BAB II
-
Upload
hirofreeze -
Category
Documents
-
view
11 -
download
3
description
Transcript of BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar glukosa darah. Kadar
glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara Penyebab
hipoglikemia seringkali sangat kompleks. Hipoglikemia terjadi pada beberapa
macam kondisi neonatus antara lain prematuritas, retardasi pertumbuhan, dan
diabetes gestasional.[1][2]
Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada definisi
kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi
diestimasikan sebanyak 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini
dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi. penyediaan glukosa dalam
darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Hipoglikemia merupakan salah satu
gangguan metabolik yang sering terjadi pada bayi dan anak. Dalam
perbandingannya, hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus daripada anak
yang lebih besar.[1][4][5]
Tujuan penulisan
1. Tujuan umum
Untuk mengetahui skrining dan penanganan hipoglikemia terhadap bayi
yang baru lahir
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui gambaran penyakit hipoglikemia
b. Untuk mengetahui penanganan hipoglikemia
1
BAB II
ISI
A. Definisi
Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa serum secara signifikan
lebih rendah daripada rentang pada bayi normal dengan usia postnatal yang
sesuai. Walaupun hipoglikemia dapat terjadi dengan gejala neurologis, seperti
letargi, koma, apnea, kejang, atau simpatomimetik, seperti pucat, palpitasi,
diaforesis, yang merupakan manifestasi dari respon terhadap glukosa, banyak
neonatus dengan serum glukosa rendah menunjukkan tanda hipoglikemia
nonspesifik.[1][6]
Sebagai batasannya pada bayi aterm dengan berat badan 2500 gram
atau lebih, kadar glukosa plasma darah lebih rendah dari 30 mg/dL dalam 72
jam pertama dan 40 g/dL pada hari berikutnya, sedangkan pada berat badan
lahir rendah di bawah 25 mg/dL. Serum glukosa pada neonatus menurun
segera setelah lahir sampai 1-3 hari pertama kehidupan. Pada bayi aterm yang
sehat, serum glukosa jarang berada di bawah nilai 35 mg/dL dalam 1 - 3 jam
pertama kehidupan, di bawah 40 mg/dL dalam 3-24 jam, dan kurang dari 45
mg/dL (2.5 mmol/L) setelah 24 jam. Bayi aterm dapat mempertahankan
kadar gula darah dalam darahg sekitar 50-60 mg/dL selama 72 jam pertama,
sedangkan bayi lahir rendah dalam kadar 40 mg/dL.[2]
Pada neonatus, tidak selalu terdapat korelasi yang jelas antara
konsentrasi glukosa darah dan manifestasi klinis klasik dari hipoglikemia.
Tidak adanya gejala bukan mengindikasikan bahwa konsentrasi glukosa
normal dan bukan berarti pula nilainya kurang dari nilai optimal yang
diperlukan untuk mempertahankan metabolisme energi di otak. Terdapat
bukti bahwa hipoksemia dan iskemia dapat meningkatkan potensi
hipoglikemia dalam kerusakan otak yang permanen. Karena kekhawatiran
terhadap kemungkinan sekuele neurologik, intelektual, atau psikologis pada
tahun-tahun berikutnya, banyak praktisi/klinisi yang menetapkan nilai
glukosa darah kurang dari 50 mg/dL pada neonatus harus dicurigai dan
2
ditatalaksana dengan agresif. Nilai ini dapat diterapkan setelah 2-3 jam pasca
kelahiran, ketika glukosa secara fisiologis mencapai titik nadir. Untuk
selanjutnya, tingkat glukosa mulai meningkat dan mencapai nilai 50 mg/dL
atau lebih setelah 12-24 jam. Pada bayi yang lebih besar dan anak-anak,
konsentrasi glukosa whole blood kurang dari 50 mg/dL (10-15% lebih tinggi
pada serum/plasma) menunjukkan kondisi hipoglikemia Secara fisiologis,
hipoglikemia terjadi ketika ambilan glukosa tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan glukosa dan dapat terjadi melebihi rentang kadar glukosa normal.
Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang paling sering ditemukan
pada neonatus. Pada anak, hipoglikemia terjadi pada nilai glukosa darah
kurang dari 40 mg/dL. Sementara pada neonatus, hipoglikemia adalah kondisi
dimana glukosa plasma kurang dari 30 mg/dL pada 24 jam pertama
kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL setelahnya.[1][5]
B. Klasifikasi
Berdasarkan patofisiologi dapat dikelompokkan dalam 4 golongan
anak dengan risiko terjadinya hipoglikemia. (1) bayi dari ibu diabetes atau
diabetes waktu hamil, dan bayi dengan eritroblastosis fetalis berat; bayi
demikian cenderung menderita hiperinsulinisme. (2) bayi berat badan lahir
rendah yang mungkin mengalami malnutrisi intrauterin; pada golongan ini
dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak tubuh; BBLR yang
termasuk rawan adalah bayi kecil menurut kehamilan, salah satu bayi kembar
yang lebih kecil (berat badan berbeda 25% atau lebih, berat badan lahir
kurang dari 2000 g), bayi yang menderita polisitemia, bayi dari ibu toksemia,
dan bayi dengan plasenta yang abnormal. Faktor lain yang menyebabkan
hipoglikemia pada golongan ini adalah respon insulin yang abnormal,
glikoneogenesis yang terganggu, asam lemak bebas yang rendah, rasio berat
otak: hati yang meningkat, kecepatan produksi kortisol yang rendah, mungkin
kadar insulin yang meningkat, serta respon keluaran epinefrin yang menurun.
(3) bayi sangat kecil atau sakit berat yang mengalami hipoglikemia karena
meningkatnya kebutuhan metabolisme yang melebihi cadangan kalori, dan
bayi berat badan lahir rendah dengan sindrom gawat napas, asfiksia perinatal,
3
polisitemia, hipotermia dengan infeksi sistemik, dan kelainan jantung bawaan
sianotik yang menderita gagal jantung. Penghentian mendadak infus glukosa
terutama yang hipertonik dapat menimbulkan hipoglikemia. (4) bayi dengan
kelainan genetik atau gangguan metabolik primer (jarang terjadi) seperti
galaktosemia, penyakit cadangan glikogen, intoleransi fruktosa, asidemia
propionik, asidemia metilmalonik, tirosinemia, penyakit sirup mapel,
sensitivitas terhadap leusin, insulinoma, nesidioblastosis sel beta, hiperplasia
sel beta fungsional, panhipopituitarisme, sindrom Beckwith, dan bayi raksasa. [2]
Hipoglikemia dapat dibagi menurut usia yaitu hipoglikemia neonatus dan
hipoglikemia pada balita atau anak yang lebih besar[3]
a. Hipoglikemia pada neonatus
1. Bersifat sementara
Biasanya terjadi pada bayi baru lahir, misalnya karena masukan
glukosa yang kurang, hipotermia, syok, dan pada bayi dari ibu
diabetes.
2. Bersifat menentap atau berulang.
Terjadi akibat defisiensi hormon, hiperinsulinisme, serta kelainan
metabolisme karbohidrat dan asam amino, gangguan metabolisme
yang bersifat herediter (misalnya, penyakit penyimpanan glikogen,
gangguan glukoneogenesis, gangguan oksidasi asam lemak).
b. Hipoglikemia pada balita atau anak yang lebih besar
Hipoglikemia dapat terjadi karena akibat starvasi terutama bila cadangan
glikogen rendah, pre diabetes, obat-obatan misalnya insulin pada pasien
diabetes mellitus tipe 1, penyakit sistemik berat, dan pada gangguan
endokrin dan metabolisme.
C. Epidemiologi
Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada
definisi kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi
diestimasikan sebanyak 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini
dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi. Sebagai contoh, 8%
4
neonatus besar masa kehamilan (BMK) umumnya berasal dari ibu diabetik /
infant of diabetic mother (IDM) dan 15% bayi preterm dan bayi dengan
retardasi pertumbuhan intrauterin/intrauterine growth retardation (IUGR)
dilaporkan mengalami hipoglikemia; insidensi pada seluruh populasi risiko
tinggi diperkirakan sebesar 30%. [1][2][6]
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus yang lahir pada
kurang dari 37 minggu dan lebih dari 40 minggu usia kehamilan, dengan
tingkat kejadian 2,4% pada neonatus lahir pada 37 minggu usia kehamilan,
0,7% pada neonatus lahir pada 38-40 minggu dari usia kehamilan. Selain itu,
1,6% dan 1,8% pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan 41 dan 42
minggu.
Keseluruhan insidensi hipoglikemia simtomatis pada neonatus
bervariasi, antara 1.3-3 kejadian dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi tersebut
bervariasi tergantung dengan definisi yang digunakan, populasi, metode, dan
waktu pemberian asuan, dan tipe penilaian glukosa. Insidensi hipoglikemia
meningkat pada kelompok neonatus risiko tinggi. Pemberian asupan nutrisi
lebih awal dapat menurunkan insidensi hipoglikemia. Kelainan metabolisme
yang dapat mengakibatkan hipoglikemia pada neonatus jarang ditemui, tetapi
dapat dideteksi sejak masa neonatus. Insidensi dari kondisi-kondisi ini
adalah:
Gangguan metabolisme karbohidrat (>1:10,000)
Gangguan oksidasi asam lemak (1:10,000)
Intoleransi fruktosa herediter (1:20,000 to 1:50,000)
Penyakit penyimpanan glukosa (1:25,000)
Galaktosa (1:40,000)
Acidemia organik (1:50,000)
Kekurangan Karboksinase fosfoenolpiruvat (jarang)
Asidosis laktat primer (jarang)
Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa lebih dari 80% neonatus yang
masuk ke NICU, penyebabnya adalah apnea atau hipoglikemia pada
neonatus yang lahir pada usia kehamilan 35-36 minggu.
5
D. Etiologi
Secara garis besar, etiologi hipoglikemia dibagi menjadi dua bagian
besar, yaitu kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan dan
produksi glukosa kurang.[2][4]
a. Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan
1. Hiperinsulinisme (bayi dari ibu penderita diabetes, hipoglikemia
hiperinsulinisme menetap pada bayi, dan tumor yang memproduksi
insulin).
Hiperinsulinisme menyebabkan pemakaian glukosa yang
berlebihan terutama akibat rangsang ambilan glukosa oleh otot. Pada
bayi, hiperinsulinemia dapat terjadi karena defek genetik yang
menyebabkan aktivasi reseptor sulfonylurea akibat sekresi insulin
yang menetap. Kelainan ini diketahui sebagai hipoglikemia
hiperinsulin endogen menetap pada bayi yang sebelumnya disebut
sebagai nesidioblastosis.
Bayi dari penderita diabetes juga mempunyai kadar insulin
yang tinggi setelah lahir karena tingginya paparan glukosa in utero
6
Gambar 1. Insidensi hipoglikemia berdasarkan berat lahir, umur gestasi, dan pertumbuhan intrauterine.[1]
akibat jeleknya kontrol glukosa selama kehamilan, hal ini yang
menyebabkan hiperinsulinemia pada bayi. Pada anak,
hiperinsulinemia jarang terjadi, penyebabnya tumor yang
memproduksi insulin. Penggunaan insulin eksogen atau pemberian
obat yang menyebabkan hipoglikemia kadang dapat terjadi karena
kecelakaan atau salah penggunaan, sehingga hal ini pada anak harus
dipertimbangkan.
Ditemukan sebanyak 50% dari semua kasus hipoglikemia pada
bayi. Diagnosis hipoglikemia dicurigai bila serangan cenderung
berulang. Diagnosis hiperinsulinisme ditegakkan bila didapatkan
suatu keadaan hipoglikemia yang disertau kadar insulin yang tinggi.
Pada keadaan normal, penurunan kadar gula darah disertai dengan
penurunan kadar insulin yang sesuai. Kadar insulin >10 µU/ml pada
keadaan hipoglikemia adalah abnormal, bahkan pada beberapa kasus
kadar yang lebih kecil mungkin tidak sesuai dengan keadaan
hipoglikemia yang ada dan menunjukan adanya sekresi otonom.
Banyak pasien yang pada saat bayi dikenal mengalami
hipoglikemia idiopatik ternyata mengalami hiperinsulinisme.
Hiperinsulinisme sebagai penyebab hipoglikemia berat, pada
umumnya muncul pada bayi baru lahir sampai usia 3 bulan. Adanya
hiperinsulinisme, hipoglikemia simptomatik timbul setelah puasa 36
jam dan disertai dengan rendahnya kadar beta-hidroksibutirat (benda-
benda keton), Asam lemak bebas/Free fatty Acid (FFA) dan
hiperinsulinemia relatif (> 12 mikro unit/ml). (mcgowen) Respons
hiperglikemia terhadap glukagon meningkat. Uji toleransi tolbutamid
memberikan hasil reaksi yang hebat. Hiperinsulinisme, ada dua :
a) Hiperinsulinisme neonatal transien
Hiperinsulinisme sering didapatkan pada neonatus. Hal ini
mungkin merupakan gambaran dari imaturitas regulasi sekresi
insulin. Keadaan ini dapat terjadi pada bayi sakit, tetapi lebih
jelas pada bayi yang asfiksia waktu lahir dan bayi-bayi kecil
untuk masa kehamilan karena cadangan glikogennya lebih
7
terbatas. Walaupun hiperinsulin ini hanya berlangsung
sementara, namun penanganan yang cepat dan tepat harus
segera diberikan agar tidak menimbulkan cacat otak yang
menetap. Masalah ini sering terjadi sehingga pemantauan
kadar glukosa darah pada jam-jam pertama harus selalu
dilakukan untuk semua bayi dengan resiko.
Pemberian minum harus segera dimulai, bila perlu dengan
glukosa intravena. Pada saat pemulihan, pemberian glukosa
intravena dikurangi secara bertahap. Walaupun jarang, perlu
diketahui hiperinsulinisme persisten yang memerlukan
penanganan yang intensif.
b) Hiperinsulinisme persisten
Hiperinsulinisme persisten pada umumnya disebabkan oleh
adanya defek dalam perkembangan sel beta yang
menyebabkan timbulnya gangguan fungsi dan abnormalitas
struktur insulin.
2. Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs). Kelainan ini
sangat jarang, mengganggu pembentukan Adenosin triphosphate
(ATP) dari oksidasi glukosa, disini kadar laktat sangat tinggi.
3. Defek pada produksi energi alternative (defisiensi carnitine acyl
transferase, defisiensi 3-hidroksi-3metilglutaril-coenzim-A (HMG
CoA), defisiensi rantai panjang dan medium acyl-CoA
dehydrogenase, defisiensi rantai pendek acyl-CoA dehyrogenase).
Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak sebagai energi, sehingga
tubuh sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan menyebabkan
masalah bila puasa dalam jangka lama yang seringkali berhubungan
dengan penyakit gastrointestinal.
4. Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk
hipertiroidisme.
b. Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa
1. Simpanan glukosa tidak akuat (prematur, bayi kecil masa kehamilan,
disamping hipoglikemia akibat pemberian insulin pada diabetes. Hal
8
ini dapat dibedakan dengan melihat keadaan klinis dan adanya
hipoglikemia ketotik, biasanya terjadi akibat pada anak yang kurus,
usia antara 18 bulan sampai 6 tahun. masukan makanan yang
terganggu karena bermacam sebab. Penelitian terakhir mekanisme
yang mendasari hipoglikemia ketotik adalah gagalnya
glukoneogenesis.
2. Kelainan pada produksi glukosa hepar antara lain defisiensi glucose-
6-phosphatase (penyakit penyimpanan glukosa tipe I), defisiensi
debrancher (penyakit penyimpanan glukosa tipe III), defisiensi
phosphatase hepar (penyakit penyimpanan glukosa tipe VI, defisiensi
sintase glukagon, defisiensi fruktosa 1,6 diphospatase, defisiensi
fosfoenol piruvat, defisiensi karboksilase piruvat, galaktosemia,
intoleransi fruktosa herediter). Kelainan ini menurunkan produksi
glukosa melalui berbagai defek termasuk blokade pada pelepasan dan
sintesis glukosa atau hambatan pada glukoneogenesis. Anak yang
menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi terhadap hipoglikemia
karena penyakitnya bersifat kronik.
a. Penyakit penyimpanan glukosa tipe I
Penyakit ini merupakan penyebab tersering hipoglikemia.
Penyebabnya adalah adanya defisiensi enzim hati (defisiensi
glukose 6 fosfatase). Penyakit ini bisa menyebabkan
penghambatan total, baik pada glukoneogenesis maupun
glikogenolisis. Beberapa bayi memperlihatkan gejala
hipoglikemia berat, asidosis, sedangkan yang lainnya dengan
gejala gangguan pertumbuhan terutama pada bayi dan anak
kecil. Adanya hepatomegali yang hebat menjadi penting untuk
diagnostik, selain itu terjadi pembesaran ginjal. Bayi dan anak
terlihat pendek yang disertai hipotoni. Meningkatnya jaringan
lemak pada muka dan ekstremitas memberikan gambaran anak
tersebut seolah-olah gizi baik.
Pada bayi baru lahir, penyebab hipoglikemia persisten atau
berulang bisa didapat melalui anamnesa yang lengkap,
9
pemeriksaan fisik dan temuan laboratorium. Hipoglikemia
yang berhubungan dengan intake makanan bisa dicurigai
adanya kelainan pada salah satu glukoneogenesis. Apabila
gejala terjadi ≥ 6 jam setelah makan dan apabila gejala terjadi
segera setelah makan, kemungkinan adalah adanya
galaktosemia atau intoleransi fruktosa, terdapatnya substansi
yang tereduksi pada urin berulang kali memperkuat diagnosis
ini.
3. Kelainan hormonal (panhypopituitarisme, defisiensi hormon
pertumbuhan, defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder. Hal ini
karena hormon pertumbuhan dan kortisol berperan penting pada
pembentukan energi alternative dan merangsang produksi glukosa.
Kelainan ini mudah diobati namun yang sangat penting adalah
diagnosis dini.
4. Toksin dan penyakit lain (etanol, salisilat, propanolol, malaria).
Etanol menghambat glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat
menyebabkan hipoglikemia. Hal ini khususnya pada pasien dengan
diabetes yang diobati insulin yang tidak dapat mengurangi sekresi
insulin sebagai respon bila terjadi hipoglikemia. Intoksikasi salisilat
dapat menyebabkan hipoglikemia ataupun hiperglikemia.
Hipoglikemia karena bertambahnya sekresi insulin dan hambatan
pada glukoneogenesis.
E. Patofisiologi
Sebenarnya, pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak
sepenuhnya dapat dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang
diambil adalah dari penelitian binatang percobaan. Walaupun demikian pada
anak dan dewasa mempunyai substrat dan pengaturan metabolisme hormonal
yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda.[4]
Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada
janin tidak akan terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis.
10
Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah:
glukosa, asam amino, dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang
dibutuhkan. Glukosa ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi
karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, kadar
glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke
janin dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang
dibutuhkan janin dengan kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan
kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem enzim yang terlibat
dalam glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin
namun tidak aktif, kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan.
Pada hewan aktivitas enzim untuk glukoneogenesis sangat penting, pada
janin manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat
sampai periode perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam
beberapa jam sampai beberapa hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk
mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi glukosa oleh
janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis telah
dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, kecuali pada bayi yang
prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis glikogen
sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.
Hanya pada anak dengan penyakit penyimpanan glukosa, dalam 3-4 minggu
terakhir kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai
kadar saat lahir. [4]
Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar
glukosa vena ibu. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua
jam pertama setelah lahir, kadar glukosa darahnya tidak pernah di bawah 40
mg/dL, pada usia 4-6 jam berkisar antara 45-80 mg/dL. Kadar glukosa
dipertahankan segera setelah lahir dengan pemecahan glikogen hepar
(glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glucagon, difasilitasi oleh
turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8-12 jam pertama glikogen
berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari
laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan
masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi.
11
Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau
meningkatnya konsumsi glukosa. Karena euglikemia pada mulanya
tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang kekurangan
substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia.[6]
Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap
dipertahankan dalam rentang yang sempit, antara 60-100 mg/dL. Setelah
makan maka kadar glukosa akan meningkat sementara antara 120-140
mg/dL, setelah itu kembali ke kadar semula biasanya sekitar 2 jam setelah
absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon merupakan dua hormon
yang sangat penting dalam sistem umpan balik glukosa, bila gula darah
meningkat setelah makan, maka sekresi insulin meningkat dan merangsang
hepar untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel (khususnya hepar
dan otot) kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai
lemak. Bila kadar glukosa turun, fungsi sekresi glukagon adalah
meningkatkan kadar glukosa dengan merangsang hepar untuk melakukan
glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Pada
keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar glukosa melalui
glukoneogenesis.
Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan
gliserol yang merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan
glikogen dan memecah protein otot menjadi asam amino yang merupakan
substrat untuk glikoneogenesis dalam hepar. Asam lemak dalam sirkulasi di
katabolisme menjadi keton, asetoasetat dan beta hidroksi butirat yang dapat
digunakan sebagai pembantu bahan bakar untuk sebagian besar jaringan,
termasuk otak. Hipotalamus merangsang sistem saraf simpatis dan epinefrin
yang disekresi oleh adrenal menyebabkan pelepasan glukosa oleh hepar. Bila
hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa jam atau hari, maka hormone
pertumbuhan dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan glukosa oleh
sebagian besar sel tubuh. Insulin merupakan hormone pengatur utama, bila
tidak bekerja atau kurang maka terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi
insulin mempertahankan euglikemia post absorbsi. Pada orang normal bila
dibuat hipoglikemia dengan diberikan insulin, maka pertama kali hepar yang
12
berperan secara fisiologis terjadi respon untuk mengatasi hipoglikemia
dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan sebagai glikogen dari sel
hepatosit dan merubah laktat, gliserol, dan asam amino menjadi glukosa
(glikoneogenesis), bila kadar glukosa darah tetap tidak mencukupi maka
tubuh meningkatkan kadar glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan
kortisol. Glukagon yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila gagal,
maka yang kedua adalah epinefrin, bila glukagon dapat mengatasi
hipoglikemia, maka epinefrin tidak diperlukan, namun bila tidak ada
glukagon maka epinefrin memegang peranan penting. Hormon pertumbuhan
dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya lebih lambat. Otak
merupakan organ target khusus yang menggunakan glukosa dan atau keton
sebagai sumber energi utama. Uuntuk mempertahankan kadar gula darah
normal tergantung pada:
1. Sistem endokrin yang normal untuk integrasi dan modulasi mobilisasi
substrat, interkonversi dan utilisasi.
2. Enzim untuk glikogenolisis, sintesis glikogen, glikolisis,
glukoneogenesis, dan utilisasi bahan bakar metabolik lain dan
penyimpanan yang berfungsi baik.
3. Suplai lemak endogen, glikogen, dan substrat glukoneogenik potensial
(asam amino, gliserol, dan laktat) yang adekuat.
Orang dewasa normal mampu mempertahankan kadar gula darah normal
atau mendekati normal, kira-kira sampai seminggu, bahkan bila obesitas
dapat sampai sebulan. Sebaliknya pada neonatus dan anak sehat, tidak dapat
mempertahankan kadar gula darah normal bila dipuasakan dalam jangka
pendek (24-36 jam), setelah itu terjadi penurunan kadar glukosa plasma yang
progresif sampai ke kadar hipoglikemia. Kelainan sekresi hormone,
interkonversi substrat dan mobilisasi bahan bakar metabolik menyebabkan
kelainan produksi dan utilisasi glukosa yang berakibat hipoglikemia pada
anak.
Dalam keadaan normal tubuh mengatasi hipoglikemia dengan
menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukosa, epinefrin,
hormone pertumbuhan, dan kortisol. Perubahan hormonal tersebut
13
dikombinasi dengan meningkatnya keluaran glukosa hepar, bahan bakar
alternative yang ada dan penggunaan glukosa menurun. Respon pertama kali
yang terjadi adalah peningkatan produksi glukosa dari hepar dengan
pelepasan cadangan glikogen hepar disertai penurunan insulin dan
peningkatan glukagon. Bila cadangan glikogen habis maka terjadi
peningkatan kerusakan protein karena kortisol meningkat, glukoneogenesis
hepar diganti dengan glikogenolisis sebagai sumber produksi utama glukosa.
Kerusakan protein tersebut digambarkan dengan meningkatnya kadar asam
amino glukonegenik, alanin, dan glutamine dalam plasma. Penurunan kadar
glukosa perifer pada keadaan awal menurunkan kadar insulin, yang kemudian
diikuti peningkatan kadar epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan.
Ketiga kejadian di atas, meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam
plasma, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternative tubuh dan
menghambat penggunaan glukosa. Kenaikan keton urin dan plasma
menunjukkan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Asam lemak bebas
plasma juga merangsang produksi glukosa.
Hipoglikemia terjadi bila satu atau lebih mekanisme keseimbangan di
atas gagal, atau penggunaan glukosa yang berlebihan seperti pada
hiperinsulinisme, atau produksi yang kurang seperti pada penyakit
penyimpanan glukosa atau kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan
atau kortisol.
F. Manifestasi klinis
Tanda-tanda klinis hipoglikemia neonatus tidak spesifik dan termasuk
berbagai manifestasi lokal atau umum yang biasa terjadi pada neonatus yang
sakit. Tanda-tanda ini termasuk gelisah, sianosis, kejang, episode apnea,
takipnea, lemah atau bernada tinggi menangis, kelesuan, makan yang buruk,
dan mata - bergulir.[5]
Hal ini penting untuk menyaring gangguan lain yang mungkin
mendasari (misalnya, infeksi) serta hipoglikemia. Tanda-tanda seperti
biasanya mereda dengan cepat dengan normalisasi pasokan glukosa dan
konsentrasi plasma.[5]
14
Koma dan kejang dapat terjadi dengan hipoglikemia neonatus
berkepanjangan (konsentrasi glukosa plasma atau darah lebih rendah dari
rentang 10 mg/dL) dan hipoglikemia berulang. Tanda-tanda yang lebih serius
(misalnya, aktivitas kejang) biasanya terjadi terlambat dalam kasus yang
parah dan berlarut-larut hipoglikemia dan tidak mudah atau cepat terbalik
dengan penggantian glukosa dan normalisasi kadar glukosa plasma.
Perkembangan tanda-tanda klinis dapat terbantu dengan kehadiran substrat
alternatif.
Karena menghindari dan pengobatan kekurangan energi otak adalah
perhatian utama, perhatian terbesar harus diberikan tanda-tanda neurologis .
Untuk atribut tanda dan gejala ke hipoglikemia neonatus, Cornblath et al
telah menyarankan bahwa triad Whipple dipenuhi : (1) konsentrasi glukosa
darah yang rendah; (2) tanda yang konsisten dengan hipoglikemia neonatus;
dan (3) resolusi dari tanda dan gejala setelah memulihkan konsentrasi
glukosa darah ke nilai normal.[5]
G. Pemeriksaan
Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipatuhi trias
Whipple yaitu: (1) konsentrasi glukosa darah yang rendah; (2) tanda yang konsisten
dengan hipoglikemia neonatus; dan (3) resolusi dari tanda dan gejala setelah
memulihkan konsentrasi glukosa darah ke nilai normal. Bila ketiganya dipenuhi,
maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasarkan pada klinis, hasil
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan
etiologi. Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia asimtomatik lebih sulit,
walaupun juga sebagai penyebab kerusakan otak. Dengan teknik pemeriksaan mikro
untuk mengukur kadar hormon dan substrat dalam plasma, maka menjadi mungkin
untuk memperluas definisi dan pengembangan protokol hipoglikemia dan mencari
mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula darah. Jadi yang diukur
adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia antara lain epinefrin,
hormon pertumbuhan, kortisol, dan glukagon, bersama dengan substrat antara lain
asam lemak bebas, gliserol, dan badan keton.
15
Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat
mengarahkan pada inborn error of metabolism seperti galaktosemia, penyakit maple
syrup urine dan intoleransi fruktosa. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong
kea rah hiperinsulinisme. Kolestasis dan mikropenis pada hipopituitarisme.
Hepatomegali seringkali terjadi pada glycogen storage disease.[2][4]
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa,
penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat
menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang
berlebihan sehingga menyebabkan lemah, gelisah, keringat dingin,
gemetar, dan takikardi. Gejala adrenergik cenderung terjadi pada
hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada hipoglikemia karena
kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan gejala
neuroglikopenia. Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam dua
kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem saraf otonom dan berhubungan
dengan kurangnya suplai glukosa pada otak (neuroglikopenia). Gejala
akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat, gemetar, gelisah, dan
nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung, rasa lelah, sulit
bicara, sakit kepala, dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang disertai rasa
lapar, pandangan kabur, mengantuk, dan lemah. Pada neonatus tidak
spesifik antara lain tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia,
sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat, dan pucat.
Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia,
misalnya kelainan bawaan pada susunan saraf pusat, cedera lahir,
mikrosefali, perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi
akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung,
distress pernapasan, asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi
endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimtomatik misalnya pada glycogen
storage disease tipe I.
16
b. Pemeriksaan Laboratorium
Skrining hipoglikemia direkomendasikan pada bayi berat lahir sangat
rendah, bayi prematur, bayi kecil masa kehamilan dengan berat badan
lahir kurang dari persentil 10, bayi dengan ibu diabetes (tipe I atau II),
bayi besar masa kehamilan dengan berat badan lahir lebih dari persentil
90, bayi dengan penyakit inkompatibilitas rhesus-hemolitik, bayi yang
lahir dari ibu yang mendapat terapi terbutaline/propoanolol/agen
hipoglikemik oral, neonatus dengan asfiksia perinatal, polisitemia, sepsis,
syok, distress pernapasan, hipotermia, bayi dengan retardasi
pertumbuhan. Termasuk juga ke dalamnya bayi dengan berat lahir di
antara persentil 10-90 dengan manifestasi klinis janin kurang asupan
nutrisi dalam bentuk kulit yang terkelupas, tidak punya lipatan kulit, dan
defisiensi lemak subkutan pada regio buccalis, dan pada bayi dengan
pemberian nutrisi parenteral total dan cairan intravena.
Skrining hipoglikemia tidak direkomendasikan pada bayi aterm yang
sesuai dengan masa kehamilan dan sedang menyusu ASI. Namun, bayi
aterm dengan intake sulit, terdapat tanda-tanda laktasi yang inadekuat
atau tanda-tanda hipotermia harus dilakukan pemeriksaan hipoglikemia.
Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain
pengukuran glukosa oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan
laboratorium. Pengukuran glukosa dengan cara strip reagen walaupun
digunakan secara umum, akan tetapi tidak akurat khususnya pada saat
level glukosa darah kurang dari 40-50 mg/dL. Pengukuran dengan cara ini
berguna untuk tujuan skrining, namun jika nilainya rendah harus selalu
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium sebelum diagnosis
hipoglikemia ditegakkan.
Metode lainnya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan
ini merupakan metode yang paling akurat. Dalam pemeriksaan
laboratorium, glukosa darah diukur dengan cara kalorimetrik atau dengan
cara elektroda.
Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis
sangat penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan
17
kadar gula darah pertama yang diambil pada saat ada gejala atau
kecurigaan hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi
butirat, asam laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif) dan
elektrolit (untuk melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin,
kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan
urin: keton dan asam amino (kuantitatif).
Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien
asimtomatik, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan
dengan puasa, maka pasien dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama
puasa, atau bila ada indikasi puasa dapat diperpanjang. Pemeriksaan ini
harus dengan rawat inap, dipasang akses intravena dan diberikan heparin
pada jalur intravenanya untuk pengambilan sampel darah dan bila perlu
untuk pemberian dextrose 25% bila timbul gejala hipoglikemia. Diambil
plasma darah secara sekuensial untuk pemeriksaan glukosa plasma, beta
hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16, dan 20, kemudian diberikan
glukagon 30-100 pg/kgBB intramuskuler. Sampel diambil setiap jam
sampai pemeriksaan berakhir. Sampel pertama dan terakhir harus
diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol. Bila dicurigai defek
pada enzim tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam organik
plasma dan atau urin.
Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes
toleransi leucine untuk menemukan diet dikemudian hari dilakukan
setelah pasien euglikemi, tes toleransi tolbutamide nilainya kurang untuk
menemukan adenoma pankreas, pemeriksaan fungsi adrenal.
H. Penatalaksanaan
Setiap pendekatan manajemen perlu untuk menjelaskan metabolik
keseluruhan dan status fisiologis bayi dan tidak seharusnya tidak perlu
mengganggu hubungan ibu - bayi dan menyusui. Definisi konsentrasi glukosa
plasma di mana intervensi diindikasikan perlu disesuaikan dengan situasi
klinis dan karakteristik tertentu dari bayi yang diberikan. Misalnya,
penyelidikan lebih lanjut dan pengobatan glukosa intravena segera mungkin
18
dilakukan untuk bayi dengan tanda-tanda klinis dan konsentrasi glukosa
plasma kurang dari 40 mg / dL, sedangkan yang berisiko tetapi diberi susu
formula jangka asimtomatik bayi hanya mungkin memerlukan peningkatan
frekuensi makan dan akan menerima glukosa intravena hanya jika nilai
glukosa menurun menjadi kurang dari 25 mg / dL (lahir sampai 4 jam usia)
atau 35 mg / dL (4 -24 jam usia). Follow-up konsentrasi glukosa dan evaluasi
klinis harus selalu diperoleh untuk memastikan bahwa homeostasis glukosa
setelah melahirkan adalah dicapai dan dipertahankan.[5]
Karena berat, berkepanjangan, hipoglikemia simtomatik dapat
menyebabkan cedera neuronal, intervensi yang cepat diperlukan untuk bayi
yang menampakkan tanda-tanda dan gejala klinis. Sebuah nilai cutoff wajar
(meskipun sewenang-wenang) untuk mengobati bayi yang simptomatik
adalah 40 mg/dL. Nilai ini lebih tinggi dari nadir fisiologis dan lebih tinggi
dari konsentrasi biasanya berhubungan dengan tanda-tanda klinis. Contoh
plasma untuk penentuan glukosa laboratorium harus diperoleh sebelum
memberi infus "minibolus" glukosa (200 mg per kg glukosa, 2 mL/kg
dekstrosa 10% dalam air [D10W], intravena) dan/atau memulai infus glukosa
(D10W pada 80-100 mL/kg per hari). Sebuah tujuan yang masuk akal adalah
untuk menjaga konsentrasi glukosa plasma pada bayi gejala antara 40 dan 50
mg/dL .
19
Gambar 1 merupakan pedoman untuk skrining dan manajemen
hipoglikemia neonatus pada akhir bayi prematur dan bayi cukup bulan yang
lahir dari ibu dengan diabetes, kecil masa kehamilan, atau besar untuk usia
kehamilan. Dalam mengembangkan pendekatan pragmatis untuk asimtomatik
berisiko bayi selama 24 jam pertama setelah lahir, metode makan, faktor
risiko, dan jam usia diperlukan. Strategi ini didasarkan pada pengamatan
berikut dari Cornblath dan Ichord: (1) hampir semua bayi dengan terbukti
hipoglikemia neonatus, gejala selama jam pertama kehidupan memiliki
konsentrasi glukosa plasma lebih rendah dari 20 sampai 25 mg/dL; (2)
20
Gambar 1. Skrining untuk dan pengelolaan homeostasis glukosa postnatal pada akhir - prematur ( LPT 34 -36 6/7 minggu ) dan jangka kecil masa kehamilan usia (KMK) bayi dan bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes ( IDM )/besar masa kehamilan (BMK). LPT dan SGA ( layar 0 -24 jam ), IDM dan BMK 34 minggu (layar 0 -12 jam). IV menunjukkan intravena. [5]
sindrom hipoglikemia neonatus persisten atau berulang hadir dengan
konsentrasi glukosa plasma sama rendah; dan (3) sedikit atau tidak ada bukti
yang menunjukkan bahwa hipoglikemia neonatus asimtomatik pada setiap
konsentrasi glukosa plasma pada hari-hari pertama hasil dari kehidupan setiap
gejala sisa yang merugikan dalam pertumbuhan atau perkembangan
neurologis.
Gambar 1 dibagi menjadi 2 periode waktu (lahir sampai 4 jam dan 4 -
12 jam) dan mengatur untuk nilai-nilai perubahan glukosa yang terjadi
selama 12 jam pertama setelah lahir. Nilai yang direkomendasikan untuk
intervensi dimaksudkan untuk memberikan margin of safety terhadap
konsentrasi glukosa yang berhubungan dengan tanda-tanda klinis.
Rekomendasi intervensi juga menyediakan berbagai nilai lebih dari yang
dokter dapat memutuskan untuk pemberian berulang atau memberikan
glukosa intravena. Target konsentrasi glukosa lebih besar dari 45 mg/dL
sebelum pemberian glukosa.
Bayi dengan resiko harus diberi glukosa pada 1 jam usia dan
diskrining 30 menit setelah pemberian tersebut. Rekomendasi ini konsisten
dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Skrining glukosa harus terus
sampai 12 jam usia untuk bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes dan
mereka yang BMK dan menjaga konsentrasi glukosa plasma lebih besar dari
40 mg/dL. Bayi akhir - prematur dan bayi KMK memerlukan pemantauan
glukosa selama minimal 24 jam setelah lahir, karena mereka mungkin lebih
rentan terhadap konsentrasi glukosa yang rendah, terutama jika menyusui
biasa atau cairan intravena belum ditetapkan. Jika tidak memadai homeostasis
glukosa postnatal didokumentasikan, dokter harus yakin bahwa bayi dapat
menjaga konsentrasi glukosa plasma normal pada diet rutin untuk jangka
waktu yang cukup panjang (melalui setidaknya 3 periode pemberian cepat)
sebelum dihentikan.
Disarankan bahwa berisiko bayi tanpa gejala yang memiliki
konsentrasi glukosa kurang dari 25 mg/dL (lahir sampai 4 jam usia) atau
kurang dari 35 mg/dL (4-24 jam usia) akan diberi glukosa ulang dan nilai
glukosa diperiksa ulang 1 jam setelah pemberian. Konsentrasi selanjutnya
21
bila lebih rendah dari 25 mg/dL, atau lebih rendah dari 35 mg/dL, setelah
upaya untuk pemberian ulang, mengharuskan pengobatan dengan glukosa
intravena. Hipoglikemia persisten dapat diobati dengan minibolus (200 mg/kg
[2 mL/kg] D10W) dan/atau infus intravena D10W 5 sampai 8 mg/kg per
menit, 80 hingga 100 mL/kg per hari; tujuannya adalah untuk mencapai
konsentrasi glukosa plasma dari 40 sampai 50 mg/dL (konsentrasi yang lebih
tinggi hanya akan merangsang sekresi insulin lebih lanjut). Jika tidak
mungkin untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah lebih besar dari
45 mg/dL setelah 24 jam dengan menggunakan metode infus glukosa ini,
pertimbangan harus diberikan untuk kemungkinan hipoglikemia
hiperinsulinemia, yang merupakan penyebab paling umum dari hipoglikemia
persisten berat pada periode baru lahir . Sampel darah harus dikirim untuk
pengukuran insulin bersama dengan konsentrasi glukosa pada saat
konsentrasi glukosa darah samping tempat tidur kurang dari 40 mg/dL, dan
harus dikonsultasikan ke endokrinologis.[5]
I. Prognosis
Prognosis tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit
inborn errors of metabolism dan defisiensi hormonal membutuhkan
pengobatan seumur hidup, sebaliknya pada hipoglikemia ketotik umumnya
menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan nutrisi yang adekuat
untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia tergantung pada
derajat penyakit, respon terhadap pengobatan, dan lesinya fokal atau difus.
22
BAB III
KESIMPULAN
Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang umum pada neonatus.
Hipoglikemia lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dibandingkan anak yang lebih
besar. Kadar glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara
penyediaan glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Bila terjadi
gangguan pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi hipoglikemia atau sebaliknya
hiperglikemia. Hipoglikemia pada neonatus dapat bersifat sementara dan menetap
atau berulang. Hipoglikemia disebabkan oleh kelainan yang menyebabkan
pemakaian glukosa berlebihan dan atau produksi glukosa kurang.
Hipoglikemia adalah kadar glukosa plasma yang kurang dari 45 mg/dl pada
bayi atau anak-anak, dengan atau tanpa gejala, hipoglikemia neurofisiologik pada
kadar 50 – 70 mg/dL, definisi hipoglikemia berat bila kadar kurang dari 40 mg/dL,
dan terapi berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL. Untuk neonatus aterm
berusia kurang dari 72 jam digunakan batas kadar glukosa plasma 35 mg/dl.
Sedangkan untuk neonatus prematur dan KMK (Kecil Masa Kehamilan) yang
berusia kurang dari 1 minggu disebut hipoglikemia bila kadar glukosa plasma kurang
dari 25 mg/dl. Hipoglikemia adalah kadar glukosa serum <40 mg / dL (<2,2 mmol /
L) pada neonatus atau <30 mg / dL (<1,7 mmol / L) pada bayi prematur.
Insiden dari hipoglikemia simptomatik pada neonatus bervariasi dari 1.3-
3/1000 kelahiran. Prematur, hipotermia, hipoksia, ibu yang menderita
diabetes/gestasional diabetes (1:1000 wanita hamil menderita diabetes insulin-
dependen dan gestasional diabetes muncul pada 2% wanita hamil), dan pertumbuhan
janin terhambat meningkatkan insidens hipoglikemia.
Hipoglikemia yang berat dan berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan
perkembangan khusunya neurofisiologis dan kematian pada setiap golongan umur.
Pada neonatus prognosis tergantung dari berat, lama, adanya gejala-gejala klinik dan
kelainan patologik yang menyertainya, demikian pula etiologi, diagnosis dini dan
pengobatan yang adekuat.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Sperling, Mark A. Hypoglicemia dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th
edition. 2002: 505-18.
2. Madiyono, Bambang. Hipoglikemia dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Jilid I. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2002;
349-50.
3. Batubara, Jose. Buku Ajar Endokrinologi Anak Jilid I. IDAI. Jakarta : 2010.
Hal 195.
4. McGowan, Jane E. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review. American
Academy of Pediatrics. 1999;20;e6. Diunduh dari
http://pedsinreview.aappublications.org/ pada tanggal 10 Januari 2012.
5. Adamkin, D. H. (2011). Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and
term infants. Pediatrics, 127(3), 575-579.
6. Cranmer, H. Neonatal Hypoglycemia. 2013. Emedicine Medscape.
7. Pudjadi, Antonius.Dkk. Pedoman Pelayanan Media Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jilid I. 2010 : IDAI. Jakarta.
24