BAB II

download BAB II

of 26

Transcript of BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI1. Bronkus2

Bronkus merupakan lanjutan trakea yang terdapat pada ketinggian vertebrata torakalis 4 dan 5. Bronkus memiliki struktur yang sama dengan trakea, yang dilapisi oleh sejenis sel yang sama dengan trakea yang berjalan ke bawah menuju tampuk paru-paru. Bronkus terbagi menjadi dua cabang :1. Bronkus prinsipalis dekstra.

Panjangnya sekitar 2,5 cm masuk ke hilus pulmonalis paru-paru kanan dan bronkus prinsipalis dekstra bercabang tiga menjadi bronkus lobularis medius, bronkus lobularis inferior, bronkus lobularis superior.2. Bronkus prinsipalis sinistra.

Lebih sempit dan lebih panjang serta lebih horizontal disbanding bronkus kanan, panjangnya sekitar 5 cm berjalan ke bawah aorta dan di depan esophagus, masuk ke hilus pulmonalis kiri dan bercabang menjadi dua, yaitu bronkus lobularis inferior, bronkus lobularis superior. Dari tiap-tiap bronkiolus masuk ke dalam lobus dan bercabang lebih banyak dengan diameter kira-kira 0,5 mm. bronkus yang terakhir membangkitkan pernapasan dan melepaskan udara ke permukaan pernapasan di paru-paru. Pernapasan bronkiolus membuka dengan cara memperluas ruangan pembuluh alveoli yang merupakan tempat terjadinya pertukaran udara antara oksigen dengan karbondioksida.

2

Gambar 1. Anatomi pulmo,trakea,bronkiolu dan alveolus2 2. Paru- paru2 Paru-paru adalah salah satu organ system pernapasan yang berada di dalam kantong yang di bentuk oleh pleura parietalis dan viseralis. Kedua paru sangat lunak, elastic dan berada dalam rongga torak, sifatnya ringan dan terapung di air. Masing-masing paru memiliki apeks yang tumpul yang menjorok ke atas mencapai bagian atas iga pertama. 1. Paru-paru kiri : Pada paru-paru kiri terdapat satu fisura yaitu fisura obliges. Fisura ini membagi paruparu kiri atas menjadi dua lobus, yaitu lobus superior, bagian yang terletak di atas dan di depan fisura dan lobus inferior, bagian paru-paru yang terletak di belakang dan di bawah fisura. 2. Paru-paru kanan Pada paru-paru kanan terdapat dua fisura, yaitu : fisura oblique (interlobularis primer) dan fisura transversal (interlobularis sekunder). Kedua fisura ini membagi paru-paru kanan menjadi tiga lobus, lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah.

3

Gambar 2. Anatomi paru paru23. Pleura2

Pleura adalah suatu membaran serosa yang halus membentuk suatu kantong tempat paruparu berada yang jumlahnya ada dua buah dan masing-masing tidak berhubungan. Pleura mempunyai dua lapisan, parietalis dan viseralis.Membran serosa yang membungkus parekim paru disebut pleura viseralis, sedangkan membran serosa yang melapisi dinding thorak, diafragma, dan mediastinum disebut pleura parietalis. Rongga pleura terletak antara paru dan dinding thoraks. Rongga pleura dengan lapisan cairan yang tipis ini berfungsi sebagai pelumas antara kedua pleura. Kedua lapisan pleura ini bersatu pada hillus paru.

Gambar 3. Anatomi pleura2B. DEFINISI PPOK

Penyakit

Paru

Obstruksi

Kronis

(PPOK)

adalah

suatu

penyakit

yang

dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paruparu terhadap gas atau partikel yang berbahaya. 1,3,4 PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.3 Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun,sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

4

Sedangkan emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding alveoli.3 C. FAKTOR RISIKO 1,3,4 1. Faktor Genetik Faktor genetik yang paling sering disebutkan dalam literatur adalah defisiensi dari alpha-1 antitripsin yang merupakan inhibitor dari serine protease yang terbanyak beredar dalam sirkulasi. Defisiensi ini jarang ditemukan namun paling sering dijumpai pada ras yang berasal dari North Europe. Penyebab genetik lainnya adalah kelainan pada kromosom2q7, perubahan dari alpha (TNFa) 2. Faktor Lingkungan Inhalasi asap rokok yang terinhalasi baik secara aktif maupun pasif serta debu dan zat kimiawiseperti uap, iritan, debu jalanan, gas buang kendaraan bermotor, asap kompor merupakan contoh dari polusi yang sering terinhalasi dan menyebabkan PPOK. 3. Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan Paru Dari penelitian ditemukan bahwa adanya hubungan antara perkembangan dan pertumbuhan paru pada masa gestasi, melahirkan dan anak-anak dengan kejadian PPOK.Hal ini dibuktikan melalui meta analisis adanya hubungan antara berat lahir dengan FEV1 pada masa dewasa. 4. Stress Oksidatif Ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan (kelebihan oksidan dan deplet dariantioksidan) dapat menyebabkan kerusakan langsung pada paru dan mengaktifkan proses inflamasi pada paru.5. Infeksi

transforming growth factor beta 1

(TGF-beta1), microsomal epoxidehydrolase 1 (mEPHX1), dan tumor necrosis factor

Infeksi

virus

maupun

bakteri

dapat

bepengaruh

dalam

kejadian

PPOK

maupun perburukan PPOK. Riwayat infeksi pernafasan yang parah pada anak-anak dapat menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan keluhan pernafasan pada saat dewasa. Virus HIV juga dapat menyebabkan terjadinya HIV-induced pulmonary inflammation, riwayat TB paru sebelumnya, riwayat infeksi saluran nafas bawah yang berulang. 6. Status Sosioekonomi 7. Nutrisi5

Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menyebabkan penurunan dari kekuatan dan ketahanan otot pernafasan. Kelaparan dan perubahan anabolik dan katabolik berhubungan dengan kejadian emfisema pada penelitian ekperimental yang dilakukan terhadap hewan. 8. Asma Menurut Tucson Epidemiological Study of Airway Obstructive Disease, penduduk dewasa dengan asma memiliki 12 kali peningkatan resiko terjadinya PPOK dibandingdengan penduduk dewasa normal lainnya D. PATOGENESIS. 1,3, Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi dindingnya tanpa fibrosis yang nyata. Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.

Gambar 4. Gambaran epitel saluran nafas pada PPOK dan orang sehat36

Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar ( sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar ( perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat proses inflasi Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan growth related oncogene , TNF , IL-1 dan TGF. Selain itu ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear factor sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang sebelumnya telah ada. Hipersekresi mukus menyebabkan batuk produktif yang kronik serta disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia. Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal.

7

Gambar 5. Mekanisme inflamasi pada PPOK3

Gambar 6. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK3

E. DIAGNOSIS.5 Anamnesis - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan - Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja8

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga - Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara - Batuk berulang dengan atau tanpa dahak - Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi Pemeriksaan fisis PPOK dini umumnya tidak ada kelainan Inspeksi - Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) - Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga - Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema tungkai - Penampilan pink puffer atau blue bloater Palpasi Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar Perkusi Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi - suara napas vesikuler normal, atau melemah - terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa - ekspirasi memanjang - bunyi jantung terdengar jauh Pemeriksaan penunjang 1. Spirometri 3 Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP 20% dan minimal 250 mg. c. Antibiotika Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :1. Lini I 2. Lini II

: amoksisilin dan makrolid : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,

makrolid Perawatan di Rumah Sakit, dapat dipilih: Amoksilin dan klavulanat, Sefalosporin generasi II &III injeksi, Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas yaitu Aminoglikose per injeksi, Kuinolon per injeksi, Sefalosporin generasi IV per injeksi. d. Antioksidan Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin e. Mukolitik Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangieksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutinf. Antitusif, diberikan dengan hati hati

3. Terapi Oksigen Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan seldan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen yaitu untuk: mengurangi sesak, memperbaiki aktiviti, mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsineuro psikiatri, meningkatkan kualiti hidup. 4. Ventilasi Mekanik14

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara : a. ventilasi mekanik dengan intubasib. ventilasi mekanik tanpa intubasi

Ventilasi Mekanik Tanpa Intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pessure Ventilation (NPV). NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana. 5. Nutrisi Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah Malnutrisi dapat dievaluasi dengan :- Penurunan berat badan- Kadar albumin darah- Antropometri- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah,karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibatmetabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus dengan pipa nasogaster. Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi. . 6. Rehabilitasi PPOK Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :Simptom pernapasan berat- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat- Kualiti hidup yang menurun. Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yangterdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.15

Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.

BAB III PERAN RADIOLOGI PADA PPOK16

Meskipun kebijaksanaan konvensional menyatakan pemeriksaan rontgen thorax adalah prosedur pencitraan lini pertama pada PPOK, tetapi ada banyak keterbatasan untuk modalitas ini.7 Rontgen dada secara universal tersedia, noninvasif, dan murah.7 Keterbatasan resolusi pada rontgen dada membuat daerah lucency sulit untuk divisualisasikan.8 Akibatnya, rontgen dada minimal dalam meggambarkan distorsi dan ketajaman pembuluh darah atau pembesaran arteri pulmonalis yang merupakan karakteristik dari PPOK.8 PPOK terdiri dari kombinasi antara emfisema dan bronkhitis kronis. Penyakit ini sering terjadi bersamaan dan sulit dibedakan secara klinis. Meskipun sering digunakan dalam penilaian awal pasien yang dicurigai PPOK, radiografi memiliki keterbatasan.6 Bronkhitis kronis Temuan rontgen thorax pada bronkhitis kronis 40% - 50% normal.

Gambaran abnormalitasnya biasanya halus dan tidak spesifik, biasanya ditemukan penebalan ringan dari bronkus.8 Pada HRCT biasanya ditemukan tanda emfisema yang lebih dominan. Beberapa penebalan dinding bronkus atau gambaran abnormal saluran kecil sentrilobulbar seperti gambaran tunas pohon mungkin ditemukan pada HRCT tetapi bukan merupakan temuan yang spesifik.8 Struktur cabang seperti tunas pohon pada daerah perifer paru ini menunjukan adanya dilatasi bronkeolus dan lumen yang terisi dengan mucus, pus ataupun cairan. Baik rontgen thorax maupun HRCT tidak direkomendasikan untuk menentukan diagnosis bronkhitis kronis namun keduanya memiliki nilai lebih dalam menyingkirkan penyebab lain batuk produktif kronis dan sumbatan jalan nafas seperti bronkiektasis atau emfisema.8

17

Emfisema Emfisema merupakan kelainan yang permanen yang ditandai dengan pembesaran abnormal ruang udara distal sampai bronkus terminal yang disertai dengan destruksi dindingnya.6 Pemeriksaan rontgen thorax pada pasien emfisema umumnya terjadi peningkatan volume paru atau kerusakan paru (pengurangan vaskular atau adanya bulae).6,8 Ketika kedua temuan ini digunakan sebagai kriteria diagnosis maka sensitivitasnya 80% untuk rontgen thorax. Walaupun diagnosis positif tergantung pada derajat penyakitnya. Ketika hanya ditemukan kerusakan paru untuk kriteria diagnosis maka sensitivitasnya 40%.6 Walaupun keakuratan rontgen thorax dalam mendiagnosis emfisema masih kontroversial tetapi rontgen thorax dapat mendiagnosis emfisema sedang sampai berat.6,8 Sedangkan untuk mendiagnosis emfisema ringan merupakan keterbatasan teknik ini. Adanya peningkatan volume paru atau overinflasi dapat menjadi pertanda yang penting pada emfisema. 6,8. Pendataran diafragma membantu dalam menentukan peningkatan volume paru pada rontgen thorax. Walaupun penilaian pendataran diafragma ini subjektif.6 Pada rontgen thorax PA diafragma dianggap datar jika kubah hemidifragma kanan tingginya kurang dari 1,5 cm dantegak lurus dengan garis yang ditarik antara sudut kostofrenikus lateral dan sudut vertebrophrenic medial.6,7

Temuan lain dari peningkatan volume paru memiliki spesifitas 95% namun sensitivitasnya rendah. Peningkatan ruang di retrosternal dengan ukuran 3 cm dibawah manubrium sterni dan hemidiafragma kanan pada atau dibawah iga ke 7.6 Biasanya ditemukan pendataran dari diafragma ini tapi temuan ini sulit dideteksi dengan menggunakan rontgen thorax pada penderita emfisema atau PPOK ringan dan sedang. Walaupun x-ray dapat mendeteksi hiperinflasi yang signifikan pada pasien dengan penyakit lanjut, tetapi18

penggunaannya sebagai alat diagnostik atau skrining dikurangi. Kinerja rontgen thorax dapat menjadi teknik yang ketinggalan zaman pada saat ini.7 Ditemukannya bulae pada pemeriksaan rontgen dada merupakan tanda spesifik dari emfisema tetapi temuan ini sangat jarang. Penurunan ukuran pembuluh darah maupun jumlahnya merupakan tanda adanya destruksi paru tetapi temuan ini tidak sensitif dan tidak dapat dipercaya.6,8 Dengan menggunakan HRCT daerah yang emfisema dapat ditunjukan secara langsung. Pada HRCT emfisema ditandai dengan adanya daerah dengan hipodens yang berbeda dengan parenkim paru normal disekitarnya.6 Emfisema diklasifikasikan empat subtipe utama, berdasarkan distribusi anatomi daerah kerusakan pada paru-paru. Subtipe ini dapat dibedakan dengan menggunakan HRCT centrilobular (proximal acinar atau centriacinar), panlobular (panacinar), paraseptal (distal acinar), and paracicatricial emphysema.6,7 Paracikatrical emfisema biasanya akibat fibrosis paru dan biasanya terdapat pada penyakit paru restriksi bukan obstruksi. walaupun emfisema awal dapat tidak terdeteksi.6 Emfisema Centrilobular biasanya diakibatkan karena merokok terutama pada paru bagian atas. Walupun emfisema awal dapat tidak terdeteksi. Emfisema centilobulbar derajat ringan sampai sedang ditandai dengan adanya daerah abnormal yang bulat, kecil multiple, hipodens dengan diameter beberapa milimeters sampai sentimeter. Pada emfisema centrilobulbar yang berat daerah destruksi paru menjadi bersatu. Terdapat korelasi yang signifikan antara HRCT dengan hasil pemeriksaan patologi pada pasien dengan emfisema centrilobulbar.6 Emfisema panlobular melibatkan seluruh lobulus dan biasanya terkait dengan defisiensi alpha1 proteinase inhibitor (alpha1-antitripsin) meskipun dapat disebabkan oleh penyebab lain. Emfisema panlobular biasanya difuse dan paling berat pada lobus bawah dan biasanya disertai daerah hipodens. Emfisema panlobular ringan bahkan yang cukup berat dapat sulit untuk mendeteksi atau membedakan dari penyebab lain PPOK. Pada umumnya terjadi pada perokok. Terdapat korelasi yang signifikan antara pemeriksaan HRCT dengan pemeriksaan patologi pada pasien dengan emfisema panlobular.6 Emfisema paraseptal ditandai dengan keterlibatan bagian distal lobus sekunder terutama paling mencolok pada daerah subpleural. Emfisema Paraseptal dapat terisolasi atau dapat terlihat dengan emfisema centrilobular. Emfisema paraseptal ringan mudah dideteksi dengan HRCT. Emfisema jenis ini berhubungan dengan pneumotorax spontan.19

Meskipun bula ini terlihat pada rontgen thorax tetapi HRCT dapat teliti dalam membedakan bula yang bepotensi untuk dioperasi dengan bula yang berhubungan dengan emfisema yang tidak diindikasikan untuk dioperasi.

HRCT lebih sensitif dan akurat dari pada rontgen thorax dalam menggambarkan type dan luasnya penyakit. HRCT memiliki spesifitas yang tinggi untuk mendiagnosis emfisema , emfisema jarang overdiagnosis pada pasien yang sehat atau pada pasien dengan hiperinflasi berat akibat penyebab lain.6,8 HRCT memiliki nilai lebih dibanding rontgen thorax dalam menggambarkan tipe dan luasnya emfisema pada pasien yang akan ditatalaksana dengan pembedahan sepeti transplantasi paru, bulectomy, atau pembedahan reduksi volume paru.nly, patientDalam sebuah studi pada 107 pasien PPOK dengan gejala eksaserbasi, setelah eksaserbasinya tenang hanya 17 pasien (16%) yang ditemukan abnormal pada rontgen thorax. Telah direkomendasikan bahwa rontgen thorax dilakukam pada pasien PPOK dengan indikasi20

tertentu seperti adanya

riwayat penyakit jantung atau gagal jantung kongestif,

penyalahgunaan narkotika secara IV, kejang, imunosupresi, penyakit paru lainnya, WBC tinggi, demam, nyeri dada, dan edema.7 Jika emfisema yang signifikan ditemukan pada HRCT, tidak ada pemeriksaan lebih lanjut diperlukan. Peran computed tomography (CT) adalah dalam deteksi dini kanker paruparu pada pasien dengan COPD dan dalam memprediksi respons terhadap pembedahan reduksi volume paru (LVRS).8

21

Chest radiograph of an emphysematous patient shows hyperinflated lungs with reduced vascular markings. Pulmonary hila are prominent, suggesting some degree of pulmonary hypertension (Corra da Silva, 2001)

Schematic representation of 1 criterion for defining flattening of the diaphragm on the lateral chest radiograph: drawing a line from the posterior to anterior costophrenic angles and measuring the distance from this line to the apex of the diaphragm. If the height is less than 1.5 cm, the criterion of flattening is fulfilled(Corra da Silva, 2001).

Schematic representation of another criterion for defining flattening of the diaphragm on the lateral chest radiograph. When the angle formed by22 contact point between the diaphragm and the anterior thoracic wall is more than or equal to 90, the criterion is fulfilled (Corra da Silva, 2001)

Schematic representation of another sign of emphysema on the lateral chest radiograph. When the retrosternal space (defined as the space between the posterior border of the sternum and the anterior wall of the mediastinum) is larger than 2.5 cm, it is highly suggestive of overinflated lungs. This radiograph is from a patient with pectus carinatum, an important differential diagnosis to consider when this space is measured (Corra da Silva, 2001

Close-up image shows emphysematous bullae in the left upper lobe. Note the subpleural, thin-walled, cystlike appearance (Corra da Silva, 2001)

A, Frontal posteroanterior (PA) chest radiograph shows no abnormality of the pulmonary vasculature, with normal intercostal spaces and a diaphragmatic dome between the 6th and 7th anterior ribs on both sides. B, Image in a patient with emphysema demonstrating reduced pulmonary vasculature resulting in hyperlucent lungs. The intercostal spaces are mildly enlarged, and the diaphragmatic domes are straightened and below the extremity of the seventh rib (Corra da Silva, 2001).

23

High-resolution CT (HRCT) shows large A, Lateral radiograph of the chest shows normal pulmonary vasculature, a retrosternal bullae in both inferior lobes diaphragm and space within normal limits (< 2.5 cm), and a normal angle between the due to the anterior thoracic wall. B, Lateraluniform enlargementshows destruction pulmonary view of the chest and increased of the alveoli walls causing distortion of the transparency, increased retrosternal space (>2.5 cm), and an angle between the thoracic pulmonary architecture (Corra da Silva, wall and the diaphragm >90. Straightening of the diaphragm can be more evident in this 2001). projection than on others (Corra da Silva, 2001)

Menggunakan Radiologi dalam menyingkirkan Diagnosis Banding7 Beberapa penyakit komorbid sering merupakan bagian dari sindrom PPOK "Sebagai contoh., Penyakit kardiovaskular aterosklerotik dan infeksi saluran pernafasan adalah penyebab penting dari morbiditas dan mortalitas pada pasien PPOK. Penggunaan pencitraan dapat sangat penting untuk membedakan PPOK dari penyebab lain obstruksi jalan nafas. Dr.Fein mengutip data dari sebuah penelitian di Inggris oleh O'Brien dan rekan rekannya, dari 108 pasien yang dirawat di perawatan primer yang diseting untuk eksaserbasi24

akut pada PPOK. Setelah resolusi dari kondisi akut, subyek menjalani kedua tes fungsi paru dan HRCT. Hasil test fungsi paru menunjukkan terdapat kerusakan paru sedang sampai berat pada 52% pasien. CT mengungkapkan bahwa proporsi yang signifikan dari pasien (51%) memiliki emfisema lobus atas klasik, dan sepertiganya (29%) memiliki bronkiektasis. Hasil ini menunjukkan bahwa kita harus mulai berpikir tentang bronkiektasis baik sebagai penyebab maupun komplikasi dalam PPOK lanjut. Bronkiektasis umumnya terdeteksi pada x-ray, tetapi lebih jelas pada CT. CT membantu untuk memastikan diagnosa dan untuk memastikan tidak ada kelainan yang menyerupai sindrom PPOK. Jika keparahan dari PPOK ini meningkat maka risiko kanker paru-paru juga meningkat. Laporan oleh O'Brien, serta 3 hasil dari penelitian lain, memperkuat pentingnya PPOK sebagai faktor risiko untuk kanker paru. Dalam studi O'Brien, CT scan menunjukkan bahwa 8% pasien memiliki nodul soliter paru yang layak dievaluasi untuk menentukan kanker paru. 3 studi kasus-kontrol low-dose spiral CT screening pada perokok dan mantan perokok yang dilakukan oleh Kishi dkk, kemungkinan kanker paru meningkat secara signifikan diantara subyek dengan FEV1 kurang dari atau sama dengan 40%. Selanjutnya, studi radiologis merupakan kunci dalam evaluasi pasien PPOK untuk intervensi bedah. National Emphysema Treatment Trial menunjukkan bahwa pasien dengan emfisema yang dominan pada lobus atas dan kapasitas dasar exercise yang rendah cenderung memiliki hasil terbaik dengan pembedahan. Penelitian lain telah menunjukkan bahwa heterogenitas daerah dari proses emphysematous dapat mengindikasikan reseksi. Dengan demikian, HRCT adalah teknik yang digunakan untuk mengevaluasi kelayakan operasi pengurangan volume paru-paru. CT juga dapat digunakan sebelum operasi untuk menilai adanya nodul. Dalam satu studi, 8 dari 148 pasien yang menjalani operasi pengurangan volume paru-paru ditemukan pada CT memiliki non-karsinoma sel kecil sebelum dilakukan prosedur tersebut. Keterbatasan teknik7 Temuan radiografi dada bukan merupakan indikator yang baik untuk menilai tingkat keparahan penyakit dan tidak membantu dalam mengidentifikasi pasien dengan PPOK tanpa emfisema klinis yang signifikan. Informasi pencitraan dari HRCT tidak mengubah pengelolaan emfisema, sehingga HRCT tidak merupakan pemeriksaan rutin dalam perawatan sehari-hari pasien dengan PPOK. Pada tahap awal, 3 bentuk emfisema dapat dibedakan secara morfologis dengan menggunakan HRCT. Namun, jika penyakit menjadi lebih luas, memrbedakannya menjadi sulit atau tidak mungkin, baik secara radiografi maupun patologi.25

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Peran radiologi dalam PPOK sangat penting yaitu untuk menegakan suatu diagnosis, menyingkirkan diagnosis banding dari PPOK, untuk mengetahui adanya komplikasi pada PPOK serta untuk menentukan apakan suatu PPOK memerlukan tindakan bedah atau tidak. Pemeriksaan rontgen thorax merupakan prosedur pencitraan lini pertama pada PPOK, tetapi ada banyak keterbatasan untuk modalitas ini. CT dan terutama resolusi tinggi CT lebih akurat dalam mendeteksi PPOK tahap awal. Namun walaupun HRCT memiliki kelebihan dibanding dengan pemeriksaan rontgen thorax kita tidak dapat menyingkirkan pemeriksaan rontgen thorax karena rontgen thorax ini memiliki kelebihan yaitu secara universal tersedia, noninvasif, dan murah. Karena morbiditas dan mortalitas PPOK cukup tinggi terutama di masa yang akan datang, maka setipa klinisi harus dapat mencegah dan menegakan diagnosis PPOK sedini mungkin untuk dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas. Dengan kecanggihan alat radiologi saat ini diharapkan bisa menegakan diagnosis PPOK sedini mungkin sehingga pengobatanpun dapat dilaksanakan secepatnya.

26

27