BAB II

39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara Penyebab hipoglikemia seringkali sangat kompleks. Hipoglikemia terjadi pada beberapa macam kondisi neonatus antara lain prematuritas, retardasi pertumbuhan, dan diabetes gestasional. [1][2] Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada definisi kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi diestimasikan sebanyak 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi. penyediaan glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Hipoglikemia merupakan salah satu gangguan metabolik yang sering terjadi pada bayi dan anak. Dalam 1

description

BAB II

Transcript of BAB II

Page 1: BAB II

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hipoglikemia ialah suatu penurunan abnormal kadar glukosa darah. Kadar

glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara Penyebab

hipoglikemia seringkali sangat kompleks. Hipoglikemia terjadi pada beberapa

macam kondisi neonatus antara lain prematuritas, retardasi pertumbuhan, dan

diabetes gestasional.[1][2]

Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada definisi

kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi

diestimasikan sebanyak 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini

dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi. penyediaan glukosa dalam

darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Hipoglikemia merupakan salah satu

gangguan metabolik yang sering terjadi pada bayi dan anak. Dalam

perbandingannya, hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus daripada anak

yang lebih besar.[1][4][5]

Tujuan penulisan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui skrining dan penanganan hipoglikemia terhadap bayi

yang baru lahir

2. Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui gambaran penyakit hipoglikemia

b. Untuk mengetahui penanganan hipoglikemia

1

Page 2: BAB II

BAB II

ISI

A. Definisi

Hipoglikemia terjadi ketika kadar glukosa serum secara signifikan

lebih rendah daripada rentang pada bayi normal dengan usia postnatal yang

sesuai. Walaupun hipoglikemia dapat terjadi dengan gejala neurologis, seperti

letargi, koma, apnea, kejang, atau simpatomimetik, seperti pucat, palpitasi,

diaforesis, yang merupakan manifestasi dari respon terhadap glukosa, banyak

neonatus dengan serum glukosa rendah menunjukkan tanda hipoglikemia

nonspesifik.[1][6]

Sebagai batasannya pada bayi aterm dengan berat badan 2500 gram

atau lebih, kadar glukosa plasma darah lebih rendah dari 30 mg/dL dalam 72

jam pertama dan 40 g/dL pada hari berikutnya, sedangkan pada berat badan

lahir rendah di bawah 25 mg/dL. Serum glukosa pada neonatus menurun

segera setelah lahir sampai 1-3 hari pertama kehidupan. Pada bayi aterm yang

sehat, serum glukosa jarang berada di bawah nilai 35 mg/dL dalam 1 - 3 jam

pertama kehidupan, di bawah 40 mg/dL dalam 3-24 jam, dan kurang dari 45

mg/dL (2.5 mmol/L) setelah 24 jam. Bayi aterm dapat mempertahankan

kadar gula darah dalam darahg sekitar 50-60 mg/dL selama 72 jam pertama,

sedangkan bayi lahir rendah dalam kadar 40 mg/dL.[2]

Pada neonatus, tidak selalu terdapat korelasi yang jelas antara

konsentrasi glukosa darah dan manifestasi klinis klasik dari hipoglikemia.

Tidak adanya gejala bukan mengindikasikan bahwa konsentrasi glukosa

normal dan bukan berarti pula nilainya kurang dari nilai optimal yang

diperlukan untuk mempertahankan metabolisme energi di otak. Terdapat

bukti bahwa hipoksemia dan iskemia dapat meningkatkan potensi

hipoglikemia dalam kerusakan otak yang permanen. Karena kekhawatiran

terhadap kemungkinan sekuele neurologik, intelektual, atau psikologis pada

tahun-tahun berikutnya, banyak praktisi/klinisi yang menetapkan nilai

glukosa darah kurang dari 50 mg/dL pada neonatus harus dicurigai dan

2

Page 3: BAB II

ditatalaksana dengan agresif. Nilai ini dapat diterapkan setelah 2-3 jam pasca

kelahiran, ketika glukosa secara fisiologis mencapai titik nadir. Untuk

selanjutnya, tingkat glukosa mulai meningkat dan mencapai nilai 50 mg/dL

atau lebih setelah 12-24 jam. Pada bayi yang lebih besar dan anak-anak,

konsentrasi glukosa whole blood kurang dari 50 mg/dL (10-15% lebih tinggi

pada serum/plasma) menunjukkan kondisi hipoglikemia Secara fisiologis,

hipoglikemia terjadi ketika ambilan glukosa tidak adekuat untuk memenuhi

kebutuhan glukosa dan dapat terjadi melebihi rentang kadar glukosa normal.

Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang paling sering ditemukan

pada neonatus. Pada anak, hipoglikemia terjadi pada nilai glukosa darah

kurang dari 40 mg/dL. Sementara pada neonatus, hipoglikemia adalah kondisi

dimana glukosa plasma kurang dari 30 mg/dL pada 24 jam pertama

kehidupan dan kurang dari 45 mg/dL setelahnya.[1][5]

B. Klasifikasi

Berdasarkan patofisiologi dapat dikelompokkan dalam 4 golongan

anak dengan risiko terjadinya hipoglikemia. (1) bayi dari ibu diabetes atau

diabetes waktu hamil, dan bayi dengan eritroblastosis fetalis berat; bayi

demikian cenderung menderita hiperinsulinisme. (2) bayi berat badan lahir

rendah yang mungkin mengalami malnutrisi intrauterin; pada golongan ini

dapat terjadi penurunan cadangan glikogen hati dan lemak tubuh; BBLR yang

termasuk rawan adalah bayi kecil menurut kehamilan, salah satu bayi kembar

yang lebih kecil (berat badan berbeda 25% atau lebih, berat badan lahir

kurang dari 2000 g), bayi yang menderita polisitemia, bayi dari ibu toksemia,

dan bayi dengan plasenta yang abnormal. Faktor lain yang menyebabkan

hipoglikemia pada golongan ini adalah respon insulin yang abnormal,

glikoneogenesis yang terganggu, asam lemak bebas yang rendah, rasio berat

otak: hati yang meningkat, kecepatan produksi kortisol yang rendah, mungkin

kadar insulin yang meningkat, serta respon keluaran epinefrin yang menurun.

(3) bayi sangat kecil atau sakit berat yang mengalami hipoglikemia karena

meningkatnya kebutuhan metabolisme yang melebihi cadangan kalori, dan

bayi berat badan lahir rendah dengan sindrom gawat napas, asfiksia perinatal,

3

Page 4: BAB II

polisitemia, hipotermia dengan infeksi sistemik, dan kelainan jantung bawaan

sianotik yang menderita gagal jantung. Penghentian mendadak infus glukosa

terutama yang hipertonik dapat menimbulkan hipoglikemia. (4) bayi dengan

kelainan genetik atau gangguan metabolik primer (jarang terjadi) seperti

galaktosemia, penyakit cadangan glikogen, intoleransi fruktosa, asidemia

propionik, asidemia metilmalonik, tirosinemia, penyakit sirup mapel,

sensitivitas terhadap leusin, insulinoma, nesidioblastosis sel beta, hiperplasia

sel beta fungsional, panhipopituitarisme, sindrom Beckwith, dan bayi raksasa. [2]

Hipoglikemia dapat dibagi menurut usia yaitu hipoglikemia neonatus dan

hipoglikemia pada balita atau anak yang lebih besar[3]

a. Hipoglikemia pada neonatus

1. Bersifat sementara

Biasanya terjadi pada bayi baru lahir, misalnya karena masukan

glukosa yang kurang, hipotermia, syok, dan pada bayi dari ibu

diabetes.

2. Bersifat menentap atau berulang.

Terjadi akibat defisiensi hormon, hiperinsulinisme, serta kelainan

metabolisme karbohidrat dan asam amino, gangguan metabolisme

yang bersifat herediter (misalnya, penyakit penyimpanan glikogen,

gangguan glukoneogenesis, gangguan oksidasi asam lemak).

b. Hipoglikemia pada balita atau anak yang lebih besar

Hipoglikemia dapat terjadi karena akibat starvasi terutama bila cadangan

glikogen rendah, pre diabetes, obat-obatan misalnya insulin pada pasien

diabetes mellitus tipe 1, penyakit sistemik berat, dan pada gangguan

endokrin dan metabolisme.

C. Epidemiologi

Estimasi insidensi hipoglikemia pada neonatus tergantung baik pada

definisi kondisi dan metode pengukuran glukosa darah. Keseluruhan insidensi

diestimasikan sebanyak 5 kejadian dari tiap 1000 kelahiran hidup. Jumlah ini

dapat lebih tinggi pada populasi dengan risiko tinggi. Sebagai contoh, 8%

4

Page 5: BAB II

neonatus besar masa kehamilan (BMK) umumnya berasal dari ibu diabetik /

infant of diabetic mother (IDM) dan 15% bayi preterm dan bayi dengan

retardasi pertumbuhan intrauterin/intrauterine growth retardation (IUGR)

dilaporkan mengalami hipoglikemia; insidensi pada seluruh populasi risiko

tinggi diperkirakan sebesar 30%. [1][2][6]

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada neonatus yang lahir pada

kurang dari 37 minggu dan lebih dari 40 minggu usia kehamilan, dengan

tingkat kejadian 2,4% pada neonatus lahir pada 37 minggu usia kehamilan,

0,7% pada neonatus lahir pada 38-40 minggu dari usia kehamilan. Selain itu,

1,6% dan 1,8% pada neonatus yang lahir pada usia kehamilan 41 dan 42

minggu.

Keseluruhan insidensi hipoglikemia simtomatis pada neonatus

bervariasi, antara 1.3-3 kejadian dari 1000 kelahiran hidup. Insidensi tersebut

bervariasi tergantung dengan definisi yang digunakan, populasi, metode, dan

waktu pemberian asuan, dan tipe penilaian glukosa. Insidensi hipoglikemia

meningkat pada kelompok neonatus risiko tinggi. Pemberian asupan nutrisi

lebih awal dapat menurunkan insidensi hipoglikemia. Kelainan metabolisme

yang dapat mengakibatkan hipoglikemia pada neonatus jarang ditemui, tetapi

dapat dideteksi sejak masa neonatus. Insidensi dari kondisi-kondisi ini

adalah:

Gangguan metabolisme karbohidrat (>1:10,000)

Gangguan oksidasi asam lemak (1:10,000)

Intoleransi fruktosa herediter (1:20,000 to 1:50,000)

Penyakit penyimpanan glukosa (1:25,000)

Galaktosa (1:40,000)

Acidemia organik (1:50,000)

Kekurangan Karboksinase fosfoenolpiruvat (jarang)

Asidosis laktat primer (jarang)

Penelitian di Jepang, menunjukkan bahwa lebih dari 80% neonatus yang

masuk ke NICU, penyebabnya adalah apnea atau hipoglikemia pada

neonatus yang lahir pada usia kehamilan 35-36 minggu.

5

Page 6: BAB II

D. Etiologi

Secara garis besar, etiologi hipoglikemia dibagi menjadi dua bagian

besar, yaitu kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan dan

produksi glukosa kurang.[2][4]

a. Kelainan yang menyebabkan pemakaian glukosa berlebihan

1. Hiperinsulinisme (bayi dari ibu penderita diabetes, hipoglikemia

hiperinsulinisme menetap pada bayi, dan tumor yang memproduksi

insulin).

Hiperinsulinisme menyebabkan pemakaian glukosa yang

berlebihan terutama akibat rangsang ambilan glukosa oleh otot. Pada

bayi, hiperinsulinemia dapat terjadi karena defek genetik yang

menyebabkan aktivasi reseptor sulfonylurea akibat sekresi insulin

yang menetap. Kelainan ini diketahui sebagai hipoglikemia

hiperinsulin endogen menetap pada bayi yang sebelumnya disebut

sebagai nesidioblastosis.

Bayi dari penderita diabetes juga mempunyai kadar insulin

yang tinggi setelah lahir karena tingginya paparan glukosa in utero

6

Gambar 1. Insidensi hipoglikemia berdasarkan berat lahir, umur gestasi, dan pertumbuhan intrauterine.[1]

Page 7: BAB II

akibat jeleknya kontrol glukosa selama kehamilan, hal ini yang

menyebabkan hiperinsulinemia pada bayi. Pada anak,

hiperinsulinemia jarang terjadi, penyebabnya tumor yang

memproduksi insulin. Penggunaan insulin eksogen atau pemberian

obat yang menyebabkan hipoglikemia kadang dapat terjadi karena

kecelakaan atau salah penggunaan, sehingga hal ini pada anak harus

dipertimbangkan.

Ditemukan sebanyak 50% dari semua kasus hipoglikemia pada

bayi. Diagnosis hipoglikemia dicurigai bila serangan cenderung

berulang. Diagnosis hiperinsulinisme ditegakkan bila didapatkan

suatu keadaan hipoglikemia yang disertau kadar insulin yang tinggi.

Pada keadaan normal, penurunan kadar gula darah disertai dengan

penurunan kadar insulin yang sesuai. Kadar insulin >10 µU/ml pada

keadaan hipoglikemia adalah abnormal, bahkan pada beberapa kasus

kadar yang lebih kecil mungkin tidak sesuai dengan keadaan

hipoglikemia yang ada dan menunjukan adanya sekresi otonom.

Banyak pasien yang pada saat bayi dikenal mengalami

hipoglikemia idiopatik ternyata mengalami hiperinsulinisme.

Hiperinsulinisme sebagai penyebab hipoglikemia berat, pada

umumnya muncul pada bayi baru lahir sampai usia 3 bulan. Adanya

hiperinsulinisme, hipoglikemia simptomatik timbul setelah puasa 36

jam dan disertai dengan rendahnya kadar beta-hidroksibutirat (benda-

benda keton), Asam lemak bebas/Free fatty Acid (FFA) dan

hiperinsulinemia relatif (> 12 mikro unit/ml). (mcgowen) Respons

hiperglikemia terhadap glukagon meningkat. Uji toleransi tolbutamid

memberikan hasil reaksi yang hebat. Hiperinsulinisme, ada dua :

a) Hiperinsulinisme neonatal transien

Hiperinsulinisme sering didapatkan pada neonatus. Hal ini

mungkin merupakan gambaran dari imaturitas regulasi sekresi

insulin. Keadaan ini dapat terjadi pada bayi sakit, tetapi lebih

jelas pada bayi yang asfiksia waktu lahir dan bayi-bayi kecil

untuk masa kehamilan karena cadangan glikogennya lebih

7

Page 8: BAB II

terbatas. Walaupun hiperinsulin ini hanya berlangsung

sementara, namun penanganan yang cepat dan tepat harus

segera diberikan agar tidak menimbulkan cacat otak yang

menetap. Masalah ini sering terjadi sehingga pemantauan

kadar glukosa darah pada jam-jam pertama harus selalu

dilakukan untuk semua bayi dengan resiko.

Pemberian minum harus segera dimulai, bila perlu dengan

glukosa intravena. Pada saat pemulihan, pemberian glukosa

intravena dikurangi secara bertahap. Walaupun jarang, perlu

diketahui hiperinsulinisme persisten yang memerlukan

penanganan yang intensif.

b) Hiperinsulinisme persisten

Hiperinsulinisme persisten pada umumnya disebabkan oleh

adanya defek dalam perkembangan sel beta yang

menyebabkan timbulnya gangguan fungsi dan abnormalitas

struktur insulin.

2. Defek pada pelepasan glukosa (defek siklus Krebs). Kelainan ini

sangat jarang, mengganggu pembentukan Adenosin triphosphate

(ATP) dari oksidasi glukosa, disini kadar laktat sangat tinggi.

3. Defek pada produksi energi alternative (defisiensi carnitine acyl

transferase, defisiensi 3-hidroksi-3metilglutaril-coenzim-A (HMG

CoA), defisiensi rantai panjang dan medium acyl-CoA

dehydrogenase, defisiensi rantai pendek acyl-CoA dehyrogenase).

Kelainan ini mengganggu penggunaan lemak sebagai energi, sehingga

tubuh sangat tergantung hanya pada glukosa. Ini akan menyebabkan

masalah bila puasa dalam jangka lama yang seringkali berhubungan

dengan penyakit gastrointestinal.

4. Sepsis atau penyakit dengan hipermetabolik, termasuk

hipertiroidisme.

b. Kelainan yang menyebabkan kurangnya produksi glukosa

1. Simpanan glukosa tidak akuat (prematur, bayi kecil masa kehamilan,

disamping hipoglikemia akibat pemberian insulin pada diabetes. Hal

8

Page 9: BAB II

ini dapat dibedakan dengan melihat keadaan klinis dan adanya

hipoglikemia ketotik, biasanya terjadi akibat pada anak yang kurus,

usia antara 18 bulan sampai 6 tahun. masukan makanan yang

terganggu karena bermacam sebab. Penelitian terakhir mekanisme

yang mendasari hipoglikemia ketotik adalah gagalnya

glukoneogenesis.

2. Kelainan pada produksi glukosa hepar antara lain defisiensi glucose-

6-phosphatase (penyakit penyimpanan glukosa tipe I), defisiensi

debrancher (penyakit penyimpanan glukosa tipe III), defisiensi

phosphatase hepar (penyakit penyimpanan glukosa tipe VI, defisiensi

sintase glukagon, defisiensi fruktosa 1,6 diphospatase, defisiensi

fosfoenol piruvat, defisiensi karboksilase piruvat, galaktosemia,

intoleransi fruktosa herediter). Kelainan ini menurunkan produksi

glukosa melalui berbagai defek termasuk blokade pada pelepasan dan

sintesis glukosa atau hambatan pada glukoneogenesis. Anak yang

menderita penyakit ini akan dapat beradaptasi terhadap hipoglikemia

karena penyakitnya bersifat kronik.

a. Penyakit penyimpanan glukosa tipe I

Penyakit ini merupakan penyebab tersering hipoglikemia.

Penyebabnya adalah adanya defisiensi enzim hati (defisiensi

glukose 6 fosfatase). Penyakit ini bisa menyebabkan

penghambatan total, baik pada glukoneogenesis maupun

glikogenolisis. Beberapa bayi memperlihatkan gejala

hipoglikemia berat, asidosis, sedangkan yang lainnya dengan

gejala gangguan pertumbuhan terutama pada bayi dan anak

kecil. Adanya hepatomegali yang hebat menjadi penting untuk

diagnostik, selain itu terjadi pembesaran ginjal. Bayi dan anak

terlihat pendek yang disertai hipotoni. Meningkatnya jaringan

lemak pada muka dan ekstremitas memberikan gambaran anak

tersebut seolah-olah gizi baik.

Pada bayi baru lahir, penyebab hipoglikemia persisten atau

berulang bisa didapat melalui anamnesa yang lengkap,

9

Page 10: BAB II

pemeriksaan fisik dan temuan laboratorium. Hipoglikemia

yang berhubungan dengan intake makanan bisa dicurigai

adanya kelainan pada salah satu glukoneogenesis. Apabila

gejala terjadi ≥ 6 jam setelah makan dan apabila gejala terjadi

segera setelah makan, kemungkinan adalah adanya

galaktosemia atau intoleransi fruktosa, terdapatnya substansi

yang tereduksi pada urin berulang kali memperkuat diagnosis

ini.

3. Kelainan hormonal (panhypopituitarisme, defisiensi hormon

pertumbuhan, defisiensi kortisol dapat primer atau sekunder. Hal ini

karena hormon pertumbuhan dan kortisol berperan penting pada

pembentukan energi alternative dan merangsang produksi glukosa.

Kelainan ini mudah diobati namun yang sangat penting adalah

diagnosis dini.

4. Toksin dan penyakit lain (etanol, salisilat, propanolol, malaria).

Etanol menghambat glukoneogenesis melalui hepar sehingga dapat

menyebabkan hipoglikemia. Hal ini khususnya pada pasien dengan

diabetes yang diobati insulin yang tidak dapat mengurangi sekresi

insulin sebagai respon bila terjadi hipoglikemia. Intoksikasi salisilat

dapat menyebabkan hipoglikemia ataupun hiperglikemia.

Hipoglikemia karena bertambahnya sekresi insulin dan hambatan

pada glukoneogenesis.

E. Patofisiologi

Sebenarnya, pengaturan homeostasis pada janin dan bayi tidak

sepenuhnya dapat dibuktikan, karena sebagian besar kesimpulan yang

diambil adalah dari penelitian binatang percobaan. Walaupun demikian pada

anak dan dewasa mempunyai substrat dan pengaturan metabolisme hormonal

yang sama, namun homeostasis glukosa pada bayi gambarannya berbeda.[4]

Bila seorang ibu hamil mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka pada

janin tidak akan terjadi glukoneogenesis dan ketogenesis.

10

Page 11: BAB II

Selama dalam kandungan, energi pokok yang digunakan janin adalah:

glukosa, asam amino, dan laktat, glukosa merupakan 50% dari energi yang

dibutuhkan. Glukosa ibu masuk melalui plasenta ke janin dengan difusi

karena adanya perbedaan konsentrasi pada ibu dan plasma janin, kadar

glukosa plasma janin 70-80% kadar dalam vena ibu. Glukosa yang masuk ke

janin dalam jumlah yang proporsional untuk kebutuhan energi yang

dibutuhkan janin dengan kecepatan 5-7 gram/kgBB/menit, sesuai dengan

kecepatan produksi glukosa endogen setelah lahir. Sistem enzim yang terlibat

dalam glukoneogenesis dan glukogenolisis sudah ada dalam hepar janin

namun tidak aktif, kecuali apabila terangsang oleh ibu yang sangat kelaparan.

Pada hewan aktivitas enzim untuk glukoneogenesis sangat penting, pada

janin manusia tidak ada atau bila ada sangat rendah dan tidak meningkat

sampai periode perinatal yang akan mencapai kadar dewasa hanya dalam

beberapa jam sampai beberapa hari setelah kehidupan ekstrauterin. Untuk

mempertahankan euglikemia, pada saat lahir tidak ada produksi glukosa oleh

janin manusia, namun produksi glukosa hepar dan glukoneogenesis telah

dibuktikan ada dalam beberapa jam setelah lahir, kecuali pada bayi yang

prematur. Enzim yang dibutuhkan untuk glikogenolisis dan sintesis glikogen

sudah ada pada hepar janin sejak lama sebelum terjadi akumulasi glikogen.

Hanya pada anak dengan penyakit penyimpanan glukosa, dalam 3-4 minggu

terakhir kehamilan, terjadi peningkatan cadangan glikogen hepar mencapai

kadar saat lahir. [4]

Pada saat lahir kadar glukosa plasma umbilical 60-80% dari kadar

glukosa vena ibu. Pada bayi aterm sehat yang sudah lepas dari ibunya dua

jam pertama setelah lahir, kadar glukosa darahnya tidak pernah di bawah 40

mg/dL, pada usia 4-6 jam berkisar antara 45-80 mg/dL. Kadar glukosa

dipertahankan segera setelah lahir dengan pemecahan glikogen hepar

(glikogenolisis) karena pengaruh epinefrin dan glucagon, difasilitasi oleh

turunnya kadar insulin. Namun dalam waktu 8-12 jam pertama glikogen

berkurang, setelah itu kadar glukosa dipertahankan oleh sintesis glukosa dari

laktat, gliserol, dan alanin (glukoneogenesis). Setelah mendapat makanan dan

masukan karbohidrat adekuat, glukoneogenesis tidak dibutuhkan lagi.

11

Page 12: BAB II

Hipoglikemia disebabkan oleh berkurangnya suplai glukosa atau

meningkatnya konsumsi glukosa. Karena euglikemia pada mulanya

tergantung pada glikogenolisis dan glikoneogenesis, bayi yang kekurangan

substrat atau jalur metaboliknya tidak normal, terjadi hipoglikemia.[6]

Pada orang sehat, kadar glukosa darah post absorbsi tetap

dipertahankan dalam rentang yang sempit, antara 60-100 mg/dL. Setelah

makan maka kadar glukosa akan meningkat sementara antara 120-140

mg/dL, setelah itu kembali ke kadar semula biasanya sekitar 2 jam setelah

absorbsi karbohidrat terakhir. Insulin dan glukagon merupakan dua hormon

yang sangat penting dalam sistem umpan balik glukosa, bila gula darah

meningkat setelah makan, maka sekresi insulin meningkat dan merangsang

hepar untuk menyimpan glukosa sebagai glikogen. Bila sel (khususnya hepar

dan otot) kelebihan glukosa, maka kelebihan glukosa disimpan sebagai

lemak. Bila kadar glukosa turun, fungsi sekresi glukagon adalah

meningkatkan kadar glukosa dengan merangsang hepar untuk melakukan

glikogenolisis dan melepaskan glukosa kembali ke dalam darah. Pada

keadaan kelaparan, hepar mempertahankan kadar glukosa melalui

glukoneogenesis.

Glukoneogenesis, adalah pembentukan glukosa dari asam amino dan

gliserol yang merupakan bagian dari lemak. Otot memberikan simpanan

glikogen dan memecah protein otot menjadi asam amino yang merupakan

substrat untuk glikoneogenesis dalam hepar. Asam lemak dalam sirkulasi di

katabolisme menjadi keton, asetoasetat dan beta hidroksi butirat yang dapat

digunakan sebagai pembantu bahan bakar untuk sebagian besar jaringan,

termasuk otak. Hipotalamus merangsang sistem saraf simpatis dan epinefrin

yang disekresi oleh adrenal menyebabkan pelepasan glukosa oleh hepar. Bila

hipoglikemia berkelanjutan, sampai beberapa jam atau hari, maka hormone

pertumbuhan dan kortisol disekresi dan penurunan penggunaan glukosa oleh

sebagian besar sel tubuh. Insulin merupakan hormone pengatur utama, bila

tidak bekerja atau kurang maka terjadi hiperglikemia post absorbsi, jadi

insulin mempertahankan euglikemia post absorbsi. Pada orang normal bila

dibuat hipoglikemia dengan diberikan insulin, maka pertama kali hepar yang

12

Page 13: BAB II

berperan secara fisiologis terjadi respon untuk mengatasi hipoglikemia

dengan mengeluarkan glukosa yang disimpan sebagai glikogen dari sel

hepatosit dan merubah laktat, gliserol, dan asam amino menjadi glukosa

(glikoneogenesis), bila kadar glukosa darah tetap tidak mencukupi maka

tubuh meningkatkan kadar glukagon, epinefrin, hormon pertumbuhan, dan

kortisol. Glukagon yang pertama kali mengatasi hipoglikemia, bila gagal,

maka yang kedua adalah epinefrin, bila glukagon dapat mengatasi

hipoglikemia, maka epinefrin tidak diperlukan, namun bila tidak ada

glukagon maka epinefrin memegang peranan penting. Hormon pertumbuhan

dan kortisol, walaupun berperan namun bekerjanya lebih lambat. Otak

merupakan organ target khusus yang menggunakan glukosa dan atau keton

sebagai sumber energi utama. Uuntuk mempertahankan kadar gula darah

normal tergantung pada:

1. Sistem endokrin yang normal untuk integrasi dan modulasi mobilisasi

substrat, interkonversi dan utilisasi.

2. Enzim untuk glikogenolisis, sintesis glikogen, glikolisis,

glukoneogenesis, dan utilisasi bahan bakar metabolik lain dan

penyimpanan yang berfungsi baik.

3. Suplai lemak endogen, glikogen, dan substrat glukoneogenik potensial

(asam amino, gliserol, dan laktat) yang adekuat.

Orang dewasa normal mampu mempertahankan kadar gula darah normal

atau mendekati normal, kira-kira sampai seminggu, bahkan bila obesitas

dapat sampai sebulan. Sebaliknya pada neonatus dan anak sehat, tidak dapat

mempertahankan kadar gula darah normal bila dipuasakan dalam jangka

pendek (24-36 jam), setelah itu terjadi penurunan kadar glukosa plasma yang

progresif sampai ke kadar hipoglikemia. Kelainan sekresi hormone,

interkonversi substrat dan mobilisasi bahan bakar metabolik menyebabkan

kelainan produksi dan utilisasi glukosa yang berakibat hipoglikemia pada

anak.

Dalam keadaan normal tubuh mengatasi hipoglikemia dengan

menurunkan sekresi insulin dan meningkatkan sekresi glukosa, epinefrin,

hormone pertumbuhan, dan kortisol. Perubahan hormonal tersebut

13

Page 14: BAB II

dikombinasi dengan meningkatnya keluaran glukosa hepar, bahan bakar

alternative yang ada dan penggunaan glukosa menurun. Respon pertama kali

yang terjadi adalah peningkatan produksi glukosa dari hepar dengan

pelepasan cadangan glikogen hepar disertai penurunan insulin dan

peningkatan glukagon. Bila cadangan glikogen habis maka terjadi

peningkatan kerusakan protein karena kortisol meningkat, glukoneogenesis

hepar diganti dengan glikogenolisis sebagai sumber produksi utama glukosa.

Kerusakan protein tersebut digambarkan dengan meningkatnya kadar asam

amino glukonegenik, alanin, dan glutamine dalam plasma. Penurunan kadar

glukosa perifer pada keadaan awal menurunkan kadar insulin, yang kemudian

diikuti peningkatan kadar epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan.

Ketiga kejadian di atas, meningkatkan lipolisis dan asam lemak bebas dalam

plasma, yang dapat digunakan sebagai bahan bakar alternative tubuh dan

menghambat penggunaan glukosa. Kenaikan keton urin dan plasma

menunjukkan penggunaan lemak sebagai sumber energi. Asam lemak bebas

plasma juga merangsang produksi glukosa.

Hipoglikemia terjadi bila satu atau lebih mekanisme keseimbangan di

atas gagal, atau penggunaan glukosa yang berlebihan seperti pada

hiperinsulinisme, atau produksi yang kurang seperti pada penyakit

penyimpanan glukosa atau kombinasi defisiensi hormon pertumbuhan dan

atau kortisol.

F. Manifestasi klinis

Tanda-tanda klinis hipoglikemia neonatus tidak spesifik dan termasuk

berbagai manifestasi lokal atau umum yang biasa terjadi pada neonatus yang

sakit. Tanda-tanda ini termasuk gelisah, sianosis, kejang, episode apnea,

takipnea, lemah atau bernada tinggi menangis, kelesuan, makan yang buruk,

dan mata - bergulir.[5]

Hal ini penting untuk menyaring gangguan lain yang mungkin

mendasari (misalnya, infeksi) serta hipoglikemia. Tanda-tanda seperti

biasanya mereda dengan cepat dengan normalisasi pasokan glukosa dan

konsentrasi plasma.[5]

14

Page 15: BAB II

Koma dan kejang dapat terjadi dengan hipoglikemia neonatus

berkepanjangan (konsentrasi glukosa plasma atau darah lebih rendah dari

rentang 10 mg/dL) dan hipoglikemia berulang. Tanda-tanda yang lebih serius

(misalnya, aktivitas kejang) biasanya terjadi terlambat dalam kasus yang

parah dan berlarut-larut hipoglikemia dan tidak mudah atau cepat terbalik

dengan penggantian glukosa dan normalisasi kadar glukosa plasma.

Perkembangan tanda-tanda klinis dapat terbantu dengan kehadiran substrat

alternatif.

Karena menghindari dan pengobatan kekurangan energi otak adalah

perhatian utama, perhatian terbesar harus diberikan tanda-tanda neurologis .

Untuk atribut tanda dan gejala ke hipoglikemia neonatus, Cornblath et al

telah menyarankan bahwa triad Whipple dipenuhi : (1) konsentrasi glukosa

darah yang rendah; (2) tanda yang konsisten dengan hipoglikemia neonatus;

dan (3) resolusi dari tanda dan gejala setelah memulihkan konsentrasi

glukosa darah ke nilai normal.[5]

G. Pemeriksaan

Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia secara benar harus dipatuhi trias

Whipple yaitu: (1) konsentrasi glukosa darah yang rendah; (2) tanda yang konsisten

dengan hipoglikemia neonatus; dan (3) resolusi dari tanda dan gejala setelah

memulihkan konsentrasi glukosa darah ke nilai normal. Bila ketiganya dipenuhi,

maka diagnosis klinis hipoglikemia dapat ditetapkan. Berdasarkan pada klinis, hasil

pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lain untuk menetapkan

etiologi. Untuk menetapkan diagnosis hipoglikemia asimtomatik lebih sulit,

walaupun juga sebagai penyebab kerusakan otak. Dengan teknik pemeriksaan mikro

untuk mengukur kadar hormon dan substrat dalam plasma, maka menjadi mungkin

untuk memperluas definisi dan pengembangan protokol hipoglikemia dan mencari

mekanisme yang mungkin menyebabkan turunnya gula darah. Jadi yang diukur

adalah respon hormon yang meningkat saat terjadi hipoglikemia antara lain epinefrin,

hormon pertumbuhan, kortisol, dan glukagon, bersama dengan substrat antara lain

asam lemak bebas, gliserol, dan badan keton.

15

Page 16: BAB II

Hipoglikemia yang dipicu oleh komponen makanan tertentu dapat

mengarahkan pada inborn error of metabolism seperti galaktosemia, penyakit maple

syrup urine dan intoleransi fruktosa. Obesitas yang mencolok saat lahir menyokong

kea rah hiperinsulinisme. Kolestasis dan mikropenis pada hipopituitarisme.

Hepatomegali seringkali terjadi pada glycogen storage disease.[2][4]

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pada bayi yang berusia lebih dari 2 bulan, anak dan dewasa,

penurunan gula darah kurang dari 40 mg/dL (2,2 mmol/L) dapat

menimbulkan rasa lapar dan merangsang pelepasan epinefrin yang

berlebihan sehingga menyebabkan lemah, gelisah, keringat dingin,

gemetar, dan takikardi. Gejala adrenergik cenderung terjadi pada

hipoglikemia postprandial. Sebaliknya, pada hipoglikemia karena

kelaparan umumnya bertahap namun progresif dan menyebabkan gejala

neuroglikopenia. Gejala hipoglikemia dapat diklasifikasikan dalam dua

kelompok besar, yaitu: berasal dari sistem saraf otonom dan berhubungan

dengan kurangnya suplai glukosa pada otak (neuroglikopenia). Gejala

akibat dari sistem saraf otonom adalah berkeringat, gemetar, gelisah, dan

nausea. Akibat neuroglikopenia adalah pusing, bingung, rasa lelah, sulit

bicara, sakit kepala, dan tidak dapat berkonsentrasi. Kadang disertai rasa

lapar, pandangan kabur, mengantuk, dan lemah. Pada neonatus tidak

spesifik antara lain tremor, peka rangsang, apneu, sianosis, hipotonia,

sulit minum, kejang, koma, tangisan nada tinggi, nafas cepat, dan pucat.

Namun hal ini juga dapat terjadi pada bayi yang tidak hipoglikemia,

misalnya kelainan bawaan pada susunan saraf pusat, cedera lahir,

mikrosefali, perdarahan, dan kernikterus. Demikian juga dapat terjadi

akibat hipoglikemia yang berhubungan dengan sepsis, penyakit jantung,

distress pernapasan, asfiksia, anomali kongenital multipel atau defisiensi

endokrin. Kadang hipoglikemia juga asimtomatik misalnya pada glycogen

storage disease tipe I.

16

Page 17: BAB II

b. Pemeriksaan Laboratorium

Skrining hipoglikemia direkomendasikan pada bayi berat lahir sangat

rendah, bayi prematur, bayi kecil masa kehamilan dengan berat badan

lahir kurang dari persentil 10, bayi dengan ibu diabetes (tipe I atau II),

bayi besar masa kehamilan dengan berat badan lahir lebih dari persentil

90, bayi dengan penyakit inkompatibilitas rhesus-hemolitik, bayi yang

lahir dari ibu yang mendapat terapi terbutaline/propoanolol/agen

hipoglikemik oral, neonatus dengan asfiksia perinatal, polisitemia, sepsis,

syok, distress pernapasan, hipotermia, bayi dengan retardasi

pertumbuhan. Termasuk juga ke dalamnya bayi dengan berat lahir di

antara persentil 10-90 dengan manifestasi klinis janin kurang asupan

nutrisi dalam bentuk kulit yang terkelupas, tidak punya lipatan kulit, dan

defisiensi lemak subkutan pada regio buccalis, dan pada bayi dengan

pemberian nutrisi parenteral total dan cairan intravena.

Skrining hipoglikemia tidak direkomendasikan pada bayi aterm yang

sesuai dengan masa kehamilan dan sedang menyusu ASI. Namun, bayi

aterm dengan intake sulit, terdapat tanda-tanda laktasi yang inadekuat

atau tanda-tanda hipotermia harus dilakukan pemeriksaan hipoglikemia.

Metode pengukuran glukosa dapat melalui 2 cara antara lain

pengukuran glukosa oksidase (strip reagen) dan pemeriksaan

laboratorium. Pengukuran glukosa dengan cara strip reagen walaupun

digunakan secara umum, akan tetapi tidak akurat khususnya pada saat

level glukosa darah kurang dari 40-50 mg/dL. Pengukuran dengan cara ini

berguna untuk tujuan skrining, namun jika nilainya rendah harus selalu

dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium sebelum diagnosis

hipoglikemia ditegakkan.

Metode lainnya yaitu dengan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan

ini merupakan metode yang paling akurat. Dalam pemeriksaan

laboratorium, glukosa darah diukur dengan cara kalorimetrik atau dengan

cara elektroda.

Pemeriksaan laboratorium yang dikombinasi dengan riwayat klinis

sangat penting untuk menegakkan diagnosis hipoglikemia. Pemeriksaan

17

Page 18: BAB II

kadar gula darah pertama yang diambil pada saat ada gejala atau

kecurigaan hipoglikemia, dan pemeriksaan yang lain adalah: beta hidroksi

butirat, asam laktat, asam lemak bebas, asam amino (kuantitatif) dan

elektrolit (untuk melihat anion gap). Pemeriksaan hormonal: insulin,

kortisol, hormon pertumbuhan. Pemeriksaan faal hepar. Pemeriksaan

urin: keton dan asam amino (kuantitatif).

Apabila ada pemeriksaan awal tidak terdiagnosis atau pasien

asimtomatik, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan. Bila berhubungan

dengan puasa, maka pasien dipuasakan dan dipantau dalam 24 jam selama

puasa, atau bila ada indikasi puasa dapat diperpanjang. Pemeriksaan ini

harus dengan rawat inap, dipasang akses intravena dan diberikan heparin

pada jalur intravenanya untuk pengambilan sampel darah dan bila perlu

untuk pemberian dextrose 25% bila timbul gejala hipoglikemia. Diambil

plasma darah secara sekuensial untuk pemeriksaan glukosa plasma, beta

hidroksibutirat, dan insulin pada jam 8, 16, dan 20, kemudian diberikan

glukagon 30-100 pg/kgBB intramuskuler. Sampel diambil setiap jam

sampai pemeriksaan berakhir. Sampel pertama dan terakhir harus

diperiksa kadar hormon pertumbuhan dan kortisol. Bila dicurigai defek

pada enzim tertentu, maka diperlukan pemeriksaan analisa asam organik

plasma dan atau urin.

Pemeriksaan lain yang diperlukan adalah tes stimulasi glukagon, tes

toleransi leucine untuk menemukan diet dikemudian hari dilakukan

setelah pasien euglikemi, tes toleransi tolbutamide nilainya kurang untuk

menemukan adenoma pankreas, pemeriksaan fungsi adrenal.

H. Penatalaksanaan

Setiap pendekatan manajemen perlu untuk menjelaskan metabolik

keseluruhan dan status fisiologis bayi dan tidak seharusnya tidak perlu

mengganggu hubungan ibu - bayi dan menyusui. Definisi konsentrasi glukosa

plasma di mana intervensi diindikasikan perlu disesuaikan dengan situasi

klinis dan karakteristik tertentu dari bayi yang diberikan. Misalnya,

penyelidikan lebih lanjut dan pengobatan glukosa intravena segera mungkin

18

Page 19: BAB II

dilakukan untuk bayi dengan tanda-tanda klinis dan konsentrasi glukosa

plasma kurang dari 40 mg / dL, sedangkan yang berisiko tetapi diberi susu

formula jangka asimtomatik bayi hanya mungkin memerlukan peningkatan

frekuensi makan dan akan menerima glukosa intravena hanya jika nilai

glukosa menurun menjadi kurang dari 25 mg / dL (lahir sampai 4 jam usia)

atau 35 mg / dL (4 -24 jam usia). Follow-up konsentrasi glukosa dan evaluasi

klinis harus selalu diperoleh untuk memastikan bahwa homeostasis glukosa

setelah melahirkan adalah dicapai dan dipertahankan.[5]

Karena berat, berkepanjangan, hipoglikemia simtomatik dapat

menyebabkan cedera neuronal, intervensi yang cepat diperlukan untuk bayi

yang menampakkan tanda-tanda dan gejala klinis. Sebuah nilai cutoff wajar

(meskipun sewenang-wenang) untuk mengobati bayi yang simptomatik

adalah 40 mg/dL. Nilai ini lebih tinggi dari nadir fisiologis dan lebih tinggi

dari konsentrasi biasanya berhubungan dengan tanda-tanda klinis. Contoh

plasma untuk penentuan glukosa laboratorium harus diperoleh sebelum

memberi infus "minibolus" glukosa (200 mg per kg glukosa, 2 mL/kg

dekstrosa 10% dalam air [D10W], intravena) dan/atau memulai infus glukosa

(D10W pada 80-100 mL/kg per hari). Sebuah tujuan yang masuk akal adalah

untuk menjaga konsentrasi glukosa plasma pada bayi gejala antara 40 dan 50

mg/dL .

19

Page 20: BAB II

Gambar 1 merupakan pedoman untuk skrining dan manajemen

hipoglikemia neonatus pada akhir bayi prematur dan bayi cukup bulan yang

lahir dari ibu dengan diabetes, kecil masa kehamilan, atau besar untuk usia

kehamilan. Dalam mengembangkan pendekatan pragmatis untuk asimtomatik

berisiko bayi selama 24 jam pertama setelah lahir, metode makan, faktor

risiko, dan jam usia diperlukan. Strategi ini didasarkan pada pengamatan

berikut dari Cornblath dan Ichord: (1) hampir semua bayi dengan terbukti

hipoglikemia neonatus, gejala selama jam pertama kehidupan memiliki

konsentrasi glukosa plasma lebih rendah dari 20 sampai 25 mg/dL; (2)

20

Gambar 1. Skrining untuk dan pengelolaan homeostasis glukosa postnatal pada akhir - prematur ( LPT 34 -36 6/7 minggu ) dan jangka kecil masa kehamilan usia (KMK) bayi dan bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes ( IDM )/besar masa kehamilan (BMK). LPT dan SGA ( layar 0 -24 jam ), IDM dan BMK 34 minggu (layar 0 -12 jam). IV menunjukkan intravena. [5]

Page 21: BAB II

sindrom hipoglikemia neonatus persisten atau berulang hadir dengan

konsentrasi glukosa plasma sama rendah; dan (3) sedikit atau tidak ada bukti

yang menunjukkan bahwa hipoglikemia neonatus asimtomatik pada setiap

konsentrasi glukosa plasma pada hari-hari pertama hasil dari kehidupan setiap

gejala sisa yang merugikan dalam pertumbuhan atau perkembangan

neurologis.

Gambar 1 dibagi menjadi 2 periode waktu (lahir sampai 4 jam dan 4 -

12 jam) dan mengatur untuk nilai-nilai perubahan glukosa yang terjadi

selama 12 jam pertama setelah lahir. Nilai yang direkomendasikan untuk

intervensi dimaksudkan untuk memberikan margin of safety terhadap

konsentrasi glukosa yang berhubungan dengan tanda-tanda klinis.

Rekomendasi intervensi juga menyediakan berbagai nilai lebih dari yang

dokter dapat memutuskan untuk pemberian berulang atau memberikan

glukosa intravena. Target konsentrasi glukosa lebih besar dari 45 mg/dL

sebelum pemberian glukosa.

Bayi dengan resiko harus diberi glukosa pada 1 jam usia dan

diskrining 30 menit setelah pemberian tersebut. Rekomendasi ini konsisten

dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Skrining glukosa harus terus

sampai 12 jam usia untuk bayi yang lahir dari ibu dengan diabetes dan

mereka yang BMK dan menjaga konsentrasi glukosa plasma lebih besar dari

40 mg/dL. Bayi akhir - prematur dan bayi KMK memerlukan pemantauan

glukosa selama minimal 24 jam setelah lahir, karena mereka mungkin lebih

rentan terhadap konsentrasi glukosa yang rendah, terutama jika menyusui

biasa atau cairan intravena belum ditetapkan. Jika tidak memadai homeostasis

glukosa postnatal didokumentasikan, dokter harus yakin bahwa bayi dapat

menjaga konsentrasi glukosa plasma normal pada diet rutin untuk jangka

waktu yang cukup panjang (melalui setidaknya 3 periode pemberian cepat)

sebelum dihentikan.

Disarankan bahwa berisiko bayi tanpa gejala yang memiliki

konsentrasi glukosa kurang dari 25 mg/dL (lahir sampai 4 jam usia) atau

kurang dari 35 mg/dL (4-24 jam usia) akan diberi glukosa ulang dan nilai

glukosa diperiksa ulang 1 jam setelah pemberian. Konsentrasi selanjutnya

21

Page 22: BAB II

bila lebih rendah dari 25 mg/dL, atau lebih rendah dari 35 mg/dL, setelah

upaya untuk pemberian ulang, mengharuskan pengobatan dengan glukosa

intravena. Hipoglikemia persisten dapat diobati dengan minibolus (200 mg/kg

[2 mL/kg] D10W) dan/atau infus intravena D10W 5 sampai 8 mg/kg per

menit, 80 hingga 100 mL/kg per hari; tujuannya adalah untuk mencapai

konsentrasi glukosa plasma dari 40 sampai 50 mg/dL (konsentrasi yang lebih

tinggi hanya akan merangsang sekresi insulin lebih lanjut). Jika tidak

mungkin untuk mempertahankan konsentrasi glukosa darah lebih besar dari

45 mg/dL setelah 24 jam dengan menggunakan metode infus glukosa ini,

pertimbangan harus diberikan untuk kemungkinan hipoglikemia

hiperinsulinemia, yang merupakan penyebab paling umum dari hipoglikemia

persisten berat pada periode baru lahir . Sampel darah harus dikirim untuk

pengukuran insulin bersama dengan konsentrasi glukosa pada saat

konsentrasi glukosa darah samping tempat tidur kurang dari 40 mg/dL, dan

harus dikonsultasikan ke endokrinologis.[5]

I. Prognosis

Prognosis tergantung penyebab yang mendasarinya. Untuk penyakit

inborn errors of metabolism dan defisiensi hormonal membutuhkan

pengobatan seumur hidup, sebaliknya pada hipoglikemia ketotik umumnya

menghilang sekitar umur 5 tahun bila anak diberikan nutrisi yang adekuat

untuk mencegah hipoglikemia. Untuk hiperinsulinemia tergantung pada

derajat penyakit, respon terhadap pengobatan, dan lesinya fokal atau difus.

22

Page 23: BAB II

BAB III

KESIMPULAN

Hipoglikemia merupakan masalah metabolik yang umum pada neonatus.

Hipoglikemia lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dibandingkan anak yang lebih

besar. Kadar glukosa darah yang normal terjadi karena adanya keseimbangan antara

penyediaan glukosa dalam darah dengan pemakaiannya oleh tubuh. Bila terjadi

gangguan pada keseimbangan ini, maka dapat terjadi hipoglikemia atau sebaliknya

hiperglikemia. Hipoglikemia pada neonatus dapat bersifat sementara dan menetap

atau berulang. Hipoglikemia disebabkan oleh kelainan yang menyebabkan

pemakaian glukosa berlebihan dan atau produksi glukosa kurang.

Hipoglikemia adalah kadar glukosa plasma yang kurang dari 45 mg/dl pada

bayi atau anak-anak, dengan atau tanpa gejala, hipoglikemia neurofisiologik pada

kadar 50 – 70 mg/dL, definisi hipoglikemia berat bila kadar kurang dari 40 mg/dL,

dan terapi berhasil bila kadar glukosa lebih dari 60 mg/dL. Untuk neonatus aterm

berusia kurang dari 72 jam digunakan batas kadar glukosa plasma 35 mg/dl.

Sedangkan untuk neonatus prematur dan KMK (Kecil Masa Kehamilan) yang

berusia kurang dari 1 minggu disebut hipoglikemia bila kadar glukosa plasma kurang

dari 25 mg/dl. Hipoglikemia adalah kadar glukosa serum <40 mg / dL (<2,2 mmol /

L) pada neonatus atau <30 mg / dL (<1,7 mmol / L) pada bayi prematur.

Insiden dari hipoglikemia simptomatik pada neonatus bervariasi dari 1.3-

3/1000 kelahiran. Prematur, hipotermia, hipoksia, ibu yang menderita

diabetes/gestasional diabetes (1:1000 wanita hamil menderita diabetes insulin-

dependen dan gestasional diabetes muncul pada 2% wanita hamil), dan pertumbuhan

janin terhambat meningkatkan insidens hipoglikemia.

Hipoglikemia yang berat dan berkepanjangan dapat menyebabkan gangguan

perkembangan khusunya neurofisiologis dan kematian pada setiap golongan umur.

Pada neonatus prognosis tergantung dari berat, lama, adanya gejala-gejala klinik dan

kelainan patologik yang menyertainya, demikian pula etiologi, diagnosis dini dan

pengobatan yang adekuat.

23

Page 24: BAB II

DAFTAR PUSTAKA

1. Sperling, Mark A. Hypoglicemia dalam Nelson Textbook of Pediatrics 17th

edition. 2002: 505-18.

2. Madiyono, Bambang. Hipoglikemia dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak

Jilid I. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2002;

349-50.

3. Batubara, Jose. Buku Ajar Endokrinologi Anak Jilid I. IDAI. Jakarta : 2010.

Hal 195.

4. McGowan, Jane E. Neonatal Hypoglycemia. Pediatrics in Review. American

Academy of Pediatrics. 1999;20;e6. Diunduh dari

http://pedsinreview.aappublications.org/ pada tanggal 10 Januari 2012.

5. Adamkin, D. H. (2011). Postnatal glucose homeostasis in late-preterm and

term infants. Pediatrics, 127(3), 575-579.

6. Cranmer, H. Neonatal Hypoglycemia. 2013. Emedicine Medscape.

7. Pudjadi, Antonius.Dkk. Pedoman Pelayanan Media Ikatan Dokter Anak

Indonesia. Jilid I. 2010 : IDAI. Jakarta.

24