis (Chaplin, 1997). Menurut

Selye ( dalam Bell, 1996) stress diawali dengan reaksi waspada (alarm reaction)

terhadap adanya ancaman, yang ditandai dengan proses tubuh secara otomatis,

seperti meningkatnya denyut jantung, yang kemudian diikuti dengan reaksi

penolakan terhadap stressor yang akan mencapai tahap kehabisan tenaga

(exhaustion) jika individu merasa tidak mampu untuk bertahan.

Atkinson (2000) mengemukakan bahwa stress mengacu pada peristiwa

yang dirasakan membahayakan kesejahteraan fisik dan psikologis seseorang.

Disiplin ilmu fisiologi, sosiologi dan psikologi telah mendefinisikan

dalam riset keperawatan. Pendekatan fisiologi mendefinisikan stres sebagai

sebuah respon nonspesifik tubuh terhadap setiap kebutuhan tanpa

memperhatikan sifatnya (Selye, 1976 dalam Potter & Perry, 2005). Pendekatan

psikologi mendefinisikan stres sebagai suatu stimulus atau penyebab adanya

respon yang berada di luar individu dan sebagai faktor predisposisi atau

pencetus yang meningkatkan kepekaan individu terhadap penyakit (Smeltzer &

Page 13: BAB II

Bare, 2005). Pendekatan sosiologi mendefinisikan stres sebagai suatu transaksi.

Model transaksi ini terjadi antara individu dengan lingkungannya yang

memberikan umpan balik pada hubungan individu-lingkungan.

Stres akademik berkaitan dengan segala sesuatu yang mempengaruhi

kehidupan akademik. Stres akademik diartikan sebagai suatu kondisi atau

keadaan individu yang mengalami tekanan sebagai hasil persepsi dan penilaian

mahasiswa tentang stresor akademik, yang berhubungan dengan ilmu

pengetahuan dan pendidikan di perguruan tinggi ( Govaerst dan Gregoire,

2004). Stres akademik erat kaitannya dengan kehidupan akademik yang dialami

oleh pelajar dari usia anak sampai dewasa, tergantung dimana seseorang

tersebut mencari ilmu pengetahuan.

4. Penggolongan Stres

Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi 2 golongan.

Penggolongan ini berdasarkan persepsi individu terhadap stres yang

dialaminya:

a. Distres (stres negatif)

Selye menyebutkan distres merupakan stres yang merusak atau bersifat

tidak menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana

individu mengalami perasaan cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah.

Sehingga individu mengalami keadaan psikologis yang negative,

menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.

b. Eustres (stres positif)

Page 14: BAB II

Selye menyebutkan bahwa eustres bersifat menyenangkan dan merupakan

pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992)

mengemukakan frase joy of stres untuk mengungkapkan hal-hal yang

bersifat positif yang timbul dari adanya stres. Eustres dapat meningkatkan

kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi dan performansi individu.

Eustres juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan

sesuatu, misalnya karya seni.

5. Etiologi Stres

Stres dapat terjadi karena terdapat suatu perubahan dalam ruang lingkup

pekerjaan, tanggung jawab, pengambilan keputusan, tempat tinggal, hubungan

pribadi, dan kesehatan. Kondisi tersebut dapat menyebabkan stres dan disebut

sebagai stresor. Setiap individu dapat mengalami stres, baik stres jangka

panjang maupun stres jangka pendek.

Stres yang dialami seseorang mengakibatkan munculnya konsep stresor

yaitu stresor internal dan stresor eksternal ( Selye, 1976 dalam Potter dan

Perry, 2005). Stresor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya

demam, penyakit infeksi, trauma fisik, malnutrisi, kelelahan fisik, kekacauan

fungsi biologik yang berkelanjutan. Berbagai konflik dan frustasi yang

berhubungan dengan kehidupan modern atau suatu keadaan emosi seperti

keadaan bersalah dan perasaan rendah diri akibat kegagalan mencapai sesuatu

yang di idam-idamkan.

Page 15: BAB II

Stresor eksternal berasal dari luar diri seseorang. Perubahan bermakna

dalam suhu lingkungan, perubahan peran sosial, proses pembelajaran,

pekerjaan, serta hubungan interpersonal. Perubahan kondisi keuangan dan

segala akibatnya ( menciutnya anggaran keuangan dan keterbatasan uang)

( Purwati, 2012)

Mahasiswa mengalami stres akademik dengan karakteristik stresor yang

kompleks. Angolla dan Ongori (2009) mengemukakan bahwa sumber stres

akademik meliputi manajemen waktu, tuntutan akademik dan lingkungan

akademik. Sumber stres tersebut dijabarkan dan diperoleh berupa tugas- tugas

akademik, jadwal perkuliahan yang padat dan tidak jelas, serta kecemasan

tidak mendapatkan pekerjaan saat lulus kuliah. Sedangkan menurut Davidson

(2001), mengemukakan bahwa sumber stres akademik meliputi situasi yang

monoton, harapan yang mengada-ngada, ketidakjelasan, kurang adanya

control, keadaan bahaya dan kritis, tidak dihargai, diacuhkan, kehilangan

kesempatan, aturan yang membingungkan, tuntutan yang saling bertentangan

dan deadline tugas perkuliahan.

6. Respon Stres

Stres dapat menghasilkan berbagai respon yang dapat berguna sebagai

indikator dan alat ukur terjadinya stres pada individu. Respon stres dapat

terlihat dalam berbagai aspek, yaitu respon fisiologis, adaptif dan psikologis.

Respon fisiologis terhadap stresor merupakan mekanisme protektif dan

adaptif untuk memelihara keseimbangan homeostatis tubuh. Merupakan

Page 16: BAB II

rangkaian peristiwa neural dan hormonal yang mengakibatkan konsekuensi

jangka pendek dan panjang bagi otak dan tubuh. Dalam respon stres, impuls

aferen akan ditangkap oleh organ pengindra dan internal ke pusat saraf otak

lalau diteruskan sampai ke hipotalamus. Kemudian diintegrasikan dan

dikoordinasikan dengan respon yang diperlukan untuk mengembalikan tubuh

dalam keadaan homeostatis. Jika tubuh tidak mampu menyesuaikan diri

dengan perubahan tersebut, maka dapat mengakibatkan gangguan

keseimbangan tubuh (Smeltzer dan Bare, 2008).

Kemudian jalur neural dan neuroendokrin dibawah kontrol hipotalamus

akan diaktifkan. Lalu akan terjadi sekresi sistem saraf simpatis yang diikuti

sekresi sistem simpatis-adrenal-moduler dan akhirnya bila stres masih ada,

sistem hipotalamus-pituitari akan diaktifkan. Sistem saraf pusat akan

mensekresiakan norepinefrin dan epinefrin untuk meningkatkan respon

simpatis-adrenal-moduler pada kondisi stres. Respon ini menimbulkan efek

atau reaksi yang berbeda di setiap sistem tubuh dan dijabarkan dalam

indikator stres secara fisiologis. Pada kondisi tersebut terdapat organ tubuh

yang meningkat maupun menurun kinerjanya. Reaksi ini disebut fight or flight

(Smeltzer dan Bare, 2008).

Norepinefrin mengakibatkan peningkatan fungsi organ vital dan keadaan

tubuh secara umum. Sedangkan sekresi endorfin mampu menaikkan ambang

untuk menahan stimulasi nyeri yang mempengaruhi suasana hati. Manifestasi

sekresi nirepinefrin dan endorfin diantaranya pengeluaran keringat, perubahan

Page 17: BAB II

suasana hati, keluhan sakit kepala, sulit tidur, peningkatan denyut nadi yang

dapat terjadi pada mahasiswa akibat beban tugas akademik yang dirasakan

berat (Smeltzer dan Bare, 2005).

Respon adaptif terdiri dari Local Adaptation Syndrome (LAS) dan

General Adaptation Syndrome (GAS). Respon LAS terbagi atas respon nyeri

dan inflamasi. Respon refleks nyeri merupakan respon adaptif yang bertujuan

melindungi tubuh dari kerusakan lebih lanjut. Respon inflamasi distimulasi

oleh trauma dan infeksi (Smeltzer dan Bare, 2005).

GAS merupakan respon fisiologis dari seluruh tubuh terhadap stres.

Respon yang terlibat di dalamnya adalah sistem saraf otonom dan sistem

endokrin. GAS memiliki tiga tahap, yaitu alaram, pertahanan dan kelelahan.

Pada tahap alaram, respon simpatis fight or flight diaktifkan yang bersifat

defensif dan anti inflamasi yang akan menghilang dengan sendirinya. Bila

stresor menetap maka akan beralih ke tahap pertahanan. Pada tahap ini terjadi

adaptasi terhadap stresor yang membahayakan. Jika pemajanan terhadap

stresor diperpanjang dan gagal melakukan pertahanan, maka terjadilah

kelelahan. Pada tahap kelelahan terjadi peningkatan aktivitas endokrin yang

menghasilkan efek pemberhentian pada sistem tubuh terutama sistem

peredaran darah, pencernaan dan imun yang dapat menyebabkan kematian.

Mahasiswa yang mendapat beban tugas akademik dan mahasiswa

merasakannya sebagai suatu tugas yang berat, maka dapat mengakibatkan

Page 18: BAB II

aktifnya jalur neural-endokrin. Mengakibatkan sekresi hormon stres yang

mengakibatkan pembuluh darah mengalami vasokontriksi. Vasokontriksi

pembuluh darah cranial mengakibatkan respon nyeri pada bagian kepala. Rasa

nyeri tersebut sebagai alaram terhadap tubuh sebagai bentuk kompensasi

terhadap faktor lingkungan. Namun, jika stresor tidak dihentikan, maka dapat

mengakibatkan mahasiswa memasuki tahap kelelahan dan berakhir dengan

gsngguan kesehatan berupa gangguan pencernaan, gangguan sirkulasi dan

penurunan respon imun (Sherwood, 2001).

7. Indikator Stres

Terdapat beberapa indikator stres yaitu fisiologis, emosional dan

perilaku stres ( Potter dan Perry, 2005; Psychology Foundation of Astralia,

2010).

a. Indikator fisiologis stres adalah objektif dan lebih mudah diindentifikasi.

Berupa kenaikan tekanan darah, tangan dan kaki dingin, postur tubuh yang

tidak tegap, keletihan, sakit kepala, gangguan lambung, suara bernada

tinggi, muntah, mual, diare, perubahan nafsu makan, perubahan berat

badan dan telapak tangan berkeringat. Indikator fisiologis secara umum

dapat diamati.

b. Indikator emosional sangat subjektif. Indikator stres psikologis berupa

ansietas, kepenatan, kelelahan mental, perasaan tidak adekuat, kehilangan

harga diri, minat dan motivasi, mudah lupa dan pikiran buntu, kehilangan

perhatian terhadap hal-hal yang rinci, preokupasi, ketidakmampuan

Page 19: BAB II

berkonsentrasi terhadap tugas, rentan terhadap kecelakaan serta penurunan

produktivitas dan kualitas kerja. Indikator emosional ini tidak mudah

untuk diamati.

c. Indikator perilaku dapat berupa konstruktif atau destruktif. Perilaku

konstruktif membantu mahasiswa menerima tantangan untuk

menyelesaikan konflik, sedangkan perilaku destruktif akan mempengaruhi

orientasi realitas, kemampuan penyelesaian masalah, kepribadian, situasi

yang sangat berat dan kemampuan untuk berfungsi.

8. Tingkatan Stres

Setiap individu mempunyai persepsi dan respon yang berbeda-beda

terhadap stres. Persepsi seseorang didasarkan pada keyakinan dan norma,

pengalaman, pola hidup, faktor lingkungan, struktur dan fungsi keluarga,

tahap perkembangan keluarga, pengalaman masa lalu dengan stres serta

mekanisme koping. Tingkatan stres yang dialami individu diantaranya :

a. Stres normal

Stres normal yang dihadapi secara teratur dan merupakan bagian alamiah

dari kehidupan. Situasi seperti kelekahan setelah mengerjakan tugas, takut

tidak lulus ujian, merasakan detak jantung berdetak lebih kencang setelah

beraktivitas ( Crowford dan Henry, 2003). Stres normal alamiah dan

menjadi penting, karena setiap orang pasti pernah mengalami stres bahkan

sejak dalam kandungan.

b. Stres Ringan

Page 20: BAB II

Stresor yang dihadapi secara teratur yang dapat berlangsung beberapa

menit atau jam. Situasi seperti banyak tidur, kemacetan, dimarahi dosen.

Stresor ini dapat menimbulkan gejala antara lain bibir kering, kesulitan

bernafas(sering terengah-engah), kesulitan menelan, merasa goyah,

merasa lemas, berkeringat berlebihan ketika temperature tidak panas dan

tidak setelah beraktivitas, takut tanpa alas an yang jelas, denyut jantung

bertambah cepat walaupun tidak setelah melakukan aktivitas fisik, tremor

pada tangan dan merasa sangat lega jika situasi berakhir.

c. Stres sedang

Stres ini terjadi lebih lama, antara beberapa jam sampai beberapa hari.

Misalnya masalah perselisihan yang tidak dapat diselesaikan dengan

teman atau pacar. Stresor ini dapat menimbulkan gejala antara lain mudah

marah, bereaksi berlebihan terhadap situasi, sulit beristirahat, merasa lelah

karena cemas, tidak sabar ketika mengalami penundaan dan menghadapi

gangguan terhadap hal yang sedang dilakukan, mudah tersinggung,

gelisah dan tidak dapat memaklumi hal apapun yang menghalangi ketika

sedang mengerjakan suatu hal atau tugas kuliah (Psychology Foundation

of Astralia, 2010).

d. Stres berat

Stres berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa minggu

sampai beberapa tahun. Situasi seperti perselisihan dengan teman, dengan

dosen secara terus menerus, kesulitan finansial yang berkepanjangan dan

penyakit fisik jangka panjang. Stresor ini dapat menimbulkan gejala antara

Page 21: BAB II

lain tidak dapat merasakan perasaan positif, merasa tidak kuat lagi

melakukan suatu kegiatan, merasa tidak ada hal yang dapat diharapkan

dimasa depan, sedih dan tertekan, putus asa, kehilangan minat akan segala

hal, merasa tidak berharga sebagai manusia, berfikir bahwa hidup tidak

bermanfaat (Psychology Foundation of Astralia, 2010).

e. Stres sangat berat

Stres sangat berat adalah situasi kronis yang dapat terjadi dalam beberapa

bulan dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Seseorang yang

mengalami stres sangat berat tidak memiliki motivasi hidup dan

cenderung pasrah.

9. Dampak Stres

Setiap semester, jumlah mahasiswa yang mengalami stres bertambah

( Govaerst dan Gregoire, 2004). Kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan

tuntutan akademik, penundaan dalam penyelesaian tugas, prestasi akademik

yang rendahdan masalah kesehatan merupakan indikator bahwa stres

akademik sering dialami mahasiswa.

Seiring berjalannya waktu, jika stres akademik yang dihadapi oleh

mahasiswa tidak diatasi dengan baik, terjadi akumulasi stresor yang dapat

menyebabkan penurunan adaptasi, gagal bertahan, dan akhirnya menyebabkan

kematian. Tidak sedikit kasus yang terjadi mahasiswa melakukan aksi nekat

bunuh diri akibat stres akademik. Beban stres yang terlalu berat juga dapat

Page 22: BAB II

memicu remaja untuk berperilaku negatif, seperti merokok, alkohol, tawuran,

seks bebas bahkan penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).

Stres tidak hanya berdampak pada kesehatan,tetapi juga terhadap

prestasi. Hasil evaluasi belajar mahasiswa setiap semester berdasarkan jumlah

satuan kredit semester yang diambil atau disebut indeks prestasi. Goff.A.M.

(2011) menyatakan tingkat stres berpengaruh terhadap kemampuan akademik.

Namun Sari (2004) menyatakan tidak ada hubungan antara toleransi stres

dengan indeks prestasi mahasiswa karena, menurut Stuart dan Laria (2005)

tingkat stres seseorang lebih dipengaruhi oleh tingkat kedewasaan yang dilihat

dari usia dan pengalaman hidup.

10. Mahasiswa

Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di

Universitas maupun insistut atau akademi, mereka yang terdaftar sebagai

murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai mahasiswa (Takwin, 2008).

Sedangkan menurut Wingkel (1997) masa mahasiswa meliputi rentang usia

dari 18 sampai dengan 19 tahun sampai 24 sampai dengan 25 tahun. Rentang

usia ini masih dapat dibagi-bagi atas periode 18 sampai dengan 19 tahun

sampai 20 sampai dengan 21 tahun yaitu mahasiswa dari semester I sampai

dengan semester IV dan periode usia 21 sampai dengan 22 tahun sampai 24

sampai dengan 25 tahun yaitu dari mahasiswa semester V sampai dengan

semester VIII (Fadillah, 2013).

Page 23: BAB II

Wingkel (1997) mengatakan tugas perkembangan yang dihadapi

mahasiswa adalah pada dasarnya mahasiswa semester awal harus

menyesuaikan diri dengan pola kehidupan dikampus dan diluar kampus, baik

yang menyangkut hal-hal akademis maupun non akademis mahasiswa di

semester tinggi harus menentapkan diri dalam mengajar cita-cita di bidang

studi akademik di pekerjaan dan di bidang kehidupan. Beraneka kesulitan

yang timbul dapat di bagi atas dua kelompok kesulitan ini berpengaruh

terhadap yang lain kesulitan di bidang akademis misalnya: kurang menguasai

cara belajar mandiri, kurang mampu mengatur waktu yang baik, salah pilih

program studi, hubungan dengan dosen renggang atau jenuh. Sedangkan

dibidang non akademis misalnya: kesulitan menanggung biaya pendidikan.

Kurang dalam fasilitas belajar asupan makan yang kurang bergizi ketegangan

dalam bergaul dengan teman atau rasa bosan.

Mahasiswa tergolong usia remaja akhir. Remaja adalah anak berusia 10-

19 tahun (Walker, 2002). Menurut Wong’s dan Hockenberry (2007) usia

remaja dibagi menjadi 3 fase yaitu remaja awal (11-14 tahun), remaja

menengah (15-17 tahun) dan remaja akhir (18-20 tahun).

Stres pada remaja cenderung dikategorikan pada stres psikososial. Hal

ini disebabkan karena tuntutan yang diberikan kepada remaja agar berperan

dengan baik di lingkungan keluarga dan masyarakat. Kegagalan dalam

beradaptasi terhadap perubahan fisik, emosional, interlektual, spiritual dan

ketidakefektifan mekanisme koping dapat memicu remaja untuk berperilaku

Page 24: BAB II

negative seperti merokok, alkohol, tawuran, seks bebas bahkan

penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).

Remaja akhir tidak lagi menerima pemikiran yang kaku, sederhana, dan

absolute yang diberikan kepada mereka tanpa bantahan. Remaja mulai

membuat penilaian tersendiri dalam menghadapi masalah popular berkenaan

dengan lingkungan mereka, misalnya politik, ekonomi, kemanusiaan dan

keadaan sosial (Potter dan Perry, 2005). Remaja mulai mempertanyakan

keabsahan pemikiran yang ada dan mempertimbangkan lebih banyak

alternatifnya. Kondisi tersebut juga memicu stres, terutama pada mahasiswa

yang lebih sering terpapar masalah tersebut.

Stres akademik berkaitan dengan segala sesuatu yang mempengaruhi

kehidupan akademik. Stres akademik diartikan sebagai suatu kondisi atau

keadaan individu yang mengalami tekanan sebagai hasil persepsi dan

penilaian mahasiswa tentang stresor akademik, yang berhubungan dengan

ilmu pengetahuan dan pendidikan di perguruan tinggi ( Govaerst dan

Gregoire, 2004). Kegagalan mahasiswa dalam menyelesaikan tuntutan

akademik, penundaan dalam penyelesaian tugas, prestasiakademik yang

rendahdan masalah kesehatan merupakan indikator bahwa stres akademik

sering dialami mahasiswa. Stres akademik erat kaitannya dengan kehidupan

akademik yang dialami oleh pelajar dimana seseorang tersebut mencari ilmu

pengetahuan.

Page 25: BAB II

Jika stres akademik yang dihadapi oleh mahasiswa tidak diatasi dengan

baik, terjadi akumulasi stresor yang dapat menyebabkan penurunan adaptasi,

gagal bertahan, dan akhirnya menyebabkan kematian. Tidak sedikit kasus

yang terjadi mahasiswa melakukan aksi nekat bunuh diri akibat stres

akademik. Beban stres yang terlalu berat juga dapat memicu remaja untuk

berperilaku negatif, seperti merokok, alkohol, tawuran, seks bebas bahkan

penyalahgunaan NAPZA (Widianti, 2007).

11. Mengukur Stres Akademik

Tingkat stres adalah hasil penilaian terhadap berat ringannya stres yang

dialami seseorang (Crowford dan Henry, 2003). Tingkat stres akademik

diukur dengan menggunakan kuesioner DASS (Depression Anxiety Stres

Scale ). DASS terdiri dari 42 pertanyaan yang mengidentifikasikan skala

subjektif dari depresi, kecemasan dan stres yang dialami. DASS diaplikasikan

dengan format rating scale (skala penilaian). Dalam penelitian ini hanya

digunakan pertanyaan yang terkait dengan stres yaitu pertanyaan nomor 1, 6,

8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, dan 39. Tingkat stres pada instrument

ini berupa normal, stres ringan, sedang, berat dan sangat berat. Kemudian

untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan dengan stres akademik

tersebut digunakan kuesioner yang dibuat dan dimodifikasi sendiri oleh

peneliti berdasarkan keadaan yang terjadi dilingkungan program studi

Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin yang terdiri dari 28

pertanyaan yang terbagi menjadi 3 faktor, yaitu faktor pelaksanaan proses

Page 26: BAB II

perkuliahan terdiri dari 12 pertanyaan, lingkungan perkuliahan atau lingkungan

kampus terdiri dari 8 pertanyaan dan diri sendiri serta keluarga mahasiswa terdiri

dari 8 pertanyaan.

STRES

normal 0-14

Stres ringan 15- 18

Stres sedang 19-25

Stres berat 26-33

Stres sangat berat >34

12. Peran Teman Sebaya

Siswa SMP/MTs, SMA/MA/SMK dan mahasiswa sesuai dengan usia

perkembangannya berada pada masa remaja. Pada masa ini, ketertarikan

dan komitmen serta ikatan terhadap teman sebaya menjadi sangat kuat. Hal ini

antara lain karena remaja merasa bahwa orang dewasa tidak dapat

memahami mereka. Keadaan ini sering menjadikan remaja sebagai suatu

kelompok yang eksklusif karena hanya sesama merekalah dapat saling

Page 27: BAB II

memahami. Sebagian (besar) siswa lebih sering membicarakan masalah-

masalah serius mereka dengan teman sebaya, dibandingkan dengan orang tua,

guru pembimbing atau dosen pembimbing . Untuk masalah yang sangat

seriuspun (misalnya, hubungan seksual dan kehamilan di luar nikah,

dan keinginan melakukan aborsi) mereka bicarakan dengan teman, bukan

dengan orang tua atau guru mereka. Kalaupun terdapat beberapa siswa yang

akhirnya menceritakan kehamilan atau hubungan seksual mereka kepada

orang tua atau guru pembimbing, biasanya karena sudah terpaksa

(pembicaraan dan upaya pemecahan masalah bersama teman sebaya

mengalami jalan buntu). (Suwarjo, 2008).

Dalam segala segi remaja mengalami perubahan dan perubahan-

perubahan yang sangat cepat sering menimbulkan kegoncangan dan ketidak-

pastian. Goncangan dan ketidak pastian juga muncul dari lingkungan yang

sedang dan akan terus cepat berubah. Dalam menghadapi badai

perkembangan ("storm and stress"). Banyak remaja yang berhasil mengatasi

berbagai rintangan. Mereka menjadikan rintangan dan berbagai kegagalan

sebagai peluang dan tantangan untuk tetap bangkit meraih keberhasilan,

membentuk kelompok sebaya untuk saling menguatkan, dan pada akhirnya

berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar. Keeratan,

keterbukaan dan perasaan senasib yang muncul diantara sesama remaja dapat

menjadi peluang bagi upaya fasilitasi perkembangan remaja.

Page 28: BAB II

Tidak diragukan lagi bahwa keluarga merupakan salah satu konteks

sosial yang penting bagi perkembangan individu. Meskipun demikian

perkembangan anak juga sangat dipengaruhi oleh apa yang terjadi dalam

konteks sosial yang lain seperti relasi dengan teman sebaya. Laursen (2005)

menandaskan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Penegasan Laursen

dapat dipahami karena pada kenyataannya remaja dalam masyarakat moderen

seperti sekarang ini menghabiskan sebagian besar waktunya bersama dengan

teman sebaya mereka (Steinberg, 1993).

Penelitian yang dilakukan Buhrmester (Santrock, 2004) menunjukkan

bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya

meningkat secara drastis, dan pada saat yang bersamaan kedekatan hubungan

remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester

dikuatkan oleh temuan Nickerson & Nagle (2005) bahwa pada masa remaja

komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih

kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan

(attachment). Remaja membutuhkan afeksi dari remaja lainnya, dan

membutuhkan kontak fisik yang penuh rasa hormat. Remaja juga

membutuhkan perhatian dan rasa nyaman ketika mereka menghadapi

masalah, butuh orang yang mau mendengarkan dengan penuh simpati, serius,

dan memberikan kesempatan untuk berbagi kesulitan dan perasaan seperti

rasa marah, takut, cemas, dan keraguan (Cowie and Wallace, 2000).

Page 29: BAB II

Teman sebaya atau peers adalah anak-anak dengan tingkat kematangan

atau usia yang kurang lebih sama. Salah satu fungsi terpenting dari kelompok

teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi dan komparasi

tentang dunia di luar keluarga. Melalui kelompok teman sebaya anak-anak

menerima umpan balik dari teman-teman mereka tentang kemampuan mereka.

Anak-anak menilai apa-apa yang mereka lakukan, apakah dia lebih baik dari

pada teman-temannya, sama, ataukah lebih buruk dari apa yang anak-anak

lain kerjakan. Hal demikian akan sulit dilakukan dalam keluarga karena

saudara-saudara kandung biasanya lebih tua atau lebih muda (bukan sebaya)

(Santrock, 2004).

B. Faktor Faktor yang mempengaruhi stres akademik